BAB I PENDAHULUAN. makna kausatif. Meskipun demikian kausatif dalam masing-masing bahasa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. makna kausatif. Meskipun demikian kausatif dalam masing-masing bahasa"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap bahasa memiliki ungkapan yang digunakan untuk menyampaikan makna kausatif. Meskipun demikian kausatif dalam masing-masing bahasa dinyatakan dengan konstruksi yang berbeda-beda. Konstruksi kausatif menggambarkan adanya dua peristiwa yang saling berkaitan. Comrie (1989: 165) mengatakan bahwa dalam situasi kausatif terdapat dua komponen yaitu sebab (the cause) dan akibat yang dihasilkan (result). Definisi konstruksi kausatif di atas menunjukkan komponen sebab memberi pengaruh sehingga timbul akibat pada komponen akibat. Dua komponen tersebut merupakan situasi mikro yang apabila digabungkan akan membentuk situasi makro yang disebut situasi kausatif. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh berikut. (1) The bus s failure to come caused me to late for the meeting. (Comrie, 1989:163) Pada contoh di atas Comrie menjelaskan situasi mikro terdiri atas komponen sebab yaitu klausa the bus fails to turn up dan kompenen akibat I am late for the meeting. Penggabungan dua komponen tersebut akan membentuk situasi kausatif. Selanjutnya, Comrie (1989:166) juga menjelaskan bahwa ada banyak cara untuk mengekspresikan situasi kausatif, seperti dalam bahasa Inggris digunakan konjungsi because, so that, atau preposisi because of, thanks to, atau predikat yang terpisah seperti verba to cause, to bring it abaout that, dan sebagainya.

2 2 Selain itu dapat juga menggunakan predikat yang di dalamnya terkandung makna sebab seperti contoh berikut. (2) John killed Bill. Dalam bahasa Jepang istilah kausatif dikenal dengan istilah shieki. Kausatif dalam bahasa Jepang dapat diungkapkan dengan verba turunan yang dimarkahi oleh sufiks V-aseru/V-saseru seperti contoh berikut ini. (3) Watashi wa musume ni piano o naraw- ase- masu. saya anak pr. piano belajar kaus. formal Saya menyuruh anak perempuan (saya) belajar piano. (Kiso II: 231) (4) Kodomo o kooen de asob- ase- masu. anak taman bermain kaus. formal (Saya) mengizinkan anak bermain di taman. (Kiso II: 233) Kausatif pada contoh di atas diekspresikan dengan verba kausatif narawasemasu menyuruh belajar dan asobasemasu mengizinkan bermain. Pada contoh (3) dan (4) subjek Watashi Saya merupakan penyebab (causer) yang memberi pengaruh atau melakukan tindakan terhadap objek musume anak perempuan dan kodomo anak yang menjadi tersebab (causee). Pengaruh atau tindakan penyebab terhadap tersebab membawa akibat sesuatu terjadi pada tersebab (objek kalimat). Kausatif bahasa Jepang tidak selalu dinyatakan dengan verba turunan, verba transitif berikut ini juga menyatakan kausatif. (5) Taroo ga mado o hiraku. Taroo jendela membuka

3 3 Taroo membuka jendela. (SS: 241) (6) Taroo ga kaeru o koroshi -ta. Taroo katak membunuh lamp. Taroo membunuh katak. (SS: 241) Pada contoh di atas verba hiraku membuka dan koroshita membunuh juga menyatakan makna kausatif meskipun bukan verba turunan. Dikatakan verba kausatif karena menggambarkan peristiwa sebab dan peristiwa akibat. Dilihat dari maknanya, kausatif dalam bahasa Jepang seperti contoh di atas dapat diinterpretasikan sebagai suruhan, pemberian izin maupun tindakan penyebab terhadap tersebab. Artinya, pengaruh atau tindakan penyebab terhadap tersebab dapat bersifat positif maupun negatif. Bahasa Indonesia juga memiliki ungkapan yang digunakan untuk mengekspresikan makna kausatif seperti contoh berikut ini. (7) Berita itu membuat hatinya gembira. (8) Perbuatannya menyebabkan orang-orang di dekatnya merasa gembira. (9) Ibu membersihkan kamar tidur. (10) Perampok itu juga membunuh korbannya. Pada contoh di atas verba membuat, menyebabkan, membersihkan, dan membunuh merupakan verba yang menyatakan makna kausatif. Verba kausatif dalam bahasa Indonesia bentuknya dapat berupa verba berafiks maupun bukan verba berafiks. Subjek kalimat (7-10) di atas yaitu Berita itu, Perbuatannya, Ibu, dan Perampok itu menjadi penyebab yang memberi pengaruh kepada objek dia,

4 4 orang-orang di dekatnya, kamar tidur, dan korbannya sehingga objek melakukan suatu tindakan atau mengalami suatu peristiwa. Dilihat dari maknanya, kausatif bahasa Indonesia mengekspresikan subjek menyebabkan objek menjadi mengalami sesuatu. Dari pemaparan contoh-contoh di atas, terlihat perbedaan bentuk verba kausatif dan maknanya dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Hal ini menimbulkan minat penulis untuk meneliti verba kausatif dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengamati bentuk verba kausatif, struktur kalimat, dan makna kausatif kedua bahasa. Penelitian akan dilakukan dalam tataran morfologi, sintaksis, dan semantik untuk membahas bentuk verba kausatif kedua bahasa, struktur kalimat kausatif dan makna kausatif pada kedua bahasa. 1.2 Perumusan Masalah 1) Bagaimanakah bentuk dan makna verba kausatif dalam bahasa Jepang? 2) Bagaimanakah bentuk dan makna verba kausatif dalam bahasa Indonesia? 3) Apakah persamaan dan perbedaan bentuk verba dan makna kausatif yang diekspresikan dengan verba kausatif dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk menjawab pertanyaan yang telah penulis kemukan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:

5 5 1) Menjelaskan bentuk dan makna verba kausatif dalam bahasa Indonesia. 2) Menjelaskan bentuk dan makna verba kausatif dalam bahasa Jepang. 3) Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan situasi kausatif yang diekspresikan dengan verba kausatif dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. 1.4 Manfaat Penelitian 1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini akan berupa deskripsi tentang persamaan dan perbedaan antara kalimat kausatif bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan penelitian kontrastif mengenai bahasa Jepang dan bahasa Indonesia mengingat dua bahasa tersebut memiliki banyak karakteristik yang berbeda baik pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, maupun semantik. 2 Manfaat Praktis Secara praktis, diharapkan penelitian dapat dimanfaatkan bagi bidang linguistik kontrastif terapan, yaitu bagi para pembelajar dan pengajar bahasa Jepang. Untuk kepentingan pembelajaran bahasa Jepang penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun strategi dan metode pembelajaran bahasa Jepang. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat bagi bidang penerjemahan teks Jepang Indonesia maupun sebalikya. Hasil penelitian berupa penjelasan mengenai verba kausatif bahasa Jepang dan bahasa Indonesia

6 6 dapat mengungkapkan suatu bentuk padanan tertentu yang dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan bidang penerjemahan. 1.5 Tinjuan Pustaka Beberapa linguis berikut ini telah melakukan kajian tentang kausatif dalam berbagai bahasa. Pandangan-pandangan linguis tersebut mengenai kausatif menjadi referensi penulis dalam melakukan penelitian ini. Berikut ini akan ditampilkan secara singkat pandangan linguis-linguis tersebut. 1. Arka (1993) Dalam tesisnya, Arka menerangkan tentang kausatif dengan verba yang dibentuk oleh afiks kan. Arka menggunakan teori Goverment and Binding (GB Theory) dan teori Lexical Functional Grammar (LFG Theory) untuk menjelaskan kausatif kan dari aspek sintaksis dan semantik. 2. Mayani (2005) Dalam penelitiannya, Mayani membahas konstruksi kausatif bahasa Madura dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Comrie (1989). Dengan menggunakan teori Comrie tersebut, menurut Mayani, tipologi kausatif bahasa Madura dapat dilihat dari segi morfosintaksis dan semantik. Berdasarkan parameter morfosintaksis, kausatif bahasa Madura terbagi men jadi tiga tipe, yaitu (1) kausatif analitik, (2) kausatif morfologis, dan (3) kausatif leksikal.

7 7 Selanjutnya berdasarkan parameter semantik, kausatif bahasa Madura dapat dibedakan berdasarkan dua fitur yaitu, fitur tingkat kendali yang diterima tersebab dan tingkat kedekatan hubungan antara komponen sebab dan akibat. Dari fitur tingkat kendali yang diterima tersebab, kausatif bahasa Madura dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kausatif sejati (kausatif yang dilakukan secara tidak sengaja) dan kausatif permisif (kausatif yang dilakukan dengan sengaja). Kausatif sejati terjadi jika tindakan penyebab secara tidak langsung mengenai tersebab (causee) secara fisik. Sedangkan, kausatif permisif terjadi apabila penyebab dan tersebab tidak terlibat secara fisik atau nyata. Sementara itu, berdasarkan tingkat kedekatan hubungan antara komponen sebab dan akibat, kausatif bahasa Madura dapat dibedakan menjadi kausatif langsung dan kausatif tak langsung. Dari hubungan antara konstruksi kausatif dan rentang durasi yang diperlukan, rentang durasi antara komponen sebab dan akibat pada konstruksi kausatif morfologis lebih pendek dibandingkan dengan rentang durasi antara komponen sebab dan akibat pada konstruksi kausatif analitik. Dengan kata lain, kausatif morfologis pada bahasa Madura bersifat langsung sedangkan kausatif analitik bersifat tidak langsung. 3. Darmadi, dkk. (2006) Darmadi, dkk. dalam penelitiannya yang berjudul Aspek Morfoleksikal dan Tipologis dalam Kausatif Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda membahas kausatif morfologis kedua bahasa dari aspek bentuk verba, tipologi dan properti semantik kausatif morfologis. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan

8 8 gabungan antara linguistik struktural, linguistik tipologi dan semantik. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kausatif morfologis kedua bahasa ditandai dengan pemarkah yang tampak (overt markers) dan yang tidak tampak (covert markers). Dari aspek tipologi kausatif morfologi kedua bahasa, diketahui bahwa pada kedua bahasa terdapat dua tipe, yaitu kausatif dengan dasar verba intransitif memiliki konstruksi NP0 + V + NP1 dan kausatif dengan dasar verba mono transitif memiliki konstruksi NP0 + V + NP2 + (NP1). Properti semantik kausatif morfologis kedua bahasa menunjukkan tingkat keberhasilan, keterlibatan, kontrol dan kemauan (volitional) pelaku. Properti pada tingkat keberhasilan hanya terdapat pada dasar leksikal tertentu saja. Sementara properti keterlibatan, kontrol, dan kemauan pelaku berkaitan dengan fitur semantik argumennya apakah [+bernyawa] atau [-bernyawa]. 4. Zha Xi Cai Rang (2008) Dalam penelitiannya membandingkan ungkapan kausatif bahasa Jepang yang ditandai dengan pemarkah saseru dan kausatif bahasa Tibet yang ditandai dengan pemarkah keu jeug. Makna kausatif kedua bahasa dilihat dari keterlibatan partisipannya. Menurutnya makna kausatif kedua bahasa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) makna kausatif dengan partisipasi langsung, (2) makna kausatif dengan partisipasi tidak langsung, dan (3) makna kausatif dengan tanpa partisipasi. Makna-makna tersebut terbagi lagi menjadi makna-makna berikut ini. Pertama, makna kausatif dengan partisipasi langsung terdiri atas makna (1) paksaan, (2)

9 9 arahan/bimbingan, (3) bantuan/kebaikan, dan (4) permintaan. Kedua, makna kausatif dengan partisipasi tidak langsung terdiri atas makna (1) izin, (2) pembiaran, dan (3) persetujuan bersama. Dan, ketiga makna kausatif tanpa adanya partisipasi. Dari hasil analisisnya diketahui makna kausatif yang sama pada kedua bahasa hanya makna partisipasi tidak langsung (makna bimbingan / arahan) dan makna partisipasi langsung ( makna izin dan makna pembiaran). Selain itu terdapat perbedaan makna dalam kausatif kedua bahasa sebagai berikut. 1. Kausatif yang bermakna paksaan dan memberi kebaikan dalam kedua bahasa dinyatakan dengan pemarkah keu jeug yang melekat pada verba dalam bahasa Tibet dan pemarkah saseru yang melekat pada verba dalam bahasa Jepang. Namun, dalam bahasa Jepang makna seperti itu dapat pula dinyatakan dengan verba berafiks saserareru dan verba berafiks sasete ageru. 2. Kausatif yang bermakna memberi kebaikan dalam bahasa Jepang, hanya dapat digunakan apabila objeknya bukan orang yang memiliki kedudukan atau status lebih tinggi dari subjek. Sementara dalam bahasa Tibet tidak terdapat pembatasan seperti itu. 3. Kausatif yang bermakna permohonan dalam bahasa Tibet dapat diungkapankan dengan verba berafiks keu jeug, sedangkan dalam bahasa Jepang dinyatakan dengan verba te morau. 4. Dalam bahasa Jepang, afiks saseru tidak dapat menyatakan makna pertanggungjawaban dan menyalahkan kecuali afiks saseru dilekatkan pada

10 10 verba shinu mati. Sementara afiks keu jeug yang dilekati verba apapun dalam bahasa Tibet, dapat menyatakan makna pertanggungjawaban dan menyalahkan. Dari penjelasan tersebut, disimpulkan bahwa penggunaan kausatif dengan afiks keu jeug dalam bahasa Tibet lebih luas daripada kausatif dengan afiks saseru dalam bahasa Jepang. 5. Winarti (2009) Dalam tesisnya Winarti mendeskripsikan tipe-tipe kausatif menurut tipologi kausatif yang diusulkan oleh Comrie (1989), yaitu kausatif perifrastis (analitik), morfologis, dan leksikal. Menurut Winarti konstruksi kausatif perifrastis dalam bahasa Indonesia dapat dibentuk dari konstruksi nonkausatif yang diberi pemarkah kausatif berupa verba kausatif. Verba kausatif yang dimaksud adalah verba membuat. Dalam membentuk konstruksi kausatif perifrastis, konstruksi nonkausatif yang dapat diubah menjadi konstruksi kausatif perifrastis adalah yang perdikatnya verba intransitif, verba transitif, adjektiva, dan nomina. Konstruksi kausatif morfologis dalam bahasa Indonesia ditandai oleh permarkah berupa afiks [-kan], [per-], [-i], serta kombinasi afiks [per-kan] dan [per-i]. Afiks-afiks tersebut melekat pada kategori verba, adjektiva, nomina, numeralia, adverbia, dan frasa preposisional sehingga menghasilkan verba kausatif. Kausatif leksikal yaitu kausatif yang dinyatakan oleh sebuah leksikon tanpa melalui proses produktif apa pun. Selanjutnya, dalam tulisannya dibahas mengenai perbedaan kausatif perifrastis dan morfologis.

11 11 Dari tinjauan pustaka yang tersebut di atas belum ada yang penelitian mengenai kontrastif verba kausatif dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia yang meliputi aspek bentuk verba, struktur kalimat, dan makna. Oleh sebab itu penulis akan melakukan penelitian kontrastif verba kausatif dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia dengan mengamati bentuk verba, struktur kalimat, dan makna. Penelitian-penelitian terdahulu tersebut digunakan sebagai referensi dalam melakukan penelitian ini. 1.6 Landasan Teori Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu teori tentang kausatif secara umum, verba, pembentukan verba dan verba kausatif dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Pemaparan teori kausatif secara umum dimaksudkan untuk memberi gambaran mengenai kausatif. Penjelasan mengenai verba dan pembentukan verba perlu disampaikan karena pada penelitian ini akan dibahas mengenai kausatif yang diungkapkan dengan verba kausatif. Selanjutnya juga akan disampaikan penjelasan singkat teori yang berkaitan dengan kausatif dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang Kausatif secara Umum Sebuah kalimat dapat dikatakan menyatakan makna kausatif apabila di dalam kalimat terdapat unsur-unsur yang menggambarkan situasi sebab dan akibat. Hal itu dijelaskan oleh Shibatani (1976:1) yang menerangkan bahwa konstruksi kausatif dapat didefinisikan dengan cara menjelaskan ciri-ciri situasi yang

12 12 membangun konstruksi kausatif tersebut. Situasi-situasi yang mengekspresikan konstruksi kausatif disebut sebagai situasi kausatif. Selanjutnya Shibatani menjelaskan bahwa situasi kausatif dapat terjadi apabila terdapat dua peristiwa dengan kondisi-kondisi sebagai berikut. a. Adanya keyakinan penutur mengenai hubungan antara dua peristiwa, yaitu peristiwa akibat (disebut sebagai t 2 ) terjadi setelah munculnya peristiwa sebab (t 1 ) terjadi. b. Hubungan antara peristiwa sebab dan peristiwa akibat dijelaskan dengan adanya keyakinan penutur bahwa munculnya peristiwa akibat sepenuhnya bergantung pada munculnya peristiwa sebab. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami situasi kausatif terbentuk akibat adanya dua peristiwa yang saling berkaitan yaitu peristiwa sebab dan peristiwa akibat. Hubungan antara kedua peristiwa tersebut adalah bahwa keberadaan peristiwa akibat tidak akan terjadi apabila tidak ada peristiwa sebab. Dalam mengungkapkan suatu makna kausatif, keyakinan penutur mengenai adanya peristiwa sebab dan peristiwa akibat sangat penting. Shibatani (1976:2) mencontohkan kalimat berikut ini bukan kalimat yang bermakna kausatif. (11) I told John to go. (SS: 2) Kalimat (11) dikatakan bukan kalimat yang bermakna kausatif karena penutur I tidak memiliki keyakinan apakah John melakukan tindakan go. Pada kalimat (11) peristiwa akibat yang menggambarkan situasi kausatif tidak terdapat dalam kalimat. Kausatif lebih mudah dipahami apabila diungkapkan dengan verba yang menyatakan makna kausatif seperti pada contoh berikut.

13 13 (12) I caused John to go. (SS: 2) (13) I made John go. (SS: 2) (14) I opened the door. (SS: 2) Kalimat di atas merupakan kalimat bermakna kausatif yang dinyatakan dengan verba cause, made, dan open. Verba-verba tersebut menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh subjek I terhadap objek John maupun the door. Tindakan yang dilakukan oleh subjek merupakan peristiwa sebab, dan akibat yang terjadi pada objek John dan the door merupakan peristiwa akibat meskipun peristiwa akibat tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. Berkaitan dengan bentuk verba kausatif, Comrie (1989: ) berpendapat bahwa verba kausatif dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, meskipun bentuk bahasa-bahasa tidak selalu sesuai dengan salah satu atau ketiga tipe tersebut. Ketiga tipe yang dimaksud (1) kausatif analitik, (2) kausatif morfologis, dan (3) kausatif leksikal. Comrie menjelaskan pada kausatif analitik terdapat predikat yang terpisah, dan predikat tersebut menyatakan sebab dan akibat. Dalam bahasa Inggris kausatif analitik dicontohkan sebagai berikut. (15) I caused John to go. (16) I brought it about that John went. Pada contoh di atas terdapat predikat yang terpisah yaitu cause dan brought it about yang menyatakan sebab dan go yang menyatakan efek atau akibat. Selanjutnya Comrie menjelaskan kausatif morfologis memiliki dua karakteristik. Pertama, kausatif ini memiliki kaitan dengan predikat non kausatifnya yang dibentuk melalui proses morfologis seperti afiksasi. Dengan kata

14 14 lain, pada kausatif morfologis predikat non kausatif dan kausatifnya memiliki keterkaitan dalam hal bentuk secara morfologis. Penurunan verba kausatif terjadi melalui proses morfologis. Kedua, hubungan antara predikat kausatif dan non kausatif produktif, artinya pemarkah kausatif dapat dilekatkan pada suatu predikat sehingga membentuk verba kausatif. Dan, kausatif leksikal adalah sebuah leksikal yang menggambarkan hubungan sebab akibat. Hubungan sebab akibat tersebut tidak dinyatakan melalui proses produktif. Contoh kausatif leksikal dalam bahasa Inggris yaitu verba kill sebagai sebab dan die sebagai akibat. Comrie menyebutkan dalam kausatif leksikal terdapat pasangan yang saling melengkapi (suppletive pairs) dan pasangan tersebut merupakan sebab dan akibat seperti pada verba kill dan die. Comrie juga menjelaskan tidak ada aturan formal antara anggota pasangan tersebut. Artinya secara bentuk pasangan tersebut tidak memiliki hubungan yang formal seperti verba kill dan die yang secara morfologis tidak ada kaitan, namun secara semantik berkaitan. Tipe-tipe kausatif juga telah dibahas oleh Katamba (1994:213) yang membagi kausatif menjadi tiga tipe yaitu (1) kausatif leksikal, (2) kausatif morfologis, dan (3) kausatif sintaksis. Kausatif leksikal diungkapkan melalui bentuk kata yang tidak mengalami derivasi, seperti contoh dalam bahasa Inggris kata drop menyebabkan jatuh dan kill menyebabkan meninggal. Kausatif morfologis dinyatakan antara lain dengan afiks derivasional seperti en pada kata widen memperlebar atau membuat lebar dan shorten memperpendek atau menyebabkan lebih pendek. Kausatif sintaksis dinyatakan dengan kata di dalam

15 15 frasa atau klausa yang berbeda seperti make someone happy membuat seseorang bahagia bukan dengan kata berafiks *happy-en someone atau *happy someone Verba dalam Bahasa Indonesia Verba memiliki ciri-ciri yang dapat diketahui dengan mengamati (1) perilaku semantis, (2) perilaku sintaksis, dan (3) bentuk morfologisnya (Alwi, dkk., 2003:87). Dari segi perilaku semantisnya, Alwi, dkk. (2003:88-90) membedakan verba menjadi (1) verba perbuatan (aksi), (2) verba proses, (3) verba keadaan, dan (4) verba pengalaman. Verba-verba tersebut memiliki makna inheren yang terkandung di dalamnya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai ciri semantis verba dengan mengutip pendapat Alwi, dkk. (2003:88-90). 1. Verba Perbuatan (Aksi) Verba perbuatan merupakan verba yang digunakan untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh subjek. Contoh verba perbuatan antara lain yaitu belajar, lari, mencuri, membelikan, menakut-nakuti, dan sebagainya. 2. Verba Proses Verba proses dapat menggambarkan apa yang terjadi pada subjek. Selain itu, dapat pula menyatakan adanya perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Misalnya verba meledak, mati, mengering, kebanjiran, terbakar, dan sebagainya. 3. Verba Keadaan Verba keadaan digunakan untuk menyatakan bahwa apa yang menjadi acuan verba berada dalam situasi tertentu. Misalnya verba suka menggambarkan kondisi

16 16 subjek mengalami situasi suka. Verba keadaan mirip dengan adjektiva, tetapi ada perbedaan diantara keduanya. 4. Verba Pengalaman Selain ketiga verba di atas, Alwi juga menambahkan verba pengalaman, yaitu verba yang menggambarkan peristiwa yang terjadi begitu saja pada seseorang, tanpa kesengajaan dan kehendaknya. Contohnya verba mendengar, melihat, tahu, lupa, ingat, dan sebagainya. Dalam kalimat verba merupakan unsur yang sangat penting. Suatu verba menentukan unsur-unsur apa yang harus atau boleh ada dalam kalimat tersebut. Berkaitan dengan perilaku sintaksisnya tersebut, Alwi, dkk. (2003: 91-97) membagi verba secara garis besar menjadi verba transitif dan taktransitif (lazim disebut juga intransitif). Verba transitif adalah verba yang memerlukan objek. Verba transitif dibagi menjadi tiga, yaitu verba ekatransitif, verba dwitransitif, dan verba semitransitif. Verba ekatransitif adalah verba yang memiliki satu objek, verba dwitransitif adalah verba yang memiliki dua objek, dan verba semitransitif adalah verba yang objeknya boleh ada atau tidak. Sedangkan verba taktransitif adalah verba yang tidak memiliki objek. Pada ciri verba yang berkaitan dengan bentuknya morfologisnya, verba dinedakan atas verba asal dan verba turunan. Menurut Alwi, dkk. (2003:98) verba asal yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis, dan verba turunan adalah verba yang harus atau dapat memakai afiks.

17 Verba dalam bahasa Jepang Menurut Masuoka dan Takubo (1998:12) verba dapat digolongkan berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) verba aksi (dootai dooshi) dan verba keadaan (jootai dooshi), (2) verba intransitif (jidooshi) dan verba transitif (tadooshi), dan (3) verba yang menyatakan kehendak (ishi dooshi) dan verba yang tidak menyatakan kehendak (muishi dooshi). Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas ciri-ciri verba tersebut dengan mengutip pendapat Masuoka dan Takubo (1998:12-14) 1. Verba Aksi (Dootai Dooshi) dan Verba Keadaan (Jootai Dooshi) Verba aksi adalah verba yang digunakan untuk menggambarkan gerakan atau aktivitas seperti aruku berjalan, hanasu berbicara, taoreru tumbang, taosu menumbangkan, dan sebagainya. Verba keadaan dapat menggambarkan keberadaan seperti verba aru ada (benda mati) dan verba iru ada (makhluk hidup); menggambarkan kemampuan seperti verba dekiru mampu ; menggambarkan keperluan seperti verba iru memerlukan ; dan menggambarkan saling keterkaitan seperti verba kotonaru berbeda, verba chigau keliru, dan sebagainya. 2. Verba Transitif (Tadooshi) dan Verba Intransitif (Jidooshi) Verba aksi dapat dibedakan menjadi verba transitif dan intransitif berdasarkan perlu tidaknya objek yang mendampingi verba. Verba transitif merupakan verba yang memerlukan objek dan ditandai dengan adanya partikel o

18 18 setelah nomina (objek), sedangkan verba intransitif adalah verba yang tidak memerlukan objek. 3. Verba yang Menyatakan Kehendak (Ishi Dooshi) dan Verba yang Tidak Menyatakan Kehendak (Muishi Dooshi) Verba aksi selain dibedakan menjadi verba transitif dan verba intransitif, dibedakan lagi berdasarkan ada tidaknya kehendak subjek (manusia) dalam melakukan atau mengalami suatu keadaan yang diungkapkan dalam verba. Verba yang menggambarkan kehendak manusia untuk melakukan aktivitas secara sadar seperti aruku berjalan, yomu membaca, kan gaeru berpikir, dan sebagainya. Sementara itu, verba yang menggambarkan keadaan yang terjadi diluar kesadaran seseorang seperti taoreru pingsan, ushinau kehilangan, dan sebagainya. Tomita (2007:47) menyebut istilah verba yang menyatakan kehendak dengan istilah verba volitional dan verba yang tidak menyatakan kehendak dengan istilah verba nonvolitional. Menurutnya, verba nonvolitional pada prinsipnya merupakan verba yang menggambarkan suatu tindakan yang tidak dapat dikontrol [-kontrol] oleh pembicara atau tindakan yang terjadi diluar keinginana pembicara. Dengan merujuk pada penjelasan di atas, istilah yang berkaitan dengan verba yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Verba intransitif dan verba transitif untuk menjelaskan verba dalam kaitannya dengan struktur kalimat. Verba aksi dan verba keadaan yang menggambarkan tindakan yang dilakukan subjek. Verba volitional dan verba nonvolitional untuk menggambarkan suatu tindakan dilakukan oleh subjek secara sadar atau tidak.

19 Konjugasi dalam bahasa Jepang Secara morfologis verba dalam bahasa Jepang dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut sebagai gokan, setsuji, dan gobi. Iori (2001:51) menjelaskan yang dimaksud dengan gokan adalah bagian kata yang tidak berubah bentuknya pada proses konjugasi. Gokan dapat disebut sebagai bagian kata yang menyatakan makna leksikal kata tersebut. Sementara itu, bagian kata yang mengalami perubahan saat berkonjugasi disebut setsuji dan gobi. Setsuji adalah konjugasi kata itu sendiri, sedangkan gobi bukan konjugasi. Setsuji dan gobi memiliki makna gramatikal. Contohnya verba kakareru ditulis yang merupakan bentuk diatesis pasif memiliki bagian-bagian sebagai berikut. kak - a = re - ru gokan setsuji goki gokan gobi Pada verba kakareru, kak merupakan gokan yang mengungkapkan makna leksikal kata tersebut yaitu tulis. Di bagian selanjutnya terdapat reru yang merupakan setsuji (sufiks) pemarkah bentuk diatesis pasif. Setsuji reru sendiri terbagi atas gokan dan gobi, yaitu re sebagai gokan atau bagian kata yang menyatakan makna gramatikal diatesis pasif dan ru sebagai gobi yang merupakan pemarkah verba bentuk biasa (nonformal). Selain itu gobi ru dapat mengalami proses konjugasi untuk menyatakan makna ragam biasa (nonsopan), ragam sopan, bentuk negatif, perubahan kala, dan sebagainya seperti contoh berikut. kak are ru kak are nai kak are masu kak are mashita kak are masen : menyatakan bentuk biasa : menyatakan bentuk negatif, biasa : menyatakan bentuk sopan : menyatakan bentuk sopan, kala lampau : menyatakan bentuk negatif, sopan

20 20 kak are masen deshita : menyatakan kala lampau, negatif, sopan Verba kausatif dalam bahasa Jepang juga dibentuk melalui proses konjugasi. Iori (2001:54) menjelaskan proses konjugasi yang dialami verba berkaitan dengan morfologi verba bahasa Jepang yang terbagi atas tiga jenis. Pertama, verba konsonan (shiin gokan dooshi) yaitu verba yang gokannya berakhiran dengan huruf konsonan seperti verba kak-u menulis, hanas-u berbicara, tats-u berdiri dan sebagainya. Seperti telah dijelaskan di atas, huruf u di akhir kata merupakan gobi. Kedua, verba vokal (boin gokan dooshi) yaitu verba yang gokannya berakhiran dengan huruf vokal seperti verba mi-ru melihat, tabe-ru makan, oshie-ru mengajar dan sebagainya. Ketiga, verba yang perubahannya tidak teratur. Verba ini hanya terdiri dari dua yaitu verba kuru datang dan suru melakukan. Perihal pembentukan verba kausatif dalam bahasa Jepang akan dibahas pada bab III Afiksasi dalam bahasa Indonesia Afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori tertentu, dan (3) sedikit banyak berubah maknanya (Kridalaksana, 1996:28). Afiks oleh Ramlan (2009:55) diartikan sebagai satuan gramatik terikat di dalam suatu kata dan memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Proses pembentukan kata dengan afiksasi dilakukan secara bertahap seperti yang dicontohkan Ramlan (2009:59) pada pembentukan kata berpakaian.

21 21 Menurutnya kata berpakaian dibentuk dengan tahap pertama melekatkan morfem an pada kata pakai sehingga menjadi pakaian. Kemudian, morfem ber- melekat pada pakaian sehingga menjadi berpakaian. Morfem ber- dan an tidak melekat bersama-sama karena masing-masing memiliki fungsi gramatik sendiri, yaitu morfem an membentuk nomina pakaian dan morfem ber- membentuk verba. Verba kausatif dalam bahasa ada yang dibentuk melalui proses afiksasi yaitu dengan cara melekatkan afiks pembentuk verba kausatif pada kategori kata tertentu. Pembahasan mengenai afiks-afiks pembentuk verba kausatif akan dibahas selanjutnya pada bab II Struktur Kalimat Kausatif Menurut Comrie (1989:175) pada kalimat kausatif terdapat perubahan sintaksis yaitu perubahan valensi berupa penambahan argumen yang sebelumnya tidak ada pada kalimat nonkausatif. Pada kalimat kausatif subjek merupakan penyebab yang sebelumnya tidak terdapat pada kalimat non kausatif. Perubahan valensi terjadi disebabkan munculnya penyebab pada kalimat kausatif, dan hal ini menyebabkan bergesernya fungsi sintaksis di dalam kalimat. Comrie (1989:175) memberi contoh dalam bahasa Turki sebagai berikut. (17) Hasan öl dü. Hasan mati lampau Hasan (telah) mati. (18) Ali Hasan-i öl dür dü. Ali Hasan mati kaus. lampau Ali menyebabkan Hasan mati

22 22 Kalimat (17) merupakan kalimat non kausatif dengan predikat berupa verba intransitif. Kalimat tersebut diturunkan menjadi kalimat (18) yang predikatnya berupa verba kausatif, sehingga terjadi pergeseran argumen yaitu subjek Hasan pada kalimat non kausatif bergeser menjadi objek langsung pada kalimat kausatif. Kemudian, pada kalimat kausatif muncul argumen baru yaitu Ali yang menduduki posisi subjek. Subjek tersebut merupakan penyebab yang menyebabkan tersebab Hasan menjadi mati. Perubahan fungsi sintaksis tersebut menyebabkan subjek kalimat nonkausatif bergeser menjadi objek atau tersebab pada kalimat kausatif. Menurut Comrie (1989: ) pergeseran posisi subjek kalimat nonkausatif menjadi objek kalimat kausatif dipengaruhi oleh predikat kalimat nonkausatifnya. Apabila kalimat nonkausatif berpredikat verba intransitif tersebab akan menduduki posisi objek langsung, sedangkan bila kalimat nonkausatif berpredikat transitif maka tersebab akan menduduki posisi objek tak langsung karena posisi objek langsung telah diisi oleh objek yang sama pada kalimat nonkausatifnya. Sementara, apabila kalimat nonkausatif telah memiliki objek tak langsung, maka tersebab akan mengisi posisi objek oblik. Demikian juga halnya dengan bahasa Jepang. Menurut Nitta, dkk. (2009:257) kalimat kausatif mengungkapkan subjek kalimat kausatif sebagai pemberi pengaruh terhadap terjadinya peristiwa sebagaimana diungkapkan dalam kalimat nonkausatifnya. Subjek ini sebelumnya tidak muncul pada kalimat nonkausatifnya. Dengan demikian subjek kalimat aktif dan kalimat kausatif yang

23 23 diturunkannya merupakan nomina yang berbeda. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh berikut ini. (19) Kodomo ga terebi o keshi -ta. anak televisi mematikan lamp. Anak mematikan televisi. (20) Chichi oya ga kodomo ni terebi o kes -ase -ta. ayah anak televisi mati kaus. lamp. Ayah menyuruh anak mematikan televisi. Kalimat (19) merupakan kalimat nonkausatif yang kemudian diturunkan menjadi kalimat kausatif pada contoh (20). Pada kalimat nonkausatif, subjeknya Kodomo Anak melakukan tindakan terebi o keshita mematikan televisi. Kemudian pada kalimat kausatif contoh (19) Kodomo Anak posisinya bergeser menjadi objek tak langsung. Hal ini disebabkan karena pada kalimat kausatif ada subjek yaitu Chichi oya Ayah yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa seperti yang diungkapkan pada kalimat nonkausatif. Pada kalimat kausatif objek tak langsung kodomo menjadi tersebab atau pihak yang dikenai pengaruh oleh penyebab sehingga melakukan tindakan. Tindakan yang dilakukan oleh tersebab tidak akan terjadi apabila tidak ada pengaruh dari penyebab Semantik Kausatif Shibatani (1976:241) menjelaskan makna kausatif menurut tipe verbanya, sehingga verba kausatif produktif dan verba kausatif leksikal memiliki perbedaan dari segi makna. Menurutnya, karakteristik yang dimiliki oleh verba kausatif

24 24 produktif yaitu mengungkapkan makna perintah (directive), sedangkan verba kausatif leksikal mengungkapkan makna manipulatif (manipulative) (1976:260). Yang dimaksud dengan makna perintah adalah penyebab baik secara langsung maupun tidak langsung mengatakan sesuatu kepada tersebab sehingga mengakibatkan tersebab melakukan tindakan. Dengan kata lain, penyebab menyebabkan tersebab melakukan suatu tindakan secara verbal. Sedangkan manipulatif yaitu penyebab melakukan tindakan yang mengenai fisik tersebab sehingga terjadi suatu perubahan pada tersebab. Nitta, dkk. (2009:261) menjelaskan makna kausatif yang dinyatakan dengan verba kausatif morfologis bahasa Jepang dengan melihat partisipasi penyebab dalam menimbulkan peristiwa akibat. Menurutnya kausatif morfologis secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) tidak langsung menimbulkan akibat, (2) langsung menimbulkan akibat, dan (3) tidak secara aktif menimbulkan akibat. Perbedaan makna kausatif tersebut dilihat dari cara penyebab dalam melakukan tindakan yang menyebabkan peristiwa kausatif. Comrie menjelaskan aspek semantik kausatif berdasarkan dua parameter (1989:171). Pertama, langsung (direct causation) dan kausatif tak langsung (indirect causation). Perbedaan antara kausatif langsung (direct causation) dan kausatif tak langsung (indirect causation) dilihat langsung tidaknya akibat yang ditimbulkan seperti yang dijelaskan Comrie (1985:333) pada kalimat berikut ini. (21) John caused the stick to break.

25 25 Menurut Comrie (1985:333) verba kausatif cause mengindikasikan tindakan penyebab John terhadap tersebab stick tongkat dan akibat yang ditimbulkan tidak langsung terjadi. Kedua, kausatif dibedakan menjadi kausatif sejati (true causative) dan kausatif permisif (permissive causative). Menurut Comrie (1989:171) pada kausatif sejati, penyebab memiliki kemampuan untuk menimbulkan akibat, sedangkan pada kausatif permisif penyebab memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya peristiwa akibat. Berkaitan dengan perbedaan makna ini Comrie memberikan contoh dalam bahasa Inggris seperti berikut ini. (22) I made the vase fall. (23) I let the vase fall. Pada contoh di atas kedua kalimat menggambarkan kejadian yang sama yaitu penyebab I saya menyebabkan tersebab the vase vas menjadi fall jatuh. Namun, pada kedua kalimat terdapat perbedaan makna, yaitu ada tidaknya unsur kesengajaan penyebab terhadap tersebab. Verba made pada contoh (22) menggambarkan penyebab dengan sengaja menyebabkan tersebab mengalami peristiwa akibat, sedangkan verba let pada contoh (23) menggambarkan penyebab tidak sengaja menyebabkan tersebab mengalami peristiwa akibat. Menurut Comrie verba made menunjukkan kausatif sejati sedangkan verba let menunjukkan kausatif permisif.

26 Analisis Kontrastif Linguistik kontrastif adalah ilmu bahasa yang meneliti perbedaanperbedaan, ketidaksamaan-ketidaksamaan yang terdapat pada dua bahasa atau lebih (Tarigan, 1992:227). Analisis kontrastif selalu berkaitan dengan perbandingan dua bahasa atau lebih dan didasarkan pada asumsi bahwa bahasabahasa tersebut dapat dibandingkan (James, 1998:3). Penelitian kontrastif bertujuan untuk mengkaji secara mendalam perbedaan dan persamaan antara dua bahasa atau lebih untuk mencari kategori tertentu yang ada atau tidak ada dalam suatu bahasa sehingga kemiripan dan perbedaan bahasa-bahasa tersebut dapat dilihat (Lado, 1957:1). Menurut Parera (1997:98) analisis kontrastif dilakukan dengan beberapa pemikiran dasar, yaitu: a) Analisis kontrastif dapat dipergunakan untuk meramalkan kesalahan siswa dalam mempelajari bahasa asing atau bahasa kedua. Buitr-butir perbedaan dalam setiap tataran bahasa pertama dan bahasa kedua akan memberikan kesulitan kepada para siswa dalam mempelajari bahasa kedua tersebut. Sebaliknya, butir-butir yang sama akan mempermudah siswa dalam mempelajari bahasa kedua. b) Analisis kontrastif dapat memberikan satu sumbangan yang menyeluruh dan konsisten dan sebagai alat pengendali penyusunan materi pengajaran dan pelajaran bahasa kedua secara efisien. Dengan perbandingan perbedaan pada tiap tataran analisis bahasa, bahan dapat disusun dengan tingkat kesulitan masing-masing tataran.

27 27 c) Analisis kontrastif juga dapat memberikan sumbangan untuk mengurangi proses interferensi dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua. Ellis (1985:25) menyebutkan empat tahapan yang harus diikuti dalam melakukan padanan antara dua bahasa atau lebih. a. Deskripsi, yaitu mendeskripsikan secara formal kedua bahasa yang akan diperbandingkan. b. Seleksi, yaitu pemilihan terhadap butir tertentu sebagai perbandingan. c. Perbandingan, yaitu mengidentifikasi persamaan dan perbedaan pada setiap area dari kedua bahasa yang diperbandingkan. d. Prediksi, yaitu mengidentifikasi area mana saja yang mungkin menyebabkan kesalahan Metodologi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang dilakukan melalui proses penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap sistematika penyajian hasil analisis data. Linguistik deskriptif yaitu meneliti dan memerikan sistem bahasa berdasarkan data. Selanjutnya analisis kontrastif digunakan dalam penelitian ini karena penelitian ini mmembandingkan dua bahasa. Dengan mengacu pada pendapat Sudaryanto (1986:57), metode dalam penelitian ini dibagi tiga tahap yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak yaitu menyimak penggunaan bahasa dengan menggunakan teknik catat. Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan hasil penyimakan data pada kartu data (Kesuma, 2007:45).

28 28 Penyedian data dilakukan dengan menggunakan teknik pustaka yaitu teknik teknik yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data (Subroto, 2007:47). Data data penelitian ini adalah verba kausatif dalam bahasa Jepang yang dinyatakan dengan verba bersufiks V-aseru / V-saseru serta verba kausatif leksikal. Sedangkan data dalam bahasa Indonesia yang dikumpulkan adalah verba kausatif yang dinyatakan dengan verba kausatif analitik dengan verba membuat dan menyebabkan, verba kausatif morfologis yang dinyatakan dengan verba berafiks kan, -i, per-, per-kan, dan per-i, serta verba kausatif leksikal. Setelah data-data terkumpul, dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode padan dan metode agih. Metode padan yang digunakan yaitu metode padan translasional (Sudaryanto, 1993:13-15). Metode ini untuk mengidentifikasi satuan kebahasaan suatu bahasa berdasarkan satuan kebahasaan bahasa lain, yaitu verba kausatif dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Sedangkan metode agih (Sudaryanto, 1993:15-16) digunakan untuk melihat satuan kebahasaan bahasa yang diteliti. Teknik yang digunakan yaitu teknik sisipan dan teknik ubah ujud (parafrasa) (Sudaryanto, 1993:66,83). Teknik sisip dengan penyisipan adverbia untuk mengetahui makna kalimat dan teknik ubah ujud dengan parafrasa untuk membuktikan sebuah kata bermakna kausatif atau tidak. Penyajian hasil analisis akan disajikan secara informal dan formal. Menurut Sudaryanto (1993:145) penyajian hasil analisis data secara informal dengan menggunakan kata-kata biasa. Sedangkan penyajian hasil analisis data

29 29 secara fornal yaitu penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kaidah (Kesuma, 2007:73).

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 199 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN 1. Dari segi bentuk pengungkap BI diungkapkan dengan pengungkap kausatif tipe morfologis, leksikal, dan analitik. Pengungkap kausatif morfologis BI memiliki banyak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau yang sudah ada dengan menyebutkan dan membahas seperlunya hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pesebab (Payne, 2002: 175). Ketiga, konstruksi tersebut menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pesebab (Payne, 2002: 175). Ketiga, konstruksi tersebut menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai bagian dari kajian tipologi gramatikal, konstruksi kausatif cukup menarik untuk dikaji. Hal itu dilandaskan pada beberapa alasan. Pertama, konstruksi tersebut

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.

BAB V PENUTUP. dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. Secara garis besar kalimat imperatif bahasa Indonesia dapat

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat BAB V P E N U T U P 5.1 Kesimpulan Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat tunggal bahasa Sula yang dipaparkan bahasan masaalahnya mulai dari bab II hingga bab IV dalam upaya

Lebih terperinci

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA Tata bentukan dan tata istilah berkenaan dengan kaidah pembentukan kata dan kaidah pembentukan istilah. Pembentukan kata berkenaan dengan salah satu cabang linguistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini

BAB V PENUTUP. fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Tesis ini menguraikan analisis mengenai konstruksi gramatikal, makna, dan fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini dimulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nominalisasi sebagai salah satu fenomena kebahasaan, mesti mendapatkan perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai peran yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak 9 BAB II KAJIAN TEORI Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak bahasa. Chaer (2003: 65) menyatakan bahwa akibat dari kontak bahasa dapat tampak dalam kasus seperti interferensi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk ke dalam kategori ini bermacam-macam, seperti : ukemi (bentuk pasif),

BAB I PENDAHULUAN. termasuk ke dalam kategori ini bermacam-macam, seperti : ukemi (bentuk pasif), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Kridalaksana (dalam Sutedi, 2004 : 75) diatesis yaitu kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dengan perbuatan yang dinyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia pada dasarnya mempunyai dua macam bentuk verba, (i) verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis,

Lebih terperinci

KONSTRUKSI KAUSATIF BAHASA SERAWAI

KONSTRUKSI KAUSATIF BAHASA SERAWAI Kata Kunci : KONSTRUKSI KAUSATIF BAHASA SERAWAI Wisman Hadi Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan ABSRACT Serawai Ethnic language causative construction in this paper is investigated through

Lebih terperinci

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia VERBA PREDIKAT BAHASA REMAJA DALAM MAJALAH REMAJA Renadini Nurfitri Abstrak. Bahasa remaja dapat dteliti berdasarkan aspek kebahasaannya, salah satunya adalah mengenai verba. Verba sangat identik dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan

BAB I PENDAHULUAN. para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan untuk para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan makna gramatikal. Untuk menjelaskan konsep afiksasi dan makna, penulis memilih pendapat dari Kridalaksana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1 Teori-Teori yang Relevan Penelitian ini didasarkan pada teori tipologi bahasa, khususnya tipologi gramatikal. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu (1) hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat.

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian dalam bidang linguistik berkaitan dengan bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis memiliki hubungan dengan tataran gramatikal. Tataran gramatikal

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan Penelitian jenis proses campur kode menunjukkan hasil yang berbeda-beda antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain karena subjek penelitian mereka pun berbeda-beda, baik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jepang banyak diminati, karena memiliki keunikan tersendiri. Sama

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jepang banyak diminati, karena memiliki keunikan tersendiri. Sama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jepang merupakan bahasa yang banyak dipelajari di Indonesia. Bahasa Jepang banyak diminati, karena memiliki keunikan tersendiri. Sama seperti bahasa lainnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa yang ada di dunia ini pasti memiliki perbedaan tersendiri jika dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa yang ada di dunia ini pasti memiliki perbedaan tersendiri jika dibandingkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap bahasa yang ada di dunia ini pasti memiliki perbedaan tersendiri jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa yang lainnya. Perbedaan tersebut dapat terlihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mendampingi numeralia atau preposisi dalam kalimat. Adverbia dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat mendampingi numeralia atau preposisi dalam kalimat. Adverbia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adverbia merupakan kata yang dipakai untuk menerangkan verba, adjektiva, dan adverbia lain. Disamping itu, adverbia termasuk kategori yang dapat mendampingi numeralia

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Setiap negara memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya

Bab 1. Pendahuluan. Setiap negara memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Setiap negara memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya dengan negara lain. Adapun yang menjadi ciri khas tersebut antara lain adalah adat istiadat, budaya,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Struktur adalah perangkat unsur yang di antaranya ada hubungan yang bersifat ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia lainnya. Menurut Wedhawati dkk (2006: 1-2), Bahasa Jawa

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia lainnya. Menurut Wedhawati dkk (2006: 1-2), Bahasa Jawa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk suku Jawa di antaranya Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sebagian wilayah Indonesia lainnya.

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode penelitian deskriptif analitik. Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam linguistik bahasa Jepang (Nihon go-gaku) dapat dikaji mengenai beberapa hal, seperti kalimat, kosakata, atau bunyi ujaran, bahkan sampai pada bagaimana bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa sasaran, siswa sering menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa sasaran, siswa sering menghadapi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa sasaran, siswa sering menghadapi kesulitan dan kesalahan. Hal itu terjadi akibat siswa tersebut masih menggunakan pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Imas Siti Nurlaela, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Imas Siti Nurlaela, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada umumnya, beberapa bahasa di dunia, dalam penggunaannya pasti mempunyai kata dasar dan kata yang terbentuk melalui suatu proses. Kata dasar tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selain itu juga berguna untuk membangun jaringan internasional. Seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. selain itu juga berguna untuk membangun jaringan internasional. Seiring dengan BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Masalah Mempelajari bahasa selain bahasa ibu merupakan hal yang sangat penting di zaman ini. Belajar bahasa asing merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa manusia. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN. bahasa manusia. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara populer orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya; atau lebih tepat lagi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap

PENDAHULUAN. kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Terkait dengan kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE

BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE 4.1 Pengantar Bagian ini akan membicarakan analisis unsur-unsur bahasa Inggris yang masuk ke dalam campur kode dan membahas hasilnya. Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jepang seperti layaknya bahasa lain pada umumnya, memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jepang seperti layaknya bahasa lain pada umumnya, memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bahasa Jepang seperti layaknya bahasa lain pada umumnya, memiliki berbagai karakteristik sendiri termasuk dalam aspek fonologi, morfologi, semantik atau sintaksisnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik dalam bidang pendidikan, pemerintahan, maupun dalam berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. untuk mendeskripsikan KVA/KAV dalam kalimat bahasa Indonesia. Deskripsi ini

BAB IV PENUTUP. untuk mendeskripsikan KVA/KAV dalam kalimat bahasa Indonesia. Deskripsi ini BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Pada bagian pendahuluan telah disampaikan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan KVA/KAV dalam kalimat bahasa Indonesia. Deskripsi ini diwujudkan dalam tipe-tipe

Lebih terperinci

KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257

KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257 KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI - 13010113140096 FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257 1. INTISARI Semiotika merupakan teori tentang sistem

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo dkk., 1985:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Wolio yang selanjutnya disingkat BW adalah salah satu bahasa daerah yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa Kerajaan Kesultanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia sebagai alat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia sebagai alat komunikasi karena dengan bahasa kita dapat bertukar pendapat, gagasan dan ide yang kita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Sebagai makhluk yang berbudaya, manusia butuh berinteraksi dengan sesama manusia. Dalam berinteraksi dibutuhkan norma-norma

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim

BAB II KAJIAN PUSTAKA. onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Sinonim Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim berarti nama lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Manusia menggunakan kata-kata dan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Manusia menggunakan kata-kata dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan adanya komunikasi manusia bisa saling berinteraksi. Salah satu alat komunikasi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada

BAB I PENDAHULUAN. Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada karya sastra berbentuk puisi yang dikenal sebagai těmbang macapat atau disebut juga těmbang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORETIS

BAB 2 LANDASAN TEORETIS BAB 2 LANDASAN TEORETIS 2.1 Kerangka Acuan Teoretis Penelitian ini memanfaatkan pendapat para ahli di bidangnya. Bidang yang terdapat pada penelitian ini antara lain adalah sintaksis pada fungsi dan peran.

Lebih terperinci

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA. Oleh F.X. Sawardi

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA. Oleh F.X. Sawardi PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA Oleh F.X. Sawardi sawardi_fransiskus@mailcity.com 1. Pengantar Paper ini mencoba mengungkap celah-celah untuk meneropong masalah ergativitas bahasa Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa adalah alat yang digunakan sebagai sarana interaksi

Lebih terperinci

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015 SINTAKSIS Pengantar Linguistik Umum 26 November 2014 Morfologi Sintaksis Tata bahasa (gramatika) Bahasan dalam Sintaksis Morfologi Struktur intern kata Tata kata Satuan Fungsi Sintaksis Struktur antar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Penelitian Terdahulu Penelitian pertama yang berhubungan dengan penelitian mengenai pelesapan argumen dilakukan Sawardi pada tahun 2011 dengan judul Pivot dan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan analisis seperti yang tercantum pada bab

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan analisis seperti yang tercantum pada bab 1 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Setelah melakukan analisis seperti yang tercantum pada bab sebelumnya, telah diuraikan satu persatu mengenai berbagai macam contoh kalimat yang mengandung verba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, yang kemudian disebut dengan komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat ini. Kemampuan ini hendaknya dilatih sejak usia dini karena berkomunikasi merupakan cara untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan kembali kepada orang-orang lain sebagai bahan komunikasi.

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan kembali kepada orang-orang lain sebagai bahan komunikasi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua orang menyadari betapa pentingnya peranan bahasa sebagai alat komunikasi. Dengan adanya bahasa sebagai alat komunikasi, maka yang berada di sekitar manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. diuraikan, diperlukan sejumlah teori yang menjadi kerangka landasan di dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. diuraikan, diperlukan sejumlah teori yang menjadi kerangka landasan di dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka Untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam membahas masalah yang diuraikan, diperlukan sejumlah teori yang menjadi kerangka landasan di dalam

Lebih terperinci

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588).

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588). BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesalahan berbahasa ini tidak hanya terjadi pada orang-orang awam yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi tertentu, tetapi sering

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu verba kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna. Verba kejadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada penggabungan klausa koordinatif maupun subordinatif bahasa Indonesia sering mengakibatkan adanya dua unsur yang sama atau pengulangan unsur dalam sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerangkan nomina dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, kategori yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. menerangkan nomina dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, kategori yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kajian lintas bahasa, adjektiva merupakan kategori yang memberikan keterangan terhadap nomina (Scrachter dan Shopen, 2007: 18). Senada dengan pernyataan tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa mempunyai kaidah-kaidah ataupun aturan-aturan masing-masing yang baik dan

BAB I PENDAHULUAN. bahasa mempunyai kaidah-kaidah ataupun aturan-aturan masing-masing yang baik dan BAB I PENDAHULUAN.1 Latar Belakang Masalah Robert Sibarani (1997: 65) mengemukakan, bahwa bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan oleh masyarakat sebagai alat komunikasi. Setiap

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa asing yang dipelajari di Indonesia.

Bab 5. Ringkasan. Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa asing yang dipelajari di Indonesia. Bab 5 Ringkasan Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa asing yang dipelajari di Indonesia. Tetapi perbedaan struktur kalimat antara bahasa Indonesia dan bahasa Jepang sering menjadi kendala bagi pemelajar

Lebih terperinci

Perhatikan kalimat di bawah ini!

Perhatikan kalimat di bawah ini! KLAUSA Perhatikan kalimat di bawah ini! 1) Kamu harus menjadi orang pintar, harus tetap bersemangat, rajin belajar supaya disayang keluarga. 2) Akan belajar. (Jawaban atas pertanyaan Kamu akan apa?) 3)

Lebih terperinci

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI Nama : Irine Linawati NIM : 1402408306 BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI Fonem adalah satuan bunyi terkecil dari arus ujaran. Satuanfonem yang fungsional itu ada satuan yang lebih tinggi yang disebut

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI 174 BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Simpulan Berdasarkan analisis data pada bab sebelumnya, pengungkapan modalitas desideratif BI dan BJ dapat disimpulkan seperti di bawah ini. 1. Bentuk-bentuk pegungkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Begitu pula melalui bahasa, menurut Poerwadarmita (1985; 5), bahasa adalah alat

BAB I PENDAHULUAN. Begitu pula melalui bahasa, menurut Poerwadarmita (1985; 5), bahasa adalah alat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan salah satu kelebihan manusia dari pada makhluk lainnya di muka bumi ini. Semua orang menyadari betapa pentingnya peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh sekelompok orang untuk bekerja sama dan berinteraksi (Santoso, 2004 : 48). Hubungan interaksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepustakaan yang Relevan Kajian tentang morfologi bahasa khususnya bahasa Melayu Tamiang masih sedikit sekali dilakukan oleh para ahli bahasa. Penulis menggunakan beberapa

Lebih terperinci

KISI UJI KOMPETENSI 2013 MATA PELAJARAN BAHASA JEPANG

KISI UJI KOMPETENSI 2013 MATA PELAJARAN BAHASA JEPANG KISI UJI KOMPETENSI 2013 MATA PELAJARAN BAHASA JEPANG Kompetens Pedagogik 2. Menguasai teori belajar dan prinsip prinsip pembelajaran yang mendidik. 1. Memahami berbagai teori belajar dan prinsip prinsip

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. makna, fungsi dan penggunaan masing-masing dari diatesis kausatif dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. makna, fungsi dan penggunaan masing-masing dari diatesis kausatif dalam 68 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dalam analisis pada bab sebelum nya, telah diuraikan secara terpisah makna, fungsi dan penggunaan masing-masing dari diatesis kausatif dalam bahasa Jepang dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. dan analisis, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis verba berprefiks ber- dalam

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. dan analisis, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis verba berprefiks ber- dalam BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena bersifat deskriptif dan analisis, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis verba berprefiks ber- dalam

Lebih terperinci

BASINDO Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya Vol 1 No 1 - April 2017 (14-24)

BASINDO Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya Vol 1 No 1 - April 2017 (14-24) BASINDO Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya Vol 1 No 1 - April 2017 (14-24) PERILAKU BENTUK VERBA DALAM KALIMAT BAHASA INDONESIA TULIS SISWA SEKOLAH ARUNSAT VITAYA, PATTANI, THAILAND

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya kesulitan-kesulitan pada pembelajar BIPA. Faktor pertama adalah ciri khas bahasa sasaran. Walaupun bahasabahasa di

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati

ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati Abstrak. Penelitian ini menggambarkan kesalahan penggunaan bahasa Indonesia terutama dalam segi struktur kalimat dan imbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membedakannya dari bahasa lain. Contohnya adalah mengenai konstruksi kausatif,

BAB I PENDAHULUAN. membedakannya dari bahasa lain. Contohnya adalah mengenai konstruksi kausatif, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa bersifat universal dan unik, bahasa mempunyai ciri khas tersendiri yang membedakannya dari bahasa lain. Contohnya adalah mengenai konstruksi kausatif,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu verba AMBIL, komponen semantis, kategorisasi, makna, polisemi, dan sintaksis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menengah. Di antara keempat kegiatan berbahasa tersebut, menulis

BAB I PENDAHULUAN. menengah. Di antara keempat kegiatan berbahasa tersebut, menulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan berbahasa meliputi mendengar, berbicara, membaca, menulis. Keempat kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang diterapkan dalam melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dalam arti, bahasa mempunyai kedudukan yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dalam arti, bahasa mempunyai kedudukan yang penting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia dalam berkomunikasi. Bahasa mempunyai hubungan yang erat dalam komunikasi antar manusia, yakni dalam berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN. Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat

BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN. Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN A. Kerangka Teoretis Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat yang memberikan penjelasan tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek pengajaran yang sangat penting, mengingat bahwa setiap orang menggunakan bahasa Indonesia

Lebih terperinci

KAKUJOSHI NI IN JAPANESE SENTENCES

KAKUJOSHI NI IN JAPANESE SENTENCES 1 KAKUJOSHI NI IN JAPANESE SENTENCES Suci Ramdani, Hana Nimashita, Nana Rahayu ramdanijantapan@gmail.com, hana_nimashita@yahoo.co.id, nana_rh12@yahoo.com Number Phone: 085272517366 Japanese Language Study

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kridalaksana (1983: 107) menjelaskan modalitas memiliki beberapa arti.

BAB I PENDAHULUAN. Kridalaksana (1983: 107) menjelaskan modalitas memiliki beberapa arti. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kridalaksana (1983: 107) menjelaskan modalitas memiliki beberapa arti. Pertama, klasifikasi proposisi menurut hal yang menyungguhkan atau mengingkari kemungkinan atau

Lebih terperinci

YAYASAN WIDYA BHAKTI SEKOLAH MENENGAH ATAS SANTA ANGELA TERAKREDITASI A

YAYASAN WIDYA BHAKTI SEKOLAH MENENGAH ATAS SANTA ANGELA TERAKREDITASI A YAYASAN WIDYA BHAKTI SEKOLAH MENENGAH ATAS SANTA ANGELA TERAKREDITASI A Jl. Merdeka No. 24 Bandung 022. 4214714 Fax.022. 4222587 http//: www.smasantaangela.sch.id, e-mail : smaangela@yahoo.co.id 043 URS

Lebih terperinci

Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak. Abstrak

Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak. Abstrak Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak Rina Ismayasari 1*, I Wayan Pastika 2, AA Putu Putra 3 123 Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi satu dengan yang lain. Dengan adanya bahasa, manusia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi satu dengan yang lain. Dengan adanya bahasa, manusia sebagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang membantu mereka untuk berinteraksi satu dengan yang lain. Dengan adanya bahasa,

Lebih terperinci

Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia dalam Interaksi Guru-Siswa di SMP Negeri 1 Sumenep

Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia dalam Interaksi Guru-Siswa di SMP Negeri 1 Sumenep Andriyanto, Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia... 9 Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia dalam Interaksi Guru-Siswa di SMP Negeri 1 Sumenep Andriyanto Bahasa Indonesia-Universitas Negeri Malang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia yang masih belum mempunyai kemampuan untuk. kehidupan sehari-hari baik secara lisan maupun tulisan.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia yang masih belum mempunyai kemampuan untuk. kehidupan sehari-hari baik secara lisan maupun tulisan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar orang menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi dengan Negara lain di seluruh dunia. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengerti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif. Bahasa dan proses

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif. Bahasa dan proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif. Bahasa dan proses berbahasa adalah hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia. Dengan berbahasa, seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengekspresikan. sesuatu, baik untuk menyatakan pendapat, pengalaman atau untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengekspresikan. sesuatu, baik untuk menyatakan pendapat, pengalaman atau untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengekspresikan sesuatu, baik untuk menyatakan pendapat, pengalaman atau untuk mengekspresikan perasaan atau emosi.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep Morfologi adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Latar Belakang Pemikiran

Bab I Pendahuluan. Latar Belakang Pemikiran Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Pemikiran Keberadaan buku teks di perguruan tinggi (PT) di Indonesia perlu terus dimutakhirkan sehingga tidak dirasakan tertinggal dari perkembangan ilmu dewasa ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas

BAB I PENDAHULUAN. Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas yang bertuliskan berita-berita dan sebagainya (Sugono ed., 2015:872). Beritaberita dalam surat

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana dan sistematis untuk menemukan jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alat komunikasi. Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan salah satu. serta latar belakang suatu bangsa (Simatupang, 1999 : 8)

BAB I PENDAHULUAN. alat komunikasi. Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan salah satu. serta latar belakang suatu bangsa (Simatupang, 1999 : 8) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam masyarakat sebagai alat komunikasi. Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik tertentu seperti huruf yang dipakainya, kosakata, sistem pengucapan,

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik tertentu seperti huruf yang dipakainya, kosakata, sistem pengucapan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat dari aspek-aspek kebahasaannya, bahasa Jepang memiliki karakteristik tertentu seperti huruf yang dipakainya, kosakata, sistem pengucapan, gramatika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keunikan tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Keragaman berbagai bahasa

BAB I PENDAHULUAN. keunikan tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Keragaman berbagai bahasa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap bahasa di dunia tentu saja memiliki persamaan dan perbedaan serta keunikan tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Keragaman berbagai bahasa di dunia beserta

Lebih terperinci

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK Nama : Wara Rahma Puri NIM : 1402408195 BAB 5 TATARAN LINGUISTIK 5. TATARAN LINGUISTIK (2): MORFOLOGI Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. 5.1 MORFEM Tata bahasa tradisional tidak

Lebih terperinci