BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Publik Menurut Chandler dan Plano dalam Tangkilisan (2003:1) bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Sedangkan menurut Woll (Tangkilisan, 2003:2) kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah dimasyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Anderson dalam Abidin (2004:21) mendefenisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Mirip dengan George C. Edwards III dan Ira Sharkansky dalam Suwitri (2008: 10) mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu tindakan pemerintah yang berupa program-program pemerintah untuk pencapaian sasaran atau tujuan. Dari beberapa pengertian di atas dapat dilihat bahwa munculnya kebijakan publik muncul didahului dengan adanya masalah yang terjadi di masyarakat yang mendapat tanggapan dari pemerintah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebijakan publik muncul karena adanya masalah yang menyangkut kebutuhan orang banyak yang perlu diatur oleh pemerintah. Sehingga melalui kebijakan publik diharapakan masalah tersebut dapat

2 ditangani dengan mengerahkan sejumlah sumber daya dalam mewujudkan tujuan dikeluarkannya kebijakan tersebut Proses Kebijakan Publik Bila kebijakan dipandang sebagai sebuah sistem, maka kebijakan memiliki elemenelemen pembentuknya. Menurut Thomas R. Dye dalam Dunn (2000: 110) terdapat tiga elemen kebijakan yang membentuk sistem kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan tersebut sebagai kebijakan publik (public policy), pelaku kebijakan (policystakeholders), dan lingkungan kebijakan (policy environment). Gambar 2.1. Tiga Elemen Sistem Kebijakan Menurut Thomas R. Dye Sumber: Thomas R. Dye dalam Dunn (2000:110) Ketiga elemen ini saling memiliki andil, dan saling mempengaruhi. Sebagai contoh, pelaku kebijakan dapat mempunyai andil dalam kebijakan, namun mereka juga dapat pula dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Lingkungan kebijakan juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri. Dunn (2000: 111) menyatakan, Oleh karena itu, sistem kebijakan berisi proses yang dialektis, yang berarti bahwa dimensi obyektif dan subyektif dari pembuat kebijakan tidak tepisahkan di dalam prakteknya. Jika kebijakan dapat dipandang sebagai suatu sistem, maka kebijakan juga dapat dipandang sebagai proses. Dilihat dari proses kebijakan, Nugroho menyebutkan bahwa teori proses kebijakan paling klasik dikemukakan oleh David Easton.

3 Gambar 2.2. Proses Kebijakan Publik Menurut Easton Sumber: David Easton dalam Nugroho (2008: 383) Model proses kebijakan publik dari Easton mengasumsikan proses kebijakan publik dalam sistem politik dengan mengandalkan input yang berupa tuntutan (demand) dan dukungan (support). Model Easton ini kemudian dikembangkan oleh para akademisi lain. Menurut James A. Anderson, dkk. dalam Tilaar dan Nugroho (2008:186) proses kebijakan melalui tahap-tahap (stages) sebagai berikut: Gambar 2.3. Proses Kebijakan Publik Menurut Anderson, dkk Policy Agenda Policy Formulation Policy Adoption Policy Implementat ion Policy Evaluation Sumber: James A. Anderson, dkk. dalam Tilaar dan Nugroho (2008: 186) Dijelaskan bahwa tahap-tahap tersebut sebagai berikut : 1. Penyusunan Agenda (Policy Agenda) Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas. Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi. Pada tahap ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda untuk dipilih. Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus pembahasan, masalah yang mungkin ditunda pembahasannya, atau mungkin tidak disentuh sama sekali. Masing-

4 masing masalah yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam agenda memiliki argumentasi masing-masing. Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah mana saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah kebijakan yang tepat. 2. Formulasi kebijakan (Policy Formulation) Masalah yang sudah dimasukkan dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi kebijakan. Dari berbagai masalah yang ada tersebut ditentukan masalah mana yang merupakan masalah yang benar-benar layak dijadikan fokus pembahasan. 3. Adopsi kebijakan (Policy Adoption) Dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya akan diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Tahap ini sering disebut juga dengan tahap legitimasi kebijakan (policy legitimation) yaitu kebijakan yang telah mendapatkan legitimasi. Masalah yang telah dijadikan sebagai fokus pembahasan memperoleh solusi pemecahan berupa kebijakan yang nantinya akan diimplementasikan. 4. Implementasi kebijakan (Policy Implementation) Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak serta merta berhasil dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan keberhasilan dalam implementasi

5 kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini mungkin. 5. Evaluasi kebijakan (Policy Evaluation) Pada tahap ini, kebijakan yang telah dilaksanakan akan dievaluasi, untuk dilihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah atau tidak. Pada tahap ini, ditentukan kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan telah meraih hasil yang diinginkan. Pada tahap ini, penilaian tidak hanya menilai implementasi dari kebijakan. Namun lebih jauh, penilaian ini akan menentukan perubahan terhadap kebijakan. Suatu kebijakan dapat tetap seperti semula, diubah atau dihilangkan sama sekali. Pakar lain, Dye mengemukakan tahap proses kebijakan yang hampir mirip dengan model Anderson, dkk. tersebut. Menurut Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho (2008:189) proses kebijakan publik adalah sebagai berikut : Gambar 2.4 Proses Kebijakan Publik Menurut Dye Identific ation of Policy Problem Agenda setting Policy Formula tion Policy Legitima tion Policy Impleme ntation Policy Evaluati on Sumber: Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho (2008: 189) Selain teori proses kebijakan dari Anderson, dkk. dan Dye terdapat teori lain seperti dari William N. Dunn dan Patton & Savicky yang digambarkan tiap tahap proses kebijakan sebagai berikut. Gambar 2.5. Model Analisis Kebijakan Dunn Perumusan Masalah

6 Peramalan Rekomendasi Pemantauan Penilaian Sumber : Dunn (2000 : 25) Implementasi kebijakan Dari teori-teori proses kebijakan kita dapat melihat tiga kata kunci yakni formulasi, implementasi, dan kinerja. Setelah sebuah kebijakan diformulasikan, langkah selanjutnya tentu saja mengimplementasikan kebijakan tersebut. Mengenai implementasi kebijakan, Nugroho (2008: 501) menyatakan : Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60% sisanya, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama, adalah konsistensi implementasi. Melihat bahwa implementasi merupakan tugas yang memakan sumber daya paling besar, maka tugas implementasi kebijakan juga sepatutnya mendapatkan perhatian lebih. Terkadang dalam praktik proses kebijakan publik, terdapat pandangan bahwa implementasi akan bisa berjalan secara otomatis setelah formulasi kebijakan berhasil dilakukan. Nugroho (2008: 484) menyatakan implementation myopia yang sering terjadi di Indonesia salah satunya adalah Selama ini kita anggap kalau kebijakan sudah dibuat, implementasi akan

7 jalan dengan sendirinya. Terkadang sumber daya sebagian besar dihabiskan untuk membuat perencanaan padahal justru tahap implementasi kebijakan yang seharusnya memakan sumber daya paling besar, bukan sebaliknya. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dll (Nugroho, 2008: ). Untuk menyimpulkan pengertian dari implementasi kebijakan penulis memilih pendapat dari Agus Purwanto yang mengemukakan bahwa implementasi intinya adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan diharapkan akan muncul manakala keluaran kebijakan (policy output) dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok sasaran sehingga dalam waktu jangka panjang hasil kebijakan akan mampu diwujudkan (Purwanto, 2012:21). Oleh karena itu, sebuah program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan Model-Model Implementasi Kebijakan Seperti yang diketahui kebijakan publik dihasilkan oleh proses politik dan dijalankan melalui badan-badan pemerintah. Implementasi dapat melibatkan banyak faktor bukan hanya dari aktornya saja. Dalam literatur ilmu kebijakan terdapat beberapa model implementasi

8 kebijakan publik yang dihasikan para teorisi yang lazim digunakan seperti: George C. Edwards III, Merilee S. Grindle, Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier, Donald Van Meter dan Carl Van Horn. Masing-masing model memiliki variabel tersendiri meski ada beberapa kesaamaan. Berikut beberapa model implementasi kebijakan tersebut. a. Model George Edwards III George C Edwards III (dikutip Subarsono, 2005: 90), menyebutkan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 variabel, yaitu: a. Komunikasi (Communication) Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran maka akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran. b. Sumber Daya (Resources) Walupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berupa sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumber daya finansial. b. Disposisi atau Sikap-Sikap (Disposition) Adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

9 c. Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure) Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur standar operasional (Standart Operating Procedure = SOP). SOP menjadi pedoman bagi implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel. SOP merupakan respon yang timbul dari implementor untuk menjawab tuntutan-tuntutan pekerjaan karena kurangnya waktu dan sumber daya serta kemauan adanya keseragaman dalam operasi organisasi yang kompleks. SOP ini sering kita jumpai dalam pelayanan masyarakat pada organisasi-organisasi pelayanan publik. Sedangkan fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi sehingga menyangkut bagaimana pelaksanaan tanggungjawab yang dilaksanakan oleh tiap-tiap unit dan hubungan di antaranya. Mengamati model implementasi George C Edwards III, tentang kontens dan konteks kebijakan, bahwa isi kebijakan harus disesuaikan dengan konteksnya yakni siapa sumber daya manusia yang dituju, bagaimana persepsi dan tanggapan yang diberikan dan bagaimana sikap dan tanggapan yang diberikan birokratnya dalam mencapai kesepahaman dalam implementasi kebijakan yang ada sehingga akan mencapai hasil yang maksimal. Tujuan yang hendak dicapai merupakan target akhir dari implementasi, dan persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa pelaksana keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Model implementasi kebijakan tersebut menggambarkan, bahwa proses implementasi kebijakan dapat dilaksanakan secara efektif bila dipengaruhi oleh beberapa variabel. b. Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn

10 Menurut Van Meter dan Van Horn (Subarsono, 2005: 99) terdapat lima variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu : (1) standar dan sasaran kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi dan politik.... Gambar 2.6. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn Sumber: Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono (2005: 99) Selanjutnya variabel-variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn tersebut dijelaskan (Subarsono, 2005: 99): (1 ) Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi. (2) Sumberdaya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (nonhuman resources). (3) Hubungan antar Organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program. (4) Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program. (5) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana

11 sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan. (6) Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untu melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. c. Model Grindle Menurut Merilee S. Grindle (Subarsono, 2005: 93) terdapat dua variabel besar yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Masing-masing variabel tersebut masih dipecah lagi menjadi beberapa item. Disebutkan oleh Subarsono (2005: 93). Variabel isi kebijakan ini mencakup (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target group...; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan...; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. Keunikan model Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan khususnya yang menyangkut implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan selama proses implementasi. Gambar 2.7 Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Menurut Merilee S. Grindle Implementasi kebijakan dipengaruhi Tujuan yang dicapai? Tujuan A. Isi kebijakan 1. Kepentingan kelompok sasaran 2. Tipe manfaat 3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Pelaksanaan program 6. Sumber daya yg dilibatkan B. Lingkungan Implementasi 1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yg terlibat 2. Karakteristik lembaga dan penguasa 3. Kepatuhan dan daya tanggap Hasil kebijakan a. Dampak pada masyarakat, individu dan kelompok b. Perubahan dan penerimaan masyarakat

12 Program aksi dan proyek individu ang didesain dan didanai Program yang dilaksanakan sesuai rencana Mengukur keberhasilan Sumber: Grindle dalam Subarsono (2005: 93) d. Model Mazmanian dan Sabatier Menurut Mazmanian dan Sabatier, ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi : a. Mudah tidaknya masalah dikendalikan (tractability of the problem). Kategori tractability of the problem mencakup variabel-variabel yang disebutkan oleh Subarsono (2005: 95-96): (1) Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan(2) Tingkat kemajemukan kelompok sasaran(3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi (4) Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. b. Kemampuan kebijakan untuk menstrukturisasikan proses implementasi (ability of statute to structure implementation) Kategori ability of statute to structure implementation mencakup variabel-variabel yang disebutkan oleh Subarsono (2005: 97-98). (1) Kejelasan isi kebijakan... (2) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoretis... (3) Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut... (4) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar instansi pelaksana... (5) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana... (6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan... (7) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan... Variabel di luar kebijakan / variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation) mencakup variabel-variabel yang disebutkan oleh Subarsono (2005: 98-99) (1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi, (2) Dukungan publik

13 terhadap kebijakan, (3) Sikap dari kelompok pemilih (constituent groups), (4) Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor Gambar 2.8 Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Menurut Mazmanian dan Sabatier Tractability of the problem 1. Availability of valid technical theory and technology 2. Diversity of target-group behavior 3. Target group as a percentage of the population 4. Extent of behavioral change required Ability of statute to structure implementation 1. Clear and consistent objectives 2. Incorporation of adequate causal theory 3. Financial resources 4. Hierarchical integration with and among implementing agencies 5. Decision-rules of implementing agencies 6. Recruitment of implementing officials 7. Formal access by outsiders Nonstatutory variables affecting implementation 1. Socioeconomic condition and technology 2. Media attention to the problem 3. Public support 4. Attitudes and resources of constituency groups 5. Support from sovereigns 6. Commitment and leadership skill of implementing officials Stages (dependent variables) in the implementation process Policy outputs of implementing agencies Compliance with policy outputs by target groups Actual impacts of policy outputs Perceived impacts of policy outputs Major revision in statute Model Kebijakan yang Digunakan Dari berbagai model yang telah dipaparkan di atas terdapat varibael-variabel yang dapat digunakan untuk menentukan suatu kebijakan sudah berhasil diimplementasikan atau belum. Untuk melihat proses implementasi Perda Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak melalui Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Setdaprovsu penulis menggunakan varibel-variabel sebagai berikut 1. Komunikasi Untuk menjamin terlakasananya implementasi kebijakan dengan baik, dikatakan faktor komunikasi menjadi hal yang penting yang berpengaruh terhadap proses implementasi. Kejelasan isi dari suatu kebijakan akan mempengaruhi bagaimana kecakapan badan pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan. Dalam hal ini, kebijakan harus mampu

14 menginstruksikan proses implementasi untuk mencapai tujuan dengan jelas sehingga mampu dipahami oleh implementor. Kejelasan isi atau tujuan-tujuan kebijakan ini juga berarti bahwa isi kebijakan akan semakin mudah diimplementasikan karena implementor mudah memahami dan menterjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi atau penolakan dalam implementasi kebijakan. Selanjutnya isi tujuan kebijakan disampaikan atau disosialisasikan kepada penerima program kebijakan/kelompok sasaran (target group). Melalui variabel ini peneliti akan mengetahui bagaimana kejelasan dari kebijakan perda sehingga dapat dipahami oleh implementor dan disampaikan kepada kelompok sasarannya. 2. Struktur Birokrasi Mengutip teori dari Edward bahwa struktur birokrasi terdiri dari standard operational procedure (SOP) dan fragmentasi. Sedangkan fragmentasi berkaitan dengan penyebaran tanggung jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi. Melalui variabel ini, peneliti akan mengetahui apakah ada SOP yang digunakan terkait dengan dalam upaya penanganan. Fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi. Menurut teori Edward menjelaskan bahwa setiap penyebaran tanggungjawab suatu kebijakan kepada beberapa badan/staf memerlukan koordinasi. Melalui variabel ini peneliti akan keberadaaan SOP dan pelaksanaannya serta bagaimana koordinasi terkait fragamentasi pada organisasi yang terlibat dalam penghapusan trafficking. 3. Sumber daya Variabel sumber daya adalah hal penting dalam proses implementasi. Tanpa sumber daya, kebijakan berakhir di kertas saja. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, sumberdaya finansial (anggaran) dan fasilitas. 4. Disposisi

15 Variabel disposisi implementor digunakan untuk mengetahui sikap dan implementor dalam mengimplementasikan kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. Gambar 2.9 Model Implementasi yang digunakan Komunikasi Disposisi Sumber daya Implementasi Perda Nomor 6 Tahun 2004 Struktur Organisasi 2.2 Perdagangan Orang (Human Trafficking) Pengertian perdagangan orang (human trafficking) yang pada umumnya paling banyak dipakai adalah pengertian yang diambil dari Protokol PBB yaitu perekrutan, pengiriman, pemindahan, penmapungan, penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran

16 atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. Ekploitasi bisa meliputi atau setidaknya, eksploitasi prostitusi orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa atau layanan, perbudakan atau praktek-praktek yang mirip perbudakan atau diambilnya organ tubuh. (Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak, Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara) Tiga unsur yang saling terkait yang harus ada secara kumulatif agar perdagangan orang dapat dikatakan telah terjadi, yaitu proses, cara dan tujuan. Dengan kata lain, kegiatan harus tercapai melalui cara dan keduanya harus saling terkait guna mencapai tujuan eksploitatif. Proses, diartikan sebagai pengerahan, pengangkutan, pengiriman, penyembunyian atau penerimaan orang. Dalam hal ini tidak semua unsur harus dipenuhi. Salah satu dari proses tersebut sudah terjadi maka dapat dikatakan telah terjadi perdagangan orang Cara, diartikan sebagai tindakan dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari paksaan, penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan atau penerimaan atau penerimaan pembayaran-pembayaran atau keuntungan-keuntungan untuk mencapai persetujuan dari seseorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain. Tujuan, yaitu untuk tujuan eksploitasi. Dimana dalam definisi ini, eksploitasi mencakup namun tidak terbatas pada eksploitasi seksual. Melainkan juga eksploitasi tenaga untuk bekerja atau pelayanan-pelayanan paksa, perbudakan, atau praktekpraktek lain yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh manusia. (sumber) Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perdagangan orang. Faktor yang paling dominan adalah kemiskinan. korban perdagangan orang paling sering berasal

17 dari keluarga atau komunitas yang paling miskin dan terpinggirkan. Selain itu faktor keluarga, kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan dan akses terhadap informasi. 2.3 Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Upaya Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak Dalam perda disebutkan dengan jelas bahwa Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan atau anak dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak. Upaya penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak merupakan kegiatan perlindungan perempuan dan Anak yang dilakukan agar terjamin hak-haknya sehingga terhindar dari kekerasan dan diskriminasi sehingga penghapusan perdagangan (trafficiking) perempuan dan anak dilakukan berasaskan penghormatan dan pengakuan atas hak-hak dan martabat kemanusian yang sama dan perlindungan hak-hak asasi perempuan dan anak. Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Daerah ini bertujuan untuk pencegahan, rehabilitasi dan reintegrasi perempuan dan anak korban perdagangan orang. Secara garis besar perda ini meliputi hal-hal yang penting diantaranya: 1. Pencegahan traffiking Meliputi tatacara administratf yang menjadi syarat bagi para perempuan yang akan bekerja di luar wilayah desa/keluarahannya yakni Surat Izin Bekerja Perempuan

18 (SIBP)Pemberian Surat Jalan Dan Surat Pindah yang harus dipantau oleh pemerintah setempat. 2. Pembentukan gugustugas Guna mengevektifkan dan menjamin pelaksanaan pencegahan Trafiking perlu dibentuk gugus tugas tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A). Anggotanya terdiri dari pihak pemerintah dan masyarakat. 3. Adanya kerjasama dalam pencegahan dan perlindungan Untuk melaksanakan pencegahan dan perlindungan Perdagangan Perempuan dan Anak Pemerintah Daerah bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/ Kota serta masyarakat. 4. Hak hak korban/saksi diantaranya Layanan dan fasilitas rehabilitasi meliputi layanan konseling, psikologis, medis, pendampingan hukum dan pendidikan keterampilan keahlian atau pendidikan alternatif, rehabilitasi dan reintegrasi. 5. Pembiayaan pelaksanaan Peraturan daerah ini pelaksanaan disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 2.4 Definsi Konsep Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti. 1 Adapun definisi konsep yang digunakan untuk mendapatkan batasan yang jelas dari penelitian ini adalah: 1. Kebijakan Publik menurut Chandler dan Plano dalam Tangkilisan (2003:1) bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdayasumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peraturan Daerah 1 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survay, (Jakarta : LP3ES, 1995) halaman 37

19 Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 tentang Upaya Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak 2. Implementasi Kebijakan Publik menurut Agus Purwanto (2012) yang mengemukakan bahwa implementasi intinya adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan 3. Perdagangan orang adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penmapungan, penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentukbentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain untuk tujuan eksploitasi 2.5 Definisi Operasional Defenisi operasional merupakan uraian dari konsep yang sudah dirumuskan dalam bentuk indikator-indikator agar lebih memudahkan dalam operasional dari sudut penelitian 1. Komunikasi a. Kejelasan isi kebijakan b. Tujuan dan sasaran kebijakan c. Sosialisasi dengan kelompok sasaran 2. Struktur Organisasi a. Prosedur standar operasional (Standart Operating Procedure) b. Pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan kebijakan c. Pembagian peran dan tugas d. Koordinasi yang terbentuk 3. Sumber daya

20 a. Sumber daya manusia b. Sumber daya finansial c. Fasilitas (sarana dan prasarana) 4. Disposisi a. Pemahaman pelaksana terhadap kebijakan. b. Respon pelaksana terhadap pelaksanaan kebijakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik 1. Konsep Kebijakan Publik Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi:

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi: BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Implementasi Kebijakan Publik a. Konsep Implementasi: Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara umum memberikan penafsiran yang berbeda-beda akan tetapi ada juga yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara umum memberikan penafsiran yang berbeda-beda akan tetapi ada juga yang 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik Penafsiran para ahli administrasi publik terkait dengan definisi kebijakan publik, secara umum memberikan penafsiran

Lebih terperinci

manusia sehingga dapat mengoptimalkan implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dapat berjalan dengan maksimal.

manusia sehingga dapat mengoptimalkan implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dapat berjalan dengan maksimal. manusia sehingga dapat mengoptimalkan implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dapat berjalan dengan maksimal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini perkembangan teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam penelitian ini diperlukan adanya kumpulan teori-teori yang akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam penelitian ini diperlukan adanya kumpulan teori-teori yang akan BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kerangka Teori Dalam penelitian ini diperlukan adanya kumpulan teori-teori yang akan menjadi landasan teoritis dan menjadi pedoman dalam melaksanakan penelitian. Setelah masalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kebijakan berkembang pada awal 1970-an terutama melalui tulisan Harold D.

II. TINJAUAN PUSTAKA. kebijakan berkembang pada awal 1970-an terutama melalui tulisan Harold D. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kebijakan Publik Kebijakan publik merupakan suatu ilmu multidisipliner karena melibatkan banyak disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat karena ternyata tidak sesuai dengan apa yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat karena ternyata tidak sesuai dengan apa yang BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Banyak kebijakan Pemerintah terutama dalam hal pelayanan publik yang dikeluhkan oleh masyarakat karena ternyata tidak sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Pemerintah,

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional

Lebih terperinci

atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Adapun Chandler dan Plano (1988:107) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah

atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Adapun Chandler dan Plano (1988:107) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah II.1 Kerangka Teori Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan suatu gejala terjadi seperti itu. Proposisi-proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang

Lebih terperinci

Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI

Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI Sebagaimana telah kita ketahui bersama Bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional / RPJMN 2005 2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM RASKIN ( Beras Rakyat. karena kemiskinan menyebabkan terjadinya kerentanan, ketidakberdayaan,

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM RASKIN ( Beras Rakyat. karena kemiskinan menyebabkan terjadinya kerentanan, ketidakberdayaan, NAMA NIM : RISKI PUTRI AMALIA : D2A604045 JURUSAN : ADMINISTRASI PUBLIK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM RASKIN ( Beras Rakyat Miskin) DI KECAMATAN KOTA KABUPATEN KUDUS. Kemiskinan dapat menjadi masalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Definisi Kebijakan Publik Dewasa ini, kebijakan publik menjadi suatu hal yang tidak asing lagi bahkan di kalangan masyarakat awam. Setiap saat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan.

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK

GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFIKING) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

Sri Yuliani FISIP UNS

Sri Yuliani FISIP UNS Sri Yuliani FISIP UNS Model Implementasi Implementasi kebijakan atau program pada dasarnya secara sengaja dilaksanakan untuk meraih kinerja yang tinggi, dimana selama proses itu berlangsung dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan tuntutan zaman dewasa ini menempatkan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan tuntutan zaman dewasa ini menempatkan pendidikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dan tuntutan zaman dewasa ini menempatkan pendidikan pada suatu posisi yang sangat penting dan harus dipenuhi. Dengan adanya pendidikan, akan terbentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. administration atau to administear yang berarti mengelola (to manage) atau. usaha seperti tulis menulis, surat menyurat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. administration atau to administear yang berarti mengelola (to manage) atau. usaha seperti tulis menulis, surat menyurat. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka a. Administrasi dan Administrasi Negara Administrasi secara etimologi berasal dari Bahasa Inggris yaitu administration atau to administear yang berarti mengelola

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. hipotesis untuk membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, membuat

BAB II KAJIAN TEORI. hipotesis untuk membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, membuat BAB II KAJIAN TEORI Dalam bab ini, disajikan teori sebagai kerangka berpikir untuk menjawab rumusan masalah yang dirumuskan pada bab sebelumnya. Teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian sosial.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi 2.1.1 Pengertian Evaluasi Evaluasi adalah suatu proses yang teratur dan sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolak ukur atau kriteria yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia.Perkembangan pelayanan publik memang selalu aktual untuk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia.Perkembangan pelayanan publik memang selalu aktual untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pelayanan Publik kini telah menjadi isu sentral dalam pembangunan di Indonesia.Perkembangan pelayanan publik memang selalu aktual untuk diperbincangkan. Pada dasarnya

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian... 12

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian... 12 DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 B. Rumusan Masalah... 11 C. Tujuan Penelitian... 11 D. Manfaat Penelitian... 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu... 13 B. Tinjauan Mengenai Kebijakan

Lebih terperinci

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN B U K U S A K U B A G I ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Penyusun Desainer : Tim ACILS dan ICMC : Marlyne S Sihombing Dicetak oleh : MAGENTA FINE PRINTING Dikembangkan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau

BAB II KERANGKA TEORI. Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau BAB II KERANGKA TEORI II.1 Kerangka Teori Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Untuk itu perlu disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang yang mempunyai kekuasaaan dan lembaga yang mengurus masalah

BAB I PENDAHULUAN. orang yang mempunyai kekuasaaan dan lembaga yang mengurus masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintahan didalam suatu negara merupakan organisasi atau wadah orang yang mempunyai kekuasaaan dan lembaga yang mengurus masalah kenegaraan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Suchman (dalam Arikunto, 2004: 1-2) mengemukakan evaluasi sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Suchman (dalam Arikunto, 2004: 1-2) mengemukakan evaluasi sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi 2.1.1 Pengertian Evaluasi Suchman (dalam Arikunto, 2004: 1-2) mengemukakan evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang

Lebih terperinci

DEfiNISI KEBIJAKAN PUBLIK

DEfiNISI KEBIJAKAN PUBLIK DEfiNISI KEBIJAKAN PUBLIK John Locke MENURUT PAKAR Francis Bacon Easton Pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam pengertian ini hanya pemerintah yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. diamati/diteliti. Berbagai teori yang dipaparkan dalam kajian teori ini

BAB II KAJIAN TEORI. diamati/diteliti. Berbagai teori yang dipaparkan dalam kajian teori ini BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori Teori merupakan seperangkat konsep atau konstruksi, definisi, dan proposisi yang saling berhubungan dan disusun secara sistematis sebagai hasil penulisan ilmiah terdahulu

Lebih terperinci

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN. tindakan yang bermaksud untuk mencapai suatu tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN. tindakan yang bermaksud untuk mencapai suatu tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan BAB II STUDI KEPUSTAKAAN II.1. Kebijakan Publik Menurut H.Hugh Heglo dalam Abidin (2004:21) kebijakan adalah suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai suatu tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan Anderson

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI APARATUR SIPIL NEGARA DI KABUPATEN SUMENEP

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI APARATUR SIPIL NEGARA DI KABUPATEN SUMENEP IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI APARATUR SIPIL NEGARA DI KABUPATEN SUMENEP Rillia Aisyah Haris Program Studi Administrasi Publik, FISIP Universitas Wiraraja Sumenep Email: rilliaharis@gmail.com

Lebih terperinci

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR I. Pendahuluan Banyaknya kebijakan yang tidak sinkron, tumpang tindih serta overlapping masih jadi permasalahan negara ini yang entah sampai kapan bisa diatasi. Dan ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

Model van Horn & van Metter dan Marlee S. Grindle

Model van Horn & van Metter dan Marlee S. Grindle Kuliah Ke-10 Model Implementasi Kebijakan : Model van Horn & van Metter dan Marlee S. Grindle 1 Model Implementasi Kebijakan Model van Horn dan van Metter Model Marlee S. Grindle Model Mazmanian dan Sabatier

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBINAAN, KOORDINASI, PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 23/1992 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahkan sumber daya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti

BAB I PENDAHULUAN. bahkan sumber daya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Guru atau pendidik memiliki peran yang strategis dalam bidang pendidikan, bahkan sumber daya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti apabila

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik Sangat banyak definisi mengenai apa yang disebut dengan kebijakan publik, pada setiap definisi memiliki penekanan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan

Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan Tahap penyusunan agenda Masalah kebijakan sebelumnya berkompetisi terlebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia diawali dan pergerakan kaum perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan sangat cepat. Seiring perkembangan zaman, teknologi dan sistem

BAB I PENDAHULUAN. dengan sangat cepat. Seiring perkembangan zaman, teknologi dan sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi telah memberikan pengaruh terhadap kemajuan dari berbagai sisi termasuk kemajuan teknologi dan arus yang berkembang secara terus menerus dengan sangat

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 18 TAHUN 2006 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN REHABILITASI EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL WALIKOTA SURAKARTA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi sekarang ini mengakibatkan kemajuan di segala bidang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik,

Lebih terperinci

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 30 TAHUN 2014

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 30 TAHUN 2014 WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 30 TAHUN 2014 T E N T A N G GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DAN EKSPLOTASI SEKSUAL ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Pentingnya implementasi What is implementation? Proses Implementasi

Pentingnya implementasi What is implementation? Proses Implementasi Pentingnya implementasi What is implementation? Proses Implementasi 1. Pentingnya Implementasi Riant Nugroho : Rencana memberi kontribusi 20% bg keberhasilan, implementasi adalah 60%, 20 % sisanya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan rakyat saat ini menjadi isu kebijakan yang semakin strategis,

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan rakyat saat ini menjadi isu kebijakan yang semakin strategis, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pelayanan rakyat saat ini menjadi isu kebijakan yang semakin strategis, karena perbaikan pelayanan publik di Indonesia cenderung berjalan di tempat. Sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar. Data Perdagangan Manusia di Indonesia sejak 1993-2003

Lebih terperinci

BREBES, 20 AGUSTUS Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua dan saya ucapkan selamat pagi.

BREBES, 20 AGUSTUS Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua dan saya ucapkan selamat pagi. ARAHAN KEPALA BIRO BINA SOSIAL SETDA PROVINSI JAWA TENGAH PADA FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) DALAM RANGKA PEMETAAN PELAKSANAAN KERJASAMA PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TRAFFICKING TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Medan sebagai sebuah ibukota provinsi yang besar, yakni provinsi Sumatera

BAB I PENDAHULUAN. Medan sebagai sebuah ibukota provinsi yang besar, yakni provinsi Sumatera BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Medan sebagai sebuah ibukota provinsi yang besar, yakni provinsi Sumatera Utara, tampak sebagai tempat yang menjanjikan untuk penghidupan yang layak. Sebagai sebuah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah beberapa pengertian kebijakan menurut para ahli yakni:

TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah beberapa pengertian kebijakan menurut para ahli yakni: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Definisi Kebijakan Publik Berikut adalah beberapa pengertian kebijakan menurut para ahli yakni: a. Dye dalam Winarno (2012:20) mengatakankan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang adanya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang adanya BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mungkin bertindak untuk mengambil sebuah kebijakan. mengakibatkan muculnya berbagai permasalahan-permasalahan kependudukan yang

BAB I PENDAHULUAN. mungkin bertindak untuk mengambil sebuah kebijakan. mengakibatkan muculnya berbagai permasalahan-permasalahan kependudukan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang jumlah penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia memiliki persebaran yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.984, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Pencegahan. Penanganan. Perdagangan Orang. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 7 Tahun 2013 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI KOTA SAMARINDA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Bab ini merupakan penutup dari berbagai data dan pembahasan yang. telah dilakukan pada bagian sebelumnya yang pernyataannya berupa

BAB VI PENUTUP. Bab ini merupakan penutup dari berbagai data dan pembahasan yang. telah dilakukan pada bagian sebelumnya yang pernyataannya berupa 282 BAB VI PENUTUP Bab ini merupakan penutup dari berbagai data dan pembahasan yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya yang pernyataannya berupa kesimpulan dan saran yang diperlukan. A. Kesimpulan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI UU NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN (Studi Kasus di SMA Negeri 4 Kota Magelang) ABSTRAK

IMPLEMENTASI UU NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN (Studi Kasus di SMA Negeri 4 Kota Magelang) ABSTRAK 1 IMPLEMENTASI UU NOMOR TAHUN 009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN (Studi Kasus di SMA Negeri 4 Kota Magelang) Iwan Kurniawan*, Hartuti Purnaweni**, Rihandoyo*** * wanwan9585@yahoo.com; ** hartutipurnaweni@gmail.com;

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KOTA PARIAMAN, Menimbang :

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK SALINAN BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN, Menimbang

Lebih terperinci

Implementasi Kebijakan Reforma Agraria Di Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar (Studi Asset Reform Dan Acces Reform)

Implementasi Kebijakan Reforma Agraria Di Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar (Studi Asset Reform Dan Acces Reform) 146 Implementasi Kebijakan Reforma Agraria Di Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar (Studi Asset Reform Dan Acces Reform) Oleh : Sularna & Joko Suranto Abstact Land reform is the Agrarian Reform Program

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. disiplin ilmu sosial. Menurut Dye (dalam Agustino, 2008:7) kebijakan publik

II. TINJAUAN PUSTAKA. disiplin ilmu sosial. Menurut Dye (dalam Agustino, 2008:7) kebijakan publik II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik Istilah kebijakan publik sering digunakan dalam beberapa penelitian, khususnya disiplin ilmu sosial. Menurut Dye

Lebih terperinci

Implementasi Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas di SLB-B Kabupaten Wonosobo

Implementasi Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas di SLB-B Kabupaten Wonosobo Implementasi Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas di SLB-B Kabupaten Wonosobo Aga Fakhrur Rozi, Sri Suwitri Departemen Administrasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun simpulan dan rekomendasi berikut ini: 7.1. Simpulan Kebijakan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual

Lebih terperinci

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR NOMOR 11 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENANGGULANGAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIANJUR, Menimbang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafiking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ini merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK ILMU ADMINISTRASI NEGARA

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK ILMU ADMINISTRASI NEGARA ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK ILMU ADMINISTRASI NEGARA 1 PROSES KEBIJAKAN PUBLIK Proses kebijakan publik merupakan proses yg amat rumit dan kompleks. Oleh karenanya untuk mengkajinya para ahli kemudian membagi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya Oleh : Imronah*) Abstraksi Eugene Bardach dalam tulisannya mengatakan bahwa penulis yang lebih awal memberikan perhatian terhadap masalah

Lebih terperinci

Based on the above, then the identification problem in the form of questions: (1) How big is the influence of communication on the effectiveness of

Based on the above, then the identification problem in the form of questions: (1) How big is the influence of communication on the effectiveness of ABSTRAK Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pernyataan masalah (problem statement) yaitu Efektivitas pembuatan KTP di Kecamatan Kesambi Kota Cirebon belum efektif, hal ini diduga berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka Pemerintah Kota Metro sejak tahun 2010 telah mencanangkan Program

BAB I PENDAHULUAN. maka Pemerintah Kota Metro sejak tahun 2010 telah mencanangkan Program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan Visi Kota Metro menjadi Kota Pendidikan maka Pemerintah Kota Metro sejak tahun 2010 telah mencanangkan Program Jam Belajar Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi

VI. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi Program Keluarga Harapan (PKH) dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG TAHUN 2016-2018 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang penting. Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi hasil

BAB II LANDASAN TEORI. yang penting. Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi hasil 12 BAB II LANDASAN TEORI Landasan teori merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah didefenisikan sebagai masalah yang penting. Teori adalah konsep-konsep

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 04 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 04 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERDAGANGAN ORANG TERUTAMA PEREMPUAN DAN ANAK

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU GUBERNUR KEPULAUAN RIAU PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN RIAU NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH SINGGAH PADA PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK ENGKU PUTERI PROVINSI KEPULAUAN RIAU GUBERNUR

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU GUBERNUR KEPULAUAN RIAU PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN RIAU NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENGHAPUSAN PERDAGANGAN (TRAFIKING) PEREMPUAN DAN ANAK DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU GUBERNUR KEPULAUAN

Lebih terperinci

BUPATI POLEWALI MANDAR

BUPATI POLEWALI MANDAR BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

-2- Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan p

-2- Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan p TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Pekerja Migran. Pelindungan. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Model Mazmanian dan Sabatier

Model Mazmanian dan Sabatier Kuliah 11 Model Mazmanian dan Sabatier 1 Model Mazmanian dan Sabatier Tiga variabel yg mempengaruhi implementasi kebijakan : 1.Karakteristik masalah; 2.Struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Thomas R. Dye memberikan pengertian dasar mengenai kebijakan Publik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Thomas R. Dye memberikan pengertian dasar mengenai kebijakan Publik 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kebijakan Publik Thomas R. Dye memberikan pengertian dasar mengenai kebijakan Publik sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut oleh masyarakat Internasional sebagai bentuk perbudakan

Lebih terperinci