PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA"

Transkripsi

1 PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

2 PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

3 Diterbitkan oleh : Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Penanggung Jawab : Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc. (Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Ketua Tim Tim Penyusun Kontributor Data Sumber Foto : Dr. Riva Rovani, S.Hut., M.Agr. (Kasubdit Pemantauan Sumber Daya Hutan) : Triastuti Nugraheni, S.Hut., M.S. (Kepala Seksi Pemantauan Sumber Daya Hutan Tingkat Nasional dan Wilayah) Ahmad Basyiruddin Usman, S.Si. (Kepala Seksi Pemantauan Sumber Daya Hutan Tingkat Unit Pengelolaan) Iid Itsna Adkhi, S. Hut. Endrawati, S. Hut. : Staf Sub Direktorat Pemantauan Sumber Daya Hutan : Muhammad Yazid dan Iid Itsna Adkhi Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015 Alamat surat: Gd. Manggala Wanabakti Blok 1 Lt. 7 Jl. Gatot Subroto Senayan Jakarta pemantauan.hutan@gmail.com Telp. (021) Fax. (021) Pemantauan SDH

4 Kata pengantar Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-nya sehingga penyusunan buku Pemantauan Sumber Daya Hutan telah dapat diselesaikan. Buku ini merupakan penyempurnaan dari edisi sebelumnya dan bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kegiatan pemantauan sumber daya hutan di Indonesia yang dilakukan secara periodik oleh Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Pemantauan sumber daya hutan dilakukan secara khusus dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh untuk mendapatkan data penutupan lahan Indonesia secara menyeluruh baik di areal kawasan hutan maupun bukan kawasan hutan. Pemantauan penutupan lahan seluruh Indonesia telah dilaksanakan secara berkala melalui kegiatan penafsiran citra satelit relosusi sedang. Kegiatan penafsiran citra dilaksanakan oleh Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan bekerjasama dengan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan yaitu Balai Pemantapan Kawasan Hutan yang tersebar di seluruh Indonesia. Semoga buku ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi yang dibutuhkan. Penyusun Pemantauan SDH 3

5

6 Daftar Isi Kata pengantar... 3 Daftar Isi... 5 Daftar Gambar... 5 PENDAHULUAN PENUTUPAN LAHAN Penutupan Lahan Skala Nasional Penutupan Lahan Skala Unit Pengelolaan Penutupan lahan terkait Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi Penutupan lahan terkait Taman Nasional dan Kawasan Konservasi Daftar Gambar Gambar 1. Skema kegiatan pemantauan sumber daya hutan pada Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan....8 Gambar 2. Peta penutupan lahan nasional tahun Gambar 3. Contoh hutan lahan kering primer Gambar 4. Contoh hutan lahan kering sekunder Gambar 5. Contoh hutan rawa primer Penutupan lahan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan DINAMIKA PERKEMBANGAN HUTAN Degradasi hutan Deforestasi Reforestasi IDENTIFIKASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN PENGECEKAN LAPANGAN UNTUK MENDUKUNG PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN Daftar Pustaka Gambar 6. Contoh hutan rawa sekunder Gambar 7. Contoh hutan mangrove primer Gambar 8. Contoh hutan mangrove sekunder Gambar 9. Contoh hutan tanaman Gambar 10. Contoh perkebunan Gambar 11. Contoh semak belukar Gambar 12. Contoh semak belukar rawa Pemantauan SDH 5

7 Gambar 13. Contoh padang rumput Gambar 14. Contoh pertanian lahan kering Gambar 15. Contoh pertanian lahan kering bercampur semak Gambar 16. Contoh sawah Gambar 17. Contoh Tambak Gambar 18. Contoh permukiman / lahan terbangun Gambar 19. Contoh Transmigrasi Gambar 20. Contoh tanah terbuka Gambar 21. Contoh pertambangan Gambar 22. Contoh tubuh air (danau) Gambar 23. Contoh rawa Gambar 24. Contoh bandara Gambar 25. Contoh cuplikan Citra Landsat 7 ETM+ Band 543 pada areal hutan yang terdegradasi (a), deforestasi (b) dan reforestasi (c) Gambar 26. Grafik perubahan luas penutupan lahan dari periode tahun 1990 hingga tahun 2014 (a), penutupan lahan pada tahun 1990 (b) dan penutupan lahan pada tahun 2014 (c) Gambar 27. Grafik jumlah titik panas tahunan di Indonesia (sumber Firms NASA). Data hingga November Gambar 28. Perbandingan hasil titik panas (titik hijau), kerapatan titik (garis biru) dan hasil deliniasi kebakaran (garis merah) Gambar 29. Pengambilan data lapangan Pemantauan SDH

8 PENDAHULUAN Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memiliki tanggung jawab untuk mengelola hutan secara lestari dan berkesinambungan. Seluruh sumber daya yang terdapat di dalam hutan dapat terinformasikan secara detail dan berkala. Perubahan kondisi hutan yang sangat dinamis mendorong Kementerian LHK untuk menyiapkan data secara rutin dalam jangka waktu tertentu. Pemantauan sumber daya hutan diperlukan untuk memberikan informasi kondisi hutan Indonesia secara menyeluruh. Pemantauan sumber daya hutan yang dilakukan oleh Kementerian LHK dalam hal ini Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (Dit. IPSDH) adalah pemantauan tutupan lahan seluruh Indonesia. Penutupan lahan dihasilkan dari kegiatan penafsiran data citra satelit secara manual (digitasi onscreen). Kegiatan pemantauan sumber daya hutan dilaksanakan dengan melibatkan beberapa pihak antara lain Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan yaitu Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) yang tersebar di seluruh Indonesia. LAPAN menyediakan data citra satelit seluruh Indonesia dalam kondisi yang sesuai dengan kebutuhan Kementerian LHK (Gambar 1). BIG menyediakan peta dasar yang menjadi acuan dalam penafsiran citra satelit. Kegiatan penafsiran sendiri dilaksanakan oleh BPKH dengan dipandu oleh Dit. IPSDH. Keterlibatan BPKH dalam kegiatan pemantauan sumber daya hutan adalah untuk meningkatkan kualitas data yang dihasilkan. Dengan kemampuan dan pemahaman lapangan maka diharapkan data yang dihasilkan sangat sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Pemantauan SDH 7

9 Gambar 1. Skema kegiatan pemantauan sumber daya hutan pada Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan. 8 Pemantauan SDH

10 1. PENUTUPAN LAHAN Penutupan lahan merupakan garis yang menggambarkan batas penampakan area tutupan di atas permukaan bumi yang terdiri dari bentang alam dan/atau bentang buatan (UU No.4, 2011). Penutupan lahan dapat pula berarti tutupan biofisik pada permukaan bumi yang dapat diamati dan merupakan hasil pengaturan, aktivitas, dan perlakuan manusia yang dilakukan pada jenis penutup lahan tertentu untuk melakukan kegiatan produksi, perubahan, ataupun perawatan pada areal tersebut (SNI 7645, 2010). Data penutupan lahan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan antara lain: - Analisa dinamika perkembangan hutan (degradasi, deforestasi dan reforestasi). - Perhitungan cadangan dan emisi karbon. - Perencanaan dan pengembangan suatu daerah / areal (tata ruang wilayah). - Pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja pemegang izin usaha pada kawasan hutan hutan (pemantauan areal penebangan, realisasi tanam dan pembukaan tambang). - Pemantauan areal Kawasan konservasi dan Kesatuan Pengelolaan Hutan dari perambahan, pembalakan liar dan kebakaran lahan dan hutan. Penafsiran citra satelit untuk menghasilkan peta penutupan lahan dilakukan secara visual. Kegiatan ini dilaksanakan dengan membuat batas setiap kelas penutupan lahan dengan cara mendeliniasi penampakan pada citra satelit yang tersaji di layar komputer (digitasi onscreen) menggunakan perangkat lunak penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG). Penafsiran juga dilaksanakan sesuai kaidah interdependensi, artinya hasil penafsiran penutupan lahan tahun sebelumnya menjadi acuan dalam kegiatan penafsiran periode berjalan. Dengan metode ini penafsiran ulang hanya pada areal yang mengalami perubahan saja. Penafsiran secara visual oleh operator penafsir citra satelit dikerjakan dengan memperhatikan karakteristik objek yang tergambar pada Pemantauan SDH 9

11 citra. Karakter ini biasa disebut unsur interpretasi citra atau unsur diagnostik citra. Hal ini dimanfaatkan untuk mengenali objek-objek yang tergambar pada citra penginderaan jauh. Unsur-unsur interpretasi citra meliputi: Rona / tone dan warna Rona adalah gradasi kecerahan relatif objek pada citra, sedangkan warna adalah perbedaan gradasi warna objek pada citra. Dalam penafsiran perbedaan rona atau warna pada suatu citra dapat dipergunakan untuk menentukan jenis objek tersebut. Objek yang lebih cerah adalah objek yang memiliki nilai albedo (pantulan energi) yang lebih tinggi pada spektrum tertentu. Rona dan warna ini merupakan elemen dasar dari persepsi manusia secara visual. Sebagai contoh hutan primer dalam tampilan Citra Landsat 8 Band 6, 5 dan 4 pada saluran RGB (Red, Green, Blue) akan kelihatan hijau tua sedangkan belukar akan terlihat hijau muda. Elemen ini harus ada dalam penafsiran karena pengenalan objek paling mudah adalah dengan melihat warnanya dan tingkat gradasi warna tersebut. Tekstur / derajat kekasaran Tekstur adalah susunan dan frekuensi variasi rona pada lokasi tertentu pada citra. Tekstur kasar adalah frekuensi rona yang tidak seragam dalam suatu lokasi, sedangkan tekstur halus adalah objek yang ronanya cenderung seragam. Unsur ini merupakan gambaran agregasi (pengelompokan) unit kenampakan yang terlalu kecil untuk dideteksi secara individual, tetapi cukup memberikan struktur kenampakan yang berbeda di atas citra. Sebagai contoh; hutan tanaman, perkebunan dan tanaman yang seragam ukurannya akan memiliki tekstur halus. Hutan alam atau hutan yang tidak memiliki ukuran yang seragam dan species yang sejenis akan memiliki tekstur kasar. Pola / pattern Pola adalah susunan spasial objek yang dapat dibedakan secara visual. Biasanya berwujud pengulangan rona / warna atau tekstur yang sama yang membentuk pola yang dapat dikenali. Pola dapat menggambarkan tingkat / perbedaan pengaturan spasial dari obyek yang dapat dilihat. Diindikasikan dengan jarak keruangan (spacing) dan 10 Pemantauan SDH

12 kerapatan. Pola juga menggambarkan bentuk dari suatu hubungan keterkaitan antara / dari obyek yang diamati. Misalnya pola kotak-kotak halus dengan ukuran, warna dan jarak tertentu akan langsung diidentikkan dengan sebuah obyek tertentu (perkebunan, sawah atau tambak). Ukuran Ukuran dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi atau membedakan obyek. Ukuran absolut objek adalah suatu fungsi skala. Ukuran absolut baru dapat diketahui setelah memperhitungkan skala. Dalam penafsiran, dikarenakan pertimbangan waktu dan kepraktisan, ukuran relatif juga sering dapat dipergunakan untuk mengidentifikasikan objek dengan membandingkannya dengan objek yang lain. Ukuran ini dapat menggambarkan kekontrasan terhadap keadaan sekelilingnya sehingga memudahkan dalam identifikasi obyek. Misalnya kebun memiliki ukuran petak persegi empat yang jauh lebih besar dibandingkan petakpetak sawah meskipun keduanya memiliki derajat kehijauan yang sama pada saat tertentu. Skala merupakan faktor yang harus dipertimbangkan sebagai hal penting yang mempengaruhi ukuran obyek yang diamati (besar atau kecilnya obyek). Dengan mengetahui skala pada waktu ditampilkan maka akan lebih mudah untuk menduga obyek yang sedang diamati. Bentuk Bentuk adalah kenampakan secara umum, struktur atau bagan suatu objek. Bentuk suatu objek dapat sangat jelas dan mudah dibedakan, tetapi dapat pula kabur tergantung dari resolusi spasial yang digunakan. Semakin tinggi resolusi spasialnya maka akan semakin mudah untuk melakukan identifikasi bentuknya. Karenanya unsur bentuk ini sangat berkaitan dengan kenampakan spasial dari obyek/area yang diamati. Unsur bentuk ini sering digunakan untuk membedakan kenampakan alami (natural) atau pun buatan (manusia). Objek yang dibuat manusia cenderung memiliki bentuk tertentu sedangkan kenampakan obyek alami seringkali tidak beraturan bentuknya. Sebagai contoh batas hutan alami biasanya mengikuti bentuk bentang lahan yang biasanya Pemantauan SDH 11

13 tidak teratur. Namun untuk hutan tanaman, perkebunan atau hasil kegiatan manusia lainnya cenderung memiliki bentuk tertentu seperti persegi empat. Bayangan Bayangan membantu pada identifikasi pohon runcing, tajuk sedikit pada lahan terbuka dan semak berukuran tinggi. Pada keadaan hutan rapat bayangan juga dapat memperlihatkan adanya variasi ukuran (tinggi) pohon. Bayangan juga berguna untuk melihat keadaan topografi jika citra yang digunakan belum mengalami koreksi ketinggian (terrain correction). Daerah bergunung akan memperlihatkan bayangan akibat terhalangnya sinar matahari pada puncak gunung. Penafsir juga harus memperhatikan bayangan awan yang seringkali membuat rona tumbuhan bawah tampak lebih gelap sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan dengan menduga vegetasi tersebut sebagai hutan primer. obyek yang diamati. Misalnya hutan sagu seringkali terdapat di Papua. Hutan pohon kayu putih atau cengkeh bias ditemui di daerah Maluku. Asosiasi Asosiasi dapat digunakan untuk menentukan objek dengan memperhitungkan hubungan antara objek-objek yang dikenali. Asosiasi digunakan untuk melihat keterkaitan hubungan keruangan antara obyek-obyek yang diamati. Sebagai contoh perladangan biasanya dekat dengan permukiman, areal terbuka/semak biasanya agak jauh dari permukiman. Namun demikian perlu pula diperhatikan bahwa asosiasi bukan merupakan kepastian yang bersifat mutlak. Misalnya belum tentu jika ditemukan petak-petak berukuran kecil dan berada di dekat pantai ditafsirkan sebagai tambak, namun terkadang sawah juga ditemukan di tepi pantai seperti yang biasa ditemui di daerah Padang Pariaman, Sumatera Barat. Situs Situs berkaitan dengan keadaan topografis atau geografis sebuah area / obyek. Situs berguna untuk menentukan jenis vegetasi atau sistem lahan pada 12 Pemantauan SDH

14 1.1. Penutupan Lahan Skala Nasional Informasi penutupan lahan skala nasional dihasilkan dari hasil interpretasi citra resolusi sedang. Hampir seluruh informasi diperoleh dari penafsiran data Landsat. Citra satelit landsat dipilih karena merupakan citra satelit yang memiliki resolusi temporal yang cukup pendek / rapat sehingga dapat memberikan informasi yang konsisten dan berkesinambungan dan juga memiliki cakupan data meliputi seluruh Indonesia (217 scene). Penafsiran penutupan lahan menggunakan citra Landsat telah dilaksanakan sejak tahun 2000 hingga sekarang. Dalam periode tahun penafsiran citra satelit dilaksanakan dengan periode 3 tahunan (2000, 2003, 2006 dan 2009). Namun dengan tersedianya citra Landsat yang tidak berbayar sejak tahun 2009 (Woodcock et.al. 2008), maka pada tahun 2011 penafsiran dapat dilaksanakan secara rutin satu tahunan. Pemahaman lokal tentang lokasi area yang dianalisa sangat dibutuhkan sehingga mampu menghasilkan data yang terpercaya. Hal ini menjadi dasar bahwa kegiatan penafsiran penutupan lahan skala nasional dilaksanakan dengan melibatkan seluruh Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan di seluruh Indonesia. Penutupan lahan skala nasional memiliki 22 kelas penutupan lahan dengan 7 kelas penutupan Gambar 2. Peta penutupan lahan nasional tahun 2014 Pemantauan SDH 13

15 hutan dan 15 kelas penutupan bukan hutan. Penetapan standar kelas ini didasarkan pada pemenuhan kepentingan di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara khusus dan institusi-institusi terkait tingkat nasional secara umum. 1) Hutan lahan kering primer (Hp / 2001) Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan (dataran tinggi dan subalpin) yang belum menampakkan bekas penebangan, termasuk hutan kerdil, hutan kerangas, hutan di atas batuan kapur, hutan di atas batuan ultra basa, hutan daun jarum, hutan luruh daun dan hutan lumut. 2) Hutan lahan kering sekunder / bekas tebangan (Hs / 2002) Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas tebang), termasuk hutan kerdil, hutan kerangas, hutan di atas batuan kapur, hutan di atas batuan ultra basa, hutan daun jarum, hutan luruh daun dan hutan lumut. Daerah berhutan bekas tebas bakar yang ditinggalkan, bekas kebakaran atau yang tumbuh kembali dari bekas tanah terdegradasi juga dimasukkan dalam kelas ini. Bekas tebangan parah bukan areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukkan savanna, semak belukar atau lahan terbuka. Gambar 3. Contoh hutan lahan kering primer. Gambar 4. Contoh hutan lahan kering sekunder. 14 Pemantauan SDH

16 3) Hutan rawa primer (Hrp / 2005) Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut yang belum menampakkan bekas penebangan, termasuk hutan sagu. Gambar 6. Contoh hutan rawa sekunder. Gambar 5. Contoh hutan rawa primer. 4) Hutan rawa sekunder / bekas tebangan (Hrs / 20051) Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut yang telah menampakkan bekas penebangan, termasuk hutan sagu dan hutan rawa bekas terbakar. Bekas tebangan parah jika tidak memperlihatkan tanda genangan (liputan air) digolongkan tanah terbuka, sedangkan jika memperlihatkan bekas genangan atau tergenang digolongkan tubuh air (rawa). 5) Hutan mangrove primer (Hmp / 2004) Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai yang belum menampakkan bekas penebangan. Pada beberapa lokasi, hutan mangrove berada lebih ke pedalaman. Gambar 7. Contoh hutan mangrove primer. 6) Hutan mangrove sekunder / bekas tebangan (Hms / 20041) Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai yang telah memperlihatkan bekas penebangan dengan pola Pemantauan SDH 15

17 alur, bercak, dan genangan atau bekas terbakar. Khusus untuk bekas tebangan yang telah berubah fungsi menjadi tambak/sawah digolongkan menjadi tambak/sawah, sedangkan yang tidak memperlihatkan pola dan masih tergenang digolongkan tubuh air (rawa). Gambar 8. Contoh hutan mangrove sekunder. 7) Hutan tanaman (Ht / 2006) Seluruh kawasan hutan tanaman yang sudah ditanami, termasuk hutan tanaman untuk reboisasi. Identifikasi lokasi dapat diperoleh dengan Peta Persebaran Hutan Tanaman. Catatan: Lokasi hutan tanaman yang didalamnya adalah tanah terbuka dan atau semak-belukar maka didelineasi sesuai dengan kondisi tersebut dan diberi kode sesuai dengan kondisi tersebut misalnya tanah terbuka (2014) dan semak- belukar (2007). Gambar 9. Contoh hutan tanaman. 8) Perkebunan / Kebun (Pk / 2010) Seluruh kawasan perkebunan, yang sudah ditanami. Identifikasi lokasi dapat diperoleh dengan Peta Persebaran Perkebunan. Perkebunan rakyat yang biasanya berukuran kecil akan sulit diidentifikasikan dari citra maupun peta persebaran, sehingga memerlukan informasi lain, termasuk data lapangan. Catatan: Lokasi perkebunan/kebun yang didalamnya adalah tanah terbuka dan atau semak-belukar maka didelineasi sesuai dengan kondisi tersebut dan diberi kode sesuai dengan kondisi tersebut misalnya tanah terbuka (2014) dan semak- belukar (2007). 16 Pemantauan SDH

18 menampakkan lagi bekas / bercak tebangan. Gambar 10. Contoh perkebunan. 9) Semak belukar (B / 2007) Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Kawasan ini biasanya tidak menampakkan lagi bekas/bercak tebangan. Gambar 12. Contoh semak belukar rawa. 11) Savanna / Padang rumput (S / 3000) Kenampakan non hutan alami berupa padang rumput, kadangkadang dengan sedikit semak atau pohon. Kenampakan ini merupakan kenampakan alami di sebagian Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan bagian Selatan Papua. Kenampakan ini dapat terjadi pada lahan kering ataupun rawa (rumput rawa). Gambar 11. Contoh semak belukar. 10) Semak belukar rawa (Br / 20071) Kawasan bekas hutan rawa / mangrove yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Kawasan ini biasanya tidak Gambar 13. Contoh padang rumput. Pemantauan SDH 17

19 12) Pertanian lahan kering (Pt / 20091) Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang. Gambar 14. Contoh pertanian lahan kering. 13) Pertanian lahan kering campur semak / kebun campur (Pc / 20092) Semua jenis pertanian lahan kering yang berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan. Sering muncul pada areal perladangan berpindah, dan rotasi tanam lahan karst. Kelas ini juga memasukkan kelas kebun campuran. Gambar 15. Contoh pertanian lahan kering bercampur semak. 14) Sawah (Sw / 20093) Semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang. Yang perlu diperhatikan oleh penafsir adalah fase rotasi tanam yang terdiri atas fase penggenangan, fase tanaman muda, fase tanaman tua dan fase bera. Kelas ini juga memasukkan sawah musiman, sawah tadah hujan, sawah irigasi. Khusus untuk sawah musiman di daerah rawa membutuhkan informasi tambahan dari lapangan. Gambar 16. Contoh sawah. 15) Tambak (Tm / 20094) Aktivitas perikanan darat (ikan / udang) atau penggaraman yang tampak dengan pola pematang (biasanya) di sekitar pantai. 18 Pemantauan SDH

20 dikelaskan menjadi permukiman perdesaan. Gambar 17. Contoh Tambak. 16) Permukiman / Lahan terbangun (Pm / 2012) Kawasan permukiman, baik perkotaan, perdesaan, industri dll. yang memperlihatkan pola alur rapat. Gambar 18. Contoh permukiman / lahan terbangun. 17) Transmigrasi (Tr / 20122) Kawasan permukiman transmigrasi beserta pekarangan di sekitarnya. Kawasan pertanian atau perkebunan di sekitarnya yang teridentifikasi jelas sebaiknya dikelaskan menurut pertanian atau perkebunan. Kawasan transmigrasi yang telah berkembang sehingga polanya menjadi kurang teratur Gambar 19. Contoh Transmigrasi. 18) Lahan terbuka (T / 2014) Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, puncak bersalju, kawah vulkanik, gosong pasir, pasir pantai, endapan sungai), dan lahan terbuka bekas kebakaran. Kenampakan lahan terbuka untuk pertambangan dikelaskan pertambangan, sedangkan lahan terbuka bekas pembersihan lahan- land clearing dimasukkan kelas lahan terbuka. Lahan terbuka dalam kerangka rotasi tanam sawah / tambak tetap dikelaskan sawah / tambak. Pemantauan SDH 19

21 20) Tubuh air (A / 5001) Semua kenampakan perairan, terasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang, padang lamun dll. Kenampakan tambak, sawah dan rawa-rawa telah digolongkan tersendiri. Gambar 20. Contoh tanah terbuka. 19) Pertambangan (Tb / 20141) Lahan terbuka yang digunakan untuk aktivitas pertambangan terbuka- open pit (spt.: batubara, timah, tembaga dll.), serta lahan pertambangan tertutup skala besar yang dapat diidentifikasikan dari citra berdasar asosiasi kenampakan objeknya, termasuk tailing ground (penimbunan limbah penambangan). Lahan pertambangan tertutup skala kecil atau yang tidak teridentifikasi dikelaskan menurut kenampakan permukaannya. Gambar 22. Contoh tubuh air (danau). 21) Rawa (Rw / 50011) Kenampakan lahan rawa (basah) yang sudah tidak berhutan. Gambar 23. Contoh rawa. Gambar 21. Contoh pertambangan. 22) Bandara / Pelabuhan (Bdr/Plb / 20121) Kenampakan bandara dan pelabuhan yang berukuran besar dan memungkinkan untuk didelineasi tersendiri. 20 Pemantauan SDH

22 informasi yang lebih detail dari pada citra Landsat yang beresolusi sedang. Gambar 24. Contoh bandara Penutupan Lahan Skala Unit Pengelolaan Pemantauan penutupan lahan skala unit pengelolaan dilaksanakan pada areal unitunit pengelolaan hutan di Indonesia. Unit-unit pengelolaan yang dimaksud meliputi Kesatuan Pengelolaan Hutan, Taman Nasional atau Kawasan Konservasi lainnya dan areaarea yang dibebani ijin usaha pemanfaatan hasil hutan. Pemantauan lahan untuk unit pengelolaan memiliki skala yang lebih besar dari pada skala nasional sehingga dapat digunakan sebagai dasar operasional manajemen unit pengelolaan. Sumber data penutupan lahan skala unit pengelolaan berasal dari citra resolusi tinggi seperti SPOT, GEOEYE, Quickbird, IKONOS, Worldview dan sebagainya. Citra-citra tersebut memiliki resolusi spasial yang cukup tinggi sehingga memberikan Kelas penutupan lahan pada unit pengelolaan merupakan pendetailan dari kelas penutupan lahan nasional. Pendetailan pada kelas hutan dan kelas semak belukar. Penutupan lahan hutan didetailkan berdasarkan stratifikasi kelas hutan yang meliputi kelas kerapatan dan diameter tajuk. Penutupan lahan semak belukar didetailkan menjadi kelas belukar muda bercampur semak dan kelas belukar tua Penutupan lahan terkait Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi Sebagai syarat permohonan dan pengelolaan area hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dan hutan tanaman (IUPHHK-HA/HT) diwajibkan melakukan pemantauan penutupan lahan dari citra satelit skala 1: setiap 2 tahun sekali (Permenhut No P.19 dan P.20, 2007). Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya bertugas untuk memverifikasi data penutupan lahan dari hasil Pemantauan SDH 21

23 penafsiran citra satelit yang dilaksanakan oleh pemegang izin tersebut. Peta penutupan lahan ini menunjang penyusunan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang akan dikelola oleh pemegang izin usaha Penutupan lahan terkait Taman Nasional dan Kawasan Konservasi Analisa penutupan lahan di Taman Nasional dan Kawasan Konservasi lainnya memiliki beberapa tujuan, antara lain; untuk penentuan zona pengelolaan dalam kawasan tersebut. Zonasi taman nasional didasarkan pada potensi dan kondisi fisik di lapangan sehingga dapat disesuaikan dengan peruntukannya seperti untuk perlindungan, pengelolaan habitat fauna / flora, pariwisata, penelitian dan ilmu pengetahuan (Permenhut P.56, 2006) Penutupan lahan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan unit manajemen yang memiliki fungsi untuk mengatur pengelolaan kawasan hutan agar terwujud keberlangsungan fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial. Kegiatan pengelolaan hutan ini meliputi: penataan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi, perlindungan hutan dan pemantauan dan pengendalian terhadap pemegang izin usaha pengelolaan hasil hutan. Data penutupan lahan menunjang keseluruhan kegiatan KPH. Pembentukan KPH membutuhkan data kondisi fisik dan potensi sebuah lahan untuk dapat merencanakan pengelolaan ke depannya. Dalam tugas pengawasan, KPH menggunakan data penutupan lahan untuk analisa kemungkinan terjadinya pembalakan liar ataupun pembakaran hutan dan lahan. 22 Pemantauan SDH

24 2. DINAMIKA PERKEMBANGAN HUTAN Perkembangan hutan Indonesia sangat dinamis dari waktu ke waktu. Hutan di Indonesia memiliki struktur tegakan yang sangat komplek. Bahkan hampir setiap pulau memiliki karakteristik yang beraneka ragam. Perbedaan struktur tegakan ini dapat disebabkan oleh perkembangan alami pada suatu penutupan lahan ataupun karena campur tangan manusia seperti aktifitas perambahan, kebakaran dsb. Pemantauan dinamika perkembangan hutan dititikberatkan pada perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder (degradasi hutan), perubahan dari hutan menjadi bukan hutan (deforestasi) dan penambahan luas hutan (reforestasi). Perubahanperubahan ini dapat dianalisa dari data penutupan lahan. Degradasi hutan Degradasi hutan adalah seluruh perubahan hutan dari hutan primer menjadi hutan sekunder dan hutan tanaman, atau dalam arti lain dapat dikatakan sebagai penurunan kualitas hutan. Degradasi hutan banyak terjadi di areal hutan primer yang dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA). Aktivitas pembukaan hutan dan pemanenan tegakan menyebabkan penurunan kualitas penutupan hutan dari primer menjadi sekunder. Kemunculan jaringan jalan pada penutupan lahan hutan juga dapat menjadi indikasi hutan yang terdegradasi (Gambar 25a). Deforestasi Deforestasi merupakan proses berubahnya tutupan lahan berhutan menjadi bukan hutan. Perubahan dapat disebabkan oleh konversi lahan berupa aktivitas land clearing maupun bencana seperti tanah longsor dan kebakaran. Deforestasi tertinggi di Indonesia terjadi pada periode tahun Pada periode ini kondisi politik dan sosial masyarakat indonesia sedang bergejolak. Hal ini memicu terjadinya pembalakan liar besarbesaran. Selain itu kebakaran hutan besar yang terjadi pada tahun juga menambah angka deforestasi Indonesia pada periode tersebut. Pemantauan SDH 23

25 Reforestasi Reforestasi atau penghutanan kembali sering menjadi pokok permasalahan yang terlupakan. Penghutan kembali dapat berupa kembalinya hutan alam karena pertumbuhan alami atau perubahan karena pertambahan hutan tanaman, reboisasi di lahan kritis atau lahan tidak produktif lainnya dan reklamasi bekas pertambangan. Upaya penghutanan kembali lahan di Indonesia dilakukan dalam berbagai cara. Pengelolaan hutan pada lokasi yang memiliki izin pemanfaatan hasil hutan dilaksanakan dengan memilih system silvikultur yang tepat pada lahan tersebut. Upaya ini dimaksudkan agar pada lahan bekas tebangan dapat menjadi berhutan kembali dalam jangka waktu yang diharapkan. Pembangunan Hutan Tanaman Indonesia sebagai salah satu upaya peningkatan jumlah hutan difokuskan pada lahan yang memiliki penutupan lahan semak belukar dan lahan non hutan lainnya. Hal ini tentunya akan menambah jumlah lahan berhutan di Indonesia (a) (b) (c) Gambar 25. Contoh cuplikan Citra Landsat 7 ETM+ Band 543 pada areal hutan yang terdegradasi (a), deforestasi (b) dan reforestasi (c). 24 Pemantauan SDH

26 Luas Areal (jt ha) Tahun (a) H Primer H Sekunder Non Hutan Perairan (b) (c) Gambar 26. Grafik perubahan luas penutupan lahan dari periode tahun 1990 hingga tahun 2014 (a), penutupan lahan pada tahun 1990 (b) dan penutupan lahan pada tahun 2014 (c) Pemantauan SDH 25

27 26 Pemantauan SDH

28 3. IDENTIFIKASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN Pada pertengahan tahun 2015 Indonesia menghadapi kemarau panjang yang diakibatkan oleh pengaruh El Nino pada samudera Pasifik. Kekeringan yang cukup lama ini menyebabkan kebakaran lahan dan hutan terutama di lahan gambut menjadi tidak terkendali. Sumatera, Kalimantan dan Papua memiliki jumlah titik panas terbanyak dan areal terbakar yang luas. Kebakaran ini bahkan menyebabkan munculnya penutupan kabut asap di sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan selama berbulan-bulan. Kebakaran lahan dan hutan dalam skala besar sudah menjadi siklus beberapa tahun sebelumnya. Kebakaran besar juga pernah terjadi pada tahun , 1991,1994 dan , 2006, dan kembali kebakaran lahan dan hutan terjadi pada tahun Kejadian-kejadian ini ditunjukkan dengan adanya jumlah titik panas yang cukup besar pada saat adanya kebakaran (Gambar 27).Akibat kebakaran lahan dan hutan tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat utamanya kesehatan, ekonomi Gambar 27. Grafik jumlah titik panas tahunan di Indonesia (sumber Firms NASA). Data hingga November Pemantauan SDH 27

29 dan sosial masyarakat secara nasional namun juga telah mempengaruhi kualitas udara di negara tetangga. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya serius untuk menanggulanginya dengan menganalisa penyebab kebakaran hutan dan lahan. Salah satu usaha yang dilakukan oleh Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan adalah dengan mengidentifikasi areal kebakaran lahan dan hutan. Analisa areal terbakar ini juga akan mendukung penilaian kerusakan ekosistem dan penanganan lanjutan area bekas terbakar. Tahap identifikasi areal kebakaran lahan dan hutan 1) Pengumpulan data titik panas pada periode waktu tertentu. Pengumpulan data titik panas diperoleh dari web NASA ( a.gov) yang merupakan data olahan dari citra MODIS Terra / Aqua. Data titik panas yang dikumpulkan berdasarkan periode pengamatan tertentu dapat berupa harian, mingguan, bulanan maupun tahunan. 2) Estimasi areal kebakaran dengan analisa kerapatan titik panas (point density analysis). Analisa kerapatan titik panas sangat mudah dan cepat untuk menentukan indikasi luas areal kebakaran. Areal indikasi terbakar yang memiliki titik panas mengelompok menghasilkan luas areal yang cukup menggambarkan seberapa luas areal terbakar. Bila titik panas menyebar maka kesalahan yang dihasilkan dari analisa kerapatan ini akan menjadi lebih besar lagi. Analisa kerapatan titik panas ini hanya cocok digunakan untuk areal kebakaran pada Pulau Sumatera. Sedangkan pada Pulau Kalimantan, kesalahan yang dihasilkan lebih besar. Karakteristik titik panas di Pulau Kalimantan lebih tersebar daripada di Sumatera hal ini dapat disebabkan pada saat peliputan data Modis banyak areal yang tertutup kabut asap sehingga tidak terdeteksi adanya titik panas. 28 Pemantauan SDH

30 Gambar 28. Perbandingan hasil titik panas (titik hijau), kerapatan titik (garis biru) dan hasil deliniasi kebakaran (garis merah). 3) Deliniasi areal kebakaran berdasarkan data citra Landsat terbaru sesuai dengan data titik panas pada periode tertentu. Citra Landsat dengan resolusi 30 meter mampu menunjukkan areal terbakar secara jelas (Gambar 29). Deliniasi dilaksanakan secara manual agar tidak terpengaruh oleh kesalahan atmosfer pada citra Landsat. Pada areal terbakar sering didapati penutupan kabut asap tipis dan awan sehingga menyulitkan untuk dilaksanakan deliniasi secara otomatis. Untuk mempercepat kegiatan deliniasi areal kebakaran maka data citra Landsat diunduh dalam format jpeg yang memiliki referensi geospasial. Data ini memiliki ukuran file yang lebih kecil sehingga dapat diunduh secara cepat dan memiliki perbedaan yang tidak signifikan dengan data asli Landsat dengan band natural pada skala penafsiran 1: ) Analisa lanjutan dengan menggunakan data tema kehutanan lainnya. Analisa dilaksanakan untuk mengetahui dimana saja lokasi kebakaran tersebut. Kebakaran lahan dan hutan dapat terjadi di kawasan hutan yang dibebani izin maupun tidak. Luas areal Pemantauan SDH 29

31 kebakaran juga dapat dijadikan dasar penyidikan untuk menangkap tersangka pembakar lahan dan hutan. 5) Verifikasi lapangan. Pengecekan lapangan dilaksanakan untuk menilai keakuratan hasil deliniasi dan kesesuaian hasil areal kebakaran dengan kondisi nyata di lapangan. Gambar 29. Pengambilan data lapangan 30 Pemantauan SDH

32 4. PENGECEKAN LAPANGAN UNTUK MENDUKUNG PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN Pengecekan lapangan dilaksanakan untuk memverifikasi data penutupan lahan dan areal kebakaran lahan dan hutan. Data hasil pengecekan lapangan juga bertujuan untuk meningkatkan akurasi hasil penafsiran citra satelit. Selain itu kegiatan ini juga akan menambah data dan informasi tambahan dari lapangan yang tidak mungkin diperoleh dari penafsiran citra penginderaan jauh, termasuk perubahan penutupan lahan terkini yang belum terdeteksi oleh citra penginderaan jauh yang dipergunakan. Penentuan lokasi cek lapangan didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti: Keterwakilan kelas-kelas penutupan lahan pada area tertentu (cakupan Provinsi). Pertimbangan masukan dari pengguna data penutupan lahan tentang kondisi penutupan lahan yang ada di areal tertentu. Perbedaan persepsi kondisi penutupan lahan, misalnya perbedaan antara hutan dengan belukar. Adanya daerah yang memiliki ciri khas tertentu, misalnya hutan karst dan hutan rawang (kerdil). Waktu dan aksessibilitas daerah tersebut. Pemantauan SDH 31

33 32 Pemantauan SDH

34 Daftar Pustaka Peraturan Menteri kehutanan Nomor P.56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2007 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pemberian Izin Dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2007 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi Melalui Permohonan. SNI Nomor 7645 Tahun 2010 Tentang Klasifikasi Penutup Lahan, BSNI: Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial. Woodcock, C. E. et.al Free access to Landsat imagery. Science, Vol. 320, hal Pemantauan SDH 33

35 34 Pemantauan SDH

36 Pemantauan SDH 35

37 Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015 Alamat surat: Gd. Manggala Wanabakti Blok 1 Lt. 7 Jl. Gatot Subroto Senayan Jakarta pemantauan.hutan@gmail.com Telp. (021) Fax. (021) Pemantauan SDH

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan No. Kelas 1 Hutan lahan kering primer dataran rendah 2 Hutan lahan kering primer pegunungan rendah 3 Hutan lahan kering sekunder dataran

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual

Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual Standar Nasional Indonesia Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual ICS 65.020 Badan Standardisasi Nasional BSN 2014 Hak cipta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

ANALISIS DATA TITIK PANAS (HOTSPOT) KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN TAHUN 2015

ANALISIS DATA TITIK PANAS (HOTSPOT) KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN TAHUN 2015 ANALISIS DATA TITIK PANAS (HOTSPOT) KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN TAHUN 2015 ENDRAWATI, S.Hut RETNOSARI YUSNITA, S.Hut Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Direktorat Jenderal Planologi

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU Kelas C Oleh : Ayu Sulistya Kusumaningtyas 115040201111013 Dwi Ratnasari 115040207111011 Fefri Nurlaili Agustin 115040201111105 Fitri Wahyuni 115040213111050

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

Standar Nasional Indonesia ICS BSN. Badan Standarisasi Nasional

Standar Nasional Indonesia ICS BSN. Badan Standarisasi Nasional RSNI-1 RSNI Standar Nasional Indonesia KELAS PENUTUPAN LAHAN DALAM PENAFSIRAN CITRA OPTIS RESOLUSI SEDANG ICS Badan Standarisasi Nasional BSN Daftar Isi Halaman Daftar isi... i Prakata. iii 1 Ruang lingkup

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2015 DEFORESTASI INDONESIA TAHUN 2013-2014

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN Wiweka Peneliti Kantor Kedeputian Penginderaan Jauh LAPAN Dosen Teknik Informatika, FTMIPA, Universitas Indraprasta

Lebih terperinci

disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011

disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011 disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011 Hutan : suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

NERACA SUMBER DAYA HUTAN NASIONAL TAHUN 2013

NERACA SUMBER DAYA HUTAN NASIONAL TAHUN 2013 NERACA SUMBER DAYA HUTAN NASIONAL TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN 2014 Penyusun Penanggung Jawab : Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR, DAN KRITERIA PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN SKALA 1:250.000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2011 yang

Lebih terperinci

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Kepala LAPAN Manfaat data satelit penginderaan jauh Perolehan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

ANALISIS PENUTUPAN LAHAN KAWASAN HUTAN PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI KRUENG ACEH PRA DAN PASCA TSUNAMI

ANALISIS PENUTUPAN LAHAN KAWASAN HUTAN PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI KRUENG ACEH PRA DAN PASCA TSUNAMI ANALISIS PENUTUPAN LAHAN KAWASAN HUTAN PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI KRUENG ACEH PRA DAN PASCA TSUNAMI Forest Land Cover Analysis of Krueng Aceh Watershed in Pre and Post-Tsunami Mahyuddin 1), Sugianto 2),

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

benar sebesar 30,8%, sehingga harus dilakukan kembali pengelompokkan untuk mendapatkan hasil proporsi objek tutupan lahan yang lebih baik lagi. Pada pengelompokkan keempat, didapat 7 tutupan lahan. Perkebunan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT. Ratah Timber merupakan salah satu perusahaan swasta nasional yang memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk mengelola

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra - Analisa titik deforestasi Riau, Sumatra- 16 Maret 2011 oleh Eyes on the Forest Diserahkan kepada : Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Berdasarkan hasil proses klasifikasi dari Landsat-5 TM areal studi tahun 2007, maka diperoleh 10 kelas penutupan lahan yang terdiri dari:

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN (LAND COVER) DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS TAHUN

ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN (LAND COVER) DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS TAHUN ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN (LAND COVER) DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS TAHUN 2013-2016 (Analysis Of Land Cover Changes At The Nature Tourism Park Of Sungai Liku In Sambas Regency

Lebih terperinci

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003 BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai eknmi, eklgi dan ssial

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

RSNI-3. Standar Nasional Indonesia. Klasifikasi penutup lahan

RSNI-3. Standar Nasional Indonesia. Klasifikasi penutup lahan RSNI-3 Standar Nasional Indonesia Klasifikasi penutup lahan Daftar Isi Daftar Isi... i Prakata... ii Klasifikasi penutup lahan... 1 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Istilah, definisi, dan singkatan...

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka Konservasi Rawa, Pengembangan Rawa,

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH Lampiran I Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 2 TAHUN 2011 Tanggal : 4 Pebruari 2011 Tentang : Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1343, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Daerah. Aliran Sungai. Penetapan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.59/MENHUT-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa dalam rangka Konservasi Rawa,

Lebih terperinci

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undangundang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang Wilayah dan Undang-undang No.

Lebih terperinci

Klasifikasi penutup lahan

Klasifikasi penutup lahan Standar Nasional Indonesia Klasifikasi penutup lahan Hak C ICS 07.040 Badan Standardisasi Nasional Copyright notice Hak cipta dilindungi undang undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian atau

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

Statistik Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang Tahun Halaman 34 VI. PERPETAAN HUTAN

Statistik Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang Tahun Halaman 34 VI. PERPETAAN HUTAN VI. PERPETAAN HUTAN Perpetaan Kehutanan adalah pengurusan segala sesuatu yang berkaitan dengan peta kehutanan yang mempunyai tujuan menyediakan data dan informasi kehutanan terutama dalam bentuk peta,

Lebih terperinci

DUKUNGAN KEMENTERIAN UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN

DUKUNGAN KEMENTERIAN UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN DUKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KEMENTERIAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5794. KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 326). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.57/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2017 TENTANG DUKUNGAN DATA, INFORMASI DAN AHLI DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.209, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Ekosistem gambut. Perlindungan. Pengelolaan.(Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864 DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN 2016 KELOMPOK DATA JENIS DATA : DATA UMUM : Geografi DATA SATUAN TAHUN 2015 SEMESTER I TAHUN 2016 I. Luas Wilayah

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 1 Provinsi Kalimantan Timur 2014 REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI

Lebih terperinci