EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG"

Transkripsi

1 EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 1-13 HARI KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT OVARIUM DAN UTERUS TIKUS PUTIH (Rattus sp.) SANDRA HAPSARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 RINGKASAN SANDRA HAPSARI. Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 1-13 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Ovarium dan Uterus Tikus Putih (Rattus sp.). Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan BAMBANG KIRANADI. Ratusan tahun silam, nenek moyang kita sudah menggunakan purwoceng sebagai afrodisiak dan untuk mengembalikan energi setelah seharian bekerja. Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango di Jawa Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur. Perkembangan penggunaan purwoceng sebagai tanaman obat dalam bidang reproduksi sudah diminati oleh masyarakat karena mengandung bahan alami. Tanaman ini dikenal mengandung bahan bersifat estrogenik atau androgenik. Pada dasarnya tanaman yang mengandung senyawa-senyawa seperti estrogen atau androgen dipercaya dapat memperbaiki kinerja reproduksi. Purwoceng (Pimpinella alpina) mengandung senyawa kimia kumarin, sterol, saponin, sejumlah kecil alkaloida, dan oligosakarida. Beberapa penelitian telah menunjukkan efek penggunaan akar purwoceng pada kinerja reproduksi tikus putih. Berdasarkan penelitian terdahulu, penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas purwoceng yang diberikan pada induk tikus betina yang bunting pada umur 1-13 hari terhadap kinerja reproduksinya yang meliputi bobot ovarium dan uterus. Metode penelitian ini meliputi pembuatan larutan ekstrak akar purwoceng, penentuan dosis ektrak purwoceng, persiapan hewan penelitian, perlakuan hewan, dan analisis data. Akar purwoceng diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram simplisia yaitu sejumlah 95 gram. Ekstrak ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100 ml akuades. Dosis ekstrak purwoceng pada tikus yang digunakan yaitu sebesar 25 mg/ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram atau mg/kg bobot badan. Pada penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml sehingga jumlah ekstrak purwoceng yang diberikan pada tikus yaitu 0.5 ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram. Sepuluh ekor tikus betina bunting yang diperoleh dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu lima ekor tikus bunting yang tidak diberi perlakuan (kontrol) dan lima ekor tikus bunting yang diberi perlakuan, yaitu diberi ekstrak purwoceng selama 1 sampai 13 hari kebuntingan. Selanjutnya semua tikus pada kelompok tersebut dinekropsi pada hari ke-13 kebuntingan untuk diambil dan ditimbang bobot ovarium dan uterusnya. Data bobot ovarium dan uterus yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji statistik menggunakan metode analysis of variance (ANOVA) sehingga diperoleh rata-rata dan standar deviasi dari data-data tersebut. Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 13 hari kebuntingan pada tikus putih yang sedang bunting menunjukkan bahwa rata-rata bobot ovarium dan uterus cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol meskipun setelah dilakukan analisis statistika menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Bobot ovarium tikus putih perlakuan yang cenderung lebih besar dibandingkan tikus putih kontrol diduga karena kadar estrogen yang meningkat akibat pemberian

3 purwoceng. Ovarium merupakan organ primer reproduksi betina yang dapat menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan ovum yang dapat dilepaskan dari kelenjar. Hormon yang disintesis dalam ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah yaitu hormon estrogen. Pada penelitian ini, pemberian purwoceng dilakukan ketika hewan sudah bunting. Estrogen yang dihasilkan diduga dan diharapkan membantu peningkatan endogenous estrogen dalam folikel untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus. Tikus yang dicekok purwoceng cenderung memiliki bobot uterus yang lebih besar dibandingkan tikus kontrol. Seiring dengan peningkatan bobot ovarium pada tikus yang dicekok purwoceng yang diduga akan mengalami peningkatan kadar estrogen maka akan berdampak pada peningkatan bobot uterus. Efek estrogenik akar purwoceng dapat mempengaruhi aktivitas mitogenik sel-sel epitel uterus, vagina, dan kelenjar ambing. Aktivitas mitogenik tersebut berupa proliferasi maupun diferensiasi sel-sel epitel. Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik menunjukkan bahwa zat yang terkandung paling banyak di dalam akar purwoceng adalah flavonoid dan alkaloid. Flavonoid merupakan salah satu golongan fitoestrogen yang merupakan senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dapat dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen. Fitoestrogen yang terkandung dalam akar purwoceng tersebut menstimulasi aktivitas estrogenik sehingga memberikan efek terhadap organ reproduksi tikus yaitu merangsang pertumbuhan uterus dan menstimulir penebalan endometrium sehingga uterus membesar dan bobotnya meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan cenderung meningkatkan bobot ovarium dan uterus tikus putih (Rattus sp.). Kata kunci: purwoceng, ovarium, uterus, estrogenik

4 ABSTRACT SANDRA HAPSARI. Effectivity of Purwoceng (Pimpinella alpina) Ethanol Extract during 1-13 Days of Pregnant Rat (Rattus sp.) on Ovarium and Uterus Weight. Under direction of ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and BAMBANG KIRANADI. The research was aimed to examine the effects of purwoceng ethanol extract on the ovarium and the uterus weight of pregnant rat during 1-13 days gestation. This study consisted of two groups, the control group (no treatment) and the group that was given purwoceng ethanol extract. Purwoceng has been known as an estrogenic plant. Purwoceng ethanol extract was given on the first day until the 13 th day of gestation. Rat were dissected on the 13 th day of pregnancy to get the ovarium and the uterus weight. The result had shown that purwoceng ethanol extract tended to increase ovarium weight as well as the uterus weight. Keywords: purwoceng, ovarium, uterus

5 EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 1-13 HARI KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT OVARIUM DAN UTERUS TIKUS PUTIH (Rattus sp.) SANDRA HAPSARI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

6 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 1-13 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Ovarium dan Uterus Tikus Putih (Rattus sp.) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2011 Sandra Hapsari NIM B

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

8 Judul Skripsi Nama NIM : Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 1-13 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Ovarium dan Uterus Tikus Putih (Rattus sp.) : Sandra Hapsari : B Disetujui, Dr. drh. Aryani Sismin S., M.Sc Pembimbing I Dr. Bambang Kiranadi, M.Sc Pembimbing II Diketahui, Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Tanggal Lulus:

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi yang berjudul Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 1-13 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Ovarium dan Uterus Tikus Putih (Rattus sp.). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa tulus dan hormat, penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc dan Dr. Bambang Kiranadi, M.Sc atas bimbingan, arahan, motivasi, waktu, pemikiran, dan kesabaran selama proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan bimbingan untuk terus maju dan menjadi pribadi yang lebih baik. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Drs. Pudji Achmadi, MS yang telah memberikan kesempatan untuk bergabung dalam penelitian ini serta staf Laboratorium Fisiologi FKH IPB, ibu Sri, Ibu Ida, dan Bapak Edi atas bantuan dan kerja sama selama penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Sri Rumini (Ibunda), Sambas Safari (ayahanda), Andrianto (kakak), dan Meta Harsaningtyas (sepupu) atas kasih sayang, doa, motivasi, dan dorongan yang luar biasa dan tidak hentihentinya kepada penulis. Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Gelatin plus dan Yayasan Karya Salemba Empat atas bantuan baik moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dengan lancar, teman-teman satu tim penelitian (Meta, Divo, Junto, Wisnu, dan Copy) atas kerja sama dan dukungan selama penelitian, sahabat terdekat di Rumah Cantik (Dian, Annisa, Arni, Niken, Andi, Inez, Dara, Lia, dan Nova) untuk semua dukungan, hiburan, dan pengalaman berharga yang tak terlupakan, sahabat-sahabat Gianuzzi, keluarga besar RUMINERS dan IMAKAHI atas pengalaman dan pembelajaran

10 yang sangat berharga bagi penulis, serta semua pihak yang baik sengaja maupun tidak sengaja membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh Civitas Akademika Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis sangat berterima kasih dan terbuka untuk kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Agustus 2011 Sandra Hapsari NIM B

11 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Sandra Hapsari, dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 16 Juni 1989 dari ayah Sambas Safari dan ibu Sri Rumini. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD PASIRKALIKI 96/IV Bandung hingga lulus pada tahun 2001, kemudian dilanjutkan ke SLTP Negeri 40 Bandung dan lulus pada tahun Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMA Negeri 2 Bandung dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan. Penulis pernah menjadi Sekretaris dan Badan Pengawas Himpunan Minat Profesi Ruminansia FKH IPB ( ), Penanggung Jawab Bahasa Tradisional Lembaga Struktural (LS) Bahasa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH IPB Kabinet Katalis ( ), staf keuangan Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) FKH IPB ( ), dan Bendahara Umum IMAKAHI FKH IPB ( ). Di samping itu, selama perkuliahan penulis juga memperoleh beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) IPB pada tahun 2009 dan beasiswa Yayasan Karya Salemba Empat pada tahun Selama masa perkuliahan penulis pernah memperoleh penghargaan sebagai Runner up Duta Lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun 2010 dan masuk dalam 10 besar seleksi mahasiswa berprestasi Yayasan Karya Salemba Empat pada tahun 2010.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xii xiv xv xvi BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat Hipotesa... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Organ Reproduksi Betina Ovarium Uterus Hormon Reproduksi Betina Estrogen Progesteron Tikus Putih (Rattus sp.) Karekteristik Umum Tikus Putih (Rattus sp.) Sistem Reproduksi Tikus Putih (Rattus sp.) Purwoceng (Pimpinella alpina) Fitokimia BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng Persiapan Hewan Penelitian Perlakuan Hewan Bagan Penelitian Analisis Data BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 5 PENUTUP Simpulan Saran... 27

13 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 33

14 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ratusan tahun silam, nenek moyang kita sudah menggunakan purwoceng sebagai afrodisiak dan untuk mengembalikan energi setelah seharian bekerja. Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman herbal yang akarnya diketahui berkhasiat sebagai diuretikum dan afrodisiak, yakni mampu meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi (Rahayu dan Sunarlim 2002). Purwoceng mengandung senyawa aktif yang pada umumnya bersifat sebagai penyegar dan tonikum. Beberapa diantaranya merupakan senyawa aktif yang diduga ada kaitannya dengan aktivitas seksual. Senyawa aktif tersebut antara lain stigmasterol, isoorientin, eugenol, dan dianetole (Gunawan 2002). Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango di Jawa Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur (Darwati dan Roostika 2006). Rahardjo (2003) dan Syahid et al. (2004) melaporkan bahwa saat ini tanaman tersebut hanya terdapat di dataran tinggi Dieng. Purwoceng mengandung senyawa kimia kumarin, sterol, saponin, sejumlah kecil alkaloida, dan oligosakarida. Sterol dalam tubuh akan dikonversi menjadi testosteron sedangkan senyawa aktif lain merangsang susunan saraf pusat untuk memproduksi Luteinizing Hormone (LH). Testosteron adalah hormon steroid dari kelompok androgen yang produksinya diatur oleh kelenjar hipofisis. Organ penghasil testosteron adalah testis pada jantan dan indung telur pada betina. Testosteron penting untuk kesehatan baik bagi jantan maupun betina. Fungsinya antara lain meningkatkan libido, energi, fungsi imun, dan perlindungan. Purwoceng dengan kandungan sterolnya juga mampu meningkatkan produksi hormon luteinizing sampai 29.2% (Taufiqqurrachman 1999). Beberapa penelitian telah menunjukkan efek penggunaan akar purwoceng pada kinerja reproduksi tikus putih. Caropeboka (1980) mengebiri tikus jantan dan menyuntiknya dengan ekstrak akar purwoceng dalam minyak zaitun. Ekstrak akar purwoceng mempunyai aktivitas androgenik pada tikus jantan yang dikebiri.

15 2 Juniarto (2004) melaporkan bahwa ekstrak akar purwoceng yang diberikan pada tikus Sprague-Dawley juga dapat meningkatkan derajat spermatogenesis dalam testis, jumlah maupun motilitas spermatozoa dibandingkan dengan tanpa pemberian purwoceng. Berdasarkan penelitian terdahulu, penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas purwoceng yang diberikan pada induk tikus betina yang bunting terhadap kinerja reproduksinya yang meliputi bobot ovarium dan uterus. Bobot ovarium dan uterus dijadikan parameter pada penelitian ini karena ovarium adalah sumber estrogen dan uterus adalah target organ dari estrogen. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan terhadap bobot ovarium dan bobot uterus tikus putih betina. 1.3 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) pada pertumbuhan dan perkembangan uterus dari tikus betina bunting sehingga dapat dijadikan acuan pada penelitian berikutnya. 1.4 Hipotesa Hipotesa dari penelitian ini adalah pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) pada tikus putih betina yang bunting selama 1-13 hari dapat mempengaruhi bobot ovarium dan bobot uterus.

16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organ Reproduksi Betina Ovarium Organ reproduksi betina terdiri atas dua buah ovari, dua buah tuba falopii, uterus, serviks, vagina, dan vulva. Ovarium bertanggung jawab secara fisiologi terhadap pengeluaran gamet secara periodik dan produksi hormon steroid estradiol dan progesteron. Kedua aktifitas ini terintegrasi pada suatu proses pengulangan yang berlangsung terus menerus dari maturasi folikel, ovulasi dan pembentukan korpus luteum dan regresinya sehingga ovarium tidak bisa dipandang sebagai suatu organ endokrin yang statis dimana ukuran dan fungsinya bisa saja membesar dan mengecil, tergantung dari hormon-hormon yang mempengaruhinya (Speroff et al. 2005). Ovarium merupakan organ reproduksi primer yang mempunyai fungsi sebagai kelenjar eksokrin yaitu penghasil ovum dan sebagai endokrin yaitu penghasil hormon. Ovarium memproduksi hormon steroid yang memungkinkan berkembangnya ciri-ciri seksual betina sekunder dan mendukung kebuntingan. Pada umumnya, ovarium terdapat dua buah, yaitu di bagian kanan dan kiri yang terletak dalam rongga pelvis dan menggantung pada mesovarium. Siklus dalam ovarium akan menghasilkan folikel matang sebagai hasil kerja sama antara hormon-hormon ovarium dan gonadotropin (Nalbandov 1990). Perkembangan ovum dan folikel pada ovari dipengaruhi oleh produksi Follicle Stimulating Hormone (FSH). Produksi FSH pada pituitari menyebabkan folikel menjadi berongga dan menghasilkan estrogen. Gonadotropin juga akan mengaktifkan korpus luteum sehingga melepaskan progesteron yaitu hormon gonadal yang merangsang mukosa uterus untuk mempersiapkan implantasi jika terjadi fertilisasi (Nalbandov 1990). Perubahan ovarium selama siklus seksual bergantung seluruhnya pada hormon-hormon gonadotropik, FSH, LH yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Ovarium yang tidak dirangsang oleh hormon ini tetap tidak aktif, yang merupakan keadaan pada masa anak-anak, ketika hampir tidak ada hormon-hormon gonadotropik yang disekresikan. FSH

17 4 dan LH merupakan glikoprotein kecil dengan berat molekul kira-kira Satu-satunya efek dari FSH dan LH yang bermakna adalah testis pada pria dan ovarium pada wanita (Guyton dan Hall 1997). Peningkatan estrogen dalam darah menyebabkan pituitari mengurangi produksi FSH dan meningkatkan pelepasan LH dan Luteotropic Hormone (LTH). Produksi FSH mencapai puncak yang disertai meningkatnya LH menyebabkan folikel mencapai fase akhir perkembangannya dan menjadi pecah, proses ini disebut dengan ovulasi. LH menyebabkan terjadinya ovulasi dan perubahan folikel kosong menjadi korpus luteum dan atas pengaruh LTH dihasilkan progesteron. Progesteron menghambat pengeluaran FSH dan estrogen yang akan mempengaruhi keseimbangan LH, LTH serta korpus luteum (Nalbandov 1990). Setelah ovulasi, sel-sel sekretori pada folikel berkembang jadi korpus luteum yang menyekresikan sejumlah besar hormon progesteron dan estrogen. Kemudian korpus luteum akan berdegenerasi sedangkan hormon progesteron dan estrogen akan sangat berkurang jumlahnya, keadaan ini diikuti dengan siklus ovarium yang baru (Guyton dan Hall 1997) Uterus Uterus adalah suatu organ muskular berongga, berdinding tebal, dan terdiri dari otot-otot polos. Uterus terletak di pelvis minor diantara kandung kemih dan rektum. Selama kebuntingan uterus berfungsi sebagai tempat implantasi, retensi dan nutrisi konseptus. Pada saat persalinan dengan adanya kontraksi dinding uterus dan pembukaan serviks uterus, isi konsepsi dikeluarkan. Uterus terdiri dari fundus uteri, corpus uteri, dan serviks uteri. Fundus uteri adalah bagian uterus proksimal, pada bagian ini kedua tuba fallopii masuk ke uterus. Serviks uteri merupakan bagian terbawah uterus, terdiri dari pars vaginalis (berbatasan atau menembus dinding dalam vagina) dan pars supravaginalis. Serviks uteri terdiri dari 3 komponen utama, yaitu otot polos, jalinan jaringan ikat (kolagen dan glikosamin), dan elastin (Prawirohardjo 2005). Di samping itu, uterus juga dilengkapi dengan ligamentum penyangga uterus (Decherney dan Nathan 2003). Uterus sangat berperan penting bagi perkembangan dan diferensiasi embrio sebagai sumber nutrisi, tempat implantasi, dan sebagai penunjang fetus sampai

18 5 waktu normal kelahiran. Perubahan utama perkembangan embrio dalam fetus selama fase praimplantasi terjadi ketika embrio berkembang dari stadium sel ke-4 atau ke-8 menjadi morula kemudian blastosis. Embrio masih dilindungi oleh membran tambahan, zona pelusida, dan sangat tergantung pada cadangan makanan sitoplasma telur, tetapi pada saat pelepasan zona, kebutuhan nutrisi embrio praimplantasi yang tumbuh cepat sangat bergantung pada unsur pokok cairan uterus (yang disebut susu uterus atau histotrof). Selama fase ini akan terbentuk ruang antara embrio dan uterus, dan pada spesies politokus hal ini menyangkut penyebaran embrio ke seluruh tanduk uterus (Hunter 1995). Stadium perkembangan embrio berhubungan erat dengan proliferasi endometrium yang diatur oleh hormon. Selama embrio berada dalam tuba falopii, uterus dipersiapkan untuk menerimanya melalui pembuangan fagositik reruntuhan pascacoitus seperti spermatozoa mati dan sisa-sisa sperma, produk semen lainnya, dan bakteri yang mungkin masuk pada saat kawin. Peningkatan sekresi progesteron oleh korpus luteum yang sedang berkembang akan mempengaruhi fase persiapan, yang mengakibatkan proliferasi endometrium dengan meningkatnya aktivitas kelenjar dan sekresi zalir ke lumen uterus. Zalir uterus bersama dengan komponen seluler tertentu akan membentuk histotrof. Penggabungan embrio dengan epitelium uterus menyebabkan terbentuknya plasenta dan ketergantungan embrio yang sedang berdiferensiasi pada metabolisme induknya (Hunter 1995). Kelenjar uterus selama fase folikular terlihat sederhana dan lurus dengan sedikit cabang sedangkan selama fase luteal saat progesteron bekerja terhadap uterus terlihat endometrium bertambah tebal secara mencolok, menjadi bercabang dan berkelok. Estrogen menyebabkan meningkatnya vaskularisasi dan aktivitas mitosis uterus yang lebih besar mengakibatkan organ bertambah berat. Tetapi estrogen yang diberikan pada tikus dan mencit mengakibatkan akumulasi air pada lumen uterus. Otot polos miometrium mengalami hiperplasia dan hipertrofi. Kenaikan bobot uterus seimbang dengan jumlah estrogen yang diberikan (Nalbandov 1990).

19 6 2.2 Hormon Reproduksi Betina Estrogen Estrogen merupakan hormon yang diproduksi oleh ovarium dan plasenta yang berfungsi merangsang perkembangan organ kelamin wanita, payudara, berbagai sifat kelamin sekunder. Estrogen dibentuk terutama dari 17- ketosteroidnandrostenedion. Estrogen merupakan salah satu hormon reproduksi pada hewan betina. Hormon ini terutama disekresi oleh sel-sel granulosa penyusun folikel ovarium. Struktur hormon estrogen tersusun atas 18 atom C, gugus OH fenolik pada C-3, sifat aromatik cincin A, dan tidak mempunyai gugus metil pada C-10 (Dellman dan Brown 1992). Bentuk hormon estrogen dalam tubuh hewan betina berupa estradiol-17β, estron dan estriol (Johnson dan Everitt 1988; Hiller 1991; Ganong 2003). Estrogen steroid alami yang paling kuat di dalam tubuh manusia adalah estradiol- 17β (E 2 ), diikuti estron (E 1 ), dan estriol (E 3 ). Hormon yang paling dominan yaitu estradiol-17β karena jumlahnya paling banyak terdapat dalam tubuh dan aktivitasnya paling tinggi (Cao et al. 2004). Ketiganya adalah suatu steroid 18 karbon dengan sebuah cincin fenolat A, yaitu suatu cincin aromatik dengan sebuah gugus hidroksil melekat ke karbon 3. Keadaan ini menyebabkan steroidsteroid tersebut berikatan secara selektif dengan reseptor estrogen. Senyawa ini juga memiliki gugus β-hidroksil atau keton di posisi 17 cincin C yang berfungsi meningkatkan daya ikatnya (Marks et al. 2000). Efek yang disebabkan oleh hormon estrogen dinamakan efek estrogenik. Efek estrogenik meliputi pertumbuhan payudara, menjaga kesuburan rahim, menjaga kehalusan kulit, mencegah osteoporosis, dan menjaga kolesterol dalam tubuh (Cao et al. 2004). Gambar 1 menunjukkan struktur kimia estrogen. Potensi estradiol-17β 12 kali lebih besar dari estron, dan 80 kali lebih besar dari estriol. Hormon steroid seperti estrogen dan progesteron adalah molekul kecil yang bersifat hidrofobik sehingga dapat berdifusi ke dalam sel. Pada target sel, estrogen dan progesteron akan mengikat protein reseptor yang ada dalam sitoplasma atau inti (Pineda 1983).

20 7 Gambar 1 Struktur kimia estrogen (Cao et al. 2004). Estrogen bekerja pada uterus untuk meningkatkan massa endometrium dan miometrium serta meningkatkan amplitudo dan frekuensi kontraksi oleh efek oksitosin dan prostaglandin. Estrogen terdapat di berbagai jaringan tubuh hewan seperti ovarium, testis, adrenal, plasenta, dan sedikit banyak ditemukan di spermatozoa (Turner dan Bagnara 1988). Estrogen berfungsi meningkatkan proliferasi dan pertumbuhan sel-sel spesifik pada tubuh dan bertanggung jawab terhadap perkembangan sebagian besar sifat seksual sekunder betina (Guyton 1995). Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel teka interna dari folikel, korpus luteum, plasenta, dan dalam jumlah sedikit oleh korteks adrenal dan testis. Konsentrasi estrogen menjelang ovulasi mencapai kadar tertinggi dalam tubuh dan berfungsi menekan produksi FSH dan LH sehingga terjadi ovulasi (Hunter 1995) Progesteron Progesteron merupakan steroid berkarbon 21 yang memiliki struktur dasar inti pregnan dengan rumusan empat lingkaran (Turner dan Bagnara 1988). Gambar 2 menunjukkan struktur kimia progesteron. Gambar 2 Struktur kimia progesteron (Sarah 1998).

21 8 Progesteron pada betina disintesis oleh sel teka folikel yang sedang berkembang dan kemudian oleh korpus luteum sebagai respon terhadap stimulasi oleh LH dan FSH (Corwin 2009). Progesteron disekresi oleh sel lutein korpus luteum, plasenta, dan dalam jumlah sedikit telah diisolasi dari testis dan kelenjar adrenal. Hormon progesteron diperlukan untuk pertumbuhan sel-sel endometrium yang pada akhirnya diperlukan untuk makanan fetus. Progesteron mendukung perkembangan ovum sebelum implantasi, karena secara khusus meningkatkan sekresi tuba fallopii dan uterus untuk memberikan zat-zat gizi yang sesuai bagi morula dan blastokista yang sedang berkembang serta mempengaruhi pembelahan sel pada embrio yang baru berkembang. Pada proses kebuntingan progesteron juga berpengaruh pada susunan saraf pusat guna menekan sintesis estrogen sehingga konsentrasinya dalam darah ditekan (Guyton 1995). 2.3 Tikus Putih (Rattus sp.) Karakteristik Umum Tikus Putih (Rattus sp.) Tikus digolongkan ke dalam ordo Rodentia (hewan pengerat), famili Muridae dari kelompok mamalia (hewan menyusui). Ordo Rodentia merupakan ordo dari kelas mamalia yang terbesar yaitu 40% dari 5000 spesies mamalia. Tikus memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang baik dengan lingkungannya, baik saat cuaca dingin maupun panas. Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Myers dan Armitage (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Sciurognathi Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus

22 9 Tiga galur atau varietas tikus yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur Sprague-Dawley yang memiliki kepala kecil, berwarna albino putih dan ekornya lebih panjang dari badannya. Galur Wistar memiliki telinga yang panjang, kepala yang lebar, dan ekor yang tidak sama panjang seperti tubuhnya. Galur Long Evans yang lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989). Menurut Inglis (1980), galur yang sering digunakan untuk penelitian yaitu Spraque- Dawley, Wistar, dan Long-Evans. Galur Spraque-Dawley berasal dari Spraque- Daley, Madison, Wisconsin (Gambar 3). Galur Wistar berasal dari Institut Wistar di Pennysylvania. Galur Long-Evans berukuran lebih kecil dibandingkan galur Spraque-Dawley dan Wistar. Gambar 3 Rattus norvegicus (Abimosaurus 2010). Tikus yang sering digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium yaitu tikus putih (Rattus norvegicus). Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan sebagai hewan percobaan atau hewan laboratorium karena telah diketahui sifat-sifatnya dan mudah dipelihara (Veterinary Library 1996). Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan pada berbagai macam penelitian karena tikus ini memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi, murah serta mudah untuk mendapatkannya (Ballenger 2000). Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kantung empedu. Menurut Ballenger (2002) warna umum dari Rattus norvegicus yaitu abu-abu kehitaman atau cokelat, dapat juga berwarna abu-abu

23 10 pucat atau abu-abu putih, namun tikus yang digunakan sebagai hewan percobaan merupakan starin albino dari Rattus norvegicus. Tabel 1 menunjukkan data biologis dari tikus putih Rattus norvegicus. Tabel 1 Data Biologis Tikus Putih Kriteria Keterangan Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun Lama produksi ekonomis 1 tahun Lama bunting hari Umur disapih 21 hari Umur dewasa hari Umur dikawinkan 10 minggu (jantan dan betina) Siklus estrus 4-5 hari Lama estrus 9-20 jam Perkawinan Pada waktu estrus Berat lahir 5-6 gram Jumlah anak Rata-rata 9, dan dapat 20 Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo (1987) Sistem Reproduksi Tikus Putih (Rattus sp.) Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur hari, vagina mulai terbuka pada umur hari dan testis turun pada umur hari. Anak-anak tikus yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus mulai dikawinkan pada umur hari yaitu pada saat betina mencapai 250 gram bobot badan dan jantan 300 gram. Umur perkawinan pertama tersebut tergantung dari galur tikus dan tingkat pertumbuhannya. Siklus estrus berlangsung 4-5 hari dengan estrus selama 12 jam setiap siklus dan seperti halnya pada mencit, estrus mulai pada malam hari (Malole dan Pramono 1989). Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium sebelum dan sesudah permulaan siklus reproduksi. Hewan betina harus menghasilkan ovum yang hidup dan diovulasikan pada waktu yang tepat. Ia harus memperlihatkan estrus dekat waktu ovulasi sehingga kemungkinan penyatuan sel kelamin jantan dengan sel telur dan pembuahan dapat dipertinggi. Ia harus menyediakan lingkungan intrauterin yang sesuai untuk konseptus sejak pembuahan sampai partus, demikian pula lingkungan yang baik untuk anaknya sejak lahir sampai waktu disapih (Toelihere 1985).

24 11 Tikus merupakan hewan poliestrus yaitu hewan yang memiliki siklus berahi lebih dari dua kali dalam satu tahun. Siklus estrus dipengaruhi dan diatur oleh hormon-hormon khusus dalam tubuh dan berlangsung selama 4-6 hari, siklus pertama timbul setelah 1-2 hari dari mulainya pembukaan vagina yang terjadi pada umur hari. Siklus estrus terbagi atas empat periode, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Malole dan Pramono 1989; Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Periode proestrus berlangsung selama 12 jam, secara mikroskopis terlihat sel epitel berinti dari ulasan vagina yang dilakukan (Hafez 2000). Periode estrus merupakan periode berahi, dan kopulasi dimungkinkan hanya pada saat ini. Setiap siklusnya berlangsung selama 12 jam (Malole dan Pramono 1989). Periode metestrus berlangsung selama jam, pada umumnya tidak terjadi perkawinan. Pada ovarium terbentuk korpus hemorhagi di tempat folikel de Graaf yang baru melepaskan ovum. Periode diestrus berlangsung selama jam. pada masa tersebut terjadi regresi fungsional korpus luteum. Mukosa vagina tipis dan leukosit bermigrasi melintasinya. Apabila terjadi kebuntingan, siklus akan terganggu selama masa kebuntingan. Hewan menjadi estrus pada akhir kebuntingan namun siklusnya sekali lagi tertunda sampai akhir laktasi (Turner dan Bagnara 1988). Tikus mempunyai uterus yang berbentuk dupleks, dengan dua serviks, tanpa badan uterus, dan pemisahan tanduk secara sempurna. Seluruh organ tersebut melekat pada dinding pinggul dan dinding perut dengan perantaraan ligamentum uterus yang lebar, yaitu ligamentum lata uteri. Ligamentum ini membantu uterus untuk dapat menerima suplai darah dan saraf. Lapisan luar ligamentum lata uteri membentuk ligamentum uterus yang melingkar (Nalbandov 1990). Gambar 4 menunjukkan uterus tikus putih yang sedang bunting.

25 12 Gambar 4 Uterus tikus putih (Needham et al. 2011). 2.4 Purwoceng Purwoceng adalah tanaman herba komersial yang dapat digunakan sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik (Gambar 5). Dewasa ini populasi purwoceng sudah langka karena mengalami erosi genetik secara besar-besaran, populasinya di Gunung Pangrango Jawa Barat dan area pegunungan di Jawa Timur dilaporkan sudah musnah karena pembabatan bagian akarnya yang dimanfaatkan sebagai viagra Jawa (Darwati dan Roostika 2006). Gambar 5 Purwoceng (Darwati dan Roostika 2006). Pada awalnya tanaman purwoceng di Indonesia hanya dijumpai di daerah pegunungan Dieng sebagai tanaman liar jenis perdu. Meskipun tergolong jenis perdu, purwoceng merupakan tanaman yang tergolong langka karena selain

26 13 tempat tumbuhnya di ketinggian meter di atas permukaan laut, pertumbuhan purwoceng membutuhkan faktor-faktor lingkungan yang spesifik (Fauzi et al. 2009). Hingga saat ini tidak banyak laporan penelitian tentang purwoceng. Beberapa aspek yang sudah dilaporkan adalah aspek agronomi, kultur in vitro, fitokimia, dan farmakologi (Darwati dan Roostika 2006). Tabel 2 menunjukkan deskripsi dari purwoceng. Tabel 2 Deskripsi purwoceng Deskripsi Habitus Semak, menutup tanah, tinggi ± 25 cm Batang Semu, bulat, lunak, hijau pucat Daun Majemuk, bentuk jantung, panjang + 3 cm, lebar ± 2,5 cm, tepi bergerigi, ujung tumpul, pangkal bertoreh, tangkai panjang ± 5cm, coklat kehijauan, pertulangan menyirip, hijau Bunga Majemuk, bentuk payung, tangkai silindris, panjang + 2 cm, kelopak bentuk tabung, hijau, benang sari putih. putik bulat. hijau, mahkota berambut, coklat Buah Lonjong, kecil, hijau Biji Lonjong, kecil, coklat Akar Tunggang, putih kotor Sumber: Rahardjo (2003); Yuhono (2004) Seluruh bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional terutama akar. Akar purwoceng berkhasiat sebagai afrosidiak, yakni dapat membangkitkan hormon seksual dan mengandung senyawa diuretik yang mampu melancarkan air seni. Di samping itu, tanaman ini berkhasiat melancarkan peredaran darah, menambah stamina, menghangatkan, dan menyehatkan tubuh (Gunawan 2002) Fitokimia Penelitian yang mempelajari fitokimia purwoceng sudah cukup banyak. Suzery et al. (2004) menunjukkan adanya senyawa stigmasterol dalam akar purwoceng berdasarkan data spektroskopi. Hernani dan Rostiana (2004) melaporkan pula adanya senyawa kimia yang teridentifikasi secara kualitatif, yaitu bergapten, marmesin, 4- hidroksi kumarin, umbeliferon, dan psoralen. Tabel 3 menunjukkan kandungan aktif purwoceng.

27 14 Tabel 3 Kandungan aktif purwoceng Senyawa aktif (-)-Limonena, terkandung dalam seluruh tanaman Anisketone, terkandung dalam buah Asam kafeat, terkandung dalam seluruh tanaman Dianethole, terkandung dalam seluruh tanaman Hydroquinone, terkandung dalam seluruh tanaman Efek Menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans penyebab keputihan, merangsang peristaltic Merangsang dan menambah semangat, pereda lelah Merangsang semangat, merangsang aktivitas saraf pusat, merangsang keluarnya prostaglandin, menghambat keluarnya histamin Merangsang hormon estrogen Merangsang ereksi, mengurangi sekresi cairan pada liang vagina, anti pendarahan di luar haid, merangsang semangat, menaikkan tekanan darah Isoorientin, terkandung dalam seluruh tanaman Phlellandrene, terkandung dalam seluruh tanaman Squalene, terkandung dalam seluruh tanaman Stigmasterol, terkandung dalam seluruh tanaman Sumber: Gunawan (2002) Menambah produksi sperma Memacu ereksi, bahan pengharum dan pewangi Merangsang semangat, melancarkan transfer oksigen dalam darah Merangsang hormon estrogen, merangsang terjadinya proses ovulasi, bahan baku pembuatan hormon steroid Pemberian ekstrak akar purwoceng tidak mempengaruhi lamanya daur birahi tikus. Profil hormon Estradiol-17β plasma tikus-tikus betina selama daur birahi, setelah diberi ekstrak akar purwoceng selama 15 hari memperlihatkan peningkatan kadar Estradiol dibandingkan dengan normal. Selain itu, ekstrak akar purwoceng dengan dosis 80 mg bubuk akar per tikus, selama 15 hari mengurangi fertilitas tikus-tikus betina (Caropeboka 1983). Hasil uji fitokimia akar purwoceng yang dipakai pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng Jenis Contoh Uji Fitokimia Hasil Pengujian Akar purwoceng Alkaloid +++ Saponin - Tanin + Fenolik - Flavonoid +++ Triterfenoid + Steroid + Glikosida + Sumber: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011).

28 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2010 sampai dengan bulan Maret 2011 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pengamatan dan pengukuran terhadap organ reproduksi betina dilakukan di laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley yang berjumlah 10 ekor tikus betina bunting dan 5 ekor tikus jantan. Bahan yang digunakan antara lain sekam, pakan tikus, larutan fisiologis NaCl 0.9%, etanol 70%, kain saring, eter, akuades, ekstrak akar purwoceng. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kandang tikus yang terbuat dari plastik, jaring-jaring kawat penutup kandang, botol minum tikus, alat bedah minor, Erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, kain saring, gelas objek, gelas penutup, mikroskop, kamera digital, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spoit 1 ml, sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, cotton swab, tisu, kapas, kertas label, dan timbangan analitis digital. 3.3 Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng Akar purwoceng dikeringkan melalui penjemuran dengan sinar matahari. Suhu saat penjemuran tidak boleh melebihi 50 C. Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipis-tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga di dapat bentuk serbuk (simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi sebanyak 350 gram direndam dalam 3.5 liter etanol 70% sebagai zat pelarut selama 24 jam, setiap 2 jam sekali diaduk agar

29 16 homogen. Kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Hasil ekstrak disimpan di dalam Erlenmeyer sedangkan ampasnya direndam kembali dalam 3.5 liter etanol 70% selama 24 jam dan diaduk setiap 2 jam sekali. Setelah itu larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama di dalam Erlenmeyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan menggunakan rotari evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48 C dengan kecepatan 60 rotasi per menit (rpm). Selanjutnya ekstrak kering diperoleh dengan menggunakan alat pengering beku (freeze drying). Ekstrak kering disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram simplisia adalah sejumlah 95 gram. Ekstrak ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100 ml akuades Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng Penentuan dosis ekstrak purwoceng pada tikus didasarkan pada penelitian terdahulu (Taufiqurrahman 1999) yaitu sebesar 25 mg/ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram atau mg/kg bobot badan. Pada penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml sehingga jumlah ekstrak purwoceng yang diberikan pada tikus yaitu 0.5 ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram Persiapan Hewan Penelitian Tikus percobaan dibiarkan hidup di dalam kandang selama satu minggu agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kandang. Tikus bunting diperoleh dari hasil perkawinan alamiah dengan mengawinkan dua tikus betina dan satu tikus jantan dalam satu kandang. Tikus bunting dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok A (kontrol) dan kelompok B (perlakuan). Tikus betina tersebut diberi tanda dengan spidol pada bagian ekor agar tidak keliru, tanpa tanda untuk kelompok A dan diberi tanda untuk kelompok B. Uji kebuntingan dilakukan pada pagi hari dengan cara ulas vagina tikus betina dan diamati di bawah mikroskop. Perkawinan ditandai dengan adanya spermatozoa pada ulas vagina dan biasanya tercatat sebagai hari pertama kebuntingan. Tikus yang

30 17 bunting harus dipisahkan dari jantan dan diletakkan pada satu kandang. Tikus yang tidak bunting dikembalikan ke kandang untuk dikawinkan kembali. Tikus yang bunting dipelihara di dalam kandang hewan individu yang terbuat dari plastik berukuran 30 cm 20 cm 12 cm serta dilengkapi dengan kawat penutup pada bagian atas. Pemberian pakan dan minum dilakukan ad libitum. Pakan yang diberikan yaitu pellet dan air minum diberikan dengan memasukkan ke dalam botol-botol kecil dan dijepitkan pada jaring-jaring kawat. Botol-botol berisi air tersebut dibuat lubang pada tutupnya agar air tersebut bisa diminum tikus. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan setiap satu minggu sekali Perlakuan Hewan Sepuluh ekor tikus betina bunting yang diperoleh dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: A: lima ekor tikus bunting yang tidak diberi perlakuan (kontrol) B: lima ekor tikus bunting yang diberi perlakuan, yaitu diberi ekstrak purwoceng peroral dengan dosis 0.5 ml/300 gram bobot badan tikus selama 13 hari kebuntingan dimulai sejak hari ke-1 kebuntingan. Seluruh tikus pada tiap kelompok tersebut dinekropsi pada hari ke-13 kebuntingan untuk melihat adanya perubahan makroanatomi dari alat reproduksi. Selanjutnya ovarium dan uterus diambil dan ditimbang bobotnya.

31 Bagan Penelitian Tikus jantan dewasa kelamin Tikus betina dewasa kelamin Tikus betina Kontrol (tidak diberi perlakuan) Diberi purwoceng pada kebuntingan 1-13 hari (perlakuan) Nekropsi pada hari ke-13 kebuntingan Pengamatan: Bobot ovarium, bobot uterus 3.4 Analisis Data Parameter yang diamati adalah bobot ovarium dan bobot uterus selama 13 hari kebuntingan. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji statistik menggunakan metode analysis of variance (ANOVA) untuk melihat adanya pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng selama kebuntingan 1-13 hari pada tikus putih (Steel dan Torrie 1993).

32 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 1-13 hari terhadap rata-rata bobot ovarium dan bobot uterus tikus putih dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih No. Bobot ovarium (gram) Bobot uterus (gram) K P K P Rata-rata 0.081± ± ± ,074 ± Keterangan: K = Kontrol P = Perlakuan Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 13 hari kebuntingan pada tikus putih yang sedang bunting menunjukkan bahwa rata-rata bobot ovarium dan uterus cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol meskipun setelah dianalisis secara statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Hasil yang tidak signifikan antara kontrol dan perlakuan ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang terlalu sedikit. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Caropeboka (1980) yang menyatakan bahwa ekstrak akar purwoceng memiliki aktivitas androgenik. Hasil penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian Taufiqqurrachman (1999) yang melaporkan bahwa ekstrak akar purwoceng sebanyak 25 mg mampu meningkatkan kadar Luteinizing Hormone (LH) sebesar 4.5% dan kadar testosteron sampai 85.5% dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian ekstrak) pada tikus Sprague-Dawley. Sebaliknya, ketika tikus betina tanpa indung telur disuntik dengan ekstrak akar purwoceng dalam minyak zaitun pada dosis yang sama, maka tampak adanya peningkatan yang sangat nyata pada bobot rahim.

33 20 Fakta tersebut juga memberi petunjuk adanya aktivitas estrogenik dari ekstrak akar purwoceng. Istilah androgen digunakan secara kolektif untuk senyawa-senyawa yang kerja biologiknya sama dengan testosteron. Fungsi utama androgen adalah merangsang perkembangan, aktivitas organ-organ reproduksi, dan sifat-sifat seks sekunder, sedang kerja kombinasinya disebut kerja androgenik. Androgen utama pada jantan adalah testosteron yang disekresikan oleh sel leydig akibat adanya perangsangan LH (Hafez 2000). LH merupakan hormon yang diproduksi hipofisis anterior dan berperan merangsang sel-sel dalam testis untuk memproduksi testosteron. Jumlah sel leydig sangat banyak pada individu baru lahir dan pada masa pubertas. Kebanyakan testosteron yang terfiksasi pada sel target berada dalam bentuk aktif, yaitu dehidrotestosteron. Testosteron adalah prekursor dari dua kelas steroid, yaitu reduksi 5α-androgen dan estrogen. Efek total yang ditimbulkannya adalah hasil penjumlahan dari pengaruh metabolit reduksi 5α-dihidrotestosteron dan turunan estrogennya, yaitu estradiol (Kee dan Hayes 1994). Purwoceng pada jantan dapat meningkatkan kadar LH dan testosteron (Taufiqqurrahman 1999). Pada hewan betina proses pembentukan testosteron melibatkan dua sel, yaitu sel teka dan sel granulosa. Sel granulosa akan berkembang di bawah pengaruh FSH dan sel teka akan berkembang di bawah pengaruh LH. Sel teka yang berkembang ini mensintesis androgen yaitu testosteron dari asetat dan kolesterol, sedangkan sel granulosa tidak mensintesis testosteron tetapi mendapatkan asupan testosteron dari sel teka yang pada akhirnya testosteron ini akan diaromatisasi oleh enzim aromatase yang ada pada sel granulosa menjadi estrogen (Johnson dan Everitt 1984). Metabolisme testosteron pada betina mempunyai jalan yang berbeda dengan jantan. Oleh karena itu ketika terjadi pemberian purwoceng yang sudah dibuktikan dapat meningkatkan testosteron, yang terjadi adalah kemungkinan meningkatnya estradiol. Pengaruh ekstrak etanol purwoceng terhadap bobot ovarium Bobot ovarium tikus putih perlakuan yang cenderung lebih besar dibandingkan tikus putih kontrol diduga karena kadar estrogen yang meningkat

34 21 akibat pemberian purwoceng. Ovarium merupakan organ primer reproduksi betina yang dapat menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan ovum yang dapat dilepaskan dari kelenjar (Frandson 1986). Hormon yang disintesis dalam ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah yaitu hormon estrogen (Guyton 1995). Achmadi (2011) menyatakan bahwa periode estrus pada tikus yang dicekok ekstrak purwoceng lebih panjang dibandingkan dengan tikus kontrol. Periode proestrus dan estrus merupakan periode siklus birahi yang terjadi saat fase folikular, yaitu fase pertumbuhan folikel yang sedang berkembang. Fase folikular atau proliferatif disebut juga fase estrogen. Folikel yang sedang berkembang ini akan memproduksi estrogen sehingga semakin besar folikel yang terbentuk maka semakin tinggi kadar estrogennya. Menurut Hiller (1991) dan Ganong (2003) sintesis hormon estrogen akan meningkat seiring dengan perkembangan folikel dalam ovarium. Pada penelitian ini, pemberian purwoceng dilakukan ketika hewan sudah bunting. Tujuan pemberian pada saat bunting ini adalah tidak terhadap proliferasi folikel lagi tetapi menambah hormon estrogen dari luar dengan asumsi bahwa purwoceng mengandung bahan aktif yang mirip atau memiliki efek seperti estrogen. Estrogen yang dihasilkan diduga dan diharapkan membantu peningkatan endogenous estrogen dalam folikel untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus. Pengaruh ekstrak etanol purwoceng terhadap bobot uterus Tikus yang dicekok purwoceng cenderung memiliki bobot uterus yang lebih besar dibandingkan tikus kontrol. Seiring dengan peningkatan bobot ovarium pada tikus yang dicekok purwoceng yang diduga akan mengalami peningkatan kadar estrogen maka akan berdampak pada peningkatan bobot uterus. Estrogen merupakan hormon yang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan dan aktivitas endometrium serta mempersiapkan kerja progesteron pada endometrium (Johnson dan Everitt 1984). Adanya akumulasi cairan dan pertumbuhan endometrium ini mengakibatkan bobot ovarium dan uterus tikus putih mengalami peningkatan.

35 22 Gambar 6 Uterus tikus putih pada hari ke-13 kebuntingan. Uterus merupakan salah satu organ reproduksi betina yang berfungsi sebagai penerima dan tempat perkembangan ovum yang telah dibuahi. Uterus pada tikus berupa tabung ganda yang disebut tipe dupleks (Partodihardjo 1980). Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu lapisan endometrium, miometrium dan perimetrium (Burkitt et al. 1999). Lapisan endometrium merupakan lapisan yang responsif terhadap perubahan hormon reproduksi, sehingga perubahan lapisan ini bervariasi sepanjang siklus estrus dan dapat dijadikan indikator terjadinya fluktuasi hormon yang sedang terjadi pada hewan tersebut (Johnson dan Everitt 1988; Dellman dan Brown 1992). Estrogen mempunyai dua macam reseptor, yaitu reseptor REα dan REβ. REα dan REβ banyak terdapat dalam jaringan reproduksi wanita diantaranya pada ovarium, endometrium, dan payudara (Ganong 2003). Uterus diketahui lebih banyak mengandung reseptor alfa (REα) daripada beta (REβ). Pemberian estrogen juga akan meningkatkan konsentrasi reseptor estrogen REα pada organ reproduksi (Kusmana et al. 2007). Reseptor estrogen dikendalikan oleh gen pada kromosom (Ganong 2003). Aktivitas estrogen di dalam sel dimulai setelah terjadi ikatan estrogen dengan reseptor di dalam sitosol. Kompleks estrogen dan reseptor selanjutnya berdifusi ke dalam inti sel dan melekat pada DNA. Ikatan kompleks

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organ Reproduksi Betina 2.1.1 Ovarium Organ reproduksi betina terdiri atas dua buah ovari, dua buah tuba falopii, uterus, serviks, vagina, dan vulva. Ovarium bertanggung jawab

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 1-13 hari terhadap rata-rata bobot ovarium dan bobot uterus tikus putih dapat dilihat

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Bobot Tubuh Ikan Lele Hasil penimbangan rata-rata bobot tubuh ikan lele yang diberi perlakuan ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina molk.) pada pakan sebanyak 0;

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.)

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Tikus Putih (Rattus sp.) Tikus putih atau rat (Rattus sp.) sering digunakan sebagai hewan percobaan atau hewan laboratorium karena telah diketahui sifat-sifatnya dan mudah dipelihara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai dengan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Pengobatan tradisional terus dikembangkan dan dipelihara sebagai warisan budaya bangsa yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Ekstrak Metanol Buah Adas terhadap Lama Siklus Siklus estrus terdiri dari proestrus (12 jam), estrus (12 jam), metestrus (12 jam), dan diestrus (57 jam), yang secara total

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Tanaman Purwoceng Purwoceng (Pimpinella alpina Kds) merupakan tanaman obat.seluruh bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional, terutama akar.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap ketebalan lapisan endometrium dan kadar hemoglobin tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kacang kedelai hitam (Glycine soja) terhadap jumlah kelenjar dan ketebalan lapisan endometrium

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus BAB IV HASIL PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap pertambahan bobot badan tikus betina bunting pada umur kebuntingan 0-13 hari dapat dilihat pada Tabel 2.

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Estrogen adalah salah satu hormon yang berperan dalam reproduksi hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting adalah estradiol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family Menispermaceae yang mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat digunakan untuk mengobati

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berat badan dewasa : - jantan - betina g. Konsumsi air minum tikus dewasa

TINJAUAN PUSTAKA. Berat badan dewasa : - jantan - betina g. Konsumsi air minum tikus dewasa 19 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Umum Tikus Tikus digolongkan ke dalam kelas Mamalia, bangsa Rodentia, suku Muridae dan marga Rattus (Meehan 1984). Tikus merupakan hewan mamalia yang mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut : BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap jumlah kelenjar endometrium, jumlah eritrosit dan lekosit tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tradisional maupun pasar modern. Kacang kedelai hitam juga memiliki kandungan

BAB I PENDAHULUAN. tradisional maupun pasar modern. Kacang kedelai hitam juga memiliki kandungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan di era modern ini semakin beragam bahan yang digunakan, tidak terkecuali bahan yang digunakan adalah biji-bijian. Salah satu jenis biji yang sering digunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infertilitas didefinisikan sebagai kegagalan terjadinya pembuahan selama 12 bulan hubungan seksual yang aktif (Nieschlag et al, 2010). Infertilitas ditemukan pada 15%

Lebih terperinci

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; Fisiologi Reproduksi & Hormonal Wanita Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; 1. Hormon yang dikeluarkan hipothalamus, Hormon pelepas- gonadotropin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 13-21 HARI KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT ORGAN REPRODUKSI DAN ANAK TIKUS PUTIH (Rattus sp.) META LEVI KURNIA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus reproduksi adalah perubahan siklus yang terjadi pada sistem reproduksi (ovarium, oviduk, uterus dan vagina) hewan betina dewasa yang tidak hamil, yang memperlihatkan

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Berbagai cara

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Berbagai cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia. Dalam rangka memenuhi kebutuhan sehat tersebut, masyarakat berusaha melakukan upaya kesehatan yang meliputi pencegahan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa

BAB I PENDAHULUAN. oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia memiliki fase kehidupan sejak lahir di dunia yang akan dilalui oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa hingga sebelum kematiannya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga sekitar spesies

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga sekitar spesies BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia dikenal sebagai megabiodiversity country, yaitu Negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang besar. Di hutan tropis Indonesia terdapat sekitar 30.000 tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Menstruasi Remaja Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang utuh dari hipotalamus-hipofise-ovarium. Struktur alat reproduksi, status nutrisi,

Lebih terperinci

HORMON REPRODUKSI JANTAN

HORMON REPRODUKSI JANTAN HORMON REPRODUKSI JANTAN TIU : 1 Memahami hormon reproduksi ternak jantan TIK : 1 Mengenal beberapa hormon yang terlibat langsung dalam proses reproduksi, mekanisme umpan baliknya dan efek kerjanya dalam

Lebih terperinci

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008.

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008. BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia dan Farmakologi Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008. B. BAHAN DAN ALAT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 34 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan Desember 2007. Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat yaitu : pembuatan tepung kedelai dan

Lebih terperinci

KAJIAN ANDROGENIK EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) TERHADAP KINERJA REPRODUKSI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) BETINA DARA

KAJIAN ANDROGENIK EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) TERHADAP KINERJA REPRODUKSI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) BETINA DARA KAJIAN ANDROGENIK EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) TERHADAP KINERJA REPRODUKSI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) BETINA DARA PUDJI ACHMADI B. 151070031 / IFO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental (experimental research) yaitu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan 19 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010 di Kandang Unit Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.)

BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.) BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN 4.. Analisis Data 4... Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.) Gambar 4.. Makroskopis daun saga (Abrus precatorius L.) Tabel 4.. Hasil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Oosit Pada Stadia Folikel Primer Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit pada stadia folikel primer dapat dilihat pada gambar 10.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4.1 Luas Ovarium BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam terhadap organ reproduksi betina diawali dengan pengamatan patologi anatomi (PA) dari ovarium dan uterus. Pengamatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, sanitasi dan lingkungan (Shah et al.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, sanitasi dan lingkungan (Shah et al. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Jumlah penduduk merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh setiap negara, karena membawa konsekuensi di segala aspek antara lain pekerjaan,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin)

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) MEETHA RAMADHANITA PARDEDE SKRIPSI DEPARTEMEN ANATOMI,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN DAFTARISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMP

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat 8 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Non Ruminansia (BPBTNR) Provinsi Jawa Tengah di Kota Surakarta.

Lebih terperinci

OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN

OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 1 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengamati preparat uterus di mikroskopdengan menghitung seluruh

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengamati preparat uterus di mikroskopdengan menghitung seluruh BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah kelenjar endometrium Pengamatan jumlah kelenjar endometrium dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Dalam penelitian eksperimen terdapat kontrol sebagai acuan antara keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan rumah tangga, hubungan seksual merupakan unsur penting yang dapat meningkatkan hubungan dan kualitas hidup. Pada laki-laki, fungsi seksual normal terdiri

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II VAGINAL SMEAR Oleh : Nama : Nur Amalah NIM : B1J011135 Rombongan : IV Kelompok : 2 Asisten : Andri Prajaka Santo LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Kambing Pada mulanya domestikasi kambing terjadi di daerah pegunungan Asia Barat sekitar 8000-7000 SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) berasal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua. Menopause yang dikenal sebagai masa berakhirnya menstruasi atau haid, sering menjadi ketakutan

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 1. Perhatikan gambar berikut! Bagian yang disebut dengan oviduct ditunjukkan oleh huruf... A B C D Bagian yang ditunjukkan oleh gambar

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 34 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. HASIL Dalam penelitian ini sampel diambil dari Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) UGM untuk mendapatkan perawatan hewan percobaan yang sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan fase luteal yang terdiri dari metestrus-diestrus (Toelihere, 1979).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan fase luteal yang terdiri dari metestrus-diestrus (Toelihere, 1979). 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Estrus Siklus estrus umumnya terdiri dari empat fase, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Namun ada juga yang membagi siklus estrus hanya menjadi dua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) di Peternakan rakyat masih sekedar menyilangkan sapi lokal (terutama induk sapi PO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan seksual sangat memengaruhi kualitas hidup seseorang dalam kaitannya untuk memperoleh keturunan. Bila kehidupan seksual terganggu, kualitas hidup juga terganggu,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Kelautan untuk membuat ekstrak daun sirih, Laboratorium Fisiologi Hewan Air (FHA) untuk

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik Bobot Badan Tikus Ekstrak rumput kebar yang diberikan pada tikus dapat meningkatkan bobot badan. Pertambahan bobot badan tikus normal yang diberi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil

Lebih terperinci

kontrasepsi untuk kaum pria supaya kaum pria memiliki alternatif penggunaan alat kontrasepsi sesuai dengan pilihannya. Berdasarkan fakta di atas,

kontrasepsi untuk kaum pria supaya kaum pria memiliki alternatif penggunaan alat kontrasepsi sesuai dengan pilihannya. Berdasarkan fakta di atas, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Populasi penduduk semakin meningkat sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Badan Pusat Statistik, bahwa kenaikan jumlah penduduk Indonesia dari tahun 2000

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditunjukkan oleh adanya keinginan untuk. untuk mengembangkan budidaya dan produksi tanaman obat (Supriadi dkk,

BAB I PENDAHULUAN. yang ditunjukkan oleh adanya keinginan untuk. untuk mengembangkan budidaya dan produksi tanaman obat (Supriadi dkk, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Data menunjukkan bahwa sekitar 80 % penduduk dunia memanfaatkan obat tradisional yang bahan bakunya berasal dari tumbuhan. Hal ini timbul sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok, BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan dan Desain Penelitian Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian eksperimen, rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati di Indonesia dikenal sangat tinggi baik untuk flora

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati di Indonesia dikenal sangat tinggi baik untuk flora BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati di Indonesia dikenal sangat tinggi baik untuk flora maupun fauna. Beragam jenis tumbuhan atau tanaman telah lama diketahui dapat digunakan sebagai

Lebih terperinci

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. Sasaran Pembelajaran Mahasiswa dapat menjelaskan sistem reproduksi dan laktasi Materi Kontrol gonad dan perkembangan

Lebih terperinci

LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan

LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan Lampiran 2. Tumbuhan pepaya jantan a. Tumbuhan pepaya jantan b. Bunga pepaya jantan c. Simplisia bunga pepaya jantan Lampiran 3. Perhitungan hasil pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan desain posttest only control group design. perlakuan yang akan diberikan, yaitu 6 kelompok.

BAB III METODE PENELITIAN. dengan desain posttest only control group design. perlakuan yang akan diberikan, yaitu 6 kelompok. 17 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental pada hewan uji dengan desain posttest only control group design. B. Subyek Penelitian Subyek penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Wijen (Sesamum indicum L) 1. Sistematika Tanaman Tanaman wijen mempunyai klasifikasi tanaman sebagai berikut : Philum : Spermatophyta Divisi : Angiospermae Sub-divisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba merupakan ruminansia kecil yang relatif mudah dibudidayakan oleh masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai pakan berupa

Lebih terperinci

UNIVERSITAS GUNADARMA

UNIVERSITAS GUNADARMA PENGARUH HORMON SEKSUAL TERHADAP WANITA Oleh : Rini Indryawati. SPsi UNIVERSITAS GUNADARMA November 2007 ABSTRAK Hormon adalah getah yang dihasilkan oleh suatu kelenjar dan langsung diedarkan oleh darah.

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh. MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN PLASENTA TIKUS (Rattus norvegicus) PADA UMUR KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin)

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN PLASENTA TIKUS (Rattus norvegicus) PADA UMUR KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN PLASENTA TIKUS (Rattus norvegicus) PADA UMUR KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) INTAN TOLISTIAWATY DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh kadar ekstrak daun Binahong (Anredera

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh kadar ekstrak daun Binahong (Anredera 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai pengaruh kadar ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Teen.) Steenis) dalam pengencer tris kuning telur tehadap kualitas semen kambing Peranakan Etawah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ulangan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi dan pembuatan ekstrak rimpang rumput teki (Cyperus

Lebih terperinci