Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation"

Transkripsi

1 Presentator Moderator : Ernest Yoice Yuana : dr. Taufiqurrahman

2 Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation

3 Perkembangan embriologi cavitas nasi & sinus nasalis -> bentuk anatomis SPN Embriologi 1. kepala embrio -> struktrur 2 cavitas nasi yang dapat dibedakan 2. dinding nasal lateral berinvaginasi -> lipatan dan celah

4 Minggu ke-4 sd ke-8 kehamilan -> Perkembangan bag. cavitas nasi yang terpisah sbg processus frontonasal & processus maxillaries Processus frontonasal tumbuh di atas forebrain yang sedang tumbuh & ikut membentuk lempeng (placode) olfaktori nasal Prominencia nasalis medial et lateral berkembang pada sisi yang sama dengan lempeng olfaktori nasi -> nares

5 Lempeng nasal berinvaginasi -> meatus nasi (nasal pit) & kemudian saccus nasi Fusi antara prominencia nasi medial dengan processus maxillaris membentuk maxilla bagian atas dan philtrum (cekungan kecil antara hidung dan bibir atas) dari bibir atas

6 Septum berkembang dari pertumbuhan linea mediana posterior dari processus frontonasal dan perluasan linea mediana dari mesoderm processus maxillaris

7 Palatum primer & sekunder berfusi pada bidang axial -> memisahkan cavitas nasi & nasopharynx dari cavitas oral dan oropharynx. Septum descenden menyatu dengan palatum yang berfusi -> membentuk dua cavitas nasi yang dapat dibedakan

8 Kegagalan fusi dari prominensia nasi medial dengan procesuss maxillaris atau kegagalan fusi dari palatum celah bibir (labioschisis) atau deformitas palatum

9 Minggu ke-6 -> mesenkim akan membentuk dinding nasi lateral yang simpleks (sederhana) Minggu ke-7 -> terbentuk tiga alur axial, yang berkembang (meninggi) membentuk tiga struktur seperti turbin

10 Minggu ke-10 -> perkembangan sinus maxillaris diawali dengan invaginasi dari meatus media Processus uncinatus dan bulla ethmoidalis membentuk celah sempit yang disebut hiatus semilunaris

11 Minggu ke-14 -> cellulae ethmoidalis anterior muncul sbg beberapa bentuk invaginasi pada meatus media bagian atas & cellulae ethmoidalis posterior membentuk lantai dari meatus nasi superior Minggu ke-36: -Dinding nasal lateral berkembang dengan baik & concha telah menyerupai proporsi dewasa - Semua sinus paranasal tampak dalam berbagai derajat perkembangan yang berbeda (Sinus ethmoidalis -> sinus maxillaris -> sphenoidalis -> sinus frontalis)

12

13 Sinus ethmoidalis -> struktur sentral dari hidung dengan anatomi yang kompleks Bagian lateralnya : membentuk dinding medial orbital Facies posterior : sinus sphenoidalis Facies superior : basis cranii pada fossa cranii anterior

14 Dinding lateral sinus ethmoidalis (lamina papiracea) -> membentuk dinding setipis kertas pada sisi medial orbital Lamina vertikal pada linea mediana os ethmoidal tersusun atas pars superior dari fossa cranii anterior -> crista galli pars inferior dari cavitas nasi yang disebut lamina perpendicular os ethmoidal turut membentuk septum nasi

15 Atap ethmoidalis berartikulasi dengan lamina cribiformis pada lamella lateral dari lamina cribiformis ( lapisan tulang tertipis di seluruh basis cranii) Panjang dari lamella lateralis tergantung pada posisi lamina cribiformis pada bagian atap ethmoidalis

16 1. Keros tipe 1: lamina terletak 1-3 mm di bawah atap ethmoidal, (membentuk lamella lateral yang pendek atau tidak ada sama sekali ) 2. Pada Keros tipe 2 : jarak 4-7 mm. 3. Keros tipe 3 : jarak 8-16 mm, yang membentuk lamella lateralis vertikal yang panjang B: Keros 1 skull base with the uncinate processes attaching superiorly to the skull base. 14, left uncinate process attaching superiorly to the skull base. C: Keros 3 skull base with uncinate processes attaching laterally to the lamina papyracea

17 Sinus ethmoidalis terbagi oleh satu seri recessus (cekungan) yang dibatasi oleh 5 bagian tulang / lamella; 1. Processus uncinatus 2. Bulla ethmoidalis 3. Lamella basalis 4. Concha superior 5. Concha suprema

18 Perkembangan aerasi selama perkembangan fetus -> cellulae etmoidalis. Penonjolan aerasi ke anterior pada perlekatan turbinasi/concha media,cellulae udara -> agger nasi. Processus uncinatus merupakan tulang berbentuk L berjalan -> anterosuperior ke posteroinferior.

19 Bulla ethmoidalis / lamella sekunder -> cellulae ethmoidalis anterior yang paling konstan ukurannya dan biasanya terbesar. Ke arah superior, bulla dapat mencapai atap ethmoidal dan membentuk dinding posterior dari recessus frontalis. Dapat terjadi pneumatisasi bulla ethmoidal minimal atau tidak terjadi sama sekali -> 8% individu

20 Lamella basalis menandai garis pembagi antara sinus ethmoidalis anterior & posterior. Bag. inferior dari lamella basalis -> konka media di dinding nasal lateral pada bidang axial & berperan dalam stabilisasi konka pada bedah endoskopik sinus. Varian perkembangan ini dikenal sebagai cellulae Onodi (menyebabkan tereksposenya nervus optikus dalam lumen sinus ethmoidalis)

21 Lamella sinus ethmoidalis dipisahkan oleh satu seri yang terdiri atas empat recessus: - recessus frontalis - Infundibulum - sinus lateral - recessus spheno-ethmoidalis

22 Ostium sinus maxillaris terletak profunda terhadap infundibulum ethmoidalis di bagian lateral processus uncinatus Kompleks osteomeatal (OMC) merupakan area yang dilingkupi konka media di sisi medial, lamina papiracea di sisi lateral, lamella basalis di bagian posterior & superior Recessus spheno-ethmoidalis terletak pada ujung posterior dari meatus superior yang mengalirkan cairan sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis secara terpisah, diluar OMC

23 Arteri ethmoidalis anterior dari a.ophtalmica pada orbital & melintas melalui foramen ethmoidalis anterior -> cellulae ethmoidalis anterior. Arteri tsb khas melintasi ethmoidal -> dekat dengan basis cranii Area dimana a. ethmoidalis anterior memasuki fossa cranii anterior melalui lamella lateralis -> bag. terlemah dari basis cranii, yang memiliki 1/10 dari kekuatan atap ethmoidalis

24 Sinus maksilla > ruang terpneumatisasi dalam os maxilla & merupakan sinus paranasal terbesar

25 Dinding anterior -> membentuk permukaan facialis dari maxilla Dinding posterior -> membatasi fossa infratemporal Dinding medial -> membentuk dinding lateral cavitas nasi Lantai dari sinus maxillaris -> processus alveolaris Dinding superiornya -> lantai orbital

26 N. infraorbitalis melintasi lantai orbital kemudian keluar dari pars anterior maxilla melalui foramen infraorbitalis Kanal n. infraorbitalis berhubungan dengan sinus maksilla pada 14% kasus & beresiko cedera pada bedah endoskopik sinus. Radiks dens molar I & II -> berhubungan dengan sinus maksillapada 2% kasus (beresiko mengalami fistula oroantral )

27 Ostium alami dari sinus maxillaris membuka pada bagian superior dinding medial dan bermuara pada infundibulum ethmoidalis Kadang-kadang cellulae Haller (cellulae ethmoidalis yang mengalami pneumatisasi ke lateral diantara sinus maksilla & lantai orbita) -> menimbulkan potensi gangguan drainase sinus

28 Ukuran sinus frontalis bervariasi tgt derajat pneumatisasi Bag.anterior sinus frontalis 2x ketebalan bagian posterior Aliran ostium -> di bag. posteromedial dari dasar sinus

29 Variasi aliran keluar sinus frontal tgt pada pneumatisasi sel udara ethmoid di sekitarnya & posisi procesus uncinatus Sel agger nasi atau bulla ethmoid dapat mengobstruksi aliran sinus frontal melalui penyempitan recesus frontalis

30 Sinus sphenoidalis memiliki banyak kaitan neurovascular yang penting Arteri karotis interna berjalan di lateral sinus sphenoidalis -> timbulnya prominensia (tonjolan) pada sisi lateral dinding sinus sphenoidalis pada 65% individu Sekitar 25% dari kapsula ossea yang memisahkan a. karotis interna dari sinus sphenoidalis secara parsial berhubungan secara anatomis

31 Derajat pneumatisasi diklasifikasikan menjadi tiga tipe; 1. Tipe sellar (86%), 2. Tipe presellar (11%) 3. Tipe conchal (3%)

32 Tipe presellar & conchal -> banyak tjd pada anak-anak karena perkembangan normal sinus sphenoidal lengkap/sempurna pada usia 20 tahun Tipe sellar, -> dinding superior menonjol ke inferior melalui sella turcica dan kelejar pituitary

33 Ostium sinus sphenoidalis bermuara ke recessus sphenoethmoidalis Suatu studi anatomis mengenai ostium sinus sphenoidalis mengidentifikasi -> ujung posteroinferior konka superior sbg penanda terbaik untuk mengidentifikasi asal ostium sinus sphenoidalis Ostium -> medial terhadap konka superior pada 83% kasus & lateralnya pada 17% kasus

34 Konka inferior tumbuh secara bilateral dari dinding lateral cavitas nasal dari skeleton tulang sentral yang dilingkupi lapisan mukosa Masing-masing turbinasi inferior berartikulasi dengan lamina perpendicular os palatine dan facies nasalis os maksilla Turbinasi/concha inferior membantu regulasi temperature dan kelembapan nasal melalui anyaman (arcade) vaskular

35 Septum nasi : - memisahkan 2 cavitas nasi - menyokong struktur hidung - mempengaruhi aliran udara pada cavitas nasi

36 Septum membranacea menghubungkan columella dengan kartilago quadrangulare. Kartilago quadrangulare menyusun sebagian besar septum anterior

37 Lamina perpendicular os ethmoidal membentuk tulang bagian 1/3 atas dari septum nasi Os vomer -> menyusun tulang bag. Posteroinferior Os nasal, os frontal, os maxilla, dan os palatine masing-masing memberikan bag. krista nasi pada bagian tepi septum

38 Valvula nasi merupakan -> bag. yang bebas bergerak (mobile) -> mengatur aliran udara & jembatan skeleton- ujung hidung Bag. tersempit & memiliki resistensi/tahanan udara terbesar Valvula nasal -> area antara ujung kaudal dari kartilago lateralis nasi bag atas & septum superior. (biasanya membentuk sudut )

39

40

41 Akhiran saraf n. trigeminus di kavum nasi memberikan sensasi pada aliran udara nasal Blokade reseptor ini mengakibatkan hilangnya sensasi terhadap obstruksi hidung Beberapa macam deformitas intranasal menyebabkan obstruksi nasal Evaluasi penyebab anatomis -> membimbing ahli bedah u/ menentukan prosedur terbaik untuk megkoreksi obstruksi

42 Evaluasi: Anamnesis riwayat penyakit secara seksama Kongesti hidung Tersumbat Kualitas tidur yang jelek atau susah bernafas saat tidur Perlu dianamnesis juga mengenai penyebab lain dari obstuksi nasal: rinitis alergi, sinusitis akut atau kronik, atau obat-obatan yang menginduksi rhinitis

43 Pemeriksaan fisik Pemeriksaan eksternal dan internal dengan rhinoskopi anterior Endoskopi Pemeriksaan diulangi setelah dilakukan dekongesti hidung Obstruksi yang hilang setelah dengosti disebabkan oleh kelainan mukosa

44 Pasien deviasi septum -> kel. obstruksi kronis,biasanya unilateral, mungkin disertai riwayat trauma nasal sebelumnya Pemeriksaan rhinoskopi anterior & endoskopi nasal mencatat adanya deviasi septal serta derajatnya. Evaluasi columella dari bawah -> evaluasi defleksi septal kaudal (bisa tidak terevaluasi dengan tepat pada rhinoskopi standar)

45 Treatment pada obstruksi nasal akibat deviasi septum -> septoplasty Pasien dengan deviasi septum yang dilakukan septoplasty secara umum melaporkan perbaikan yang signifikan pada obstruksi nasal dalam 3-6 bulan & menggunakan medikasi yang lebih sedikit daripada pasien lainnya

46 Tidak ada test tunggal preoperatif yang dapat memprediksi kesuksesan outcome Rinomanometri digunakan sebagai terapi tambahan untuk mencatat adanya obstruksi & derajat perbaikan postoperatif tidak digunakan secara luas di klinik Lokasi deformitas septum berkaitan dengan outcome bedah & resistensi jalan nafas post operasi

47 Katup nasal adalah bagian tersempit dari jalan nafas di hidung dan menjadi resistensi terbesar aliran udara nasal Abnormalitas pada bagian ini menyebakan obstruksi Dua tipe disfungsi katup nasal: Disfungsi pada regio katup nasal Colapsnya struktur katup nasi

48 Tipe obstruksi katup nasal: Tipe I disebabkan oleh: Hipertrofi konkha Deviasi septum Tipe II disebabkan oleh: Kolapsnya struktur katup nasal itu sendiri Kolapsnya katup nasal disebabkan oleh: Sebagian besar iatrogenik Sebagian keciil kongenital

49 Penemuan fisik yang khas : bentuk hidung seperti jam pasir atau terjepit Kolapsnya kartilago alar pada sat inspirasi kuat Lekukan alar yang dalam

50 Pada rinoplasti kolapsnya katup nasal disebabkan : Penyempitan ujung hidung yang agresif Overreseksi dari crus lateral Displasmen kartilago alar yang lemah Penyempitan yang berlebihan dorsum nasi overreseksi kartilago lateral Displasmen dari os nasal pendek

51 Koreksi : Spreader graft Alar batten graft Flaring suture Overlay graft Lateral suture suspension Cottle manouver Modified cottle manouver

52 konkha inferior berefek pada aliran udara pada katup nasal tergantung pada derajat pembesaran konkha Selama inspirasi ujung anterior konkha inferior pada bagian katup nasal menghasilkan sampai 2/3 resistensi di saluran dafas atas Pembesaran konkha inferior dapat menyebabkan obstruksi nasal akibat peningkatan resistensi

53 Penyebab inflamasi konkha: Rhinitis alergi Rhinitis non alergi Rhinitis medikamentosa

54 Inflamasi yang menetap glandula mukosa membesar & kolagen terkumpul di dasar membran mukosa nasal ireversibel hipertrofi

55 Terapi hipertrofi konka: Antihistamin Decongestan Intranasal steroid Injeksi steroid intra konkha Stabilizer sel mast Imunoterapi pembedahan

56 Konkha bulosa adalah pneumatisasi dari konkha media Adalah variasi anatomi yang paling sering dengan incidensi >25% lapisan dalam konkha bulosa adalah epitel respirasi drainase melalui ostium ke resesus frontalis atau hiatus semilunaris Perkembangan konkha media obstuksi nasal menutup OMC predisposisi infeksi sinus

57

58 Jika ditemukan pembesaran konkha saat endoskopi suspek konka bulosa Ditegakan dengan CT scan pneumatisasi konkha media Terapi eksisi endoskopi dinding lateral konkha yang mengalami pneumatisasi

59 Kegagalan khoana untuk tumbuh dengan baik Insidensi 1 per 5000 kelahiran Perbandingan perempuan dan laki-laki 2:1 Pada bayi atresia bilateral menyebabkan obstuksi berat segera terjadi distres respirasi Bila salah satu sisi hidung tidak bisa dimasuki cateter atau NGT suspek atresia Atresia unilateral tidak mengancam kehidupan bayi mengganggu saat masa akhir anak-anak atau remaja

60 Gejala atresia khoana: Sumbatan pada hidung unilateral Rhinorhea Obstukif sleep apnea Diagnosis CT scan &endoskopi Bila terjadi atresia khoana mungkin terdapat kelainan lain: OME Penyakit saluran nafas atas dan bawah Kelainan jantung Kelainan gastrointestinal

61 Atresia Khona bilateral dapat disertai dengan: Kelainan jantung CHARGE syndrome (colobomas, herat defect, choanal atresia, retarded growth, genitourinary hipoplasi and ear anomalies) Obstruktif sleep apnea Gangguan hematologi Gagal tumbuh

62 Penatalaksanaan Sebagian besar dengan transnasal repair dengan atau tanpa stenting Posterior septal window Dilatasi khoana Transpalatal repair dengan stenting Penggunaan inhibitor trofoblas topikal (mitomycin) saat pembedahan dapat meningkatkan patensi khoana

63 Merupakan kelainan multifaktorial Ditandai dengan: Massa edematosa di kavum nasi memicu drainase sinus Kehilangan penciuman Obstruksi

64 Penyebab belum jelas Diterapkan di beberapa penelitian: Alergi Asma RSK Intoleransi aspirin Cystuc fibrosis

65 Pada sebagian besar Polip nasi (80 90 %) adanya eosinofil jaringan mukosa dan faktor yang potensial memicu pengeluaran eosinofil - diduga sebagi agen etiologi Inflamasi sinonasal polip membesar dan bertambah jumlahnya obstruksi nasi blokade ostium infeksi sinus

66 Terapi polip nasi: Steroid sistemik Antibiotik jika dijumpai skret yang purulen Bedah endoskopi pada polip yang berat dan resisten terhadap pengobatan yang maksimal Polip nasi yang berhubungan dengan asma cenderung berat terutama pada aspirin-sensitive asthmstic sukar disembuhkan dengan terapi obat dan pembedahan

67 Tiga fungsi mayor hidung adalah: Penghidu Respirasi Proteksi

68 Hidung menghangatkan udara yang diinspirasi sampai dengan suhu 37 0 C untuk memfasilitasi pertukaran gas di alveolus Kelembabapan yang diciptakan oleh sistem sinonasal pada udara pernafasan dapat mencapai sekitar 85%, mengurangi efek pengeringan udara pernafasan dan secara bermakna menguntungkan pertukaran gas di saluran nafas bagian bawah Pelembab tersebut berasal dari kandungan air yang berada pada mukus hasil transudasi dari pembuluh darah dan disuplai oleh glandula nasalis.

69 Mukosa sinonasal normal tersusun atas: lapisan epitelial, lamina propria, submukoksa dan periostium. Sel epitelial hidung sel columner pseudostratifikasi bersilia, dengan variasi jumlah sel goblet Di bawah epitelium terdapat : limfosit sel plasma makrofag anyaman vaskuler dan glandula

70 Vibrissae menyaring partikel besar masuk ke hidung Partikel yang lebih kecil menabrak mukosa sebagai akibat dari turbulensi aliran menempel pada mukosa hidung Partikel yang berukuran < 0,5 mikromilimeter lewat dari saringan hidung saluran nafas bawah

71 Laipisan mukous dibagi menjadi 2 lapisan luar lapisan dalam Sel goblet memproduksi glikoprotein yang menjadikan viskositas dan elastisitas dari lapisan luar dari mukus hidung Lapisan luar terletak pada bagian atas dari silia hidung Lapisan dalam terletak di sekitar silia Lapisan dalam dari mukus sangat kurang kental gerakan silia dapat dengan mudah mendorong lapisan luar mukus di atasnya yang berisi partikel yang terjebak

72 Lapisan mukosa dibersihkan ke arah nasofaring setiap menit gerakan silia diganti oleh sekresi mukus baru oleh mukosa cavum nasi dan sinus Aktivitas silia dapat diperburuk oleh: penurunan kelembaban penurunan temperatur perlengketen dengan permukaan mukosa yang berhadapan

73 Waktu transit dari mukosilier diukur dengan saccharin test Butir sakarin diletakkan di bagian anterior cavum nasi larut dan ditranspor oleh sistem mukosilier ke nasofaring kemudian ke orofaring dimana rasa manis dapat dirasakan Waktu transport normal adalah kurang dari 20 menit sebagian besar subyek mendeteksi rasa manis dalam 10 menit.

74 Infeksi sinus berulang akibat peningkatan waktu transit mukosiliari paling banyak berkaitan dengan disfungsi silia primer maupun sekunder. Diskinesia silia primer (PCD) merupakan kelainan autosom resesif akibat defek struktur dan fungsi silia. 50% pasien dengan PCD juga menderita Sindrom Kartagener dengan bronkiektasis, sinusitis, dan situs inversus

75 PCD didiagnosis berdasarkan tanda-tanda klinis dengan pengukuran nitric oxide nasal dan evaluasi ultrastruktur silia. Pada studi mikroskop elektron, silia dari pasien PCD menunjukkan : - Presentase tinggi anomali silia dengan penurunan atau tidak adanya lengan dynein (dynein arms) - Tidak adanya radial spokes - Tanslokasi sepasang mikrotubular atau perubahan pasangan sentral

76 PCD dan diskinesia silia sekunder (SCD) secara fungsional sama tetapi secara ultrastruktur berbeda. SCD biasanya muncul selama atau setelah infeksi saluran respirasi dan biasanya bersifat reversibel.

77 SCD dikarakterisasi dengan presentase rendah anomali silia dan oleh pola perubahan ultrastruktural sekunder: - kelompok silia - penambahan atau delesi mikrotubul perifer - disorganisasi aksonema - disorientasi silia - diskontinuitas membrane aksonema - silia membengkak dengan sitoplasma yang berlebih

78 Sistem imun bawaan merupakan resistensi yang dibawa saat lahir yang telah ada saat terjadi paparan pathogen pertama kali. Epitel respirasi menjadi lini pertama pertahanan nasal dengan membentuk barier fisik yang dihubungkan oleh tight junction (taut erat). Mukosa nasal mensekresi enzim dan antibiotik peptide dengan efek antimikrobial langsung pada mukus

79 Neutrofil dan makrofag, yang memfagosit mikroba, membentuk pertahanan tingkat lanjut. Epithelium & fagosit membedakan self (bagian inang) dan non-self dengan reseptor pengenalan -> tipe yang larut atau terikat membran yang mengenali pola molekular terkait patogen(pamps) yang ditemukan pada parasit, virus, bakteri, jamur dan mikobakteria.

80 Respon imun-dapatan pada traktus sinonasal dimediasi oleh sel-sel dendritik (DCs), yang merupakan sel pengenalan antigen (APCs) yang terdapat dalam jumlah besar pada jaringan limfoid terkait nasofaring (NALT).

81 Respon imun-dapatan pada hidung dimulai dengan memproses dan mengenalkan antigen kepada sel T- helper oleh DCs Interaksi antara DCs, sel T dan sel B merupakan kunci utama NALT sel T dan B diangkut bersama drainase limfonodi dan kembali ke sisi efektor pada mukosa melalui aliran darah

82 Mohon Asupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Sinus paranasalis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung dari luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip),

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FUNGSI SINUS PARANASAL

ANATOMI DAN FUNGSI SINUS PARANASAL ANATOMI DAN FUNGSI SINUS PARANASAL Dr. DWI RITA ANGGRAINI NIP. 132303374 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2005 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa

Lebih terperinci

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH Sepertiga tengah wajah dibentuk oleh sepuluh tulang, dimana tulang ini saling berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 2.1 Tulang-tulang yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan

Lebih terperinci

Anatomi-Fisiologi SISTEM PERNAFASAN (Respiratory System) by : Hasty Widyastari

Anatomi-Fisiologi SISTEM PERNAFASAN (Respiratory System) by : Hasty Widyastari Anatomi-Fisiologi SISTEM PERNAFASAN (Respiratory System) by : Hasty Widyastari Fungsi Pertukaran gas O2 dengan CO2 Mengambil O2 dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan mentranspor CO2 yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung adalah organ yang terdiri dari dua bagian yaitu hidung luar dan cavum nasi. Hidung luar memiliki dua lubang yang disebut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang

Lebih terperinci

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A 008 038 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

ALAT PERNAFASAN DIBAGI MENJADI 2, YAITU:

ALAT PERNAFASAN DIBAGI MENJADI 2, YAITU: RESPIRATORY SYSTEM histology ALAT PERNAFASAN DIBAGI MENJADI 2, YAITU: Pars Conductoria: Memasukkan udara dari luar menuju komponen yang dapat meneruskan O 2 menuju aliran darah, dan juga sebaliknya. Pars

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Ras India Penduduk ras India Malaysia merupakan suatu kaum yang berasal dari India selatan. Mereka telah datang ke Malaysia sejak dua ribu tahun lalu.kelompokkelompok seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel

Lebih terperinci

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2 Sistem Respirasi Manusia Sistem Respirasi Manusia Isilah bernapas, seringkali diarikan dengan respirasi, walaupun secara hariah sebenarnya kedua isilah tersebut berbeda. Pernapasan

Lebih terperinci

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting karena fungsinya sebagai salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan. Pada bagian anterior saluran pernafasan terdapat

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL REFERAT ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PEMBIMBING: Dr. H. Yuswandi Affandi Sp. THT-KL Dr. M. Ivan Djajalaga M.Kes, Sp. THT-KL DISUSUN OLEH: Noer Kamila Dedeh Asliah Bernadeta Rosa Diyana

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

Gambar klasifikasi Le Fort secara sistematis

Gambar klasifikasi Le Fort secara sistematis Fraktur Le Fort terjadi pada 10-20% dari fraktur wajah. Fraktur ini terjadi karena terpajan kekuatan yang cukup. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama, penyebab lain yang mungkin yaitu

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinosinusitis Kronis 2.1.1. Definisi Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), RSK didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung

Lebih terperinci

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas,

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis 2.1.1. Defenisi Menurut Kamus Kedokteran Dorland (2002), sinusitis adalah peradangan sinus, biasanya sinus paranasales; mungkin purulen atau nonpurulen, akut atau

Lebih terperinci

BAB 2 CELAH LANGIT-LANGIT. yaitu, celah bibir, celah langit-langit, celah bibir dan langit-langit. Celah dari bibir dan langitlangit

BAB 2 CELAH LANGIT-LANGIT. yaitu, celah bibir, celah langit-langit, celah bibir dan langit-langit. Celah dari bibir dan langitlangit BAB 2 CELAH LANGIT-LANGIT Celah merupakan suatu ruang kongenital yang abnormal dan dapat memberikan efek psikologis berupa rendah diri pada penderita. Ada beberapa jenis celah yang sering ditemui yaitu,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus 2.1.1. Sinus Frontalis Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran

Lebih terperinci

RINOSINUSITIS KRONIS

RINOSINUSITIS KRONIS RINOSINUSITIS KRONIS Muhammad Amir Zakwan (07/25648/KU/12239) Dokter Muda Periode 2-25 Januari 2013 Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, dapat mengenai satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi Epistaksis Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang

Lebih terperinci

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

Gambar 1. Anatomi Palatum 12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Palatum 2.1.1 Anatomi Palatum Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Palatum

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Kegiatan menginhalasi dan mengekshalasi udara dengan tujuan mempertukarkan oksigen dengan CO2 = bernafas/ventilasi Proses metabolisme selular dimana O2 dihirup, bahan2 dioksidasi,

Lebih terperinci

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo Bagian Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

Penatalaksanaan Epistaksis

Penatalaksanaan Epistaksis 1 Penatalaksanaan Epistaksis Dr. HARI PURNAMA, SpTHT-KL RSUD. Kabupaten Bekasi Pendahuluan Epistaksis merupakan salah satu masalah kedaruratanmedik yang paling umum dijumpai, diperkirakan 60 % dari populasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debu adalah salah satu pajanan yang utama dari lingkungan pekerjaan. Bekerja di lingkungan yang berdebu menyebabkan terhirupnya partikel debu oleh saluran nafas yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi Hidung Gambar 2.1 Anatomi Dinding Lateral Hidung (Netter, 2014) 20 Kavum nasi atau yang sering disebut sebagai rongga hidung memiliki bentuk seperti terowongan

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK CORRELATION OF NASAL AND SINUS ANATOMICAL VARIATIONS PARANASALIS CT IMAGE BASED

Lebih terperinci

OSTEOLOGI AXIALE I D R H. H E R L INA P R AT IWI

OSTEOLOGI AXIALE I D R H. H E R L INA P R AT IWI OSTEOLOGI AXIALE I D R H. H E R L INA P R AT IWI SKELETON AXIALIS SKELETON AXIALIS Ossa Craniofascialis Columna Vertebrae Ossa Cranii Ossa Fasciei OSSA CRANII (NEUROCRANII) Os. Occipitale Os. Sphenoidale

Lebih terperinci

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Menurut Badan Pusat Statistik BPS (2010), diketahui jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Menurut Badan Pusat Statistik BPS (2010), diketahui jumlah penduduk BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Menurut Badan Pusat Statistik BPS (2010), diketahui jumlah penduduk indonesia mencapai 237 juta jiwa lebih, setelah merdeka hingga sampai tahun 2010 telah dilakukan enam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

ANATOMI FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI DEDI

ANATOMI FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI DEDI ANATOMI FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI DEDI Sal. Nafas Atas ANATOMI SISTEM RESPIRASI Pengaturan pernafasan Sal. Nafas bawah Proses kegiatan ventilasi difusi perfusi PENGERTIAN UMUM Pernafasan juga merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1. Anatomi hidung Berdasarkan struktur anatominya, hidung dibagi menjadi hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar dibagi menjadi tiga bagian,

Lebih terperinci

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID 2.1. Pengertian Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di Copenhagen sebagai suatu kelainan dentofasial yang disebabkan oleh obstruksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur

Lebih terperinci

BAB 8 SISTEMA RESPIRATORIA

BAB 8 SISTEMA RESPIRATORIA BAB 8 SISTEMA RESPIRATORIA PENDAHULUAN DESKRIPSI SINGKAT : Bab ini membicarakan tentang sistema respiratoria yang melibatkan organ-organ seperti hidung, pharynx, larynx, trachea, bronchus, bronchiale,

Lebih terperinci

Systema Respiratorium (Sistem Pernapasan)

Systema Respiratorium (Sistem Pernapasan) Systema Respiratorium (Sistem Pernapasan) Alat pernapasan pada Vertebrata meliputi: insang (branchia), paru-paru (pulmo). Pada dasarnya alat-alat tersebut berbeda bentuknya tetapi sama fungsinya. Masing-masing

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed. Author : Edi Susanto, S.Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.tk PENDAHULUAN Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian karena merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat ringan, sedang-berat dengan rerata usia subyek 26,6 ± 9,2 tahun, umur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung 2.1.1.1 Anatomi Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum

Lebih terperinci

ORGAN-ORGAN SYSTEMA RESPIRATORIUM : 1. NASUS 2. PHARYNX 3. LARYNX 4. TRACHEA 5. 2 BRONCHI PRIMARII 6. BRONCHIOLUS & SALURAN-SALURAN UDARA YANG LEBIH

ORGAN-ORGAN SYSTEMA RESPIRATORIUM : 1. NASUS 2. PHARYNX 3. LARYNX 4. TRACHEA 5. 2 BRONCHI PRIMARII 6. BRONCHIOLUS & SALURAN-SALURAN UDARA YANG LEBIH ORGAN-ORGAN SYSTEMA RESPIRATORIUM : 1. NASUS 2. PHARYNX 3. LARYNX 4. TRACHEA 5. 2 BRONCHI PRIMARII 6. BRONCHIOLUS & SALURAN-SALURAN UDARA YANG LEBIH KECIL 7. PULMO DAN PLEURA 8. OTOT-OTOT RESPIRASI DAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung 2.1.1 Hidung luar Hidung berbentuk piramid dengan puncaknya di atas dan di bagian bawah terdapat dasar. Piramid hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan yang

Lebih terperinci

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi Bestari j Budiman, Ade Asyari Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Abstrak Rinosinusitis merupakan masalah yang penting

Lebih terperinci

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan ANATOMI FISIOLOGI

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan ANATOMI FISIOLOGI Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan ANATOMI FISIOLOGI Conducted by: Jusuf R. Sofjan,dr,MARS 2/17/2016 1 2/17/2016 2 2/17/2016 3 2/17/2016

Lebih terperinci

BAB II ANATOMI. Sebelum memahami lebih dalam tentang jenis-jenis trauma yang dapat terjadi pada mata,

BAB II ANATOMI. Sebelum memahami lebih dalam tentang jenis-jenis trauma yang dapat terjadi pada mata, BAB II ANATOMI Sebelum memahami lebih dalam tentang jenis-jenis trauma yang dapat terjadi pada mata, sebaiknya terlebih dahulu dipahami tentang anatomi mata dan anatomi operasinya. Dibawah ini akan dijelaskan

Lebih terperinci

BAB 3 DIAGNOSA DAN PERAWATAN BINDER SYNDROME. Sindrom binder merupakan salah satu sindrom yang melibatkan pertengahan

BAB 3 DIAGNOSA DAN PERAWATAN BINDER SYNDROME. Sindrom binder merupakan salah satu sindrom yang melibatkan pertengahan BAB 3 DIAGNOSA DAN PERAWATAN BINDER SYNDROME Sindrom binder merupakan salah satu sindrom yang melibatkan pertengahan wajah. 16 Sindrom binder dapat juga disertai oleh malformasi lainnya. Penelitian Olow-Nordenram

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung. Anatomi

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen 2.1.1. Definisi Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT 32 BAB 5 HASIL DAN BAHASAN 5.1 Gambaran Umum Sejak Agustus 2009 sampai Desember 2009 terdapat 32 anak adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT RSUP Dr. Kariadi Semarang

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma dan rinosinusitis adalah penyakit yang amat lazim kita jumpai di masyarakat dengan angka prevalensi yang cenderung terus meningkat selama 20-30 tahun terakhir.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci