V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN
|
|
- Sri Cahyadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Setelah dilakukan respesifikasi-respesifikasi terhadap model desentralisasi fiskal Provinsi Riau, diperoleh 28 persamaan yang terdiri 18 persamaan struktural dan 10 persamaan identitas. Hasil estimasi model dengan menggunakan metode ekonometrik 2SLS (two stage least squares) menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap variabel-variabel endogen dalam model yaitu terhadap 18 persamaan struktural tersebut. Hasil analisis terhadap variabel endogen masingmasing akan dijelaskan. Keragaan umum hasil estimasi model ekonometrika yang terdiri dalam 4 blok secara keseluruhan menunjukkan hasil yang baik. Semua peubah penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan mempunyai tanda yang sesuai dengan harapan dilihat dari teori ekonomi. Evaluasi hasil estimasi berdasarkan kriteria statistika yaitu lebih dari 80 persen persamaan memiliki nilai R 2 di atas 0.70, nilai Dw berkisar antara dan secara umum parameter peubah penjelas signifikan pada taraf nyata α < 25 %. Meskipun demikian, secara umum variabel eksogen yang dimasukkan dalam persamaan mampu menjelaskan keragaman setiap variabel endogennya. Selain kriteria statistik (R 2 ) tersebut, hasil analisis menunjukkan bahwa semua variabel eksogen dan predetermined memiliki tanda yang sesuai dengan dugaan dan berdasarkan teori ekonomi serta kondisi di lapang, hasilnya cukup logis. Hasil statistik t menunjukkan semua variabel predetermined yang berpengaruh nyata terhadap variabel endogen yang menggunakan taraf nyata atau
2 93 α = 25 %. Secara keseluruhan hasil estimasi model cukup representatif menggambarkan fenomena kinerja fiskal dan perekonomian daerah dalam otonomi di Provinsi Riau. Tanda dan besaran parameter estimasi dari keragaan umum ini baik secara teoristis dan logis mampu memperkuat keberadaan model untuk analisis selanjutnya Keragaan Penerimaan Daerah Keragaan blok penerimaan fiskal daerah ditunjukkan oleh Pajak Daerah (TAXD), Retribusi Daerah (RETRD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Penerimaan Bagi Hasil Pajak (BHTAXD) Pajak Daerah Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan Konsumsi Masyarakat (KONM) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pajak Daerah (TAXD). Parameter estimasi peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) bertanda negatif yang berarti terdapat penurunan jumlah pungutan pajak pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan ketersediaan fiskal melalui mekanisme pajak daerah, dan dalam jangka pendek tidak elastis namun dalam jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap penerimaan pajak daerah. Demikian halnya dengan Konsumsi Masyarakat (KONM) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pajak Daerah. Pajak daerah memiliki peranan penting setelah desentralisasi fiskal sebagai sumber PAD, sebelum desentalisasi fiskal sumber PAD didominasi dari retribusi
3 daerah. Hasil regresi dari model-model pada Blok Penerimaan Daerah tertera pada tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum dan Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam Model Pajak Daerah (TAXD) Retribusi Daerah (RETRD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak Daerah (BHPJSDA) Variabel Parameter Estimasi Elastisitas SR LR Prob> T Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) Kepatutan Statistik Konsumsi Masyarakat (KONM) R 2 = Dummy Otonomi (DDF) F hit = Lag TAXD DW = Produk Dometik Regional Bruto (PDRB) R 2 = Total Pengeluaran Pemerintah(TEXP) F hit = Dummy Otonomi (DDF) DW = Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) Angkatan Kerja (AKED) R 2 = Populasi(POP) Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (BHPJSDA) F hit = Dummy Otonomi(DDF) DW = Pendapatan Asli Daerah (PAD) R 2 = Pengeluaran Sektor Ekonomi(PESE) F hit = Dummy Otonomi DW = Retribusi Daerah PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap Retribusi Daerah begitu juga Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Retribusi Daerah (RETRD). Parameter estimasi peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) bertanda positif yang berarti terdapat perbedaan jumlah pungutan retribusi pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal yang menunjukkan peningkatan pungutan retribusi. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar PDRB akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan ketersediaan fiskal melalui mekanisme retribusi daerah, dan dalam jangka pendek tidak elastis
4 95 namun dalam jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap penerimaan retribusi daerah. Sementara Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) berdampak positif terhadap meningkatnya penerimaan pajak daerah namun respon jangka pendek dan jangka panjangnya tidak elastis terhadap penerimaan retribusi daerah Dana Alokasi Umum Angkatan Kerja Daerah (AKED) dan bagi hasil penerimaan sumberdaya alam (BHPJSDA) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU), artinya semakin besar AKED dan BHPESDA maka alokasi DAU terhadap daerah semakin kecil. Sementara Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan Jumlah Penduduk (POP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap DAU, artinya semakin besar TEXP dan POP maka alokasi dana perimbangan untuk daerah semakin besar. Peubah Dummy Desentralisasi (DDF) menunjukkan perbedaan yang signifikan jumlah DAU pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, dimana daerah setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal mengalami peningkatan alokasi DAU dan pada saat yang terjadi peningkatan total penerimaan daerah. Meningkatnya Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan Populasi penduduk (POP) signifikan terhadap semakin meningkatnya dana alokasi umum (DAU) dengan respon yang kurang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa dana alokasi umum (DAU) sebagai instrumen desentralisasi fiskal dan sebagai dana penyeimbang dari pemerintah pusat merupakan sumber utama ketersediaan fiskal (fiskal available) di daerah untuk membiayai kebutuhannya. Sehingga meningkatnya kebutuhan fiskal di daerah sangat direspon oleh meningkatnya transfer dana alokasi umum (DAU).
5 96 Salah satu dampaknya pemerintah daerah menjadi berkurang upayanya terhadap meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak dan retribusi, dan akan terjadi kecendrungan pemerintah daerah tergantung terhadap dana alokasi umum (DAU). Angkatan Kerja Daerah (AKED) dan bagi hasil penerimaan sumberdaya alam (BHPJSDA) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU), memiliki respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap DAU. Semakin besar jumlah PDRB dan AKED maka jumlah alokasi DAU semakin kecil yang diterima daerah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah telah memiliki ketersediaan fiskal yang baik, sehingga alokasi DAU semakin kecil dari pemerintah pusat. Variabel Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) berpengaruh positif dan signifikan terhadap DAU. Hal tersebut menunjukan bahwa setelah desentralisasi fiskal DAU meningkat dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Peningkatan DAU setelah desentralisasi fiskal merupakan fenomena yang disebabkan karena setelah desentralisasi fiskal pengeluaran rutin dan pembangunan semakin meningkat hingga 100 persen. Aspek peningkatan alokasi dana rutin dan pembangunan di daerah menunjukkan bahwa daerah merespon baik terhadap kebijakan desentralisasi fiskal terutama dalam peningkatan penerimaan dan pengalokasian fiskal. Harapannya fenomena tersebut mampu memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatnya palayanan publik dari anggaran yang tersedia secara seimbang antar sektor.
6 Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE), berpengaruh positif dan signifikan terhadap Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah (BHTAXD). Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) bernilai negatif yang menunjukkan terjadi penurunan jumlah Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah pada sesudah desentralisasi fiskal. Bagi hasil pajak merupakan variabel dana perimbangan atau transfer pemerintah pusat, namun menunjukan potensi pemungutan pajak daerah, artinya semakin banyak masyarakat yang sadar bahwa pajak terutama membayar pajak akan meningkatkan perolehan dana bagi hasil pajak. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar PAD dan PDRB akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan ketersediaan fiskal melalui mekanisme peningkatan bagi hasil pajak daerah, dan dalam jangka pendek dan jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah. Seme ntara Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE), berdampak positif terhadap meningkatnya penerimaan pajak daerah namun respon jangka pendek dan jangka panjangnya tidak elastis terhadap Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah Penerimaan daerah yang terkait dengan hubungan fiskal pusat dan daerah mempertimbangkan tentang karakteristik penduduk seperti jumlah orang miskin, kondisi sumberdaya daerah, seperti luas wilayah dan sumberdaya alam. Berdasarkan hasil kajian Shah (2000) bahwa secara rinci, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengaloksikan Inpres dan sumbangan daerah otonom (SDO) yaitu jumlah penduduk, jumlah gaji pegawai negeri,
7 kondisi prasarana, jumlah usia sekolah, kebutuhan obat-obatan, desa tertinggal, dan penduduk miskin Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Total Pendapatan Daerah (TPED) Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan daerah dari berbagai usaha Pemda untuk mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya yang terdiri dari Pajak Daerah (TAXD), Retribusi Daerah (RETRD) dan Laba Usaha milik daerah (LABUD). Total Pendapatan Daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum dan Khusus (DAU dan DAK), Bagi Hasil Pajak Daerah, Penerimaan Lain-lain dan Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SAPBDTS). Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan Kepadatan Penduduk (KPDK) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pajak Daerah (TAXD). Parameter estimasi peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) bertanda positif dan signifikan yang berarti terdapat perbedaan jumlah pungutan pajak pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal yang menunjukkan peningkatan jumlah pungutan pajak. Pajak daerah memiliki peranan penting setelah desentralisasi fiskal sebagai sumber PAD, sebelum desentalisasi fiskal sumber PAD didominasi dari retribusi daerah Keragaan Pengeluaran Daerah Blok pengeluaran fiskal daerah ditunjukkan dengan adanya Pengeluaran Rutin Daerah (PERDA), Pengeluaran Pembangunan/Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE), dan Pengeluaran Sektor Pelayanan Sosial Umum (PEPSU). Keragaan
8 99 Pengeluaran Rutin ditunjukkan oleh Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA), dan Pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA). Sementara keragaan pengeluaran pembangunan/ekonomi ditunjukkan oleh pengeluaran sektor pertanian (PESPER): pertanian dan irigasi. Pengeluaran sektor non pertanian (PESNPER): sektor industri, perdagangan, tenaga kerja, transmigrasi, dan pariwisata. Pengeluaran sektor infrastruktur (PEINF): sektor transportasi dan sektor pembangunan daerah. Kemudian keragaan Pengeluaran Sektor Pelayanan Sosial Umum (PEPSU) ditunjukkan oleh Pengeluaran sektor pelayanan sosial (PEPSO): pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan agama. Pengeluaran sektor pelayanan umum (PEPUM): sosial politik, hukum, keama nan, iptek, dan aparatur pemerintahan Pengeluaran Rutin Gaji Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA). Interaksi peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) dan Jumlah Pegawai Otonom (JPGO) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah pegawai berpengaruh terhadap peningkatan Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA) yang signifikan antara periode sebelum dengan sesudah desentralisasi fiskal. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar PAD, DAU dan DAK akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan pengeluaran fiskal melalui mekanisme pengeluaran rutin terutama pengeluaran rutin gaji (PERGA), dan dalam jangka pendek tidak elastis namun dalam jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap penerimaan pengeluaran rutin gaji (PERGA) daerah, namun DAK tidak memiliki respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap PERGA.
9 100 Tabel 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Rutin Gaji, Pengeluaran Rutin non Gaji, Pengeluaran Sektor Pertanian, Pengeluaran Sektor non Pertanian, Pengeluaran Infrastruktur, Pengeluaran Pelayanan Sosial dan Pengeluaran Pelayanan Umum Model Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA) Pengeluaran Rutin non Gaji (PERNGA) Pengeluaran Sektor Pertanian (PEPER) Pengeluaran Sektor non Pertanian (PESNPER) Pengeluaran Infrastruktur (PEINF) Pengeluaran Pelayanan Sosial (PEPSO) Pengeluaran Pelayanan Umum (PEPUM) Variabel Parameter Estimasi elastisitas Prob> T Kepatutan Statistik SR LR Pendapatan Asli Daerah (PAD) R 2 = Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Khusus (DAK) Jumlah Pegawai (JPGO) F hit = Dummy Otonomi (DDF) DW = Pendapatan Asli Daerah (PAD) R 2 =0.561 Sisa APBD tahun lalu (SAPBDTS) Populasi (POP) F hit =15.78 Dummy Otonomi (DDF) DW = Total Pengeluaran Pemerintah (TPED) R 2 = Penyerapan Tenaga kerja Pertanian (PTKP) Dummy Otonomi (DDF) F hit =68.65 Lag PESPER DW = Total Pendapatan Daerah (TPED) R 2 = Penyerapan Tenaga Kerja non Pertanian (PTKNP) Sektor Perdagangan (PDGN) F hit =109.9 Dummy Otonomi (DDF) DW = Total Pendapatan Daerah (TPED) R 2 =0.915 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) F hit =182.6 Luas Wilayah(LWIL) DW = Pendapatan Asli Daerah (PAD) R 2 = Jumlah desa/kelurahan (JEDEKE) Sektor Pendidikan (PDDK) Sektor Kesehatan (KSHT) F hit =14.63 Lag PEPSO DW = 1673 Pendapatan Asli Daerah (PAD) R 2 = Sisa APBD tahun sebelumnya (SAPBDTS) Populasi (POP) Dummy Otonomi (DDF) F hit =49.07 Lag PEPUM DW = 1.060
10 101 Hal ini mengindikasikan bahwa dari pengalokasian ketersediaan fiskal (fiscal available) terhadap pengeluaran rutin gaji sangat tergantung dari besar jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Alokasi Umum (DAU). Semakin tinggi PAD dan DAU, maka akan berdampak positif terhadap pengeluaran rutin gaji Pengeluaran Rutin Non Gaji Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SAPBDTS), dan Jumlah Penduduk (POP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA). Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap Pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA) antara periode sebelum dengan sesudah desentralisasi fiskal. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan pengeluaran fiskal melalui mekanisme pengeluaran rutin terutama pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA). Komponen pengeluaran rutin non gaji tersebut meliputi belanja barang, biaya pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, dan belanja lain-lain. Dalam jangka pendek tidak elastis namun dalam jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap penerimaan Pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA) daerah. Sementara Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SAPBDTS) dan Jumlah Penduduk (POP) memiliki hubungan positif terhadap meningkatnya pengeluaran rutin gaji namun respon jangka pendek dan jangka panjangnya tidak elastis terhadap pengeluaran Rutin Non Gaji.
11 102 Hal ini mengindikasikan bahwa dari pengalokasian ketersediaan fiskal (fiscal available) terhadap pengeluaran Rutin Non Gaji sangat tergantung dari besar jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi PAD, maka akan berdampak positif terhadap pengeluaran Rutin Non Gaji. Demikian pula halnya dengan kontribusi SAPBDTS terhadap Pengeluaran Rutin Non Gaji Pengeluaran Sektor Pertanian Total Penerimaan Daerah (TPED), Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian (PTKP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Sektor Pertanian (PESPER). Jumlah Pengeluaran Sektor Pertanian tahun sebelumnya (LPESPER) menjadi pertimbangan besarnya alokasi sektor tersebut. Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan perbedaan yang signifikan Pengeluaran Sektor Pertanian pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Total Penerimaan Daerah (TPED) memberikan pengaruh signifikan terhadap Pengeluaran Sektor Pertanian (PESPER) dan memiliki respon positif serta respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian (PTKP) memiliki respon yang tidak elastis terhadap pengeluaran sektor pertanian baik jangka pendek maupun jangka panjang. Meningkatnya total penerimaan daerah (TPED) signifikan dan memiliki respon yang elastis terhadap meningkatnya pengeluaran sektor pertanian (PESPER). Berkaitan dengan hubungan jumlah Pengeluaran Rutin Daerah (PERDA) dan Pengeluaran Sektor Pertanian (PESPER), harus ada kebijakan dari pemerintah daerah untuk proporsional dalam pengeluaran rutin maupun pembangunan agar
12 103 tidak terjadi gap alokasi sektor terutama sektor pertanian. Dari hasil analisis alokasi anggaran APBD menunjukan bahwa di Provinsi Riau baik sebelum maupun sesudah desentralisasi fiskal ( ) dan ( ) alokasi pengeluaran sektor pertanian tidak ada perubahan yang signifikan. Padahal kenyataan riil sektor menunjukkan bahwa sektor pertanian harus mendapatkan penanganan yang optimal guna meningkatkan perekonomian daerah, terutama dalam hal alokasi anggaran dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dan produksi Pengeluaran Sektor Produksi Non Pertanian Total Penerimaan Daerah (TPED), berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah Pengeluaran Sektor Non Pertanian (PESNPER). Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Non Pertanian (PTKNP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Pembangunan Sektor Non Pertanian. Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan perbedaan yang signifikan Pengeluaran Sektor Non Pertanian pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Total penerimaan daerah menjadi bahan pertimbangan strategis dalam kaitannya pengalokasian terhadap sektor non pertanian, yang berarti kebijakan pengalokasian sektor non pertanian harus mampu memberikan pertumbuhan yang signifikan terhadap sektor pertanian, sehingga kedua sektor ini mampu berjalan dengan baik. Jumlah pengeluaran tahun sebelumnya (LPESNPER) berpengaruh nyata terhadap Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian. Total Pendapatan Daerah (TPED) signifikan terhadap pengeluaran sektor non pertanian (PESNPER) dan memiliki respon yang elastis dalam jangka pendek
13 104 maupun jangka panjang serta hubungan yang positif. Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Non Pertanian (PTKNP) tidak elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap PESNPER. Hal ini menunjukan bahwa pengeluaran sektor non pertanian sangat dipengaruhi oleh besarnya Total Penerimaan Daerah (TPED), sementara Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Non Pertanian (PTKNP) berpengaruh positif namun tidak signifikan Pengeluaran Infrastruktur Total Pendapatan Daerah (TPED) signifikan terhadap pengeluaran sektor infrastruktur (PEINF) dan memiliki respon yang elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang serta hubungan yang positif. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memiliki respon yang elastis dalam jangka panjang, dan berbeda halnya dengan LWIL tidak elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap pengeluaran infrastruktur. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi TPED, PDRB dan LWIL akan berdampak terhadap peningkatan alokasi fiskal pengeluaran infrastuktur, sebaliknya semakin rendah TPED, PDRB dan LWIL akan berdampak negatif terhadap pengeluaran infrastruktur. Berdasarkan hasil analisis di atas, guna memacu pertumbuhan ekonomi daerah, maka pemerintah daerah melalui mekanisme pengajuan APBD harus mempertimbangkan dengan baik terhadap pengeluaran infrastruktur. Kenyataan menunjukkan bahwa Provinsi Riau memiliki keterhambatan laju pertumbuhan ekonominya karena minimnya ketersediaan infrastruktur daerah khususnya transportasi (jalan). Hal ini berpengaruh secara operasional terhadap distribusi sumberdaya pertanian maupun non pertanian, sehingga tingkat mobilisasi
14 105 ekonomi dan teknis mengalami keterhambatan, terutama sektor pertanian. Alokasi dana APBD harus mampu meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang mampu diakses oleh publik dengan merata Pengeluaran Pelayanan Sosial Pendapatan Asli Daerah (PAD), Jumlah Penduduk (POP), Jumlah Desa dan Kelurahan (JDEKE), Pengeluaran pemerintah bidang pendidikan (PDDK) dan kesehatan (KSHT) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Pelayanan Sosial (PEPSO). Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan ada perbedaan yang signifikan Pengeluaran Pelayanan Sosial pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Pengeluaran LPEPSO tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran sektor pelayanan sosial Pengeluaran Pelayanan Umum Meningkatnya jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) nyata berpengaruh terhadap meningkatnya pengeluaran sektor pelayanan umum (PEPUM), memiliki respon yang tidak elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SAPBDTS) berpengaruh positif terhadap pengeluaran sektor pelayanan umum dan tidak elastis. Hasil estimasi di atas menunjukkan bahwa bahwa faktor yang utama menentukan pengeluaran fiskal daerah baik rutin maupun sektor-sektor pembangunan adalah jumlah penduduk, pengeluaran bidang pendidikan dan kesehatan dan penerimaan daerah itu sendiri. Peningkatan jumlah pengeluaran rutin gaji juga meningkat signifikan setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal dimana gaji pemerintah yang masuk pada anggaran rutin pusat kini dibebankan
15 106 pada anggaran rutin daerah. Faktor luas wilayah dan kegiatan perekonomian juga berpengaruh positif terhadap pengeluaran pembangunan. Berbagai kajian sejalan dengan temuan penelitian ini yaitu besarnya belanja rutin tergantung dari jumlah penduduk, total pengeluaran pemerintah, jumlah pendapatan. Sedangkan belanja pembangunan terutama tergantung pada jumlah penerimaan pemerintah (Azis, 1984 ; Hanani, 2000; Brodjonegoro dkk, 2000) Keragaan Perekonomian Daerah Keragaan perekonomian daerah ditunjukkan oleh, Investasi Daerah (INVD), Ekspor Daerah (EXPRD), Impor Daerah (IMPRD), Produksi Sektor Pertanian (PRSP) dan Produksi Sektor Non Pertanian (PRSNP) Investasi Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Upah Minimum Regional (UMR) berpengaruh negatif terhadap Investasi (INVD), sebaliknya Retribusi Daerah (RETRD) berpengaruh positif terhadap investasi daerah. Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan terjadi penurunan setelah desentralisasi fiskal terhadap Investasi daerah (INVD). Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat Retribusi Daerah (RETRD) berhubungan negatif terhadap Investasi Daerah (INVD). Jika retribusi daerah meningkat, maka akan mengurangi tingkat investasi daerah, sebaliknya jika retribusi daerah menurun, membuat kondisi kondusif bagi investasi daerah. Sementara UMR dan PAD berdampak positif dan signifikan terhadap investasi daerah namun memiliki respon tidak elastis pada jangka pendek namun elastis pada jangka panjang terhadap Investasi Daerah (INVD).
16 107 Tabel 13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Daerah, Ekspor Daerah, Impor Daerah, Peroduksi Sektor Pertanian dan Produksi Sektor non Pertanian Model Investasi Daerah (INVD) Ekspor Daerah (EXPRD) Impor Daerah (IMPRD) Produksi Sektor Pertanian (PRSP) Produksi Sektor non Pertanian (PRSNP) Variabel Parameter Estimasi Elastisitas Prob> T Kepatutan Statistik SR LR Upah Minimum Regional (UMR) Pendapatan Asli Daerah (PAD) R 2 =0.888 Retribusi Daerah (RETRD) F hit =2.23 Dummy Otonomi (DDF) DW = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) R 2 =0.967 Exchange Rate (EXR) F hit =543.3 Lag (EXPRD) DW = 1.29 PDRB R 2 =0.712 Ekspor Daerah (EXPRD) F hit =47.75 Lag IMPRD DW = UPSP R 2 =0.548 Populasi (POP) F hit =20.67 Dummy Otonomi (DDF) DW = 1.37 UPSNP (Upah Sektor non Pertanian) R 2 = Total Pengeluaran Sektoral (TPSEK) F hit = Dummy Otonomi (DDF) DW = Hubungan yang signifikan antara investasi daerah dan pengeluaran pembangunan sektor ekonomi sejalan dengan studi Lin dan Liu (2000) yang mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah tidak hanya mempengaruhi sisi permintaan agregat melalui mekanisme konsumsi pemerintah (G) tetapi juga mempengaruhi sisi produksi melalui pembentukan modal dengan pilihan-pilihan infrastruktur dan alokasi pembiayaan sektor produksi yang lebih produktif Ekspor Daerah Ekspor daerah merupakan salah satu sumber devisa daerah. Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap Ekspor Daerah (EXPRD). PDRB berpengaruh signifikan terhadap Ekspor Daerah (EXPRD) namun memiliki respon tidak elastis baik pada jangka
17 108 pendek maupun jangka panjang serta memiliki hubungan positif. Semakin meningkat nilai PDRB akan mampu meningkatkan jumlah ekspor daerah, terutama dari aspek produksi sektor pertanian dan non pertanian (produksi sektoral) Impor Daerah PDRB, nilai ekspor daerah (EXPRD) bertanda positif dan berpengaruh signifikan terhadap Impor Daerah (IMPRD). PDRB memiliki respon yang elastis dalam jangka panjang, hal ini menunjukkan bahwa PDRB yang di dalamnya ada total produksi sektoral memberikan pengaruh signifikan terhadap tingkat Impor daerah, semakin meningkat nilai produksi sektoral maka akan mangurangi tingkat impor, bahkan memiliki kecendrungan untuk ekspor Produksi Sektor Pertanian Upah Tenaga Kerja Sektor Pertanian (UPSP), yang menjadi variabel penjelas untuk Produksi Sektor Pertanian (PRSP) menunjukkan pengaruh negatif sedangkan populasi menunjukkan pengaruh yang positif terhadap PRSP. Sementara populasi berpengaruh signifikan terhadap produksi sektor pertanian dan memiliki respon elastis dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar populasi daerah terhadap sektor pertanian akan mampu meningkatkan jumlah produksi sektor pertanian dalam jangka panjang Produksi Sektor non Pertanian Upah Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian (UPSNP), Total Pengeluaran Sektoral yang menjadi variabel penjelas untuk Produksi Sektor Non Pertanian
18 109 (PRSNP) menunjukkan pengaruh positif. Sedangkan pengeluaran sektor perdagangan berpengaruh negatif. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa peningkatan tingkat upah akan meningkatkan produktifitas sektor non pertanian begitu juga pengeluaran pemerintah pada sektor ini. Sedangkan DDF yang bertanda negatif mengindikasikan ada penurunan produksi sektor non pertanian setelah desentralisasi fiskal Tingkat Kemiskinan Tingkat kemiskinan digambarkan dengan melihat Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan (MISKT) dan Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan. Adapun Jumlah penduduk miskin (MISTOT) ditunjukkan dengan penjumlahan MISKT dan MISDS Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan Dana Alakosi Umum (DAU), Tingkat Upah (UPSNP) dan Penyerapan Tenaga Kerja (PTKNP) serta DDF berpengaruh negatif terhadap Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan (MISKT) sedangkan POP dan Pengeluaran Sosial dan Umum bernilai positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di perkotaan dapat berkurang dengan peningkatan Tingkat Upah (UPSNP) dan peningkatan penyerapan tenaga kerja (PTKNP). Pembukaan lapangan kerja di perkotaan dan pemberian upah yang layak akan mengurangi beban kemiskinan di perkotaan.
19 Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE) dan Populasi signifikan terhadap pengeluaran sektor infrastruktur (PEINF) dengan hubungan yang positif. Sedangkan Bagi Hasil Pajak Daerah (BHPJSDA), DAU dan Penyerapan Tenaga Kerja (PTKP) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap MISDS. Tabel 14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan dan Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan Model Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan (MISKT) Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan (MISDS) Variabel Parameter Estimasi Elastisitas SR LR Prob> T Kepatutan Statistik Dana Alokasi Umum (DAU) R 2 = Populasi (POP) F hit =92.60 Upah Sektor non Pertanian (UPSNP) DW = Pengeluaran Sektor Umum (PEPSU) Penyerapan Tenaga Kerja non Pertanian (PTKNP) Dummy Otonomi (DDF) Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE) Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (BHPJSDA) R 2 =0.981 Dana Alokasi Umum (DAU) Populasi (POP) F hit = Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian (PTKP) DW = Dummy Otonomi (DDF) Hal ini menunjukan bahwa meningkatnya BHPJSDA, DAU dan PTKP akan berdampak terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan Berdasarkan hasil analisis di atas, guna mengurangi tingkat kemiskinan, maka pemerintah daerah harus membuka lapangan kerja seluas-luasnya baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal ini akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
III. METODOLOGI PENELITIAN
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Di dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi daerah seluas-luasnya,
Lebih terperinciDAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU. The Impact of Fiscal Policy on Performance of Agriculture in Riau Province
Jurnal Dinamika Pertanian Volume XXX Nomor 3 Desember 2015 (233 248) ISSN 0215-2525 DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU The Impact of Fiscal Policy on Performance
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data 13 kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005. Data sekunder yang
Lebih terperinciVII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH
VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami beberapa kali modifikasi, karena ditemukan beberapa
Lebih terperinci5 HASIL DAN PEMBAHASAN
75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain
Lebih terperinciDaftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1
Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5
Lebih terperinciAnalisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana
Lebih terperinciBAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH
BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Pengelolaan Pendapatan Daerah Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara bahwa Keuangan Daerah
Lebih terperinciVIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian
205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series
III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Data time series merupakan data
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau dan banyak provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, kecamatan, kelurahan dan dibagi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era reformasi telah memberikan dampak yang besar terhadap perubahan di seluruh aspek pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang Nomor
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta dan Kementrian Keuangan. Data yang
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Otonomi daerah yang berarti bahwa daerah memiliki hak penuh dalam mengurus rumah tangganya sendiri
Lebih terperinciBAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH
BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 5.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah Dalam pengelolaan anggaran pendapatan daerah harus diperhatikan upaya untuk peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah
Lebih terperinciBAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH
BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub sistem pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan
Lebih terperinciBAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang
BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan diberlakukannya sistem otonomi daerah di Indonesia, pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengelola sendiri pengelolaan pemerintahannya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang telah merasakan dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong
Lebih terperinciBAB III. METODE PENELITIAN
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh dan Kementrian Keuangan Republik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam
V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun
Lebih terperinciBAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN
BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011-2015 3.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah. Implementasi otonomi daerah menuntut terciptanya performa keuangan daerah yang lebih baik. Namun pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan kewajiban setiap orang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pembangunan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah Negara yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pembangunan Nasional Indonesia
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995 : 16), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian
Lebih terperinci3 METODOLOGI PENELITIAN
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data APBD Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia tahun 2005-2009 yang diperoleh dari Dirjen Perimbangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan perbaikan yang secara terus menerus menuju pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki
Lebih terperinciVI. KESIMPULAN DAN SARAN
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai peranan investasi pemerintah total dan menurut jenis yang dibelanjakan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan
Lebih terperinciBAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH
BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 5.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah Di sisi penerimaan daerah, dengan berbagai upaya untuk peningkatan pendapatan asli daerah terus dilanjutkan, PAD diharapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional yang dilakukan oleh bangsa Indonesia merupakan upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara secara keseluruhan.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang yang masih memiliki masalah pengangguran dan kemiskinan. Telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS 2.1.1 Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Ekonomi, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum. Kemudian, akan menjabarkan penelitian
Lebih terperinciV. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk
V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistim pemerintahan daerah hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia di dalam pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang berupaya meningkatkan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup ke arah yang lebih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Nomor No.12 tahun 2008 (revisi UU no.32 Tahun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Nomor No.12 tahun 2008 (revisi UU no.32 Tahun 2004) telah memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan
Lebih terperinciBAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan
BAB I 1.1 Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan undang undang membawa konsekuensi tersendiri bagi daerah untuk dapat melaksanakan pembangunan di segala bidang,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ketentuan umum UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu asas pembangunan daerah adalah desentralisasi. Menurut ketentuan umum UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi yaitu penyerahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Guna menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan sumber daya lainnya secara sistematis dan akuntabel diperlukan suatu rencana keuangan yang andal
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil output yang dibentuk oleh berbagai sektor ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Barat.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Barat. 5.1.1. Perkembangan Pajak Daerah (PD). Untuk melihat atau memprediksi perkembangan pajak daerah pada masa yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk menganalisis pengaruh keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Judul Peneliti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU)
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa Barat berdasarkan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Kota Serang menjadi Pusat pemerintahannya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian
Lebih terperinciBAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN
BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang
BAB I PENDAHULIAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat. Ini dapat dibuktikan dengan jelas dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak bergulirnya era reformasi pasca runtuhnya tembok kekuasaan pemerintahan orde baru. Dalam perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan pusat kegiatan perekonomian, agar kegiatan sektor riil meningkat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kota Bandung merupakan ibu kota Jawa Barat, tentunya Kota Bandung merupakan pusat kegiatan perekonomian, agar kegiatan sektor riil meningkat maka sudah
Lebih terperinciBAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran
Lebih terperinciV. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN 5.1. Analisis Umum Pendugaan Model Dalam proses spesifikasi, model yang digunakan dalam penelitian ini mengalami beberapa modifikasi karena
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah ini terkandung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran
Lebih terperinciRumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian Fiskal adalah:
III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode Analisis 3.1.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan
Lebih terperinciIV. KONDISI FISKAL PEMERINTAH DAERAH
IV. KONDISI FISKAL PEMERINTAH DAERAH 4.1. Kondisi Penerimaan Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, penerimaan pemerintah daerah terdiri atas: (1) pendapatan asli daerah, (2) dana
Lebih terperinciPertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran
BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar yang dilakukan pada berbagai program sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. landasan hukum bagi yang dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Salah satu ketetapan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001 memasuki zaman baru otonomi daerah telah diberlakukan. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun
Lebih terperinciANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H
ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H14104008 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
Lebih terperinci