BAB 3 PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP PENYUSUTAN DAN MUTU SIMPLISIA. Pendahuluan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 3 PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP PENYUSUTAN DAN MUTU SIMPLISIA. Pendahuluan"

Transkripsi

1 BAB 3 PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP PENYUSUTAN DAN MUTU SIMPLISIA Pendahuluan Pengeringan merupakan cara yang paling umum digunakan untuk meningkatkan stabilitas bahan dengan mengurangi kandungan air bahan sehingga aktivitas airnya menurun. Pengeringan juga mengurangi aktivitas mikroba serta meminimalkan perubahan fisik dan kimiawi selama bahan kering disimpan (Mayor & Sereno 2004). Perubahan kadar air selama pengeringan bahan-bahan yang mengandung air tinggi akan menyebabkan perubahan bentuk, densitas dan porositas bahan. Perubahan bentuk dan ukuran ini mempengaruhi sifat-sifat fisik dan akhirnya juga berdampak pada berubahnya tekstur dan sifat transport (transport properties) produk yang dihasilkan (Yan et al. 2008). Salah satu perubahan fisik yang penting selama pengeringan adalah pengurangan volume eksternal bahan. Kehilangan air dan pemanasan menyebabkan tekanan terhadap struktur sel bahan diikuti dengan perubahan bentuk dan pengecilan ukuran. Penyusutan bahan yang dikeringkan mempunyai akibat negatif pada kualitas produk keringnya. Perubahan bentuk, pengurangan volume dan peningkatan kekenyalan atau kekerasan bahan adalah hal-hal yang kurang disukai konsumen. Keretakan bahan yang dikeringkan adalah fenomena lain yang dapat terjadi selama proses pengeringan. Hal ini dapat terjadi bila penyusutan yang terjadi tidak seragam dan laju pengeringan terlalu tinggi. Penyusutan telah dipelajari dengan cara pengukuran secara langsung menggunakan mistar atau mikrometer atau secara tak langsung dengan mengukur parameter yang terkait dengan penyusutan seperti porositas dan massa jenis (Yadollahinia & Jahangiri 2009). Penyusutan bahan yang mengalami pengurangan kandungan air yang tinggi disarankan tidak diabaikan dan dimasukkan dalam perhitungan pendugaan profil kadar air bahan selama pengeringan. Untuk keperluan ini sudah ada berbagai tipe model untuk memprediksi perubahan volume yang dapat digunakan. Beberapa penulis telah berhasil mengkaji proses penyusutan beberapa produk pertanian baik secara eksprimen maupun teori.

2 48 Temu putih (Curcuma zedoaria Rosc.) dan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang memiliki kadar air cukup tinggi saat dipanen yaitu berkisar 80-90%, sedangkan kadar air akhir yang diinginkan adalah 10%. Dengan demikian perubahan volume irisan temu putih dan temu lawak yang dikeringkan cukup besar dan tidak dapat diabaikan. Salah satu faktor yang dipengaruhi oleh penyusutan bahan adalah difusivitas. Efektifitas difusi merupakan kombinasi berbagai mekanisme perpindahan massa seperti kapilaritas, difusivitas gas dan cairan serta perbedaan tekanan. Difusivitas efektif adalah proses utama yang mengontrol pengeringan temu putih dan temu lawak yang terjadi pada periode laju menurun. Crank (1975) telah mengembangkan model matematika untuk menentukan difusivitas efektif berdasarkan hukum Fick kedua yang dipengaruhi oleh bentuk atau geometri bahan. Persamaan matematika yang dikembangkan oleh Crank kemudian diselesaikan oleh beberapa peneliti yang pada umumnya hanya mempertimbangkan suku pertama dari ruas kanan persamaan tersebut. Persamaan pengeringan yang diturunkan kemudian didapatkan melalui metode pendekatan empiris, teoritis maupun semi-teoritis. Model-model teoritis dan semi teoritis pengeringan yang sudah dikenal seperti model Lewis dan Henderson-Pabis disusun berdasarkan asumsi tidak terjadi penyusutan selama proses pengeringan berlangsung. Penggunaan model teoritis menyebabkan kesalahan dalam menentukan profil pengeringan, hal ini dapat dilihat dari lebih baiknya model empiris dalam mewakili data pengeringan dibandingkan model teoritis. Jayas et al. (1991) menyatakan walaupun model empiris dapat lebih baik menggambarkan data pengeringan tetapi sulit untuk memaknai parameter-parameternya dibandingkan variabel(-variabel) dari model pengeringan teoritis. Pada penelitian ini sebelumnya baik model semi teoritis Lewis dan Henderson-Pabis maupun yang empiris yaitu model Page telah digunakan dalam menduga profil pengeringan. Model Page memiliki koefisien korelasi yang tinggi dan dapat mewakili data empiris lebih baik daripada model teoritis. Walaupun demikian, mengingat bahwa temu putih dan temu lawak mengalami penyusutan yang cukup besar maka pada studi ini faktor penyusutan akan dipertimbangkan dalam penyusunan model teoritisnya.

3 49 Untuk mengetahui seberapa besar penyusutan irisan simplisia temu putih dan temu lawak selama pengeringan digunakan bantuan pengolahan citra (image processing) dengan menggunakan kamera digital. Pengolahan citra merupakan proses pengolahan piksel-piksel dalam citra digital untuk suatu tujuan tertentu. Beberapa alasan dilakukannya pengolahan citra antara lain untuk memperoleh citra dengan karakteristik tertentu dan cocok secara visual yang dibutuhkan untuk tahap pemrosesan analisis citra, yang kemudian akan ditransformasikan dalam suatu representasi numerik. Hasil pengamatan penyusutan bahan yang diperoleh dengan bantuan pengolahan citra sebagai suatu parameter dapat digunakan untuk mempelajari fenomena penyusutan selama pengeringan. Perubahan lain yang terjadi selama pengeringan adalah berkurangnya kandungan bahan lainnya seperti vitamin, protein, enzim dan zat aktif. Selain itu pengeringan juga mengakibatkan perubahan tampilan fisik produk seperti warna, tekstur dan aroma. Suhu, kadar air dan aktivitas air merupakan faktor yang mempengaruhi sifat kimia dan biokimia bahan selama pengeringan dan penyimpanan. Air bukan hanya media transfer panas dan penyimpanan energi tetapi juga berperan dalam berbagai reaksi biokimia di dalam produk. Molekul air menyediakan proton (H + ), ion hidroksida (OH - ), atom hidrogen (H), oksigen (O) dan radikal (H, OH). Oleh karena itu, air dapat bertindak sebagai pelarut, pereaksi atau pendispersi di dalam bahan (Ong & Law 2010) Simplisia temu putih dan temu lawak mengandung senyawa aktif yang harus dipertahankan keberadaannya selama produk ini diproses hingga menjadi bahan baku obat tradisional atau jamu. Salah satu tahapan proses tersebut adalah pengeringan. Proses pengeringan harus dilakukan secara benar karena penggunaan suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan hilang atau berkurangnya zat aktif bahan. Proses pengeringan tentunya tidak dapat meningkatkan mutu simplisia (kuantitas zat aktifnya) karena hal itu tergantung pada aspek budidaya tanaman tersebut. Akan tetapi hubungan kondisi pengeringan dengan kadar zat aktif produk keringnya perlu dipelajari agar diketahui kondisi proses pengeringan yang terbaik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh berbagai kondisi pengeringan terhadap penyusutan dan mutu simplisia temu putih dan temu lawak

4 50 selama proses pengeringan konvektif dengan menggunakan bantuan program pengolahan citra. Tinjauan Pustaka Mekanisme Penyusutan Penyusutan bahan pada saat pengeringan tidak dapat dihindari karena adanya proses pemanasan dan keluarnya air dari bahan. Pada saat air keluar dari bahan terjadi ketidakseimbangan antara tekanan di dalam bahan dengan di luar bahan yang menimbulkan kontraksi dan memicu terjadinya penyusutan, perubahan bentuk dan kadang-kadang terjadi pecah atau keretakan bahan (Mayor & Sereno 2004). Penyusutan meningkat dengan semakin banyaknya air yang keluar dari dalam bahan. Pada beberapa kasus keseimbangan terjadi ketika penyusutan bahan sama dengan volume air yang keluar seperti pada pengeringan wortel yang dilaporkan oleh Krokida & Maroulis (1997) dan Lozano et al. (1983) (Gambar 3-1). Pada kasus yang lain volume air yang keluar lebih besar daripada penyusutan bahan seperti pada pengeringan kentang dan ubi jalar (Wang & Brennan 1995) serta apel (Krokida & Maroulis 1997; Figueiredo & Sereno 2000) (Gambar 3-2). Hal ini disebabkan adanya penurunan mobilitas (kelenturan) material padat bahan pada kondisi kadar air rendah. Gambar 3-1. Rasio volume air yang keluar terhadap penyusutan volume sampel wortel selama pengeringan

5 51 Gambar 3-2. Rasio volume air yang keluar terhadap penyusutan volume sampel apel selama pengeringan Mobilitas bahan padat sangat terkait dengan keadaan fisik yaitu sifat viskoelastik, dimana kelenturan yang tinggi berhubungan dengan rubbery state sedangkan yang rendah dengan glassy state. Levi & Karel (1995) menemukan bahwa mobilitas bahan padat merupakan suatu proses dinamis yang lajunya tergantung pada selisih suhu pengeringan dengan suhu transisi gelas. Pada kadar air tinggi dan bahan dalam kondisi rubbery, hampir seluruh penyusutan merupakan kompensasi dari hilangnya air dari dalam bahan, dan pada saat itu penyusutan bahan terjadi secara linier mengikuti penurunan kadar air. Pada kadar air rendah suhu transisi gelas meningkat dan kondisi bahan berubah dari rubbery ke glassy dan laju serta besarnya penyusutan berkurang secara signifikan. Ketika pengeringan berlangsung pada selang kadar air rendah terjadi transisi fase dari rubbery ke glassy, maka kekakuan (rigidity) bahan akan menghentikan penyusutan dan akan terbentuk pori-pori bahan (Mayor & Sereno 2004). Laju pengeringan yang tinggi akan membuat adanya gradien kandungan air pada seluruh bahan, sehingga permukaan luar yang berkadar air rendah akan berada pada fase transisi dan membentuk lapisan permukaan yang keras dan berpori sehingga volume bahan tidak berubah lagi walaupun dibagian dalam masih berada pada fase ruberry. Fenomena ini dikenal juga sebagai efek pengerasan lapisan permukaan (case hardening effect). Pengerasan lapisan tidak

6 terjadi jika kondisi pengeringan di lapisan luar bahan tidak melewati fase transisi walaupun laju pengeringannya tinggi. Bila digunakan laju pengeringan rendah, difusi air dari dalam keluar bahan akan terjadi dengan laju yang sama dengan penguapan air di permukaan bahan dan penyusutan terjadi secara seragam hingga tahap akhir pengeringan. Beberapa peneliti sudah mempelajari pengaruh dari kondisi pengeringan yang berbeda terhadap perubahan volume bahan selama pengeringan. 52 Pada umumnya analisis tersebut dilakukan untuk mempelajari pengaruh setiap satu kondisi proses seperti suhu (Mcminn & Magee 1997 dengan komoditas kentang), kecepatan udara (Ratti 1994 dengan komoditas kentang, apel dan wortel) ataupun kelembaban nisbi (Ratti 1994 dengan komoditas kentang, apel dan wortel). Hasil studi tersebut tidak secara jelas menyatakan bagaimana pengaruh kondisi ini terhadap penyusutan. Pada beberapa kasus kenaikan suhu pengeringan menyebabkan penyusutan yang lebih sedikit. Pada kasus lain kenaikan laju udara pengeringan juga berpengaruh lebih kecil pada penyusutan yang besarannya tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan (Mayor & Sereno 1995). Perbedaan konsentrasi secara kimiawi merupakan tenaga penggerak bagi terjadinya transfer massa yang diekspresikan melalui bilangan Biot untuk pindah massa sebagai berikut (Ratti 1994): Bi = k gl 0 P 1 ρ s D ef (3.1) koefisien k g umumnya independen dari kelembaban nisbi udara (Treybal 1980) dan karena variabel ini memiliki pengaruh yang kecil terhadap P, pada rentang kelembaban nisbi menengah (dari untuk sebagian besar bahan makanan), maka bilangan Bi yang didefinisikan dalam persamaan (3.1) tidak berubah secara signifikan dalam kisaran kelembaban udara yang disebutkan. Oleh karena itu efek kelembaban relatif pada penyusutan dapat diabaikan, kecuali pada nilai-nilai yang sangat rendah. Pada saat pengeringan berada pada kondisi kelembaban yang sangat rendah dimana bilangan Bi meningkat tajam, terjadi fenomena pengerasan permukaan (case hardening) untuk membatasi susut. Suhu hanya berpengaruh sedikit pada k g dan P 1 sehingga pengaruhnya pada penyusutan juga kecil. Efek kecil suhu terhadap penyusutan yang teramati dalam praktek dapat dikaitkan

7 53 dengan pengaruh suhu terhadap sifat elastisitas dan mekanikal bahan (Kowalski 1996). Difusivitas Efektif Difusivitas sangat tergantung pada suhu pengeringan dan kadar air bahan. Untuk bahan berpori (porous material) fraksi void juga sangat mempengaruhi difusivitas demikian pula dengan kondisi struktur dan sebaran porinya. Ketergantungan difusivitas terhadap suhu secara umum dapat digambarkan oleh persamaan Arhenius (Marinos-Kouris & Maroulis 1995; Madamba et al. 1996) berikut: D = D 0 exp E a R T abs (3.2) dimana D 0 adalah koefisien yang berhubungan dengan kondisi pengeringan atau disebut juga Arhenius factor (m 2 /detik), E a adalah energi aktivasi untuk difusi (kj/mol), R adalah konstanta gas ideal (kj/mol K) dan T adalah suhu mutlak (K). Ketergantungan difusivitas terhadap kadar air dapat dinyatakan dalam persamaan Arhenius dengan memasukkan energi aktivasi ataupun Arhenius factor sebagai fungsi dari kadar air. Hubungan kadar air dan difusivitas bahan juga dapat menggunakan persamaan empiris lainnya, seperti yang digunakan Kiranoudis et al. (1992b) untuk komoditas kentang dan wortel berikut, D = D 0 exp M 0 M exp T 0 T (3.3) Migrasi air selama proses pengeringan merupakan hal kompleks yang melibatkan satu atau lebih mekanisme transport seperti difusi cair, difusi uap, difusi Knudsen, difusi permukaan dan perbedaan tekanan hidrostatik (Mujumdar & Devahastin 2008). Difusi efektif (D ef ) didefinisikan untuk menggambarkan laju perpindahan air di dalam bahan tanpa memandang mekanisme transport yang terjadi. Persamaan difusi diturunkan dari hukum Fick kedua, M l t = D M l (3.4)

8 Dengan mengansumsikan koefisien difusivitas konstan untuk seluruh proses pengeringan, kadar air bahan seragam dan tidak terjadi perubahan volume (shrinkage) maka persamaan (3.4) dapat ditulis menjadi: M t = D ef 2 M (3.5) D ef adalah difusivitas efektif (m 2 /detik). Pemecahan persamaan 3.5 dilakukan untuk berbagai bentuk standard (datar, silinder dan bola) dengan kondisi batas sesuai bentuk masing-masing (Crank 1975). pemecahan persamaan tersebut berupa deret persamaan berikut, 54 Untuk bentuk datar (slab) MR = M M e = 8 1 M 0 M e π 2 2n exp (2n + 1)2 π 2 D t 4 2 n=0 (3.6) Dalam banyak kasus, difusivitas efektif dihitung hanya berdasarkan suku pertama dari penyelesaian umumnya, sehingga persamaan (3.6) menjadi: MR = 8 π 2 exp π2 D t 4 2 (3.7) Karathanos et al. (1990) membuat tahapan untuk menghitung difusivitas efektif bahan secara terinci. Pada kebanyakan kasus, difusivitas total merupakan penjumlahan dari difusivitas fase uap dan fase cair sebagaimana Gambar 3-3. Pada kadar air tinggi difusivitas cairan lebih dominan sebagai mekanisme transport dibandingkan difusivitas uap dan sebaliknya. Pada umumnya koefisien difusivitas berada pada selang dan 10-6 m 2 /detik dimana mayoritas (sekitar 92%) berada pada selang dan 10-8 m 2 /detik (Zogzas & Maroulis 1996). Dari berbagai studi yang telah dilakukan diketahui bahwa difusivitas efektif meningkat dengan meningkatnya suhu tetapi dengan kecenderungan yang bervariasi sesuai kadar air bahan. Pada suhu tinggi ikatan molekul air dengan zat lain di dalam bahan lebih mudah terlepas sehingga diperlukan energi yang lebih sedikit untuk mengeluarkan air dibandingkan pada suhu rendah.

9 55 Gambar 3-3. Variasi difusivitas terhadap kadar air (Karathanos et al. 1990) Hal sebaliknya, kemudahan pergerakan air dalam bahan sangat tergantung pada struktur bahan. Selain itu fraksi void juga diketahui sangat mempengaruhi difusivitas, dimana bahan dengan porositas rendah cenderung mengalami difusi cair sedangkan untuk biji-bijian/butiran dan produk yang banyak mengandung pori cenderung mengalami difusi uap melalui rongga kosong (void space) (Karathanos et al. 1990). Model Penyusutan Berbagai studi telah dilakukan untuk mendapatkan model pendugaan yang menjelaskan perilaku penyusutan buah-buahan dan sayuran. Lozano et al. (1983) mendapatkan hubungan untuk menduga penyusutan pada buah-buahan dan sayuran berdasarkan perubahan kadar air. Al-Muhtaseb et al. (2004) dan Hernandez et al. (2000) menyatakan bahwa penyusutan dan perubahan kadar air berbanding lurus. Hatamipour & Mowla (2002) melaporkan bahwa perubahan volume wortel juga berbanding lurus dengan penyusutan arah sumbu selama pengeringan, sedangkan Yang et al. (2001) melaporkan bahwa penyusutan kentang tidak berpola (non-isotropic or irregular). Teknik pengolahan citra adalah cara yang mudah diterapkan untuk melihat perubahan bentuk bahan. Yan et al. (2008) menggunakan pengolahan citra untuk menganalisis perubahan dimensi nenas, mangga dan pisang selama pengeringan. Perubahan parameter seperti luas, perimeter, diameter dan bentuk bahan diukur

10 56 dengan analisis citra dan dihubungkan dengan perubahan kadar air memakai persamaan polinomial ordo dua. Fernandez (2005) menggunakan pengolahan citra untuk menganalisis pengaruh pengeringan terhadap penyusutan, warna dan tekstur irisan apel. Semua parameter tersebut turun secara landai menurut waktu pengeringan dan nilainya berubah cepat pada 6 jam pertama pengeringan dan setelah itu relatif stabil. Ada dua substansi pendekatan yang berbeda dalam membuat model penyusutan bahan pangan selama pengeringan. Yang pertama disusun berdasarkan model empiris dari data penyusutan sebagai fungsi kadar air. Pendekatan kedua yang lebih fundamental didasarkan pada interpretasi fisik dari sistem pangan yang kemudian digunakan untuk menduga perubahan bentuk bahan berdasarkan hukum kekekalan massa dan volume. Pada kedua pendekatan tersebut dihasilkan baik model linier maupun non-linier untuk menjelaskan perilaku penyusutan terhadap kadar air (Mayor & Sereno 2004) Perubahan dimensi dan bentuk bahan terjadi secara simultan dan difusi air mempengaruhi laju kehilangan air pada saat pengeringan. Para peneliti telah menunjukkan bahwa proses perubahan volume adalah salah satu unsur pokok sumber kesalahan dalam simulasi model pengeringan produk biologis (Lang & Sokhansanj 1993). Sebagian besar model matematika yang digunakan untuk simulasi pengeringan proses produk pertanian telah mengabaikan perubahan volume pada saat proses pengeringan (Brooker et al. 1981). Namun, modelmodel tersebut dapat diperbaiki dengan memasukkan fenomena penyusutan (Lang et al. 1994). Pada umumnya model penyusutan didasarkan pada geometri standar yaitu bentuk bola, silinder, kubus dan datar (slab). Sedangkan dimensi yang dikaitkan dengan perubahan kadar air bahan adalah ketebalan, diameter, area atau volume bahan. Pengolahan Citra Pengolahan citra adalah suatu metode yang digunakan untuk memproses atau memanipulasi gambar dalam bentuk 2 dimensi. Pengolahan citra juga dikatakan sebagai operasi untuk memperbaiki, menganalisa, atau mengubah suatu gambar. Pada umumnya, tujuan dari pengolahan citra adalah mentransformasikan

11 57 atau menganalisis suatu gambar sehingga informasi baru tentang gambar dibuat lebih jelas. Terdapat empat klasifikasi dasar dalam pengolahan citra yaitu point, area, geometri, dan frame (Niblack 1986). Pada operasi point, pemrosesan nilai piksel suatu citra dilakukan berdasarkan nilai dan posisi dari piksel tersebut. Termasuk di dalam operasi point ini adalah pengaturan brightness, kontras, color balance, negatif, gray scaling serta sephia. Pada operasi area, pemrosesan nilai piksel suatu citra dilakukan berdasarkan nilai piksel tersebut beserta nilai piksel sekelilingnya. Termasuk di dalam operasi area ini adalah sharpening dan smoothing. Operasi geometri digunakan untuk mengubah posisi dari sebuah piksel menjadi posisi lain yang dikehendaki. Termasuk di dalam operasi geometri ini adalah translasi, scaling, rotasi dan flip. Proses pengolahan citra mempunyai ciri data masukan dan informasi keluaran yang berbentuk citra. Istilah pengolahan citra digital secara umum didefinisikan sebagai pemrosesan citra dua dimensi dengan komputer. Dalam definisi yang lebih luas, pengolahan citra digital juga mencakup semua data dua dimensi. Citra digital adalah barisan bilangan nyata maupun kompleks yang diwakili oleh bit-bit tertentu. Umumnya citra digital berbentuk persegi panjang atau bujur sangkar (pada beberapa sistem pencitraan ada pula yang berbentuk segi enam) yang memiliki lebar dan tinggi tertentu. Ukuran ini biasanya dinyatakan dalam banyaknya titik atau piksel sehingga ukuran citra selalu bernilai bulat. Setiap titik memiliki koordinat sesuai posisinya dalam citra. Koordinat ini biasanya dinyatakan dalam bilangan bulat positif, yang dapat dimulai dari 0 atau 1 tergantung pada sistem yang digunakan. Setiap titik juga memiliki nilai berupa angka digital yang merepresentasikan informasi yang diwakili oleh titik tersebut (Putra 2010). Satuan atau bagian terkecil dari suatu citra disebut piksel (pixel atau picture element). Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar piksel adalah sama pada seluruh bagian citra (Ahmad 2005). Kebanyakan kamera menangkap citra dalam bentuk gelombang analog yang kemudian dilakukan pengambilan sampel dan dikuantisasi untuk mengkonversinya ke dalam bentuk citra digital. Pada proses selanjutnya representasi tersebutlah yang akan diolah secara digital oleh

12 58 komputer. Pengolahan citra pada umumnya sangat erat kaitannya dengan computer aided analysis yang umumnya bertujuan untuk mengolah suatu objek citra dengan cara mengekstraksi informasi penting yang terdapat di dalamnya. Dari informasi tersebut dapat dilakukan proses analisis dan klasifikasi secara cepat memanfaatkan algoritma perhitungan komputer. Pengolahan citra sangat berhubungan dengan teknologi komputer dan algoritma matematik untuk mengenali, membedakan serta menghitung gambar. Perolehan citra dan segmentasi sistem pengambilan citra (gambar) terdiri dari empat komponen dasar yaitu : illuminasi, kamera, hardware dan software. Format data citra digital berhubungan erat dengan warna. Pada kebanyakan kasus, terutama untuk keperluan penampilan secara visual, nilai data digital merepresentasikan warna dari citra yang diolah. Format citra digital yang banyak dipakai adalah citra biner (monokrom), citra skala keabuan (gray scale), citra warna (true color), dan citra warna berindeks. Proses segmentasi suatu objek citra dilakukan dengan menerapkan threshold dan mengurangi latar belakang untuk memperoleh citra biner. Thresholding atau binerisasi yaitu pengelompokan piksel-piksel dalam citra berdasarkan batas nilai intensitas tertentu. Pada operasi ini hasil proses suatu titik atau piksel tidak tergantung pada kondisi piksel-piksel disekitarnya. Dalam operasi binerisasi, satu piksel pada citra asal akan dipetakan menjadi piksel objek atau latar belakang. Operasi thresholding dapat dilakukan dengan hanya melihat nilai-nilai intensitas sinyal merah, sinyal hijau, atau sinyal biru, ataupun dengan citra grayscale yang dihasilkan dengan merata-ratakan nilai intensitas ketiga sinyal diatas. Keempat cara thresholding ini di gunakan untuk memberi keleluasaan kepada pengguna untuk menghasilkan citra terbaik berdasarkan kondisi citra warna yang akan diproses. Cahaya di dalam ruangan harus datang dari segala arah agar tidak menimbulkan bayangan, dan tidak terlalu kuat agar tidak menimbulkan efek pantulan pada permukaan obyek, terutama untuk obyek-obyek yang mempunyai permukaan licin dan berkilap (Ahmad 2005). Komposisi Kimia dan Mutu Simplisia Temu Putih dan Temu Lawak Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga berupa bahan yang dikeringkan.

13 59 Simplisia dapat berasal dari tanaman utuh atau bagian dari tanaman, hewan, bahan mineral yang diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni (Depkes 2008, 1978). Simplisia dari tanaman harus bebas dari serangga, fragmen hewan atau kotoran, tidak boleh menyimpang bau dan warnanya, tidak mengandung lendir, jamur/cendawan dan bahan lain yang beracun atau berbahaya. Temu putih merupakan tanaman semak dengan tinggi sekitar 2 m dan memiliki batang semu, batang di dalam tanah membentuk rimpang berwarna kuning-hijau. Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah umbi akar yang diiris dan dikeringkan. Rimpang temu putih mengandung zat warna kuning yaitu kurkuminoid (diarilheptanoid) dan senyawa kimia lain, seperti: minyak atsiri, zingiberen, sineol, polisakarida, dan golongan lain. Kurkuminoid yang telah diketahui meliputi kurkumin, desmektosikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin (Gambar 3-4). Selain itu, bagian minyak temu putih yang mudah menguap (1-1.5%) juga mengandung epikurzerenon, kurdion, dan zedoaron (BPOM, 2007). Chen et al. (2011) menyatakan bahwa komponen yang dominan di dalam Curcuma zedoaria adalah minyak atsiri. Beberapa penelitian melaporkan bahan aktif temu putih bersifat anti kanker (Chen et al. 2011; Seo et al. 2005) dan sudah diuji menjadi anti oksidan (Mau et al. 2003). Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia yang tumbuh liar di hutan-hutan di dataran rendah hingga 1500 m di atas permukaan laut (Syukur 2003). Rimpang temu lawak segar terdiri atas minyak atsiri, lemak, zat warna, protein, resin, selulosa, pati, mineral dan air. Rimpang keringnya mengandung 7-30% minyak atsiri, 30-40% pati dan % kurkuminoid yang terdiri atas 58-71% kurkumin (C 21 H 20 O 6 ) dan 29-42% desmetoksikurkumin (C 20 H 18 O 5 ) (Yasni et al. 1993; Purseglove et al. 1981). Minyak atsiri memberi bau dan rasa yang khas sedangkan kurkuminoid memberi warna kuning pada rimpang temu lawak yang bersifat antibakteria, anti-kanker, anti-tumor dan anti-radang. Selain itu rimpang temu lawak mengandung antioksidan dan hypokolesteromik (Masuda et al. 1992; Hwang et al. 2000; Choi et al. 2005).

14 60 Gambar 3-4. Struktur kimia kurkuminoid C. xanthorrhiza (Masuda et al. 1992) Standar mutu simplisia didasarkan pada Farmakope Herbal Indonesia (FHI) dan Materia Medika Indonesia (MMI) (Depkes 2008, 1979). Standar simplisia temu putih masih belum tercantum dalam FHI dan MMI sehingga didekati dengan spesies lain dari genus yang sama. Pada Tabel 3-1 ditampilkan standar mutu beberapa genus Curcuma yaitu kunyit (C. domestica), temu mangga (C. mangga) dan temu lawak (C. xanthorrhiza). Tabel 3-1. Standar mutu beberapa simplisia genus Curcuma 1) Parameter Kunyit Temu mangga Temu lawak Kadar air 2) < 10% < 10% < 10% Kadar abu < 8.2% < 6.1% < 4.8% Kadar abu tidak larut dalam asam < 0.9% < 2.4% < 0.7% Kadar sari larut dalam air > 11.5% > 19.6% > 9.1% Kadar sari larut dalam alkohol > 11.4% > 2.4% < 3.6% Kadar kurkumin > 6.6% - > 4.0% Bahan organik asing 3) < 2% < 2% < 2% Sumber : 1) Depkes (2008); 2) Kepmenkes 661/1994; 3) Depkes (1979) Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari Nopember 2010 di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Bagian Energi dan Elektrifikasi Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB.

15 61 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah irisan rimpang temu putih dan temu lawak dengan umur panen 9 bulan yang diperoleh dari Kebun Petak Pamer Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Cimanggu-Bogor. Alat yang digunakan antara lain: pengering laboratorium terkendaliterakuisisi, timbangan digital model AQT 200 (kapasitas 200 gram dan ketelitian 0.01 gram), oven Ikeda Scientific SS204D, desikator, anemometer Kanomax A541, seperangkat kamera dan pengolah data. Prosedur Percobaan Kegiatan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu persiapan bahan, persiapan peralatan, dan pengambilan data perubahan massa dan citra. Sampel temu putih dan temu lawak yang sebelumnya telah dicuci dan dipotong-potong dengan ketebalan 3 mm dikeringkan dengan alat pengering lab terkendali. Pengontrolan kondisi pengeringan dilakukan dengan kontrol PID dengan akurasi suhu ± 1 o C dan RH ± 2% sesuai dengan standar (ASABE 2006). Sensor suhu dan RH menggunakan SHT15 keluaran Sensirion. Secara keseluruhan alat pengering dikontrol oleh mikroprosesor AVR Atmel. Alat ini dilengkapi juga dengan sistim humidifier 2000 W, sistim pemanas 2000 W, kipas elektrik dan dehumidifier. Kecepatan udara pengering yang melalui ruang pengering (drying chamber) yang berdimensi 35 cm 35 cm 35 cm dikontrol secara manual dan diukur dengan menggunakan anemometer digital Kanomax dengan akurasi ± 0.1 m/s. Laju aliran udara m/detik. Skema alat pengering terlihat pada Gambar 1-1. Pada setiap percobaan, alat pengering dihidupkan sekitar satu jam sebelum dimulai untuk menstabilkan ruangan pengering sesuai dengan kondisi percobaan yang diinginkan. Percobaan dihentikan setelah berat sampel konstan. Berat dan suhu bahan serta suhu dan kelembaban udara pengering dimonitor secara kontinu dan direkam datanya setiap 5 menit selama percobaan. Perubahan berat sampel diukur langsung secara otomatis dengan menggunakan timbangan GF-3000 A&D (kapasitas 3000 g dan akurasi 0.01 g). Demikian juga perekaman citra diukur dan dicatat hingga pengeringan berakhir. Semua data yang diambil langsung direkam oleh perangkat komputer. Analisis citra disimpan dalam format digital yang akan diolah kemudian.

16 62 Kondisi pengeringan yang dilakukan pada studi ini adalah pada suhu 50, 60 dan 70 o C dengan RH 20%, 30% dan 40%. Luas permukaan sampel simplisia bervariasi antara 276 hingga 496 mm 2. Sampel hasil pengeringan pada berbagai kondisi percobaan pengeringan kemudian dianalisis kandungan zat aktif kurkuminoidnya dan juga dilakukan analisis proksimat. Pada Tabel 3-2 dapat dilihat kondisi pengeringan untuk studi penyusutan temu putih dan temu lawak. Tabel 3-2. Kondisi suhu & RH percobaan pada studi penyusutan temu putih dan temu lawak Temu putih Temu lawak Suhu/RH 20% 30% 40% 40% 50 o C 60 o C 70 o C Perekaman Citra Selama pengeringan berlangsung citra sampel direkam ke komputer dengan resolusi 640 x 480 piksel. Citra direkam setiap 5 menit dengan kamera yang ditempatkan pada bagian atas alat pengering dengan jarak 15 cm dari permukaan bahan. Citra irisan temu putih yang telah direkam, kemudian disimpan dalam sebuah arsip (file). Citra tersebut kemudian dianalisis dengan program pengolahan citra yang dibuat untuk kondisi percobaan ini. Analisis penyusutan dilakukan terhadap area (luasan) penampang bahan. Data hasil analisis citra kemudian dihitung untuk mendapatkan rasio penyusutan area atau luas permukaan bahan yang terjadi selama proses pengeringan berlangsung (Tulliza 2010). Obyek yang direkam terdiri atas banyak sekali piksel yang saling terkoneksi. Dalam citra digital yang dipresentasikan dalam bentuk rangkaian kotak persegi-empat, sebuah piksel mempunyai empat piksel tetangga yang bersentuhan sisi dan empat piksel tetangga lainnya yang bersentuhan di sudut. Operasi morfologi diterapkan pada citra adalah metode biner, dimana suatu citra hanya mengandung dua macam informasi intensitas, yaitu piksel-piksel obyek (warna putih) dan piksel-piksel latar belakang (warna hitam). pengolahan citra dapat dilihat pada Gambar 3-5. Skema proses

17 63 Simplisia TP & TL Gambar 3-5. Ilustrasi proses pengolahan citra (Tulliza 2010) Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan Anova untuk mengevaluasi keragaman dan regresi linier dan non linier untuk mendapatkan model yang sesuai. Program yang digunakan untuk analisis data adalah MS Excell dan CurveExpert Kriteria yang digunakan untuk memilih model yang sesuai adalah R 2 (coefficient of determination) dan SE (standard of error). Analisis Penyusutan Penyusutan menggambarkan pengurangan atau pengecilan ukuran atau dimensi volume, area (luas permukaan) ataupun ketebalan bahan. Penyusutan volume bahan yang dikeringkan dirumuskan sebagai berikut: S = V V 0 (3.8) Pada analisis ini penyusutan diasumsikan seragam (isotropic) sehingga penyusutan ketebalan sebanding dengan pengurangan dimensi permukaan bahan yang berbentuk slab sehingga ratio penyusutan ketebalan dan volume adalah: L L 0 = A A 0 1/2 (3.9)

18 64 V V 0 = A A 0 3/2 (3.10) Secara teoritis pengurangan volume bahan yang dikeringkan sebanding dengan volume air yang keluar sehingga model penyusutan volume menggunakan persamaan linier sebagai berikut, V V 0 = a M M 0 + b (3.11) Analisis Mutu Simplisia Analisis mutu simplisia temu putih dan temu lawak dilakukan untuk melihat kadar proksimat dan bahan aktifnya dalam hal ini kadar kurkumioid. Analisis sampel dilakukan di laboratorium yang telah disertifikasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) yaitu Laboratorium Analisis Mutu Balittro Bogor dan Pusat Studi Biofarmaka Bogor. Hasil analisis dibandingkan dengan standar simplisia yang mengacu pada standar Materia Medika Indonesia. Hasil dan Pembahasan Penyusutan Temu Putih Pengamatan terhadap penyusutan luas permukaan irisan temu putih dan temu lawak diplot menjadi kurva rasio area (A/A 0 ) terhadap waktu (Gambar 3-6) dan rasio kadar air (M/M 0 ) (Gambar 3-7). Dari gambar tersebut terlihat luas permukaan simplisia berkurang cepat pada awal pengeringan dan kemudian perlahan dan stabil pada akhir pengeringan. Dari grafik pada berbagai suhu terlihat semakin tinggi suhu pengeringan semakin tinggi linieritas penyusutan terhadap rasio kadar air, sedangkan untuk RH tingkat linieritasnya lebih rendah dan tidak memperlihatkan suatu pola. Dengan menggunakan persamaan (3.10) maka penyusutan volume simplisia dapat ditentukan dan kurvanya (V/V 0 )terhadap rasio kadar air diplot pada Gambar 3-8. Penyusutan volume temu putih terlihat berbanding lurus dengan pengurangan kadar air. Hasil uji anova menunjukkan bahwa suhu dan RH berpengaruh tidak nyata terhadap penyusutan (P-value 0.89 dan 0.61).

19 65 A/Ao C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% A/Ao C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% Waktu (menit) Waktu (menit) Gambar 3-6. Penyusutan area sampel temu putih terhadap waktu pengeringan A/Ao C, 40% C, 40% C, 40% M/Mo A/Ao C, 20% C, 30% 50 C, 40% M/Mo Gambar 3-7. Penyusutan area sampel temu putih terhadap kadar air V/Vo C, 40% C, 40% 70 C, 40% M/Mo V/Vo C, 20% C, 30% 50 C, 40% M/Mo Gambar 3-8. Penyusutan volume sampel temu putih terhadap kadar air

20 66 Hasil perekaman citra dengan menggunakan kamera ditampilkan pada Gambar 3-9 dan Gambar ini memperlihatkan degradasi dimensi permukaan irisan temu putih selama pengeringan sebagaimana grafik rasio area yang sudah ditampilkan di atas. Pada suhu 70 o C terjadi pembengkokan (bending) pada sampel temu putih yang diamati, demikian juga pada RH 30%. Gambar 3-9. Penyusutan citra area terhadap waktu pengeringan pada berbagai suhu Gambar Penyusutan citra area terhadap waktu pengeringan pada berbagai RH Pada Tabel 3-3 dapat dilihat besarnya penyusutan pada setiap suhu pengeringan dan banyaknya air yang diuapkan selama pengeringan. Dari tabel

21 tersebut dapat dilihat bahwa persentase pengurangan kandungan air bahan lebih besar daripada penyusutan volume bahan pada semua tingkatan suhu pengeringan. Hal yang sama dilaporkan oleh Wang & Brennan (1995) 67 pada pengeringan kentang dan ubi jalar serta apel oleh Krokida & Maroulis (1997). Penyusutan volume dan area irisan temu putih berdasarkan suhu pengeringan berkisar 81.2%- 93.9% dan 67.1%-84.6% dengan rata-rata (89.3±7.1)% dan (78.1±9.6)%, sedangkan penyusutan kadar air bervariasi %. Pada Tabel 3-4 tertera besarnya penyusutan pada setiap RH pengeringan dan banyaknya air yang diuapkan selama pengeringan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa persentase pengurangan kandungan air bahan juga lebih besar daripada penyusutan volume bahan pada semua tingkatan RH pengeringan. Penyusutan volume dan area irisan temu putih berdasarkan RH pengeringan berkisar 71.3%-81.2% dan % dengan rata-rata (74.6±5.6)% dan (60.1±6.1)%, sedangkan penyusutan kadar air bervariasi %. Tabel 3-3. Penyusutan total temu putih selama pengeringan pada suhu 50, 60 dan 70 o C Suhu RH Area (mm 2 ) Volume (mm 3 ) susut waktu awal akhir susut awal akhir susut air (menit) 70 o C 40% % % 99.6% o C 40% % % 99.2% o C 40% % % 98.7% 360 Tabel 3-4. Penyusutan total temu putih selama pengeringan pada RH 20%, 30% dan 40% Suhu RH Area (mm 2 ) Volume (mm 3 ) susut waktu awal akhir susut awal akhir susut air (menit) 50 o C 40% % % 98.7% o C 30% % % 98.5% o C 20% % % 98.6% 445 Model Penyusutan Temu Putih Pada Gambar 3-11 terlihat total penyusutan volume temu putih menurut waktu. Pada sekitar 90 menit pertama pengeringan, penyusutan volume pada berbagai tingkat suhu juga hampir berupa garis lurus dan semakin landai menuju

22 68 akhir pengeringan, sedangkan pada berbagai tingkat RH hanya linier pada sekitar 60 menit pertama. Gambar 3-12 memperlihatkan kurva total penyusutan volume temu putih menurut rasio kadar air. Kurva total penyusutan terhadap rasio kadar air pada berbagai tingkat suhu terlihat lebih linier daripada pada berbagai tingkat RH dengan demikian untuk menyusun model penyusutan temu putih yang didasarkan pada persamaan (3.11) digunakan data pengeringan pada berbagai tingkat suhu. 100% 80% 100% 80% Penyusutan 60% 40% 20% 0% 50 C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% Waktu (menit) 60% 40% 20% Gambar Total penyusutan volume ((V 0 -V)/V 0 ) temu putih terhadap waktu pengeringan Penyusutan 0% 50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% Waktu (menit) Penyusutan 100% 80% 60% 40% 50 C, 40% 60 C, 40% 70 C, 40% Penyusutan 100% 80% 60% 40% 50 C, 20% 50 C, 30% 50 C, 40% 20% 20% 0% 0% M/Mo M/Mo Gambar Total penyusutan ((V 0 -V)/V 0 ) temu putih terhadap rasio kadar air Nilai parameter a dan b pada persamaan (3.11) tersebut dapat ditentukan pada setiap suhu dengan regresi linier, hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 3-5. Berdasarkan uji anova diketahui bahwa perbedaan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap penyusutan irisan temu putih sehingga nilai a dan b dari seluruh

23 V/Vo data percobaan pada suhu 50, 60 dan 70 o C digunakan sebagai parameter untuk model penyusutan temu putih. Dari perhitungan seluruh data percobaan diperoleh nilai koefisien a dan b masing-masing adalah dan dengan nilai R 2 sebesar dengan standard error , sehingga model persamaan penyusutan temu putih dapat ditulis sebagai berikut: V V 0 = M M (3.12) Plot grafik persamaan (3.12) tertera pada Gambar Tabel 3-5. Nilai a dan b persamaan (3.10) pada berbagai suhu pengeringan Suhu a b R 2 SE 70 o C o C o C Data Model Penyusutan M/Mo Gambar Kurva model penyusutan temu putih pada berbagai suhu Difusivitas Efektif Temu Putih Dengan menggunakan persamaan (3.7) maka nilai difusivitas efektif dengan penyusutan dan tanpa penyusutan pada setiap kondisi pengeringan dapat ditentukan (Tabel 3-6). Nilai difusivitas efektif dengan mempertimbangkan

24 penyusutan berada pada kisaran m2/s lebih kecil daripada tanpa penyusutan yang berada pada kisaran m2/s. Hal yang sama dilaporkan oleh Zielinska & Markowski (2010) untuk produk irisan rimpang lainnya (wortel) yaitu antara m2/s dan antara m2/s masing-masing untuk dengan penyusutan dan tanpa penyusutan. Tabel 3-6. Nilai difusivitas efektif temu putih pada berbagai kondisi pengeringan Suhu, RH Model D-ef (m 2 /s) R 2 SE 70 C, 40% Shrinkage 5.68E No-Shrinkage 1.17E C, 40% Shrinkage 5.04E No-Shrinkage 1.06E C, 40% Shrinkage 4.74E No-Shrinkage 9.51E C, 30% Shrinkage 5.81E No-Shrinkage 1.13E C, 20% Shrinkage 6.19E No-Shrinkage 1.16E Nilai koefisien determinasi dan standard error rata-rata dari model shrinkage adalah 99.5% dan sedangkan untuk model no-shrinkage adalah 99.5% dan 0.018, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor penyusutan tidak membuat perbaikan pada model. Dengan demikian terbuka kemungkinan bahwa penyusutan temu putih tidak bersifat isotropik. Dari data pada tabel di atas disusun persamaan difusivitas sebagai fungsi suhu pengeringan. Dengan menggunakan metode regresi non-linier didapatkan koefisien D 0 (Arhenius factor) dan energi aktivasi (Ea) masing-masing adalah 3.33x10-7 m 2 /detik dan kj/mol dengan R 2 dan standard error masing-masing sebesar 1.00 dan 2.1x Persamaannya ditulis sebagai: D = exp R T abs (3.13) Dengan mempertimbangkan faktor penyusutan maka didapatkan koefisien D 0 dan Ea masing-masing adalah 1.05x10-7 m 2 /detik dan kj/mol dengan R 2 dan standard error masing-masing sebesar 0.96 dan 1.3x10-10 dan ditulis sebagai:

25 71 D = exp R T abs (3.14) Penyusutan Temu Lawak Pengamatan terhadap penyusutan luas permukaan irisan temu lawak diplot menjadi kurva rasio area (A/A 0 ) dan rasio volume terhadap waktu (Gambar 3-14). Dari gambar tersebut terlihat luas permukaan irisan temu lawak menyusut cepat pada awal pengeringan dan kemudian perlahan dan stabil pada akhir pengeringan. Penyusutan volume temu lawak menurut waktu terlihat identik dengan kurva pengeringan, hal ini sejalan dengan grafik penyusutan terhadap kadar air (M/M 0 ) (Gambar 3-15) yang menunjukkan kecenderungan hubungan yang linier terutama pada saat awal pengeringan. Hasil uji anova menunjukkan bahwa suhu berpengaruh tidak nyata (α = 0.01) terhadap penyusutan temu lawak dengan P- value sebesar Hasil perekaman citra dengan menggunakan kamera ditampilkan pada Gambar Gambar ini memperlihatkan degradasi dimensi permukaan irisan temu lawak selama pengeringan sebagaimana grafik rasio area yang sudah ditampilkan di atas. Pada suhu 60 o C terlihat sampel temu lawak mengalami pembengkokan C 60 C 70 C C 60 C 70 C A/Ao V/Vo Waktu (menit) Gambar Penyusutan area (kiri) dan volume (kanan) temu lawak terhadap waktu pengeringan Waktu (menit)

26 A/Ao C 60 C 70 C M/Mo Gambar Penyusutan area (kiri) dan volume (kanan) temu lawak terhadap kadar air V/Vo C 60 C 70 C M/Mo Gambar Penyusutan citra area temu lawak pada berbagai suhu pengeringan Pada Tabel 3-7 dapat dilihat besarnya penyusutan pada setiap suhu pengeringan dan banyaknya air yang diuapkan selama pengeringan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa persentase pengurangan kandungan air temu lawak lebih besar daripada penyusutan volume bahan pada semua tingkatan suhu pengeringan, hal yang sama juga terjadi pada temu putih. Penyusutan volume dan area irisan temu lawak berdasarkan suhu pengeringan berkisar 73.3%-88.5% dan 58.6%-74.4% dengan rata-rata (79.9±7.8)% dan (66.2±9.2)%, sedangkan penyusutan kadar air bervariasi % dengan rata-rata (98.9±0.3)%.

27 73 Tabel 3-7. Penyusutan total temu lawak selama pengeringan pada suhu 50, 60 dan 70 o C Suhu RH Area (mm 2 ) Volume (mm 3 ) susut waktu awal akhir susut awal akhir susut air (menit) 70 o C 40% % % 98.9% o C 40% % % 99.2% o C 40% % % 98.7% 480 Pada Gambar 3-17 terlihat total penyusutan volume temu lawak menurut waktu dan kadar air. Pada sekitar 120 menit pertama pengeringan, penyusutan volume pada berbagai tingkat suhu meningkat secara linier dan kemudian stabil sampai akhir pengeringan. Kurva total penyusutan menurut kadar air memperlihatkan bahwa pada saat awal pengeringan nilai rasio kadar air sekitar pertambahan penyusutan cenderung linier dan cenderung stabil setelah selang tersebut. Penyusutan 100% 80% 60% 40% 20% 0% 50 C 60 C 70 C Waktu (menit) Gambar Total penyusutan volume ((V 0 -V)/V 0 ) temu lawak terhadap waktu pengeringan (kiri) dan rasio kadar air (kanan) Penyusutan 100% 80% 60% 40% 20% 0% 50 C 60 C 70 C M/Mo Nilai parameter a dan b pada persamaan (3.10) dapat ditentukan pada setiap suhu dengan regresi linier, hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 3-8. Berdasarkan uji anova diketahui bahwa perbedaan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap penyusutan irisan temu lawak. Dari perhitungan seluruh data percobaan diperoleh nilai koefisien a dan b masing-masing adalah dan dengan nilai R 2 sebesar 90% dan standard error , sehingga model persamaan penyusutan temu lawak dapat ditulis sebagai berikut:

28 V V 0 = M M (3.14) 74 Tabel 3-8. Nilai a dan b persamaan penyusutan temu lawak Suhu a b R 2 SE 70 o C o C o C Dengan mengunakan program CurveExpert didapatkan bahwa curve fitting terbaik berupa persamaan polinomial yang dalam hal ini diambil persamaan polinomial pangkat tiga. Persamaannya adalah sebagai berikut: V V 0 = M M M M M M0 3 (3.15) dengan R 2 sebesar 93% dan standard error Nilai koefisien determinasi model polinomal tidak terlalu berbeda dari model linier, dengan demikian persamaan linier sudah memadai untuk digunakan sebagai model penyusutan temu lawak. Plot grafik model persamaan penyusutan temu lawak tertera pada Gambar Dengan menggunakan persamaan (3.7) maka nilai difusivitas efektif dengan penyusutan dan tanpa penyusutan dapat ditentukan berdasarkan data pengeringan pada setiap kondisi pengeringan (Tabel 3-9). Nilai difusivitas efektif temu lawak dengan mempertimbangkan penyusutan berada pada kisaran m2/s lebih kecil daripada tanpa memertimbangkan penyusutan yang berada pada kisaran m2/s. Hal yang sama juga terjadi pada produk irisan rimpang temu putih yaitu antara kisaran m2/s dan m2/s masing-masing untuk dengan penyusutan dan tanpa penyusutan.

29 V/Vo V/Vo r = Data Model Penyusutan 0.2 Data Model Penyusutan M/Mo M/Mo Gambar Kurva model penyusutan temu lawak dengan persamaan linier (kiri) dan polinomial (kanan) Tabel 3-9. Nilai difusivitas efektif temu lawak pada berbagai suhu pengeringan Suhu, RH Model D-ef (m 2 /s) R 2 SE 70 C, 40% 60 C, 40% 50 C, 40% Shrinkage 7.18E No-Shrinkage 1.44E Shrinkage 4.95E No-Shrinkage 1.18E Shrinkage 4.93E No-Shrinkage 1.04E Nilai koefisien determinasi dan standard error rata-rata dari model shrinkage adalah 99.1% dan sedangkan untuk model no-shrinkage adalah 99.6% dan 0.016, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor penyusutan tidak membuat perbaikan pada model. Dengan demikian penyusutan temu lawak diduga tidak bersifat isotropik. Dari data pada Tabel 3-9 disusun persamaan difusivitas efektif sebagai fungsi suhu pengeringan dengan menggunakan metode regresi non-linier. Nilai koefisien D 0 (Arhenius factor) dan energi aktivasi (Ea) temu lawak masing-masing adalah 2.77x10-6 m 2 /detik dan kj/mol dengan R 2 dan standard error masing-masing sebesar dan 2.01x ditulis sebagai berikut: Persamaannya D = 2.77x10 6 exp R T abs (3.16)

30 76 Analisis Mutu Simplisia Tabel 3-10 memperlihatkan hasil analisis proksimat simplisia temu putih pada berbagai suhu. Nilai kadar proksimat semua parameter pada seluruh kondisi suhu pengeringan telah sesuai dengan standar untuk simplisia kunyit dan temu mangga kecuali untuk suhu 60 o C-RH 40% pada parameter kadar abu tidak larut asam memiliki nilai 3.31% yang cenderung berbeda dengan nilai pada parameter yang sama suhu yang berbeda. Kadar kurkumin simplisia temu putih ditampilkan pada Tabel 3-11 yang berkisar antara %. Dari tabel tersebut nilai-nilai kadar akhir kurkumin tidak memiliki pola yang signifikan berdasarkan suhu dan RH, tetapi berdasarkan laju udara pengeringan terlihat bahwa kadar kurkumin pada kecepatan rendah cenderung lebih tinggi daripada kecepatan tinggi, angkanya 0.08±0.02% berbanding 0.13±0.02%. Nilai kadar kurkumin pada sampel basah temu putih tidak dapat terdeteksi. Tidak terdeteksinya kadar kurkumin sampel segar dan tidak adanya pola kadar kurkumin temu putih berdasarkan level suhu dan RH diduga disebabkan oleh kecilnya kandungan kurkumin pada simplisia temu putih yang lebih banyak mengandung bahan aktif zingiberen dan zederon (BPOM 2007). Tabel Kadar proksimat simplisia temu putih Parameter Suhu 40 o C 50 o C 60 o C 70 o C Kadar abu (%) Kadar abu tidak larut dalam asam (%) Kadar sari larut dalam air (%) Kadar sari larut dalam alkohol (%) Tabel Kadar kurkumin simplisia temu putih Suhu 40 o C 50 o C 60 o C 70 o C RH 40% 60% 20% 40% 60% 20% 40% 60% 20% 40% % Kadar v kurkumin v Analisis kadar kurkumin simplisia temu lawak pada Tabel 3-12 memperlihatkan kecenderungan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin rendah kadar kurkuminnya. Pada kondisi suhu 50 dan 60 o C juga terdapat

31 kecenderungan bahwa semakin rendah RH maka semakin rendah kadar kurkumin simplisia temu lawak. Suhu Tabel Kadar kurkumin temu lawak RH 20% 30% 40% Rata-rata menurut suhu 70 o C 2.26% 3.58% 2.14% 2.66% 60 o C 3.07% 4.67% 5.18% 4.31% 50 o C 7.56% 7.60% 7.99% 7.72% Kadar kurkumin (dengan penjemuran) 5.62% Hasil analisa proksimat simplisia temu lawak pada Tabel 3-13 menunjukkan bahwa semua nilai parameter sudah sesuai dengan standar Farmakope Herbal Indonesia (FHI) (Depkes 2008) kecuali parameter kadar abu. Tabel Hasil analisis proksimat simplisia temu lawak Parameter Simplisia Temulawak Standar FHI Sampel Kadar abu < 4.8% 5.44% Kadar abu tdk larut dlm asam < 0.7% 0.47% Kadar sari larut dalam air > 9.1% 16.67% Kadar sari larut dalam alkohol > 3.6% 4.57% 77 Pada Gambar 3-19 dan Gambar 3-20 terlihat simplisia temulawak hasil pengeringan pada berbagai kondisi suhu dan RH pengeringan. Secara visual terlihat adanya gradasi warna temulawak kering baik berdasarkan suhu maupun RH dengan kecenderungan yang sama, semakin tinggi suhu dan RH pengeringan maka warna simplisia yang dihasilkan semakin pudar. Gambar 3-21 memperlihatkan hasil pengeringan irisan rimpang temulawak dengan menggunakan pengering lab (sebelah kiri) dan dengan penjemuran. Warna temulawak hasil penjemuran terlihat lebih gelap dan pucat dibandingkan dengan hasil pengeringan mekanis (lab dryer). Hal ini mengindikasikan bahwa penjemuran langsung dibawah paparan sinar matahari membuat secara fisik-visual hasil pengeringan simplisia tidak begitu baik, demikian juga kadar kurkuminnya masih dibawah kadar pengeringan mekanis pada suhu 50 o C.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG 4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS Menurut Brooker et al. (1974) terdapat beberapa kombinasi waktu dan suhu udara pengering dimana komoditas hasil pertanian dengan kadar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Pengeringan adalah proses pengolahan pascapanen hasil pertanian yang paling kritis. Pengeringan sudah dikenal sejak dulu sebagai salah satu metode pengawetan bahan. Tujuan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2011 sampai dengan Agustus 2011 di Laboratorium Pindah Panas serta Laboratorium Energi dan Elektrifikasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Singkong

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Singkong II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SINGKONG Singkong merupakan umbi akar dari tanaman pangan berupa perdu yang dikenal dengan nama lain ubi kayu, ketela pohon atau cassava. Singkong berasal dari benua Amerika,

Lebih terperinci

KONDISI PROSES PENGERINGAN UNTUK MENGHASILKAN SIMPLISIA TEMUPUTIH STANDAR

KONDISI PROSES PENGERINGAN UNTUK MENGHASILKAN SIMPLISIA TEMUPUTIH STANDAR Kondisi Proses Pengeringan Untuk Menghasilkan Simplisia Temuputih Standar (Lamhot P. Manalu dan Himawan Adinegoro) KONDISI PROSES PENGERINGAN UNTUK MENGHASILKAN SIMPLISIA TEMUPUTIH STANDAR Drying Process

Lebih terperinci

PENENTUAN KONDISI PROSES PENGERINGAN TEMU LAWAK UNTUK MENGHASILKAN SIMPLISIA STANDAR

PENENTUAN KONDISI PROSES PENGERINGAN TEMU LAWAK UNTUK MENGHASILKAN SIMPLISIA STANDAR Lamhot P. Manalu Armansyah H. Tambunan Leopold O. Nelwan Penggunaan Bahan Pengisi Nanokomposit PENENTUAN KONDISI PROSES PENGERINGAN TEMU LAWAK UNTUK MENGHASILKAN SIMPLISIA STANDAR THE DETERMINATION FOR

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama dalam penyimpanannya membuat salah satu produk seperti keripik buah digemari oleh masyarat. Mereka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KENTANG (SOLANUM TUBEROSUM L.) Tumbuhan kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas sayuran yang dapat dikembangkan dan bahkan dipasarkan di dalam negeri maupun di luar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Prinsip pengeringan lapisan tipis pada dasarnya adalah mengeringkan bahan sampai kadar air bahan mencapai kadar air keseimbangannya. Sesuai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN 4.1.1. Analisis Kandungan Senyawa Kimia Pada tahap ini dilakukan analisis proksimat terhadap kandungan kimia yang terdapat dalam temulawak kering yang

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI KARAKTERISTIK PENGERINGAN SIMPLISIA. Pendahuluan

BAB 2 STUDI KARAKTERISTIK PENGERINGAN SIMPLISIA. Pendahuluan BAB 2 STUDI KARAKTERISTIK PENGERINGAN SIMPLISIA Pendahuluan Pengeringan merupakan proses pengeluaran air dari dalam bahan secara termal untuk menghasilkan produk kering. Pengeringan sudah dikenal sejak

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Program Pengolahan Citra untuk Pengukuran Warna pada Produk Hortikultura Pengembangan metode pengukuran warna dengan menggunakan kamera CCD dan image processing adalah dengan

Lebih terperinci

Pertemuan 2 Representasi Citra

Pertemuan 2 Representasi Citra /29/23 FAKULTAS TEKNIK INFORMATIKA PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING ) Pertemuan 2 Representasi Citra Representasi Citra citra Citra analog Citra digital Matrik dua dimensi yang terdiri

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Termal Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.) Karakteristik termal menunjukkan pengaruh perlakuan suhu pada bahan (Welty,1950). Dengan mengetahui karakteristik termal

Lebih terperinci

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT. Feri Manoi

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT. Feri Manoi STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT Feri Manoi PENDAHULUAN Untuk memperoleh produk yang bermutu tinggi, maka disusun SPO penanganan pasca panen tanaman kunyit meliputi, waktu panen,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 15 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli Desember 2007 di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. meningkatkan kesehatan. Salah satu jenis tanaman obat yang potensial, banyak

BAB I PENDAHULUAN UKDW. meningkatkan kesehatan. Salah satu jenis tanaman obat yang potensial, banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Tanaman obat telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu alternatif pengobatan, baik untuk pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif),

Lebih terperinci

MATERIA MEDIKA INDONESIA

MATERIA MEDIKA INDONESIA MATERIA MEDIKA INDONESIA MEMUAT: PERSYARATAN RESMI DAN FOTO BERWARNA SIMPLISIA YANG BANYAK DIPAKAI DALAM PERUSAHAAN OBAT TRADISIONAL. MONOGRAFI 1. SIMPLISIA YANG DIGUNAKAN SEBAGAI OBAT TRADISIONAL, MENCAKUP:

Lebih terperinci

Gambar 1. Tanaman Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) (Ochse & Van Den Brink, 1977)

Gambar 1. Tanaman Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) (Ochse & Van Den Brink, 1977) II. TINJAUAN PUSTAKA A. BOTANI TEMU PUTIH Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) cukup dikenal di kalangan masyarakat untuk bahan jamu. Kepopuleran tanaman obat ini digunakan untuk mengobati penyakit

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel.

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel. BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PRODUK 4.1.1 Fenomena dan penyebab terjadinya case hardening Pada proses pengeringan yang dilakukan oleh penulis khususnya pada pengambilan data

Lebih terperinci

DENSITAS, POROSITAS, LUAS PERMUKAAN

DENSITAS, POROSITAS, LUAS PERMUKAAN DENSITAS, POROSITAS, LUAS PERMUKAAN dan SHRINKAGE Rini Yulianingsih DENSITAS Diperlukan untuk Proses separasi Densitas cairan : Daya untuk pemompaan Perencanaan sehubungan dengan kapasitas 1 Densitas Cairan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENYUSUTAN DENGAN KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SIMPLISIA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) AMALIA SAGITA

HUBUNGAN PENYUSUTAN DENGAN KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SIMPLISIA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) AMALIA SAGITA HUBUNGAN PENYUSUTAN DENGAN KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SIMPLISIA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) AMALIA SAGITA DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses pengolahan simplisia di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar I-1

BAB I PENDAHULUAN. Proses pengolahan simplisia di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar I-1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menguraikan beberapa hal pokok mengenai penelitian ini, yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, asumsi,

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Aditya Wikan Mahastama mahas@ukdw.ac.id Sistem Optik dan Proses Akuisisi Citra Digital 2 UNIV KRISTEN DUTA WACANA GENAP 1213 v2 Bisa dilihat pada slide berikut. SISTEM OPTIK MANUSIA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Lebih terperinci

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI. GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI. PERTEMUAN 8 - GRAFKOM DAN PENGOLAHAN CITRA Konsep Dasar Pengolahan Citra Pengertian Citra Analog/Continue dan Digital. Elemen-elemen Citra

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur dan Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. RADIASI MATAHARI DAN SH DARA DI DALAM RMAH TANAMAN Radiasi matahari mempunyai nilai fluktuatif setiap waktu, tetapi akan meningkat dan mencapai nilai maksimumnya pada siang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa 1. Perubahan Kadar Air terhadap Waktu Pengeringan buah mahkota dewa dimulai dari kadar air awal bahan sampai mendekati

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2014, bertempat di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2014, bertempat di 10 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2014, bertempat di Laboratorium Daya Alat dan Mesin Pertanian dan Laboratorium Rekayasa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

Pembentukan Citra. Bab Model Citra Bab 2 Pembentukan Citra C itra ada dua macam: citra kontinu dan citra diskrit. Citra kontinu dihasilkan dari sistem optik yang menerima sinyal analog, misalnya mata manusia dan kamera analog. Citra diskrit

Lebih terperinci

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN Kegunaan Penyimpangan Persediaan Gangguan Masa kritis / peceklik Panen melimpah Daya tahan Benih Pengendali Masalah Teknologi Susut Kerusakan Kondisi Tindakan Fasilitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Penyusunan Buah Dalam Kemasan Terhadap Perubahan Suhu Penelitian ini menggunakan dua pola penyusunan buah tomat, yaitu pola susunan acak dan pola susunan teratur. Pola

Lebih terperinci

Temu Putih. Penyortiran Basah. Pencucian. Pengupasan. Timbang, ± 200 g. Pengeringan sesuai perlakuan

Temu Putih. Penyortiran Basah. Pencucian. Pengupasan. Timbang, ± 200 g. Pengeringan sesuai perlakuan Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian Temu Putih Penyortiran Basah Pencucian Pengupasan Tiriskan Simpan dalam lemari pendingin (5-10 o C) hingga digunakan Pengirisan, 3-5 mm Timbang, ± 200 g Pengukuran Kadar

Lebih terperinci

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN Paper Pendugaan Umur Simpan Produk Kopi Instan Formula Merk-Z Dengan Metode Arrhenius, kami ambil dari hasil karya tulis Christamam Herry Wijaya yang merupakan tugas

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Januari hingga November 2011, yang bertempat di Laboratorium Sumber Daya Air, Departemen Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Susut Bobot Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan penurunan mutu buah. Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa kehilangan bobot pada buah-buahan yang disimpan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

Analisa Kadar Air (Moisture Determination) Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc

Analisa Kadar Air (Moisture Determination) Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc Analisa Kadar Air (Moisture Determination) Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc 90 Pemaparan dan Tanya Jawab 10 Practice problem Toleransi keterlambatan 30 menit Kontrak Kuliah Materi dapat diunduh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Citra adalah gambar pada bidang dwimatra (dua dimensi). Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi menerus dan intensitas cahaya pada bidang dwimatra

Lebih terperinci

BAB III KALIBRASI DAN VALIDASI SENSOR KAMERA UNTUK PENGEMBANGAN RUMUS POSISI TIGA DIMENSI OBYEK

BAB III KALIBRASI DAN VALIDASI SENSOR KAMERA UNTUK PENGEMBANGAN RUMUS POSISI TIGA DIMENSI OBYEK BAB III KALIBRASI DAN VALIDASI SENSOR KAMERA UNTUK PENGEMBANGAN RUMUS POSISI TIGA DIMENSI OBYEK A. Pendahuluan Latar Belakang Perhitungan posisi tiga dimensi sebuah obyek menggunakan citra stereo telah

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN ANALISA

BAB 4 HASIL DAN ANALISA BAB 4 HASIL DAN ANALISA 4. Analisa Hasil Pengukuran Profil Permukaan Penelitian dilakukan terhadap (sepuluh) sampel uji berdiameter mm, panjang mm dan daerah yang dibubut sepanjang 5 mm. Parameter pemesinan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengukuran Parameter Mutu Jeruk Pontianak Secara Langsung Dari Hasil Pemutuan Manual Pemutuan jeruk pontianak secara manual dilakukan oleh pedagang besar dengan melihat diameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibudidayakan oleh petani dan petani hutan. Umbi porang banyak tumbuh liar di

BAB I PENDAHULUAN. dibudidayakan oleh petani dan petani hutan. Umbi porang banyak tumbuh liar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Umbi porang merupakan bahan baku glukomanan yang saat ini banyak dibudidayakan oleh petani dan petani hutan. Umbi porang banyak tumbuh liar di kawasan hutan dan lereng

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama bulan Maret hingga Juli 2011, bertempat di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROGRAM PENGOLAHAN CITRA BIJI KOPI Citra biji kopi direkam dengan menggunakan kamera CCD dengan resolusi 640 x 480 piksel. Citra biji kopi kemudian disimpan dalam file dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 7 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Citra Digital Citra digital merupakan sebuah fungsi intensitas cahaya, dimana harga x dan y merupakan koordinat spasial dan harga fungsi f tersebut pada setiap titik merupakan

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah penelitian secarageografisterletakpada107 o o BT

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah penelitian secarageografisterletakpada107 o o BT 37 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Potensi Daerah Penelitian 3.1.1 Lokasi Daerah Penelitian Daerah penelitian secarageografisterletakpada107 o 44 30-107 o 47 30 BT dan 7 o 10 30-7 o 8 30 LS. Tepatnya

Lebih terperinci

5. IDENTIFIKASI JENIS TANAMAN. Pendahuluan

5. IDENTIFIKASI JENIS TANAMAN. Pendahuluan 5. IDENTIFIKASI JENIS TANAMAN Pendahuluan Tujuan aplikasi berbasis sensor adalah melakukan penyemprotan dengan presisi tinggi berdasarkan pengamatan real time, menjaga mutu produk dari kontaminasi obat-obatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK Mono Rahardjo dan Otih Rostiana PENDAHULUAN Kegunaan utama rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah sebagai bahan baku obat, karena dapat merangsang

Lebih terperinci

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer Pengolahan Citra / Image Processing : Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer Teknik pengolahan citra dengan mentrasformasikan citra menjadi citra lain, contoh

Lebih terperinci

Pengaruh Penyusutan Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis

Pengaruh Penyusutan Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Technical Paper Pengaruh Penyusutan Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis The Effects of Shrinkage to Thin Layer Drying Characteristics of Temu Putih

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Citra Citra (image) sebagai salah satu komponen multimedia memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Citra mempunyai karakteristik yang tidak dimiliki oleh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2012 hingga September 2012 di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN Dari penelitian pendahuluan diperoleh bahwa konsentrasi kitosan yang terbaik untuk mempertahankan mutu buah markisa adalah 1.5%. Pada pengamatan

Lebih terperinci

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN APLIKASI UNTUK MENDESAIN KARTU UCAPAN

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN APLIKASI UNTUK MENDESAIN KARTU UCAPAN PERANCANGAN DAN PEMBUATAN APLIKASI UNTUK MENDESAIN KARTU UCAPAN Rudy Adipranata 1, Liliana 2, Gunawan Iteh Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Informatika, Universitas Kristen Petra Jl. Siwalankerto

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deteksi Dari citra setting yang telah direkam, dengan menggunakan software Paint Shop Pro v.6, diketahui nilai RGB dari tiap laser yang terekam oleh kamera CCD. RGB yang dicantumkan

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital LANDASAN TEORI 2.1 Citra Digital 2.1.1 Pengertian Citra Digital Citra dapat didefinisikan sebagai sebuah fungsi dua dimensi, f(x,y) dimana x dan y merupakan koordinat bidang datar, dan harga fungsi f disetiap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelompokan tanaman Hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap sampel daun untuk mengetahui ukuran stomata/mulut daun, dapat dilihat pada tabel 3. Pada tabel 3 ditunjukkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tumbuhan jenis temu-temuan asli Indonesia yang banyak digunakan sebagai obat tradisional. Temulawak mengandung senyawa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan dan Praproses Data Kegiatan pertama dalam penelitian tahap ini adalah melakukan pengumpulan data untuk bahan penelitian. Penelitian ini menggunakan data sekunder

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Buah labu kuning atau buah waluh (Jawa Tengah), labu parang (Jawa Barat),

TINJAUAN PUSTAKA. Buah labu kuning atau buah waluh (Jawa Tengah), labu parang (Jawa Barat), 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Waluh Buah labu kuning atau buah waluh (Jawa Tengah), labu parang (Jawa Barat), pumpkin (Inggris) merupakan jenis buah sayur-sayuran yang berwarna kuning dan berbentuk lonjong

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai menopang kehidupan manusia. Teknologi merupakan sebuah hasil

BAB I PENDAHULUAN. mulai menopang kehidupan manusia. Teknologi merupakan sebuah hasil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini kebutuhan akan teknologi semakin meningkat seiring dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Kemajuan teknologi dengan perkembangan

Lebih terperinci

sebesar 15 persen (Badan Pusat Statistik, 2015).

sebesar 15 persen (Badan Pusat Statistik, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apel adalah salah satu buah yang digemari oleh masyarakat Indonesia. Apel digemari karena rasanya yang manis dan kandungan gizinya yang tinggi. Buah apel mempunyai

Lebih terperinci

sampel pati diratakan diatas cawan aluminium. Alat moisture balance ditutup dan

sampel pati diratakan diatas cawan aluminium. Alat moisture balance ditutup dan 59 60 Lampiran 1.Pengukuran Kandungan Kimia Pati Batang Aren (Arenga pinnata Merr.) dan Pati Temulawak (Curcuma xanthorizza L.) a. Penentuan Kadar Air Pati Temulawak dan Pati Batang Aren Menggunakan Moisture

Lebih terperinci

EKSTRAKSI KURKUMIN DARI TEMULAWAK DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL

EKSTRAKSI KURKUMIN DARI TEMULAWAK DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL EKSTRAKSI KURKUMIN DARI TEMULAWAK DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL A. F. Ramdja, R.M. Army Aulia, Pradita Mulya Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya ABSTRAK Temulawak ( Curcuma xanthoriza

Lebih terperinci

BAB IV UJI PENENTUAN POSISI TIGA DIMENSI BUAH JERUK LEMON PADA TANAMANNYA

BAB IV UJI PENENTUAN POSISI TIGA DIMENSI BUAH JERUK LEMON PADA TANAMANNYA BAB IV UJI PENENTUAN POSISI TIGA DIMENSI BUAH JERUK LEMON PADA TANAMANNYA A. Pendahuluan Latar belakang Robot selain diterapkan untuk dunia industri dapat juga diterapkan untuk dunia pertanian. Studi yang

Lebih terperinci

4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PADA PRODUK PENGERINGAN

4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PADA PRODUK PENGERINGAN BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PADA PRODUK PENGERINGAN 4.1.1 Fenomena dan Penyebab Terjadinya Water Front Fenomena lain yang terjadi pada saat penulis mengeringkan tapel parem

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut 4. PEMBAHASAN Pembuatan minuman serbuk daun katuk dan jambu biji merah merupakan sebuah penelitian pengembangan produk yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai fungsional pada bahan alami dengan lebih mudah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Absorbsi Near Infrared Sampel Tepung Ikan Absorbsi near infrared oleh 50 sampel tepung ikan dengan panjang gelombang 900 sampai 2000 nm berkisar antara 0.1 sampai 0.7. Secara grafik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia banyak sekali ditumbuhi oleh tanaman rimpang karena Indonesia merupakan negara tropis. Rimpang-rimpang tersebut dapat digunakan sebagai pemberi cita

Lebih terperinci

Muhammad Zidny Naf an, M.Kom. Gasal 2015/2016

Muhammad Zidny Naf an, M.Kom. Gasal 2015/2016 MKB3383 - Teknik Pengolahan Citra Pengolahan Citra Digital Muhammad Zidny Naf an, M.Kom. Gasal 2015/2016 CITRA Citra (image) = gambar pada bidang 2 dimensi. Citra (ditinjau dari sudut pandang matematis)

Lebih terperinci

Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) 1) ISHAK (G ) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK

Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) 1) ISHAK (G ) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) ) ISHAK (G4 9 274) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK Perbedaan pola penurunan kadar air pada pengeringan lapis tipis cengkeh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Laju Respirasi dengan Perlakuan Persentase Glukomanan Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah sawo yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN APLIKASI UNTUK MEMPERBAIKI CITRA DIGITAL

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN APLIKASI UNTUK MEMPERBAIKI CITRA DIGITAL PERANCANGAN DAN PEMBUATAN APLIKASI UNTUK MEMPERBAIKI CITRA DIGITAL 1. Pendahuluan Citra / gambar merupakan hal yang vital dan menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Pada kepentingan tertentu,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas teori yang berkaitan dengan pemrosesan data untuk sistem pendeteksi senyum pada skripsi ini, meliputi metode Viola Jones, konversi citra RGB ke grayscale,

Lebih terperinci

III. PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN TANAMAN OBAT SECARA UMUM

III. PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN TANAMAN OBAT SECARA UMUM III. PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN TANAMAN OBAT SECARA UMUM Penanganan dan Pengelolaan Saat Panen Mengingat produk tanaman obat dapat berasal dari hasil budidaya dan dari hasil eksplorasi alam maka penanganan

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM SATUAN OPERASI II

MODUL PRAKTIKUM SATUAN OPERASI II MODUL PRAKTIKUM SATUAN OPERASI II PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA I. PENGERINGAN A. PENDAHULUAN Pengeringan adalah proses pengeluaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Citra Citra merupakan salah satu komponen multimedia yang memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Meskipun sebuah citra kaya akan informasi, namun sering

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu representasi (gambaran), kemiripan atau imitasi dari suatu objek. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah melon yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA KUNYIT. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA KUNYIT. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA KUNYIT Mono Rahardjo dan Otih Rostiana PENDAHULUAN Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman obat potensial, selain sebagai bahan baku obat juga

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN EKSTRAK ETANOL DAUN BERTONI (Stevia rebaudiana) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN EKSTRAK ETANOL DAUN BERTONI (Stevia rebaudiana) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN EKSTRAK ETANOL DAUN BERTONI (Stevia rebaudiana) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH Dian Kartikasari 1, Nurkhasanah 2, Suwijiyo Pramono 3 1 Pasca sarjana prodi Farmasi Universitas Ahmad

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2011 hingga Agustus 2011 di Laboratorium Energi dan Listrik Pertanian serta Laboratorium Pindah Panas dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan selama Proses Pengeringan Kondisi lingkungan merupakan aspek penting saat terjadinya proses pengeringan. Proses pengeringan dapat memberikan pengaruh terhadap sifat

Lebih terperinci

BAB 3 IMPLEMENTASI SISTEM

BAB 3 IMPLEMENTASI SISTEM BAB 3 IMPLEMENTASI SISTEM Bab ini akan membahas mengenai proses implementasi dari metode pendeteksian paranodus yang digunakan dalam penelitian ini. Bab ini terbagai menjadi empat bagian, bagian 3.1 menjelaskan

Lebih terperinci

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI 1 Sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk olahan Pengolahan : Menambah ragam pangan Perpanjang masa simpan bahan pangan Bahan Pangan 2 Komponen Utama Penyusun Bahan Pangan

Lebih terperinci