BAB II KERANGKA TEORI. Sejak periode pasca Perang Dunia II. Kata Policy mengandung makna kebijakan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KERANGKA TEORI. Sejak periode pasca Perang Dunia II. Kata Policy mengandung makna kebijakan"

Transkripsi

1 BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Kebijakan Publik Makna modern dari gagasan kebijakan dalam bahasa Inggris adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik (Wilson, 1887). Sejak periode pasca Perang Dunia II. Kata Policy mengandung makna kebijakan sebagai sebuah rationale, sebuah manifestasi dari penilaiaan penuh pertimbangan. Misalnya, bayangkan bagaimana jika para politisi mengakui bahwa mereka tidak punya kebijakan tentang persoalan x? Sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefenisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan (Parson, 2008: 14-17). Sedangkan kata publik secara terminologi mengandung arti sekelompok orang atau masyarakat dengan kepentingan tertentu. Menurut Wayne Parson publik adalah aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama (Parson, 2008: 3). Hal ini berarti bahwa masyarakat atau publik datang dengan latar belakang kepentingan yang diwujudkan dalam bentuk tuntutan (demand) dan dukungan (support). Intervensi terhadap publik oleh pemerintah ataupun oleh aturan sosialnya mendorong terjadinya perubahan-perubahan terhadap publik melalui usaha-usaha yang telah direncanakan. Terlepas dari perubahan tersebut membawa dampak yang bersifat baik maupun dampak yang bersifat buruk.

2 Usaha pemerintah untuk merespon kepentingan publik ini adalah yang disebut dengan kebijakan publik. R. Dye (1995) mendefenisikan kebijakan publik sebagai what government do, why they do it, and what different it makes. Harold Laswell dan Abraham Kaplan (1970) mendefenisikan sebagai a project program of goals, values, and practices. David Easton (1965) mendefenisikan sebagai the impact of government activity (Nugroho: 2006, 23-24). Berdasarkan defenisi dari para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa, kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. dikerjakan atau tidak dikerjakan merupakan keputusan, karena dilakukan atau tidak dilakukan tetap akan memberikan dampak. Menurut David Easton, dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang berkembang di dalam masyarakat, system politik dapat menempuhnya melalui dua cara. Pertama, membuat keputusankeputusan sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat. Kedua, melakukan politisasi, yaitu membangun nilai-nilai yang ada di dalam pemerintahan (Marijan, 2010: 6). Membuat keputusan atau kebijakan sesuai dengan keinginan masyarakat bukanlah hal yag mudah. Kepentingan masyarakat tidak tunggal. Pemerintah sebelum merumuskan kebijakan perlu untuk memetakan kepentingan publik yang berbeda-beda (public mapping). Dengan pemetaan ini bentuk perhatian publik seperti kepentingan, aspirasi, masalah-masalah masyarakat, issu yang berkembang bisa dikenali. Pemetaan kepentingan ini akan sangat berguna karena pemerintah akan mengetahui kepentingan yang mana yang paling mendesak dan paling mewakili kepentingan dari masyarakat, sehingga kebijakan benar-benar

3 mengandung manfaat yang paling besar kepada masyarakat. Dengan mengenali rakyatnya, pemerintah akan mengerti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat. 2.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik Tahap-tahap atau proses pembuatan kebijakan dapat divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Berikut gambar dari tahapan dalam proses pembuatan kebijakan publik: Sumber: (Dunn, 2003: 25)

4 1. Perumusan Masalah Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari defenisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda setting). Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru. 2. Peramalan Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa depan yang plausible, potensial dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengendali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan. 3. Rekomendasi Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil

5 kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam membuat pilihan, dan menentukan pertanggungjawaban administrative bagi implementasi kebijakan. 4. Pemantauan Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil kebijakan dalam tahap implementasi kebijakan. Banyak badan secara teratur memantau hasil dan dampak kebijakan dengan menggunakan berbagai indikator kebijakan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, kesejahteraan, kriminalitas, dan ilmu dan teknologi. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahapan kebijakan. 5. Evaluasi Evaluasi membuahkan penngetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan benarbenar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan; tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-ninlai yang

6 mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah (Dunn, 2003: 25-29). 2.3 Implementasi Kebijakan Publik Konsep Implementasi Kebijakan Publik Studi kebijakan publik terdiri dari dua bagian besar yaitu analisis kebijakan publik dan proses kebijakan publik. Salah satu bagian dari proses kebijakan publik adalah implementasi kebijakan publik. Bagian analisis kebijakan publik biasanya mengkaji hubungan antara suatu kebijakan dengan masalah, isi dari kebijakan, mengkaji apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pembuat kebijakan, serta konsekuensi yang akan tercipta (Output) dari suatu kebijakan. Analisis kebijakan pada dasarnya merupakan bentuk perekayasaan dan perbaikan terhadap suatu kebijakan (Parson, 2008: 19-31). Pada bagian proses kebijakan publik, kebijakan publik dipandang sebagai sebuah proses. Artinya, kebijakan publik akan dilihat berdasarkan tingkatan praktisnya, yaitu bagaimana kebijakan dibuat, dimplementasikan dan pada akhirnya kebijakan harus melakukan perubahan-perubahan tertentu. Banyak pakar yang menawarkan bentuk dari proses kebijakan ini, tetapi dari sebagian banyak tawaran itu Jones menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua bentuk proses itu dapat dikelompokkan menjadi empat tahap, yaitu: 1. Tahap bagaimana masalah-masalah yang ada bisa masuk ke ruang publik 2. Tahap bagaimana pemerintah melakukan tindakan-tindakan konkret menyikapi masalah tersebut.

7 3. Tahap dimana tindakan-tindakan pemerintah itu masuk ke masalah di lapangan. 4. Dan kemudian tahap dimana kebijakan kembali ke pemerintah agar ditinjau kembali dan diadakan perubahan-perubahan yang dianggap mungkin (Putra, 2003:26-32). Penggunaan istilah implementasi pertama sekali digunakan oleh Harold Lawswell (1956). Sebagai ilmuwan yang pertama sekali mengembangkan studi tentang kebijakan publik, Laswell menggagas suatu pendekatan yang ia sebut sebagai pendekatan proses (policy process approach). Menurutnya, agar ilmuwan memperoleh pemahaman yang baik tentang apa sesungguhnya kebijakan publik, maka kebijakan publik harus diurai menjadi beberapa bagian sebagai tahapantahapan, yaitu: agenda-setting, formulasi, legitimasi, implementasi, evaluasi, reformulasi dan terminasi. Dari siklus tersebut terlihat secara jelas bahwa implementasi hanyalah bagian atau salah satu tahap dari proses besar bagaimana suatu kebijakan publik dirumuskan (Purwanto, 2012:17). Istilah implementasi oleh Laswell digunakan hanya untuk menunjukkan bahwa implementasi merupakan salah satu tahapan dalam proses besar kebijakan publik, Laswell belum memberi penekanan secara khusus tentang arti pentingnya implementasi. Tetapi dalam perkembangannya kemudian istilah implementasi kemudian menjadi suatu konsep yang mulai dikenal dalam disipilin ilmu politik, ilmu administrasi publik dan lebih khusus lagi dalam ilmu kebijakan publik yang mulai dikembangkan. Dalam perkembangan studi implementasi kebijakan publik

8 selanjutnya Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1973) merupakan dua ilmuwan pertama yang secara eksplisit menggunakan konsep implemetasi untuk menjelaskan fenomena kegagalan suatu kebijakan dalam mencapai sasarannya. Hal inilah yang menjadikan kedua ahli ini layak diberikan kredit besar sebagai pioneer dalam pengembangan studi implementasi kebijakan publik. Menurut mereka, imlementasi dimaknai dengan beberapa kata kunci sebagai berikut: untuk menjalankan kebijakan (to carry out), untuk memenuhi janji-janji sebagaimana dinyatakan dalam dokumen kebijakan (to fulfill), untuk menghasilkan output sebagaimana dinyatakan dalam tujuan kebijakan (to produce), untuk menyelesaikan misi yang harus diwujudkan dalam tujuan kebijakan (to complete) (Purwanto, 2012:17-20). Setelah dirintis oleh dua sarjana ini, konsep implementasi kemudian mulai dikenal luas dan mulai di dalami oleh para ilmuwan kebijakan publik. Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2006:119) mengemukakan bahwa implementtasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Mazmanian dan Sabatier mengemukakan: implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executives oders or court decision. Ideally that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and, in a variety of ways, structures the implementation process.

9 Berdasarkan pengertian tersebut implementasi dapat diartikan sebagai pelaksanaan keputusan dasar yang biasanya dituangkan dalam bentuk undangundang, keputusan pemerintah/eksekutif ataupun keputusan badan peradilan. Biasanya keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang dihadapi, tuntutan dalam berbagai bentuk yang ingin dicapai serta struktur dari proses implementasi. Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam keputusankeputusan yang bersifat khusus. Sementara itu, Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-idividu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusankeputusan kebijakan (Winarno, 2004:102). Agus Purwanto (2012) mengemukakan bahwa implementasi intinya adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan diharapkan akan muncul manakala policy output dapat diterima dan dimanfaatkan dengan

10 baik oleh kelompok sasaran sehingga dalam waktu jangka panjang hasil kebijakan akan mampu diwujudkan (Purwanto, 2012:21). Oleh karena itu, sebuah program kebijakan harus diimplementasikan magar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Implementasi merupakan tahapan atau serangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia belaka. Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat, karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan (Nugroho, 2006:119) Tahapan Dalam Implementasi Kebijakan Publik Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni: 1. tahapan pengesahan peraturan perundangan 2. pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana 3. kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan 4. dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak 5. dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana

11 6. upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan Berikut ini merupakan tahapan-tahapan operasional implementasi sebuah kebijakan: 1. Tahapan intepretasi. Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang bersifat abstrak dan sangat umum ke dalam kebijakan atau tindakan yang lebih bersifat manajerial dan operasional. Dalam Nugroho (2006) disebutkan bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langka yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijkan publik tersebut. Kebijakan abstrak biasanya tertuang dalam bentuk peraturan perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif, bisa berbentuk perda ataupun undang-undang. Kebijakan manajerial biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif yang bisa berupa peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan operasional berupa keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa keputusan/peraturan menteri ataupun keputusan kepala dinas terkait. Kegiatan dalam tahap ini tidak hanya berupa proses penjabaran dari kebijakan abstrak ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa proses komunikasi dan sosialisasi kebijakan tersebut baik yang berbentuk abstrak maupun operasional kepada para pemangku kepentingan. 2. Tahapan pengorganisasian. Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan pelaksana kebijakan (policy implementor) yang setidaknya dapat

12 diidentifikasikan sebagai berikut: instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah); sektor swasta; LSM maupun komponen masyarakat. Setelah pelaksana kebijakan ditetapkan; maka dilakukan penentuan prosedur tetap kebijakan yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi pelaksana dan sebagai pencegah terjadinya kesalahpahaman saat para pelaksana tersebut menghadapi masalah. Prosedur tetap tersebut terdiri atas prosedur operasi standar (SOP) atau standar pelayanan minimal (SPM). Langkah berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya dan sumber pembiayaan. Sumber pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah (APBN/APBD) maupun sektor lain (swasta atau masyarakat). Selain itu juga diperlukan penentuan peralatan dan fasilitas yang diperlukan, sebab peralatan tersebut akan berperan penting dalam menentukan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan. Langkah selanjutnya penetapan manajemen pelaksana kebijakan diwujudkan dalam penentuan pola kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan, dalam hal ini penentuan focal point pelaksana kebijakan. Setelah itu, jadwal pelaksanaan implementasi kebijakan segera disusun untuk memperjelas hitungan waktu dan sebagai salah satu alat penentu efisiensi implementasi sebuah kebijakan. 3. Tahapan implikasi. Tindakan dalam tahap ini adalah perwujudan masingmasing tahapan yang telah dilaksanakan sebelumnya.

13 2.3.3 Model Implementasi Kebijakan Publik Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn Gambar 2.2 Model implementasi kebijakan Meter dan Horn Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu model dasar yang mempunyai enam variabel yang membentuk ikatan (lingkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Meter dan Horn (1975) dalam Wibawa (1994:19) merumuskan sebuah abstraksi yang memperlihatkan hubungan berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan. Model ini seperti yang diungkapkan oleh Van Meter dan Van Horn, tidak hanya menentukan hubungan antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingankepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas. Selain itu dengan model ini indikator-indikator yang memuaskan dapat dibentuk dan data yang tepat dapat dikumpulkan. Dengan menggunakan pendekatan masalah seperti ini, dalam pendangan Van Meter dan Van Horn, kita

14 mempunyai harapan yang besar untuk menguraikan proses-proses dengan cara melihat bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dilaksanakan dibandingkan hanya sekedar menghubungkan variabel bebas dan variabel terikat dalam suatu cara yang semena-mena. Variabel-variabel tersebut dijelaskan Van Meter dan Van Horn sebagai berikut: 1. Standar dan tujuan kebijakan Suatu kebijakan tentu telah menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakan. Kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut. Karena dijadikan sebagai kriteria penilaian, maka standar dan sasaran dirmuskan secara spesifik dan kongkret (Wibawa, 1994:20). Menurut Van Meter dan Van Horn, identifikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauhmana ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah terealisasikan. Ukuran-ukuran dasar (standar kebijakan) dan tujuan berguna di dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Dalam melakukan studi implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentiikasi dan diukur karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbangkan. Dalam menentukan ukuran-ukuran dasar dari sasaransasaran, kita dapat menggunakan pernyataan-pernyataan dari para pembuat keputusan sebagaimana direfleksikan dalam banyak dokumen seperti regulasi-

15 regulasi dan garis-garis pedoman program yang menyatakan kriteria untuk evaluasi pencapaian kebijakan. Akan tetapi, dalam beberapa hal ukuran-ukuran dasar dan sasaran-sasaran kebijakan harus dideduksikan oleh peneliti perorangan dan pilihan ukuran-ukuran pencapaian bergantung pada tujuan-tujuan yang didukung oleh penelitian (Winarno, 2004: ). 2. Sumber daya Di samping standar dan tujuan kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber daya yang tersedia. Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya, baik berupa dana maupun perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena sangat menunjuang dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Dalam praktek implementasi kebijakan, kita seringkali mendengar para pejabat maupun pelaksana mengatakan bahwa kita tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai program-program yang telah direncakan. Dengan demikian, besar kecilnya dana akan menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan (Winarno, 2004:112). 3. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi Kejalasan standar dan sasaran tidak menjamin implementasi yang efektif apabila tidak dibarengi dengan adanya komunikasi antar organisasi dan aktivitas pengukuhan. Semua pelaksana harus memahami apa yang diidealkan oleh kebijakan yang implementasinya menjadi tanggungjawab mereka. Hanya saja

16 komunikasi adalah proses yang rumit, yang sangat potensial untuk terjadi penyimpangan. Hal ini menyangkut persoalan kewenangan dan kepemimpinan. Organisasi atasan (superior) mestinya mampu mengkondisikan organisasi bawahan atau pelaksana untuk memiliki idealita sebagaimana yang dikehendaki oleh kebijakan (Wibawa, 2004: 20). Implementasi akan berjalan efektif bila standar dan tujuan dipahami oleh individu yang bertanggung jawab dalam pencapaian kebijakan. Dengan demikian, tujuan dan standar yang jelas, komunikasi yang tepat dengan pelaksana, konsistensi dan keseragaman tujuan dan standar yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi sangat perlu diperhatikan. Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bawah dalam suatu organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi ataupun sumber yang sama memberikan interpretasi yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau bahkan bertentangan, maka para pelaksana kebijakan akan mendapatkan kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud dari kebijakan. Oleh karena itu, menurut Van Meter dan Van Horn prospek-prospek tentang implementasi yang efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan yang dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsistensi dalam mengkomunikasikan ukuran-ukuran dan tujuan tersebut.

17 Menurut Van Meter dan Van Horn, implementasi yang berhasil sering kali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini akan membantu atasan mendorong bawahan (pelaksana) untuk bertindak dalam suatu cara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan. Para pejabat dalam organisasi mempunyai pengaruh dan kekuasaan personil dikarenakan posisi hierarkhis mereka. Pengaruh dan kekuasaan itu antara lain dalam hal, rekrutmen dan seleksi, jenjang karir bawahan, kontrol atas alokasi anggaran, mempengaruhi perilaku bawahan serta mempunyai kewenangan dalam menanggapi pencapaian kebijakan. Hubungan-hubungan antar organisasi maupun antar pemerintah dalam kegiatan pelaksanaan terlihat dalam dua tipe. Pertama, nasihat dan bantuan teknis yang dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat tinggi dapat membantu para bawahan menginterpretasikan peraturan-peraturan dan garis-garis pedoman pemerintah, menstrukturkan tanggapan-tanggapan terhadap inisiatif-inisiatif dan memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan yang berguna dalam melaksanakan kebijakan. Kedua, atasan dapat menyandarkan pada berbagai sanksi, baik positif maupun negatif. Menurut Van Meter dan Van Horn, kita dapat menyelidiki aspek pelaksanaan ini dengan menunjuk kepada perbedaan antara kekuasaan normatif, renumeratif, dan keuasaan koersif (Winarno, 2004: ). 4. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor Menurut Ripley (1973) struktur dari agen pelaksana, yang meliputi karakteristik, norma dan pola hubungan yang potensial maupun aktual sangat

18 berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi (Wibawa, 1994:20-21). Van Meter dan Van Horn menyatakan bahwa karakteristik dari badan pelaksana dilihat dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik, norma dan pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang memounyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari ciriciri struktur formal dari organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil mereka. Disamping itu, perhatian juga perlu ditujukan kepada ikatanikatan badan pelaksana dengan pemeran-pemeran serta dalam sistem penyampaian kebijakan (Winarno, 2004: 116). Menurut Van Meter dan Van Horn organisasi pelaksana memiliki enam variabel yang harus diperhatikan, yaitu: (1) kompetensi dan jumlah staf, (2) rentang dan derajat pengendalian, (3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5) derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi, dan (6) keterkaitan dengan pembuat kebijakan (Wibawa, 1994:21). 5. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik merupakan variabel selanjutnya yang diidentifikasi oleh Van Meter dan Van Horn. Sebagaimana dapat diambil inferensi logis dari bagan sistem kebijakan di depan, kondisi sosial, ekonomi dan politik juga berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan. Ini merupakan implikasi dari perspektif sistemik. Beberapa item pertanyaan yang berkaitan dengan variabel ini diantaranya adalah:

19 1. Apakah sumber daya ekonomi yang dimiliki organisasi pelaksana cukup memadai untuk mengejar efektivitas yang tinggi? 2. Bagaimana keadaan sosial-ekonomi dari masyarakat yang akan dipengaruhi kebijakan? 3. Apa opini publik yang dominan, dan bagaimana pendapat publik terhadap kebijakan? 4. Apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan? 5. Adakah kekuatan penentang? 6. Sejauh mana kelompok kepentingan dan swasta mendukung atau menentang kebijakan (Wibawa, 1994: 21)? 6. Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/implementor Kesemua variabel tadi membentuk sikap pelaksana terhadap kebijakan yang mereka implementasikan, untuk pada akhirnya menentukan seberapa tinggi kinerja kebijakannya. Kognisi, netralitas dan obyektivitas para individu pelaksana sangat berpengaruh bentuk respons mereka terhadap semua variabel tersebut. Wujud respons individu pelaksana menjadi penyebab dari berhasil dan gagalnya implementasi. Jika pelaksana tidak memahami tujuan kebijakan, lebih-lebih apabila sistem nilai yang mempengaruhi sikapnya berbeda dengan sistem nilai pembuat kebijakan maka implementasi tidak akan efektif. Hal yang sama juga terjadi bila loyalitas pelaksana kepada organsasi rendah (Wibawa, 1994: 21-22).

20 Model Grindle Implementasi kebijakan menurut Grindle (1980), ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual biaya telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program itu, yang dapat dilihat pada isi dan konteks kebijakannya. Isi kebijakan mencakup: (1) kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan, (2) tipe atau jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3) derajar perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) siapa pelaksana program?, dan (6) sumber daya yang dilibatkan. Demikian dengan konteks kebijakan juga mempengaruhi proses implementasi. Yang dimaksud oleh Grindle dengan konteks kebijakan adlaah: (1) kekuasaan kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga dan penguasa, dan (3) kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Intensitas keterlibatan para perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran dan para pelaksana program akan bercampur-baur mempengaruhi efektivitas implementasi. Hal ini searah dengan variabel kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn, dimana juga berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan (Wibawa, 1994: 22-25).

21 Gambar 2.3 Model implementasi kebijakan menurut Grindle Model Sebatier dan Mazmanian Menurut Mazmanian dan Sebatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah (tractability of the problems); (2) karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation); (3) variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation) (Subarsono, 2009:94). Variabel-variabel tersebut terlihat pada Gambar 2.4. Kerangka berpikir yang mereka tawarkan juga

22 mengarah pada dua persoalan mendasar yaitu, kebijakan dan lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini terkesan menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila pelaksanaannya mematuhi peraturan yang ada (Wibawa, 1994: 25). Gambar 2.4 Model implementasi menurut Sebatier dan Mazmanian Model George Edwards III Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy. Implemetasi kebijakan adalah tahap pembuatan

23 kebijakan antara pemebentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhuinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mempengaruhi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kabijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplemetasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijkan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan. Dalam kajian implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mangajukan dua buah pertanyaan, yaitu: prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Kedua, hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal? Menurut Edwards, terdapat empat faktos atau variable krusial dalam implementasi kebijakan publik. Factor-faktor atau variable tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, kecenderungankecenderungan atau tingkah laku dan struktur birokrasi (Winarno, 2004: ). a. Komunikasi Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehinggan akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran (Subarsono, 2009:90).

24 Aspek lain dari komunikasi menyangkut petunjuk-petunjuk pelaksanaan adalah persoalan konsistensi. Keputusan-keputusan yang bertentangan akan membingungkan dan manghalangi staf administrasi dan menghambat kemampuan mereka untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif. Sementara itu, ada banyak hal yang mendorong terjadinya komunikasi yang tidak konsisten dan menimbulkan dampak-dampak buruk bagi implementasi kebijakan. Beberapa hal yang dimaksud menyangkut transmisi, konsistensi, dan kejelasan. Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementassikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampkanya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan. Adapun hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintha-perintah implementasi yakni, pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan; informassi melewati berlapis-lapis hierarkhi birokrasi sehingga mempengaruhi tingkat efektivitas komunikasi kebijakan yang dijalankan; faktor penghambat terakhir adalah prespektif selektif dan ketidakmauan para pelaksana kebijakan untuk mengetahui prasyarat-prasyarat suatu kebijakan. Faktor kedua yang dikemukakan oleh Edwards III adalah kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka

25 petunjuk pelaksanaan tidak hanya diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaiaman suatu program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaiakan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interpretasi yang tidak salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal. Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Sesuatu yang sering dihambat oleh instruksi-instruksi yang sangat spesifik menyangkut implementasi kebijakan. Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Perintah-perintah implementasi yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Tindakan yang sangat longgar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan (Winarno, 2004: ). b. Sumber-sumber Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung

26 tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat merupakan factor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting meliputi: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemhkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan publik. c. Kecenderungan-kecenderungan Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan factor ketiga yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif, jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan semakin sulit. d. Strktur Birokrasi Birokrasi merupakan salah satu yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatakn kolektif, dalam rangka pemecahan masalah-masalah social dalam kehidupan modern. Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi yaitu prosedurprosedur kerja atau sering disebut standard operating procedures (SOP) dan

27 fragmentasi. Yang pertama, berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks dan tersebar. Yang kedua, berasal terutama dari tekanan-tekanan diluar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabatpejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi pemerintah. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan (Winarno, 2004: ). Gambar 2.5 Model implementasi menurut George Edward III Keterkaitan Antar Variabel dalam Implementasi Kebijakan Publik Pemahaman tentang proses implementasi adalah untuk mengidentifikaasi secara cermat apa sebenarnya faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan atau keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Dalam upaya mempermudah

28 identifikasi variabel-variabel tersebut, para ahli biasanya membedakan berbagai variabel dalam dua kelompok besar, yaitu variabel tergantung (dependent variable) dengan variabel bebas (independent variabel). Variabel tergantung yaitu kinerja implementasi kebijakan dan variabel bebas yaitu berbagai faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan. Kinerja implementasi kebijakan merupakan variabel pokok yang ingin dijelaskan oleh variabel-variebel lain. Kinerja kebijakan tersebut secara sederhana menggambarkan tingkat pencapaian tujuan kebijakan. Sementara itu variabel independen merupakan seluruh variabel yang diharapkan mampu menjelaskan derajat kinerja kebijakan tersebut. Variabel independen tersebut adalah keseluruhan faktor yang memiliki keterkaitan dengan proses implementasi suatu kebijakan dilakukan. Secara sederhana hubungan antar dua kelompok variabel dalam implementasi kebijakan digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.6 Hubungan antara variabel dependen dan independen dalam implementasi kebijakan Variabel Independen: X1 X2 X3 Variabel Dependen: Kinerja Implementasi Kebijakan Sumber: (Purwanto, 2012:67)

29 Namun hubungan antara variabel dependen dan variabel independen dalam realitas implementasi kebijakan tidak sesederhana sebaimana dalam Gambar 2. 6 di atas. Kompleksitas implementasi menyebabkan variabel-variabel independen sering kali tidak berpengaruh secara langsung, akan tetapi dapat melalui variabel antara (variable intervening) atau di dahului variabel yang muncul sebelum variabel bebas itu bekerja atau disebut sebagai antisendent variable. Gambaran bagaimana kompleksitas hubungan antar variabel tersebut dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.7 Peran variabel antara dan antiseden dalam model implementasi X a X i X 3 Y Keterangan: X a = Variabel antiseden X i = Variabel independen X 3 = Variabel intervening Y = Variabel dependen Sumber: (Purwanto, 2012:68) Variabel-Variabel yang Dianggap Relevan Mempengaruhi Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Studi implementasi telah melahirkan banyak publikasi yang berusaha untuk memahami fenomena implementasi, baik yang bersifat deskriptif maupun modelmodel kausalitas hubungan sebab akibat antara kinerja implementasi dan variabelvariabel yang mempengaruhinya (Purwanto, 2012:34). Dua perspektif awal dalam studi implementasi didasarkan pada pertanyaan sejauhmana implementasi terpisah

30 dari formulasi kebijakan yakni, apakah suatu kebijakan dibuat oleh Pusat dan diimplementasikan oleh Daerah (bersifat top-down) atau kebijakan tersebut dibuat dengan melibatkan aspirasi dari bawah termasuk yang akan menjadi para pelaksananya (bottom-up). Dalam perkembangan selanjutnyai para peneliti kebijakan menyadari bahwa dalam studi implementasi terdapat persoalan yang lebih luas yakni, bagaimana mengidentifikasi gambaran-gambaran dari suatu proses yang sangat kompleks, dari berbagai ruang dan waktu, serta berbagai aktor yang terlibat di dalamnya. Para penulis studi implementasi pun memiliki keragaman tanggapan atas kekompleksan variabel yang terlibat di dalamnya. Ada penulis yang cukup berani menyederhanakannya dengan mengurangi variabel-variabel tersebut, namun ada pula yang mencoba mengembangkan model studi implementasi dengan memperhitungkan seluruh variabel yang teridentifikasi dalam studi mereka. Oleh karenanya dalam Studi Implementasi pretensi untuk mengembangkan suatu teori implementasi yang bersifat umum (Grand Theory) yang dapat berlaku untuk semua kasus, di semua tempat dan waktu, hampir mustahil dicapai karena yang dikembangkan tak lebih hanya akan menjadi teori tindakan atau teori melaksanakan bukan teori Implementasi Kebijakan. Secara umum yang membuat perbedaan pendekatan dalam teori Implementasi ini berkaitan dengan; Pertama, keragaman isu-isu kebijakan atau jebis kebijakan. Isu dan jenis kebijakan yang berbeda menghendaki perbedaan pendekatan pula. da jenis kebijakan yang sejak awal diformulasikan sudah rumit

31 karena melibatkan banyak faktor dan banyak aktor, dan ada pula yang relatif mudah. Kebijakan yang cakupannya luas dan menghendaki perubahan yang relatif besar tentu cara implementasi dan tingkat kesulitannya akan berbeda dengan kebijakan yang lebih sederhana; Kedua, keragaman konteks kelembagaan, yang bisa meluas menyangkut pertanyaan sejauhmana generalisasi dapat diterapkan pada sistem politik dan konteks negara yang berbeda. Kebijakan yang sama dapat diimplementasikan dengan cara yang berbeda bergantung pada sistem politik serta kemampuan sistem administrasi negara yang bersangkutan ( Riant Nugroho juga mempunyai pendapat yang sama dalam hal model implementasi kebijakan ini. Menurut Rian Nugroho, setiap jenis kebijakan publik memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan yang diimplementasikan secara top-down dan ada juga yang dijalankan dengan cara bottom-up (Nugroho, 2006:135). Pendekatan top-down menggunakan logika berfikir dari atas kemudian melakukan pemetaan ke bawah untuk melihat keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan. Sedangkan, pendekatan bottom-up menekankan pentingnya memperhatikan dua aspek penting dalam implementasi suatu kebijakan, yaitu birokrat pada level bawah (street level bureaucrat) dan kelompok sasaran kebijakan (target group). Argument yang menjadi dasar pentingnya memperhatikan peran street level bureaucrat sangat terkait dengan posisinya dalam melakukan kegiatan merealisasikan keluaran kebijakan (apabila keluaran kebijakan berupa pelayanan) atau menyampaikan

32 keluaran kebijakan tersebut kepada kelompok sasaran (apabila keluaran kebijakan berupa hibah, bantuan, subsidi, dan lain-lain) (Purwanto, 2012:37-43). Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dikategorikan sebagai decentralized polices, yaitu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, namun pengimplementasiannya diserahkan pada masing-masing daerah (bersifat topdown). Dengan demikian model yang digunakan untuk melihat implementasi PP Nomor 41 Tahun 2007 sebaiknya juga menggunakan model implementasi dengan pendekatan top-down. Model-model yang diklasifikasikan sebagai model yang menggunakan pendekatan top-down antara lain, Model Nakamura dan Smallwood (1980), Edward III (1980), Grindle (1980), Van Meter dan Van Horn (1975) dan Model Mazmanian dan Sabatier (1983) (Purwanto, 2012:39-40). Model yang menggunakan pendekatan top-down ditandai dengan cara kerja model ini yang dimulai dengan memahami kebijakan dan kemudian melihat efektivitas pencapaian tujuan kebijakan tersebut di lapangan. Pendekatan top-down lebih tepat digunakan untuk menilai efektivitas implementasi suatu kebijakan, yaitu memastikan apakah tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan telah tercapai dilapangan atau tidak. Sabatier (1986) mengatakan, pendekatan top-down dilakukan oleh para peneliti dengan langkah sebagai berikut: they started with policy decision (ussualy statue) and examined the extent to which its legallymandated objectives were achieved over time and why (Purwanto, 2012:37-39). Pada umumnya tahapan kerja penelitian yang menggunakan pendekatan top-down dimulai dengan memilih kebijakan yang akan dikaji yang biasanya dalam bentuk regulasi/undang-undang.

33 Walaupun banyak model-model dalam implementasi kebijakan yang menggunakan pendekatan top-down dan setiap model menawarkan variabelvariabel yang mempunyai kesamaan juga perbedaan dengan model yang lain, namun dalam penelitian ini tidak semua model tersebut efektif digunakan. Variabel atau faktor-faktor yang mempengatuhhi kinerja implementasi yang digunakan juga tidak terfokus pada satu model saja. Model implementasi kebijakan yang ada tidak perlu diaplikasikan mentah-mentah, melainkan dapat disintesiskan sesuai dengan relevansi dan kebutuhan yang sesuai untuk melihat kinerja implementasi suatu kebijakan tertentu. Dengan memahami model-model tersebut, implementasi dapat dilihat lebih cermat, sehingga banyak persoalan dapat dianalisis secara komprehensif. Oleh karena itu, dalam melihat kinerja implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah ini, peneliti memilih beberapa variabel yang dianggap mempengaruhi, antara lain: 1. Karakteristik Isi Kebijakan/ Peraturan Pengoperasionalan Proses implementasi berangkat dari adanya suatu kebijakan atau program. Seperti yang sudah dijelaskan dalam bagian-bagian sebelumnya, suatu kebijakan atau program biasanya dituangkan dalam bentuk regulasi atau peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya suatu kebijakan atau program diformulasikan dengan misi untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu. Setiap undang-undang, keputusan peradilan atau perintah eksekutif ini kemudian akan menstrukturkan proses implementasi dengan cara menjabarkan tujuan-tujuan formal yang akan dicapainya. Tujuan-tujuan resmi yang dirumuskan secara rinci dan disusun secara

34 jelas sesuai dengan urutan kepentingannya memainkan peranan yang amat penting sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program, sebagai pedoman bagi pejabatpejabat pelaksana dan sumber dukungan bagi tujuan itu sendiri (Wahab, 2004:87). Kejelasan isi atau tujuan-tujuan kebijakan ini juga berarti bahwa isi kebijakan akan semakin mudah diimplementasikan karena implementor mudah memahami dan menterjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi atau penolakan dalam implementasi kebijakan. Karakteristik isi kebijakan atau peraturan pengoperasionalan tidak hanya mencakup kejelasan isi atau tujuan-tujuan dari kebijakan. Menurut Grindle (1980) salah satu dari dua variabel besar yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah isi kebijakan (content of policy). Variabel ini mencakup: (1) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran (target group) termuat dalam isi kebijakan; (2) Jenis dan manfaat yang diterima kelompok sasaran; (3) Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) Apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) Apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai (Subarsono, 2009: 93). Sabatier dan Mazmanian (1986) juga mempunyai variabel terkait karakteristik isi kebijakan/peraturan dalam salah satu dari variabel-variabel yang disebutkan mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu variabel struktur manajemen program yang tersermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan peraturan. Variabel ini sering disebut sebagai variabel daya dukung peraturan yang terdiri

35 dari: (1) kejelasan/ konsistensi tujuan/ sasaran; (2) teori kausal yang memadai; (3) sumber keuangan yang mencukupi; (4) integrasi organisasi pelaksana; (5) diskersi pelaksana; (6) rekrutmen dari pejabat pelaksana; dan (7) akses formal lembaga pelaksana ke organisasi lain (Wibawa, 1994:25-26). 2. Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor untuk bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel (Subarsono, 2009: 92). SOP seharusnya dapat menanggulangi keadaan-keadaan umum yang dihadapi oleh organisasi pulik. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga akan menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya akan menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program-program yang luwes mungkin

36 lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru dari pada birokrasi yang tidak flekksibel. (Winarno, 2004: ). Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar di antara beberapa organisasi. Akibatnya pelaksanaan implementasi akan terhambat terutama akan berpengaruh terhadap koordinasi. Badan-badan cenderung mempertahankan fungsi-fungsi mereka dengan alasan perbedaan prioritas dan menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal, penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakankebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Sehingga jika semakin besar koordinasi akan semakin berkurang kemungkinan implementasi untuk berhasil. 3. Koordinasi dan Komunikasi Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan yakni, transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Persyaratan pertama bagi implementasi yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusankeputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Tentu saja komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Akan tetapi, banyak hambatan-hambatan yang menghadang transmisi komunikasi-komunikasi pelaksanaan dan hambatan ini akan menghalangi pelaksanaan kebijakan (Winarno, 2004: 127).

37 Implementasi yang efektif juga membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga yang terkoordinasi. Hal ini sangat penting untuk menjaga konsistensi dari semua pelaksana kebijakan. Organisasi implementasi tidak tunggal, banyak aktor-aktor yang terlibat. Setiap aktor atau lembaga tersebut perlu dikoordinasi karena sering kali mereka terlihat kaku dengan prosedurprosedur yang rumit yang mengedepankan prioritas lembaga masing-masing. Oleh karena itu keterlibatan dari para aktor kebijakan perlu dijaga konsistensinya dengan koordinasi yang tepat, untuk menjaga implementasi dapat dijalankan dengan baik. 4. Sumber Daya Sumber-sumber merupakan faktor yang penting dalam implementasi kebijakan. Bagaimana implementasi akan berjalan jika sumber-sumber yang diperlukan kurang atah bahkan tidak tersedia? Sumber-sumber yang penting dalam proses implementasi meliputi: staf atau personil yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugasmmereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik, serta informasi mengenai program atau kebijakan yang akan diimplementasikan. Staf atau personil barangkali merupakan sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan. Aspek yang paling utama yang harus dimiliki oleh staf adalah kualitas yang menyangkut keterampilan-keterampilan yang diperlukann untuk melaksanakan kebijakan. Sumber penting yang kedua adalah informasi.

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi:

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi: BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Implementasi Kebijakan Publik a. Konsep Implementasi: Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak

Lebih terperinci

Model van Horn & van Metter dan Marlee S. Grindle

Model van Horn & van Metter dan Marlee S. Grindle Kuliah Ke-10 Model Implementasi Kebijakan : Model van Horn & van Metter dan Marlee S. Grindle 1 Model Implementasi Kebijakan Model van Horn dan van Metter Model Marlee S. Grindle Model Mazmanian dan Sabatier

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik 1. Konsep Kebijakan Publik Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Definisi Kebijakan Publik Dewasa ini, kebijakan publik menjadi suatu hal yang tidak asing lagi bahkan di kalangan masyarakat awam. Setiap saat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara umum memberikan penafsiran yang berbeda-beda akan tetapi ada juga yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara umum memberikan penafsiran yang berbeda-beda akan tetapi ada juga yang 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik Penafsiran para ahli administrasi publik terkait dengan definisi kebijakan publik, secara umum memberikan penafsiran

Lebih terperinci

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR I. Pendahuluan Banyaknya kebijakan yang tidak sinkron, tumpang tindih serta overlapping masih jadi permasalahan negara ini yang entah sampai kapan bisa diatasi. Dan ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 23/1992 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebijakan Publik dan Implementasi Kebijakan Publik. kegiatan tertentu. Istilah kebijakan dalam bahasa Inggris policy yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebijakan Publik dan Implementasi Kebijakan Publik. kegiatan tertentu. Istilah kebijakan dalam bahasa Inggris policy yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik dan Implementasi Kebijakan Publik Secara umum, istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. hipotesis untuk membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, membuat

BAB II KAJIAN TEORI. hipotesis untuk membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, membuat BAB II KAJIAN TEORI Dalam bab ini, disajikan teori sebagai kerangka berpikir untuk menjawab rumusan masalah yang dirumuskan pada bab sebelumnya. Teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian sosial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang yang mempunyai kekuasaaan dan lembaga yang mengurus masalah

BAB I PENDAHULUAN. orang yang mempunyai kekuasaaan dan lembaga yang mengurus masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintahan didalam suatu negara merupakan organisasi atau wadah orang yang mempunyai kekuasaaan dan lembaga yang mengurus masalah kenegaraan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan

Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan Tahap penyusunan agenda Masalah kebijakan sebelumnya berkompetisi terlebih

Lebih terperinci

Model Mazmanian dan Sabatier

Model Mazmanian dan Sabatier Kuliah 11 Model Mazmanian dan Sabatier 1 Model Mazmanian dan Sabatier Tiga variabel yg mempengaruhi implementasi kebijakan : 1.Karakteristik masalah; 2.Struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau

BAB II KERANGKA TEORI. Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau BAB II KERANGKA TEORI II.1 Kerangka Teori Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Untuk itu perlu disusun

Lebih terperinci

atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Adapun Chandler dan Plano (1988:107) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah

atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Adapun Chandler dan Plano (1988:107) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah II.1 Kerangka Teori Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan suatu gejala terjadi seperti itu. Proposisi-proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan (policy) memiliki arti yang bermacam-macam. Harold D. Laswell

TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan (policy) memiliki arti yang bermacam-macam. Harold D. Laswell II. TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Tentang Kebijakan Publik II.1.1 Pengertian Kebijakan Kebijaksanaan (policy) memiliki arti yang bermacam-macam. Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan (Islamy, 2003:16)

Lebih terperinci

manusia sehingga dapat mengoptimalkan implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dapat berjalan dengan maksimal.

manusia sehingga dapat mengoptimalkan implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dapat berjalan dengan maksimal. manusia sehingga dapat mengoptimalkan implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dapat berjalan dengan maksimal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini perkembangan teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi 2.1.1 Pengertian Evaluasi Evaluasi adalah suatu proses yang teratur dan sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolak ukur atau kriteria yang telah

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun simpulan dan rekomendasi berikut ini: 7.1. Simpulan Kebijakan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembagian Urusan Pemerintah Daerah Di dalam UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dijelaskan bahwa dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan yang dibebani hak Pengelolaan hutan yang dibebani hak bukan hanya untuk mengalihkan perhatian masyarakat dalam

Lebih terperinci

Sri Yuliani FISIP UNS

Sri Yuliani FISIP UNS Sri Yuliani FISIP UNS Model Implementasi Implementasi kebijakan atau program pada dasarnya secara sengaja dilaksanakan untuk meraih kinerja yang tinggi, dimana selama proses itu berlangsung dipengaruhi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah beberapa pengertian kebijakan menurut para ahli yakni:

TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah beberapa pengertian kebijakan menurut para ahli yakni: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Definisi Kebijakan Publik Berikut adalah beberapa pengertian kebijakan menurut para ahli yakni: a. Dye dalam Winarno (2012:20) mengatakankan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam literatur-literatur politik. Masing-masing definisi memberi penekanan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam literatur-literatur politik. Masing-masing definisi memberi penekanan yang 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Konsep Kebijakan Publik Terdapat banyak definisi mengenai apa yang maksud dengan kebijakan publik dalam literatur-literatur politik. Masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi yang memberikan kebebasan dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi yang memberikan kebebasan dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia menganut asas desentralisasi yang memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan melalui Otonomi Daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang jumlah penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia memiliki persebaran yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. administration atau to administear yang berarti mengelola (to manage) atau. usaha seperti tulis menulis, surat menyurat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. administration atau to administear yang berarti mengelola (to manage) atau. usaha seperti tulis menulis, surat menyurat. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka a. Administrasi dan Administrasi Negara Administrasi secara etimologi berasal dari Bahasa Inggris yaitu administration atau to administear yang berarti mengelola

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kebijakan Publik. 1. Definisi Kebijakan. Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kebijakan Publik. 1. Definisi Kebijakan. Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti BAB II KAJIAN TEORI A. Kebijakan Publik 1. Definisi Kebijakan Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Zainal Abidin megutip dari Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik Sangat banyak definisi mengenai apa yang disebut dengan kebijakan publik, pada setiap definisi memiliki penekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Akuntabilitas kinerja pemerintah merupakan salah satu isu yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. Akuntabilitas kinerja pemerintah merupakan salah satu isu yang terdapat dalam 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, manfaat penelitian, proses penelitian, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana telah di jelaskan di dalam undang undang tersebut maka

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana telah di jelaskan di dalam undang undang tersebut maka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan modal dasar bagi pembangunan suatu negara, hal ini telah disadari oleh para pendiri bangsa indonesia dengan meletakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kompetensi pendidik yang termasuk soft skills mencakup kompetensi kepribadian dan sosial. Kompetensi kepribadian disebut dengan intrapersonal skills sedangkan kompetensi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan sangat cepat. Seiring perkembangan zaman, teknologi dan sistem

BAB I PENDAHULUAN. dengan sangat cepat. Seiring perkembangan zaman, teknologi dan sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi telah memberikan pengaruh terhadap kemajuan dari berbagai sisi termasuk kemajuan teknologi dan arus yang berkembang secara terus menerus dengan sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia menjadi semakin beragam dan kompleks sifatnya. Berbagai hal sebisa

I. PENDAHULUAN. manusia menjadi semakin beragam dan kompleks sifatnya. Berbagai hal sebisa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laju globalisasi yang berkembang semakin cepat ini menuntut kebutuhan manusia menjadi semakin beragam dan kompleks sifatnya. Berbagai hal sebisa mungkin tersaji dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga 22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi Implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transparan, seolah-olah menjadi satu tanpa mengenal batas Negara. Kondisi ini

BAB I PENDAHULUAN. transparan, seolah-olah menjadi satu tanpa mengenal batas Negara. Kondisi ini BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang informasi dan komunikasi membuat dunia menjadi transparan, seolah-olah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga yang berwenang untuk memecahkan masalah

Lebih terperinci

STRATEGI EKSEKUSI DAN BALANCE SCORE CARD

STRATEGI EKSEKUSI DAN BALANCE SCORE CARD STRATEGI EKSEKUSI DAN BALANCE SCORE CARD Banyak organisasi yang mampu merumuskan rencana strategis dengan baik, namun belum banyak organisasi yang mampu melaksanakan kegiatan operasional bisnisnya berdasarkan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI APARATUR SIPIL NEGARA DI KABUPATEN SUMENEP

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI APARATUR SIPIL NEGARA DI KABUPATEN SUMENEP IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI APARATUR SIPIL NEGARA DI KABUPATEN SUMENEP Rillia Aisyah Haris Program Studi Administrasi Publik, FISIP Universitas Wiraraja Sumenep Email: rilliaharis@gmail.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Akuntansi dan Sistem Pelaporan Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Akuntansi dan Sistem Pelaporan Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penelitian tentang Pengaruh Kejelasan Sasaran Anggaran, Pengendalian Akuntansi dan Sistem Pelaporan Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Daerah (Studi pada DPPKAD

Lebih terperinci

PROJECT MANAGEMENT BODY OF KNOWLEDGE (PMBOK) PMBOK dikembangkan oleh Project Management. Institute (PMI) sebuah organisasi di Amerika yang

PROJECT MANAGEMENT BODY OF KNOWLEDGE (PMBOK) PMBOK dikembangkan oleh Project Management. Institute (PMI) sebuah organisasi di Amerika yang PROJECT MANAGEMENT BODY OF KNOWLEDGE (PMBOK) PMBOK dikembangkan oleh Project Management Institute (PMI) sebuah organisasi di Amerika yang mengkhususkan diri pada pengembangan manajemen proyek. PMBOK merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

BAB I PENDAHULUAN. Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), menyebutkan bahwa RPJMD merupakan rencana pembangunan suatu daerah untuk jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak masalah sosial diantaranya pengangguran, kriminalitas, dan kekurangan bahan pangan bahkan gizi buruk.

BAB I PENDAHULUAN. banyak masalah sosial diantaranya pengangguran, kriminalitas, dan kekurangan bahan pangan bahkan gizi buruk. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah yang dihadapi Kabupaten Bandung saat ini masih sangat kompleks, dimulai dari permasalahan di bidang ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan. Kendala utama

Lebih terperinci

EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG

EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG Rifka S. Akibu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Publik Menurut Chandler dan Plano dalam Tangkilisan (2003:1) bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik 2.1.1. Definsi Kebijakan Publik Sebelum membahas implementasi kebijakan, terlebih dahulu kita perlu mengetahui apa sebenarnya kebijakan itu. Menurut Harold Laswell

Lebih terperinci

DEfiNISI KEBIJAKAN PUBLIK

DEfiNISI KEBIJAKAN PUBLIK DEfiNISI KEBIJAKAN PUBLIK John Locke MENURUT PAKAR Francis Bacon Easton Pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam pengertian ini hanya pemerintah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Organisasi pemerintah daerah merupakan lembaga yang menjalankan roda

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Organisasi pemerintah daerah merupakan lembaga yang menjalankan roda BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Organisasi pemerintah daerah merupakan lembaga yang menjalankan roda pemerintah yang sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena itu, kepercayaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. policy). Masing-masing definisi tersebut, memberi penekanan yang berbeda-beda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. policy). Masing-masing definisi tersebut, memberi penekanan yang berbeda-beda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik Pada dasarnya, terdapat banyak definisi mengenai kebijakan publik (public policy). Masing-masing definisi tersebut, memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang bangun perumusan kebijakan proses implementasi kebijakan dan evaluasi

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA

B A B II TINJAUAN PUSTAKA 9 B A B II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik 2.1.1. Pengertian Kebijakan Publik Quade (1975) mengemukakan bahwa setiap jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi dapat menjadi dasar

Lebih terperinci

PERMASALAHAN PELAYANAN PUBLIK PADA PEMERINTAH DAERAH Oleh : Davy Nuruzzaman ABSTRAKSI

PERMASALAHAN PELAYANAN PUBLIK PADA PEMERINTAH DAERAH Oleh : Davy Nuruzzaman ABSTRAKSI PERMASALAHAN PELAYANAN PUBLIK PADA PEMERINTAH DAERAH Oleh : Davy Nuruzzaman ABSTRAKSI Desentralisasi pemerintahan atau otonomi daerah adalah sebuah bentuk perintah dari pemerintah pusat kepada pemerintah

Lebih terperinci

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang adanya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang adanya BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Pendidikan Nasional adalah upaya mencerdasakan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa dan berahlak mulia

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Implementasi merupakan suatu kajian mengenai kebijakan yang mengarah

IV. GAMBARAN UMUM. Implementasi merupakan suatu kajian mengenai kebijakan yang mengarah IV. GAMBARAN UMUM A. Implementasi Kebijakan Implementasi merupakan suatu kajian mengenai kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian

Lebih terperinci

Regulasi Tahapan dalam Siklus Akuntansi. Contoh Hasil Regulasi Publik Sektor Publik. Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

Regulasi Tahapan dalam Siklus Akuntansi. Contoh Hasil Regulasi Publik Sektor Publik. Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) BOOK RESUME AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK - INDRA BASTIAN BAB 2 REGULASI KEUANGAN PUBLIK 2.1 DEFINISI REGULASI PUBLIK Regulasi publik adalah ketentuan yang harus dijalankan dan dipatuhi dalam proses pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam perjalanan otonomi daerah sejak ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 sebagai pedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dua hal yang amat penting, pertama adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Implementasi 1. Pengertian Kebijakan Publik Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat karena ternyata tidak sesuai dengan apa yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat karena ternyata tidak sesuai dengan apa yang BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Banyak kebijakan Pemerintah terutama dalam hal pelayanan publik yang dikeluhkan oleh masyarakat karena ternyata tidak sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Pemerintah,

Lebih terperinci

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. kinerja yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta caracara

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. kinerja yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta caracara V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Akuntabilitas Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik. Dalam hubungan ini, diperlukan evaluasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil dinegara manapun mempunyai tiga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil dinegara manapun mempunyai tiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil dinegara manapun mempunyai tiga peran yang serupa: Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundang yang telah ditetapkan pemerintah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Manajemen Kepensiunan di Indonesia (Studi Kasus:Tinjauan Implementasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Manajemen Kepensiunan di Indonesia (Studi Kasus:Tinjauan Implementasi 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Penelitian mengenai Implementasi Kebijakan Peraturan Pelayanan Manajemen Kepensiunan di Indonesia (Studi Kasus:Tinjauan Implementasi Peraturan Direksi Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Kebijakan Kebijakan menurut para ahli seperti yang telah dikemukaan oleh Dye dalam (Leo Agustino, 2008:7) mengemukakan bahwa, kebijakan publik adalah apa yang dipilih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Faktor Sukses, Kontraktor dan Perumahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Faktor Sukses, Kontraktor dan Perumahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Faktor Sukses, Kontraktor dan Perumahan Faktor sukses adalah suatu bagian penting, dimana prestasi yang memuaskan diperlukan untuk suatu organisasi agar dapat mencapai

Lebih terperinci

Materi Teknis RTRW Kabupaten Pidie Jaya Bab VIII

Materi Teknis RTRW Kabupaten Pidie Jaya Bab VIII Bab VIII 8.1 KELEMBAGAAN Lembaga penataan ruang memegang peran krusial dalam proses penataan ruang. Hal ini mengingat proses penataan ruang memerlukan lembaga yang kredibel terutama dalam pengendalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mungkin bertindak untuk mengambil sebuah kebijakan. mengakibatkan muculnya berbagai permasalahan-permasalahan kependudukan yang

BAB I PENDAHULUAN. mungkin bertindak untuk mengambil sebuah kebijakan. mengakibatkan muculnya berbagai permasalahan-permasalahan kependudukan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang jumlah penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia memiliki persebaran yang

Lebih terperinci

akibatnya fenomena seperti ini menjadi hal yang berdampak sistemik. Tawuran pelajar yang

akibatnya fenomena seperti ini menjadi hal yang berdampak sistemik. Tawuran pelajar yang BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga kini belum ada upaya kongkrit untuk mengatasi tawuran pelajar di Kota Yogya, akibatnya fenomena seperti ini menjadi hal yang berdampak sistemik. Tawuran pelajar yang

Lebih terperinci

2016, No Nomor 826, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (

2016, No Nomor 826, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ( No.879, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BKN. RIA. Penggunaan.Metode. PERATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENGGUNAAN METODE REGULATORY IMPACT ASSESSMENT (RIA) DALAM

Lebih terperinci

Sri Yuliani Fisip Uns

Sri Yuliani Fisip Uns Sri Yuliani Fisip Uns Kegagalan Implementasi : Bad Policy atau Bad Implementation Bad policy : proses formulasi (politik) simbolic policy atau kebijakan yang dibuat karena motivasi politik (UU MD3) Kualitas

Lebih terperinci

Bab IV Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi

Bab IV Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi Bab IV Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi IV.1 Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi dengan Val IT Perencanaan investasi TI yang dilakukan oleh Politeknik Caltex Riau yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP Kesimpulan 1. Implementasi Kebijakan Penjaminan Mutu Pada Perguruan Tinggi

BAB VI PENUTUP Kesimpulan 1. Implementasi Kebijakan Penjaminan Mutu Pada Perguruan Tinggi BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan 1. Implementasi Kebijakan Penjaminan Mutu Pada Perguruan Tinggi Swasta Di Kota Semarang. Implementasi kebijakan penjaminan mutu pada perguruan tinggi swasta di Kota Semarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan tuntutan zaman dewasa ini menempatkan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan tuntutan zaman dewasa ini menempatkan pendidikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dan tuntutan zaman dewasa ini menempatkan pendidikan pada suatu posisi yang sangat penting dan harus dipenuhi. Dengan adanya pendidikan, akan terbentuk

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lemba

2017, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lemba No.723, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Penyusunan SOP. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 02 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metodologi artinya pengetahuan tentang berbagai cara kerja yang disesuaikan

BAB III METODE PENELITIAN. Metodologi artinya pengetahuan tentang berbagai cara kerja yang disesuaikan BAB III METODE PENELITIAN Metodologi artinya pengetahuan tentang berbagai cara kerja yang disesuaikan dengan objek studi ilmu yang bersangkutan. Dengan kata lain metodologi itu menjelaskan tata cara dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Birokrasi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, memegang peranan penting dalam pembangunan bangsa Indonesia. Oleh karena itu birokrat pemerintah daerah dituntut untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena Reformasi Birokrasi yang bergulir menuntut perubahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena Reformasi Birokrasi yang bergulir menuntut perubahan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fenomena Reformasi Birokrasi yang bergulir menuntut perubahan dalam segala tatanan kehidupan kenegaraan. Dalam penyelenggaraannya pemerintah daerah, demokrasi,

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya Oleh : Imronah*) Abstraksi Eugene Bardach dalam tulisannya mengatakan bahwa penulis yang lebih awal memberikan perhatian terhadap masalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Setiap pemerintahan yang tengah memimpin saat ini sudah seharusnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Setiap pemerintahan yang tengah memimpin saat ini sudah seharusnya 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik Setiap pemerintahan yang tengah memimpin saat ini sudah seharusnya menawarkan produk-produk kebijakan publik

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAN PENGANGGARAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI BARAT,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Analisis Kebijakan 2.1.1 Analisis Analisis mempunyai banyak arti jika dipandang adri beberapa sudut pandang yang berbeda-beda. Salah satunya Analisis dalam pemerintahan,

Lebih terperinci

Desain Struktur Organisasi: Kewenangan dan Pengendalian

Desain Struktur Organisasi: Kewenangan dan Pengendalian Modul ke: Desain Struktur Organisasi: Kewenangan dan Pengendalian Fakultas Pasca Sarjanan Dr. Ir. Sugiyono, Msi. Program Studi Magister Manajemen www.mercubuana.ac.id Source: Jones, G.R.2004. Organizational

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, 1 BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa untuk lebih menjamin ketepatan dan

Lebih terperinci

Penetapan Konteks Komunikasi dan Konsultasi. Identifikasi Risiko. Analisis Risiko. Evaluasi Risiko. Penanganan Risiko

Penetapan Konteks Komunikasi dan Konsultasi. Identifikasi Risiko. Analisis Risiko. Evaluasi Risiko. Penanganan Risiko - 11 - LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG MANAJEMEN RISIKO DI LINGKUNGAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL A. Proses Manajemen Proses

Lebih terperinci

BAB I INTRODUKSI. Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang

BAB I INTRODUKSI. Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang BAB I INTRODUKSI Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang penelitian, permasalahan penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan tahapan-tahapan

Lebih terperinci

Relevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1. Tunjung Sulaksono 2

Relevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1. Tunjung Sulaksono 2 Relevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1 Tunjung Sulaksono 2 A. Pendahuluan Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek dan dimensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Stewardship Menurut Donaldson & Davis (1991), teori stewardship adalah teori yang menggambarkan situasi dimana para manajer tidaklah termotivasi oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banyak disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi. Studi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banyak disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi. Studi 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik Kebijakan publik merupakan suatu ilmu multidisipliner karena melibatkan banyak disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi,

Lebih terperinci

Pentingnya implementasi What is implementation? Proses Implementasi

Pentingnya implementasi What is implementation? Proses Implementasi Pentingnya implementasi What is implementation? Proses Implementasi 1. Pentingnya Implementasi Riant Nugroho : Rencana memberi kontribusi 20% bg keberhasilan, implementasi adalah 60%, 20 % sisanya adalah

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI Bagian ini akan menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran penelitian terhadap pengembangan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.996, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Manajemen Risiko. Penyelenggaraan. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN NOMOR

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA 2.1. RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT DPRD KOTA. penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai

BAB II PERENCANAAN KINERJA 2.1. RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT DPRD KOTA. penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai BAB II PERENCANAAN KINERJA 2.1. RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT DPRD KOTA BANDUNG Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM RASKIN ( Beras Rakyat. karena kemiskinan menyebabkan terjadinya kerentanan, ketidakberdayaan,

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM RASKIN ( Beras Rakyat. karena kemiskinan menyebabkan terjadinya kerentanan, ketidakberdayaan, NAMA NIM : RISKI PUTRI AMALIA : D2A604045 JURUSAN : ADMINISTRASI PUBLIK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM RASKIN ( Beras Rakyat Miskin) DI KECAMATAN KOTA KABUPATEN KUDUS. Kemiskinan dapat menjadi masalah

Lebih terperinci