BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim. Hutan hujan tropis merupakan suatu ekosistem yang sangat kompleks dan beragam serta saling berkaitan satu sama lain antara makhluk hidup yang tinggal didalamnya. Perubahan hutan dunia selalu mengalami penurunan dalam hal kerapatan, tegakan dan tipe vegetasi. Perubahan hutan seringkali dicirikan dengan degradasi dan deforestasi. Berdasarkan data FAO tahun 2005 menyatakan bahwa 13 Juta Ha hutan dunia yang lenyap tiap tahunnya. Akibatnya ekosistem juga mengalami kerusakan tiap tahunnya. Secara umum, perubahan hutan selalu terjadi dan semakin merajalela seiring dengan kebutuhan hidup manusia. Turmudi dan Nahib (2015) menyebutkan bahwa dalam jangka 20 tahun di Provinsi Sulawesi Tengah mengalami deforestasi sebesar 5,20% ( ) dan 2,45% ( ). Perubahan hutan tersebut tidak lain karena industri perkayuan, pertanian, perkebunan, permukiman dan sebagainya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, luas kawasan hutan Indonesia adalah ,67 Ha (Kemenhut, 2014). Kawasan hutan tersebut merupakan hutan tropika terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Oleh karena itu Indonesia dijuluki Megabioversity karena lebih dari 12% merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang ada di dunia. Terkait dengan masalah perubahan hutan khususnya di Indonesia, terdapat hal menarik untuk dikaji adalah perubahan hutan di kawasan taman nasional. Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (Permenhut, 2006). Taman nasional 1

2 sebagai kawasan pelestarian alam memiliki fungsi yang berbeda-beda yaitu sebagai Cagar Biosfer, World Heritage Sites dan Ramsar Sites. Taman Nasional Lore Lindu adalah salah satu taman nasional di Indonesia yang merupakan lokasi perlindungan hayati atau cagar biosfer yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah. Tipe hutan yang dimiliki Taman Nasional Lore Lindu meliputi hutan hujan dataran rendah, hutan hujan pegunungan, hutan rawa dataran tinggi dan savanna (TNC, 2001), sedangkan dalam hal fauna, Taman Nasional Lore Lindu merupakan habitat alami burung serta mamalia endemik di Pulau Sulawesi (Profil Taman Nasional Lore Lindu, 2014). Zonasi kawasan Taman Nasional Lore Lindu dibagi menjadi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona khusus serta enclave besoa dan enclave lindu. Enclave tersebut merupakan kawasan yang dimanfaatkan untuk kehidupan penduduk di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Seiring dengan pertumbuhan jumlah dan kebutuhan penduduk di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu serta di zona enclave yang terkait dengan aktivitas masyarakat mengakibatkan degradasi hutan yang tidak dapat dihindari. Masyarakat di beberapa desa yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional cenderung menjadikan kawasan hutan lindung sebagai sumber perekonomian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aktivitas yang terjadi baik berupa pembalakan liar dan pencurian kayu, rotan, pemburuan satwa juga pembukaan lahan budidaya pertanian dan perkebunan (Antarabengkulu.com., 2013). Oleh karena berbagai kegiatan masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu sangat mempengaruhi ekosistem yang ada. Dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat sehingga dapat menghasilkan suatu ilmu dan metode yang dianggap mampu mengidentifikasi berbagai permasalahan. Penginderaan jauh merupakan salah satu hasil dari perkembangan teknologi tersebut. Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi mengenai suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa suatu kontak langsung (Lillesand & Kiefer., 1979). Aplikasi penginderaan jauh memiliki peran penting dalam membantu proses pemantauan perubahan hutan khususnya komposisi 2

3 struktural hutan serta pemetaan tipe vegetasi. Pengukuran luas perubahan hutan secara periodik dapat diperoleh dengan aplikasi penginderaan jauh serta mampu memberikan akurasi terbaik (Miller et al., 1998). Dengan penginderaan jauh maka informasi terkait fenomena geosfer secara cepat dapat diperoleh dan dianalisis secara sistematik. Salah satu analisis digital terkait transformasi spektral adalah model Forest Cover Density (FCD). Danoedoro (2012) menjelaskan bahwa FCD merupakan pengembangan transformasi spektral dalam estimasi kerapatan dan struktur vegetasi hutan tropis. Model FCD dikembangkan oleh Rikimaru pada tahun 2002 yang kemudian menjadi model pemetaan vegetasi yang digunakan oleh International Timber Trade Organization (ITTO). Aplikasi FCD merupakan suatu transformasi spektral yang dapat digunakan dalam kajian pemetaan hutan di Indonesia, terbukti dengan berbagai penelitian yang ada di Indonesia. Selain itu Indonesia yang merupakan negara dengan iklim tropis yang memiliki komposisi dan luas hutan yang cenderung tinggi. Model FCD memanfaatkan berbagai saluran citra penginderaan jauh dari spektral biru hingga spektral termal yang terdapat pada citra satelit Landsat. Hasil model FCD merupakan informasi kerapatan hutan serta komposisi struktural vegetasi. Pemanfaatan citra Landsat multitemporal juga mampu menghasilkan informasi perubahan komposisi struktural vegetasi. Selain itu dengan menggunakan integrasi spasial antara citra multispektral dan data elevasi diharapkan mampu mengidentifikasi komposisi struktural dan tipe vegetasi dengan baik. Selanjutnya hubungan antara akurasi hasil model FCD dan model komposisi struktural dan tipe vegetasi di kawasan Taman Nasional Lore Lindu dapat diketahui. Berdasarkan latar belakang diatas, maka pemanfaatan citra penginderaan jauh khususnya aplikasi model FCD yang terintegrasi dengan data elevasi menarik untuk dikaji dalam kajian perubahan komposisi struktural dan tipe vegetasi dalam hal ini adalah di sebagian kawasan Taman Nasional Lore Lindu. 3

4 1.2 Perumusan Masalah Taman Nasional Lore Lindu termasuk dalam formasi hutan dalam zona iklim daerah tropika yang terletak di ketinggian sekitar 100 hingga 2500 mdpl. Akibat dari karakteristik tersebut maka komposisi ekosistem dari Taman Nasional Lore Lindu juga cenderung beragam mulai dari hutan pamah tropika hingga hutan pegunungan. Ekosistem yang beragam tersebut merupakan tempat tinggal bagi beberapa flora dan fauna yang khas dari pulau Sulawesi. Kondisi komposisi struktural vegetasi di kawasan Taman Nasional Lore Lindu cenderung mengalami degradasi. Perambahan dan perubahan penggunaan lahan semakin marak terjadi di sebagian wilayah kawasan. Hal ini menarik untuk dikaji melalui aplikasi penginderaan jauh khususnya model FCD yang mampu menghasilkan informasi komposisi struktural vegetasi di kawasan tersebut. Inventarisasi sumberdaya kehutanan dengan menggunakan metode penginderaan jauh umumnya berupa formula indeks vegetasi. Indeks vegetasi mampu memberikan informasi kerapatan vegetasi dengan kombinasi beberapa saluran citra satelit. Selain itu model yang dapat digunakan dalam inventarisasi sumberdaya kehutanan adalah model Forest Cover Density (FCD). Model FCD mempunyai keunggulan dibandingkan dengan indeks vegetasi. Keunggulan model FCD yaitu klasifikasi kerapatan vegetasi yakni berupa komposisi struktural vegetasi yang diperoleh dari empat indeks penyusun model FCD. Model Forest Cover Density (FCD) merupakan transformasi spektral dengan menggunakan citra satelit Landsat dalam analisis biofisik. Model tersebut terdiri dari empat indeks yaitu indeks vegetasi (AVI), indeks tanah (BI), indeks bayangan (SI) dan indeks suhu (TI). Pemanfaatan data citra satelit khususnya model Forest Cover Density (FCD) telah dilakukan oleh beberapa peneliti, contohnya adalah Sukarna (2009) yang mengungkapkan bahwa model FCD mampu mengidentifikasi kerapatan horizontal dan vertikal tutupan hutan. Selain itu model FCD secara multitemporal juga mampu mendeteksi suksesi hutan (Yulianto, 2010). Beberapa penelitian lainnya terkait perubahan hutan dengan pemantauan citra satelit mengungkap bahwa perubahan hutan tersebut sebaiknya dikaji secara temporal. Do-Hyung et al. 4

5 (2014) mengemukakan kecenderungan perubahan hutan secara temporal dibutuhkan untuk memahami hubungan sebab dan akibat dari perubahan serta menduga efektivitas kebijakan penggunaan lahan. Teknik pengolahan citra satelit mampu terintegrasi melalui berbagai sumber data sebagai acuan untuk mendeteksi, memetakan dan memantau sumberdaya kehutanan (Forkou & Frimpong., 2012). Eckert et al. (2011) menyatakan bahwa deforestasi dan degradasi serta stok karbon dapat dianalisis melalui data citra satelit multitemporal. Identifikasi kerapatan hutan umumnya masih menggunakan indeks vegetasi contohnya NDVI. Indeks vegetasi cenderung hanya mampu memberikan informasi kerapatan horizontal vegetasi sehingga belum dianggap akurat untuk identifikasi komposisi struktural vegetasi. Oleh karena itu identifikasi komposisi struktural dengan model FCD merupakan metode yang dianggap lebih baik dalam ekstraksi informasi komposisi struktural vegetasi dibandingkan indeks vegetasi. Meskipun begitu masih perlu kajian khususnya kemampuan model FCD dalam identifikasi komposisi struktural vegetasi di Taman Nasional Lore Lindu. Saat ini dalam survei inventarisasi dan pemantauan kondisi fisik kawasan, pengelola Taman Nasional Lore Lindu masih menggunakan survei terestrial disertai dengan pengamatan langsung dari udara. Selain itu jangka waktu dalam inventarisasi dan pemantauan kondisi fisik kawasan khususnya kondisi vegetasi tidak ditentukan dengan pasti sehingga ketersediaan data dalam periode tertentu menjadi terbatas. Berbeda dengan survei terestrial yang cenderung membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar, aplikasi citra penginderaan jauh umumnya cukup akurat dalam identifikasi komposisi struktural vegetasi. Hal tersebut memberikan asumsi bahwa pemanfaatan penginderaan jauh lebih efisien terkait waktu dan biaya terlebih jika menggunakan kajian multitemporal. Identifikasi komposisi struktural dan tipe vegetasi dengan menggunakan kombinasi citra penginderaan jauh multispektral dan data elevasi merupakan salah satu keunggulan dari pemanfaatan penginderaan jauh. Kombinasi antara dua data tersebut bertujuan menghasilkan informasi objek vegetasi yang lebih beragam khususnya komposisi vegetasi. Selain itu terdapat hal menarik untuk dikaji yakni 5

6 hubungan antara akurasi hasil klasifikasi dengan model komposisi struktural dan tipe vegetasi. Dimana hubungan antar kedua faktor tersebut dapat mempunyai hubungan yang erat dan sebaliknya. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diformulasikan masalah penelitian ini sebagai berikut: 1. Aplikasi model FCD yang tidak mempertimbangkan faktor topografi maupun menggunakan koreksi terrain perlu diterapkan untuk identifikasi komposisi struktural vegetasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu 2. Perlunya pemanfaatan citra penginderaan jauh khususnya citra multitemporal karena selama ini di Taman Nasional Lore Lindu dalam identifikasi komposisi struktural vegetasi terkait perubahannya masih menggunakan metode survei terestrial yang cenderung tidak efisien. 3. Akurasi hasil klasifikasi tidak selalu mempunyai hubungan yang erat dengan model komposisi struktural dan tipe vegetasi. Oleh karena itu analisis hubungan antara dua variabel tersebut perlu untuk dikaji lebih lanjut. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan masalah diatas, maka pertanyaan dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perbandingan kemampuan citra Landsat pada model Forest Cover Density (FCD) tanpa koreksi terrain dan dengan koreksi terrain untuk memetakan komposisi struktural vegetasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu? 2. Bagaimana tingkat perubahan kelas komposisi struktural vegetasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu? 3. Bagaimana hubungan antara akurasi klasifikasi dengan model komposisi struktural dan tipe vegetasi berdasarkan elevasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu? 6

7 1.4 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kemampuan citra Landsat pada model Forest Cover Density (FCD) tanpa koreksi terrain dan dengan koreksi terrain untuk memetakan komposisi struktural vegetasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu. 2. Mengkaji tingkat perubahan kelas komposisi struktural vegetasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu. 3. Menganalisis hubungan antara akurasi klasifikasi dengan model komposisi struktural dan tipe vegetasi berdasarkan elevasi di sebagian Taman Nasional Lore Lindu 1.5 Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan perbandingan informasi metode pengolahan citra digital Landsat menggunakan model Forest Cover Density (FCD) tanpa koreksi terrain dan dengan koreksi terrain untuk mengidentifikasi komposisi struktural vegetasi. 2. Menyajkan hasil identifikasi tingkat perubahan kelas komposisi struktural di sebagian kawasan Taman Nasional Lore Lindu serta mengidentifikasi tipe vegetasi dengan integrasi citra penginderaan jauh. 3. Sebagai suatu sumbangan dalam bidang penelitian dan pengembangan terkait identifikasi kondisi vegetasi menggunakan studi penginderaan jauh yang diharapkan sebagai acuan dalam inventarisasi vegetasi di Taman Nasional Lore Lindu. 1.6 Keaslian Penelitian Sumberdaya kehutanan dapat dianalisis melalui beberapa metode baik secara terrestrial maupun dengan aplikasi penginderaan jauh. Analisis dan pantauan objek komposisi struktural vegetasi dapat diperoleh melalui pemanfaatan penginderaan jauh berbasis model Forest Cover Density (FCD). 7

8 Model FCD mulai diperkenalkan pada tahun 2002 sebagai salah satu metode transformasi spektral dalam pengolahan citra penginderaan jauh. Dengan kombinasi beberapa indeks yang mempunyai karakter masing-masing dapat menghasilkan klasifikasi komposisi struktural vegetasi yang akurat. Penelitian terkait aplikasi model Forest Cover Density (FCD) cenderung selalu dilakukan dari tahun ketahun. Beberapa penelitian terkait model FCD baik untuk pengukuran dan pemantauan hutan dilakukan oleh beberapa peneliti di berbagai lokasi antara lain di Luzon, Sumatra, Australia, Filipina, Kalimantan dan Jawa. Perbedaan yang dapat ditemukan dari beberapa penelitian sebelumnya yaitu tentang kondisi vegetasi yang diamati berbeda serta lokasi yang berbeda pula. Akan tetapi asumsi terhadap model FCD digunakan pada hutan tropis dengan heterogenitas vegetasi Rikimaru et al. (2002) melakukan penelitian untuk mengembangkan teknik analisis terkait biofisik dengan pemanfaatan data citra penginderaan jauh. Penelitian ini menghasilkan suatu model Forest Cover Density (FCD) yang menggunakan kombinasi empat indeks dalam mengklasifikasikan kerapatan hutan. Beberapa indeks tersebut menggunakan kombinasi saluran tampak serta inframerah. Baynes (2007) melakukan penelitian untuk yang membedakan antara hutan asli dengan hutan yang telah dikonversi menjadi perkebunan. Sukarna (2009) melakukan riset terkait pemodelan floristik hutan rawa dengan integrasi pada bentang lahan dengan menggunakan data citra multiresolusi. Yulianto (2010) melakukan kajian karakteristik spektral secara multitemporal pada citra penginderaan jauh untuk memantau suksesi hutan gambut. Tohir et al. (2014) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan FCD dengan LAI serta kerapatan tegakan secara multitemporal. Perbedaan dengan penelitian sejenis sebelumnya adalah penelitian ini mengkaji tentang pengaruh koreksi terrain terhadap ektraksi komposisi struktural vegetasi. Selain itu perbedaan lainnya adalah penggunaan teknik integrasi citra multispektral dan data elevasi untuk identifikasi perubahan komposisi struktural dan tipe vegetasi. Berikut perbedaan penelitian terdahulu yang sejenis dengan penelitian yang akan dilakukan yang akan disajikan pada Tabel 1. 8

9 Tabel 1. Perbandingan Penelitian Sejenis NO JUDUL/ TAHUN PENELITI LOKASI TUJUAN METODE HASIL 1. Tropical Forest Cover Density Mapping A.Rikimaru, P.S. Roy, S. Miyatake Luzon dan Sumatra Mengembangkan analisis biofisik untuk menghasilkan model FCD menggunakan analisis citra satelit Landsat Model Forest Cover Density (FCD) - Model FCD dengan empat komponen: vegetasi, tanah terbuka, suhu dan bayangan - Karakteristik dari tiap kombinasi indeks yang dipakai dalam model FCD 2. Using FCD Mapper Software and Landsat Images to Assess Forest Cover Density in Landscapes in Australia and The Philipines Jack Baynes Australia dan Filipina - Mengkaji korelasi FCD dengan LAI - Mengkaji korelasi FCD dengan parameter hutan dengan cara model biofisik Analisis model Forest Cover Density (FCD) dengan pengukuran langsung terhadap tegakan vegetasi (hutan dan perkebunan) - FCD memiliki hubungan yang kuat dengan tegakan dan kerapatan vegetasi - Karakteristik pantulan saluran 4 landsat tidak konsisten dalam membedakan hutan dengan perbedaan tinggi tajuk. - FCD mampu menganalisis deforestasi atau konversi dari hutan asli menjadi perkebunan 3. Kajian Spektral Citra Landsat 7 ETM+ untuk Pemodelan Floristik Hutan Rawa di Kawasan Taman Nasional Sebangau Provinsi Kalimantan Tengah Raden Mas Sukarna Kalimantan Tengah - Mengkaji variasi nilai spektral pada model FCD untuk klasifikasi struktur hutan rawa serta mengkaji model hubungan matematis FCD dengan nilai indeks luas kanopi hutan sebagai model estimasi struktur hutan rawa - Perolehan model distribusi floristik hutan pada satuan bentang lahan berdasarkan integrasi spasial variasi struktur hutan dengan tipe lahan rawa Analisis model Forest Cover Density (FCD), Pemodelan matematis FCD, serta Pemodelan floristik hutan rawa - Pemodelan kerapatan horizontal dan vertikal hutan rawa gambut - Hubungan antara nilai FCD dengan Canopy Area Index hutan - Model estimasi struktur rawa hutan - Model distribusi floristik hutan rawa berdasarkan satuan bentang lahan. 9

10 4. Kajian Kemampuan Model FCD Berbasis Citra Landsat ETM untuk Memantau Suksesi Hutan Rawa Gambut Di Kalteng Santosa Yulianto Kalimantan Tengah - Mengkaji karakteristik spektral transformasi model FCD dari setiap tipe vegetasi penutup hutan rawa gambut. - Menguji akurasi nilai estimasi kerapatan tajuk dan hasil klasifikasi tipe vegetasi penutup dengan model FCD serta menghitung besar luas dan laju suksesi hutan rawa gambut secara multi-temporal Analisis multitemporal citra Landsat 7 ETM+ dengan model Forest Cover Density (FCD) - Peta estimasi FCD multi temporal - Peta tipe vegetasi penutup hutan rawa gambut multi temporal - Peta suksesi hutan rawa gambut multitemporal - Akurasi nilai estimasi kerapatan tajuk dan akurasi hasil klasifikasi tipe vegetasi penutup hutan - Karakteristik spektral FCD untuk setiap tipe vegetasi penutup hutan 5. Pemetaan Perubahan Kerapatan Kanopi Hutan di Hutan Rakyat, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat Nugrahadi Ramadhan Tohir, Lilik Budi Prasetyo, Agus Priyono Kartono Jawa Barat - Mengidentifikasi perubahan tutupan kanopi hutan multitemporal - Mengidentifikasi hubungan antara FCD dengan LAI, LBDT dan kerapatan tegakan hutan terhadap degradasi hutan Analisis multitemporal dengan model Forest Cover Density (FCD) serta hubungan regresi dengan indeks vegetasi - Degradasi hutan dapat terdeteksi oleh FCD selama beberapa tahun terakhir akibat dari pertambahan penduduk - Analisis regresi antara FCD dengan LAI, kerapatan tegakan serta LBDT menghasilkan koefisien determinasi (r²) dengan nilai Kajian Perubahan Komposisi Struktural dan Tipe Vegetasi dengan Model Forest Cover Density (FCD) di Sebagian Taman Nasional Lore Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah Muhammad Ismail Sulawesi Tengah - Menganalisis kemampuan citra Landsat pada model Forest Cover Density (FCD) tanpa koreksi terrain dan dengan koreksi terrain untuk memetakan komposisi struktural vegetasi - Mengkaji tingkat perubahan kelas komposisi struktural vegetasi - Menganalisis hubungan antara akurasi klasifikasi dengan model komposisi struktural dan tipe vegetasi berdasarkan elevasi Analisis multitemporal dengan model Forest Cover Density (FCD) serta integrasi data elevasi - Peta komposisi struktural vegetasi sebagian Taman Nasional Lore Lindu - Peta perubahan komposisi struktural vegetasi tahun 2002 dan tahun 2015 sebagian Taman Nasional Lore Lindu - Hubungan akurasi klasifikasi dengan model komposisi struktural dan tipe vegetasi berdasarkan elevasi menghasilkan nilai korelasi (r) sebesar dan nilai determinasi (r²) sebesar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan vegetasi yang beraneka ragam dan melimpah di seluruh wilayah Indonesia. Setiap saat perubahan lahan vegetasi seperti hutan, pertanian, perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan bagian dari ekosistem alam sebagai assosiasi flora fauna yang didominasi oleh tumbuhan berkayu yang menempati areal yang sangat luas sehingga menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia 123

Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia 123 ISSN 0125-1790 (print), ISSN 2540-945X (online) Majalah Geografi Indonesia Vol. 31, No.1, Maret 2017 (65-72) 2017 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI) Pemanfaatan Citra Landsat 8 Multitemporal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ilmu penginderaan jauh berkembang sangat pesat dari masa ke masa. Teknologi sistem sensor satelit dan berbagai algoritma pemrosesan sinyal digital memudahkan pengambilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

RIZKY ANDIANTO NRP

RIZKY ANDIANTO NRP ANALISA INDEKS VEGETASI UNTUK IDENTIFIKASI TINGKAT KERAPATAN VEGETASI HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN CITRA AIRBORNE HYPERSPECTRAL HYMAP ( Studi kasus : Daerah Hutan Gambut Kabupaten Katingan dan Kabupaten Pulang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan teknologi penyadap dan produksi data citra digital permukaan bumi telah mengalami perkembangan sejak 1960-an. Hal ini dibuktikan dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 61 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Degradasi Hutan di Lapangan 4.1.1 Identifikasi Peubah Pendugaan Degradasi di Lapangan Identifikasi degradasi hutan di lapangan menggunakan indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

PEMETAAN PERUBAHAN FOREST CANOPY DENSITY DI KPH KUNINGAN

PEMETAAN PERUBAHAN FOREST CANOPY DENSITY DI KPH KUNINGAN PEMETAAN PERUBAHAN FOREST CANOPY DENSITY DI KPH KUNINGAN Ardhianto Muhammad* ), Lilik Budi Prasetyo *), Agus Priyono Kartono *) *) DKSHE, Fahutan, Institut Pertanian Bogor e-mail: ardhiantomuhammad@gmail.com

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ekosistem hutan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar terdapat di hutan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit penginderaan jauh merupakan salah satu metode pendekatan penggambaran model permukaan bumi secara terintegrasi yang dapat digunakan sebagai data dasar

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan PENDAHULUAN Latar Belakang Pencemaran lingkungan, pembakaran hutan dan penghancuran lahan-lahan hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan terlepas

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 JUDUL KEGIATAN: PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGITAS PEMANFAATAN DATA INDERAJA UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI KUALITAS DANAU BAGI KESESUAIAN BUDIDAYA PERIKANAN DARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih cukup tinggi. Salah satu penyebab adanya laju pertambahan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan flora dan fauna yang hidup pada suatu kawasan atau wilayah dengan luasan tertentu yang dapat menghasilkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia yang dapat memberikan manfaat yang besar untuk kehidupan makluk hidup. Salah satu

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem tambang terbuka (open pit mining) dengan teknik back filling. Sistem ini merupakan metode konvensional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan teknologi penginderaan jauh kini semakin berkembang sangat pesat dari waktu ke waktu, hal ini ditunjukan oleh aplikasi penggunaan teknologi penginderaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O Sidang Tugas Akhir Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur Agneszia Anggi Ashazy 3509100061 L/O/G/O PENDAHULUAN Latar Belakang Carolita

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh : Hernandi Kustandyo (3508100001) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT I. UMUM Gambut mempunyai karakteristik yang unik, selain sebagai komponen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teh merupakan salah satu komoditas unggulan Negara Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jendral Perkebunan (2014), perkebunan teh di Indonesia mencapai 121.034 Ha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang

Lebih terperinci

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya juga memiliki

Lebih terperinci

Latar belakang. Kerusakan hutan. Perlu usaha: Perlindungan Pemantauan 22/06/2012

Latar belakang. Kerusakan hutan. Perlu usaha: Perlindungan Pemantauan 22/06/2012 Deteksi Kesehatan Hutan Menggunakan Data Penginderaan Jauh di Hutan Lahan Kering SIGIT NUGROHO Latar belakang Kerusakan hutan Perlu usaha: Perlindungan Pemantauan Efisien waktu Efektif Hemat biaya Mudah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

Analisis Perubahan Lahan Tambak Di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh

Analisis Perubahan Lahan Tambak Di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh Analisis Perubahan Lahan Tambak Di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh 1 Mira Mauliza Rahmi, * 2 Sugianto Sugianto dan 3 Faisal 1 Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Program Pascasarjana;

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 237.641.326 juta jiwa, hal ini juga menempatkan Negara Indonesia

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Elang jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan salah satu dari 3 spesies burung pemangsa yang menjadi perhatian dunia selain burung elang irian (Harpyopsis novaeguineae)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R Oleh : INDIRA PUSPITA L2D 303 291 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci