V HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Komoditas`Sayuran di Jawa Timur

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Komoditas`Sayuran di Jawa Timur"

Transkripsi

1 88 V HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Komoditas`Sayuran di Jawa Timur Peran utama sub sektor hortikultura dalam pemberdayaan ekonomi dan sumberdaya domestik adalah penyediaan pangan dan gizi nasional serta penyedia bahan baku industri pengolahan. Komoditas hortikultura yang terdiri dari buahbuahan, sayuran tanaman hias dan obat merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan pasar internasional yang terus meningkat. Fokus pengembangan komoditas sayuran tidak hanya pada upaya peningkatan produksi, tetapi terkait dengan isu-isu strategis seperti mutu, daya saing dan akses pasar. Sesuai dengan arah kebijakan di tingkat pusat, berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan komoditas sayuran, perlu diatasi melalui pendekatan strategi yang dikenal sebagai 6 (enam) Pilar Pengembangan Tanaman Sayuran, yang dilakukan secara simultan dan terpadu dari tingkat pusat hingga daerah, yakni : (1) Pengembangan kawasan agribisnis tanaman sayuran; (2) Penataan rantai pasokan (Supply Chain Management) (SCM); (3) Penerapan budidaya tanaman yang baik (Good Agriculture Practices) (GAP) dan Standard Operational Prosedure (SOP); (4) Fasilitasi terpadu investasi sayuran; (5) Pengembangan kelembagaan usaha dan (6) Peningkatan konsumsi dan akselerasi ekspor (Ditjen Tanaman Hortikultura 2009). Keenam pilar tersebut dijabarkan dalam bentuk berbagai macam kegiatan utama maupun kegiatan pendukung untuk mencapai tujuan akhir yang berupa peningkatan pendapatan petani sayuran. Kegiatan tersebut dilakukan secara terpadu menjadi satu kesatuan yang saling terkait dan tergantung sehingga tidak dapat dipisahkan. Perkembangan komoditas tanaman sayuran di Jawa Timur yang disajikan dalam data realisasi luas tanam, luas panen, produksi dan produktifitas Tanaman Sayuran Tahun 2009, dapat dilihat pada Tabel 18. Secara umum angka produksi 4 (empat) komoditas sayuran unggulan pada tahun 2009 dibanding tahun 2008 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, masing-masing : bawang merah (34,10%), kentang (13,1%), kubis (10,31% dan 88

2 89 cabai (12,53%). Peningkatan produksi pada bawang merah dan kentang disebabkan oleh semakin meningkatnya kesadaran petani untuk menggunakan benih bermutu dengan potensi hasil yang lebih tinggi. Hal ini seiring dengan prioritas program perbenihan sayuran yang difokuskan pada upaya penyediaan benih bermutu bagi petani, melalui penataan tata alur produksi benih bawang merah dan kentang yang dilakukan dinas provinsi beserta unit pelaksana teknis. (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2009) Tabel 18 Realisasi luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas sayuran di Jawa Timur tahun 2009 Jenis Luas tanam (ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ku/ha) Bawang merah ,85 Bawang putih ,72 Bawang daun ,04 Kubis ,06 Kentang ,25 Petsai ,93 Wortel ,31 Kacang panjang ,88 Cabai besar ,32 Cabai rawit ,51 Tomat ,04 Terong ,73 Buncis ,01 Ketimun ,55 Kangkung ,69 Bayam ,49 Kembang kol ,97 Lobak ,96 Kacang merah ,11 Jamur ,47 Labu siam ,66 Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur (Data RKSP) Perkembangan Luas Tanam Sayuran di Jawa Timur Luas tanam tanaman sayuran di Jawa Timur dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi namun secara umum mengalami peningkatan. Data total luas tanam pada 16 (enam belas) komoditas sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 mengalami peningkatan sebesar 9,29 % (Data RKSP Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2009). Data tersebut dari empat komoditas dengan luas tanam terbesar adalah

3 90 kubis, cabai, kentang dan bawang merah. Untuk mengetahui perkembangan luas tanam empat jenis sayuran sampai dengan tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 13. Sedangkan data empat sayuran utama terluas meliputi bawang merah, cabai, kubis dan kentang mengalami perubahan luas tanam yang fluktuatif. Secara umum perubahan luas tanam empat komoditas sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 mengalami kenaikan'. Perubahan luas tanam empat komoditas dimaksud adalah sebagai berikut bawang merah 2,72 %, cabai 4,18 %, kubis 4,46 % dan kentang 9,88 %.. Luas Tanam (ha) Tahun B. Merah Kobis Kentang Cabai Gambar 13. Perkembangan luas tanam 4 (empat) sayuran utama di Jawa Timur tahun Berdasarkan Gambar 13 menggambarkan bahwa tanaman cabai memiliki luas tanam yang paling luas, pada tahun 2009 luas tanam mencapai ha dan puncaknya selama lima tahun ( ) adalah ha pada tahun Luas tanam tanaman sayuran urutan kedua adalah tanaman bawang merah dengan luas tanam pada tahun 2009 sebesar ha. Kentang dan kubis memiliki luas tanam yang lebih sempit jika dibandingkan tanaman cabai dan bawang merah dengan luas tanam ha dan ha pada tahun Perkembangan Produksi Empat Tanaman Sayuran Utama di Jawa Timur Secara umum angka produksi empat komoditas sayuran unggulan pada tahun 2009 dibanding tahun 2008 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, masing-masing : bawang merah (34,10%), kentang (13,1%), kubis (10,31% dan

4 91 cabai (12,53%). Sedangkan rata-rata peningkatan produksi per tahunnya sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 sebagai berikut bawang merah 6,36 %, kentang 9,68 %, kubis 7,46 % dan cabai 2,29 %. Peningkatan produksi bawang merah dan kentang disebabkan oleh semakin meningkatnya kesadaran petani untuk menggunakan benih bermutu. Hal ini seiring dengan prioritas program perbenihan sayuran yang difokuskan pada upaya penyediaan benih bermutu bagi petani, melalui penataan tata alur produksi benih bawang merah dan kentang yang dilakukan Dinas provinsi beserta Unit Pelaksana Teknis. (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2009) Produktifitas (kw/ha) Tahun B. Merah Kobis Kentang Cabai Gambar 14. Perkembangan produksi 4 (empat) sayuran utama di Jawa Timur tahun Gambar 14 menunjukkan bahwa dari keempat komoditas sayuran utama kentang dan kubis selama lima tahun menghasilkan produksi yang cenderung meningkat dan stabil. Stabilitas peningkatan produksi dua komoditas ini didukung oleh penambahan luas tanam dari tahun ke tahun secara perlahan Perkembangan Serangan OPT empat Tanaman Sayuran Utama Perlindungan tanaman merupakan bagian integral dari sistem produksi yang meliputi penanganan pra-produksi, tahap produksi dan pasca panen. Peranan perlindungan tanaman dalam penanganan proses produksi tersebut sangat menentukan keberhasilan program peningkatan produksi dan produktifitas serta pengamanan kualitas produk pertanian. Pada waktu sekarang dan masa yang akan datang, indikator keberhasilan mempertahankan tingkat produktifitas selain secara

5 92 kuantitatif juga harus mampu memperbaiki kualitas produksi yang sesuai dengan permintaan konsumen. Pada setiap tahapan sistem produksi tersebut, sering terjadi gangguan/kerusakan yang disebabkan oleh organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Serangan OPT pada tanaman sayuran di Jawa Timur dari tahun ke tahun ada kecenderungan mengalami peningkatan. Peningkatan serangan tidak hanya pada tataran luas serangan namun juga pada intensitas serangannya. Pada tahun 2009 ditemukan pada tanaman cabai dan bawang merah intensitas serangan hingga puso yang mencapai 4,38 ha (cabai) dan 1,80 ha (bawang merah). Data kumulatif luas dan intensitas serangan OPT dapat dilihat pada Gambar 15 dan Tabel 19.. Luas Serangan (ha) ,83 748,27 551,37 531, , , , , , , ,16 734,98 905,25 683,74 679,09 697,59 694,85 662,67 584,89 459, Tahun B. Merah Kubis Kentang Cabai Gambar 15. Luas kumulatif serangan OPT pada empat jenis tanaman sayuran di Jawa Timur tahun Gambar 15 menggambarkan bahwa serangan OPT pada empat tanaman sayuran utama sejak tahun 2005 sampai 2009 terus mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2008 pada pada komoditas cabai dan bawang merah. Pada tahun 2009, luas serangan total kompleks OPT cabai 1.844,95 ha, bawang merah 1.426,15 ha, kubis 697,59 ha, dan kentang 584,89 ha. Tingginya serangan ini disebabkan oleh kondisi musim, diketahui bahwa pada tahun 2009 memiliki musim penghujan yang lebih panjang. Kondisi inilah yang mendukung berkembangya OPT sayuran. Data serangan OPT Sayuran utama Jawa Timur tertera Gambar 14 dan Tabel 19.

6 93 Tabel 19 Kumulatif luas serangan kompleks OPT sayuran utama di Jawa Timur tahun 2009 Komoditas Kumulatif luas serangan Ringan Sedang Berat Puso Jumlah Cabai 1.294,08 344,48 202,01 4, ,95 Bawang merah 1.235,70 182,73 5,92 1, ,15 Kubis 510,28 160,56 26,75-697,59 Kentang 237,04 255,95 91,90-584,89 Jumlah 3.277,10 943,72 326,58 6, ,58 Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, 2009 Serangan OPT ini menyebabkan kerugian pada petani yang cukup besar bahkan pada tanaman cabai dan bawang merah tingkat serangannya mencapai puso. Pada tanaman cabai serangan terbesar disebabkan oleh kutu daun dengan rerata 251,396 ha, virus kuning 139,29 ha, layu fusarium 146,126 ha dan Colletotrichum 146,126 ha per tahunnya. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun persentase peningkatan terbesar terjadi pada virus kuning (195,83%), kemudian Collelotrichum (26,15%) dan kutu daun (25,15%). Peningkatan pada tahun 2009 ini hampir terjadi di seluruh sentra cabai terutama di Kabupaten Kediri yang salah satunya dipicu oleh panjangnya musim kemarau sampai dengan akhir Desember. Serangan OPT pada tanaman cabai ini disebabkan oleh 22 jenis organisme dan serangan terbesar oleh virus kuning.(dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, 2009). Data luas serangan OPT cabai selama tahun 2009 terhadap serangan luas serangan tahun 2008 dan rerata 5 (lima) tahun sebelumnya, tertera pada Tabel 20. Pada tanaman bawang merah terdapat serangan 10 jenis OPT dengan luas total serangan 1.426,15 ha yang terdiri dari serangan ringan 1.235,70 ha, sedang 182,73 ha dan puso 1,80 ha. Data yang berhasil dikumpulkan selama 5 (lima) tahun terakhir pada lima jenis OPT terdiri dari ulat bawang, penggorok daun, trips, Phytophthora dan Alternaria semuanya mengalami peningkatan serangan kecuali Alternaria, dengan persen peningkatan tertinggi pada trips (897,82%) dari 9,16 ha menjadi 91,4 ha. Data luas serangan OPT bawang merah tahun 2009 terhadap 2008 dan rerata 5 (lima) tahun tertera pada Tabel 20. Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa hama ulat bawang dan penyakit layu Phytophthora porri masih dominan dengan luas serangan 706,66 ha dan

7 94 192,25 ha. Hasil pengolahan data, diperoleh data selama 5 (lima) tahun sampai dengan tahun 2009 rerata sebesar 958,25 % per tahunnya. Tabel 20 Luas serangan OPT pada empat jenis tanaman sayuran di Jawa Timur selama tahun 2009 terhadap tahun 2008 dan rerata 5 (lima) tahun sebelumnya Jenis sayuran Organisme pengganggu tanaman Kumulatif luas serangan (ha) Persen (%) naik (+) turun (-) Rerata 5 Thn Rerata 5 Thn Cabai Lalat buah 129,96 100,11 117,03 16,90-9,95 Kutu daun 251,39 357,23 447,08 25,15 77,84 (Aphid sp.) Trips (Thrip 91,56 79,81 85,21 6,77-6,94 parvispinus) Virus 105,30 76,50 65,56-14,30-37,74 Collelotrichum 146,13 135,22 171,64 26,93 17,46 Virus kuning 139,29 187,16 553,67 195,83 297,49 Bercak daun 52,55 47,58 75,69 59,08 44,02 (Cercospora sp.) Layu fusarium 146,13 193,56 195,06 0,77 33,49 Jumlah kumulatif 316,36 415,67 Ulat bawang 581,69 513,08 706,66 37,73 21,48 Bawang Penggorok 90,94 94,94 126,62 33,37 39,23 merah daun (Lyriomyza chinensis) Trips 9,54 9,16 91,40 897,82 858,07 Phytophthora 113,37 93,80 192,25 104,96 69,58 Alternaria 103,87 100,46 73,35-26,99-29,38 Jumlah kumulatif 1.046,89 958,98 Kubis Ulat daun 431,37 447,95 402,27-10,20-6,75 (Plutella xylostella) Ulat krop 65,00 64,99 97,10 49,41 49,39 (Crocidolomia pavonana) Akar gada 153,19 164,01 126,50-22,87-17,42 Jumlah kumulatif 16,34 25,22 Kentang NSK 0,50 0,00 0,80 * 60,00 (Nematoda Sista Kuning) Penggorok 45,14 90,10 121,29 34,62 168,70 Daun Phytophthora 578,73 572,57 359,30-37,25-37,92 Jumlah kumulatif -2,83 190,78 Sumber : UPT BPTPH Provinsi Jawa Timur 2009

8 95 Pada komoditas kubis serangan OPT tersbesar oleh 3 (tiga) jenis yakni P. xylostella, ulat krop (C. pavonana) dan akar gada. dengan luas serangan 625,87 ha (tahun 2009) yang terdiri dari serangan ringan 497,72 ha, sedang 119,4 ha dan berat 8,75 ha. Menurut analisa perbandingan menggambarkan bahwa luas serangan ulat krop tahun 2009 masih di atas tahun 2008 (49,41 %), sementara Plutella dan akar gada menurun. Namun nilai total rerata 5 (lima) tahun tetap terjadi kenaikan tingkat serangannya sebesar 25,22 %. Luas serangan OPT Tahun 2009 kubis terhadap tahun 2008 dan rerata 5 tahun tertera pada Tabel 20. Tabel 20 menunjukkan bahwa serangan P. xylostella dan akar gada pada tahun 2009 dan rerata 5 (lima) tahun, masih lebih dominan jika dibandingkan dengan C. pavonana. Adapun luas serangan kedua hama tersebut adalah 402,27 ha dan 126,50 ha. Hasil analisis data persentase 5 (lima) tahun terakhir (2009) tingkat serangan OPT masih mengalami peningkatan sebesar 25,22 persen. OPT pada komoditas kentang di Jawa timur yang sering menyerang adalah 7 (tujuh) jenis OPT dengan total luas 584,89 ha yang diketegorikan intensitas serangan ringan 234,04 ha, sedang 255,95 ha dan berat 91,9 ha. Hasil analisa perbandingan tahun 2009 dan 2008 menunjukkan bahwa serangan NSK muncul kembali pada tahun 2009 (0,8 ha) setelah tidak ada pada tahun Serangan penggorok daun meningkat baik terhadap tahun 2008 maupun rerata 5 (lima) tahun sebelumnya tetapi Phytophthora menurun. Data luas serangan OPT tahun 2009 dan rerata 5 (lima) tahun tertera pada Tabel 20. Memperhatikan Tabel 20 tampak bahwa data serangan OPT kentang yang dominan adalah Phytophthora dan penggorok daun dengan luas serangan pada tahun 2009 sebesar 359,30 ha dan 121,29 ha. Hasil analisis data persentase serangan OPT pada tanaman kentang pada rerata 5 (lima) tahun terakhir (2009) masih mengalami kenaikan sebesar 190,78 % Upaya Pengendalian OPT Tanaman Sayuran Usaha pengembangan tanaman sayuran tidak lepas dari peran perlindungan tanaman, yang merupakan bagian integral dari sistem produksi dan pemasaran hasil pertanian tanaman sayuran, dalam upaya menekan kehilangan hasil yang diakibatkan oleh serangan OPT, disamping menjaga kualitas hasil tanaman sayuran. Untuk menekan penurunan produksi maka diperlukan pengelolaan pengendalian OPT dengan baik. Upaya pengendalian OPT yang baik diperlukan

9 96 pengelolaan ekosistem yang baik yaitu dengan menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Tabel 21 Perbandingan kumulatif luas serangan OPT pada empat jenis tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2009 Komoditas OPT Luas pengendalian (ha) Eradikasi Pestisida Cara lain Cabai Lalat buah 0,00 97,30 20,74 Kutu daun 0,00 54,57 0,15 Trips 7,78 963,98 8,58 Antraknosa 10,35 336,09 34,23 Virus 0,00 79,60 8,55 Virus kuning 8,93 499,88 178,94 Bercak daun 0,00 85,10 1,10 Fusarium 28,88 392,08 29,60 Bawang merah Ulat bawang 1.042, , Penggorok daun ,8 30,4 Phytophthora sp. 0, ,7 116,1 Bercak ungu 0 334,9 52,3 Antraknosa 0 46,2 25,4 Fusarium 0 369,4 2,5 Kubis Ulat daun 15, ,15 1,00 Ulat krop 0,00 644,20 2,30 Bercak daun 0,00 42,00 0,00 Layu bakteri 1,50 19,15 1,30 Akar gada 11,60 248,84 0,50 Busuk lunak 0,00 796,45 0,00 Kentang Penggorok daun 0, ,50 0,00 Nematoda 0,00 0,50 0,00 Phytophthora sp. 7, ,89 17,55 Layu bakteri 0,00 13,00 0,00 Jumlah 1.152, , ,94 Persentase 3,35 85,91 10,74 Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2009 PHT adalah suatu cara pendekatan atau falsafah pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologis dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan egroekosistem yang bertanggungjawab. Tindakan pengendalian dengan menggunakan pestisida harus didasarkan pada nilai Ambang Ekonomi (AE) atau Ambang Pengendalian (AP), namun kenyataan di lapangan penggunaan pestisida masih menjadi prioritas utama. Di Jawa Timur upaya pengendalian OPT tanaman sayuran terbesar tetap mengutamakan penggunaan pestisida sebagai

10 97 alternatif unggulan. Sebagaimana upaya pengendalian OPT pada tanaman cabai oleh serangan trips, virus kuning, antraknosa dan layu fusarium, tetapi karena agroklimat dan faktor pendukung cukup tinggi maka pengendlian belum efektif. Hal ini dapat terlihat dari luas pengendalian beberapa OPT cabai cukup tinggi selama tahun (Tabel 21) Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa penggunaan pestisida merupakan teknik pengandalian hama dan penyakit tanaman sayuran yang paling banyak digunakan oleh petani sayuran di Jawa Timur. Namun hal ini juga tidak menutup kemungkinan terjadi pada petani-petani lain di Indonesia. Penggunaan pestisida ini yang perlu untuk dicermati adalah bagaimana para petani menggunakan pestisida? Apakah para petani telah melakukan 5 (lima) tepat? Sebagaimana aturan penggunaan pestisida yang telah ditetapkan, dinyatakan bahwa penggunaan pestisida adalah alternatif terakhir dalam pengendalian OPT tanaman. Penggunaan pestisida harus memenuhi ketentuan tepat jenis, tepat sasaran, tepat waktu tepat dosis dan tepat cara. Namun kenyataan di lapangan menggambarkan bahwa penggunaan pestisda sudah menjadi alternatif yang utama disamping penggunaannya tidak sesuai dengan kenetuan yang telah diatur dalam kemasan maupun peraturan perundang-undangan. Sebagaimana yang dikemukan oleh Wiyono et al. (2007) dalam Hidayat et al. (2010) hasil focus group discussion pada 35 petani cabai di Kecamatan Bumijawa pada Maret 2006 menunjukkan bahwa penggunaan pestisida pada tanaman cabai dilakukan secara terjadwal yaitu setiap minggu sekali selama satu musim tanam (4 bulan) atau mencapai 16 kali aplikasi pestisida. Demikian juga Sulistiyono (2003) mendapatkan dari hasil penelitian pada 90 (sembilan puluh) petani bawang merah di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur bahwa untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit dilakukan penyemprotan secara terjadwal 2 sampai 4 kali seminggu atau 22 sampai 44 kali selama satu musim tanam dan pada musim kemarau atau mencapai 3 sampai 5 kali seminggu atau 33 kali sampai 55 kali dalam satu musim tanam pada musim penghujan. Data yang berhasil dikumpulkan tentang penggunaan pestisida pada tanaman cabai, dengan pengambilan sampel petani di Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri sebanyak 35 responden dan Kecamatan Krucil Probolingo sebanyak 21 responden

11 98 didapatkan bahwa seluruh petani tetap mengunakan pestisida sebagai alternatif utama dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman. Rerata volume penggunaan pestisida per hektar mencapai 66,88 liter (cair) dan 210,65 kg (padat). Data secara rinci dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Volume penggunaan pestisida pada tanaman sayuran yang dikelompokan berdassrkan petani SLPHT dan Non SLPHT di Jawa Timur tahun Komoditas Petani Penggunaan pestisida (ha) Cair (ltr) Padatan (kg) Total volume (Kg/ha) Rerata Cabai SLPHT 26,97 84,66 111,63 138,77 Asumsi : Non SLPHT 39,91 125,99 165,9 1 ltr = 1 kg Ket. Bawang merah SLPHT 15,35 16,25 31,6 31,9 Non SLPHT 15,49 16,71 32,2 Kubis SLPHT 48,85 21,53 70,38 78,04 Rerata 102,3 kg / ha Non SLPHT 55,86 29,83 85,69 Kentang SLPHT 56,73 77,66 134,39 160,62 Non SLPHT 71,69 115,15 186,84 Berdasarkan pada Tabel 22 dapat diketahui bahwa volume penggunaan pestisida rerata mencapai 33,44 liter per hektar dan yang berbentuk padatan mencapai 105,33 kg per hektarnya. Jika diasumsikan bahwa 1 liter setara dengan 1 kg maka kebutuhan pestisida dalam satu hektarnya adalah 138,77 kg. Sebagaimana diketahui bahwa luas tanam cabai besar dan cabai rawit Jawa Timur Tahun 2009 tercatat seluas ha maka kebutuhan pestisida dalam satu tahun mencapai 6,16 ton. Sebagaimana kaidah penggunaan pestisida bahwa selain pestisida memiliki nilai ekonomis yang artinya penggunaan pestisida dapat memberikan keuntungan tetapi juga dapat mengakibatkan kerugian. Maka penggunaan pestisida secara bijaksana menjadi penting. Kaidah penggunaan pestisida yang dimaksud adalah penerapan prinsip 5 (lima) tepat yakni tepat sasaran, tepat jenis, dosis, waktu dan cara (Dirjen Sarprastan 2010). Besaran volume penggunaan pestisida pada tanaman cabai dalam satu musim tanam didorong oleh variasi atau macam pestisida lebih dari 6 (enam) macam formulasi pestisida yang dipergunakan oleh petani SLPHT (64,29 %) dan 5-6 macam formulasi pestisida (28,57 %) pada petani Non SLPHT (67,86 %) serta

12 99 21,43% yang menggunakan 5-6 macam jenis (Tabel. 23 macam pestisida.). Banyaknya formulasi yang dipergunakan oleh petani ini oleh karena variasinya OPT pada tanaman cabai mulai dari gulma, lalat buah, kutu daun, trips, antraknosa, virus, virus kuning dan bakteri. Sesuai dengan pendapat Kruniasih dan Paramita (2006) yang menyatakan bahwa pada budidaya tanaman sayuran penggunaan pestisida dalam pengendalian OPT tanaman lebih dari 3 macam formulasi pestisida, hal ini sangat tergantung pada tingkat dan macam serangan OPT. Persentase tertinggi jenis yang paling banyak digunakan adalah lebih dari 6 macam pestisida dalam setiap musim tanam, bahkan ada yang mempergunakan hingga 15 macam. Hasil uji statistik dengan Mann Whitney test kategori two independent diperoleh nilai x 2 hitung = dengan nilai x 2 tabel dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara petani SLPHT dan Non SLPHT dalam pengendalian OPT dengan pestisida jika dilihat dari jumlah jenis pestisida yang digunakan selama satu musim tanam. Tabel 23 Jenis pestisida yang banyak digunakan oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Jumlah jenis pestisida yang digunakan Petani SLPHT Petani Non SLPHT Statistical test Jumlah Persentase Jumlah Persentase Cabai 1-2 macam ρ : 0, macam 2 7, , macam 8 28, ,43 >6 macam 18 64, ,86 Jumlah , ,00 Bawang merah 1-3 macam ρ : 0, macam 10 35, , macam 17 60, ,29 >9 macam 1 3, ,00 Jumlah , ,00 Kubis 1-2 macam ρ : 0, macam 3 10,71 2 7, macam 11 39, ,29 >6 macam 14 50, ,57 Jumlah , ,00 Kentang 1-3 macam ρ : 0, macam 5 2,50 2 7, macam 15 53, ,29 >9 macam 8 28, ,57 Jumlah , ,00

13 100 Pada komoditas bawang merah, kubis dan kentang, baik pada petani SLPHT dan Non SLPHT macam pestisida yang paling banyak digunakan dalam satu musim tanam > 6 macam formulasi. Bahkan pada budidaya tanaman bawang merah dan kentang formulasi yang digunakan antara 7-9 macam setiap musim tanam. Macam pestisida yang digunakan oleh petani pada umumnya adalah jenis herbisida (minimal 1 macam), insektisida (minimal 2 macam), fungisida (minimal 2 mcam), perekat (minimal 1 mcam) dan ZPT. Adapun akarisida, bakterisida, molluskisida, rodentisida dan lainnya jarang digunakan. Pada tanaman bawang merah banyaknya jenis formulasi yang digunakan dipicu oleh ; (1) serangan OPT di musim kemarau ulat daun (Spodoptera sp.), Lyriomiza chinensis, dan Phytophthora sp. di musim penghujan, (2) Faktor lain adalah budaya petani melakukan pencampuran (mixing) pestisida untuk memperoleh formulasi baru agar pestisida yang akan digunakan memiliki daya racun yang lebih tinggi; dan (3) upaya preventif dari serangan OPT yang datang secara tiba-tiba. Petani melakukan pencarian formulasi lain dengan maksud untuk meningkatkan daya racun pestisida yang digunakan. Hal ini didasari oleh keyakinan para petani bahwa laju serangan OPT bersifat sporadis dan laju resistensi OPT lebih cepat dari pada teknologi formulasi pestisida yang diketahui oleh petani. Semakin beragam jenis OPT yang menyerang pada tanaman sayuran semakin banyak pula jenis formulasi pestisida yang digunakan untuk mengendalikan. Demikian juga semakin berat intensitas serangan atau semakin luas serangan OPT semakin banyak pula pestisida yang digunakan. Sebagaimana data pada komoditas bawang merah, kubis dan kentang yang tertera pada Tabel 23 melalui uji statistik dengan bantuan software SPSS 16 for windows untuk menjustifikasi apakah kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT berbeda dalam penggunaan pestisida menurut macamnya. Pada ketiga komoditas antara dua kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan dimana pada bawang merah (p : 0,002), kubis (p : 0,001) dan kentang (p: 0,007) yang bermakna bahwa kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT menggambarkan adanya perbedaan yang nyata. Jika dilihat dari nilai distribusi frekwensi terlihat bahwa petani SLPHT lebih sedikit dalam penggunaan macam pestisida jika dibandingkan pada petani Non SLPHT.

14 101 Tepat Dosis: Selain macam pestisida yang digunakan besaran volume penggunaan pestisida juga dipengaruhi oleh dosis yang dipergunakan. Secara definisi dosis adalah takaran atau ukuran dalan liter, gram atau kilogram pestisida yang digunakan untuk mengendalikan OPT per satuan luas tertentu. Penentuan dosis yang dicantumkan dalam label adalah hasil uji toksisitas terhadap OPT tertentu. Berdasarkan Tabel 24 menunjukkan persentase penggunaan pestisida pada seluruh komoditas melebihi dosis yang telah ditetapkan. Pada komoditas cabai 60,71% (SLPHT) dan 82,154 % (Non SLPHT) melebihi dosis yang tertera pada label kemasan. Tingginya dosis penggunaan pestisida ini disebabkan oleh tingginya tingkat serangan hama yakni lalat buah, kutu daun, dan trips, sedangkan kategori penyakit yakni virus, patek atau antracnosa (oleh jamur Colletotrichum), virus kuning, bercak daun (Cercospora sp.) dan layu Fusarium. Lima tahun terakhir ( ) yang mendorong volume penggunaan pestisida dengan dosis tinggi adalah serangan kutu daun (Aphids sp.), trips (trips parvispinus), patek/antracnosa (Colletotricum sp.), dan layu Fusarium, dengan jumlah kumulatif kenaikan luas serangan mencapai 415,67%. Dengan menggunakan skala ordinal dan diuji statistik maka kedua kelompok petani menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p: 0,04. Perbedaan yang dimaksudkan adalah pada petani SLPHT penggunaan pestisida pada tanaman cabai dengan dosis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan petani Non SLPHT. Tingginya penggunaan pestisida pada budidaya tanaman cabai disebabkan oleh kekawatiran para petani terjadi kerusakan tanaman yang parah oleh serangan OPT khususnya oleh trips dan virus. Disisi lain berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan di lapangan bahwa ada fakta yang membuktikan penggunaan pestisida yang disesuaikan dengan dosis kurang berpengaruh nyata terhadap pengendalian OPT. Para petani memprediksi bahwa hama dan penyakit tanaman sudah mengalami resistensi. Sehingga petani cenderung untuk menggunakan pestisida melebihi dosis anjuran yang tertera pada label kemasan. Pengaruh besarnya modal yang diinvestasikan dalam budidaya tanaman cabai sayuran yang besar (menurut ukuran petani), dan modal itu bukan milik pribadi petani yang melainkan berasal dari berbagai sumber pendanaan baik modal sendiri

15 102 maupun dari pendanaan lainnya, menimbulkan kecemasan yang luar biasa pada diri petani sehingga mendorong petani melakukan penyemprotan secara terjadwal. Data yang berhasil dikumpulkan dari petani cabai penyemprotan dilakukan secara terjadwal mencapai 57,14 % (SLPHT) dan 64,29 % (Non SLPHT). Tabel. 24 juga menggambarkan bahwa perilaku petani dalam menggunakan pestisida dalam mengendalikan OPT didahului dengan pengamatan terhadap tingkat serangan OPT dengan mempertimbangkan ambang pengendalian namun hal ini bukan menjadikan petani percayadiri sehingga selalu disertai dengan penyemprotan secara terjadwal 28,57 % (SLPHT) dan 25,00 % (Non SLPHT). Tingginya dosis penggunaan pestisida pada tanaman bawang merah di Jawa Timur karena serangan ulat bawang (Spodoptera litura), penggorok daun (L. chinensis), trips, Phytophthora dan Altenaria. OPT yang paling tinggi mempengaruhi dosis penggunaan pestisida yakni serangan ulat bawang (Spodoptera sp., Pengorok daun (L. chinensis) dan Phytophthora, diketahui lima tahun terakhir ( ) serangan OPT ini mengalami peningkatan secara signifikan yang mecapai sepuluh kali lipat (958,98 %) (Tabel 24). Tabel 24 Ketepatan dosis pestisida yang digunakan oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran utama di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Ketepatan Petani SLPHT Petani Non SLPHT Statistical Dosis Jumlah Persentase Jumlah Persentase Test Cabai < Dosis 2 7, ,71 p: 0,040 = Dosis 9 32,14 2 7,14 > Dosis 12 42, ,00 2 x Dosis 3 10, ,29 > x Dosis 2 7, ,86 Jumlah Bawang Merah < Dosis p: 0,745 = Dosis > Dosis 8 28, ,29 2 x Dosis 9 32, ,14 > x Dosis 11 39, ,00 Jumlah Kubis < Dosis 3 10,71 1 3,57 p: 0,480 = Dosis 2 7,14 1 3,57 > Dosis 13 46, ,14 2 x Dosis 7 25, ,14 > x Dosis 1 3,57 1 3,57 Jumlah Kentang < Dosis = Dosis p: 0,061 > Dosis 4 14, ,29 2 x Dosis 4 14, ,43 >2 x Dosis 20 71, ,29 Jumlah

16 103 Di kabupaten Nganjuk dan Probolinggo yang menjadi sentra tanaman bawang merah, pengendalian OPT pada tanaman bawang merah khususnya ulat bawang dilakukan dengan beberapa teknik mulai penggunaan lampu perangkap, selambu dan cara manual (petan = Jawa). Teknik terakhir ini yang paling banyak mengurangi penggunaan pestisida terutama pada petani-petani kecil atau penggarap (tanah sewa) pada luasan kurang dari 0,2 ha, sedangkan pada luasan lebih dari 0,2 ha hingga 1,6 ha lebih banyak menggantungkan penggunaan pestisida dengan dosis tinggi Di Jawa Timur lima tahun terakhir ini pada tanaman kubis khususnya varitas dataran tinggi sering mengalami serangan organisme pengganggu tanaman beberapa jenis OPT, jenis OPT yang menyerang dengan intensitas serangan luas ada 3 (tiga) jenis yaitu ulat daun (P. xylostella), ulat krop (C. pavonana) dan akar gada (Plasmodiophora brasicae). Serangan P. xyllostela dan P. brassicae pada waktu lima tahun terkahir mengalami penurunan -6,75 % dan -17,42 %, namun meskipun menurun luas serangan masih dikategorikan tinggi karena pada tahun 2009 ; P. xyllostela mencapai 402,27 ha dan P. brassicae seluas 126,50 ha. Namun tingkat serangan masih tetap bertahan, bahkan cenderung terjadi peningkatan luas serangan yaitu C. pavonana dengan luas serangan rerata 49,38 ha per tahunnya. Jenis hama yang paling dominan menyerang tanaman kubis per satuan luasnya adalah P. xylostella. Karena luas serangan P. xylostella paling besar maka penggunaan pestisida paling tinggi jika dibandingkan dengan hama lainnya. Distribusi frekwensi penggunaan pestisida paling tinggi dijumpai pada komoditas kentang adalah >2x dosis dengan jumlah rerata responden 67,86 % dari seluruh responden. Penggunaan pestisida dosis tinggi ini banyak diaplikasikan untuk pengendalian P. infestans karena memiliki luas serangan paling tinggi jika dibandingkan dengan serangan OPT lainnya yang mencapai 578,73 ha (Tabel 21). Selain pada itu dosis penggunaan pestisida oleh para petani dikategorikan tinggi karena serangan P. infestans sangat mengkawatirkan para petani. Pertimbangan lain petani menggunakan pestisida dosis tinggi pada tanaman kentang karena para petani dihantui oleh rasa kekawatiran yang sangat hebat bahkan sampai dengan kategori panik, mengingat nilai investasi yang tinggi. Kondisi yang demikian serangan organisme pengganggu tanaman ini mendorong petani untuk melakukan

17 104 upaya preventif dengan dosis yang tinggi. Selain itu petani juga berpendapat bahwa resistensi hama dan penyakit terus meningkat dengan bertambahnya waktu sehingga penggunaan dosis tinggi dianggap lebih efektif. Tepat Sasaran: Ketepatan sasaran penggunaan pestisida didasarkan pada ketepatan jenis komoditas tanaman serta jenis dan cara hidup OPT yang akan dikendalikan dengan aplikasi pestisida (Direktorat Pupuk dan Pestisida Deptan 2011). Sebagaimana yang dimaksud dengan tepat sasaran adalah jika jenis insektisida diperuntukkan insekta, fungisida untuk golongan jamur, dan lain-lain. Data keterpatan sasaran dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Ketepatan sasaran penyemprotan pestisida yang digunakan oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Ketepatan Petani SLPHT Petani Non SLPHT Statistic Sasaran Jumla h Persentas e Jumla h Persentas e Test Cabai Tepat 25 89, ,14 ρ: 0,853 Tidak Tepat 3 10, ,86 Jumlah ρ: 0,530 Bawang Merah Tepat ,57 Tidak Tepat 4 14, ,43 Jumlah Kubis Tepat 27 96, ,71 ρ: 0,164 Tidak Tepat 1 3, ,29 Jumlah Kentang Tepat 23 82, ,00 ρ: 0,583 Tidak Tepat 5 17, ,00 Jumlah Sebagaimana data yang tertera pada Tabel 25 menggambarkan bahwa ketepatan sasaran penggunaan pestisida pada tanaman sayuan dikategorikan tepat. Hal ini ditunjukan dominansi persentase distribusi frekwensi tepat pada tanaman cabai dengan nilai rata-rata 85,72 % (SLPHT maupun Non SLPHT), bawang merah 83,14 %, kubis 91,07 % dan kentang 78,57%. Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan pestisida pada tanaman sayuran dikategorikan tepat sasaran. Meskipun sebagian kecil petani sayuran dikategorikan tidak tepat sasaran dalam penggunaan pestisida dikarenakan para petani ada kecenderungan mencari formula baru dengan mencampur dua atau lebih pestisida untuk mengendalikan OPT tertentu. Hal ini dilakukan apabila serangan awal disebabkan OPT tertentu yang sulit dikendalikan dengan pestisida yang sudah biasa

18 105 digunakan oleh petani beberapa bulan yang lalu, sementara pestesida yang telah tersedia dipasaran telah dicoba untuk diaplikasikan dan belum membuahkan hasil yang memuaskan para petani. Oleh karena itu munculah inisiatif para petani untuk melakukan trial and error dengan mencampur beberapa pestisida yang menurut prediksi petani akan menghasilkan formulasi yang diharapkan oleh para petani. Proses uji coba ini berjalan secara terus menerus selama belum ada toksisitas pestisida sesuai harapan beberapa petani. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan pendekatan uji independent statistic test Mann Whitney diperoleh nilai ρ> α dimana α = 0,05. Sehingga disimpulkan bahwa antara petani SLPHT dan Non SLPHT menunjukkan tidak ada perbedaan dalam penggunaan pestisida dilihat dari sisi ketepatan sasaran dalam pengunaan pestisida. Tepat Waktu Penyemprotan : Waktu penggunaan pestisida atau sering di sebut dengan waktu aplikasi adalah pilihan rentang waktu yang tepat untuk mengaplikasikan pestisida. Waktu aplikasi merupakan salah satu faktor yang menentukan efektifitas pestisida yang digunakan. Jika dikaitkan dengan perkembangan hama maka dikenal dengan waktu aplikasi pestisida yaitu aplikasi preventif, sistem kalender dan apliaksi berdasarkan ambang kendali atau ambang ekonomi. Ketepatan waktu penggunaan pestisida pada tanaman didasarkan pada hasil pengamatan para petani terhadap populasi OPT tanaman, jika hasil perhitungan populasi OPT sudah dikategorikan akan mempengaruhi nilai ekonomi tanaman sayuran maka perlu dilakukan pengendalian OPT dengan aplikasi pestisida. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman pasal 19 yang dinyatakan bahwa penggunaan pestisida dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan merupakan alternatif terakhir dan dampak negatif yang timbul harus ditekan seminimal mungkin. Data yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa penggunaan pestisida menurut waktu penggunaannya bedasarkan pengaturan waktu atau dilaksanakan secara terjadwal. Pengertian terjadwal adalah penyemprotan pestisida yang bertujuan untuk mengendalikan OPT tanaman budidaya dilakukan secara periodik berdasarkan waktu tanpa didahului oleh pengamatan. Penyemprotan terjadwal ini

19 106 juga disebut sebagai sistem penggunaan pestisida secara kalender. Sistem ini merupakan salah satu dari aplikasi preventif yang lebih bersifat untung-untungan (hama belum tentu datang), cenderung boros (karena tidak ada hamapun disemprot), beresiko besar (bagi pengguna, konsumen dan lingkungan) maka sistem ini tidak diijinkan dalam sistem pengendalian hama tepadu. Pengumpulan data waktu aplikasi pestisida pada komoditas cabai, bawang merah, kubis dan kentang, yang dibedakan menjadi 3 (tiga) kategori yakni (1) aplikasi menurut ambang ekonomi (AE)/ambang pengendalian (AP), (2) aplikasi yang didahului oleh pengamatan sekilas diawal saat aplikasi perdana dan (3) aplikasi pestisida dengan sistem kalender atau terjadwal. Tabel 26 menunjukkan bahwa frekwensi tertinggi dlakukan secara terjadwal atau sistem kalender disusul aplikasi pengamatan sekilas diawal saat aplikasi perdana dan terjadwal dan terakhir pengamatan menurut ambang ekonomi. Pada komoditas cabai rata-rata aplikasi secara terjadwal mencapai 55,36 %, yang didahului pengamatan di awal aplikasi perdana 37,5 %, sedangkan pengendalian OPT yang berorientasi pada nilai ambang ekonomi ditemukan pada petani SLPHT 14,29 %. Tabel 26 Waktu penyemprotan pestisida oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Ketepatan waktu Petani SLPHT Petani Non SLPHT Jumlah Persentase Jumlah Persentase Statistic Test Cabai Ambang 4 14, ρ: 0,031 ekonomi Pengamatan 12 42, ,14 dan terjadwal Terjadwal 12 42, ,86 Jumlah Bawang Ambang 4 14,29 1 3,57 ρ: 0,078 merah ekonomi Pengamatan 9 32, ,71 dan terjadwal Terjadwal 15 53, ,71 Jumlah Kubis Ambang 3 10, ρ: 0,112 ekonomi Pengamatan 9 32, ,00 dan terjadwal Terjadwal 16 57, ,4 Jumlah Kentang Ambang ρ: 0,036 ekonomi Pengamatan 11 39, ,00 dan terjadwal Terjadwal 14 50, ,00 Jumlah

20 107 Pada komoditas bawang merah paling tinggi aplikasi pestisida juga dilakukan secara terjadwal dengan rata-rata distribusi frekwensi responden mencapai 57,14 %, sedangkan aplikasi dengan pengamatan diawal dan dilanjutkan terjadwal mencapai 33,93 % dan yang menarik perhatian pada data ini adalah bahwa aplikasi pestisida didahului dengan analisa ambang ekonomi pada petani Non SLPHT ada 1 responden atau 3,57 % sedangkan pada petani SLPHT 14,29 %. Hasil uji Statistik menunjukkan bahwa antara dua kelompok responden menunjukkan nulai p : 0,078, yang berarti bahwa kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT tidak berbeda secara signifikan waktu aplikasi pestisida dalam pengendalian OPT. Pada komoditas kubis dengan mengambil data di wilayah Kabupaten Malang dan Probolinggo, persentase tertinggi dilakukan secara terjadwal atau sistem kalender dengan nilai rata-rata 56,87 %, dan aplikasi terjadwal tetapi diawali dengan pengamatan sebesar 28,57 %. Sedangkan hasil uji statistik diperoleh nilai p : 0,112 yang berarti lebih besar dari nilai α, dengan demikian disimpilkan bahwa kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT dalam waktu aplikasi pestisida untuk pengendalian OPT pada tanaman kubis kategori tidak berbeda signifikan. Demikian halnya pada komoditas kentang, waktu aplikasi pestisida pada tanaman sayuran mayoritas dilakukan secara terjadwal dengan nilai rata-rata distribusi frekwensi responden mencapai 62,5 % sedangkan waktu aplikasi pestisida yang didahului dengan pengamatan awal kemudian terjadwal 32,15 %. Pada kelompok petani SLPHT ditemukan waktu aplikasi pestisida dengan diawali dengan evaluasi serangan OPT dengan nilai ambang ekonomi (AE) sebanyak 3 responden dari 28 responden atau sebesar 10,71 %. Berdasar data tersebut selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk membedakan perilaku penggunaan pestisida berdasarkan waktu aplikasi, diperoleh nilai p : 0,036 yang berarti lebih kecil dari nilai α, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang dignifikan antara kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT pada waktu aplikasi pestisida Tepat Cara Penggunaan : Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 pasal 15 yang menjelaskan bahwa penggunaan pestisida bertujuan untuk

21 108 mengendalikan OPT harus dilakukan secara tepat guna dan pasal 16 menjelaskan bahwa pestisida selain berperanan dalam pengendalian OPT juga mempunyai dampak terhadap kesehatan manusia maka harus dilakukan dengan memperhatikan persyaratan kesehatan dan keselamatan kerja. Dengan demikian penggunaan pestisida selain berorientasi pada pengendalian organisme pengganggu tanaman juga harus memperhatikan cara aplikasinya dilapangan yang dapat dilakukan dengan (1) penaburan (bentuk butiran) pada pestisida yang bersifat sistemik dengan OPT sasaran yang hidup dalam jaringan tanaman atau di dalam tanah; (2) Penyemprotan apabila pestisida dalam bentuk emulsi, larutan dan suspensi; (3) cara penghembusan biasanya dilakukan terhadap pestisida formulasi tepung atau debu (dust), sehingga alatnya disebut duster; (4) cara pengumpanan yaitu mencampur pestsida dengan makanan atau bahan-bahan tertentu yang disukai OPT sasaran dan (5) cara fumigasi apabila aplikasinya dalam bentuk gas (fumigan) dengan cara fumigasi, pada umumnya untuk mengendalikan hama gudang. Tabel 27 Cara penggunaan pestisida oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Ketepatan cara Petani SLPHT Petani Non SLPHT Statistical test Jumlah Persentase Jumlah Persentase Cabai Tepat 19 67, ,71 z: -2,385 Tidak Tepat 9 32, ,29 ρ: 0,017 Jumlah Bawang merah Tepat 15 53, ,14 z: 1,606 Tidak Tepat 13 46, ,86 ρ: 0,108 Jumlah Kubis Tepat 20 71, ,14 z: 1,106 Tidak Tepat 8 28, ,85 ρ: 0,269 Jumlah Kentang Tepat 27 96, ,86 z: 0,558 Tidak Tepat 1 3,57 2 7,14 ρ: 0,556 Jumlah Aplikasi pestisida pada tanaman sayuran 94 % dilakukan dengan cara penyemprotan, dikarenakan bahan yang digunakan dalam bentuk cair dan tepung yang diformulasikan menjadi suspensi, larutan atau emulsi, dan 6 % dalam bentuk butiran. Penetapan ketepatan cara penggunaan pestisida selain indikator cara aplikasi juga memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja, sehingga

22 109 penggunaan alat pelindung diri (APD) juga menjadi perhatian. Dengan demikian indikator ketepatan cara aplikasi pestisida didasarkan pada cara aplikasi menurut formulasi dan faktor kesehatan dan keselamatan kerja. Berdasarkan indikator tersebut maka cara aplikasi pestisida dibedakan menjadi dua macam yakni tepat dan tidak tepat. Tepat apabila cara aplikasi sesuai formulasi dan penggunaan alat pelindung diri (APD) yang lengkap. APD lengkap jika pengguna pestisida mengenakan baju lengan panjang yang berserat padat, pelindung tangan, kepala dan pernafasan. Dikategorikan tidak tepat apabila salah satu atau lebih aturan penggunaan tidak dilaksanakan. Tabel 27 menunjukkan bahwa cara aplikasi pestisida pada tanaman sayuran dikategorikan tepat banyak ditemui pada petani SLPHT dengan nilai rata-rata 72,32 %. Pada petani Non SLPHT lebih banyak kategori tidak tepat 45,53 %. Ketidaktepatan cara aplikasi pestisida 98 % disebabkan oleh penggunaan alat pelindung diri yang tidak lengkap sedang 2 % karena kesalahan aplikasi formulasinya. Keselahan formulasi ini banyak didorong oleh keinginan para petani untuk membuat formula baru yang diyakini oleh para petani bahwa akan lebih beracun. Tingginya nilai persentase pada petani SLPHT kategori tepat (72,32%) jika dibandingkan dengan petani Non SLPHT (45,53%) disebabkan oleh pengetahuan tentang pestisida lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani Non SLPHT. Sebagaimana substansi SLPHT di dalamnya mengandung muatan Tepat Jenis Sebelum pestisida digunakan oleh petani untuk pengendalian, yang harus dilakukan adalah analisis agroekosistem. Analisis agroekosistem bertujuan untuk menentukan jenis tanaman yang dibudidayakan dan jenis hama atau penyakit yang menyerang. Penetapan jenis tanaman dan OPT yang menyerang sudah jelas maka tindakan lanjutan adalah menetapkan jenis pestisida yang akan digunakan. Serangan OPT jenis serangga menggunakan insektisida, tikus dengan rodentisida dan seterusnya. Data hasil survey dan wawancara dengan petani sebagaimana tertera pada Tabel 28 menggambarkan bahwa petani pada umumya telah mengetahui jenis yang akan digunakan untuk mengendalikan OPT yang menyerang pada tanaman

23 110 yang dibudidayakan dengan nilai rata-rata 94,19 % dinyatakan tepat jenis. Sebagian kecil dari petani tidak tepat jenis dalam pengunaaan pestisida (5,80 %) banyak disebabkan oleh kebingungan petani dalam menhadapi serangan OPT yang yang terjadi secara cepat dan belum ada formulasi pestisida yang mampu mengendalikannya. Sehingga langkah yang dilakukan oleh sebagian kecil petani ini untuk melakukan uji coba formulasi baru dengan mencampur beberapa pestisida yang telah ada. Sulistiyono (2002) yang menyatakan bahwa petani akan melakukan inovasi untuk memperoleh komposisi campuran 2 (dua), 3 (tiga) atau lebih pestisida yang diharapkan mampu menanggulangi serangan OPT tertentu. Tabel 28 Ketepatan jenis penggunaan pestisida oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Ketepatan Petani SLPHT Petani Non SLPHT Statistical cara Jumlah Persentase Jumlah Persentase test Cabai Tepat ,86 ρ: 0,154 Tidak 0 2 7,14 Tepat Jumlah Bawang Tepat 26 92, ,71 ρ: 0,392 merah Tidak 2 7, ,29 Tepat Jumlah Kubis Tepat ,43 ρ: 0,317 Tidak ,57 Tepat Jumlah Kentang Tepat 27 96, ,29 ρ: 0,304 Tidak 1 3, ,71 Tepat Jumlah Dilihat dari komposisi data pada Tabel 28 terlihat bahwa kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT memiliki pengetahuan dan kemampuan yang hampir sama dalam menetapkan jenis pestisida yang akan digunakan dalam pengendalian OPT. Hasil uji statistik pada semua komoditas dihasilkan nilai p lebih rendah dari nilai α yang berarti bahwa pada petani SLPHT dan Non SLPHT tidak berbeda nyata menurut ketepatan jenis penggunaan pestisida. Beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakadanya perbedaan disebabkan oleh peran distributor, formulator/sales pestisida dan peran aktif petani untuk mencari informasi kepada sesama petani yang dipercaya memiliki kemampuan lebih dalam pengendalian OPT sejenis.

24 111 Pestisida yang sering digunakan oleh petani adalah golongan organofosfat (28,2%), karbamat (23,2%), piretroid (31,5%), insect repellent (zat penolak serangga), plant growth regulators dan jenis lainnya Persepsi Petani dalam Penggunaan Pestisida pada tanaman Sayuran Karakteristik Responden Untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang pestisida telah dilakukan survei terhadap 224 responden atau petani di wilayah penelitian yakni Kabupaten Nganjuk, Kediri, Malang dan Probolinggo. Karakteristik responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah umur, lama bertani, pendidikan, dan tingkat pendapatan yang diterima. Distribusi karakteristik responden pada empat lokasi penelitian disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Sebaran karakteristik responden petani sayuran empat kabupaten di Jawa Timur tahun 2006 Karakteristik Kategori Komoditas responden pengukuran B. merah Cabai Kubis Kentang Total n % n % n % n % n % Muda (< 19 tahun) Umur Dewasa (20 55 tahun) 49 21, , , , ,2 Tua (> 56 tahun) 7 3,1 10 4,5 9 4,0 5 2, ,8 Total 56 25, , , , Tidak tamat SD 2 0,9 4 1,8 2 0,9 3 1,3 11 4,9 Dasar (SD-SLTP) 31 13, ,3 18 8, , ,5 Pendidikan Menengah (SMU tamat) 19 8,5 16 7, ,4 18 8, ,1 Tinggi (D1- Sarjana) 4 1,8 4 1,8 6 2,7 3 1,3 17 7,5 Total Lama < 5 th 3 1,3 6 2,6 4 1,8 6 2,6 19 8,5 Bertani 5-10 th 8 3,6 13 5,8 19 8,5 11 4, ,7 > 10 th 45 20, , , , ,8 Total Pendapatan Rendah < Rp ,- 7 3,1 4 1,8 3 1, ,3 Sedang (Rp Rp 27 12,1 19 8,5 21 9,4 15 6, , ) Tinggi (> Rp ,-) 22 9, , , , ,1 Total

25 112 Tabel 29 memperlihatkan bahwa responden di empat kabupaten paling banyak berumur dewasa (20-55 tahun) sebanyak 86,2% dan sedikit berumur tua (> 55 tahun) sebanyak 13,8% serta yang berumur kurang dari 20 tahun tidak ditemukan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat tersebut berada pada usia kerja yang produktif. Memperhatikan proporsi umur paling banyak berumur lebih dari 20 tahun maka frekwensi lama bertani paling banyak lebih dari 10 (sepuluh) tahun yakni 68,8 % dan yang paling sedikit kurang dari 5 (lima) tahun yakni 7,5 %. Hal ini menggambarkan bahwa responden telah memiliki pengalaman yang cukup banyak di budidaya pertanian sayuran. Pendidikan petani empat komoditas dikategorikan berpendidikan rendah atau banyak yang berpendidikan dasar yakni tamat SD dan SLTP sebanyak 50,5% bahkan tidak tamat SD atau tidak sekolah sebanyak 4,9 %, namun para petani ada yang berpendidikan lanjutan menengah (SLTA) sebanyak 37,1 %. Sedikit sekali masyarakat yang berpendidikan tinggi (tamat perguruan tinggi sarjana maupun diploma) yakni 7,5 %. Mayoritas responden berpendidikan dasar kebawah inilah yang mempengaruhi daya serap dan cerna informasi yang diterima oleh petani sehingga human resources menjadi rendah. Jika dilihat dari tingkat pendapatannya petani sayuran dikategorikan berpendapatan tinggi mencapai 57,1 %, sedang berpendapatan sedang 36,6 % dan rendah hanya 6,3 %. Hal in tentunya dapat dimengerti bahwa usaha di bidang budidaya pertanian tanaman sayuran digolongkan usaha dengan nilai investasi tinggi mengingat input usaha yang besar. Sesuai dengan pendapat Setiawati (2006) yang menyatakan bahwa usaha budidaya tanaman sayuran memiliki prospek benefit yang tinggi namun pada kondisi tertentu dimana hight material supply terjadi penurunan yang sangat draktis Persepsi Petani tentang Pestisida Persepsi adalah pandangan atau pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal yang ditangkap melalui panca indra (Notoadmojo 2003). Persepsi petani tentang pestisida dapat didefinisikan secara operasional adalah segala sesuatu yang diketahui oleh petani melalui panca indra tentang pestisida. Pengetahuan masyarakat petani sayuran mempunyai peranan yang penting dalam penggunaan pestisida dalam upaya pengendalian OPT tanaman sayuran. Oleh sebab itu, untuk

Tahun Bawang

Tahun Bawang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan melalui usaha agribisnis, mengingat potensi serapan pasar di dalam negeri dan pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki tanaman pangan maupun hortikultura yang beraneka ragam. Komoditas hortikultura merupakan komoditas pertanian yang memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting bagi perkembangan perekonomian nasional di Indonesia. Hal ini

I. PENDAHULUAN. penting bagi perkembangan perekonomian nasional di Indonesia. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sampai saat ini masih memegang peranan penting bagi perkembangan perekonomian nasional di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang subur tanahnya dan berada di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang subur tanahnya dan berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang subur tanahnya dan berada di daerah tropis karena dilalui garis khatulistiwa. Tanah yang subur dan beriklim tropis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Subsektor hortikultura merupakan bagian dari sektor pertanian yang mempunyai peran penting dalam menunjang peningkatan perekonomian nasional dewasa ini. Subsektor ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pola hidup sehat semakin

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pola hidup sehat semakin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pola hidup sehat semakin tinggi, hal tersebut diwujudkan dengan mengkonsumsi asupan-asupan makanan yang rendah zat kimiawi sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia terutama dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto). Distribusi PDB menurut sektor ekonomi atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang potensial dalam memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan ekonomi dan memegang peranan penting

Lebih terperinci

Keadaan Serangan OPT Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat

Keadaan Serangan OPT Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Keadaan Serangan OPT Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Salah satu sentra komoditas hortikultura, khususnya bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) yang cukup besar di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gaya hidup sehat atau kembali ke alam (Back to nature) telah menjadi trend baru masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat semakin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara nasional maupun regional. Sektor pertanian memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan negara yang sangat mendukung untuk pengembangan agribisnis

BAB I PENDAHULUAN. merupakan negara yang sangat mendukung untuk pengembangan agribisnis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sayuran berperan sebagai sumber karbohidrat, protein nabati, vitamin, dan mineral serta bernilai ekonomi tinggi. Sayuran memiliki keragaman yang sangat banyak baik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian di masa depan. Globalisasi dan liberalisasi

Lebih terperinci

JENIS DAN PADAT POPULASI HAMA PADA TANAMAN PERANGKAP Collard DI SAYURAN KUBIS

JENIS DAN PADAT POPULASI HAMA PADA TANAMAN PERANGKAP Collard DI SAYURAN KUBIS JENIS DAN PADAT POPULASI HAMA PADA TANAMAN PERANGKAP Collard DI SAYURAN KUBIS Eva L. Baideng Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Sam Ratulangi Email : eva.baideng@yahoo.co.id;eva.baideng@unsrat.ac.id

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. struktur pembangunan perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi

I. PENDAHULUAN. struktur pembangunan perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting bagi perekonomian Negara Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan kehidupan mereka pada sektor

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Pertanian merupakan salah satu sektor kehidupan yang bidang pekerjaannya berhubungan dengan pemanfaatan alam sekitar dengan menghasilkan produk pertanian yang diperlukan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat sekarang ini pertanian tidak lagi menjadi aktivitas yang sederhana, tidak sekedar bercocok tanam, tetapi menjadi suatu kegiatan bisnis yang kompleks. Pasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di

I. PENDAHULUAN. negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman sayuran cukup penting di Indonesia, baik untuk konsumsi di dalam negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah sampai

Lebih terperinci

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PENGENDALIAN OPT BAWANG MERAH Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanggamus merupakan salah satu daerah penghasil sayuran di Provinsi Lampung.

I. PENDAHULUAN. Tanggamus merupakan salah satu daerah penghasil sayuran di Provinsi Lampung. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanggamus merupakan salah satu daerah penghasil sayuran di Provinsi Lampung. Luas lahan sayuran di Tanggamus adalah 6.385 ha yang didominasi oleh tanaman cabai 1.961

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencaharian sebagai petani. Hal ini ditunjang dari banyaknya lahan kosong yang

BAB I PENDAHULUAN. pencaharian sebagai petani. Hal ini ditunjang dari banyaknya lahan kosong yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini ditunjang dari banyaknya lahan kosong yang dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PENGENDALIAN OPT CABAI Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) atau hama dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari kegiatan pertanian merupakan salah satu masalah lingkungan yang telah ada sejak berdirinya konsep Revolusi Hijau. Bahan kimia

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEMULIAAN SAYURAN TAHAN CEKAMAN BIOTIK. Balitsa

PERKEMBANGAN PEMULIAAN SAYURAN TAHAN CEKAMAN BIOTIK. Balitsa PERKEMBANGAN PEMULIAAN SAYURAN TAHAN CEKAMAN BIOTIK TUPOKSI BALITSA 1. melaksanakan penelitian genetika, pemuliaan, perbenihan dan pemanfaatan plasma nutfah tanaman sayuran 2. melaksanakan penelitian morfologi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2008) 1 komoditi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan.

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan. Penanaman komoditas sayuran tersebar luas di berbagai daerah yang cocok agroklimatnya.

Lebih terperinci

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN 6.1. Analisis Budidaya Kedelai Edamame Budidaya kedelai edamame dilakukan oleh para petani mitra PT Saung Mirwan di lahan persawahan.

Lebih terperinci

30% Pertanian 0% TAHUN

30% Pertanian 0% TAHUN PERANAN SEKTOR TERHADAP PDB TOTAL I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Julukan negara agraris yang kerap kali disematkan pada Indonesia dirasa memang benar adanya. Pertanian merupakan salah satu sumber kehidupan

Lebih terperinci

Politeknik Negeri Sriwijaya BAB I PENDAHULUAN

Politeknik Negeri Sriwijaya BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan di Indonesia. Penanaman komoditas sayuran tersebar luas di berbagai daerah yang cocok agroklimatnya. Budidaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor dalam perekonomian nasional dinilai strategis dan mampu menjadi mesin penggerak pembangunan suatu negara. Pada tahun 2009 sektor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sayuran merupakan salah satu komoditas unggulan karena memiliki nilai

BAB I PENDAHULUAN. Sayuran merupakan salah satu komoditas unggulan karena memiliki nilai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sayuran merupakan salah satu komoditas unggulan karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Selain memiliki masa panen yang cukup pendek, permintaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki berbagai macam potensi sumber daya alam yang melimpah serta didukung dengan kondisi lingkungan, iklim, dan cuaca yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain mengalami pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain mengalami pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia harus tetap menjadi prioritas utama dari keseluruhan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah. Hal ini mengingat bahwa sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam kesejahteraan dan pembangunan nasional. Selain sebagai penyumbang devisa negara, sektor ini juga

Lebih terperinci

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Agroekonomi Kabupaten Garut Kabupaten Garut memiliki 42 kecamatan dengan luas wilayah administratif sebesar 306.519 ha. Sektor pertanian Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. datang adalah hortikultura. Hortikultura merupakan komoditas pertanian yang

I. PENDAHULUAN. datang adalah hortikultura. Hortikultura merupakan komoditas pertanian yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Salah satu komoditas pertanian khas tropis yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi (kg)

I. PENDAHULUAN. Produksi (kg) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan manusia, karena di dalam sayuran mengandung berbagai sumber vitamin,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber matapencaharian dari mayoritas penduduknya, sehingga sebagian besar penduduknya menggantungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang beriklim tropis dan relatif subur. Atas alasan demikian Indonesia memiliki kekayaan flora yang melimpah juga beraneka ragam.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jasmani yang normal membutuhkan pangan yang cukup bergizi. Pangan yang bergizi terdiri dari zat pembakar seperti karbohidrat, zat pembangun misalnya protein,

Lebih terperinci

LEMBAR KATALOG Statistik Sayur-Sayuran Dan Buah-Buahan Kabupaten Penajam Paser Utara 2016 Katalog BPS : 5216.6409 Ukuran Buku : 14,8 x 21 cm Jumlah Halaman : ix + 79 Naskah : BPS Kabupaten Penajam Paser

Lebih terperinci

AGROEKOSISTEM PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

AGROEKOSISTEM PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA AGROEKOSISTEM PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA EKOSISTEM Ekosistem adalah suatu sistem yang terbentuk oleh interaksi dinamik antara komponen-komponen abiotik dan biotik Abiotik Biotik Ekosistem

Lebih terperinci

VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN

VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN Penilaian risiko produksi pada caisin dianalisis melalui penggunaan input atau faktor-faktor produksi terhadap produktivitas caisin. Analisis risiko produksi menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Luas wilayah Indonesia dengan keragaman agroklimatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor terpenting dalam pembangunan Indonesia, terutama dalam pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan sektor pertanian dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

Good Agricultural Practices

Good Agricultural Practices Good Agricultural Practices 1. Pengertian Good Agriculture Practice Standar pekerjaan dalam setiap usaha pertanian agar produksi yang dihaslikan memenuhi standar internasional. Standar ini harus dibuat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 109 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan pengolahan dan hasil analisis data yang telah penulis lakukan dalam penelitian tentang Pengaruh Agribisnis Hortikultura Terhadap Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang multiguna, dapat digunakan sebagai bumbu masakan, sayuran, penyedap

BAB I PENDAHULUAN. yang multiguna, dapat digunakan sebagai bumbu masakan, sayuran, penyedap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan sayuran umbi yang multiguna, dapat digunakan sebagai bumbu masakan, sayuran, penyedap masakan, di samping sebagai obat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting karena selain sebagai penghasil komoditi untuk memenuhi kebutuhan pangan, sektor pertanian juga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Komoditas hortikultura memiliki posisi yang sangat baik di pertanian Indonesia, karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi serta nilai tambah daripada komoditas lainnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian adalah sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Beberapa peran penting sektor pertanian yaitu menyerap tenaga kerja, sumber pendapatan bagi masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari sayuran.sayuran berperan penting karena mengandung berbagai

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari sayuran.sayuran berperan penting karena mengandung berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Salah satu sumber pemenuh makanan pangan dan peningkatan gizi manusia berasal dari sayuran.sayuran berperan penting karena mengandung berbagai sumber mineral, vitamin,

Lebih terperinci

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang saat ini telah menjadi penyebab berubahnya pola konsumsi penduduk, dari konsumsi pangan penghasil energi ke produk penghasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tradisional Indonesia adalah negara agraris yang banyak bergantung pada aktivitas dan hasil pertanian, dapat diartikan juga sebagai negara yang mengandalkan sektor

Lebih terperinci

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI MERAH, TOMAT, DAN MENTIMUN

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI MERAH, TOMAT, DAN MENTIMUN PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI MERAH, TOMAT, DAN MENTIMUN Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) atau hama dan penyakit berdasarkan konsepsi Pengendalian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian unggulan yang memiliki beberapa peranan penting yaitu dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Kuisioner Untuk Petani Bawang Merah. A1. Nama Responden : A4. Pendidikan : (1) tidak Sekolah (2) SD Tidak Tamat. A6.

LAMPIRAN. Kuisioner Untuk Petani Bawang Merah. A1. Nama Responden : A4. Pendidikan : (1) tidak Sekolah (2) SD Tidak Tamat. A6. LAMPIRAN Lampiran 1 Kuisioner Untuk Petani Bawang Merah A. DEMOGRAFI A1. Nama Responden : A. Umur : tahun A3. Jenis Kelamin : 1. Laki laki. Perempuan A4. Pendidikan : (1) tidak Sekolah () SD Tidak Tamat

Lebih terperinci

*) Dibiayai Dana DIPA Universitas Andalas Tahun Anggaran 2009 **) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Univ.Andalas Padang

*) Dibiayai Dana DIPA Universitas Andalas Tahun Anggaran 2009 **) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Univ.Andalas Padang PENERAPAN PENGGUNAAN INSEKTISIDA BIORASIONAL UNTUK MENGENDALIKAN HAMA KUTU KEBUL, Bemisia tabaci PENYEBAB PENYAKIT VIRUS KUNING KERITING CABAI DI NAGARI BATU TAGAK, KECAMATAN LUBUK BASUNG, KABUPATEN AGAM,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian memegang peranan

I. PENDAHULUAN. pertanian. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian memegang peranan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara pertanian (agraris) yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani atau bergerak di bidang pertanian. Tidak dapat dipungkiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia, pemenuhan kecukupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peranan penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa

I. PENDAHULUAN. kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buah-buahan merupakan salah satu komoditi hortikultura yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, PDB komoditi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah pengembangan hortikultura untuk meningkatkan pendapatan petani kecil. Petani kecil yang dimaksud dalam pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran

BAB I PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomis tinggi ditinjau dari sisi pemenuhan konsumsi nasional, sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.hal ini dapat

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.hal ini dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang diartikan pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya

Lebih terperinci

1. Pengembangan Komoditas Unggulan 2. Pengembangan Kawasan dan Sentra Produksi 3. Pengembangan Mutu Produk 4. Pengembangan Perbenihan

1. Pengembangan Komoditas Unggulan 2. Pengembangan Kawasan dan Sentra Produksi 3. Pengembangan Mutu Produk 4. Pengembangan Perbenihan KEBIJAKSANAAN UMUM 1. Pengembangan Komoditas Unggulan 2. Pengembangan Kawasan dan Sentra Produksi 3. Pengembangan Mutu Produk 4. Pengembangan Perbenihan 5. Pengembangan Perlindungan Hortikultura 6. Pengembangan

Lebih terperinci

M. Syarief, Aplikasi Pestisida Berdasarkan Monitoring Dan Penggunaan Kelambu Kasa Plastik Pada Budidaya Bawang Merah

M. Syarief, Aplikasi Pestisida Berdasarkan Monitoring Dan Penggunaan Kelambu Kasa Plastik Pada Budidaya Bawang Merah M. Syarief, Aplikasi Pestisida Berdasarkan Monitoring Dan Penggunaan Kelambu Kasa Plastik Pada Budidaya APLIKASI PESTISIDA BERDASARKAN MONITORING DAN PENGGUNAAN KELAMBU KASA PLASTIK PADA BUDIDAYA BAWANG

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lahan Pertanaman Bawang Merah Desa Sungai Nanam, Alahan Panjang, dan Salimpat termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kubis (Brassica Olearecea Var Capitata). Kubis memiliki kandungan gizi yang

I. PENDAHULUAN. kubis (Brassica Olearecea Var Capitata). Kubis memiliki kandungan gizi yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini sayuran sangat berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkatan gizi terhadap manusia, karena sayuran merupakan salah satu sumber mineral dan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian ke depan. Globalisasi dan liberasi

Lebih terperinci

Inovasi Pertanian Sumatera Selatan Mendukung Swasembada Beras Nasional

Inovasi Pertanian Sumatera Selatan Mendukung Swasembada Beras Nasional Inovasi Pertanian Sumatera Selatan Mendukung Swasembada Beras Nasional Dewasa ini, Pemerintah Daerah Sumatera Selatan (Sumsel) ingin mewujudkan Sumsel Lumbung Pangan sesuai dengan tersedianya potensi sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PRODUKSI BAWANG MERAH OFF-SEASON MENGANTISIPASI PENGATURAN IMPOR PRODUK B. MERAH. S u w a n d i

TEKNOLOGI PRODUKSI BAWANG MERAH OFF-SEASON MENGANTISIPASI PENGATURAN IMPOR PRODUK B. MERAH. S u w a n d i TEKNOLOGI PRODUKSI BAWANG MERAH OFF-SEASON MENGANTISIPASI PENGATURAN IMPOR PRODUK B. MERAH S u w a n d i DASAR PEMIKIRAN Bawang merah merupakan salah satu komoditi strategis dan ekonomis untuk pemenuhan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Komoditas Caisin ( Brassica rapa cv. caisin)

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Komoditas Caisin ( Brassica rapa cv. caisin) II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Komoditas Caisin (Brassica rapa cv. caisin) Caisin (Brassica rapa cv. caisin) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam suku kubis-kubisan atau sawi-sawian (Brassicaceae/Cruciferae).

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Risiko Produksi Fluktuasi yang terjadi pada suatu usaha, baik fluktuasi hasil produksi, harga dan jumlah permintaan yang berada dibawah standar yang ditetapkan merupakan indikasi

Lebih terperinci

A. Realisasi Keuangan

A. Realisasi Keuangan BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2008 A. Realisasi Keuangan 1. Belanja Pendapatan Realisasi belanja pendapatan (Pendapatan Asli Daerah) Tahun 2008 Dinas Pertanian Kabupaten Majalengka mencapai 100%

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELlTlAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

METODOLOGI PENELlTlAN. Waktu dan Lokasi Penelitian METODOLOGI PENELlTlAN Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2002, berlokasi di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur, di daerah dengan tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sektor pertanian di Indonesia perlu

I. PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sektor pertanian di Indonesia perlu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang menopang kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sektor pertanian di Indonesia perlu terus dikembangkan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.1 Hal , Januari-April 2014, ISSN

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.1 Hal , Januari-April 2014, ISSN PENGGUNAAN PESTISIDA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HAMA PADI DI DESA BALUNG LOR KECAMATAN BALUNG KABUPATEN JEMBER Oleh : SURATNO dan M. SYARIEF *) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dikenal oleh masyarakat Indonesia. Komoditi kentang yang diusahakan

I. PENDAHULUAN. dikenal oleh masyarakat Indonesia. Komoditi kentang yang diusahakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kentang merupakan komoditi hortikultura yang sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Komoditi kentang yang diusahakan oleh petani di Indonesia sebagian besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang sangat penting dan strategis karena jenis komoditas ini merupakan kebutuhan pokok manusia yang hakiki, yang setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman sayuran cukup penting di Indonesia, baik untuk konsumsi di dalam negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah

Lebih terperinci

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN 94 Masterplan Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan dan Hortikultura STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA JAWA TIMUR Master Plan Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan

Lebih terperinci

SCHOOL GARDEN AJARKAN ANAK CINTA MAKAN SAYUR

SCHOOL GARDEN AJARKAN ANAK CINTA MAKAN SAYUR AgroinovasI SCHOOL GARDEN AJARKAN ANAK CINTA MAKAN SAYUR Sayuran dan buah merupakan satu dari empat pilar pangan berimbang selain biji-bijian, protein dan sedikit susu yang dianjurkan dalam pemenuhan gizi

Lebih terperinci

Petunjuk Teknis Kegiatan Pengembangan Sayuran dan Tanaman Obat Tahun 2017

Petunjuk Teknis Kegiatan Pengembangan Sayuran dan Tanaman Obat Tahun 2017 Petunjuk Teknis Kegiatan Pengembangan Sayuran dan Tanaman Obat Tahun 2017 STATISTIK PRODUKSI HORTIKULTURA TAHUN 2015 Direktorat Sayuran dan Tanaman Obat Jl. AUP NO. 3 Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan sub-sektor pertanian tanaman pangan, merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan telah terbukti memberikan peranan penting bagi pembangunan nasional,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kentang merupakan komoditi hortikultura yang sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Komoditi kentang yang diusahakan oleh petani di Indonesia sebagian besar

Lebih terperinci