VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO. Hasil estimasi yang terdapat dalam bab ini merupakan hasil akhir setelah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO. Hasil estimasi yang terdapat dalam bab ini merupakan hasil akhir setelah"

Transkripsi

1 VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO Hasil estimasi yang terdapat dalam bab ini merupakan hasil akhir setelah mengalami berkali-kali respesifikasi. Hasil ini telah dianggap baik karena telah memenuhi kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonometrik Keragaan Umum Model Hasil pendugaan model dengan metoda 2SLS terhadap persamaan struktural menunjukkan indikator statistik yang relatif baik. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) umumnya lebih besar dari 0.70, kecuali persamaan struktural permintaan TK berpendidikan rendah sektor pertanian (DPRJ), pengeluaran pembangunan sektor pertanian (GEP), pengeluaran pembangunan sektor industri (GEI), pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur (GEIS), investasi sektor pertanian (IP) dan investasi sektor jasa (IJ). Sebagian besar persamaan menghasilkan nilai F-hitung lebih besar dari Ini mengindikasikan sebahagian besar peubah penjelas memiliki hubungan relatif baik terhadap peubah endogen. Nilai Prob>F pada sebahagian besar persamaan bernilai yang menunjukkan bahwa secara bersama-sama semua variabel penjelas dapat menjelaskan variabel endogennya secara signifikan. Persamaan struktural nilai produksi sektor jasa (GDPJ) menghasilkan nilai Statistik Durbin-Watson 0.96 yang mengindikasikan adanya masalah autokorelasi. Masalah autokorelasi banyak dijumpai dalam penelitian bidang ekonomi disebabkan keterkaitan antar variabel. Mempertimbangkan bahwa model yang dibangun dalam penelitian ini adalah model ekonomi dan untuk kepentingan

2 111 ekonomi, penulis memprioritaskan kriteria ekonomi di atas persyaratan statistik dan ekonometrika Kinerja Pasar Tenaga Kerja Penawaran Tenaga kerja Hasil pendugaan parameter pada persamaan penawaran TK berdasarkan tingkat pendidikan memberikan nilai koefisien determinasi (R 2 ) di atas 96 persen. Artinya variasi penawaran TK peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 96 persen fluktuasi peubah penawaran TK berdasarkan pendidikan. endogen dalam persamaan penawaran TK berpendidikan rendah, menengah dan berpendidikan tinggi dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) Sesuai dengan kriteria ekonomi yang diharapkan, penawaran TK secara umum dipengaruhi oleh upah rata-rata (W) dan jumlah populasi penduduk (POP). Seluruh peubah penjelas berpengaruh positif dengan signifikansi yang bervariasi seperti pada Tabel 14. Hasil estimasi pada Tabel 14 memperlihatkan peubah jumlah populasi penduduk berpengaruh positip dan signifikan terhadap penawaran TK berependidikan rendah (SPR). Hal tersebut tercermin dari nilai parameter dugaan sebesar 0.18, artinya peningkatan jumlah populasi penduduk 1000 orang akan meningkatkan jumlah SPR sebanyak 180 orang. Pada persamaan penawaran TK berpendidikan menengah (SPM), peubah upah rata-rata (W), Jumlah populasi penduduk (POP) dan lag pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan (LGEPK) berpengaruh positip terhadap SPM.

3 112 Tabel 14. Hasil Persamaan Penawaran TK* Tahun SPR (penawaran TK berpend rendah) W (perubahan upah rata-rata) PHK (perubahan jumlah PHK) POP (jumlah populasi penduduk) LSPR (lag penawaran TK berpendidikan rendah) Prob > T F-Hitung = R 2 = DW = SPM (penawaran TK berpend menengah) W (upah rata-rata) POP (jumlah populasi penduduk) LGEPK (lag pengeluaran pendidikan kesehatan) LSPM (lag penawaran TK berpendidikan menengah) F-Hitung = R 2 = DW = SPT (penawaran TK berpend tinggi) W (upah rata-rata) POP (jumlah populasi penduduk) LGEPK (lag pengeluaran pendidikan kesehatan) LSPT (lag penawaran TK berpendidikan tinggi) F-Hitung = R 2 = DW = Catatan: * Penawaran TK menggunakan data angkatan kerja. Apabila terjadi peningkatan jumlah populasi penduduk sebanyak 1000 orang maka SPM berpotensi meningkat 71 orang. Faktor lain yang berpengaruh terhadap SPM adalah LGPK. Peningkatan LGPK satu milyar rupiah akan meningkatkan SPM sebanyak 24 ribu orang. Sementara pada persamaan penawaran TK berependidikan Tinggi (SPT) menunjukkan peningkatan jumlah populasi penduduk 1000 orang maka SPT berpotensi meningkat 20 orang. W berpengaruh positif dan nyata terhadap SPM dengan elastisitas jangka pendek 0.16 persen dan jangka panjang 0.49 persen. Dapat dikatakan respon penawaran TK berpendidikan menengah terhadap perubahan upah rata-rata

4 113 bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Artinya walaupun SPM Indonesia dipengaruhi oleh peubah upah rata-rata, tetapi pengaruhnya relatif kecil meskipun dalam jangka panjang Permintaan Tenaga Kerja a. Berpendidikan Rendah Hasil pendugaan parameter pada persamaan permintaan TK berpendidikan rendah (DPR) berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R 2 ) bervariasi seperti pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Rendah Tahun DPRP (permintaan TK berpend. rend sekt pertanian) WP (upah rata-rata sektor pertanian) GDPP (nilai produksi sektor pertanian) TKIP (jumlah TK informal sektor pertanian) LDPRP (lag permintaan TK berpend. rendah sekt pertanian) Prob > T F-Hitung = R 2 = DW = DPRI (permintaan TK berpend. rend sekt industri) WI (upah rata-rata sektor industri) GDPI (nilai produksi sektor industri) JP (jumlah perusahaan besar dan sedang dalam industri) JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial) TKII (jumlah TK informal sektor industri) LDPRI (lag permintaan TK berpend. rendah sekt industri) F-Hitung = R 2 = DW = DPRJ (permintaan TK berpend. rendah sekt jasa) WJ (upah rata-rata sektor jasa) GDPJ (nilai produksi sektor jasa) PNSR (jumlah PNS berpendidikan rendah) LDPRJ (lag permintaan TK berpend. rendah sekt jasa) F-Hitung = 6.51 R 2 = DW =

5 114 Pada persamaan DPRP dan DPRI mencapai 95 persen sementara pada persamaan DPRJ hanya mencapai 59 persen. Secara umum variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan DPR berdasarkan sektor mampu menjelaskan fluktuasi peubah DPR lebih baik (di atas 94 persen). endogen di dalam persaman DPR berdasarkan sektor dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) Tabel 15 memperlihatkan respon penurunan permintaan TK berpendidikan rendah akibat peningkatan upah rata-rata di masing-masing sektor tidak elastis dan signifikan hanya pada persamaan permintaan TK berpendidikan rendah di sektor pertanian (DPRP). Artinya peningkatan upah rata-rata sektor pertanian sebesar satu persen akan menurunkan DPRP 0.12 persen. b. Berpendidikan Menengah Pendugaan parameter permintaan TK berpendidikan menengah (DPM) berdasarkan sektor memberikan koefisien determinasi (R 2 ) di atas 95 persen. Artinya peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 95 persen fluktuasi peubah DPM di setiap sektor. endogen di dalam persaman DPM berdasarkan sektor dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) Tabel 16 memperlihatkan bahwa DPMI lebih responsif terhadap peningkatan upah rata-rata. Artinya peningkatan upah rata-rata sektoral akan menurunkan permintaan TK berpendidikan menengah untuk sektor pertanian 0.32 persen, industri 0.46 persen dan sektor jasa 0.13 persen. Sebaliknya, permintaan TK berpendidikan menengah di sektor pertanian (DPMP) lebih responsif terhadap peningkatan GDP sektor pertanian (GDPP). Peningkatan GDP masing-masing

6 115 sektor sebesar satu persen akan meningkatkan DPM untuk sektor pertanian 1.29 persen, industri 0.37 persen dan sektor jasa 0.26 persen. Tabel 16. Hasil Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Menengah Tahun DPMP (permint TK berpend. men sekt pertanian) WP (upah rata-rata sektor pertanian) GDPP (nilai produksi sektor pertanian) TKMI (jumlah TK berpend. menengah sekt informal) LDPMP (lag permintaan TK berpend. Menengah sekt pertanian) Prob > T F-Hitung = R 2 = DW = DPMI (permint TK berpend. men sektor industri) LWI (lag upah rata-rata sektor industri) GDPI (nilai produksi sektor industri) JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial) LDPMI (lag permint. TK berpend. menengah sekt. industri) F-Hitung = R 2 = DW = DPMJ (permintaan TK berpend men sektor jasa) WJ (upah rata-rata sektor jasa) GDPJ (nilai produksi sektor jasa) TKFJ (jumlah TK formal sektor jasa) LDPMJ (lag permint. TK berpend. menengah sektor jasa) F-Hitung = R 2 = DW = Secara umum dapat dikatakan bahwa elastisitas peningkatan kesempatan kerja bagi TK berpendidikan menengah akibat peningkatan GDP lebih tinggi (dan elastis) pada sektor pertanian. Hasil kajian tentang elastisitas kesempatan kerja akibat perubahan GDP yang telah dilakukan oleh Kalangi (2006) memperlihatkan nilai elastisitas rata-rata kesempatan kerja sektor pertanian ( ) juga elastis, mencapai 1.49 persen.

7 116 c. Berpendidikan Tinggi Pendugaan parameter permintaan TK berpendidikan tinggi (DPT) berdasarkan sektor memberikan koefisien determinasi (R 2 ) di atas 95 persen seperti pada Tabel 17. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 95 persen fluktuasi peubah DPT di setiap sektor. endogen di dalam persaman DPT dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) Tabel 17. Hasil Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Tinggi Tahun DPTP (permintaan TK berpend. tinggi sekt pertanian) WP (upah rata-rata sektor pertanian) GDPP (nilai produksi sektor pertanian) TKTI (jumlah TK berpend. tinggi sektor informal) LDPTP (lag permintaan TK berpend. tinggi sekt pertanian) Prob > T F-Hitung = R 2 = DW = DPTI (permintaan TK berpend tinggi sektor industri) WI (upah rata-rata sektor industri) GDPI (nilai produksi sektor industri) JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial) LDPTI (lag permintaan TK berpend tinggi sektor industri) F-Hitung = R 2 = DW = DPTJ (permintaan TK berpend tinggi sektor jasa) WJ (perubahan upah rata-rata sektor jasa) GDPJ (nilai produksi sektor jasa) LDPTJ (lag permintaan TK berpendidikan tinggi sektor jasa) F-Hitung = R 2 = DW = Tabel 17 memperlihatkan bahwa DPTI lebih responsif terhadap peningkatan upah rata-rata. Artinya peningkatan upah rata-rata sektoral akan menurunkan permintaan TK berpendidikan tinggi untuk sektor pertanian 0.34

8 117 persen, industri 0.42 persen dan sektor jasa 0.26 persen. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Yudhoyono (2004) juga menyimpulkan kenaikan upah rata-rata sektor pertanian sebesar 1 rupiah per bulan akan menurunkan penyerapan TK sektor pertanian sebanyak 5 ribu orang dan untuk TK non pertanian sebanyak 2 ribu orang. Di antara sektor yang diamati, elastisitas permintaan TK berpendidikan tinggi terhadap peningkatan GDP lebih elastis pada sektor pertanian yaitu 1.59 persen. Artinya peningkatan GDP sektor pertanian sebesar satu persen akan meningkatkan DPTP sebesar 1.59 persen. Hasil analisis ini sejalan dengan kesimpulan penelitian yang dilakukan Kalangi (2006) yang menyimpulkan bahwa respon peningkatan kesempatan kerja sektor pertanian akibat peningkatan nilai GDP pertanian mencapai 1.49 persen ( ) Upah Rata-rata Hasil pendugaan parameter persamaan upah rata-rata berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R 2 ) di atas 84 persen. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 84 persen fluktuasi peubah upah rata-rata berdasarkan sektor. endogen dalam persamaan upah rata-rata sektor pertanian, industri dan jasa dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) Tabel 18 memperlihatkan bahwa hasil pendugaan persamaan upah ratarata sektoral secara nyata dipengaruhi oleh upah minimum masing-masing sektor. Hal tersebut tercermin pada nilai parameter yang berarti peningkatan upah minimum rata-rata sektoral untuk pekerja yang menjadi target kebijakan upah minimum sebesar 1000 rupiah akan meningkatkan upah rata-rata sektor pertanian 186 rupiah, industri 180 rupiah dan sektor jasa 261 rupiah.

9 118 Tabel 18. Hasil Persamaan Upah Rata-rata Tahun WP (upah rata-rata sektor pertanian) UMP (upah minimum sektor pertanian) KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) DEFP (deflator GDP sektor pertanian) TKFP (jumlah TK formal sektor pertanian) S (jumlah penawaran TK total) LWP (lag upah rata-rata sektor pertanian) Prob > T F-Hitung = R 2 = DW = WI (upah rata-rata sektor industri) UMI (upah minimum sektor industri) KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) DEFI (deflator GDP sektor industri) TKFI (jumlah TK formal sektor industri) S (jumlah penawaran TK total) LWI (lag upah rata-rata sektor industri) F-Hitung = R 2 = DW = WJ (upah rata-rata sektor jasa) UMJ (upah minimum sektor jasa) KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) DEFJ (deflator GDP sektor jasa) LTKF (lag jumlah TK formal) S (jumlah penawaran TK total) LWJ (lag upah rata-rata sektor jasa) F-Hitung = R 2 = DW = W (upah rata-rata) L UMR (lag perubahan upah minimum rata-rata) WP (upah rata-rata sektor pertanian) WI (upah rata-rata sektor industri) WJ (perubahan upah rata-rata sektor jasa) WL (upah rata-rata sektor lainnya) LW (lag upah rata-rata) F-Hitung = R 2 = DW =

10 119 Fenomena ini juga ditemui dalam studi terdahulu yang menyimpulkan bahwa kebijakan upah minimum meskipun secara normatif ditargetkan pada buruh tanpa pengalaman, berpendidikan rendah dan mempunyai masa kerja di bawah satu tahun, namun dalam pelaksanaannya telah menyebabkan kenaikan upah bagi buruh secara keseluruhan atau dalam kajian ketenagakerjaan disebut upah sundulan (Wirahyoso, 2002). Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap upah rata-rata sektoral adalah KHM. Secara umum terlihat perbaikan pemenuhan upah rata-rata pada sektor industri relatif lebih baik dibandingkan sektor pertanian dan jasa. Artinya peningkatan KHM sebesar 1000 rupiah akan meningkatkan upah rata-rata sektor pertanian 236 rupiah, industri 1007 rupiah dan jasa 753 rupiah. Faktor tuntutan serikat pekerja yang diproksi dengan peubah jumlah TK formal di masing-masing sektor juga mempengaruhi nilai upah rata-rata sektoral. Secara umum upah rata-rata sektor industri lebih respon terhadap tuntutan serikat pekerja. Artinya peningkatan tuntutan serikat pekerja sebesar satu persen di masing-masing sektor akan meningkatkan upah rata-rata di sektor pertanian 0.02 persen, industri 0.92 persen dan jasa 0.26 persen. Hasil penelitian terdahulu juga menyimpulkan bahwa fenomena upah sundulan merupakan dampak dari kekuatan serikat pekerja untuk menaikkan upah buruh diluar target kebijakan upah minimum (Priyono,2002) Kinerja Fiskal Pendugaan parameter penerimaan dan pengeluaran pemerintah berdasarkan sektor pembangunan memberikan koefisien determinasi (R 2 ) bervariasi antara 26 persen sampai 94 persen seperti pada Tabel 19.

11 120 Tabel 19. Hasil Persamaan Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Tahun TAX (penerimaan pajak) AS (penawaran agregat) LTAX (lag penerimaan pajak) Prob > T F-Hitung = R 2 = DW = GEP (pengeluaran pemb sektor pertanian) GTR (perubahan penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) GDPP/AS (share GDP pertanian thd agregat suplai) F-Hitung = R 2 = DW = GEI (pengeluaran pemb sektor industri) GTR (perubahan penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) GRI (pertumbuhan sektor industri) F-Hitung = 2.21 R 2 = DW = GEIS (pengeluaran pemb untuk infrastruktur) L GTR (lag perubahan penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) LGEIS (lag pengeluaran pemb untuk infrastruktur) F-Hitung = R 2 = DW = GEPK (pengeluaran pemb pend dan kesehatan) LUT (lag tingkat pengangguran total) GTR (penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) LGEPK (lag pengeluaran pemb untuk pendidikan dan kesehatan) F-Hitung = R 2 = DW = endogen di dalam persaman TAX, GEP, GEIS dan GEPK dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01 sementara pada persamaan GEI nyata pada taraf 0.1.

12 121 Tabel 19 memperlihatkan bahwa penerimaan pajak (TAX) dipengaruhi secara postif oleh penawaran agregat (AS). Jika AS meningkat satu milyar rupiah maka TAX akan meningkat sebesar 1.3 juta rupiah. Dalam jangka pendek maupun jangka panjang penerimaan pajak responsif terhadap peubah AS. Faktor yang mempengaruhi nilai pengeluaran pembangunan pertanian, industri, infrastruktur serta pendidikan dan kesehatan adalah penerimaan pemerintah. Peningkatan penerimaan pemerintah satu milyar rupiah akan meningkatkan pengeluaran pembangunan sektor pertanian 34 juta rupiah, sektor industri 7.9 juta rupiah, sektor infrastruktur 53.6 juta rupiah serta sektor pendidikan dan kesehatan 11.7 juta rupiah. Besarnya pengaruh penerimaan pemerintah terhadap pengeluaran infrastruktur bisa dipahami karena merupakan salah satu faktor penting menggerakkan perekonomian. Lag inflasi juga berpengaruh nyata terhadap besarnya pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian serta pendidikan dan kesehatan. Artinya kenaikan laju inflasi tahun sebelumnya sebesar satu persen akan menyebabkan meningkatnya nilai peneluaran pembangunan sektor pertanian 590 juta rupiah dan sektor pendidikan dan kesehatan 290 juta rupiah dalam rangka mempertahankan nilai riil pengeluaran pemerintah Kinerja Penawaran Agregat Hasil pendugaan parameter nilai produksi sektoral memberikan nilai koefisien determinasi (R 2 ) di atas 96 persen seperti pada Tabel 20. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 96 persen fluktuasi peubah nilai produksi sektor pertanian, industri maupun sektor jasa.

13 122 Tabel 20. Hasil Persamaan Nilai Produksi Sektoral Tahun GDPP (nilai produksi sektor pertanian) DP (permintaan TK sektor pertanian) DEFP (deflator GDP sektor pertanian) IP (perubahan investasi sektor pertanian) GEP (perubahan pengeluaran pemb sektor pertanian) GEIS (perubahan pengeluaran pemb infrastruktur) LGDPP (lag nilai produksi sektor pertanian) Prob > T F-Hitung = R 2 = DW = GDPI (nilai produksi sektor industri) DI (permintaan TK sektor industri) DEFI (deflator GDP sektor industri) II (investasi sektor industri) GEI (perubahan pengeluaran pemb sektor industri) KUK (kredit usaha kecil) GEIS (pengeluaran pemb infrastruktur) LGDPI (lag nilai produksi sektor industri) F-Hitung = R 2 = DW = GDPJ (nilai produksi sektor jasa) DJ (perubahan permintaan TK sektor jasa) LDEFJ (lag deflator GDP sektor jasa) IJ (investasi sektor jasa) LGEIS (lag pengeluaran pemb sektor pertanian) LGDPJ (lag nilai produksi sektor jasa) F-Hitung = R 2 = DW = endogen dalam persamaan nilai produksi sektor pertanian, industri dan jasa dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) Tabel 20 memperlihatkan permintaan tenaga kerja sektor pertanian (DP) berpengaruh positip dan nyata terhadap nilai produksi sekroe pertanian (GDPP). Artinya peningkatan kesempatan kerja di sektor pertanian sebanyak 1 orang akan

14 123 meningkatkan nilai produksi sektor pertanian sebesar 98.3 juta rupiah. Jika dibandingkan dengan sektor industri dan jasa maka sektor pertanian menempati urutan terendah dalam hal produktivitas tenaga kerja sementara sektor industri menempati urutan teratas. Pada persamaan GDPI, kredit usaha kecil (KUK) berpengaruh nyata dalam meningkatkan GDPI. Artinya peningkatan KUK sebesar satu milyar rupiah akan meningkatkan GDPI 32.6 milyar rupiah Kinerja Permintaan Agregat Pendugaan parameter persamaan konsumsi (C), ekspor (X) dan impor (M) memberikan koefisien determinasi (R 2 ) di atas 88 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99 persen fluktuasi peubah C, 95 persen fluktuasi peubah X dan 88 persen fluktuasi peubah M. endogen di dalam persaman C, X, dan M dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) Tabel 21 memperlihatkan bahwa faktor penawaran agregat per kapita (AS/POP) berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi. Peningkatan AS/POP satu milyar rupiah akan meningkatkan pengeluaran konsumsi nasional 46 triliun rupiah. Sementara inflasi berpengaruh negatif terhadap pengeluaran konsumsi. Peningkatan inflasi sebesar satu persen akan menurunkan pengeluaran konsumsi nasional 225 milyar rupiah. Nilai ekspor dipengaruhi secara positif oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (ER). Peningkatan ER satu rupiah per dollar akan meningkatkan nilai ekspor 1.04 milyar rupiah rupiah. Demikian pula penawaran agregat (AS) berpengaruh positip terhadap nilai ekspor. Peningkatan AS satu milyar rupiah akan meningkatkan nilai ekspor 0.30 milyar rupiah.

15 124 Tabel 21. Hasil Persamaan Konsumsi, Ekspor dan Impor Tahun C (konsumsi) AS/POP (pendapatan per kapita) INF (inflasi nasional) LC (lag konsumsi) Prob > T F-Hitung = R 2 = DW = X (nilai ekspor) ER (nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika) AS (penawaran agregat) LX (lag nilai ekspor) F-Hitung = R 2 = DW = M (nilai impor) ER (nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika) AS (penawaran agregat) LM (lag nilai impor) F-Hitung = R 2 = DW = Nilai impor dipengaruhi secara negatif oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (ER). Peningkatan ER satu rupiah per dollar akan menurunkan nilai impor 1.25 milyar rupiah rupiah. Sebaliknya penawaran agregat (AS) berpengaruh positip terhadap nilai impor. Peningkatan AS satu milyar rupiah akan meningkatkan nilai impor 0.22 milyar rupiah. Tabel 22 memperlihatkan hasil pendugaan parameter pada persamaan nilai investasi berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R2) bervariasi yaitu sektor pertanian 58 persen, industri 76 persen sementara jasa hanya 37 persen. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan fluktuasi peubah investasi untuk sektor pertanian 58 persen, industri 76 persen sementara jasa hanya 37 persen.

16 125 Tabel 22. Hasil Persamaan Investasi Sektoral Tahun IP (investasi sektor pertanian) SB (perubahan suku bunga) UMR (upah minimum rata-rata) LAS (lag penawaran agregat) KP (perubahan jumlah kasus pemogokan) DDF (dummy desentralisasi fiskal) LIP (lag investasi sektor pertanian) Prob > T F-Hitung = 3.79 R 2 = DW = II (investasi sektor industri) SB (perubahan suku bunga) UMR (upah minimum rata-rata) AS (penawaran agregat) KP (jumlah kasus pemogokan) DDF (dummy desentralisasi fiskal) LII (lag investasi sektor industri) F-Hitung = 8.58 R 2 = DW = IJ (investasi sektor jasa) SB (suku bunga) LUMR (lag upah minimum rata-rata) AS (lag upah minimum rata-rata) LKP (perubahan jumlah kasus pemogokan) DDF (dummy desentralisasi fiskal) LIJ (lag investasi sektor jasa) F-Hitung = 1.58 R 2 = DW = endogen dalam persamaan nilai investasi sektor pertanian dan industri dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01 kecuali pada sektor jasa hanya 0.2. Persamaan investasi sektoral dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga nominal dan faktor ketidakpastian di pasar TK yaitu upah minimum rata-rata (UMR) dan jumlah kasus pemogokan (KP). Peningkatan suku bunga nominal sebesar satu persen akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 49.5 milyar

17 126 rupiah, industri 82.6 milyar rupiah dan jasa 2.8 milyar rupiah. Peningkatan UMR sebesar satu rupiah per tahun akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 1.3 milyar rupiah, industri 2.3 milyar rupiah dan jasa 0.4 milyar rupiah. Selanjutnya peningkatan jumlah kasus pemogokan satu kasus per tahun akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 5.3 milyar rupiah, industri 23.3 milyar rupiah dan jasa 1.0 milyar rupiah. Pada kenyataannya, sektor pertanian mempunyai rata-rata nilai investasi paling rendah di era otda yang telah lalu, yaitu 3.46 persen dari total investasi dibanding sektor lain tahun Hasil penelitian Kalangi (2006) juga menyimpulkan hal serupa ( 2.04 persen), karena dianggap sektor pertanian kurang menguntungkan bagi investor asing. Namun, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB relatif besar, rata-rata di era otda yang telah lalu mencapai persen tahun Sumbangan terhadap peningkatan kesempatan kerja pada periode yang sama mencapai persen Kinerja Moneter Pendugaan parameter persamaan penawaran uang (MS), permintaan uang (MD) dan suku bunga nominal (SB) memberikan koefisien determinasi (R 2 ) di atas 84 persen seperti pada Tabel 23. Artinya peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99 persen fluktuasi peubah MS dan MD, dan 84 persen fluktuasi peubah SB. endogen di dalam persaman MS, MD dan SB dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01.

18 127 Tabel 23. Hasil Persamaan Penawaran dan Permintaan Uang serta Suku Bunga Tahun MS (penawaran uang) AD (permintaan agregat) SB (suku bunga) ER (perubahan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika) LMS (lag penawaran uang) Prob > T F-Hitung = R 2 = DW = MD (permintaan uang) AD (permintaan agregat) SB (perubahan suku bunga) DKE (dummy krisis ekonomi) LMD (lag permintaan uang) F-Hitung = R 2 = DW = SB (suku bunga) MS (perubahan penawaran uang) LAD (lag permintaan agregat) LINF (lag inflasi nasional) LSB (lag suku bunga) E F-Hitung = R 2 = DW = Tabel 23 memperlihatkan permintaan agregat (AD) berpengaruh potitif terhadap penawaran uang (MS), permintaan uang (MD) dan suku bunga nominal (SB). Peningkatan AD satu milyar rupiah akan meningkatkan MS 4.3 juta rupiah, MD 3.5 juta rupiah dan suku bunga nominal persen. Peningkatan SB satu persen menyebabkan peningkatan MS 3.1 milyar rupiah, sebaliknya terjadi penurunan MD 1.6 milyar rupiah. Nilai tukar berpengaruh positif terhadap MS. Peningkatan selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tahun sekarang dan tahun lalu sebesar satu rupiah per dollar akan meningkatkan MS 26.8 juta rupiah.

19 128 Tingkat suku bunga juga dipengaruhi secara positif oleh lag inflasi. Peningkatan inflasi tahun sebelumnya sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan suku bunga nominal 0.63 persen. Respon peningkatan suku bunga akibat peningkatan lag inflasi tidak elastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang Kinerja Keseimbangan Makro Hasil pendugaan parameter persamaan indeks harga konsumen (CPI) memberikan nilai koefisien determinasi (R 2 ) di atas 96 persen seperti pada Tabel 24. Artinya variasi peubah penjelas dalam persamaan mampu menjelaskan 96 persen fluktuasi peubah CPI. endogen dalam persamaan CPI dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) Tabel 24. Hasil Persamaan Indeks Harga Konsumen Tahun CPI (indeks harga konsumen) LSB (lag suku bunga) LW (lag upah rata-rata) LCPI (lag indeks harga konsumen) Prob > T F-Hitung = R 2 = DW = Tabel 24 memperlihatkan faktor lag upah (LW) berpengaruh positif terhadap peningkatan CPI. Peningkatan LW satu rupian per tahun akan meningkatkan CPI sebesar Respon peningkatan CPI akibat peningkatan lag upah tidak elastis dalam jangka pendek tetapi elastis dalam jangka panjang.

DAMPAK PERMASALAHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH

DAMPAK PERMASALAHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH DAMPAK PERMASALAHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH (The Impact of Industrial Relation Issues on Indonesian Economy in The Era of Regional Autonomy) Evi Lisna

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN Model Ekonomi Pasar Tenaga Kerja dan Perekonomian Indonesia

IV. METODE PENELITIAN Model Ekonomi Pasar Tenaga Kerja dan Perekonomian Indonesia IV. METODE PENELITIAN 4.1. Model Ekonomi Pasar Tenaga Kerja dan Perekonomian Indonesia Model merupakan suau penjelasan dari fenomena akual sebagai suau sisem aau proses (Kousoyiannis, 1977). Model pasar

Lebih terperinci

VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Berdasarkan hasil dan pembahasan Bab V sampai dengan Bab VII,

VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Berdasarkan hasil dan pembahasan Bab V sampai dengan Bab VII, VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan Bab V sampai dengan Bab VII, dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Undang-undang ketenagakerjaan era otda

Lebih terperinci

V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN 5.1. Analisis Umum Pendugaan Model Dalam proses spesifikasi, model yang digunakan dalam penelitian ini mengalami beberapa modifikasi karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius

I. PENDAHULUAN. menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan pada umumnya menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius (Depnakertrans, 2004a).

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Setelah dilakukan respesifikasi-respesifikasi terhadap model desentralisasi fiskal Provinsi Riau, diperoleh

Lebih terperinci

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami beberapa kali modifikasi, karena ditemukan beberapa

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 66 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan bawang merah dalam penelitian

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja moneter difokuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur perekonomian bercorak agraris yang rentan terhadap goncangan kestabilan kegiatan perekonomian.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Berdasarkan studi pustaka dan logika berpikir yang digunakan dalam

IV. METODE PENELITIAN. Berdasarkan studi pustaka dan logika berpikir yang digunakan dalam IV. METODE PENELITIAN 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Berdasarkan studi pustaka dan logika berpikir yang digunakan dalam menganalisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap makroekonomi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Estimasi Parameter Model Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur adalah dengan menggunakan metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter Bank Indonesia selaku otoritas moneter. BI Rate merupakan instrumen kebijakan utama untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan estimasi yang telah dilakukan maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil uji Impulse Response Function menunjukkan variabel nilai

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP,

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP, V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP, selisih tingkat suku bunga, selisih inflasi dan selisih neraca pembayaran terhadap kurs

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter Bank Indonesia selaku otoritas moneter. BI Rate merupakan instrumen kebijakan utama untuk

Lebih terperinci

BAB V KERAGAAN MODEL MAKROEKONOMETRIKA MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER INDONESIA

BAB V KERAGAAN MODEL MAKROEKONOMETRIKA MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER INDONESIA 139 BAB V KERAGAAN MODEL MAKROEKONOMETRIKA MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER INDONESIA 5.1. Hasil Estimasi Model Model makroekonometrika yang telah dibangun dalam bab sebelumnya diestimasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Areal Tanaman Perkebunan Perkembangan luas areal perkebunan perkebunan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pengembangan luas areal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 2007) perekonomian ekonomi Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 mengalami

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 2007) perekonomian ekonomi Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 mengalami 44 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Perekonomian Indonesia Menurut Laporan Perekonomian Indonesia dari Bank Indonesia (2003-2007) perekonomian ekonomi Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 mengalami

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

VI. ANALISIS EKONOMETRIKA PERKEMBANGAN INDUSTRI TPT INDONESIA. Pada bagian ini akan disajikan dan dibahas nilai-nilai hasil pendugaan

VI. ANALISIS EKONOMETRIKA PERKEMBANGAN INDUSTRI TPT INDONESIA. Pada bagian ini akan disajikan dan dibahas nilai-nilai hasil pendugaan VI. ANALISIS EKONOMETRIKA PERKEMBANGAN INDUSTRI TPT INDONESIA Pada bagian ini akan disajikan dan dibahas nilai-nilai hasil pendugaan parameter persamaan struktural dalam model ekonometrika perkembangan

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA 101 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan gula Indonesia dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk disertai dengan perubahan

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA. Setelah dilakukan pengolahan data time series bulanan tahun 2005 sampai

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA. Setelah dilakukan pengolahan data time series bulanan tahun 2005 sampai FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA 6.1 Pengujian Hipotesis Setelah dilakukan pengolahan data time series bulanan tahun 2005 sampai 2008, diperoleh hasil regresi sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Pendugaan Model Model persamaan simultan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan ikan tuna Indonesia di pasar internasional terdiri dari enam persamaan

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS

III. KERANGKA TEORITIS III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Kebijakan fiskal mempengaruhi perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui permintaan agregat pada pasar barang, sedangkan kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Hasil Uji Asumsi Klasik Untuk menghasilkan hasil penelitian yang baik, pada metode regresi diperlukan adanya uji asumsi klasik untuk mengetahui apakah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan

I. PENDAHULUAN. makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan moneter merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran ekonomi makro, yaitu

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU EKONOMI MAKRO BAB 1 RUANG LINGKUP ANALISIS MAKROEKONOMI

PENGANTAR ILMU EKONOMI MAKRO BAB 1 RUANG LINGKUP ANALISIS MAKROEKONOMI PENGANTAR ILMU EKONOMI MAKRO BAB 1 RUANG LINGKUP ANALISIS MAKROEKONOMI Teori Ekonomi Isu isu utama 1. Mewujudkan efisiensi dalam penggunaan sumber daya Mikro Ekonomi 2. Mencapai kepuasan yang maksimum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsi sebagai penyimpan nilai, unit hitung, dan media pertukaran.

BAB I PENDAHULUAN. fungsi sebagai penyimpan nilai, unit hitung, dan media pertukaran. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Uang merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian diseluruh dunia. Bagi seorang ekonom, uang adalah persediaan aset yang dapat dengan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam 219 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan 8.1.1. Berdasarkan pengujian, diperoleh hasil bahwa guncangan ekspor nonagro berpengaruh positip pada kinerja makroekonomi Indonesia, dalam

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA Abstract Inflasi dan pengangguran adalah masalah pelik yang selalu dihadapi oleh Negara Indonesia terkait belum berkualitasnya

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Nomor. 30/AN/B.AN/2010 0 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode two stage least squares (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode two stage least squares (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Seperti yang telah dijelaskan pada Bab IV, model integrasi pasar beras Indonesia merupakan model linier persamaan simultan dan diestimasi dengan metode two stage least squares

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT

V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT Data untuk membangun model ekonomi sebagaimana diuraikan pada Bab IV dianalisis untuk mendapatkan konfirmasi mengenai kualitas model yang dibangun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di berbagai bidang perekonomian. Pembangunan ekonomi secara

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di berbagai bidang perekonomian. Pembangunan ekonomi secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah negara yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan pembangunan di berbagai bidang perekonomian. Pembangunan ekonomi secara langsung maupun

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Data time series merupakan data

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010 PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak Juni 2010 viii Ringkasan Eksekutif: Keberlanjutan di tengah gejolak Indonesia terus memantapkan kinerja ekonominya yang kuat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam mencapai tujuannya, pemerintah negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, seperti Indonesia serta dalam era globalisasi sekarang ini, suatu negara tidak terlepas dari kegiatan

Lebih terperinci

Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Rezky Fatma Dewi Mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan Fak. Ekonomi dan Bisnis Universitas Jambi Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara yang sedang berkembang. Peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kredit properti (subprime mortgage), yaitu sejenis kredit kepemilikan rumah

BAB 1 PENDAHULUAN. kredit properti (subprime mortgage), yaitu sejenis kredit kepemilikan rumah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat terjadi akibat macetnya kredit properti (subprime mortgage), yaitu sejenis kredit kepemilikan rumah (KPR) di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG KEBIJAKAN MAKRO EKONOMI Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Makro Ekonomi Disusun oleh: Nama : Nida Usanah Prodi : Pendidikan Akuntansi B NIM : 7101413170 JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makro adalah pandangan bahwa sistem pasar bebas tidak dapat mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. makro adalah pandangan bahwa sistem pasar bebas tidak dapat mewujudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan perekonomian setiap negara tidak selalu stabil, tetapi berubahubah akibat berbagai masalah ekonomi yang timbul. Salah satu aspek penting dari kegiatan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Pengaruh Tingkat Suku Bunga Deposito, Gross Domestic Product (GDP), Nilai Kurs, Tingkat Inflasi, dan Jumlah Uang Beredar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia pernah mengalami krisis pada tahun 1997, ketika itu nilai tukar rupiah merosot tajam, harga-harga meningkat tajam yang mengakibatkan inflasi yang tinggi,

Lebih terperinci

DETERMINAN PERMINTAAN EKSPOR UDANG BEKU JAWA TIMUR KE AMERIKA SERIKAT PENDAHULUAN

DETERMINAN PERMINTAAN EKSPOR UDANG BEKU JAWA TIMUR KE AMERIKA SERIKAT PENDAHULUAN P R O S I D I N G 113 DETERMINAN PERMINTAAN EKSPOR UDANG BEKU JAWA TIMUR KE AMERIKA SERIKAT Erlangga Esa Buana 1 1 Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya E-mail: erlanggaesa@gmail.com PENDAHULUAN Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DI KOTA MEDAN TAHUN

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DI KOTA MEDAN TAHUN ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DI KOTA MEDAN TAHUN 2000-2014 NADIA IKA PURNAMA Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara email : nadiaika95@gmail.com

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data tenaga kerja, PDRB riil, inflasi, dan investasi secara berkala yang ada di kota Cimahi.

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perekonomian Indonesia selalu mengalami perjalanan yang berfluktuasi, minyak dan gas alam yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan, harganya dipasar internasional

Lebih terperinci

Makro ekonomi adalah Makro artinya besar, analisis makro ekonomi merupakan analisis keseluruhan kegiatan perekonomian. Bersifat global dan tidak

Makro ekonomi adalah Makro artinya besar, analisis makro ekonomi merupakan analisis keseluruhan kegiatan perekonomian. Bersifat global dan tidak TEORI EKONOMI MAKRO Makro ekonomi adalah Makro artinya besar, analisis makro ekonomi merupakan analisis keseluruhan kegiatan perekonomian. Bersifat global dan tidak memperhatikan kegiatan ekonomi yang

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN PENELITIAN LANJUTAN

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN PENELITIAN LANJUTAN VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN PENELITIAN LANJUTAN 8.1. Kesimpulan Hasil studi menunjukkan bahwa prioritas alokasi investasi ke sektor pertanian dan industri berbasis pertanian yang didukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mekanisme penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam beberapa dekade terakhir, perekonomian Indonesia telah menunjukkan integrasi yang semakin kuat dengan perekonomian global. Keterkaitan integrasi ekonomi

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan indeks harga konsumen (IHK) Indonesia, tingkat suku bunga dunia, nilai dollar dalam rupiah, rasio belanja

Lebih terperinci

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN 6.1. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian Kriteria pertama yang harus dipenuhi dalam analisis ini adalah adanya kesesuaian

Lebih terperinci

Antiremed Kelas 10 Ekonomi

Antiremed Kelas 10 Ekonomi Antiremed Kelas 10 Ekonomi Pendapatan Nasional - Soal Halaman 1 01. Pada metode pendapatan, besar pendapatan nasional suatu negara akan sama dengan (A) jumlah produksi ditambah upah (B) jumlah investasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah sektor riil dalam pembahasan mengenai ekonomi makro menggambarkan kondisi perekonomian dipandang dari sisi permintaan dan penawaran barang dan jasa. Oleh karena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut beberapa pakar ekonomi pembangunan, pertumbuhan ekonomi merupakan istilah bagi negara yang telah maju untuk menyebut keberhasilannya, sedangkan untuk

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Hal. i ii iii

DAFTAR ISI. Hal. i ii iii DAFTAR ISI ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah... 1.2. Rumusan Masalah... 1.3. Tujuan dan Manfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan yaitu

Lebih terperinci

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012 Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012 I. Pendahuluan Setelah melalui perdebatan, pemerintah dan Komisi XI DPR RI akhirnya menyetujui asumsi makro dalam RAPBN 2012 yang terkait

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta. Pendugaan fungsi respons produksi dengan metode 2SLS diperoleh hasil

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta. Pendugaan fungsi respons produksi dengan metode 2SLS diperoleh hasil VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta Pendugaan fungsi respons produksi dengan metode 2SLS diperoleh hasil yang tercantum pada Tabel 6.1. Koefisien determinan (R 2 ) sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang aktif

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang aktif 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang aktif melaksanakan pembangunan. Dalam melaksanakan pembangunan sudah tentu membutuhkan dana yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan fiskal pemerintah. Pada dasarnya, kebijakan fiskal mempunyai keterkaitan yang erat dengan

Lebih terperinci

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif terapan ( Applied

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif terapan ( Applied I. METODOLOGI PENELITIAN 1.1 Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif terapan ( Applied Descriptive Reasearch), yaitu penelitian yang dilakukan dengan maksud

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM 7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan Dampak kenaikan pendapatan dapat dilihat dengan melakukan simulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin lama semakin tak terkendali. Setelah krisis moneter 1998, perekonomian Indonesia mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap agregat makro ekonomi. Pertama, inflasi domestik yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. terhadap agregat makro ekonomi. Pertama, inflasi domestik yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Inflasi merupakan suatu fenomena ekonomi yang sangat menarik untuk dibahas terutama yang berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap agregat makro ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya. Modal dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya. Modal dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara membutuhkan modal dalam mengembangkan perekonomiannya. Modal dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Akumulasi modal sangat diperlukan untuk

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung 27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Nasional Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung besarnya pendapatan nasional atau produksi nasional setiap tahunnya, yang

Lebih terperinci

Ekonomi. untuk SMA/MA Kelas XI Semester 1. Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Inung Oni Setiadi Irim Rismi Hastyorini. Dibuat oleh:

Ekonomi. untuk SMA/MA Kelas XI Semester 1. Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Inung Oni Setiadi Irim Rismi Hastyorini. Dibuat oleh: Ekonomi untuk SMA/MA Kelas XI Semester 1 Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial Dibuat oleh: Inung Oni Setiadi Irim Rismi Hastyorini Disclaimer Powerpoint pembelajaran ini dibuat sebagai alternatif guna membantu Bapak/Ibu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Ketenagakerjaan Penduduk suatu negara dapat dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga kerja adalah penduduk yang berusia kerja

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN KANTOR MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) DIREKTORAT PERENCANAAN MAKRO FEBRUARI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sajikan data-data yang terkait dengan sektor - sektor yang akan di teliti,

BAB I PENDAHULUAN. sajikan data-data yang terkait dengan sektor - sektor yang akan di teliti, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan dan perjalanan ekonomi pada masa ini sangat dan kompetitif baik dalam tingkat nasional maupun antar daerah. Hal ini terjadi karena dalam memenuhi

Lebih terperinci

PERANAN TENAGA KERJA SEKTOR TERSIER TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PROVINSI DKI JAKARTA

PERANAN TENAGA KERJA SEKTOR TERSIER TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PROVINSI DKI JAKARTA PERANAN TENAGA KERJA SEKTOR TERSIER TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PROVINSI DKI JAKARTA Albert Gamot Malau (albert@mail.ut.ac.id) Universitas Terbuka ABSTRACT DKI Jakarta province have the potential

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN+3 Potret ekonomi dikawasan ASEAN+3 hingga tahun 199-an secara umum dinilai sangat fenomenal. Hal

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEINDUSTRIALISASI

VI. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEINDUSTRIALISASI VI. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEINDUSTRIALISASI 6.1. Pengujian Asumsi-Asumsi Klasik Regresi pada dasarnya adalah studi mengenai ketergantungan satu variabel dependen (terikat) dengan satu atau lebih variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat inflasi yang terkendali, nilai tukar dan tingkat suku bunga yang stabil serta tingkat pengangguran yang rendah atau bahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia saat ini telah memasuki era globalisasi dimana persaingan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia saat ini telah memasuki era globalisasi dimana persaingan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini telah memasuki era globalisasi dimana persaingan perdagangan internasional semakin ketat. Untuk itu Indonesia perlu meningkatkan kemampuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kurs (Nilai Tukar) a. Pengertian Kurs Beberapa pengertian kurs di kemukakan beberapa tokoh antara lain, menurut Krugman (1999) kurs atau exchange rate adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menopang hampir seluruh program-program pembangunan ekonomi. Peranan

BAB I PENDAHULUAN. menopang hampir seluruh program-program pembangunan ekonomi. Peranan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan merupakan suatu industri jasa yang sangat dominan dan menopang hampir seluruh program-program pembangunan ekonomi. Peranan perbankan sangat dirasakan manfaatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Guncangan (shock) dalam suatu perekonomian adalah suatu keniscayaan. Terminologi ini merujuk pada apa-apa yang menjadi penyebab ekspansi dan kontraksi atau sering juga

Lebih terperinci

VI ANALISIS EKSPOR KEPITING INDONESIA

VI ANALISIS EKSPOR KEPITING INDONESIA VI ANALISIS EKSPOR KEPITING INDONESIA 6.1 Pengujian Asumsi Gravity model aliran perdagangan ekspor komoditas kepiting Indonesia yang disusun dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria pengujian asumsi-asumsi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana dan kekurangan dana (Mishkin, 2009). Bank memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana dan kekurangan dana (Mishkin, 2009). Bank memiliki peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank merupakan lembaga keuangan yang menerima simpanan dan membuat pinjaman serta sebagai lembaga perantara interaksi antara pihak yang kelebihan dana dan kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi daripada yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi daripada yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Suatu

Lebih terperinci