ANALISIS DATA TITIK PANAS (HOTSPOT) KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN TAHUN 2015

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS DATA TITIK PANAS (HOTSPOT) KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN TAHUN 2015"

Transkripsi

1

2 ANALISIS DATA TITIK PANAS (HOTSPOT) KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN TAHUN 2015 ENDRAWATI, S.Hut RETNOSARI YUSNITA, S.Hut Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

3 Analisis Data Titik Panas (Hotspot) Kebakaran Lahan dan Hutan tahun 2015 Penulis : Endrawati, S. Hut. Retnosari Yusnita, S.Hut ISBN : Penanggung Jawab Ketua Tim Editor : Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc. (Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan) : Dr. Riva Rovani, S.Hut., M.Agr. (Kasubdit Pemantauan Sumber Daya Hutan) : Triastuti Nugraheni, S.Hut., M.Si. (Kepala Seksi Pemantauan Sumber Daya Hutan Tingkat Nasional dan Wilayah) Ahmad Basyiruddin Usman, S.Si. (Kepala Seksi Pemantauan Sumber Daya Hutan Tingkat Unit Pengelolaan) Desain Sampul Kontributor Data Sumber Foto Diterbitkan oleh : Andi France Daryanto, S.Hut : Staf Sub Direktorat Pemantauan Sumber Daya Hutan : Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan : Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015 Alamat surat: Gd. Manggala Wanabakti Blok 1 Lt. 7 Jl. Gatot Subroto Senayan Jakarta pemantauan.hutan@gmail.com Telp. (021) Fax. (021)

4 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan Buku Analisis Data Titik Panas (Hotspot) Kebakaran Lahan dan Hutan tahun Buku Analisis Data Titik Panas (Hotspot) Kebakaran Lahan dan Hutan tahun 2015 ini menyajikan data dan informasi terkait identifikasi dan analisis sebaran titik panas {hotspof) kebakaran lahan dan hutan berdasarkan fungsi kawasan, administrasi kabupaten dan provinsi, kelas penutupan lahan, areal konsesi, areal Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), jenis tanah, dan analisis lanjutan sebaran areal kebakaran lahan dan hutan tahun Diharapkan buku ini menjadi salah satu bahan pengambilan kebijakan dalam upaya tindakan preventif sebagai sistem peringatan dini {early warning system) pada areal yang terindikasi rawan kebakaran lahan dan hutan yang berulang tiap tahun agar kejadian serupa tidak terjadi pada tahun-tahun mendatang. Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang memerlukan. Jakarta, Desember 2015 Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc. NIP

5 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii DAFTAR TABEL iii DAFTAR GAMBAR iv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Dasar Hukum Maksud dan Tujuan Ruang Lingkup Hasil Kegiatan 4 II. METODOLOGI Persiapan Bahan dan Alat Pelaksanaan 6 1. Pengolahan Data Titik Panas (Hotspot) 6 2. Pengolahan Data Areal Kebakaran Lahan dan Hutan 7 3. Analisa dan Pembahasan Data Titik Panas (Hotspot) Areal Kebakaran lahan dan Hutan 8 III. HASIL DAN ANALISIS Analisis Data Titik Panas (Hotspot) Analisis areal Kebakaran Lahan dan Hutan 37 IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 49 DAFTAR PUSTAKA 50 LAMPIRAN ii

6 DAFTAR TABEL Halaman 3.1 Sebaran data titik panas untuk setiap provinsi tahun Sebaran data titik panas di setiap provinsi per bulan tahun Sebaran data titik panas untuk tiga kabupaten tertinggi di tiga provinsi tertinggi Sebaran data titik panas berdasarkan fungsi kawasan tahun Sebaran data titik panas berdasarkan fungsi kawasan untuk setiap provinsi tahun Sebaran data titik panas berdasarkan fungsi kawasan per bulan tahun Sebaran titik panas berdasarkan penutupan lahan tahun Sebaran data titik panas untuk setiap kelas penutupan lahan berdasarkan fungsi kawasan Sebaran titik panas di areal IUPHHK-HA per bulan per provinsi tahun Sebaran titik panas di areal IUPHHK-HT per bulan per provinsi tahun Sebaran titik panas di areal kebun per bulan per provinsi tahun Sebaran titik panas di areal IPPKH per bulan per provinsi tahun Sebaran titik panas (hotspot) di areal gambut per provinsi dan per bulan Sebaran titik panas (hotspot) di areal KPH per provinsi 36 iii

7 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Pengunduhan (download) Dari NASA FIRMS Diagram alir tahapan analisis data titik panas (hotspot) Diagram alir tahapan analisis areal kebakaran lahan dan hutan Contoh raw data titik panas (hotspot) Grafik jumlah data titik panas tahunan di Indonesia tahun 2001 November Grafik periode El Nino/ La Nina tahun 1950 s.d Grafik sebaran data titik panas bulanan tahun Diagram sebaran data titik panas setiap pulau besar tahun Diagram sebaran data titik panas berdasarkan fungsi kawasan/apl tahun Diagram sebaran data titik panas berdasarkan penutupan lahan tahun Diagram sebaran titik panas di areal IUPHHK-HA per provinsi tahun Diagram sebaran titik panas di areal IUPHHK-HT per provinsi tahun Diagram sebaran titik panas di areal kebun per provinsi tahun Diagram sebaran titik panas di areal tambang per provinsi tahun Perbandingan sebaran titik panas dan hasil analisis kerapatan titik Perbandingan identifikasi bekas kebakaran dengan kenampakan sebelum kebakaran Diagram luasan bekas kebakaran berdasarkan wilayah administrasi provinsi Diagram luasan bekas kebakaran berdasarkan fungsi kawasan hutan Diagram luasan bekas kebakaran berdasarkan penutupan lahan Diagram luasan bekas kebakaran berdasarkan areal perizinan Diagram luasan bekas kebakaran di dalam dan di luar perizinan Diagram luasan bekas kebakaran di tanah gambut dan mineral Diagram luasan bekas kebakaran di areal KPH Model per provinsi Diagram luasan bekas kebakaran di areal KPH Model 45 iv

8 I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Peristiwa kebakaran lahan dan hutan di Indonesia dalam skala besar terjadi tahun , 1991, 1994, , Peristiwa kebakaran lahan dan hutan tersebut kembali mengancam Indonesia pada tahun 2015, khususnya di Sumatera, Kalimantan, dan Papua, yang telah menyebabkan 80% wilayah Sumatera dan Kalimantan tertutup asap pekat. Dampak kebakaran lahan dan hutan tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan, ekonomi dan sosial masyarakat secara nasional namun juga telah mempengaruhi negara tetangga. Kerusakan yang diakibatkan oleh bencana kebakaran lahan dan hutan tahun 2015 ini diperkiran seluas 2,61 juta ha hutan dan lahan terbakar. Selain kerusakan tersebut, 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), serta lebih dari 60 juta jiwa terpapar asap. Kerugian ekonomi dan lingkungan akibat kebakaran diperkirakan sebesar Rp 221 Triliun, yang berupa penyebaran asap hingga ke negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina Selatan, rusaknya ekosistem, hilangnya plasma nutfah, emisi karbon dan lainnya (BNPB, 2015). Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya serius untuk menanggulanginya. Upaya penanggulangan perlu diawali dengan mengetahui lokasi terjadinya kebakaran dan menganalisis penyebab kebakaran lahan dan hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan di lapangan untuk mengendalikan kebakaran lahan dan hutan dengan memobilisasi dukungan sarana dan prasarana baik di tingkat pusat maupun daerah (a.l. Manggala Agni, SPORC), serta melibatkan berbagai pihak, termasuk Pemerintah Daerah, BNPB, TNI dan POLRI. Selain melakukan tindakan secara nyata di lapangan, KLHK juga melakukan upaya analisis data titik panas (hotspot) dan luasan kebakaran lahan dan hutan (burned area) melalui pemanfaatan teknologi penginderaan jauh. Kegiatan pemantauan dilakukan melalui analisis data titik panas (hotspot) yang diperoleh dari citra satelit MODIS Aqua-Terra. Adapun data sebaran dan luasan kebakaran lahan dan hutan diperoleh dari proses deliniasi on screen berdasarkan data citra Landsat 7 Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

9 ETM+ maupun Landsat 8 OLI terbaru yang dipandu dengan data titik panas (hotspot). Saat ini pengolahan data titik panas dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Direktorat Pengendalian Kebakaran Lahan dan hutan, KLHK. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan berperan mendukung kegiatan pemantauan kebakaran lahan dan hutan yaitu dengan melakukan kegiatan analisis data titik panas (hotspot) dan analisis sebaran luasan bekas kebakaran. Kegiatan ini dititikberatkan pada analisis sebaran data titik panas sebaran, sebaran luasan kebakaran lahan dan hutan, dan tumpang susun hasil analisis tersebut dengan peta-peta tematik kehutanan seperti fungsi kawasan hutan, areal konsesi, areal Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan penutupan lahan untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif tentang peristiwa kebakaran tersebut. Diharapkan dengan adanya analisis titik panas (hotspot) areal kebakaran lahan dan hutan ini, bisa menjadi gambaran dan alat bantu untuk pengambilan kebijakan upaya penanggulangan bencana kebakaran lahan dan hutan dengan cepat. Teknologi penginderaan jauh dan SIG dapat digunakan untuk memantau kebakaran lahan dan hutan. Proses analisis data mengunakan data satelit adalah metode yang cepat, tepat dan akurat, sehingga prosesnya tidak memakan waktu yang lama. Akan tetapi proses ini masih terkendala beberapa hal, terutamanya cakupan awan.. Kegiatan pemantauan kebakaran lahan dan hutan diharapkan mampu memberikan informasi teliti untuk cakupan wilayah luas DASAR HUKUM i. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.18/Menlhk- II/2015 tanggal 14 April 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. ii. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.02/Menhut-II/2010 tentang Sistem Informasi Kehutanan iii. Surat Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Petikan Tahun Anggaran 2015 Nomor: SP DIPA /2015 Revisi ke 01 tanggal 9 April 2015 tentang Pengesahan DIPA Direktorat Inventarisasi dan Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

10 Pemantauan Sumber Daya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Tahun Anggaran MAKSUD DAN TUJUAN Maksud kegiatan analisis data titik panas (hotspot) adalah untuk mendapatkan data dan peta sebaran titik panas serta sebaran areal bekas kebakaran lahan dan hutan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan beserta jenis penutupan lahannya. Kegiatan analisis data titik panas (hotspot) ini bertujuan untuk: 1. Mendapatkan data, informasi serta menganalisis tentang sebaran titik panas (hotspot) di provinsi dan kabupaten di Indonesia, khususnya pada provinsi yang mempunyai sebaran titik panas tertinggi; 2. Mendapatkan data, informasi serta menganalisis tentang waktu/bulan dengan sebaran titik panas tertinggi; 3. Mendapatkan data, informasi serta menganalisis tentang sebaran titik panas (hotspot) di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan; 4. Mendapatkan data, informasi serta menganalisis tentang kondisi penutupan lahan dan atau penutupan hutan yang terindikasi terdapat titik panas (hotspot) baik untuk penutupan kelas berhutan ataupun kelas non hutan 5. Mendapatkan data, informasi serta menganalisis tentang sebaran titik panas (hotspot) di areal konsensi 6. Mendapatkan data, informasi serta menganalisis tentang sebaran titik panas (hotspot) di areal gambut 7. Mendapatkan data, informasi serta menganalisis tentang sebaran titik panas (hotspot) di areal Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 8. Mendapatkan data dan informasi areal bekas kebakaran berdasarkan wilayah administrasi, fungsi kawasan hutan, penutupan lahan, areal konsesi ijin usaha pemanfaatan hutan dan areal penggunaan kawasan hutan lainnya RUANG LINGKUP Ruang lingkup kegiatan analisis data titik panas (hotspot) meliputi : 1. Pengunduhan (download), pengumpulan dan pengolahan awal data titik panas (hotspot); Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

11 2. Persiapan data dan peta tema-tema kehutanan 3. Pembuatan data base titik panas (hotspot) harian per provinsi dan per kabupaten 4. Analisis sebaran titik panas di provinsi dan kabupaten dan bulan sebaran tertinggi 5. Tumpang susun (overlay) antara data sebaran titik panas (hotspot) dengan peta fungsi kawasan, peta penutupan lahan, areal konsensi, areal gambut, dan areal KPH 6. Pengolahan dan analisis data titik panas yang telah ditumpang susun dengan peta fungsi kawasan, peta penutupan lahan, areal konsensi areal gambut, dan areal KPH untuk setiap provinsi dan bulan sebaran 7. Pengolahan data identifikasi areal kebakaran lahan dan hutan 8. Analisis spasial areal kebakaran lahan dan hutan dengan melakukan tumpang susun (overlay) dengan peta tema-tema kehutanan seperti penutupan lahan, fungsi kawasan hutan, areal gambut dan areal konsesi. 9. Penyajian data titik panas (hotspot) dan areal kebakaran lahan dan hutan HASIL KEGIATAN Hasil kegiatan / keluaran dari kegiatan analisis data titik panas (hotspot) adalah : 1. Tabel dan diagram rekapitulasi sebaran titik panas di per provinsi dan per bulan dari Januari sampai November tahun 2015; 2. Tabel dan diagram rekapitulasi sebaran titik panas di tema-tema kehutanan yang digunakan yaitu fungsi kawasan hutan, penutupan lahan, areal konsesi, areal gambut, dan areal KPH; 3. Tabel dan diagram rekapitulasi sebaran areal kebakaran lahan dan hutan per provinsi; 4. Data hasil olahan dan analisis data titik panas yang telah ditumpangsusunkan dengan peta-peta tematik kehutanan; 5. Data hasil olahan dan analisis data areal kebakaran lahan dan hutan yang telah ditumpang susun dengan peta-peta tematik kehutanan; 6. Data dan peta sebaran titik panas dan areal kebakaran lahan dan hutan di beberapa tema kehutanan. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

12 II. METODOLOGI 2.1. Persiapan Kegiatan persiapan terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut : 1. Penyiapan dan pengecekan piranti lunak (software) dan piranti keras (hardware ) 2. Penyiapan dan pengecekan data titik panas (hotspot) 3. Penyiapan dan pengecekan data Citra Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI 4. Penyiapan data acuan (referensi) dalam proses pengolahan dan analisis data titik panas (hotspot) dan areal kebakaran lahan dan hutan yaitu batas wilayah administrasi (provinsi, kabupaten), fungsi kawasan hutan, penutupan lahan, areal KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan), lahan gambut dan areal konsesi (IUPHHK) Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada kegiatan analisis data titik panas (hotspot) dan areal kebakaran lahan dan hutan adalah sebagai berikut : a. Data titik panas (hotspot) untuk seluruh wilayah Indonesia dari citra satelit MODIS Terra dan Aqua yang bersumber dari NASA FIRMS ( b. Citra Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI sebagai sumber data pada penafsiran penutupan lahan dan deliniasi areal kebakaran lahan dan hutan c. Data penutupan lahan periode tahun 2014 dan 2015 d. Data tematik berupa batas wilayah administrasi (provinsi, kabupaten), fungsi kawasan, penutupan lahan, areal KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan), gambut dan areal konsesi (IUPHHK). Alat yang digunakan pada penyajian data titik panas (hotspot) dan areal kebakaran lahan dan hutan adalah sebagai berikut : Analisa Data Titik Panas (Hotspot) tahun

13 a. Komputer minimal memiliki spesifikasi prosesor dual core 2GHZ, RAM 2 GB, Kapasitas penyimpanan 250 GB, memori VGA 128 MB yang mampu menampilkan screen resolution minimal 1280 x 1024 pixels. b. Piranti lunak (Software) Microsoft Word, Microsoft Excel, ArcGIS 10, dan ENVI Pelaksanaan Tahapan kegiatan analisis data titik panas (hotspot) dan areal kebakaran lahan dan hutan : 1. Pengolahan data titik panas (hotspot) a. Pengunduhan (download) data titik panas (hotspot) harian dari NASA FIRMS ( Data dapat diunduh dalam bentuk shapefile dan csv; Gambar 2.1. Pengunduhan (download ) dari NASA FIRMS b. Melakukan proses tumpang susun (overlay) dan identity data titik panas (hotspot) dengan batas wilayah administrasi (provinsi, kabupaten), penutupan Analisa Data Titik Panas (Hotspot) tahun

14 lahan, fungsi kawasan, areal KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan), gambut, dan areal konsesi (IUPHHK) dilanjutkan menghitung luasan pada tiap tema; c. Pengolahan dan analisis hasil tumpang susun (overlay) di software Microsoft Excel; d. Penyajian hasil perhitungan data dalam bentuk grafik, tabel dan layout peta data titik panas (hotspot) untuk beberapa tema kehutanan. Pengunduhan (download) Tumpang Susun (Overlay) Pengolahan dan Analisis Data Hasil Overlay Penyajian data, grafik, tabulasi dan layout peta Gambar 2.2. Diagram alir tahapan analisis data titik panas (hotspot) 2. Pengolahan data areal kebakaran lahan dan hutan a. Pengumpulan data titik panas (hotspot) hasil download dari NASA FIRMS; b. Estimasi areal kebakaran dengan analisis kerapatan titik panas (point density analysis); c. Deliniasi areal kebakaran berdasarkan data citra Landsat 7 ETM+ maupun Landsat 8 OLI terbaru sesuai dengan data titik panas (hotspot); d. Analisis lanjutan dengan menggunakan data tema-tema kehutanan lainnya; e. Penyajian data, grafik, dan layout peta areal kebakaran lahan dan hutan; Diagram alir tahapan analisi areal kebakaran lahan dan hutan disajikan pada Gambar 2.3. Analisa Data Titik Panas (Hotspot) tahun

15 3. Analisis dan pembahasan data titik panas (hotspot) areal kebakaran lahan dan hutan Analisis dan pembahasan data titik panas (hotspot) dan areal kebakaran lahan dan hutan tahun 2015 meliputi: a. Sebaran data titik panas di provinsi dan pulau besar tahun 2015; b. Sebaran data titik panas di kabupaten provinsi tertinggi tahun 2015; c. Sebaran data titik panas bulanan tertinggi tahun 2015; d. Sebaran data titik panas di tema-tema kehutanan yang digunakan yaitu fungsi kawasan hutan, penutupan lahan, areal konsesi, areal gambut, dan areal KPH; e. Sebaran areal kebakaran lahan dan hutan di provinsi tahun 2015; f. Sebaran areal kebakaran lahan dan hutan di tema-tema kehutanan yang digunakan yaitu fungsi kawasan hutan, penutupan lahan, areal konsesi, dan areal gambut. HOTSPOT Point Density Analysis Landsat 7/8 Area Kebakaran Verifikasi Digitasi Area Kebakaran Analysis Batas Admisistrasi Lahan Gambut Fungsi Kawasan Hutan Perizinan Matriks dan Peta Kebakaran Gambar 2.3. Diagram alir tahapan analisis areal kebakaran lahan dan hutan Analisa Data Titik Panas (Hotspot) tahun

16 III. HASIL DAN ANALISIS 3.1. Hasil Analisis Data Titik Panas (hotspot) Data titik panas yang dipergunakan dalam analisis ini bersumber dari NASA FIRMS. Data tersebut adalah hasil olahan dari citra satelit Terra/ Aqua MODIS dengan algoritme MOD 14. Pemilihan data tersebut sebagai referensi didasarkan beberapa pertimbangan diantaranya algoritme pengolahannya relatif sudah standar (MOD 14) dan korelasi keberadaan titik panas dengan bekas kebakaran pada citra Landsat cukup tinggi. Data titik panas yang diunduh dari NASA FIRMS berupa koordinat titik panas (hotspot) yang dilengkapi dengan berbagai informasi pendukung (satelit pengindera, waktu akuisisi data, tingkat kepercayaan hasil perhitungan, dll.) (Gambar 3.1). Data tersebut disimpan dalam format shapefile. Data yang diunduh adalah untuk periode Januari s.d. 24 November Hasil kompilasi data titik panas (hotspot) seluruh Indonesia tahun 2015 berjumlah titik. Gambar 3.1 Contoh atribut data titik panas (hotspot) hasil unduhan dari NASA FIRMS Data titik panas hasil kompilasi tahun 2015 kemudian ditumpangsusunkan (overlay) melalui proses identity dengan tema lain, seperti wilayah administrasi, fungsi kawasan, penutupan lahan, batas areal KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan), areal Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

17 gambut dan areal konsesi (IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, kebun, dan IPPKH). Hasil analisis berupa akumulasi jumlah titik dan peta sebaran titik panas untuk setiap provinsi, fungsi kawasan, penutupan lahan, dan sebaran data titik panas di beberapa areal KPH, gambut dan konsesi. Hasil analisis titik panas tersebut kemudian disajikan dalam tabel per provinsi dan per bulan sehingga memudahkan untuk dibandingkan (Tabel 3.1 dan 3.2). Tabel 3.1. Sebaran data titik panas untuk setiap provinsi tahun 2015 No. Provinsi Jumlah Hotspot 1 Kalimantan Tengah Sumatera Selatan Papua Kalimantan Timur Kalimantan Barat Riau Jambi Kalimantan Selatan Nusa Tenggara Timur Maluku Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Jawa Timur Kepulauan Bangka Belitung Sulawesi Tenggara Lampung Nusa Tenggara Barat Maluku Utara Sulawesi Utara Kalimantan Utara Sumatera Utara Papua Barat Jawa Barat Sulawesi Barat Sumatera Barat Gorontalo Jawa Tengah Bengkulu Nanggroe Aceh Darusalam Banten Kepulauan Riau DI Yogyakarta DKI Jakarta 9 34 Bali 7 TOTAL Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

18 Titik Panas (jumlah dalam ribuan) Berdasarkan data titik panas (hotspot) sesuai Tabel 3.1. titik panas tertinggi di tahun 2015 terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah ( titik), kemudian disusul oleh Sumatera Selatan ( titik), Papua ( titik), Kalimantan Timur (8.918 titik), dan Kalimantan Barat (7.975 titik). Pada tahun 2014, hasil analisis diperoleh bahwa sebaran titik panas tertinggi terdapat di Provinsi Riau ( titik) selanjutnya disusul oleh Provinsi Kalimantan Tengah ( titik), Kalimantan Barat (8.993 titik), Sumatera Selatan (8.152 titik), dan Papua (5.739 titik). Hal tersebut menunjukkan bahwa Pulau Kalimantan dan Sumatera masih menjadi yang tertinggi dari tahun ke tahun. khususnya di Provinsi Kalimantan Tengah (IPSDH, 2014). Hasil analisis tahuntahun sebelumnya sebaran data titik panas tertinggi hanya tersebar di Pulau Kalimantan dan Sumatera, namun di tahun 2013 sampai 2015 provinsi Papua termasuk kedalam salah satu provinsi yang terdapat sebaran titik panas yang cukup tinggi, hal tersebut terbukti berdasarkan hasil analisis titik panas tahun 2015 Provinsi Papua berada diposisi 3 tertinggi sebaran data titik panas ( titik) Tahun Gambar 3.2 Grafik jumlah data titik panas tahunan di Indonesia tahun November 2015 Berdasarkan hasil analisis data titik panas (hotspot) tahunan tahun 2001 s.d November 2015 pada Gambar 3.2, tahun 2004, 2006, 2009, dan 2015 terdapat lonjakan jumlah titik panas dibandingkan dengan tahun lainnya dalam kurun waktu 15 tahun. Hal tersebut berkorelasi dengan bencana dengan fenomena El Nino yang yang sedang menimpa Indonesia pada saat itu. Kebakaran lahan dan hutan di Sumatera dan Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

19 Kalimantan telah menyebabkan 80% wilayah di Sumatera tertutup asap pekat pada bulan September s.d. Oktober Gambar 3.3 Grafik periode El Nino/ La Nina tahun 1950 s.d 2015 (Sumber: National Weather Service, 2015) 60,000 50,000 40,000 48,641 47,692 30,000 20,000 18,315 10, ,143 1, ,252 2,186 7,414 6,422 Gambar 3.4 Grafik sebaran data titik panas bulanan tahun 2015 Gambar 3.4 menunjukkan kenaikan data titik panas (hotspot) yang dimulai pada bulan Agustus, mencapai puncak di bulan September dan Oktober, dan kemudian akan menurun drastis pada bulan November. Kecenderungan tersebut terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Penurunan data titik panas (hotspot) pada bulan November disebabkan karena curah hujan yang mulai meningkat. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

20 Tabel 3.2. Sebaran data titik panas untuk setiap provinsi per bulan tahun 2015 No. PROVINSI JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGTS SEPT OKT NOV TOTAL 1 Kalimantan Tengah 2 Sumatera Selatan 3 Papua 4 Kalimantan Timur 5 Kalimantan Barat 6 Riau 7 Jambi Kalimantan Selatan Nusa Tenggara 9 Timur Maluku 11 Sulawesi Tengah 12 Sulawesi Selatan Jawa Timur Kepulauan Bangka 14 Belitung Sulawesi Tenggara Lampung Nusa Tenggara 17 Barat Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

21 No. PROVINSI JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGTS SEPT OKT NOV TOTAL 18 Maluku Utara 19 Sulawesi Utara 20 Kalimantan Utara 21 Sumatera Utara 22 Papua Barat 23 Jawa Barat 24 Sulawesi Barat 25 Sumatera Barat 26 Gorontalo 27 Jawa Tengah 28 Bengkulu 29 N. Aceh Darusalam 30 Banten 31 Kepulauan Riau 32 DI Yogyakarta 33 DKI Jakarta 34 Bali TOTAL Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

22 Tabel 3.2 menunjukkan bahwa bulan dengan sebaran titik panas tertinggi terjadi pada bulan kering yaitu bulan September dan Oktober. Provinsi yang memiliki data titik panas tertinggi ternyata juga memiliki sebaran bulan tertinggi yang sama yaitu bulan September dan Oktober, untuk Provinsi Kalimantan Tengah pada bulan September terdapat titik dan bulan Oktober titik, Provinsi Sumatera Selatan pada bulan September titik dan bulan Oktober titik sedangkan Provinsi Papua pada bulan September titik dan bulan Oktober terdapat titik. Nusa Tenggara Maluku Jawa Sulawesi Papua Kalimantan Sumatera Gambar 3.5 Diagram sebaran data titik panas setiap pulau besar tahun 2015 Berdasarkan Gambar 3.5 terlihat bahwa sebaran titik panas berdasarkan pulau besar di Indonesia, sebaran titik panas tertinggi terdapat di Pulau Kalimantan ( titik), Sumatera ( titik), dan Papua ( titik). Seperti telah disebutkan. tingginya sebaran titik panas pada pulau-pulau besar tersebut mungkin terjadi karena banyaknya aktivitas yang berkaitan dengan pembukaan hutan tanaman, areal perkebunan dan tambang, aktivitas pertanian terutama pertanian campur dan perambahan. Selain dilakukan analisis berdasarkan wilayah administrasi provinsi dan pulau besar yang ada di Indonesia, analisis juga dilakukan pada wilayah administrasi kabupaten yang terdapat di provinsi yang memiliki sebaran data titik panas tertinggi. Berdasarkan hasil analisis wilayah kabupaten sebaran data titik panas terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir ( titik) Provinsi Sumatera Selatan, disusul Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

23 Kabupaten Merauke (8.760 titik) Provinsi Papua dan Kabupaten Pulang Pisang (8.201 titik) Provinsi Kalimantan Tengah. Secara rinci analisis titik panas berdasarkan wilayah administrasi di tiga kabupaten tertinggi di tiga provinsi tertinggi terdapat di Tabel 3.3. Berdasarkan hasil analisis data titik panas tahun 2014, sebaran tertinggi untuk kabupaten juga berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan yaitu sebanyak titik, selanjutnya ada di Kabupaten Merauke Papua sebanyak titik (IPSDH, 2014). Kejadian bencana kebakaran hutan dalan lahan yang terjadi pada tahun 2015 ini ditunjukkan juga oleh sebaran asap serta sebaran areal bekas kebakaran yang didominasi terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Merauke Provinsi Papua dan Kabupaten Pulang Pisang Provinsi Kalimantan Tengah. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan September dan Oktober yang merupakan bulan tertinggi terdapat titik panas (hotspot). Tabel 3.3 Sebaran data titik panas untuk tiga kabupaten tertinggi di tiga provinsi tertinggi Kabupaten Hotspot Kalimantan Tengah Pulangpisau Kotawaringin Timur Kapuas Sumatera Selatan Ogan Komering Ilir Musibanyuasin Banyuasin Papua Merauke Mappi Bovendigoel 973 Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan mempunyai sebaran yang cukup tinggi di areal hutan tanaman dan perkebunan selebihnya ada di kawasan APL, sedangkan Merauke sebaran tertinggi ada di kawasan APL. Secara rinci analisis titik panas berdasarkan wilayah administrasi kabupaten di tiga provinsi tertinggi terdapat di Lampiran 1. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

24 Analisis data titik panas dengan tema-tema yang berhubungan kehutanan seperti fungsi kawasan, penutupan lahan, Kesatuan Pengelolan Hutan (KPH), dan areal konsesi dilakukan sebagai upaya untuk mengetahui sebaran, penyebab dan dampak yang terjadi dari adanya sebaran titik panas di areal-areal tersebut. Selain dari sebaran titik panas juga bisa diidentifikasi hubungannya dengan penyebab maupun dampak kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di areal-areal tersebut. Tabel dan diagram jumlah sebaran data titik panas di dalam dan di luar kawasan hutan untuk data tahun 2015 secara umum dapat dilihat pada Tabel 3.4 dan Gambar 3.6. Informasi lebih detail mengenai sebaran data titik panas di dalam dan di luar kawasan hutan untuk setiap provinsi dan bulan sebaran ada pada Tabel 3.5 dan 3.6. Tabel 3.4 Sebaran data titik panas berdasarkan fungsi kawasan tahun 2015 No. Fungsi Kawasan Hotspot A. Kawasan Suaka Alam / Kawasan Pelestarian Alam Kawasan Suaka Alam / Kawasan Pelestarian Alam Kawasan Suaka Alam Suaka Alam 7 4 Suaka Margasatwa Cagar Alam Taman Burung Taman Nasional Taman Wisata Alam 35 9 Taman Hutan Rakyat Hutan Suaka Alam 114 B. Hutan Lindung Hutan Lindung C. Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Konversi Hutan Produksi Hutan Pangonan 1 D. Areal Penggunaan Lain Areal Penggunaan Lain Total Berdasarkan hasil pengolahan data titik panas dengan data fungsi kawasan hutan, data titik panas tertinggi pada tahun 2015 terdapat di kawasan Hutan Produksi (46,83%) dengan jumlah titik panas titik. Selanjutnya 32,72% atau titik Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

25 terdapat di areal penggunaan lain, KSA/KPA sebanyak titik (10,90%), dan hutan lindung sebanyak titik atau 9.55% (Tabel 3.4). Gambar 3.6. Diagram sebaran data titik panas berdasarkan fungsi kawasan/apl tahun 2015 Berdasarkan Tabel 3.5 provinsi yang paling tinggi sebaran data titik panas di kawasan hutan produksi yaitu Provinsi Sumatera Selatan ( titik), Kalimantan Tengah ( titik) dan Papua (6.861 titik). Data tersebut serupa dengan hasil analisis sebelumnya, bahwa ketiga provinsi tersebut menduduki tiga provinsi yang memiliki sebaran data titik panas tertinggi. Sebagai perbandingan pada analisis tahun sebelumnya yaitu tahun 2012, 2013, dan 2014 analisis sebaran titik panas tertinggi pada fungsi kawasan hutan juga berada di fungsi kawasan hutan produksi (IPSDH, 2014). Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

26 Tabel 3.5 Sebaran data titik panas berdasarkan fungsi kawasan untuk setiap provinsi PROVINSI KSA/ TUBUH HL HP APL KPA AIR TOTAL Kalimantan Tengah Sumatera Selatan Papua Kalimantan Timur Kalimantan Barat Riau Jambi Kalimantan Selatan Nusa Tenggara Timur Maluku Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Jawa Timur Kep.Bangka Belitung Sulawesi Tenggara Lampung Nusa Tenggara Barat Maluku Utara Sulawesi Utara Kalimantan Utara Sumatera Utara Papua Barat Jawa Barat Sulawesi Barat Sumatera Barat Gorontalo Jawa Tengah Bengkulu N. Aceh Darusalam Banten Kepulauan Riau DI Yogyakarta DKI Jakarta Bali TOTAL 14,835 12,999 63,739 44, ,108 Kawasan hutan produksi yang memiliki sebaran titik panas tertinggi di dominasi oleh hutan produksi tetap. Hal tersebut terjadi karena perubahan penutupan dan peruntukan lahan berubah sangat dinamis pada beberapa provinsi terutama provinsi Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

27 yang memiliki data sebaran titik panas tertinggi. Perubahan penutupan dan peruntukkan lahan yang berubah sangat dinamis terjadi pada Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat, hal tersebut ditunjukkan pada tingginya titik panas di kawasan hutan produksi tetap di provinsi tersebut. Berbeda dengan Provinsi Papua, pada provinsi tersebut sebaran titik panas cukup tinggi di kawasan HPK karena adanya aktifitas pembukaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Sebaran data titik panas di setiap fungsi kawasan hutan per provinsi dan per bulan di tiga provinsi tertinggi terdapat di Lampiran 2. Selain kawasan hutan produksi tetap, kawasan hutan konversi (HPK) memiliki sebaran jumlah titik panas kedua tertinggi ( titik) ada pada kawasan hutan produksi. Hasil analisis juga didukung dengan hasil analisis sebelumnya pada tahun 2012 dan 2014 dengan hasil analisis yang sama. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Provinsi Papua yang memiliki sebaran titik panas tertinggi di kawasan HPK (3.654 titik) dibandingkan kawasan HP (1.685 titik). Sebaran tertinggi untuk fungsi hutan produksi (HP) adalah di Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini sesuai dengan areal hutan tanaman dan perkebunan yang luas di provinsi ini. Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, baik sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan. Berdasarkan Tabel 3.4, untuk di luar kawasan hutan (APL) sebaran titik panas berjumlah titik. Jumlah titik ini adalah jumlah titik panas tertinggi dari keseluruhan perhitungan di tema fungsi kawasan. Ini menandakan kalau sebaran titik panas lebih tinggi di luar kawasan hutan dibanding di dalam kawasan hutan walaupun jika kita kelompokkan menjadi 4 fungsi kawasan besar (KSA/KPA, HL, HP dan APL) sebaran data titik panas total berada di hutan produksi (HP, HPK, dan HPT). Berdasarkan Tabel 3.5 sebaran titik panas tertinggi di APL terdapat di Provinsi Sumatera Selatan (8.484 titik), selanjutnya di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Kondisi ini sama dengan analisis tahun sebelumnya, pada tahun 2012 dan 2013 sebaran tertinggi di APL terdapat di Provinsi Sumatera Selatan (IPSDH, 2014). Hasil analisis dari tahun 2012, 2013 sampai 2014 ini kawasan APL mempunyai sebaran titik panas lebih tinggi dibanding kawasan hutan. Kemungkinan besar Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

28 disebabkan karena konversi dari kawasan hutan ke kawasan perkebunan yang pesat, serta masih ada kemungkinan pengaruh dari pembukaan lahan pertanian, dan aktifitas perladangan berpindah yang masih ada di wilayah provinsi-provinsi ini. Pada Tabel 3.6 yang menampilkan analisis tema fungsi kawasan dilihat dari bulan sebaran, hampir sebagian besar provinsi dengan sebaran tertinggi di bulan September dan Oktober, serta terdapat di kawasan HP serta APL. Berdasarkan total jumlah sebaran titik panas di Indonesia dengan fungsi kawasan pada tahun 2015, jumlah titik panas tertinggi ada di Provinsi Kalimantan Tengah ( titik), diikuti Provinsi Sumatera Selatan ( titik), serta Provinsi Papua ( titik). Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

29 Tabel 3.6 Sebaran data titik panas berdasarkan fungsi kawasan per bulan tahun 2015 Fungsi Kawasan JAN FEB MART APRL MEI JUN JULI AGST SEPT OKT NOV Total APL HP HPK HL HPT KSA/KPA KSA TN CA SM Tubuh Air TB Tahura HSA TWA SA Hutan Pangonan 1 1 Total Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

30 Tabel rekapitulasi dan diagram jumlah titik panas (hotspot) yang diintegrasikan dengan data penutupan lahan secara umum dapat dilihat pada Tabel 3.7 dan Gambar 3.6. Untuk informasi sebaran data titik panas di kelas penutupan lahan untuk setiap provinsi serta sebaran untuk setiap bulannya terdapat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Tabel sebaran data titik panas di setiap kelas penutupan lahan per provinsi dari bulan Januari sampai November 2015 dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 3.7 Sebaran data titik panas berdasarkan penutupan lahan tahun 2015 No. Kode PL Penutupan Lahan Hotspot Hp Hutan Lahan Kering Primer Hs Hutan Lahan Kering Sekunder Hmp Hutan Mangrove Primer Hms Hutan Mangrove Sekunder Hrp Hutan Rawa Primer Hrs Hutan Rawa Sekunder Ht Hutan Tanaman Total Hutan B Belukar Pk Perkebunan Pm Pemukiman T Tanah Terbuka S Savanna/ Padang rumput Br Belukar Rawa Pt Pertanian Lahan Kering Pc Pertanian Lahan Kering Campur Sw Sawah Tm Tambak Bdr Bandara/ Pelabuhan Tr Transmigrasi Tb Pertambangan Rw Rawa A Badan Air 567 Total Non Hutan Total Hutan + Non Hutan Berdasarkan Tabel 3.7 hasil pengolahan data titik panas dengan kelas penutupan lahan tahun 2015, dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2015 pada kelas penutupan lahan hutan, sebaran titik panas tertinggi terdapat di kelas hutan rawa sekunder sebanyak titik dan Hutan Tanaman sebanyak titiik Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

31 sedangkan untuk kelas penutupan lahan non hutan, kelas belukar rawa (20071) memiliki sebaran titik panas tertinggi sebanyak titik. Untuk kelas penutupan lahan hutan di kelas hutan rawa sekunder dan hutan tanaman memiliki sebaran yang tertinggi, hal tersebut dapat disebabkan karena di areal-areal tersebut sudah atau masih terdapat bukaan hutan, untuk keperluan hutan tanaman ataupun perkebunan. Kegiatan pembukaan kawasan hutan pada hutan tanaman maupun perkebunan biasanya menggunakan metode pembakaran agar bisa dilakukan secara mudah dan murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan (Saharjo, 1999). Gambar 3.7 Diagram sebaran data titik panas berdasarkan penutupan lahan tahun 2015 Berdasarkan hasil analisis titik panas tahun 2014, untuk kelas penutupan lahan hutan maupun non hutan memiliki hasil yang sama dengan analisis tahun 2015 yaitu kelas penutupan lahan hutan rawa sekunder (hutan) dan belukar rawa (non hutan) memiliki nilai sebaran titik panas tertinggi. Kecenderungan memiliki sebaran data titik panas tertinggi dapat menjadi suatu rujukan pengambilan kebijakan dalam upaya pencegahan (early warning) terhadap dampak kebakaran lahan dan hutan akibat tingginya titik panas pada kelas penutupan lahan tersebut. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

32 Pada kelas penutupan lahan non hutan, belukar rawa memiliki sebaran titik panas tertinggi yaitu hampir 35% dari total sebaran titik panas di kelas penutupan lahan non hutan. Berikutnya terdapat di kelas belukar (2007) sebanyak titik dan kelas pertanian lahan kering campur (20092) sebanyak titik. Pola sebaran titik panas ini hampir sama dengan sebaran titik panas untuk kelas penutupan lahan non hutan di analisis tahun 2012, 2013, dan Kelas belukar rawa, pertanian lahan kering campur dan tanah terbuka selalu menjadi kelas penutupan lahan non hutan yang memiliki sebaran titik panas tertinggi. Hal tersebut disebabkan karena karakteristik tumbuhan / tanaman di kelas penutupan lahan tersebut akan mudah terbakar pada musim kering yang memiliki suhu yang cukup tinggi sehingga teridentifikasi sebagai titik panas, terutama pada kelas belukar rawa, belukar dan pertanian lahan kering campur. Selain itu, sebaran titik panas tinggi di kelas belukar (rawa dan kering) kemungkinan karena pembukaan areal banyak di kelas-kelas tersebut (hutan tanaman, kebun, atau pembukaan belukar ke lahan pertanian). Sebaran titik panas menurut kelas penutupan lahan untuk setiap provinsi di Indonesia secara terinci terdapat di Lampiran 3. Provinsi yang teridentifikasi mempunyai titik panas tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Tengah sebanyak titik, dengan sebaran titik panas tertinggi terdapat di kelas belukar rawa sebanyak titik (kelas penutupan lahan non hutan) dan kelas hutan rawa sekunder sebanyak titik (penutupan lahan kelas hutan). Provinsi Sumatera Selatan sebagai provinsi kedua yang memiliki sebaran titik panas tertinggi dibeberapa kelas penutupan lahan baik kelas hutan maupun non hutan. Hutan tanaman sebagai kelas tertinggi kedua di kelas penutupan lahan hutan sebanyak titik dan kelas pertanian lahan kering campur dan tanah terbuka sebanyak titik dan titik merupakan kelas penutupan lahan non hutan yang terdapat di Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan hasil analisis penutupan lahan masuk kedalam tiga provinsi tertinggi sebaran titik panasnya. Pada provinsi tersebut kelas hutan lahan kering sekunder (tertinggi ketiga di penutupan lahan kelas hutan) sebanyak titik dan semak / belukar sebanyak titik yang merupakan kelas tertinggi kedua di penutupan lahan kelas non hutan. Jika diintegrasikan dengan tema fungsi kawasan hutan (Tabel 3.8) dapat diketahui sebaran kelas penutupan lahan tertinggi kelas non hutan yaitu kelas belukar rawa terbanyak berada di dalam kawasan hutan (HP) selebihnya di luar kawasan hutan Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

33 (APL). Berbeda dengan belukar, yang sebaran titik panasnya lebih banyak di kawasan APL dibandingkan di HP, di kelas pertanian lahan kering campur sebaran titik apinya lebih banyak dijumpai di kawasan APL sedangkan tanah terbuka sebaran titik panas lebih banyak terdapat di dalam kawasan dibandingkan di luar kawasan hutan. Sebaran titik panas di kelas penutupan lahan berhutan paling banyak terdapat di kawasan HP kemudian di luar kawasan hutan (APL). Kondisi ini terdapat di kelas hutan rawa sekunder, hutan tanaman serta hutan lahan kering sekunder. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tumpang susun yang dilakukan dengan tema kehutanan seperti fungsi kawasan hutan dan penutupan lahan serta bulan terdapatnya titik panas, maka bulan September dan Oktober merupakan bulan tertinggi ditemukannya sebaran titik panas. Hal tersebut terjadi pada hampir seluruh provinsi terutama pada provinsi tertinggi seperti Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Papua dan Kalimantan Timur. Secara rinci sebaran data titik panas di kelas penutupan lahan per bulan terdapat di Lampiran 4. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

34 Tabel 3.8. Sebaran data titik panas untuk setiap kelas penutupan lahan berdasarkan fungsi kawasan Kode Penutupan Lahan APL CA HL HP HPK HPT HSA Fungsi Kawasan Hutan Hutan Pangonan KSA KSA/KPA SA SM Tahura TB TN TWA Tubuh Air Total Total Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

35 Analisis sebaran data titik panas dilakukan juga pada areal konsesi. Analisis tersebut dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sebaran titik panas ini berada di dalam atau di luar areal konsesi. Analisis ini juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pengambilan kebijakan jika memang terjadi sebaran titik panas lebih tinggi di dalam areal konsesi yang dapat menyebabkan kebakaran lahan dan hutan atau dapat dikatakan juga salah satu analisis penyebab kebakaran lahan dan hutan. Analisis di areal konsesi ini dilakukan pada sebaran lahan areal IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, Kebun dan IPPKH (Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan). Tabel rekapitulasi jumlah hotspot yang diintegrasikan dengan data IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, Kebun dan IPPKH disajikan untuk setiap provinsi dari bulan Januari sampai November 2015 terdapat pada Tabel 3.9 s.d Tabel Tabel 3.9 Sebaran titik panas di areal IUPHHK-HA per bulan per provinsi tahun 2015 Provinsi Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Agst Sept Okt Nov Total Bengkulu Gorontalo Jambi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Utara Maluku Maluku Utara N. Aceh Darusalam Papua Papua Barat Riau Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara Total Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

36 Jumlah Titik Panas (Hotspot) Pengolahan data titik panas di areal konsesi dilakukan dengan metode yang sama dengan pengolahan dan analisis tema-tema kehutanan lainnya. Analisis ini dilakukan untuk melihat pola sebaran titik panas terutama di provinsi dengan sebaran titik panas tertinggi dengan bulan sebaran tertinggi yang relatif sama Provinsi Gambar 3.8 Diagram sebaran titik panas di areal IUPHHK-HA per provinsi tahun 2015 Gambar 3.8 menunjukkan sebaran data titik panas yang diintegrasikan dengan areal IUPHHK-HA, berdasarkan analisis tersebut terdapat titik panas yang tersebar di areal IUPHHK-HA. Berdasarkan analisis sebaran titik panas di areal IUPHHK-HA dengan provinsi, Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Jambi memiliki sebaran titik panas yang tertinggi. Hasil analisis tersebut, selaras dengan hasil analisis sebelumnya yaitu Provinsi Kalimantan Tengah menjadi salah satu provinsi yang selalu berada pada posisi tertinggi yang memiliki sebaran titik panas. Namun, pada analisis ini Provinsi Kalimantan Timur dan Jambi menjadi salah satu provinsi tertinggi karena pada dua provinsi tersebut memiliki jumlah atau total areal IUPHHK-HA yang lebih banyak dibandingkan dengan provinsi lainnya, begitu juga dengan Provinsi Kalimantan Tengah. Pada Tabel 3.9, sebaran titik tertinggi terjadi di bulan September dan Oktober. Hal tersebut terjadi pada sebagian besar provinsi yang memiliki sebaran titik panas di areal IUPHHK-HA. Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah pada bulan Oktober memiliki sebaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan bulan September. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

37 Jumlah Titik Panas (Hotspot) Sebaliknya untuk Provinsi Jambi, kondisi sebaran tertinggi terdapat di bulan September dibandingkan dengan bulan Oktober Provinsi Gambar 3.9 Diagram sebaran titik panas di areal IUPHHK-HT per provinsi tahun 2015 Selain analisis di areal IUPHHK-HA analisis sebaran titik panas dilakukan juga di areal IUPHHK-HT. Berdasarkan Gambar 3.9 dapat dilihat bahwa sebaran titik panas tertinggi terdapat di Provinsi Sumatera Selatan yaitu titik atau hampir 50% sebaran titik panas di areal IUPHHK-HT terdapat pada provinsi tersebut. Tabel 3.10 menunjukkan bahwa di Provinsi Sumatera Selatan bulan sebaran tertinggi terdapat di bulan Oktober lalu September. Berbeda dengan hasil analisis sebelumnya, tahun 2013 dan 2014 analisis di areal IUPHHK-HT provinsi tertinggi terdapat di Provinsi Riau, pada tahun 2015 Provinsi Riau berada di posisi ketiga provinsi dengan sebaran titik panas tertinggi yaitu sebanyak titik. Di Pulau Sumatera, sampai dengan tahun 2013 luas areal konsesi IUPHHK- HT mencapai 4,5 juta ha dan Provinsi Riau memiliki konsesi terluas (1,7 juta ha) sehingga dikenal juga sebagai provinsi yang terkena dampak kehilangan hutan alam paling luas akibat pembangunan HT (FWI, 2014). Sebaran titik panas secara total jika dibandingkan antara areal IUPHHK-HA dengan IUPHHK-HT, dapat dilihat bahwa IUPHHK-HT di tahun 2015 jauh cukup tinggi dibandingkan di areal IUPHHK-HA. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

38 Tabel 3.10 Sebaran titik panas di areal IUPHHK-HT per bulan per provinsi tahun 2015 Provinsi Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Agst Sept Okt Nov Total Gorontalo Jambi Kalimantan barat Kalimantan selatan Kalimantan tengah Kalimantan timur Kalimantan utara Kep. bangka belitung Lampung Maluku Maluku utara N. Aceh darusalam Nusa tenggara barat Nusa tenggara timur Papua Papua barat Riau Sulawesi barat Sulawesi selatan Sulawesi tengah Sulawesi tenggara Sumatera barat Sumatera selatan Sumatera utara Total Hasil analisis sebaran titik panas di areal kebun terdapat pada Tabel 3.11, pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa Provinsi Jambi merupakan provinsi dengan data sebaran titik panas tertinggi di areal kebun (858 titik) dengan bulan sebaran tertingginya yaitu di bulan September. Selanjutnya terdapat di Provinsi Kalimantan Barat (525 titik), dan Riau (521 titik). Hasil analisis sebelumnya, sebaran titik panas tertinggi di areal kebun pada tahun 2012 berada di Provinsi Kalimantan Barat, sedangkan di 2013 dan 2014 berada di Provinsi Riau. Namun jika dicermati lebih Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

39 dalam, untuk hasil analisis tidak jauh berbeda bahwa ketiga provinsi tersebut secara bergantian menjadi provinsi yang memiliki sebaran titik panas tertinggi. Hal tersebut bisa menjadikan sebuah pertimbangan dalam menghadapi bencana kebakaran lahan dan hutan khususnya di bulan kering yaitu bulan September dan Oktober. Tabel 3.11 Sebaran titik panas di areal kebun per bulan per provinsi tahun 2015 Provinsi Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Agst Sept Okt Nov Total Bengkulu Gorontalo 3 3 Jambi Kalimantan barat Kalimantan selatan Kalimantan tengah Kalimantan timur Lampung N. Aceh darusalam Papua Papua barat Riau Sulawesi selatan Sulawesi tengah Sulawesi utara Sumatera barat Sumatera selatan Sumatera utara Total Analisis di areal konsesi yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu areal IUPHHK- HA, IUPHHK-HT dan kebun merupakan kegiatan pemanfaatan di kawasan hutan. Selain analisis di areal pemanfaatan kawasan hutan, analisis juga dilakukan di areal penggunaan kawasan hutan yaitu tambang, sebagai salah satu Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Dari Tabel 3.12 menunjukkan sebaran data titik panas di areal Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), Provinsi Jambi adalah provinsi dengan data sebaran titik panas tertinggi di areal IPPKH (tambang) dengan bulan sebaran tertinggi di bulan September. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

40 Tabel 3.12 Sebaran titik panas di areal IPPKH per bulan per provinsi tahun 2015 Provinsi Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Agst Sept Okt Nov Total Banten Gorontalo Jambi Jawa barat Jawa tengah Jawa timur Kalimantan barat Kalimantan selatan Kalimantan tengah Kalimantan timur Kalimantan utara Kep. Bangka belitung Maluku Maluku utara Nusa tenggara barat Papua barat Riau Sulawesi selatan Sulawesi tengah Sulawesi tenggara Sulawesi utara Sumatera selatan Sumatera utara Total Berdasarkan analisis yang dilakukan di areal konsesi, baik di areal pemanfaatan maupun penggunaan kawasan hutan dapat diketahui bahwa areal yang dibebani hak baik pemanfaatan maupun penggunaan kawasan hutan tidak menjamin bahwa areal tersebut akan terjaga dengan baik. Hampir sebagian besar areal yang dibebani izin memiliki sebaran titik panas. Diharapkan hal tersebut tidak berimbas lebih lanjut terhadap kerugian lain yang lebih serius seperti kebakaran lahan dan hutan. Hal ini juga bisa menjadi pertimbangan terhadap pengambilan keputusan untuk pemanfaatan maupun penggunaan kawasan hutan. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

41 Jumlah Titik Panas Jumlah Titik Panas Provinsi Gambar 3.10 Diagram sebaran titik panas di areal kebun per provinsi tahun Provinsi Gambar 3.11 Diagram sebaran titik panas di areal tambang per provinsi tahun 2015 Berdasarkan hasil analisis titik panas sebelumnya pada kelas penutupan lahan, diperoleh bahwa hampir 38.5% dari total titik panas tahun 2015 yang tersebar di seluruh Indonesia berada pada lahan basah. Analisis data titik panas di areal gambut dilakukan untuk mengetahui sebaran titik panas di areal tersebut yang merupakan Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

42 salah satu lahan basah yang terindikasi memiliki sebaran tinggi. Sebanyak titik panas teridentifikasi terdapat di areal gambut yang tersebar di 17 provinsi. Provinsi Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan masih menjadi dua provinsi tertinggi dalam sebaran titik panas dalam tema kehutanan apapun, baik penutupan lahan, fungsi kawasan hutan bergitu juga dengan areal konsesi. Sebanyak titik atau 34.3% dari total titik panas yang tersebar di areal gambut terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah sedangkan Provinsi Sumatera Selatan menduduki urutan kedua tertinggi sebanyak titik atau 32.1% (Tabel 3.13). Tabel 3.13 Sebaran titik panas (hotspot) di areal gambut per provinsi dan per bulan Provinsi Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Ags Sept Okt Nov Total Bengkulu Jambi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Utara Kep.Bangka Belitung Kep. Riau Lampung N. Aceh Darusalam Papua Papua Barat Riau Sumatera Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara TOTAL Berdasarkan hasil analisis ini juga dapat diketahui bahwa bulan tertinggi terdapatnya titik panas pada areal gambut pada musim kering yaitu bulan September dan Oktober. Pada bulan Oktober Provinsi Kalimantan Tengah memiliki sebaran titik panas lebih tinggi dibandingkan bulan September. Berbeda dengan Provinsi Sumatera Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

43 Selatan dan Papua, sebaran tertinggi terdapat di bulan September dibandingkan bulan Oktober. Hal tersebut selaras dengan trend data titik panas (hotspot) mulai meningkat pada bulan Agustus, puncak tertinggi di bulan September kemudian Oktober, dan trend akan menurun drastis pada bulan November. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah menetapkan 530 unit KPH Lindung dan KPH Produksi dan 70 unit KPH Konservasi. Sampai saat ini telah ditetapkan 120 unit KPHL/KPHP model dari 600 unit tersebut. Tabel 3.14 Sebaran titik panas (hotspot) di areal KPH per provinsi PROVINSI HOTSPOT Sumatera Selatan Kalimantan Tengah Sulawesi Selatan 720 Kalimantan Selatan 719 Kalimantan Timur 666 Riau 664 Maluku 652 Kalimantan Barat 563 Sulawesi Tengah 540 Nusa Tenggara Timur 322 Bangka Belitung 299 Sulawesi Tenggara 245 Gorontalo 214 Sumatera Barat 143 Lampung 110 Nusa Tenggara Barat 99 Sulawesi Barat 91 Jambi 69 Bengkulu 54 Sulawesi Utara 40 Sumatera Utara 40 Aceh 21 Papua 5 Bali 4 Maluku Utara 4 Kepulauan Riau 3 Papua Barat 3 DI Yogyakarta 2 TOTAL Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

44 Analisis data titik panas di areal KPH dilakukan pada 120 KPH model yang tersebar diseluruh Indonesia. Berdasarkan hasil analisis tersebut, kejadian kebakaran lahan dan hutan pada tahun 2015 ini sebanyak titik yang terdapat di dalam areal KPH yang tersebar di 29 provinsi. KPHP Unit III Lalan Mangsang Mendis merupakan KPH yang memiliki sebaran tertinggi diantara 103 wilayah KPH yang terdapat sebaran titik panas yaitu sebanyak titik. KPHP tersebut terdapat di Provinsi Sumatera Selatan dimana provinsi tersebut juga merupakan provinsi tertinggi yang terdapat sebaran titik panas di areal KPH yaitu sebanyak titik. Provinsi Kalimantan Tengah juga masih termasuk ke dalam salah satu provinsi yang memiliki sebaran titik panas di areal KPH yaitu sebanyak titik (Tabel 3.14). Berdasarkan hasil analisis ini dapat diketahui bahwa hanya 7 KPH dari 120 KPH model yang tanpa titik panas pada arealnya. KPH tersebut terdiri dari jenis KPHL dan KPHK yang tersebar di Provinsi Bali, Lampung, Papua, dan Papua Barat. Ketujuh KPH tersebut yaitu, KPHL Bali Tengah (Unit II) di Provinsi Bali, KPHL Memberamo, KPHP Waropen, dan KPHP Yapen di Provinsi Papua, KPHL Remu (Bagian Unit II) Provinsi Papua Barat, KPHL Pesawaran, dan KPHL Rajabasa (Unit XIV) Provinsi Lampung Analisis Areal Kebakaran Lahan dan Hutan Analisis data titik panas (hotspot) yang dilakukan Sub Direktorat Pemantauan Sumber Daya Hutan Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan dilakukan setiap tahun untuk mengetahui informasi sebaran hingga trend titik panas pada tahun tertentu. Analisis dilakukan dengan melakukan tumpang susun terhadap tema-tema kehutanan yang diinginakan, seperti penutupan lahan, fungsi kawasan hutan dan areal konsesi. Pada tahun 2015, analisis data titik panas tidak hanya dilakukan analisis pada titik panas saja seperti pada tahun sebelumnya (tahun 2014), namun dilakukan juga analisis areal kebakaran lahan dan hutan akibat dari terjadinya bencana kebakaran lahan dan hutan di Indonesia tahun 2015 yang diperkirakan seluas 2,61 juta ha baik di dalam maupun kawasan hutan. Analisis data titik panas digunakan sebagai indikasi areal kebakaran hutan lahan, data sebaran titik panas diperoleh dari hasil analisis citra penginderaan jauh yang berbasis satelit dengan pengindera thermal (MODIS TERRA/AQUA). Pengolahan data dimulai dengan melakukan analisis fokus wilayah pengamatan (diawali point density). Penentuan fokus wilayah pengamatan dilakukan untuk membatasi kajian Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

45 pada areal dengan intensitas kebakaran yang cukup tinggi. Pembatasan wilayah kajian dilakukan untuk membagi wilayah yang perlu dikaji dalam waktu cepat dan wilayah yang menjadi fokus kajian berikutnya. Penentuan fokus wilayah pengamatan didasarkan pada informasi sebaran titik panas. Informasi tersebut kemudian dianalisis secara spasial dengan metode kerapatan titik (point density). Hasil analisis kerapatan titik kemudian memberikan informasi lokasi-lokasi yang perlu diamati secara lebih detil dengan citra Landsat. Gambar 3.12 Perbandingan sebaran titik panas dan hasil analisis kerapatan titik Identifikasi luas bekas kebakaran dilakukan pada citra Landsat 8 OLI dengan panduan hasil analisis kerapatan titik. Pengamatan difokuskan pada lokasi dengan poligon kerapatan titik. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan melakukan delineasi pada objek yang ditengarai sebagai bekas kebakaran (Elvidge & Baugh, 2014; Candra & Kustiyo, 2014). Penentuan enam periode pengamatan dilakukan berdasarkan periode perulangan akuisisi data citra Landsat (16 harian) dan peningkatan intensitas titik panas Indonesia tahun 2015 terutama pada bulan Agustus, September dan Oktober. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

46 (a) 11 Juli 2015 (b) 12 Agustus 2015 (c) 13 September 2015 (d) 19 Oktober 2015 Gambar 3.13 Perbandingan identifikasi bekas kebakaran dengan kenampakan sebelum kebakaran Proses identifikasi areal bekas kebakaran dilakukan dengan kunci interpretasi, diantaranya kombinasi paduan warna 543 dan 754, kenampakan objek berwarna coklat atau merah kehitaman atau hitam, pada kondisi tertentu terdapat sulur (plume) berwarna putih atau kelabu yang berpangkal pada lokasi yang diidentifikasi sebagai Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

47 Luas Areal Kebakaran (ha) bekas kebakaran, terdapat perubahan kenampakan pada citra Landsat periode sebelumnya, terdapat hasil identifikasi titik panas pada lokasi tersebut atau sekitar lokasi tersebut, dan memiliki luasan sekurang-kurangnya 10 ha. Perbandingan identifikasi bekas kebakaran dengan kenampakan sebelum kebakaran disajikan pada Gambar Hasil identifikasi bekas kebakaran kemudian dianalisis lebih lanjut dengan tematema kehutanan lainnya (penutupan lahan, fungsi kawasan hutan dan areal konsesi) untuk mendapatkan informasi luasan bekas kebakaran terhadap fungsi kawasan hutan, penutupan lahan, dan areal konsesi. Analisis spasial dilakukan dengan melakukan tumpang susun informasi spasial bekas kebakaran dengan informasi spasial wilayah administrasi, fungsi kawasan hutan, dan areal konsesi. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada diagram berikut (Gambar 3.14, 3.15, dan 3.16). 700, , , , , , ,000 - Gambar 3.14 Diagram luasan bekas kebakaran berdasarkan wilayah administrasi provinsi Provinsi Dapat dilihat pada Gambar 3.14, sebaran luas areal kebakaran lahan dan hutan paling tertinggi terdapat di Provinsi Sumatera Selatan yang mencapai hampir 24,6% dari total areal kebakaran lahan dan hutan di Indonesia. Provinsi tertinggi lainnya terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah (22%) dan Papua (14%). Ketiga provinsi tersebut juga merupakan tiga provinsi yang menduduki posisi tiga tertinggi dari Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

48 Luas Areal Kebakaran (ha) Luas Areal Kebakaran (ha) sebaran data titik panas pada tahun ini. Namun jika dilihat hasil analisis sebelumnya sebaran titik tertinggi justru terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah selanjutnya Sumatera Selatan dan Papua. Hal tersebut membuktikan bahwa titik panas memang tepat digunakan untuk identifikasi awal analisis areal kebakaran lahan dan hutan. 900, , , , , , , , ,000 - AIR KSPA HL HPT HP HPK APL Fungsi Kawasan Hutan Gambar 3.15 Diagram luasan bekas kebakaran berdasarkan fungsi kawasan hutan 800, , , , , , , , Kode Penutupan Lahan Gambar 3.16 Diagram luasan bekas kebakaran berdasarkan penutupan lahan Berdasarkan hasil analisis dengan fungsi kawasan hutan diperoleh bahwa areal kebakaran lahan dan hutan tertinggi terdapat di luar kawasan hutan, yaitu di areal Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

49 ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG BANGKA BELITUNG JAWA BARAT JAWA TENGAH DI YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN BALI NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR & UTARA SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGGARA SULAWESI BARAT GORONTALO MALUKU MALUKU UTARA PAPUA PAPUA BARAT Luas Areal Kebakaran (ha) penggunaan lain (APL) terdapat sebanyak 32% selanjutnya berada di dalam kawasan hutan yaitu di hutan produksi sebanyak 28,1% (Gambar 3.15). Sedangkan berdasarkan analisis dengan penutupan lahan menunjukkan hasil serupa dengan hasil analisis sebaran titik panas bahwa areal kebakaran hutan lebih banyak terdapat di kelas penutupan lahan non hutan yaitu di kelas belukar rawa (20071), sebanyak 28,9%. Selanjutnya berada di kelas savanna / rumput (9,7%), belukar (9,3%), dan pertanian lahan kering sekunder campur (7,7%). Hal tersebut menunjukkan bahwa kelas penutupan lahan non hutan memiliki sebaran luas kebakaran lahan dan hutan lebih tinggi dibandingkan dengan kelas penutupan lahan hutan (Gambar 3.16). 350, , , , , , , Provinsi KEBUN PEMANFAATAN KAWASAN BIDANG TANAH Gambar 3.17 Diagram luasan bekas kebakaran berdasarkan areal perizinan Analisis areal kebakaran lahan dan hutan di kawasan yang dibebani perizinan baik untuk pemanfaatan kawasan, kebun dan hak guna usaha dilakukan untuk mengetahui seberapa luas akibat dari bencana kebakaran lahan dan hutan ini di kawasan yang dibebani perizinan dan diluar perizinan. Pada Gambar 3.16 dapat dilihat bahwa Provinsi Sumatera Selatan memiliki luasan areal kebakaran lahan dan hutan terluas dibandingkan dengan provinsi lainnya yaitu sebesar 40,7% dari total luasan areal kebakaran lahan dan hutan yang berada di areal perizinan. Dari 40,7% areal kebakaran hutan di Provinsi Sumatera Selatan, terdapat 80,6% areal kebakaran lahan dan hutan terjadi di areal pemanfaatan kawasan hutan (IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT), selebihnya 15,7% di areal perkebunan dan 3,7% berada di areal bidang tanah (hak Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

50 ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG BANGKA BELITUNG JAWA BARAT JAWA TENGAH DI YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN BALI NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR & UTARA SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGGARA SULAWESI BARAT GORONTALO MALUKU MALUKU UTARA PAPUA PAPUA BARAT Luas Areal Kebakaran (ha) guna usaha). Selanjutnya provinsi tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Tengah, dengan komposisi areal kebakaran lahan dan hutan lebih didominasi pada areal bidang tanah (hak guna usaha) seluas 61,3% kemudian di areal pemanfaatan kawasan (23,7%) dan areal perkebunan (15,1%). Gambar 3.18 menunjukkan perbandingan luas areal kabakaran hutan dan lahan di dalam dan di luar areal perizinan per provinsi. Diagram tersebut menunjukkan bahwa pada Provinsi Sumatera Selatan presentase areal kebakaran lahan dan hutan di areal perizinan lebih besar dibandingkan di luar areal perizinan sedangkan pada Provinsi Kalimantan Tengah dan Papua memiliki keadaan yang sebaliknya dimana presentase luas kebakaran lahan dan hutan di luar areal perizinan jauh lebih besar dibandingkan dengan di dalam areal perizinan. 450, , , , , , , , , AREAL PERIZINAN Provinsi AREAL DI LUAR PERIZINAN Gambar 3.18 Diagram luasan bekas kebakaran di dalam dan di luar areal perizinan Kebakaran yang terjadi tidak hanya pada lahan kering tetapi juga pada lahan basah (terutama lahan gambut). Kebakaran di hutan lahan gambut jauh lebih sulit untuk ditangani dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di hutan tanah mineral/dataran tinggi. Hal demikian disebabkan oleh penyebaran api yang tidak hanya terjadi pada vegetasi di atas gambut tapi juga terjadi di dalam lapisan tanah gambut yang sulit diketahui penyebarannya (Adinugroho et. al. 2005). Berdasarkan hasil analisis, dapat dilihat pada Gambar 3.18 bahwa kebakaran lahan dan hutan hampir 33% berada pada lahan gambut. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab dampak Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

51 Sumatera Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Riau Nusa Tenggara Timur Maluku Lampung Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Kalimantan Timur Gorontalo Sumatera Barat Sulawesi Barat Jambi Bali Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara DI Yogyakarta Areal Kebakaran (ha) asap yang berkepanjangan karena sulitnya untuk memadamkan api di areal bergambut dibandingkan di areal tanah mineral. Gambut 33% Mineral 67% Gambar 3.19 Diagram luasan bekas kebakaran di tanah gambut dan mineral 140, , , , , , , Provinsi Gambar 3.20 Diagram luasan bekas kebakaran di areal KPH Model per provinsi Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, analisis data titik panas di areal KPH dilakukan pada 120 KPH model yang tersebar diseluruh Indonesia. Selain analisis titik panas dilakukan juga analisis areal kebakaran lahan dan hutan di 120 KPH Model tersebut. Berdasarkan hasil analisis sebaran titik panas ditemukan titik yang terdapat di dalam areal KPH yang tersebar di 29 provinsi, sedangkan berdasarkan Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

52 KPHP Unit XIV Benakat KPHP Ketapang KPHP Tina Orima KPHP Kota Waringin Barat KPHP Tasik Besar Serkap KPHP Tanah Laut KPHL Larona Malili (Unit I) Bangka Belitung KPHP Muara Dua KPHP Murung Raya (Unit II) KPHP Tojo Una-Una (Bagian KPHP Gorontalo Utara KPHP Kendilo (Unit XXXIV) KPHP Sungai Buaya (Unit V) KPHP Lamandau KPHP Jeneberang (Unit IX) KPHP Balantak KPHL Sungai Beram Hitam KPHP Toili Baturube (Unit XIX) KPHP Bolaemo (Unit V) KPHP Gorontalo (Unit VI) KPHP Pogogul KPHL Konawe KPHP Mamasa Barat (Unit VII) KPHP Mandailing Natal KPHP Unit XXIV Gularaya KPHL Ganda Dewata KPHL Unit III Pohuwato KPHL Malunda KPHL Sijunjung KPHP Wae Bubi (Unit X) KPHP Sintuwu Maroso KPHP Manggarai Barat (Unit I) Areal Kebkaran (ha) analisis areal kebakaran lahan dan hutan, sebaran areal kebakaran lahan dan hutan terdapat di 20 provinsi seperti yang tertera pada Gambar Berdasarkan Gambar 3.20 tersebut dapat dilihat bahwa sebaran areal kebakaran lahan dan hutan tertinggi berada di Provinsi Sumatera Selatan yang mencapai 55,3% dari luasan total areal kebakaran lahan dan hutan di areal KPH Model. Terindikasi terdapat 5 KPH yang terindikasi memiliki sebaran areal kebakaran lahan dan hutan di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu KPHL Banyuasin (Unit I), KPHP Lakitan Unit VI, KPHP Meranti, KPHP Unit III Lalan Mangsang Mendis, dan KPHP Unit XIV Benakat. KPHP Unit XIV Benakat merupakan KPH dengan areal kebakaran lahan dan hutan tertinggi dibandingkan dengan KPH model lainnya baik di Provinsi Sumatera Selatan maupun seluruh Indonesia dimana mencapai 29,41% dari luasan total areal kebakaran lahan dan hutan di areal KPH Model. Selanjutnya KPHP Unit III Lalan Mangsang Mendis (20,49%) di Provinsi Sumatera Selatan, KPHP Ketapang (5,11%) di Provinsi Kalimantan Barat, KPHP Gerbang Barito (Unit IX) (4,86%) di Provinsi Kalimantan Tengah, dan KPHP Tina Orima (4,07%) di Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara rinci dapat dilihat di diagram luasan bekas kebakaran di areal KPH Model pada Gambar , , , , , , , KPH Model Gambar 3.21 Diagram luasan bekas kebakaran di areal KPH Model Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

53 Berdasarkan hasil analisis baik analisis sebaran titik panas (hotspot) dan areal kebakaran hutan lahan, penyebab terjadinya kebakaran lahan dan hutan tidak hanya diakibatkan oleh adanya pengaruh musim kemarau yang panjang dan El Nino sehingga muncul titik panas sebagai indikasi kebakaran lahan dan hutan muncul namun juga akibat ulah manusia. Ulah manusia terjadi seperti kesengajaan membakar, pembukaan lahan baru oleh sebagian masyarakat, pelaku illegal logging, buruknya pengelolaan ekosistem rawa gambut dan juga tidak lepas dari lemahnya pengawasan (BNPB, 2015). Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

54 IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan wilayah administrasi sebaran titik panas tertinggi selama tahun 2015 terdapat pada Provinsi Kalimantan Tengah ( titik), Sumatera Selatan ( titik) dan Papua ( titik). 2. Berdasarkan wilayah Kabupaten, sebaran data titik panas tertinggi terdapat di Kabupaten kabupaten di Provinsi yang juga mempunyai sebaran titik panas tertinggi, yaitu di Kabupaten Pulang Pisau (8.201 titik), Kotawaringin Timur (3.581 titik), dan Kapuas (3.305 titik) di Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Ogan Komering Ilir ( titik), Musibanyuasin (4.568 titik), dan Banyuasin (2.300 titik) di Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Merauke (8.760 titik), Mappi (2.524 titik), dan Bovendigoel (973 titik) di Provinsi Papua. 3. Berdasarkan wilayah pulau besar, sebaran data titik panas tertinggi terdapat di Pulau Kalimantan (40%), Sumatera (35%), dan Papua (10%). 4. Berdasarkan waktu/musim, bulan dengan sebaran titik panas tertinggi di tahun 2015 terdapat di bulan-bulan kering yaitu bulan September ( titik) dan Oktober ( titik). 5. Berdasarkan fungsi kawasan, sebaran titik panas lebih tinggi di luar kawasan hutan dibandingkan dengan di dalam kawasan hutan. Sebaran titik panas tertinggi terdapat di areal penggunaan lain (APL) yaitu titik kemudian disusul oleh kawasan hutan produksi (HP) sebanyak titik. Sebaran tertinggi di kawasan HP terdapat di Provinsi Sumatera Selatan ( titik) begitu juga dengan sebaran di luar kawasan hutan (APL), sebaran tertinggi terdapat Provinsi Sumatera Selatan dengan jumlah titik panas titik. 6. Berdasarkan data kelas penutupan lahan dan hutan, kelas belukar rawa ( titik) adalah kelas yang terindikasi mempunyai sebaran titik panas tertinggi di kelompok kelas bukan hutan, berikutnya kelas belukar ( titik) dan Pertanian lahan kering campur ( titik). Untuk kelas berhutan tertinggi terdapat di kelas kelas hutan rawa sekunder ( titik) dan hutan tanaman ( titik). Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

55 7. Berdasarkan areal konsensi IUPHHK-HA, terdapat titik (7,1% dari total sebaran titik panas tahun 2015) yang tersebar di areal IUPHHK-HA di seluruh Indonesia. Provinsi Kalimantan Timur (2.052 titik) mempunyai sebaran titik api tertinggi dengan bulan sebaran tertinggi di bulan September dan Oktober. 8. Berdasarkan areal konsensi IUPHHK-HT, terdapat titik (21,7% dari total sebaran titik panas tahun 2015) yang tersebar di areal IUPHHK-HT di seluruh Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan ( titik) merupakan provinsi yang mempunyai sebaran tertinggi di areal IUPHHK-HT dengan sebaran tertinggi di bulan yang sama yaitu September dan Oktober. 9. Berdasarkan areal kebun, terdapat titik (2,7% dari total sebaran titik panas tahun 2015) yang tersebar di areal kebun di seluruh Indonesia. Provinsi Jambi (858 titik) mempunyai sebaran tertinggi dengan bulan sebaran di bulan Agustus dan September. 10. Berdasarkan areal penggunaan kawasan IPPKH, terdapat titik (1,5% dari total sebaran titik panas tahun 2015) yang tersebar di areal IPPKH di seluruh Indonesia. Provinsi Jambi (573 titik) mempunyai sebaran tertinggi dengan bulan sebaran di bulan Agustus. 11. Berdasarkan jenis tanah gambut, terdapat titik yang tersebar di areal gambut di seluruh Indonesia dan mencapai 34,3% atau titik terdapat Provinsi Kalimantan Tengah. 12. Berdasarkan areal kesatuan pengelolaan hutan (KPH), terdapat titik yang berada di areal KPH model. KPHP Unit III Lalan Mangsang Mendis yang terdapat di Provinsi Sumatera Selatan merupakan KPH dengan sebaran titik panas tertinggi yaitu titik. 13. Berdasarkan sebaran areal kebakaran lahan dan hutan, areal terluas terdapat pada Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua. 14. Berdasarkan sebaran areal kebakaran lahan dan hutan lebih banyak berada pada areal di luar kawasan hutan yaitu APL sebanyak 32% dibandingkan dengan di dalam kawasan hutan yaitu di areal HP sebanyak 28,1%. 15. Berdasarkan sebaran areal kebakaran lahan dan hutan pada kelas penutupan lahan, penutupan lahan kelas non hutan memiliki sebaran luas kebakaran lahan Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

56 dan hutan lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan kelas hutan yaitu kelas belukar rawa sebanyak 28,9%. 16. Berdasarkan sebaran areal kebakaran lahan dan hutan lebih banyak berada pada areal di luar kawasan yang tidak dibebani perizinan (62%) dibandingkan dengan kawasan yang memiliki perizinan baik pemanfaatan maupun penggunaan kawasan hutan (38%). 17. Berdasarkan sebaran areal kebakaran lahan dan hutan lebih banyak terdapat di tanah mineral sebanyak 67% sedangkan di tanah gambut terdapat sebanyak 33% Saran 1. Untuk lebih meningkatkan keakuratan hasil analisis areal kebakaran lahan dan hutan perlu dilakukan pengecekan lapangan untuk areal bekas kebakaran lahan dan hutan; 2. Untuk mendayagunakan hasil analisis data titik panas (hotspot) areal kebakaran lahan dan hutan bagi instansi terkait. dapat digunakan sebagai early warning bahaya kebakaran lahan dan hutan dari analisis titik panas (hotspot) ini. Selain itu bisa juga dijadikan dasar pengambilan kebijakan terkait kebakaran lahan dan hutan. Untuk itu. perlu lebih intensif melakukan koordinasi dengan instansi terkait. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

57 DAFTAR PUSTAKA Adinugroho. W. C.. I N.N. Suryadiputra. Bambang Hero Saharjo dan Labueni Siboro Panduan Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan Gambut. Proyek Climate Change. Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana Juta ha Lahan Indonesia Terbakar di Jiwa Melayang. Jakarta. Sumber Daring. [Diakses 14 Desember 2015] Candra. D.S.. Kustiyo Near Real Time Detection of Burned Scar Area Using Landsat-8 Imageries. GOFC-GOLD GHG Workshop Vietnam. Sumber Daring [Diakses 10 September 2015] ay_2/morning/10.35.burned%20scar%20area%20detection%20- %20Danang%20Surya%20Candra%20(LAPAN)_Rev.pdf Elvidge. C.D.. K. Baugh Burn Scar Mapping from Landsat 8. Sumber Daring [Diakses 10 September 2015] Ferdi Sejarah Kebakaran Lahan dan Hutan di Indonesia. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. Ditjen PHKA. Jakarta. [FWI] Forest Watch Indonesia Pengabaian Kelestarian Hutan Alam dan Gambut. serta Faktor Pemicu Konflik Lahan yang Berkelanjutan. Laporan Penyajian Data Titik Panas (Hotspot) Tahun Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan. Ditjen Planologi Kehutanan. Jakarta. Laporan Akhir Analisis Data Titik Panas (Hotspot) Tahun Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan. Ditjen Planologi Kehutanan. Jakarta. Laporan Akhir Analisis Data Titik Panas (Hotspot) Tahun Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan. Ditjen Planologi Kehutanan. Jakarta. National Weather Service Cold and Warm Episodes by Season. Sumber Daring. shtml Permenhut Nomor P.12/Menhut-II/2009. tanggal 23 Februari 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

58 Saharjo. B. H.. Endang A. Husaeni.. dan Kasno Manajemen Penggunaaan Api dan Bahan Bakar dalam Penyiapan Lahan di Areal Perladangan berpindah. Laboratorium Perlindungan Hutan. Fakultas kehutanan. IPB. Bogor. Analisis Data Titik Panas (Hotspot) tahun

59 LAMPIRAN

60 Lampiran 1 Sebaran titik panas berdasarkan wilayah administrasi kabupaten di tiga provinsi tertinggi No. Provinsi Kabupaten Jumlah Hotspot 1 Kaimantan Tengah Barito Selatan Barito Timur 664 Barito Utara 453 Gunungmas 231 Kapuas Katingan Kota Palangkaraya Kotawaringin Barat Kotawaringin Timur Lamandau 441 Murungraya 240 Pulangpisau Seruyan Sukamara Total Sumatera Selatan Banyuasin Empat Lawang 137 Kaur 2 Kota Lubuklinggau 20 Kota Pagaralam 8 Kota Palembang 10 Kota Prabumulih 16 Lahat 274 Muaraenim 921 Musibanyuasin Musirawas 675 Musirawas Utara 588 Ogan Ilir 207 Ogan Komering Ilir Ogan Komering Ulu 431 Ogan Komering Ulu Selatan 301 Ogan Komering Ulu Timur 291 Penukal Abab Lematang Ilir 260 Pesisir Barat 1 Total Papua Asmat 90 Biaknumfor 5 Bovendigoel 973 Dogiyai 43

61 No. Provinsi Kabupaten Jumlah Hotspot Intan Jaya 6 Jayapura 12 Jayawijaya 123 Keerom 5 Kepulauan Yapen 12 Kota Jayapura 25 Lanny Jaya 69 Mamberamo Raya 33 Mamberamo Tengah 41 Mappi Merauke Mimika 18 Nabire 18 Nduga 2 Paniai 49 Pegunungan Bintang 11 Puncak 22 Puncakjaya 37 Sarmi 15 Tolikara 59 Waropen 2 Yahukimo 3 Yalimo 2 Total

62 Lampiran 2. Sebaran data titik panas di setiap fungsi kawasan hutan per provinsi dan per bulan di tiga provinsi tertinggi Provinsi/Fungsi Kawasan JAN FEB MART APR MEI JUN JULI AGST SEPT OKT NOV Total KALIMANTAN TENGAH APL HL HP HPK HPT KSA/KPA Tubuh Air PAPUA APL HL HP HPK

63 Provinsi/Fungsi Kawasan JAN FEB MART APR MEI JUN JULI AGST SEPT OKT NOV Total HPT KSA Tubuh Air SUMATERA SELATAN APL HL HP HPK HPT SM TN Tubuh Air

64 Lampiran 3 Sebaran data titik panas di kelas penutupan lahan untuk setiap provinsi Provinsi Total Bali Banten Bengkulu Di Yogyakarta Dki Jakarta 9 9 Gorontalo Jambi , , , ,995 Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur ,006 Kalimantan Barat ,220 1, , ,975 Kalimantan Selatan , ,869 Kalimantan Tengah ,299 1, ,656 15, ,412 30,057 Kalimantan Timur 15 1, ,839 1, , ,918 Kalimantan Utara ,085 Kep. Bangka Belitung ,941 Kepulauan Riau Lampung ,545 Maluku , ,846 Maluku Utara ,284 N. Aceh Darusalam Nusa Tenggara Barat ,466 Nusa Tenggara Timur , ,467 Papua 797 1, , , ,388 12,959 Papua Barat Riau , , , ,155 Sulawesi Barat Sulawesi Selatan ,164 Sulawesi Tengah ,491 Sulawesi Tenggara ,754 Sulawesi Utara ,118 Sumatera Barat Sumatera Selatan ,555 2,357 1, , ,761 6, , ,727 Sumatera Utara Total 1,870 10, ,476 11,692 15,355 6,963 1,383 8,707 5, ,823 33,896 4,775 12,477 2, ,100 4, ,108

65 Lampiran 4. Sebaran data titik panas di kelas penutupan lahan per bulan Penutupan Lahan Kode (PL) PL JAN FEB MAR APR MEI JUN JULI AGS SEPT OKT NOV Total Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Mangrove Primer Hutan Rawa Primer Hutan Tanaman Belukar Perkebunan Pemukiman Tanah Terbuka Savanna/ Padang rumput Badan Air Hutan Mangrove Sekunder Hutan Rawa Sekunder

66 Penutupan Lahan (PL) Kode PL JAN FEB MAR APR MEI JUN JULI AGS SEPT OKT NOV Total Belukar Rawa Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur Sawah Tambak Bandara/ Pelabuhan Transmigrasi Pertambangan Rawa Total

67 Lampiran 5. Sebaran data titik panas di setiap kelas penutupan lahan per provinsi dan per bulan PROVINSI/ BULAN PENUTUPAN LAHAN JAN FEB MART APRL MEI JUN JULI AGST SEPT OKT NOV Total KALIMANTAN TENGAH Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Rawa Primer 1 1 Hutan Tanaman Semak / Belukar Perkebunan Pemukiman Tanah Terbuka Savanna Tubuh Air Hutan Mangrove Sekunder Hutan Rawa Sekunder Belukar / Rawa Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur Sawah Tambak 1 1 Transmigrasi Pertambangan Rawa

68 PROVINSI/ BULAN PENUTUPAN LAHAN JAN FEB MART APRL MEI JUN JULI AGST SEPT OKT NOV Total PAPUA Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Mangrove Primer Hutan Rawa Primer Semak / Belukar Perkebunan Pemukiman Tanah Terbuka Savanna Tubuh Air Hutan Mangrove Sekunder Hutan Rawa Sekunder Belukar / Rawa Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur Sawah Transmigrasi Rawa SUMATERA SELATAN Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Mangrove Primer

69 PROVINSI/ BULAN PENUTUPAN LAHAN JAN FEB MART APRL MEI JUN JULI AGST SEPT OKT NOV Total Hutan Tanaman Semak / Belukar Perkebunan Pemukiman Tanah Terbuka Savanna Tubuh Air Hutan Mangrove Sekunder Hutan Rawa Sekunder Belukar / Rawa Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur Sawah Tambak Transmigrasi 2 2 Pertambangan Rawa

70 Lampiran 6. Sebaran data titik panas berdasarkan areal KPH Model tahun 2015 No. NAMA KPH HOTSPOT 1 KPHL Aceh (Unit III) 21 2 KPHL Alor KPHL Ampang 26 4 KPHL Awota (Bagian Unit V dan Bagian Unit VI) 1 5 KPHL Bali Barat 2 6 KPHL Bali Timur (Unit III) 2 7 KPHL Banyuasin (Unit I) KPHL Batu Tegi 1 9 KPHL Biak Numfor 4 10 KPHL Budong-Budong (Unit V) KPHL Bukit Balai Rejang (Unit VII) KPHL Bukit Barisan (Unit IV) 4 13 KPHL Dharmaseraya KPHL Ganda Dewata 8 15 KPHL Hulu Sungai Selatan KPHL Kapuas KPHL Karimun 3 18 KPHL Konawe KPHL Kotaagung Utara (Unit X) 7 20 KPHL Larona Malili (Unit I) KPHL Lima Puluh Kota (Unit II) KPHL Malunda KPHL Mamasa Tengah (Unit VIII) KPHL Mapili KPHL Maria Unit XXIII KPHL Mutis Timau (Unit XIX) KPHL Peropa'Ea Gantara (Unit VII) 5 28 KPHL Pesisir Selatan KPHL Rinjani Barat 1 30 KPHL Rinjani Timur KPHL Sijunjung KPHL Solok 2 33 KPHL Sorong Selatan 2 34 KPHL Sungai Beram Hitam 7 35 KPHL Tambora Utara (Unit XVIII) KPHL Tarakan 1 37 KPHL Tastura (Unit III) 1 38 KPHL Toba Samosir (Unit XIV) 6 39 KPHL Unit II Lariang 5 40 KPHL Unit III Pohuwato KPHL Unit XXII KPHP Bacan (Unit XIII) 2

71 43 KPHP Bukit Lubuk Pekak-Hulu Landai KPHP Sungai Sembulan KPHP Tojo Una-Una (Bagian Unit XVII) KPHP Balantak KPHP Banjar KPHP Batulanteh (Unit IX) 6 49 KPHP Bengkulu Utara (Unit III) 6 50 KPHP Berau Barat KPHP Bolaemo (Unit V) KPHP Bukit Punggur KPHP Dampelas Tinombo KPHP Dolago Tanggunung 2 55 KPHP Flores Timur (Unit VIII) KPHP Gedong Wani (Unit XVI) 1 57 KPHP Gerbang Barito (Unit IX) KPHP Gorontalo (Unit VI) KPHP Gorontalo Utara KPHP Gunung Duren KPHP Gunung Mas (Unit XVI) 2 62 KPHP Gunung Sinopa 2 63 KPHP Jeneberang (Unit IX) KPHP Kampar Kiri (Unit XVIII) KPHP Kapuas Hulu (Unit XVIII dan Unit XIX) KPHP Kayan KPHP Keerom 1 68 KPHP Kendilo (Unit XXXIV) KPHP Kerinci (Unit I) 7 70 KPHP Ketapang KPHP Kota Waringin Barat KPHP Lakitan Unit VI KPHP Lamandau KPHP Malinau KPHP Mamasa Barat (Unit VII) KPHP Mandailing Natal KPHP Manggarai Barat (Unit I) 6 78 KPHP Meranti KPHP Meratus KPHP Minas Tahura KPHP Muara Dua KPHP Muko-Muko KPHP Murung Raya (Unit II) KPHP Pogogul KPHP Poigar KPHP Pulau Laut KPHP Rambat Mendayung 137

72 88 KPHP Rawas KPHP Register 47 Way Terusan KPHP Rote Ndao 8 91 KPHP Sejorong (Unit V) 8 92 KPHP Seruyan (Unit XXI) KPHP Sigambir-Kotawaringin (Unit IV) KPHP Sintuwu Maroso 3 95 KPHP Sorong 1 96 KPHP Sungai Buaya (Unit V) KPHP Sungai Marakai KPHP Tabalong (Unit V) KPHP Tanah Laut KPHP Tasik Besar Serkap KPHP Tebing Tinggi (Unit XXIV) KPHP Tina Orima KPHP Toili Baturube (Unit XIX) KPHP Unit III Lakompa KPHP Unit III Lalan Mangsang Mendis KPHP Unit VII Hilir KPHP Unit XIV Benakat KPHP Unit XXIV Gularaya KPHP Wae Apu KPHP Wae Bubi (Unit X) KPHP Wae Sapalewa KPHP Wae Tina (Unit III) KPHP Yogyakarta 2 TOTAL

73

74

75

76

77

78

79

80

81

82

83

84

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha)

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha) Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha) Kawasan Hutan Total No Penutupan Lahan Hutan Tetap APL HPK Jumlah KSA-KPA HL HPT HP Jumlah Jumlah

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN Jakarta, Juni 2012 KATA PENGANTAR Buku ini merupakan penerbitan lanjutan dari Buku Statistik Bidang Planologi Kehutanan tahun sebelumnya yang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2015 DEFORESTASI INDONESIA TAHUN 2013-2014

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

ANALISIS DATA TITIK PANAS (HOTSPOT) DAN AREAL KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TAHUN 2016

ANALISIS DATA TITIK PANAS (HOTSPOT) DAN AREAL KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TAHUN 2016 ANALISIS DATA TITIK PANAS (HOTSPOT) DAN AREAL KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TAHUN 2016 ENDRAWATI, S.Hut Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

NERACA SUMBER DAYA HUTAN NASIONAL TAHUN 2013

NERACA SUMBER DAYA HUTAN NASIONAL TAHUN 2013 NERACA SUMBER DAYA HUTAN NASIONAL TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN 2014 Penyusun Penanggung Jawab : Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2011 yang

Lebih terperinci

Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN

Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN DEPARTEMEN KEHUTANAN Ministry of Forestry 2008 KATA PENGANTAR Penyusunan Buku Eksekutif Data Strategis Kehutanan Tahun 2008 ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan data

Lebih terperinci

disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011

disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011 disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011 Hutan : suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA

PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan PEMANTAUAN

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN November, 2009

DEPARTEMEN KEHUTANAN November, 2009 Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN vember, 2009 EKSEKUTIF DATA STRATEGIS KEHUTANAN 2009 ISBN : 979-606-075-2 Penyunting : Sub Direktorat Statistik dan Jaringan Komunikasi Data

Lebih terperinci

Desa Hijau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Desa Hijau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Desa Hijau Untuk Indonesia Hijau dan Sehat Direktorat Pemulihan Kerusakan Lahan Akses Terbuka Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN DANA DEKONSENTRASI

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Re

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Re BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 454, 2016 ANRI. Dana. Dekonsentrasi. TA 2016. Pelaksanaan. PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA

Lebih terperinci

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 *Yenni Vetrita, Parwati Sofan, Any Zubaidah, Suwarsono, M. Rokhis

Lebih terperinci

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017 Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA Volume 7, Agustus 2017 IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN April - Juni 2017 Rendahnya kejadian kebakaran hutan Musim panen utama padi dan jagung lebih tinggi dari

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada

Lebih terperinci

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003 BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai eknmi, eklgi dan ssial

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR/BPRS. Semester I Tahun 2013

Pertumbuhan Simpanan BPR/BPRS. Semester I Tahun 2013 Pertumbuhan Simpanan BPR/BPRS Semester I Tahun 2013 DAFTAR ISI Pertumbuhan Simpanan pada BPR/BPRS Grafik 1 10 Dsitribusi Simpanan pada BPR/BPRS Tabel 9 11 Pertumbuhan Simpanan Berdasarkan Kategori Grafik

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

Perkembangan Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Proses Review RTRWP Per 31 Desember 2015

Perkembangan Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Proses Review RTRWP Per 31 Desember 2015 Perkembangan Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Proses Review RTRWP Per 31 Desember 2015 Luas Usulan Perubahan Persetujuan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan (ha) Kawasan Hutan (ha) No Provinsi

Lebih terperinci

Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D.

Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D. ANALISIS BENCANA DI INDONESIA BERDASARKAN DATA BNPB MENGGUNAKAN METODE CLUSTERING DATA MINING MAHESA KURNIAWAN 54412387 Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D. Bencana merupakan peristiwa yang dapat

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan

Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007 Kerja sama Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik Jakarta, 2007 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

Analisis Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Analisis Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Tim Analisis: Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, MAgr. (IPB, Bogor) Nur Hidayati (Walhi Nasional) Zenzi Suhadi (Walhi

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS Semester I Tahun 2014 Divisi Statistik, Kepesertaan, dan Premi Penjaminan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko DAFTAR ISI Jumlah BPR/BPRS Peserta Penjaminan Grafik

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. 13, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN

Lebih terperinci

Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Sektor Non Kehutanan Oleh : Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK

Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Sektor Non Kehutanan Oleh : Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Sektor Non Kehutanan Oleh : Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK Disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Badan Pemeriksa

Lebih terperinci

Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Timur* Menurut Sub Sektor Bulan Oktober 2017

Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Timur* Menurut Sub Sektor Bulan Oktober 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Timur* Menurut Sub Sektor Bulan Oktober 2017 NTP Oktober 2017 sebesar 96,75 atau naik 0,61 persen dibanding

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS Semester I Tahun 2015 Divisi Statistik, Kepesertaan, dan Premi Penjaminan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko DAFTAR ISI Jumlah BPR/BPRS Peserta Penjaminan Grafik

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh No.1368, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Hasil Pemetaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG HASIL PEMETAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG

Lebih terperinci

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Kepala LAPAN Manfaat data satelit penginderaan jauh Perolehan

Lebih terperinci

PANDUAN. Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2

PANDUAN. Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2 PANDUAN Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2 Bagian Pengelolaan Barang Milik Negara Sekretariat Direktorat Jenderal Cipta Karya DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2009

KATA PENGANTAR. Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2009 KATA PENGANTAR Kegiatan Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2009 merupakan kerjasama antara Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Peternakan,

Lebih terperinci

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 1 Provinsi Kalimantan Timur 2014 REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI

Lebih terperinci

Seminar dengan tema Penentuan Kebutuhan Hutan Tetap Lestari untuk Mendukung Pencapaian SDGs

Seminar dengan tema Penentuan Kebutuhan Hutan Tetap Lestari untuk Mendukung Pencapaian SDGs Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK Plt. Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Seminar dengan tema Penentuan Kebutuhan

Lebih terperinci

Indonesia

Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang vital, serba guna dan bermanfaat bagi manusia. Fungsi hutan ada dua yaitu fungsi langsung yang dapat dinilai dengan uang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS Semester II Tahun 2014 Divisi Statistik, Kepesertaan, dan Premi Penjaminan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko DAFTAR ISI Jumlah BPR/BPRS Peserta Penjaminan Grafik

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS Semester II Tahun 2013 GROUP PENJAMINAN DIREKTORAT PENJAMINAN DAN MANAJEMEN RISIKO 0 DAFTAR ISI Jumlah BPR/BPRS Peserta Penjaminan Grafik 1 3 Pertumbuhan Simpanan pada

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI)

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN MARET 2015

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 75/09/64/Th.XX, 4 September 2017 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) KALIMANTAN TIMUR*) MENURUT SUB SEKTOR BULAN AGUSTUS 2017 NTP Provinsi Kalimantan Timur Agustus

Lebih terperinci

STATISTIK PENDUDUK PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014

STATISTIK PENDUDUK PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 STATISTIK PENDUDUK 1971-2015 PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 Statistik Penduduk 1971-2015 Ukuran Buku : 27 Cm x 19 Cm (A4) Jumlah Halaman : 257 halaman Naskah : Pusat

Lebih terperinci

DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN PROPINSI BALI

DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN PROPINSI BALI DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN PROPINSI BALI KATA PENGANTAR Booklet Data dan Informasi Propinsi Bali disusun dengan maksud untuk memberikan gambaran secara singkat mengenai keadaan Kehutanan di Propinsi

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

KONDISI RENCANA TATA RUANG WILAYAH ACEH TAHUN 2013 DISAMPAIKAN GUBERNUR ACEH PERTEMUAN DENGAN DUTA BESAR NORWEGIA/SCANDINAVIA 22 MEI 2013

KONDISI RENCANA TATA RUANG WILAYAH ACEH TAHUN 2013 DISAMPAIKAN GUBERNUR ACEH PERTEMUAN DENGAN DUTA BESAR NORWEGIA/SCANDINAVIA 22 MEI 2013 KONDISI RENCANA TATA RUANG WILAYAH ACEH 2012 2032 TAHUN 2013 DISAMPAIKAN GUBERNUR ACEH PERTEMUAN DENGAN DUTA BESAR NORWEGIA/SCANDINAVIA 22 MEI 2013 PENDAHULUAN PEMERINTAH ACEH Rencana umum tata ruang merupakan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA MEI 2011

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA MEI 2011 BADAN PUSAT STATISTIK No.40/07/Th.XIV, 1 Juli PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA MEI A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR MEI MENCAPAI US$18,33 MILIAR Nilai ekspor Indonesia mencapai US$18,33 miliar atau

Lebih terperinci

NOTA DINAS banjir Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung kekeringan OPT banjir kekeringan OPT banjir

NOTA DINAS banjir Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung kekeringan OPT banjir kekeringan OPT banjir NOMOR: NOTA DINAS Yth. : Direktur Jenderal Tanaman Pangan Dari : Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Hal : Laporan Perkembangan Serangan OPT, Banjir dan Kekeringan Tanggal : April 2017 Bersama ini kami

Lebih terperinci

4. Upaya yang telah dilakukan dalam mengendalikan serangan OPT dan menangani banjir serta kekeringan adalah sebagai berikut:

4. Upaya yang telah dilakukan dalam mengendalikan serangan OPT dan menangani banjir serta kekeringan adalah sebagai berikut: NOMOR: NOTA DINAS Yth. : Direktur Jenderal Tanaman Pangan Dari : Plh. Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Hal : Laporan Perkembangan Serangan OPT, Banjir dan Kekeringan Tanggal : Maret 2017 Bersama ini

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 216 MOR SP DIPA-33.-/216 DS334-938-12-823 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 1 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG Draft 10 November 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG

Lebih terperinci

Pelatihan Sistem Informasi Manajemen Akreditasi dalam rangka sosialisasi aplikasi SISPENA PAUD dan PNF Tahun 2018

Pelatihan Sistem Informasi Manajemen Akreditasi dalam rangka sosialisasi aplikasi SISPENA PAUD dan PNF Tahun 2018 Pelatihan Sistem Informasi Manajemen Akreditasi dalam rangka sosialisasi aplikasi SISPENA PAUD dan PNF Tahun 2018 Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT 8 (Studi Kasus : Sub Das Brantas Bagian Hulu, Kota Batu) Oleh : Aning Prastiwi

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi Tabel., dan Padi Per No. Padi.552.078.387.80 370.966 33.549 4,84 4,86 2 Sumatera Utara 3.48.782 3.374.838 826.09 807.302 4,39 4,80 3 Sumatera Barat.875.88.893.598 422.582 423.402 44,37 44,72 4 Riau 454.86

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014) No. 28/3/Th. XVIII, 2 Maret 215 PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN ) PRODUKSI PADI TAHUN (ANGKA SEMENTARA) DIPERKIRAKAN TURUN,63 PERSEN A. PADI Produksi padi tahun sebanyak 7,83

Lebih terperinci

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Tahun 2015 menjadi tahun terburuk bagi masyarakat di Sumatera dan Kalimantan akibat semakin parahnya kebakaran lahan dan hutan. Kasus

Lebih terperinci

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DEPUTI BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Jakarta, 12 Juni 2014 RUANG LINGKUP 1. KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA)

Lebih terperinci

Tabel V.1.1. REKAPITULASI PRODUKSI KAYU BULAT BERDASARKAN SUMBER PRODUKSI TAHUN 2004 S/D 2008

Tabel V.1.1. REKAPITULASI PRODUKSI KAYU BULAT BERDASARKAN SUMBER PRODUKSI TAHUN 2004 S/D 2008 Tabel V.1.1. REKAPITULASI PRODUKSI KAYU BULAT BERDASARKAN SUMBER PRODUKSI TAHUN 2004 S/D 2008 Sumber Produksi (m3) Hutan Alam Hutan Tanaman HPH (RKT) IPK Perhutani HTI Jumlah (m3) 1 2004 3,510,752 1,631,885

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Press Release BMKG Jakarta, 12 Oktober 2010 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA 2 BMKG A F R I C A A S I A 3 Proses EL NINO, DIPOLE MODE 2 1 1963 1972 1982 1997 1 2 3 EL NINO / LA NINA SUHU PERAIRAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH FEBRUARI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH FEBRUARI 2016 BADAN PUSAT STATISTIK. 29/03/Th. XIX, 15 Maret 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016 RUPIAH TERAPRESIASI 3,06 PERSEN TERHADAP DOLAR AMERIKA Rupiah terapresiasi 3,06 persen

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN KEPADA GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI

Lebih terperinci

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH JULI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH JULI 2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 78/08/Th. XVIII, 18 Agustus 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH JULI 2015 JULI 2015 RUPIAH TERDEPRESIASI 1,25 PERSEN TERHADAP DOLAR AMERIKA Rupiah terdepresiasi 1,25 persen

Lebih terperinci

Pengelolaan Data Lahan Sawah, Alat dan Mesin Pertanian, dan Jaringan Irigasi

Pengelolaan Data Lahan Sawah, Alat dan Mesin Pertanian, dan Jaringan Irigasi Pengelolaan Data Lahan Sawah, Alat dan Mesin Pertanian, dan Jaringan Irigasi Disampaikan pada Pertemuan Tahunan Forum Komunikasi Statistik dan Sistem Informasi Pertanian Aston Solo Hotel, 6-8 April 2016

Lebih terperinci

PREDIKSI DAN ANTISIPASI KEKERINGAN TAHUN 2013

PREDIKSI DAN ANTISIPASI KEKERINGAN TAHUN 2013 PREDIKSI DAN ANTISIPASI KEKERINGAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN Disampaikan Pada RAPIM A Kementerian Pertanian 10 September 2013 MATERI PRESENTASI A. Prediksi Kekeringan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN KEPADA GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI

Lebih terperinci

Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual

Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual Standar Nasional Indonesia Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual ICS 65.020 Badan Standardisasi Nasional BSN 2014 Hak cipta

Lebih terperinci

MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA - 1 - SALINAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 12/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DI LINGKUNGAN LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN ACEH, SUMATERA UTARA, RIAU,

Lebih terperinci

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA PEDOMAN TEKNIS PEMBINAAN USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 14/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

1 TAHUN PELAKSANAAN INPRES 10/2011: Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

1 TAHUN PELAKSANAAN INPRES 10/2011: Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut UNIT KERJA PRESIDEN BIDANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN (UKP4) 1 TAHUN PELAKSANAAN INPRES 10/2011: Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola pada Hutan Alam Primer dan Lahan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT PADA IUPHHK-HTI. Oleh : Dr. Bambang Widyantoro ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT PADA IUPHHK-HTI. Oleh : Dr. Bambang Widyantoro ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT PADA IUPHHK-HTI OPERATIONAL HTI Oleh : Dr. Bambang Widyantoro ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA Disampaikan pada acara: FOCUS WORKING

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN EVALUASI CAPAIAN KINERJA KEGIATAN PENGELOLAAN SISTEM PENYEDIAAN BENIH TANAMAN PANGAN TRIWULAN I 2016

PEMANTAUAN DAN EVALUASI CAPAIAN KINERJA KEGIATAN PENGELOLAAN SISTEM PENYEDIAAN BENIH TANAMAN PANGAN TRIWULAN I 2016 PEMANTAUAN DAN EVALUASI CAPAIAN KINERJA KEGIATAN PENGELOLAAN SISTEM PENYEDIAAN BENIH TANAMAN PANGAN TRIWULAN I 2016 KEMENTERIAN PERTANIAN-RI DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN DIREKTORAT PERBENIHAN TANAMAN

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 55/07/64/Th.XX, 3 Juli 2017 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) KALIMANTAN TIMUR*) MENURUT SUB SEKTOR BULAN JUNI 2017 NTP Provinsi Kalimantan Timur Juni 2017 sebesar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

V. PRODUKSI HASIL HUTAN

V. PRODUKSI HASIL HUTAN V. PRODUKSI HASIL HUTAN V.1. Produksi Kayu Bulat Produksi kayu bulat dapat berasal dari Hutan Alam dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK),

Lebih terperinci

PENATAAN KORIDOR RIMBA

PENATAAN KORIDOR RIMBA PENATAAN KORIDOR RIMBA Disampaikan Oleh: Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Dalam acara Peluncuran Sustainable Rural and Regional Development-Forum Indonesia DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

Analisis Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Analisis Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Tim Analisis: Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, MAgr. (IPB, Bogor) Nur Hidayati (Walhi Nasional) Zenzi Suhadi (Walhi

Lebih terperinci

- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018

- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018 - 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018 MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas. lampung kepada CV.

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas. lampung kepada CV. BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK 3.1. Persiapan 3.1.1.Persiapan Administrasi a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas lampung kepada CV. Geoplan Nusantara b. Transkrip nilai semester

Lebih terperinci

DUKUNGAN KEMENTERIAN UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN

DUKUNGAN KEMENTERIAN UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN DUKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KEMENTERIAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 86 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI LALU LINTAS

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 86 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI LALU LINTAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 86 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN, SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

2017, No telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahu

2017, No telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahu No.740, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDIKBUD. Penyelenggaraan Dekonsentrasi. TA 2017. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PELIMPAHAN

Lebih terperinci

Statistik Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang Tahun Halaman 34 VI. PERPETAAN HUTAN

Statistik Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang Tahun Halaman 34 VI. PERPETAAN HUTAN VI. PERPETAAN HUTAN Perpetaan Kehutanan adalah pengurusan segala sesuatu yang berkaitan dengan peta kehutanan yang mempunyai tujuan menyediakan data dan informasi kehutanan terutama dalam bentuk peta,

Lebih terperinci