BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini"

Transkripsi

1 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu (1) hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori yang digunakan sama, tetapi objek bahasan yang berbeda, dan (2) hasil penelitian yang memiliki relevansi karena objek bahasanya sama, tetapi teori yang digunakan berbeda. Hasil penelitian yang termasuk ke dalam kelompok pertama, yakni hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori yang digunakan sama, tetapi objek bahasan yang berbeda, antara lain sebagai berikut. Hasil penelitian Sedeng (2000) yang berjudul Predikat Kompleks dan Relasi Gramatikal Bahasa Sikka. Hasil penelitian ini mengungkapkan predikat kompleks dan relasi gramatikal bahasa Sikka dengan menggunakan Teori Lexical Functional Grammar (LFG) oleh Kaplan dan Bresnan (1982). Sedeng mengawali uraiannya mengenai relasi gramatikal bahasa Sikka yang mencakup kentransitifan, subjek, dan kaidah gramatikal sehingga tipologi bahasa ini dapat ditentukan. Penelitian Sedeng (2000) tersebut menemukan bahwa berdasarkan sudut pandang tipologi morfologi, bahasa Sikka tergolong ke dalam bahasa isolasi. Tipologi ini berpengaruh sangat besar pada terciptanya predikat kompleks yang mengambil bentuk verba serialisasi di dalam bahasa Sikka. Berdasarkan sudut pandang strukturnya, verba serialisasi bahasa Sikka, dapat dikelompokkan ke dalam struktur mono klausal, bi-klausal, struktur X-COMP, dan ADJUNCT-COMP. Bahasa Sikka tergolong ke dalam tipologi SVO bila dipandang dari tipologi tata 7

2 8 urutan dan terkait dengan tidak adanya afiks, maka pemarkahan dilakukan melalui tata urutan yang ketat. Tipologi tata urutan berakibat pada pemetaan sejajar dan pemetaan silang untuk klausa transitif. Berdasarkan tipologi pemarkahan sintaksis bahasa Sikka berada di perbatasan antara bahasa akusatif dan bahasa S-terpisah (split-s) karena ada bukti yang kuat untuk kedua tipologi itu. Temuan hasil penelitian Sedeng (2000) di atas secara konseptual memiliki faedah yang relevan dengan penelitian ini. Sehubungan dengan itu, hasil penelitian tersebut dijadikan sebagai rujukan untuk dijadikan referensi pada kajian pustaka. Hasil-hasil penelitian Sedeng (2000) secara ilmiah dapat memberikan kontribusi positif dalam menganalisis struktur dasar kalimat BB dan BJ berdasarkan kategori predikat. Hasil penelitian Ana (2000) berjudul Tipologi Kausatif Bahasa Bali. Penelitian ini menggunakan Teori Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie (1989) dan teori-teori lain, seperti yang dikemukakan oleh Jackendoff (1991), Davis (1981), Talmy (1976), dan Hopper dan Thompson (1980) sebagai teori pendukung. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa simpulan, antara lain bahwa tipologi kausatif bahasa Bali dapat dibagi menjadi tiga, yaitu perifrastik, morfologis, dan leksikal. Kausatif perifrastik bahasa Bali ditandai oleh penggunaan konjungsi bermakna kausatif, seperti sawireh, mawinan, mawanan, dening, makada, santukan, dadosne, raris, laut, dan pemarkah suprasegmental dalam bahasa lisan. Kausatif morfologis bahasa Bali ditandai dengan akhiran {- ang} dan {-in} yang sekaligus berfungsi untuk meningkatkan valensi verba asalnya. Secara semantik, kausatif bahasa Bali dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kausatif langsung dan kausatif taklangsung.

3 9 Penelitian yang dihasilkan oleh Ana (2000) di atas juga secara konseptual dipandang memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan rujukan untuk dijadikan sebagai referensi pada kajian pustaka. Sementara itu, secara ilmiah hasil temuan Ana (2000) dapat memberikan kontribusi positif dalam menganalisis konstruksi kausatif BB dan BJ. Hasil penelitian Mayani (2004) berjudul Konstruksi Kausatif dan Aplikatif Bahasa Madura. Penelitian ini menggunakan dua teori utama, yaitu Teori Tipologi Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie (1989) dan Teori Tata Bahasa Relasional yang dikembangkan oleh Perlmutter dan Postal (1984). Di samping dua teori utama tersebut juga digunakan teori penunjang, yakni Teori Relasi Gramatikal yang dikemukakan oleh Blake (1990). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur dasar kalimat bahasa Madura terdiri atas enam tipe, yaitu S-P, S-P-O, S-P-Pel, S-P-Ket, S-P-O-Pel, dan S-P-O-Ket. Berdasarkan tipetipenya, konstruksi kausatif dalam bahasa Madura terdiri atas kausatif analitik, kausatif morfologis, dan kausatif leksikal. Konstruksi aplikatif bahasa Madura dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu konstruksi aplikatif instrumental, konstruksi aplikatif benefaktif, dan konstruksi aplikatif resipien. Secara konseptual temuan yang diperoleh Mayani (2004) di atas dipandang memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, hasil penelitian tersebut dijadikan sebagai rujukan untuk dijadikan sebagai referensi pada kajian pustaka. Hasil-hasil penelitian Mayani (2004) secara ilmiah dapat

4 10 memberikan kontribusi positif dalam menganalisis konstruksi kausatif dan aplikatif BB dan BJ. Penelitian Arafiq (2005) berjudul Relasi Gramatikal Konstruksi Kausatif dan Aplikatif Bahasa Bima. Penelitian ini dilandasi dua teori, yakni Teori Tipologi Kausatif oleh Comrie (1989) dan dilanjutkan dengan teori sintaksis formal, yaitu Teori Tata Bahasa Relasional oleh Perlmutter dan Postal (1984). Penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan parameter morfosintaksis, kausatif dalam bahasa Bima terdiri atas kausatif morfologis yang dimarkahi oleh prefiks {ka-} dengan variasi {ca-}, kausatif analitik yang dibentuk dengan menggunakan verba nalawi, dan kausatif leksikal yang dibentuk dari verba dasar transitif. Berdasarkan parameter semantis, kausatif dalam bahasa Bima terdiri atas kausatif sejati, kausatif permisif, kausatif langsung, dan kausatif tak langsung. Aplikatif dalam bahasa Bima terdiri atas aplikatif benefaktif yang dimarkahi oleh {wea-}, aplikatif instrumental, dan aplikatif pasien yang dimarkahi oleh {-kai}. Hasil penelitian yang ditemukan oleh Arafiq di atas secara konseptual juga memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini sehingga hasil penelitian tersebut juga dijadikan rujukan sebagai referensi pada kajian pustaka penelitian ini. Secara ilmiah hasil penelitian Arafiq juga dapat memberikan kontribusi positif penelitian ini dalam menganalisis konstruksi kausatif dan aplikatif BB dan BJ. Hasil penelitian yang termasuk ke dalam kelompok kedua, yaitu hasil penelitian yang memiliki relevansi karena objek penelitian yang digunakan sama,

5 11 tetapi teori yang digunakan berbeda. Hasil-hasil penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut. Lien (2005) melakukan penelitian terhadap konstruksi pasif bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa terdapat kesamaan dan perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Jepang, baik dalam tipe-tipe pasif maupun relasi gramatikalnya. Kesamaan antara konstruksi pasifnya adalah (1) keduanya memiliki pemarkahan morfologis pada pasif, yaitu prefiks diuntuk bahasa Indonesia dan sufiks (r)areru untuk bahasa Jepang; (2) keduanya memiliki pemarkah agen, yaitu oleh untuk bahasa Indonesia dan ni, ni yotte, kara, dan de untuk bahasa Jepang; (3) kehadiran agen opsional pada tipe kanonis dan chokusetsu ukemi; (4) perubahan relasi gramatikal memiliki revaluasi yang sama pada tipe kanonis dan chokusetsu ukemi, yakni subjek langsung konstruksi aktif menjadi subjek konstruksi pasif dan subjek konstruksi aktif menjadi chomeur. Dalam hal ini chokusetsu ukemi dapat disejajarkan dengan pasif kanonis dalam bahasa Indonesia. Perbedaan pasif bahasa Indonesia dan bahasa Jepang adalah (1) bahasa Indonesia memiliki prefiks me- untuk konstruksi aktif, sedangkan bahasa Jepang tidak; (2) bahasa Indonesia tidak memiliki pemarkah morfologis pada pasif tak kanonis, dalam hal ini pasif yang mengalami pengedepanan agen, sedangkan bahasa Jepang memiliki pemarkah morfologis pada semua tipe pasif, chokusetsu ukemi, mochinushi no ukemi, dan daisansha no ukemi; (3) dalam bahasa Indonesia, hanya verba transitif yang dapat dipasifkan, sedangkan dalam bahasa Jepang, baik verba transitif maupun verba intransitif, dapat dipasifkan; (4) dalam bahasa Indonesia, pemarkah agen opsional pada tipe kanonis, sedangkan

6 12 dalam bahasa Jepang pemarkah agen wajib hadir pada semua tipe pasif; (5) dalam bahasa Indonesia, relasi gramatikal tipe tak kanonis tidak dapat ditangani oleh teori tata bahasa relasional karena alasan pragmatis, sedangkan dalam bahasa Jepang, bentuk pasif seperti mochinusi no ukemi dan daisansha no ukemi yang tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia dapat ditangani oleh teori tata bahasa relasional dengan kendala-kendala tersendiri. Penelitian tersebut dapat digunakan sebagai referensi karena sama-sama menggunakan bahasa Jepang sebagai objek. Selain itu, penelitian tersebut juga dalam bidang sintaksis sehingga beberapa konsep yang digunakan dapat dipakai sebagai perbandingan dalam melakukan penelitian mengenai verba menberi bahasa Jepang dan bahasa Bali. Aryani (2007) melakukan penelitian mengenai pelesapan fungsi gramatikal dalam bahasa Jepang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pada struktur koordinatif fungsi gramatikal subjek, predikat, dan objek mengalami keterpulangan. Pelesapan fungsi gramatikal pada struktur ini dapat bersifat anaforis atau kataforis. Pada struktur subordinatif, keterpulangan tersebut terjadi pada subjek, predikat, dan keterangan. Pada struktur ini pun pelesapannya dapat bersifat anaforis atau kataforis. Pada klausa dalam dialog, pelesapan tersebut dapat terjadi pada fungsi gramatikal subjek, predikat, subjek- predikat, dan keterangan. Selain itu, pada dialog bahasa Jepang, memungkinkan terjadinya pelesapan sebuah klausa. Dengan demikian, penelitian tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk meneliti struktur verba berargumen tiga bahasa Bali dan bahasa Jepang.

7 13 Purnawati (2009) melakukan penelitian mengenai sistem pemarkahan fungsi gramatikal dalam bahasa Jepang, interaksi fungsi gramatikal dan topik dalam bahasa Jepang, dan interaksi fungsi gramatikal dan fokus dalam bahasa jepang. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa sistem pemarkahan fungsi gramatikal dalam bahasa Jepang merupakan suatu sistem yang kompleks karena sebuah pemarkah tidak selalu memarkahi fungsi gramatikal yang sama. Hal tersebut bergantung pada predikat yang digunakan pada kalimat yang bersangkutan. Fungsi gramatikal yang ditemukan dalam bahasa Jepang terdiri atas fungsi argumen dan nonargumen. Fungsi argumen meliputi pemarkahan subjek, objek, oblik, posesor, dan komplemen, sedangkan pemarkahan fungsi nonargumen hanya ada satu, yaitu pemarkahan adjung. Fungsi gramatikal dalam bahasa Jepang dimarkahi oleh partikel kasus atau posposisi. Partikel kasus terdiri atas nominatif ga, datif ni, topik wa, akusatif o, dan genetif no, sedangkan posposisi terdiri atas ni,de, to, e, kara, made. Fungsifungsi gramatikal tersebut dapat berinteraksi dengan topik sehingga sebuah konstituen dalam kalimat memiliki dua fungsi, yaitu sebagai salah satu fungsi gramatikal dan sekaligus sebagai topik dalam kalimat yang bersangkutan. Fungsi gramatikal yang berinteraksi dengan topik adalah subjek, objek, oblik, posesor, dan adjung. Fungsi gramatikal yang juga berfungsi sebagai topik dapat dimarkahi hanya dengan topik wa. Selain itu, juga dapat dimarkahi oleh partikel kasus atau posposisi yang menunjukkan fungsi gramatikalnya ditambah topik wa. Meskipun suatu konstituen terletak di bagian tengah atau belakang kalimat, selama konstituen tersebut dimarkahi oleh topik wa, konstituen tersebut dapat disebut

8 14 topik. Fungsi gramatikal yang berinteraksi dengan topik adalah fungsi gramatikal yang berbeda. Selain itu, ditemukan juga dua topik dalam satu kalimat yang terdiri atas satu klausa. Kedua topik tersebut masing-masing berinteraksi dengan fungsi gramatikal yang berbeda, sehingga memunculkan topik tematis dan topik kontrastif. Selain dengan fungsi pragmatik topik, fungsi-fungsi gramatikal juga dapat berinteraksi dengan fokus, yaitu subjek, objek, oblik, adjung. Fokus tidak memiliki pemarkah khusus. Jika konstituen merupakan informasi baru yang dapat dibuktikan dengan pertanyaan informatif, maka konstituen yang bersangkutan merupakan fokus tanpa adanya penggantian atau penambahan fungsi gramatikal. Dalam satu kalimat, selain fokus, muncul juga topik kalimat. Hal ini disebabkan oleh fokus dapat dipilih dari konstituen yang bukan merupakan topik dalam suatu kalimat. Selain itu, jika semua konstituen dalam satu kalimat merupakan jawaban atas sebuah pertanyaan, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai fokus seluruh kalimat. Dengan demikian, penelitian ini juga dapat dijadikan acuan karena banyak mengulas fungsi gramatikal bahasa Jepang. 2.2 Konsep Konsep dasar yang dipakai dalam penelitian ini meliputi sejumlah konsep yang relevan dengan penelitian ini. Konsep dasar yang digunakan sebagai piranti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Struktur Verba Berargumen Tiga Bahasa Bali Secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori verba dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar. Jadi, sebuah kata dapat dikatakan

9 15 berkategori verba hanya dalam perilakunya dalam frasa, yakni dalam hal kemungkinan satuan itu didampingi dengan partikel di, ke, dan dari. Verba (verbs) atau kata kerja adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat. Argumen adalah unsur (sintaksis/semantik) yang diperlukan oleh sebuah verba, yang umumnya berkorelasi dengan partisipasi pada suatu kejadian atau keadaan yang dinyatakan oleh verba predikatnya. Berdasarkan pengertian tersebut, diketahui bahwa jumlah argumen dalam suatu klausa/kalimat ditentukan oleh verba sebagai inti klausa/kalimat tersebut (Williams, 1991:100; Culicover, 1997:1617). Dalam klausa intransitif, satu-satunya argumen yang diperlukan verbanya adalah subjek. Hal ini dilandasi oleh asumsi bahwa fungsi yang paling tinggi dalam hierarki sintaksis dan pada umumnya bersifat wajib adalah subjek (Arka, 1998:15). Klausa transitif adalah klausa yang predikatornya adalah verba transitif. Verba transitif adalah verba yang mewajibkan hadirnya sekurang-kurangnya dua argumen inti. Salah satu argumennya berfungsi sebagai subjek dan yang lainnya berfungsi sebagai objek (Mtthews, 1997; Kridalaksana, 1993). Klausa ditransitif adalah klausa yang predikatornya adalah verba ditransitif atau verba berargumen tiga. Dalam tata bahasa relasional ada tiga relasi gramatikal yang murni bersifat sintaksis, yaitu subjek, objek langsung, dan objek tidak langsung. Struktur argumen dapat dipresentasikan dengan label angka, misalnya Pred 1,2,3 yang secara semantis dipresentasikan menjadi Pred agen, pasien, resipien dan secara gramatikal/fungsional menjadi Pred S,OL,OTL. Di

10 16 samping itu, ada relasi yang bersifat semantis, seperti lokatif, benefaktif, instrumental, dan sebagainya yang secara kolektif disebut relasi oblik (lihat Blake, 1991; Palmer, 1994; Matthews, 1997; Artawa, 2000; Djunaidi, 2000). 2. Struktur Verba Berargumen Tiga Bahasa Jepang Argumen adalah bentuk linguistik yang diperlukan oleh verba yang biasanya berkolerasi dengan manusia dan benda-benda yang terlibat dalam suatu aktivitas atau keadaan yang dinyatakan oleh predikat (Haegeman, 1991). Argumen subjek dalam bahasa Jepang dapat dilihat pada contoh berikut. (2.1) 彼が来ました Kare ga Kimashita Pp1 Nom datang Dia [laki-laki] datang Argumen objek adalah argumen inti kedua setelah subjek. Dalam klausa ekatransitif, objek menempati posisi internal FV. Hal ini dibuktikan dengan tidak diizinkannya penyisipan adjung waktu di antara objek dan verba. Argumen objek dalam bahasa Jepang dapat dicermati pada contoh berikut. (2.2) 彼女はコーヒーを飲みました Kanojo wa kohii o nomimashita Pp3 Nom kopi Acc minum KL Dia [perempuan] sudah minum kopi] (2.3) * 彼女はコーヒーけさを飲みました Kanojo wa kohii kesa o nomimashita Pp3 Nom kopi tadi pagi Acc minum KL Dia [perempuan] tadi pagi minum kopi Dalam klausa ditransitif bahasa Jepang argumen objek langsung (OL) dimarkahi partikel o, argumen objek tak langsung (OTL) dimarkahi partikel ni.

11 17 Kata ageru memberi dalam bahasa Jepang, misalnya tampak pada contoh berikut. (2.4) 私は友達に本をあげる Watashi wa tomodachi ni hon o ageru Pp1 Nom teman Dat buku Acc memberi Saya memberi buku kepada teman Kalimat (2.4) memerlukan tiga argumen, yaitu watashi saya (yang memberi) hon buku (sesuatu yang diberi) tomodachi teman (yang diberi). Struktur argumen dapat dipresentasikan dengan label angka, misalnya ageru 1,2,3 yang secara semantis dipresentasikan menjadi ageru agen, pasien, resipien dan secara gramatikal/fungsional menjadi Pred S,OL, OTL. 3. Makna Verba Berargumen Tiga Bahasa Bali Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa struktur argumen dapat dipresentasikan dengan label angka, misalnya Pred 1,2,3 yang secara semantis dipresentasikan menjadi Pred agen, pasien, resipien. Pilihan verba menjadi tergantung pada status sosial yang ditanggung oleh argumen agen dan argumen resipien. Oleh karena itu, makna verba berargumen tiga bahasa Bali berkaitan dengan tingkat tutur. 4. Makna Verba Berargumen Tiga Bahasa Jepang Makna verba berargumen tiga bahasa Jepang juga ada yang berkaitan dengan tingkat tutur, terutama pada verba yarimorai beri-terima. Selain berkaitandengan tingkat tutur, juga berkaitan dengan pronomina persona (Pp).

12 18 5. Proses Morfologis Verba Berargumen Tiga Bahasa Bali Verba berargumen tiga bahasa Bali merupakan verba turunan atau verba yang sudah mengalami proses morfologis. Proses morfologis tersebut dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (i) verba berargumen tiga dengan penambahan sufiks ang, (ii) verba berargumen tiga dengan penambahan sufiks in, dan (iii) verba berargumen tiga dengan penambahan sufiks a atau prefiks ka. 6. Proses Morfologis Verba Berargumen Tiga Bahasa Jepang Proses morfologis verba berargumen tiga bahasa Jepang dapat melalui proses morfologis dan tanpa proses morfologis pada morfem r(u). Verba berargumen tiga yang mengalami proses morfologis mengandung makna memberi dan menerima, mengatakan, dan memperlihatkan. Verba berargumen tiga tanpa mengalami proses morfologis mengandung makna memberi dan menerima, kausatif, pasif kausatif, dan pasif. Namun, baik yang mengalami proses morfologis maupun yang tidak mengalami proses morfologis pada morfem r(u), tidak memengaruhi jumlah argumen. 2.3 Landasan Teori Penelitian ini mempunyai dua masalah yang mendasar, yaitu (1) struktur kalimat dan proses morfologis verba berargumen tiga bahasa Bali dan bahasa Jepang serta (2) perbandingan fungsi-fungsi sintaksis verba berargumen tiga bahasa Bali dan bahasa Jepang. Secara umum masalah-masalah itu dianalisis berdasarkan teori sintaksis, yakni Teori Tipologi Kausatif dan Teori Tatabahasa

13 19 Relasional. Permasalahan pertama dianalis dengan Teori Tipologi Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie (1981). Permasalahan kedua dianalisis dengan menggunakan Teori Tatabahasa Relasioanl. Teori ini pada mulanya dikembangkan oleh David M. Pelmutter dan Paul M. Postal pada permulaan tahun 1970 (Blake, 1990) Teori Tipologi Kausatif Deskripsi mengenai Teori Tipologi Kausatif diawali dengan penjelasan tentang cara tipologi kausatif. Adapun cara tipologi kausatif adalah sebagai berikut. Comrie (1981b) mengajukan tiga cara tipologi kausatif, yaitu kausatif analitik, morfologis, dan leksikal. Menurutnya, kausatif analitik adalah jenis kausatif yang di dalamnya terdapat pemisahan antara predikat yang menyatakan sebab dengan yang menyatakan akibat, yaitu makna kesebaban direalisasikan dengan kata tersendiri yang terpisah dari kata yang menunjukkan aktivitas yang disebabkan. Kausatif morfologis adalah kausatif yang ada kaitan antara predikat kausatif dan yang nonkausatif serta dimarkahi secara morfologis, misalnya dengan afiksasi. Penggunaan verba kausatif atau afiks ini sangat bergantung pada tipe morfologis suatu bahasa. Bahasa isolasi cenderung menggunakan verba kausatif, sedangkan bahasa aglutinasi cenderung menggunakan proses afiksasi. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa kedua proses tersebut digunakan pada (satu) bahasa yang sama. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, konstruksi kausatif

14 20 dibentuk dengan menggunakan verba kausatif menyebabkan atau dengan menggunakan konfiks {me-kan} (cermati Arka, 1993). (2.14) Amir membuat adiknya jatuh. (2.15) Amir menjatuhkan adiknya. Kausatif ketiga, kausatif leksikal adalah kausatif yang verbanya berkorespondensi dalam predikat nonkausatif tidak terkait secara morfologis dengan verba kausatif. Artinya, keterhubungan antara predikat yang menyatakan akibat dan yang menyatakan, baik sebab maupun akibat, tidak berlangsung secara sistematis, seperti yang dapat dicontohkan dengan kata bahasa Inggris die dan kill. Perhatikan verba membunuh dalam kalimat berikut. (2.16) Macan itu membunuh mangsanya. Contoh (2.16) di atas sudah memiliki gambaran yang menjelaskan bahwa mangsanya mati, tanpa diekspresikan secara eksplisit. Artinya suatu peristiwa disebut pembunuhan jika si korban mati. Comrie (1989) mengusulkan tipe-tipe kausatif yang agak berbeda dengan apa yang diusulkan Shibatani (1976). Dalam membagi kausatif, Comrie (1989) melihatnya berdasarkan dua parameter, yakni parameter morfosintaksis dan semantik. Berdasarkan parameter morfosintaksis, kausatif dibagi menjadi tiga, yakni kausatif analitik, leksikal, dan morfologis. Kausatif analitik adalah kausatif yang menggunakan verba kausatif, sedangkan kausatif leksikal adalah kausatif yang verbanya sudah mengandung makna kausatif. Di pihak lain kausatif morfologis adalah kausatif yang dibentuk melalui proses afiksasi. Kausatif produktif menurut Shibatani (1976) dibedakan menjadi dua oleh Comrie karena

15 21 istilah tersebut masih menyisakan kekaburan antara penggunaan verba kausatif dan afiks. Oleh karena itu, tipe kausatif yang diterapkan dalam tulisan ini adalah tipe kausatif yang diusulkan oleh Comrie (1989). Walaupun Comrie membedakan tipologi kausatif dengan tegas, diakuinya bahwa tidak semua bahasa dapat dikelompokkan dengan tepat ke dalam salah satu tipe di atas. Parameter lain yang digunakan Comrie (1989) dalam membedakan tipetipe kausatif adalah parameter semantik. Berdasarkan parameter ini, kausatif dibedakan berdasarkan tingkat kendali yang diterima oleh cause (tersebab/penyebab yang tersebab) dan kedekatan hubungan antara komponen sebab dan akibat dalam situasi makro atau kausatif. Berdasarkan tingkat kendali yang diterima oleh cause, Comrie (1989) membedakan kausatif menjadi kausatif permisif (permissive causative) dan kausatif sejati (true causative). Pada kedua konstruksi tersebut, komponen sebab, dalam hal ini agen, memiliki kendali atas terjadi atau tidaknya komponen akibat. Dalam kausatif sejati, komponen sebab tidak memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya akibat, sedangkan dalam kausatif permisif, komponen sebab atau agen memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya akibat. Cermati contoh berikut. (2.17) Adi broke his arm. (2.18) Adi let the ball roll. Penyebab Adi pada kalimat (2.17) tidak dapat melakukan sesuatu untuk menghindari his arm is broken, sementara Adi pada kalimat (2.18) sebenarnya mampu mencegah terjadinya akibat the ball roll. Istilah true causative dan

16 22 permissive causative yang digunakan Comrie (1989) ini dapat disejajarkan dengan istilah direct causative dan indirect causative menurut Shibatani (1976). Berdasarkan kedekatan hubungan antara komponen sebab dan akibat, Comrie (1989) membedakan kausatif menjadi kausatif langsung dan kausatif tak langsung. Kausatif langsung adalah kausatif yang komponen sebab dan akibatnya memiliki hubungan sangat dekat, sedangkan dalam kausatif taklangsung hubungan antara komponen sebab dan akibat lebih jauh. Walaupun komponen sebab selalu diikuti oleh komponen akibat, dalam kausatif taklangsung komponen akibat terjadi beberapa saat setelah komponen sebab terjadi. Perhatikan contoh berikut. (2.19) Wa Ani no-fo-ngkora-mo Wa Fitri ainiinii. ART KP/3T-KAUS-duduk-PAST ART Fitri tadi Si Ani telah mendudukkan Si Fitri tadi (2.20) Wa Dani ne-fanahi o oe. ART Dani KP/3T-panasi ART air Si Dani memanasi air (Musfirah, 2005 : 70) Kedekatan hubungan antara komponen sebab Wa Ani melakukan sesuatu terhadap Wa Fitri dan komponen akibat Wa Fitri nengkora pada kalimat (2.19) bersifat langsung karena Wa Fitri. Sementara itu, pada kalimat (2.20), komponen akibat o oe air tidak terjadi secepat Wa Fitri nengkora. Dengan kata lain, tindakan Wa Dani melakukan sesuatu terhadap o oe membawa akibat tidak langsung, yaitu o oe menjadi panas. Istilah kausatif langsung dan tak langsung yang digunakan Comrie (1989) ini dapat disejajarkan dengan istilah point causation dan event causation yang digunakan oleh Shibatani (1976).

17 23 Untuk menampilkan hubungan antara perubahan valensi verba pada konstruksi nonkausatif menjadi konstruksi kausatif, Comrie (1989) menjelaskan seperti berikut ini. a. Jika verba nonkausatifnya berupa verba intransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi S akan menempati posisi OL pada konstruksi kausatifnya. b. Jika verba nonkausatifnya berupa verba monotransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi OL akan tetap menempati posisi OL pada konstruksi kausatifnya. c. Jika verba nonkausatifnya berupa verba monotransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi S akan menempati posisi OTL pada konstruksi kausatifnya. d. Jika verba nonkausatifnya berupa verba ditransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi S akan menempati posisi oblik pada konstruksi kausatifnya. e. Jika verba nonkausatifnya berupa verba ditransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi OL dan OTL masing-masing akan menempati posisi OL dan OTL pada konstruksi kausatifnya. Munculnya argumen penyebab mengakibatkan perubahan relasi gramatikal causee (walaupun ada yang berfungsi tetap) menjadi tak terelakkan. Di samping itu, juga berdampak pada perubahan peran argumen-argumen konstruksi kaustif tersebut. Ranah peran causee menurut Comrie (1989) adalah instrumental, datif, dan akusatif. Datif adalah entitas yang bermanifestasi sebagai pengalam, misalnya

18 24 resipien. Hierarki peran yang dikemukakan oleh Comrie (1989) berdasarkan tingkat kendali yang mampu diberikan causee dalam satu situasi makro, yakni instrumental > datif > akusatif. Dalam hierarki ini instrumental dianggap sebagai argumen yang memiliki tingkat kendali yang paling tinggi, sedangkan akusatif dianggap sebagai argumen dengan kendali yang paling rendah Relasi Gramatika Menurut Teori Tatabahasa Relasional Tatabahasa Relasional (TR) adalah teori yang bersifat multistratal. Artinya argumen sebuah verba bisa mempunyai relasi gramatikal yang berbeda pada tataran yang berbeda. Struktur klausa dalam tiap tataran terdiri atas tiga jaringan yang terkait satu sama lain. Ketiga jaringan yang dimaksud, yakni : a) seperangkat simpai (node) yang menggambarkan semua unsur linguistik (klausa, frasa, kata, dan morfem); b) seperangkat tanda relasi (relational sign) yang menggambarkan relasi gramatikal (S dan O); dan c) koordinat yang menggambarkan tataran-tataran yang berbeda dari relasi-relasi yang dihasilkan. Dalam versi TR, promosi adalah revaluasi dengan relasi gramatikal pada strata x + 1 lebih rendah hierarkinya daripada relasi gramatikal pada. Revaluasi mengacu pada hieararki relasi gramatikal berikut. S > OL > OTL > OBL 1 > 2 > 3 > OBL (> dibaca lebih tinggi daripada )

19 25 Revaluasi ini sendiri diatur oleh tiga hukum, yaitu Oblique Law (OLaw) Chomeur Advancement Ban (CAB), dan Motivated Chomage Law (MCL). OLaw menyatakan bahwa suatu relasi OBL Harus berada pada tataran awal dan OLaw melarang relasi suku (relasi 1, 2, dan 3) direvaluasi menjadi OBL. CAB menegaskan bahwa suatu konstituen dengan relasi penganggur (Cho) tidak mungkin mengalami perubahan pemajuan menjadi relasi inti. Dengan kata lain, nomina penganggur akan tetap menjadi penganggur. Sementara itu, MCL menerangkan bahwa demosi ke posisi chomeur akan terjadi jika suatu nomina merebut relasi nomina lain melalui pemajuan (cermati relasi OBL pada yang menggeser relasi 2 menjadi Cho pada diagram 3). Blake (1990) menjabarkan revaluasi dalam sebuah kalimat sebagai berikut : Pemajuan atau promosi : OBL OBL 2 - OBL 3 Pemunduran atau demosi : Cho Cho - 3 Cho

20 26 Selain tiga hukum di atas, dua hukum penting lain yang perlu diperhatikan dalam TR adalah Stratal Uniqueness Law (SUL) dan Final 1 Law (F1L). SUL menyatakan bahwa hanya satu nomina yang dapat menanggung relasi suku dalam satu strata yang sama. Pada strata 1 diagram 4, misalnya, terlihat relasi 1 hanya ditanggung oleh Ima relasi 2 oleh ikan, dan relasi 3 oleh Usman. Begitu pula halnya dengan nomina-nomina pada strata2 dan strata3, hanya satu nomina yang menanggung satu relasi suku. Sementara itu, pemajuan relasi 2 Usman menjadi S (relasi 1) pada strata, dilakukan untuk memenuhi kaidah FIL yang menegaskan bahwa S harus hadir pada strata akhir. Secara sintaksis, yang dimaksud dengan relasi atau fungsi gramatika adalah peran yang diberikan oleh predikat kepada argumen-argumennya berdasarkan hubungan gramatika. Dalam perkembangannya, tata bahasa tradisional melihat OTL dan OL berdasarkan pertimbangan semantik bukan sintaksis. Artinya, OL secara langsung terkena oleh tindakan yang dibawa oleh verba, sedangkan OTL terkena tindakan secara tidak langsung. Selain itu, penamaan OTL dalam tata bahasa tradisional juga diterapkan pada frasa berpreposisi. Cermati contoh berikut ini (Purwo dan Moeliono, 1985 : 14). (2.25) John bought Mary a book. OTL OL (2.26) John bought a book for Mary. OL OTL Sementara aliran transformasional yang dipelopori oleh Chomsky (1965) tidak begitu ketat lagi memegang batasan-batasan semantik terhadap istilah OL

21 27 dan OTL. Di satu pihak, penganut aliran ini memperlakukan S dan O secara semantik, seperti terkuak pada pemakaian istilah logical subject/object, deep subject/object, underlying subject/object, semantic subject/object. Di pihak lain, S dan O juga dipakai secara sintaksis, seperti terlihat pada pemakaian istilah surface subject/object, grammatical subject/object, dan syntactic subject/object. Fungsifungsi yang dikemukakan oleh Chomsky dalam struktur batin adalah S, yakni FN yang secara langsung diatasi oleh kalimat dan OL adalah FN yang secara langsung diatasi oleh FV, sedangkan OTL tidak terlalu mendapat perhatian khusus karena OTL disejajarkan dengan FN lain yang berpreposisi. Setelah Teori Transformasional, muncul TR yang dipelopori oleh Perlmutter dan Postal (1984a). Keduanya menganggap Teori Transformasional tidak dapat diterapkan pada bahasa VSO. Pernyataan transformasi yang menyatakan bahwa Ol adalah FN yang secara langsung diatasi oleh FV, ditantang oleh TR. Hal itu cukup beralasan karena pada bahasa VSO, OL tidak secara langsung diatasi FV. Sebaliknya, subjeklah yang langsung diatasi oleh FV. Dengan demikian, OL transformasi diganti oleh OL TR menjadi FN yang secara langsung menyusul FV. Sebagai pengikut TR, Blake (1990) membagi fungsi atau relasi gramatikal menjadi S, OL, OTL, dan OBL. S dan O adalah relasi suku, sedangkan OBL (seperti benefaktif, lokatif, dan instrumental) adalah relasi bukan suku. Relasi bukan suku lain OBL yang amat penting dalam TR adalah penganggur, yang dalam bahasa Perancis disebut chomeur. Sebuah konstituen diberi relasi Cho jika konstituen itu kehilangan posisinya dalam sebuah strata, misalnya, dari relasi suku (S, OL, dan OTL) menjadi relasi bukan suku yang kehadirannya bersifat manasuka (optional).

22 28 TR juga menjelaskan adanya hierarki fungsi-fungsi gramatika, yaitu S berstatus lebih tinggi dibandingkan dengan OL dan OTL. Hierarki ini dibentuk berdasarkan kenyataan bahwa fungsi yang selalu hadir dalam sebuah kalimat adalah fungsi S. S adalah satu-satunya FN yang menjadi argumen inti pada kalimat intransitif, sedangkan pada kalimat transitif, S adalah FN yang menduduki posisi tertinggi dalam hierarki fungsi gramatikal. Hierarki ini dapat digambarkan sebagai S > OL > OTL > fungsi lain (OBL). 2.4 Model Penelitian Kerangka berpikir yang diuraikan di atas dapat digambarkan dalam bentuk bagan seperti berikut ini. Bagan 2 Model Penelitian Verba Berargumen tiga Data Bahasa Jepang Bahasa Bali Teori Tipologi Kausatif Teori Tatabahasa Relasioanal Perbandingan Temuan

23 29

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian bidang sintaksis yang pernah dilakukan terhadap BM masih belum dijamah atau diteliti secara lebih luas dan

Lebih terperinci

TESIS STRUKTUR VERBA BERARGUMEN TIGA BAHASA BALI DAN BAHASA JEPANG: ANALISIS FUNGSI SINTAKSIS

TESIS STRUKTUR VERBA BERARGUMEN TIGA BAHASA BALI DAN BAHASA JEPANG: ANALISIS FUNGSI SINTAKSIS TESIS STRUKTUR VERBA BERARGUMEN TIGA BAHASA BALI DAN BAHASA JEPANG: ANALISIS FUNGSI SINTAKSIS I MADE BUDIANA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS STRUKTUR VERBA BERARGUMEN TIGA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pesebab (Payne, 2002: 175). Ketiga, konstruksi tersebut menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pesebab (Payne, 2002: 175). Ketiga, konstruksi tersebut menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai bagian dari kajian tipologi gramatikal, konstruksi kausatif cukup menarik untuk dikaji. Hal itu dilandaskan pada beberapa alasan. Pertama, konstruksi tersebut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA Analisis data pada penelitian ini meliputi : (i) perilaku argumen pada perubahan struktur klausa bahasa Indonesia, (ii) pelesapan argumen pada penggabungan klausa bahasa Indonesia,

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat BAB V P E N U T U P 5.1 Kesimpulan Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat tunggal bahasa Sula yang dipaparkan bahasan masaalahnya mulai dari bab II hingga bab IV dalam upaya

Lebih terperinci

KONSTRUKSI KAUSATIF BAHASA SERAWAI

KONSTRUKSI KAUSATIF BAHASA SERAWAI Kata Kunci : KONSTRUKSI KAUSATIF BAHASA SERAWAI Wisman Hadi Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan ABSRACT Serawai Ethnic language causative construction in this paper is investigated through

Lebih terperinci

TESIS KONSTRUKSI KAUSATIF DAN APLIKATIF BAHASA MUNA: KAJIAN MORFOSINTAKSIS

TESIS KONSTRUKSI KAUSATIF DAN APLIKATIF BAHASA MUNA: KAJIAN MORFOSINTAKSIS TESIS KONSTRUKSI KAUSATIF DAN APLIKATIF BAHASA MUNA: KAJIAN MORFOSINTAKSIS LA TARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012 TESIS KONSTRUKSI KAUSATIF DAN APLIKATIF BAHASA MUNA: KAJIAN MORFOSINTAKSIS

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1 Teori-Teori yang Relevan Penelitian ini didasarkan pada teori tipologi bahasa, khususnya tipologi gramatikal. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berpenduduk ±120 juta jiwa. Selain menjadi bahasa nasional, BJ juga

BAB I PENDAHULUAN. yang berpenduduk ±120 juta jiwa. Selain menjadi bahasa nasional, BJ juga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jepang (selanjutnya disingkat BJ) digunakan sebagai alat komunikasi atau pengantar dalam interaksi kehidupan oleh masyarakat Jepang yang berpenduduk ±120 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada penggabungan klausa koordinatif maupun subordinatif bahasa Indonesia sering mengakibatkan adanya dua unsur yang sama atau pengulangan unsur dalam sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk ke dalam kategori ini bermacam-macam, seperti : ukemi (bentuk pasif),

BAB I PENDAHULUAN. termasuk ke dalam kategori ini bermacam-macam, seperti : ukemi (bentuk pasif), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Kridalaksana (dalam Sutedi, 2004 : 75) diatesis yaitu kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dengan perbuatan yang dinyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makna kausatif. Meskipun demikian kausatif dalam masing-masing bahasa

BAB I PENDAHULUAN. makna kausatif. Meskipun demikian kausatif dalam masing-masing bahasa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap bahasa memiliki ungkapan yang digunakan untuk menyampaikan makna kausatif. Meskipun demikian kausatif dalam masing-masing bahasa dinyatakan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jika dibandingkan dengan kalimat pasif bahasa Indonesia. Penggunaannya

BAB I PENDAHULUAN. jika dibandingkan dengan kalimat pasif bahasa Indonesia. Penggunaannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kalimat pasif bahasa Jepang merupakan materi yang cukup sulit jika dibandingkan dengan kalimat pasif bahasa Indonesia. Penggunaannya pun terbilang jarang lain

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Penelitian Terdahulu Penelitian pertama yang berhubungan dengan penelitian mengenai pelesapan argumen dilakukan Sawardi pada tahun 2011 dengan judul Pivot dan

Lebih terperinci

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA. Oleh F.X. Sawardi

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA. Oleh F.X. Sawardi PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA Oleh F.X. Sawardi sawardi_fransiskus@mailcity.com 1. Pengantar Paper ini mencoba mengungkap celah-celah untuk meneropong masalah ergativitas bahasa Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Analisis kalimat dapat dilakukan pada tiga tataran fungsi, yaitu fungsi sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan gramatikal antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan lain. Manusia memiliki keinginan atau hasrat untuk memenuhi

Lebih terperinci

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA HUMANIORA Suhandano VOLUME 14 No. 1 Februari 2002 Halaman 70-76 KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA Suhandano* 1. Pengantar ahasa terdiri dari dua unsur utama, yaitu bentuk dan arti. Kedua unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa yang ada di dunia ini pasti memiliki perbedaan tersendiri jika dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa yang ada di dunia ini pasti memiliki perbedaan tersendiri jika dibandingkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap bahasa yang ada di dunia ini pasti memiliki perbedaan tersendiri jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa yang lainnya. Perbedaan tersebut dapat terlihat

Lebih terperinci

KONSTRUKSI PASIF BAHASA JEPANG (Kajian Gramatika Relasional)

KONSTRUKSI PASIF BAHASA JEPANG (Kajian Gramatika Relasional) KONSTRUKSI PASIF BAHASA JEPANG (Kajian Gramatika Relasional) Rita Maria Sahara dan Lien Darlina Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali Kampus Bukit Jimbaran, Bali. Telp. +62 0361 701981 ext.196 E-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sawardi (2004:1) menjelaskan bahwa teori kebahasaan memahami refleksif berdasarkan pola kalimat umumnya (agen melakukan sesuatu terhadap pasien).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membedakannya dari bahasa lain. Contohnya adalah mengenai konstruksi kausatif,

BAB I PENDAHULUAN. membedakannya dari bahasa lain. Contohnya adalah mengenai konstruksi kausatif, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa bersifat universal dan unik, bahasa mempunyai ciri khas tersendiri yang membedakannya dari bahasa lain. Contohnya adalah mengenai konstruksi kausatif,

Lebih terperinci

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015 SINTAKSIS Pengantar Linguistik Umum 26 November 2014 Morfologi Sintaksis Tata bahasa (gramatika) Bahasan dalam Sintaksis Morfologi Struktur intern kata Tata kata Satuan Fungsi Sintaksis Struktur antar

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 199 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN 1. Dari segi bentuk pengungkap BI diungkapkan dengan pengungkap kausatif tipe morfologis, leksikal, dan analitik. Pengungkap kausatif morfologis BI memiliki banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian bahasa dimulai setelah manusia menyadari keberagaman bahasa merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of Linguistics menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

Jenis Verba Jenis Verba ada tiga, yaitu: Indikatif (kalimat berita) Imperatif (kalimat perintah) Interogatif (kalimat tanya) Slot (fungsi)

Jenis Verba Jenis Verba ada tiga, yaitu: Indikatif (kalimat berita) Imperatif (kalimat perintah) Interogatif (kalimat tanya) Slot (fungsi) Lecture: Kapita Selekta Linguistik Date/Month/Year: 25 April 2016 Semester: 104 (6) / Third Year Method: Ceramah Credits: 2 SKS Lecturer: Prof. Dr. Dendy Sugono, PU Clues: Notes: Kapita Selekta Linguistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana,

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, 2008:143). Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh para anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jepang seperti layaknya bahasa lain pada umumnya, memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jepang seperti layaknya bahasa lain pada umumnya, memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bahasa Jepang seperti layaknya bahasa lain pada umumnya, memiliki berbagai karakteristik sendiri termasuk dalam aspek fonologi, morfologi, semantik atau sintaksisnya.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain ( Kridalaksana,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain ( Kridalaksana, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Frasa Verba Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi leksikal yang terdapat dalam wacana naratif bahasa Indonesia. Berdasarkan teori Halliday dan

Lebih terperinci

Pelesapan Preposisi dalam Gramatika Bahasa Indonesia i

Pelesapan Preposisi dalam Gramatika Bahasa Indonesia i Pelesapan Preposisi dalam Gramatika Bahasa Indonesia i F.X. Sawardi FIB Universitas Sebelas Maret sawardi2012@gmail.com Diterima 14 Januari 2018/Disetujui 27 Maret 2018 Abtract This paper is based on the

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau yang sudah ada dengan menyebutkan dan membahas seperlunya hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Unsur sintaksis yang terkecil adalah frasa. Menurut pandangan seorang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Unsur sintaksis yang terkecil adalah frasa. Menurut pandangan seorang BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut KBBI (2003 : 588), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh

Lebih terperinci

Kata kunci : Kalimat Pasif, Ukemi, Judoubun, ~reru ~rareru, kontrastivitas

Kata kunci : Kalimat Pasif, Ukemi, Judoubun, ~reru ~rareru, kontrastivitas KONTRASTIVITAS KALIMAT PASIF BAHASA INDONESIA DENGAN BAHASA JEPANG (Kajian Struktur dan Makna) Oleh: Novia Oktaviyanti ABSTRAK Dalam suatu bahasa memiliki sistem bahasa yang berbeda dan menjadi ciri khas

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. makna, fungsi dan penggunaan masing-masing dari diatesis kausatif dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. makna, fungsi dan penggunaan masing-masing dari diatesis kausatif dalam 68 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dalam analisis pada bab sebelum nya, telah diuraikan secara terpisah makna, fungsi dan penggunaan masing-masing dari diatesis kausatif dalam bahasa Jepang dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Wolio yang selanjutnya disingkat BW adalah salah satu bahasa daerah yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa Kerajaan Kesultanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu keunikan bahasa Jepang adalah penggunaan partikel sebagai pemarkah yang

BAB I PENDAHULUAN. satu keunikan bahasa Jepang adalah penggunaan partikel sebagai pemarkah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam setiap ragam bahasa, baik dalam bahasa Indonesia, Inggris, maupun dalam bahasa Jepang, memiliki kaidah atau aturan dan beberapa keunikan, salah satu keunikan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan peneliti lain yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan peneliti lain yang BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Relasi gramatikal BMk kajian tipologi sintaksis dipilih sebagai topik dalam penelitian ini karena sejauh ini belum

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian secara teratur dan sistematis, mulai dari tahap perencanaan,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan Dengan maksud merangkum seluruh uraian yang terdapat pada bagian pembahasan, pada bagian ini dirumuskan berbagai simpulan. Simpulan yang dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan kembali kepada orang-orang lain sebagai bahan komunikasi.

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan kembali kepada orang-orang lain sebagai bahan komunikasi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua orang menyadari betapa pentingnya peranan bahasa sebagai alat komunikasi. Dengan adanya bahasa sebagai alat komunikasi, maka yang berada di sekitar manusia

Lebih terperinci

FUNGSI DAN PERAN SINTAKSIS PADA KALIMAT TRANSITIF BAHASA JEPANG DALAM NOVEL CHIJIN NO AI KARYA TANIZAKI JUNICHIRO

FUNGSI DAN PERAN SINTAKSIS PADA KALIMAT TRANSITIF BAHASA JEPANG DALAM NOVEL CHIJIN NO AI KARYA TANIZAKI JUNICHIRO FUNGSI DAN PERAN SINTAKSIS PADA KALIMAT TRANSITIF BAHASA JEPANG DALAM NOVEL CHIJIN NO AI KARYA TANIZAKI JUNICHIRO Ni Kadek Nomi Dwi Antari Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra dan Budaya Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Begitu pula melalui bahasa, menurut Poerwadarmita (1985; 5), bahasa adalah alat

BAB I PENDAHULUAN. Begitu pula melalui bahasa, menurut Poerwadarmita (1985; 5), bahasa adalah alat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan salah satu kelebihan manusia dari pada makhluk lainnya di muka bumi ini. Semua orang menyadari betapa pentingnya peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial memegang peranan yang sangat penting. Komunikasi yang baik perlu mempertimbangkan sikap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa terdiri dari unsur kalimat, klausa, frase dan kata. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa terdiri dari unsur kalimat, klausa, frase dan kata. Salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap bahasa terdiri dari unsur kalimat, klausa, frase dan kata. Salah satu unsur yang menarik adalah mengenai kalimat, karena kalimat merupakan bentuk penyampaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara lisan maupun tertulis. Dalam komunikasi secara lisan, makna yang

BAB I PENDAHULUAN. secara lisan maupun tertulis. Dalam komunikasi secara lisan, makna yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi makhluk hidup di seluruh dunia. Fungsi bahasa merupakan media untuk menyampaikan suatu pesan kepada seseorang baik secara lisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat

BAB I PENDAHULUAN. Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat bahasa Sunda. Dalam pandangan penulis, kelas verba merupakan elemen utama pembentuk keterkaitan

Lebih terperinci

Analisis Kontruksi Verbal Dan Mekanisme Perubahan Valensi Verba Bahasa Batak Toba. Asridayani

Analisis Kontruksi Verbal Dan Mekanisme Perubahan Valensi Verba Bahasa Batak Toba. Asridayani ISSN: 2580-0728 http://ojs.umb-bungo.ac.id/index.php/krinok/index Analisis Kontruksi Verbal Dan Mekanisme Perubahan Valensi Verba Bahasa Batak Toba Asridayani Faculty of Language, English Department University

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat.

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian dalam bidang linguistik berkaitan dengan bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis memiliki hubungan dengan tataran gramatikal. Tataran gramatikal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORETIS

BAB 2 LANDASAN TEORETIS BAB 2 LANDASAN TEORETIS 2.1 Kerangka Acuan Teoretis Penelitian ini memanfaatkan pendapat para ahli di bidangnya. Bidang yang terdapat pada penelitian ini antara lain adalah sintaksis pada fungsi dan peran.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kategori leksikal, komplemen, keterangan, spesifier, dan kaidah struktur frasa.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kategori leksikal, komplemen, keterangan, spesifier, dan kaidah struktur frasa. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu frasa, FP, kategori leksikal, komplemen, keterangan, spesifier, dan kaidah

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana dan sistematis untuk menemukan jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial, manusia saling berinteraksi satu sama lain

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial, manusia saling berinteraksi satu sama lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan sosial, manusia saling berinteraksi satu sama lain dengan bahasa sebagai alat komunikasi. Setiap bangsa di dunia memiliki bahasa yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. semua ahli yang bergerak dalam bidang pengetahuan yang lain semakin memperdalam

Bab 1. Pendahuluan. semua ahli yang bergerak dalam bidang pengetahuan yang lain semakin memperdalam Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Belakangan ini makin dirasakan betapa pentingnya fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Kenyataan yang dihadapi dewasa ini adalah bahwa selain ahli-ahli bahasa, semua

Lebih terperinci

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia VERBA PREDIKAT BAHASA REMAJA DALAM MAJALAH REMAJA Renadini Nurfitri Abstrak. Bahasa remaja dapat dteliti berdasarkan aspek kebahasaannya, salah satunya adalah mengenai verba. Verba sangat identik dengan

Lebih terperinci

5 Universitas Indonesia

5 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI Bab ini terdiri dari dua bagian utama, yaitu penjelasan tentang teori Lexical Functional Grammar (subbab 2.1) dan penjelasan tentang struktur kalimat dalam bahasa Indonesia (subbab

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Shuujoshi Danseigo Pada Komik One Piece Volume 1 Karya Eiichiro Oda

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Shuujoshi Danseigo Pada Komik One Piece Volume 1 Karya Eiichiro Oda BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, terdapat beberapa hasil penelitian yang relevan digunakan sebagai acuan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makna apabila melekat pada kelas kata lain dalam suatu kalimat. Joshi dalam bahasa Jepang

BAB I PENDAHULUAN. makna apabila melekat pada kelas kata lain dalam suatu kalimat. Joshi dalam bahasa Jepang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Joshi dalam bahasa Indonesia biasa disebut partikel merupakan kata bantu dalam bahasa Jepang. Partikel adalah suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan hanya akan memiliki

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini

BAB V PENUTUP. fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Tesis ini menguraikan analisis mengenai konstruksi gramatikal, makna, dan fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini dimulai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak 9 BAB II KAJIAN TEORI Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak bahasa. Chaer (2003: 65) menyatakan bahwa akibat dari kontak bahasa dapat tampak dalam kasus seperti interferensi,

Lebih terperinci

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA 1

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA 1 PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA 1 F. X. Sawardi Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret saward2012@gmail.com Abstrak Artikel ini membicarakan perilaku tipe

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan makna gramatikal. Untuk menjelaskan konsep afiksasi dan makna, penulis memilih pendapat dari Kridalaksana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia pada dasarnya mempunyai dua macam bentuk verba, (i) verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesalahan dalam berbahasa lumrah terjadi dalam proses belajar bahasa, karena dengan adanya kesalahan pembelajar berusaha untuk mengerti dan memahami apa yang

Lebih terperinci

BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS

BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Nama : Khoirudin A. Fauzi NIM : 1402408313 BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Pada bab terdahulu disebutkan bahwa morfologi dan sintaksis adalah bidang tataran linguistik yang secara tradisional disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat pemakainya dalam berkomunikasi. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan sistem, yaitu seperangkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebab kalimat tanya tidak pernah lepas dari penggunaan bahasa sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN. sebab kalimat tanya tidak pernah lepas dari penggunaan bahasa sehari-hari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kalimat tanya selalu mendapat perhatian di dalam buku tata bahasa Indonesia (lihat Alwi dkk., 2003: 357; Chaer, 2000: 350). Hal ini dapat dimengerti sebab kalimat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. dilakukan. Oleh sebab itu, kajian pustaka yang dipaparkan adalah penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. dilakukan. Oleh sebab itu, kajian pustaka yang dipaparkan adalah penelitian 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Seperti yang telah diungkapkan dalam latar belakang bahwa penelitian terhadap BSDW khususnya yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas beribu pulau, yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas beribu pulau, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas beribu pulau, yang didiami oleh berbagai suku bangsa. Setiap suku bangsa mempunyai ciri khas tersendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa di dunia memiliki gaya bahasa yang spesifik dan unik sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa di dunia memiliki gaya bahasa yang spesifik dan unik sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap bahasa di dunia memiliki gaya bahasa yang spesifik dan unik sesuai karakter serta cita rasa dari pengguna bahasa itu sendiri. Berdasarkan observasi yang ada

Lebih terperinci

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Struktur adalah perangkat unsur yang di antaranya ada hubungan yang bersifat ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerangkan nomina dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, kategori yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. menerangkan nomina dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, kategori yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kajian lintas bahasa, adjektiva merupakan kategori yang memberikan keterangan terhadap nomina (Scrachter dan Shopen, 2007: 18). Senada dengan pernyataan tersebut,

Lebih terperinci

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA Tata bentukan dan tata istilah berkenaan dengan kaidah pembentukan kata dan kaidah pembentukan istilah. Pembentukan kata berkenaan dengan salah satu cabang linguistik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai alat berkomunikasi, manusia menggunakan bahasa sebagai sarananya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai alat berkomunikasi, manusia menggunakan bahasa sebagai sarananya. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai alat berkomunikasi, manusia menggunakan bahasa sebagai sarananya. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu

Lebih terperinci

KISI UJI KOMPETENSI 2013 MATA PELAJARAN BAHASA JEPANG

KISI UJI KOMPETENSI 2013 MATA PELAJARAN BAHASA JEPANG KISI UJI KOMPETENSI 2013 MATA PELAJARAN BAHASA JEPANG Kompetens Pedagogik 2. Menguasai teori belajar dan prinsip prinsip pembelajaran yang mendidik. 1. Memahami berbagai teori belajar dan prinsip prinsip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jepang terbagi dalam 10 jenis kelas kata. Partikel merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jepang terbagi dalam 10 jenis kelas kata. Partikel merupakan salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jepang terbagi dalam 10 jenis kelas kata. Partikel merupakan salah satu dari 10 jenis kelas kata tersebut. Partikel dalam bahasa Jepang disebut juga joshi. Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang / Masalah Penelitian Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi (selanjutnya disingkat BPD) tidak hanya berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang, jenis kalimat berdasarkan pada jumlah klausanya, terdiri dari dua macam. Sesuai dengan yang disebutkan dalam

Lebih terperinci

AGEN DALAM KALIMAT PASIF BAHASA INDONESIA

AGEN DALAM KALIMAT PASIF BAHASA INDONESIA AGEN DALAM KALIMAT PASIF BAHASA INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas

Lebih terperinci

MEKANISASI PEMBENTUKAN VERBA BERSUFIKS {-KAN} STRUKTUR ARGUMEN, STRUKTUR LOGIS, DAN MAKNA SUFIKS {-KAN}

MEKANISASI PEMBENTUKAN VERBA BERSUFIKS {-KAN} STRUKTUR ARGUMEN, STRUKTUR LOGIS, DAN MAKNA SUFIKS {-KAN} MEKANISASI PEMBENTUKAN VERBA BERSUFIKS {-KAN} STRUKTUR ARGUMEN, STRUKTUR LOGIS, DAN MAKNA SUFIKS {-KAN} I Nyoman Sedeng nyoman_sedeng@hotmail.com Universitas Udayana 1. PENDAHULUAN Bahasa Indonesia (BI)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Deiksis Linguistik adalah ilmu yang mencoba untuk memahami bahasa dari sudut pandang struktur internal (Gleason, 1961:2). Struktur internal linguistik ialah fonologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal ini disebabkan karena keunikan dari bahasa-bahasa tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. hal ini disebabkan karena keunikan dari bahasa-bahasa tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa-bahasa di dunia sangat banyak, dan para penuturnya juga terdiri dari berbagai suku bangsa atau etnis yang berbeda-beda. Oleh sebab itu setiap bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa adalah alat yang digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa adalah alat yang digunakan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa adalah alat yang digunakan sebagai sarana interaksi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat ini. Kemampuan ini hendaknya dilatih sejak usia dini karena berkomunikasi merupakan cara untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial, manusia tidak terlepas dari aktivitas komunikasi untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial, manusia tidak terlepas dari aktivitas komunikasi untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan sosial, manusia tidak terlepas dari aktivitas komunikasi untuk berinteraksi satu dengan lainnya. Untuk dapat berkomunikasi, manusia memerlukan alat

Lebih terperinci

Tata Bahasa Kasus (Case Grammar)

Tata Bahasa Kasus (Case Grammar) Tata Bahasa asus (Case Grammar) Suparnis Abstract: Case grammar was first introduced by Charles J. Fillmore. It is a modification of the theory of grammar transformation which previously presents the conceptual

Lebih terperinci

BAB 6 TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS

BAB 6 TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS BAB 6 TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS Sintaksis adalah bidang tataran linguistic yang secara tradisional disebut tata bahasa atau gramatika. Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Sebagai makhluk yang berbudaya, manusia butuh berinteraksi dengan sesama manusia. Dalam berinteraksi dibutuhkan norma-norma

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu verba kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna. Verba kejadian

Lebih terperinci

KONTEKS KULTURAL HOSHII INGIN DAN HOSHIGATTEIRU KELIHATANNYA INGIN DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

KONTEKS KULTURAL HOSHII INGIN DAN HOSHIGATTEIRU KELIHATANNYA INGIN DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG KONTEKS KULTURAL HOSHII INGIN DAN HOSHIGATTEIRU KELIHATANNYA INGIN DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG Filia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia ABSTRACT This paper examines a cultural

Lebih terperinci

KAKUJOSHI NI IN JAPANESE SENTENCES

KAKUJOSHI NI IN JAPANESE SENTENCES 1 KAKUJOSHI NI IN JAPANESE SENTENCES Suci Ramdani, Hana Nimashita, Nana Rahayu ramdanijantapan@gmail.com, hana_nimashita@yahoo.co.id, nana_rh12@yahoo.com Number Phone: 085272517366 Japanese Language Study

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 10 2.1 Ungkapan Yari-Morai BAB II LANDASAN TEORI Ungkapan yari-morai digunakan untuk mengunkapkan kelompok verba yang menyatakan perbuatan memindahkan benda (pindah) dari suatu tempat ke tempat lain. Verba-verba

Lebih terperinci

KAUSATIF DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASA INGGRIS: SEBUAH TELAAH TIPOLOGIS

KAUSATIF DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASA INGGRIS: SEBUAH TELAAH TIPOLOGIS KAUSATIF DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASA INGGRIS: SEBUAH TELAAH TIPOLOGIS Oleh: Susi Herti Afriani Dosen Linguistik Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang susisupomo@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri atas empat kabupaten: Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri atas empat kabupaten: Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri atas empat kabupaten: Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur. Kota

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pengolahan data, sampai pada tahap pengambilan kesimpulan, disesuaikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pengolahan data, sampai pada tahap pengambilan kesimpulan, disesuaikan BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan prosedur dan langkah kerja yang digunakan dalam kegiatan penelitian mulai dari perencanaan, pengumpulan data, pengolahan data,

Lebih terperinci

Pemarkah Diatesis Bahasa Bima Made Sri Satyawati Universitas Udayana

Pemarkah Diatesis Bahasa Bima Made Sri Satyawati Universitas Udayana Pemarkah Diatesis Bahasa Bima Made Sri Satyawati Universitas Udayana 1. Pendahuluan Bahasa Bima adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk yang bermukim di bbagian Timur Pulau Sumbawa (Syamsudin, 1996:13).

Lebih terperinci

KESUBJEKAN DALAM BAHASA LAMAHOLOT DIALEK NUSA TADON Oleh. Ida Bagus Putra Yadnya

KESUBJEKAN DALAM BAHASA LAMAHOLOT DIALEK NUSA TADON Oleh. Ida Bagus Putra Yadnya 1 KESUBJEKAN DALAM BAHASA LAMAHOLOT DIALEK NUSA TADON Oleh Ida Bagus Putra Yadnya 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puluhan bahasa daerah yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur kini mulai mendapatkan

Lebih terperinci