BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
|
|
- Budi Santoso
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung dan Sinus Paranasal Anatomi hidung Berdasarkan struktur anatominya, hidung dibagi menjadi hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1) Kubah tulang, merupakan bagian yang paling atas yang tak dapat digerakkan, 2) Kubah kartilago, merupakan bagian dibawah kubah tulang yang dapat digerakkan, 3) Lobulus hidung, bagian yang paling bawah dan mudah digerakkan. Kubah kartilago dibentuk oleh kartilago lateralis supperior yang saling berfusi di garis tengah serta berfusi pula dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis. Bentuk dari sepertiga lobulus hidung dipertahankan oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus menutupi vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh kolumela, di lateral ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung. Mobilitas lobulus hidung penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus, dan bersin. 7
2 Gambar 2.1. Struktur Dinding Lateral Hidung 10 Sedangkan hidung dalam, terbentang dari os internum di anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum hidung merupakan garis tengah yang membagi hidung menjadi 2 buah rongga yang pada bagian lateral masing-masing rongga terdapat konka. Konka memiliki rongga udara yang tak teratur di antaranya, yaitu meatus superior, media, dan inferior. Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian inferior. Sinus frontalis, etmoidalis anterior, dan maksilaris bermuara pada hiatus semilunaris dari meatus media. Sel sel sinus etmoidalis posterior bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus sfenoidalis berakhir pada resesus sfenoetmoidalis. Ujung - ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil di bagian medial dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung Vaskularisasi dan persarafan rongga hidung
3 Suplai darah ke rongga hidung berasal dari cabang arteri maksilaris interna. Cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai daerah konka, meatus dan septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sinus maksilaris disuplai oleh cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis. Sedangkan sinus sfenoidalis mendapatkan suplai dari alveolaris dari arteri maksilaris interna dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna. 7 Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosa yang rapat di bawah membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior, serta bagian bawah septum dimana ia membentuk jaringan erektil. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina. 7 Salah satu saraf yang berperan dalam rongga hidung adalah N. olfaktorius yang terdapat pada membrana mukosa. Saraf ini naik ke atas melalui lamina cribrosa dan mencapai bulbus olfactorius. Saraf saraf sensasi umum berasal dari divisi ophtalmica dan maxillaris N. trigeminus. Persarafan bagian anterior rongga hidung berasal dari n. etmoidalis anterior. Sedangkan bagian posteriornya berasal dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus palatinus ganglion pterygopalatinum Sistem limfatik Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior hidung vestibulum dan daerah prekonka. 7 Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung, menghubungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang, yaitu saluran superior, media, dan inferior. 7 Kelompok superior, berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustakius dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah tuba eustakius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis.
4 Kelompok inferior, berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna Anatomi sinus paranasal Sinus paranasal merupakan rongga-rongga udara yang terdapat di dalam os maxilla, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale. Sinus memiliki fungsi sebagai resonator suara, juga untuk mengurangi berat tengkorak. Bila muara sinus tersumbat atau sinus terisi cairan kualitas suara akan berubah. 11 Sinus maksilaris terdapat dalam korpus maksilaris yang berbentuk piramid dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apeks di dalam prosesus zigomatikus maksila. Membran mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh n. alveolaris superior dan n. infraorbitalis. 11 Sinus frontalis ada 2 buah yang dipisahkan oleh septum tulang yang sering menyimpang dari bidang median. Setiap sinus berbentuk segitiga dan meluas ke atas. Membran mukosanya dipersarafi oleh n. supraorbitalis. 11 Sinus sfenoidalis, juga terdiri atas 2 buah rongga di dalam corpus ossis sphenoidalis. Membran mukosanya dipersarafi oleh n. etmoidalis posterior. 11 Sinus etmoidalis yang terdapat di antara hidung dan mata. Sinus ini dibagi menjadi kelompok anterior, media, dan posterior. Kelompok anterior bermuara ke dalam infundibulum, kelompok media bermuara ke dalam meatus media, dan kelompok posterior bermuara ke dalam meatus superior. Membran mukosanya dipersarafi oleh n. etmoidalis anterior dan posterior Fisiologi hidung Hidung sebagai organ penting dalam jalur pernafasan manusia memiliki beberapa fungsi penting yaitu: 1) sebagai organ penghidu, 2) sebagai tahanan jalan nafas, 3) sebagai penyesuai udara, 4) sebagai purifikasi udara, dan 5) sebagai fungsi mukosiliar. 7 Teori struktural, teori revolusioner, dan teori fungsional menjelaskan fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal, antara lain 12 :
5 1. Fungsi respirasi, mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal 2. Fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa olfaktorius (penciuman), dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu 3. Fungsi fonetik, berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang 4. Fungsi statistik dan mekanik, untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas 5. Refleks nasal Sistem transpor mukosiliar Transpor mukosiliar atau pembersihan mukosiliar adalah mekanisme pertahanan terhadap setiap zat / mikroorganisme asing yang masuk ke dalam hidung. Silia dan lapisan mukus merupakan komponen yang berperan penting dalam hal ini. Silia memiliki panjang sekitar 6 mikron dengan diameter 250 nm, jumlah silia bervariasi antara setiap sel saluran nafas, dipengaruhi oleh usia dan posisinya di saluran nafas. Jumlahnya dalam saluran nafas diperkirakan sekitar 10 9 silia per cm Strukturnya terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus, semuanya terbungkus dalam membran sel berlapis tiga yang tipis dan rapuh. 7 Silia memiliki gerakan yang metakronis yang berfungsi mendorong mukus untuk bergerak ke arah nasofaring, kemudian ke orofaring dan hipofaring, yang selanjutnya sekretnya akan ditelan. 13 Kerja silia dapat terganggu oleh adanya udara yang sangat kering, yang sering terjadi di rumah pada bulan bulan musim dingin dengan pemanasan. Polusi udara (nitrogen dioksida dan sulfur dioksida) mengganggu efektivitas silia dalam berbagai cara. 7 Lapisan mukus merupakan sawar terhadap alergen, virus, dan bakteri. Beberapa molekul yang terlibat adalah defensin, lisozim, dan IgA. Mukus memiliki viskositas yang rendah, sehingga mempermudah laju gerak silia, dan juga mencegah glycoprotein dari lapisan mukus menempel pada glycocalyx dari
6 membran apikal epitel. Pada individu sehat, mukus dari saluran nafas mengandung 97% air dan hanya 3% zat padat yang 30% terdiri dari musin. 13 Arah gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang dikarenakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior yang terlindung, maka cenderung menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah celah ini. Pada septum arah gerakannya ke belakang dan ke bawah menuju dasar. Pada dasar hidung, arahnya ke belakang dan cenderung bergerak di bawah konka inferior ke dalam meatus inferior. Sedangkan sisi medial konka, arah gerakan ke belakang dan ke bawah, lewat di bawah tepi inferior meatus yang bersangkutan. Kecepatan gerakan mukus dipengaruhi oleh kerja silia yang berbeda di berbagai bagian hidung. Kecepatan pada segmen hidung anterior mungkin hanya seperenam dari segmen posterior, yaitu sekitar 1 20 mm/menit. 7 Ada dua penyebab gangguan pada pembersihan mukosiliar, yaitu: 1) gerak silia yang dihambat secara langsung, seperti pada kasus defek genetik pada protein sentral aksonem, atau 2) disfungsi sementara yang disebabkan oleh infeksi dan pengaruh lingkungan. Beberapa kasus yang sering mengganggu proses pembersihan mukosiliar adalah diskinesia silia primer dan sekunder, kistik fibrosis, PPOK, asma, dan gangguan rinologi lain ya Rinitis Alergi Definisi rinitis alergi Rinitis alergi adalah suatu penyakit respon inflamasi yang diperantarai oleh IgE pada membran mukosa hidung setelah terpajan oleh alergen inhalan. Gejalanya meliputi rinore (anterior atau posterior), hidung tersumbat, hidung gatal, dan bersin Klasifikasi rinitis alergi Rinitis alergi dahulu diklasifikasikan berdasarkan waktu serangannya, dibagi menjadi seasonal (musiman), parennial (menahun), dan occupational (terkait pekerjaan). Rinitis alergi parennial sering disebabkan oleh alergen yang berasal dari dalam rumah seperti debu, tungau, jamur, dan insekta. Sedangkan rinitis
7 alergi seasonal berkaitan dengan variasi alergen di luar lingkungan rumah seperti polen (serbuk sari) ataupun jamur. Namun klasifikasi ini masih belum memuaskan, sehingga ARIA WHO melakukan revisi dan mengklasifikasikannya berdasarkan lamanya serangan dan derajat keparahan. 2 Tabel 2.1 Klasifikasi Rinitis Alergi 2 Klasifikasi Gejala Gejala berlangsung kurang dari 4 hari/minggu Intermittent atau kurang dari 4 minggu Gejala berlangsung lebih dari 4 hari/minggu Persistent dan lebih dari 4 minggu Tidak ditemukan gangguan tidur, aktivitas Mild harian, olahraga, bersantai, aktivitas sekolah dan bekerja Ditemukan adanya gangguan tidur, gangguan Moderate Severe terhadap aktivitas harian, olahraga, bersantai, aktivitas sekolah dan bekerja Berdasarkan tabel di atas, maka rinitis alergi diklasifikasikan menjadi: Rinitis alergi dengan gejala intermittent mild Rinitis alergi dengan gejala intermittent moderate-severe Rinitis alergi dengan gejala persistent mild Rinitis alergi dengan gejala persistent moderate-severe Faktor resiko rinitis alergi Gejala dari rinitis alergi berkembang sebelum usia 20 tahun pada 80% kasus. Pada anak yang memiliki riwayat rinitis alergi pada kedua orang tuanya, akan mendapatkan rinitis alergi pada usia yang lebih muda dibanding dengan anak yang memiliki riwayat rinitis alergi pada salah satu orang tuanya. Rinitis alergi berkembang pada 1 dari 5 orang anak pada usia 2-3 tahun dan kurang lebih 40%
8 pada usia 6 tahun. Sekitar 30% berkembang pada usia remaja. 15 Pada anak-anak rinitis alergi lebih dominan terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan. Tetapi pada orang dewasa prevalensinya lebih sering terjadi pada perempuan. 16 Beberapa faktor resiko lainnya yang berpengaruh adalah : Riwayat atopi dari keluarga. Ada peranan genetik yang turut menentukan kondisi ini. Beberapa penelitian menemukan adanya bentuk polimorfisme pada beberapa kromosom (1,2,3,5,6,7,9,11,12,13,14,16,17,19,dll) dan juga dijumpai adanya perbedaan distribusi allel yang berkaitan alergi (IL-4 dan gen IL-4R) pada beberapa ras. 17 Serum IgE > 100 IU/ml pada anak sebelum usia 6 tahun. Hasil positif pada uji cukit kulit / Skin Prick Test (SPT). 16 Terpapar alergen. Alergen inhalan merupakan faktor utama. Alergen inhalan yang paling sering terlibat adalah debu, tungau rumah (Dermatophagoides pteronyssinus & Euroglypus maynei), polen, jamur, bulu binatang, polusi (NO, Sulfur dioksida, CO, ozon). Makanan jarang menyebabkan terjadinya rinitis alergi Patofisiologi rinitis alergi Rinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang dimediasi oleh IgE. Reaksi terdiri atas 2 fase yaitu: 1) reaksi fase cepat, yang terjadi segera setelah paparan dengan alergen, 2) reaksi fase lambat, yang terjadi setelah 4-8 jam setelah paparan alergen.
9 Gambar 2.2. Mekanisme Rinitis Alergi 18 Reaksi alergi tipe I diawali dengan adanya sensitisasi. Pada fase ini, setiap alergen / antigen yang masuk ke mukosa akan diangkut oleh antigen presenting cell (APC) melalui MHC Class II ke sel CD+4 T limfosit (T cell). T cell akan berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2. Selanjutnya sel Th2 akan melepaskan berbagai sitokin seperti IL-4 dan IL-13. Sitokin tersebut akan berikatan dengan reseptor di permukaan sel B dan mengaktifkan sel B untuk memproduksi IgE spesifik antigen yang akan berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada reseptor Fc. 19 Jika suatu saat alergen yang sama terpapar kembali pada mukosa hidung yang telah tersensitisasi, maka alergen tersebut akan berikatan dengan kompleks IgE dan akan menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast dan basofil yang akan mengeluarkan mediator mediator neuroaktif dan vasoaktif seperti histamin, leukotrien, prostaglandin, heparin, kinin, dan protease. 19 Mediator seperti histamin akan langsung mempengaruhi pembuluh darah (meningkatkan permeabilitas vaskular dan kebocoran plasma) dan ujung saraf sensoris, sedangkan leukotrien
10 menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi dari saraf sensoris akan menimbulkan rasa gatal dan berbagai refleks sentral. Hal tersebut meliputi refleks bersin dan refleks parasimpatis yang menstimulasi sekresi banyak mukus di hidung dan kejadian vasodilatasi. Hiperresponsif saraf sensoris merupakan gejala yang paling menonjol pada rinitis alergi. 20 Pada reaksi fase lambat, mediator inflamasi yang paling berperan adalah eosinofil. Aktivasi dari eosinofil ini akan mengeluarkan beberapa produk granul yang toksik seperti major basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP), dan eosinophil peroxidase (EPO) yang dapat merusak sel sel epitel dari rongga hidung Manifestasi klinis rinitis alergi Beberapa gejala klinis yang mengarah ke rinitis alergi jika dijumpainya 2 atau lebih gejala yang berlangsung lebih dari 1 jam selama beberapa hari, yaitu 2 : Rinore (hidung berair) Bersin, yang sering kambuh (> 5 kali/serangan) Hidung tersumbat Hidung terasa gatal ± Konjungtivitis Namun ada beberapa gejala yang tidak berhubungan dengan rinitis alergi dan dapat menjadi diagnosa banding yaitu 2 : Gejala unilateral Hidung tersumbat tanpa gejala lain Rinore yang mukopurulen Rinore posterior (post nasal drip) disertai lendir kental Ada nyeri Epistaksis berulang Anosmia Diagnosis rinitis alergi
11 Anamnesis Dalam anamnesis perlu ditanyakan gejala-gejala yang dialami pasien. Gejala rinitis alergi berbeda dengan rinitis infeksiosa. Respon alergi biasa ditandai oleh bersin, kongesti hidung, dan rinore yang encer dan banyak. Tidak ada demam dan biasanya sekret tidak mengental atau menjadi purulen. Gejala penyerta seperti mual, bersendawa, kembung diare, somnolen atau insomnia dapat juga memberi kesan suatu alergen yang ditelan, serta membedakan pasien-pasien ini dari penderita rinitis virus. Pola serangan (hilang timbul / menetap), durasi dan derajat keparahan perlu ditanyakan serta riwayat penyakit alergi dalam keluarga Pemeriksaan fisik Mukosa hidung pada pasien alergi biasanya basah, pucat, dan berwarna merah jambu keabuan. Konka tampak membengkak. Polip dapat timbul pada antrum maksilaris dan regio etmoidalis, kemudian meluas ke dalam meatus superior dan media. 7 Selain itu dijumpai juga tanda khas, yaitu: 1) Allergic shiners / Dennie- Morgan lines, yaitu bayangan gelap di daerah periorbita karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung, 2) Allergic salute, garis yang timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan, 3) Allergic crease, garis horizontal pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. 21 Pada pemeriksaan mata dapat dijumpai adanya injeksi dan pembengkakan pada konjungtiva palpebra dengan lakrimasi yang berlebihan Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan secara in vivo dapat dilakukan dengan Skin Prick Test. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang sensitivitas dan spesifisitasnya baik, di atas 80%. 14 SPT merupakan pemeriksaan yang cepat untuk menentukan alergen yang spesifik dikarenakan reaksi akan muncul pada menit setelah paparan. Tetapi respon fase lambat dapat berlangsung dalam waktu 4-8 jam setelah paparan alergen. 23 Beberapa yang menjadi kontraindikasi SPT adalah pasien dengan asma berat yang tak terkontrol, adanya penyakit kulit seperti ekzema, penyakit
12 kardiovaskular yang berat dan tidak stabil, dan pasien dalam pengobatan betablocker. 14 Tabel 2.2 Interpretasi Hasil Skin Prick Test 23 Ukuran (mm) Skala Interpretasi <4 0+ Negative Mildly sensitive Moderate sensitive >15 4+ Very sensitive Pemeriksaan secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan Radioallergosorbent Test (RAST). Pemeriksaan ini juga digunakan untuk menentukan alergen spesifik IgE berdasarkan spesimen serum pasien. RAST menjadi pilihan jika didapati adanya kelainan kulit seperti dermatographism, ekzema berat, dermatitis yang meluas, dan pasien anak yang tidak kooperatif. Pemeriksaan ini dapat dilakukan tanpa mengkhawatirkan terjadinya efek samping seperti reaksi anafilaksis. Pemeriksaan lain yang juga digunakan untuk mengevaluasi pasien suspek rinitis alergi adalah rinometri akustik, rinomanometri, tes provokasi alergen hidung, dan apusan hidung (mengukur kadar eosinofil di mukosa hidung). 14
13 Algoritma tatalaksana rinitis alergi Gambar 2.3. Algoritma Tatalaksana Rinitis Alergi24
14 Komplikasi rinitis alergi Survei epidemiologi secara retrospektif maupun prospektif memperlihatkan bahwa rinitis alergi sering berkaitan dan bahkan menjadi faktor penyebab dari asma, sinusitis, dan otitis media efusi. Pada 70% anak yang menderita alergi dan rinitis kronis dijumpai adanya gambaran radiologis yang abnormal pada sinusnya. Begitu juga pada anak-anak yang menderita OME, 40-50% memiliki riwayat rinitis alergi yang telah dikonfirmasi dengan Skin Prick Test (SPT) dan dijumpai peningkatan serum antibodi IgE Kualitas Hidup Kualitas hidup memiliki banyak arti tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Kualitas hidup menurut WHO (1994), didefinisikan sebagai persepsi individu sebagai laki-laki, atau wanita dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya dan sistem dimana mereka tinggal, dan berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial dan hubungan pada karakteristik lingkungan mereka. Oleh sebab itu kualitas hidup pada setiap orang akan berbeda hasilnya. Kualitas hidup memberikan manfaat bagi penyelenggara kesehatan, antara lain: 1) Sebagai parameter keberhasilan suatu terapi, 2) Indikator diperlukannya terapi suportif, 3) Indikator prognostik, 4) Membantu dalam membuat keputusan, 5) Informasi dalam alokasi sumberdaya dan kebijakan kesehatan. 26 Untuk dapat menentukan taraf kualitas hidup seseorang diperlukan sebuah instrumen berupa kuesioner yang mengandung sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan aspek kulitas hidup. Kuesioner dapat bersifat umum dan dapat bersifat khusus terhadap suatu penyakit. Kuesioner yang sering dipakai untuk menentukan kualitas hidup secara umum meliputi WHOQOL dan SF-36. Sedangkan kuesioner yang lebih khusus (spesifik) digunakan untuk mengevaluasi pengaruh suatu penyakit terhadap kualitas hidupnya. Rinitis alergi adalah salah satu penyakit yang berdampak terhadap fungsi fisik pasien, emosional, sosial dan lingkungan sekolah atau pekerjaan penderita. Gangguan belajar sering ditemukan
15 pada anak-anak, sedangkan pada orang dewasa sering didapati adanya penurunan poduktivitas dan konsentrasi. 27 Untuk rinitis alergi, kuesioner yang sudah tervalidasi adalah kuesioner Rhinitis Quality of Life Questionnaire (RQLQ) yang terdiri atas 28 pertanyaan, 7 area, dan skala Cuci Hidung Cuci hidung bukanlah merupakan suatu hal yang baru, melainkan sudah ada sejak kurang lebih 15 abad yang lalu pada masyarakat India kuno. Jalaneti dalam bahasa India adalah perkembangan awal cuci hidung yang merupakan salah satu dari enam bagian dari terapi yoga (kriyas). Cuci hidung diyakini dapat membersihkan pernafasan dan akan mengembalikan kejernihan pikiran. Penelitian ilmiah mengenai cuci hidung pertama kali muncul dalam British Medical Journal pada tahun Tahun 2007, sebuah studi meta-analisis dengan RCT menunjukkan bahwa penggunaan terapi cuci hidung terhadap perbaikan gejala inflamasi pada hidung menunjukkan hasil peningkatan yang signifikan dengan standard mean deviation (SMD) 1,14. Cuci hidung merupakan terapi yang murah, sederhana, dan dapat ditoleransi dengan efek samping yang minimal Mekanisme kerja Beberapa teori menjelaskan bagaimana peranan cuci hidung terhadap perbaikan gejala hidung. Teori tersebut menjelaskan kaitan antara penggunaan cuci hidung dengan pergerakan silia, pembersihan mukus, dan juga waktu transpor mukosiliar. Lapisan mukus di rongga hidung merupakan pertahanan lini pertama terhadap segala jenis invasi dari organisme berbahaya. Cuci hidung dengan larutan salin dapat meningkatkan pergerakan mukus tersebut ke arah nasofaring. Lapisan mukus juga mengandung beberapa mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrien, defensins dan protein lain yang akan dibersihkan melalui bilasan hidung menggunakan larutan salin. 29 Parsons. et al dalam penelitiannya menunjukkan bahwa cuci hidung dengan larutan salin hipertonik memperbaiki waktu transpor mukosiliar pada pasien rinosinusitis (akut & kronis). 30
16 Sejumlah hipotesa yang menjelaskan peranan cuci hidung terhadap perbaikan gejala hidung antara lain 31 : 1. Perbaikan terhadap pembersihan mukosiliar 2. Mengurangi edema mukosa 3. Mengurangi mediator inflamasi 4. Membersihkan kotoran (kerak) dan lendir kental di rongga hidung Indikasi dan kontraindikasi serta efek samping Cuci hidung diindikasikan pada pasien-pasien dengan gangguan sinonasal, di antaranya dapat berupa rinosinusitis (akut & kronis), rinitis alergi & non alergi, ISPA, dan terapi pasca bedah sinus endoskopi. 8 Penggunaannya perlu diperhatikan pada pasien rinitis terkait usia, rinitis alergi, perforasi septum hidung, dan rinosinusitis yang berkaitan dengan infeksi HIV. 32 Namun pada pasien dengan trauma wajah atau trauma basis cranii, terapi ini dikontraindikasikan. Cuci hidung dengan larutan salin menghasilkan efek samping yang minimal, di antaranya berupa iritasi lokal, rasa gatal, rasa terbakar, otalgia, dan cairan yang tertinggal di rongga sinus Bahan cuci hidung Larutan yang digunakan untuk membilas rongga hidung dapat berupa larutan isotonis atau hipertonis, buffer ataupun non-buffer. Penelitian Talbot et al menunjukkan bahwa penggunaan larutan salin hipertonis 3% menurunkan waktu transpor mukosiliar lebih baik daripada penggunaan saline 0,9% dengan perbandingan waktu 3,1 menit banding 0,14 menit. 31 Hal ini sejalan dengan penelitian Immanuel yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan penggunaan larutan salin hipertonis dan isotonis terhadap penurunan waktu transpor mukosiliar. 33 Larutan salin hipertonis menurunkan kekentalan daripada lendir mukus, sehingga mempengaruhi waktu transpor mukosiliar. Salin hipertonis juga mengurangi edema mukosa secara difusi melalui kandungan osmolaritasnya. Larutan ini dapat mengiritasi membran rongga hidung.
17 Efek ph terhadap kecepatan pembersihan mukosiliar juga diteliti. Hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan kecepatan pembersihan mukosiliar pada kelompok yang diberikan larutan salin hipertonis buffer (ph 8) dan larutan salin hipertonis non-buffer. 34 Tabel 2.3 Komposisi Larutan untuk Irigasi Rongga Hidung 16 Referensi NaCl (%) Garam (nonion) Air Hangat Soda Kue Buffer Wormald, ,9 1 sendok teh 500 ml 1 sendok teh + Tomooka, ,6 ½ sendok teh 250 ml - - Rombago, sendok teh 480 ml ½ sendok teh + Brown, ,5 950 ml - - Talbot, sendok teh 950 ml 1 sendok teh + Fellows, ,9 1 sendok teh 480 ml - - Beberapa jenis obat yang juga sering ditambahkan pada penggunaan cuci hidung adalah antibiotik dan antifungi. Gentamisin dan Tobramisin adalah antibiotik yang paling sering digunakan. Salep Bactroban sering dipakai untuk mengeradikasi infeksi stafilokokus. Amfoterisin B yang dilarutkan dalam air steril (100µg/ml) dapat memperbaiki gejala sinusitis dan polip hidung. Namun dalam penelitian lain oleh Gosepath et al, bahwa penggunaan antiseptik dan antifungi (Betadine, hydrogen peroxide, amphotericin B, itraconazole) dapat menurunkan pembersihan mukosiliar Metode cuci hidung 1. Persiapkan alat dan bahan berupa spuit 10 cc, larutan salin (NaCl 0,9% atau NaCl 3%), tisu, dan wadah tampung. 2. Isi wadah tampung dengan larutan salin yang akan digunakan. 3. Lepaskan jarum dari spuit dan isi spuit tersebut dengan larutan salin yang akan digunakan. 4. Posisikan kepala agar miring 45 ke salah satu sisi sehingga salah satu lubang hidung berada di atas yang lainnya.
18 5. Posisikan spuit lurus terhadap lubang hidung (jangan menekan bagian tengah dan septum hidung) dan mulut terbuka. 6. Bernafaslah melalui mulut dan semprotkan cairan tersebut ke dalam rongga hidung bagian atas hingga keluar melewati lubang hidung yang dibawahnya. 7. Ketika spuit sudah kosong, maka hembuskan udara secara lembut melalui kedua lubang hidung untuk membersihkan sisa cairan dan mukus yang tertinggal. 8. Bersihkan hidung dengan menggunakan tisu. 35,36 Gambar 2.4. Teknik Melakukan Cuci Hidung 35
BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang
Lebih terperinciAnatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.
Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai
8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,
Lebih terperinciKaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.
HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung
Lebih terperinciASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE)
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis
BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien
Lebih terperinciSISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)
SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai imunoglobulin
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit
Lebih terperinciMENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS
MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,
Lebih terperinciBAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Teori Genetik Alergen inhalan Polutan (NO, CO, Ozon) Respon imun hipersensitifitas tipe 1 Rinitis alergi Gejala Pengobatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang
Lebih terperinciEpistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.
LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah alergi digunakan pertama kali digunakan oleh Clemens von Pirquet bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1 Reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir
Lebih terperinciFamili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B
RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis
Lebih terperinciBAB 4 METODE PENELITIAN
31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Seiring perkembangan dunia kesehatan, tumbuhan merupakan alternatif
Lebih terperinciBronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan
Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan
Lebih terperinciBAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat
BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat ringan, sedang-berat dengan rerata usia subyek 26,6 ± 9,2 tahun, umur
Lebih terperinciANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
REFERAT ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PEMBIMBING: Dr. H. Yuswandi Affandi Sp. THT-KL Dr. M. Ivan Djajalaga M.Kes, Sp. THT-KL DISUSUN OLEH: Noer Kamila Dedeh Asliah Bernadeta Rosa Diyana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan (Madiadipora, 1996). Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi 2.1.1 Definisi Rinitis alergi merupakan penyakit alergi tipe 1 pada mukosa hidung, yang ditandai dengan bersin berulang, rhinorrhea, dan hidung tersumbat (Okubo
Lebih terperinciUniversitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi RA merupakan masalah global yang menyerang masyarakat disegala usia dan suku bangsa. Berdasarkan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma-World Health Organization
Lebih terperinciAsuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas
Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,
Lebih terperinciBAB 3 METODE PENELITIAN
21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi Hidung Gambar 2.1 Anatomi Dinding Lateral Hidung (Netter, 2014) 20 Kavum nasi atau yang sering disebut sebagai rongga hidung memiliki bentuk seperti terowongan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Rinitis Alergi Istilah alergi dikenalkan oleh Von Pirquet pada tahun 1906 untuk mendeskripsikan fenomena dari hewan dan manusia yang mengembangkan respon perubahan
Lebih terperinciCATATAN SINGKAT IMUNOLOGI
CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung dari luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip),
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting karena fungsinya sebagai salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.
Lebih terperinciBAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.
28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan zat adiktif yang dapat mengancam kelangsungan hidup di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) konsumsi
Lebih terperinciBAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD
BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis alergi 2.1.1 Definisi dan klasifikasi rinitis alergi Rinitis alergi adalah penyakit simtomatis pada membran mukus hidung akibat inflamasi yang dimediasi oleh IgE pada
Lebih terperinciBAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi
BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada anak yang memiliki atopi yang sebelumnya telah terpapar
Lebih terperinci11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PENGINDERAAN PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU BEBERAPA KESAN TIMBUL DARI LUAR YANG MENCAKUP PENGLIHATAN, PENDENGARAN,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan mediasi oleh reaksi hipersensitifitas atau alergi tipe 1. Rhinitis alergi dapat terjadi
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada
4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan pesat di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam perkembangan industrialisasi dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi
Lebih terperinciBAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai
1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis adalah suatu penyakit kulit (ekzema) yang menimbulkan peradangan. Dermatitis alergika yang sering dijumpai dalam kehidupan seharihari adalah dermatitis atopik.
Lebih terperinciREFERAT DEVIASI SEPTUM NASI
REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A 008 038 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN
Lebih terperinciTRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM
TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.
Lebih terperinciBAB 3 KERANGKA PENELITIAN
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.
Lebih terperinciINDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)
INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi 2.1.1 Definisi dan klasifikasi Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling umum dijumpai. RA didefinisikan sebagai suatu penyakit
Lebih terperinciPENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI
PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan dan penggunaan teknologi di sektor industri berdampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan pendapatan namun juga berdampak negatif
Lebih terperinciYani Mulyani, M.Si, Apt STFB
Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Kegiatan menginhalasi dan mengekshalasi udara dengan tujuan mempertukarkan oksigen dengan CO2 = bernafas/ventilasi Proses metabolisme selular dimana O2 dihirup, bahan2 dioksidasi,
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan
BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Subyek Penelitian ini diberikan kuesioner ISAAC tahap 1 diberikan kepada 143 anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan kuesioner yang
Lebih terperinciGAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014
1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas
Lebih terperinciBAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT
32 BAB 5 HASIL DAN BAHASAN 5.1 Gambaran Umum Sejak Agustus 2009 sampai Desember 2009 terdapat 32 anak adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT RSUP Dr. Kariadi Semarang
Lebih terperinciMekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang
Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung 2.1.1. Anatomi Hidung Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan
Lebih terperinciGambar 1. Anatomi Palatum 12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Palatum 2.1.1 Anatomi Palatum Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Palatum
Lebih terperinciBENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016
BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit inflamasi pada kulit yang bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan. Penyakit ini terjadi akibat adanya kelainan pada fungsi
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Imunopatogenesis Rinitis Alergi Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE. 1 Imunopatogenesis
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung adalah organ yang terdiri dari dua bagian yaitu hidung luar dan cavum nasi. Hidung luar memiliki dua lubang yang disebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4-5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi Epistaksis Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang
Lebih terperinciTUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia
TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2 Sistem Respirasi Manusia Sistem Respirasi Manusia Isilah bernapas, seringkali diarikan dengan respirasi, walaupun secara hariah sebenarnya kedua isilah tersebut berbeda. Pernapasan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. karena berperan terhadap timbulnya reaksi alergi seperti asma, dermatitis kontak,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debu terdiri atas partikel destrimen yang berasal dari rambut, daki, bulu binatang, sisa makanan, serbuk sari, skuama, bakteri, jamur dan serangga kecil (Sungkar, 2004).
Lebih terperinciDefinisi Bell s palsy
Definisi Bell s palsy Bell s palsy adalah penyakit yang menyerang syaraf otak yg ketujuh (nervus fasialis) sehingga penderita tidak dapat mengontrol otot-otot wajah di sisi yg terkena. Penderita yang terkena
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi
1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipotesis Higiene Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi yang terjadi pada tiga puluh sampai empat puluh tahun terakhir, terutama di negara-negara
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma dan rinosinusitis adalah penyakit yang amat lazim kita jumpai di masyarakat dengan angka prevalensi yang cenderung terus meningkat selama 20-30 tahun terakhir.
Lebih terperinci