Bab II Tinjauan Pustaka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab II Tinjauan Pustaka"

Transkripsi

1 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Reaksi Pergeseran CO Menjadi CO 2 dan H 2 WGSR adalah reaksi antara CO dan kukus yang menghasilkan CO 2 dan H 2. Arti penting proses ini baru diketahui setelah adanya proses sintesis amonia Haber. Pada proses Haber ini, CO merupakan racun bagi katalis sintesis amonia. Untuk itu, konsentrasi karbon monoksida harus dikurangi hingga level yang serendah mungkin. Selain berkurangnya CO, H 2 yang dihasilkan dari reaksi pergeseran CO ini nantinya dapat digunakan sebagai penyedia H 2 (Twigg, 1989). Reaksi pergeseran CO menjadi CO 2 dan H 2 pada pabrik amonia modern saat ini dilangsungkan dalam 2 tahap, yaitu high temperature shift conversion (HTSC) dan low temperature shift conversion (LTSC). II.1.1 Termodinamika Reaksi Pergeseran CO Menjadi CO 2 dan H 2 Persamaan reaksi pergeseran CO menjadi CO 2 dan H 2 dapat dinyatakan dengan persamaan 2.1 di bawah ini : CO + H 2 O - CO 2 + H 2 DH = -41,165 kj/mol..(2.1) Reaksi ini merupakan reaksi eksotermik. Untuk reaksi eksotermik, makin tinggi temperatur (T) maka nilai konstanta kesetimbangan (Kp) menjadi lebih kecil. Akibatnya konversi maksimum (konversi kesetimbangan) menjadi lebih rendah. Hubungan konstanta kesetimbangan dan temperatur yang dinyatakan oleh Kolbel dan Rale dapat dilihat pada persamaan 2.2 berikut ini. Kp = exp [{4577,8/T} 4,33].(2.2) T adalah temperatur dalam Kelvin (Kolbel and Rale, 1980). Profil kesetimbangan reaksi menurut persamaan 2.2 dapat dilihat pada gambar II.1. II-1 xxiii

2 ln Kp Konstanta Kesetimbangan Sebagai Fungsi Temperatur [1/T] *1000 Kp Gambar II.1 Konstanta kesetimbangan sebagai fungsi temperatur (Kolbel and Rale, 1980) Berdasarkan persamaan 2.1, jumlah koefisien stokiometri produk (CO 2 dan H 2 ) sama dengan jumlah koefisien stokiometri reaktannya (CO dan H 2 O). Dengan kata lain, jumlah mol reaktan dan produk tidak mengalami perubahan selama berlangsungnya reaksi. Oleh karena itu, tekanan tidak berpengaruh terhadap kesetimbangan (Satterfield, 1991). II.1.2 Deskripsi Proses Reaksi Pergeseran CO Menjadi CO 2 dan H 2 Dalam upaya mendapatkan konversi reaksi yang tinggi dengan kecepatan reaksi yang lebih tinggi pada pabrik amonia modern, reaksi pergeseran CO menjadi CO 2 dan H 2 diselenggarakan dalam 2 tahap : a. high temperature shift conversion (HTSC) b. low temperature shift conversion (LTSC) xxiv II-2

3 Proses HTSC bertujuan untuk memperoleh kecepatan reaksi yang tinggi. Pengaruh temperatur terhadap kecepatan reaksi dapat dijelaskan dengan menggunakan persamaan Arrhenius. k = Ao e -Ea/RT (2.3) Dari persamaan ini dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi temperatur maka kecepatan reaksi akan semakin tinggi. Temperatur inlet yang digunakan pada proses HTSC yaitu o C dan temperatur outlet proses ini adalah sekitar 450 o C (Twigg, 1989). Proses ini diselenggarakan dalam suatu reaktor unggun tetap dengan waktu tinggal dalam reaktor yaitu 3 9 detik, dan VHSV yang diperkirakan 958,08 per jam. Katalis yang digunakan berbasis Fe/Cr (Kirk Othmer, 1992). Proses ini mampu menurunkan kandungan CO dari sekitar 12,9 % pada inlet menjadi kurang lebih 3 % pada outlet (Twigg, 1989). Gas yang keluar dari reaktor HTSC selanjutnya didinginkan hingga temperaturnya menjadi 240 o C dan diumpankan ke dalam reaktor LTSC. Pada pabrik amonia modern, proses LTSC ini bertujuan untuk mendapatkan konversi kesetimbangan yang lebih tinggi. Pada temperatur yang semakin rendah, konversi kesetimbangan yang dicapai akan semakin tinggi. Proses LTSC diselenggarakan dalam suatu reaktor unggun tetap dengan waktu tinggal 1 detik, dan VHSV yang diperkirakan 5755,39 per jam. Proses ini diselenggarakan pada temperatur 240 o C. Proses LTSC mampu menurunkan kandungan CO dari sekitar 3 % pada inlet menjadi kurang lebih 0,2 % pada outlet (Twigg, 1989). Katalis yang digunakan pada proses LTSC adalah katalis Cu/ZnO/Al 2 O 3 (Twigg, 1989). Batas minimum temperatur operasi LTSC adalah 200 o C. Pada tekanan 13 atm, temperatur air mendidih diperkirakan terjadi pada temperatur 190 o C sehingga temperatur 200 o C terjadi kondensasi kukus. Kondensasi kukus akan mengakibatkan sintering pada katalis berbasis Cu sehingga umur katalis menjadi lebih pendek. Perbandingan kondisi proses HTSC dan LTSC dapat dilihat pada tabel II.1 berikut ini. xxv II-3

4 Tabel II.1 Perbandingan kondisi proses HTSC dan LTSC (Makertiharta, 2004, Satterfield, 1991, Twigg, 1989). No. Tinjauan HTSC LTSC 1. Temperatur operasi ( o C) Tekanan operasi (MPa) 3 1,3 3. Umur katalis (tahun) Katalis heterogen Fe-Cr Cu ZnO Al 2 O 3 5. Komposisi katalis (%) CuO = Fe : 55 ZnO = Cr : 6 Al 2 O 3 = Konsentrasi CO di keluaran (%) 3 0,2 7. Bentuk katalis pellet pellet 8. Waktu kontak (s) Penyebab terjadinya 9. deaktivasi Panas yang dilepaskan 10. selama reduksi 11. Panas yang dilepaskan selama oksidasi katalis Sintering dan Sintering dan peracunan peracunan H 2 S Fe 3O 4 + H 2 3FeO + H 2O CuO + H 2 Cu + H 2O DH = -63,8 kj/mol DH = -80,8 kj/mol 2Fe 3O 4 + 1/2O 2 3Fe 2O 3 Cu + 1/2O 2 CuO DH = -464,6 kj/kg DH = -647 kj/kg II.2 Katalis HTSC Katalis yang digunakan untuk proses HTSC diperkenalkan pertama kali oleh Bosch dan Wild pada tahun Kemudian katalis ini mulai digunakan dalam proses industri amonia pada tahun 1915 (Twigg, 1989). Katalis HTSC ini tidak banyak mengalami perubahan dari saat itu. Katalis HTSC yang umumnya digunakan secara komersial berbahan baku Fe 2 O 3 dan Cr 2 O 3. xxvi II-4

5 II.2.1 Katalis HTSC berbasis Fe/Cr Katalis HTSC berbasis Fe/Cr ini memiliki stabilitas termal yang tinggi, tahan terhadap sintering dan peracunan oleh sulfur, serta umur yang lebih panjang (Liu, 2005; Chinchen, 1984). Karena kelebihan yang dimilikinya, maka katalis ini banyak digunakan di industri hingga sekarang. Bahan pembuatan katalis yang berbasis besi dipilih karena murah, banyak tersedia, dan lebih stabil sehingga dapat digunakan pada temperatur tinggi (O Brien, 2006). Selain itu besi dalam bentuk magnetit (Fe 3 O 4 ) memiliki aktivitas lebih tinggi pada reaksi yang menggunakan temperatur tinggi (Twigg, 1989). Penambahan kromium (Cr 2 O 3 ) bertujuan untuk meningkatkan aktivitas katalitik dan stabilitas termal (O Brien, 2006). Selain itu Cr 2 O 3 berperan sebagai promotor struktural (Liu, 2005) untuk meminimumkan sintering (Satterfield, 1991). Beberapa peneliti melakukan pembuatan katalis berbasis Fe/Cr dengan menggunakan cara pembuatan, dan komposisi Fe/Cr yang berbeda beda. Ringkasan hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini. Jennings dkk telah mengembangkan katalis HTSC berbasis Fe/Cr. Katalis ini dibuat dengan menggunakan metode kopresipitasi garam nitrat yang terdiri dari Fe(NO 3 ) 3.9H 2 O dan Cr(NO 3 ) 3.9H 2 O dengan garam karbonat yaitu Na 2 CO 3 pada temperatur 60 o C dan ph yang mendekati netral (ph = 7-8,5). Suspensi yang dihasilkan selanjutnya disaring dan dicuci. Presipitat yang dihasilkan dikeringkan dan direduksi dengan menggunakan campuran kukus dan hidrogen pada temperatur 300 o C sebelum digunakan untuk reaksi. Katalis ini memiliki luas permukaan spesifik m 2 /g, Loss on Igniton (LOI) pada 900 o C adalah % w/w, radius pori rata rata unit Angstrom, komposisi Fe 2 O 3, Cr 2 O 3 yang digunakan adalah 85,7 % dan 7,71 %. Katalis yang dihasilkan selanjutnya dihaluskan, dicampur dengan 3 % grafit, dan dibentuk menjadi butiran pellet. Aktifitas yang dihasilkan sama dengan katalis komersial. Schneider dkk membuat katalis HTSC berbasis Fe/Cr dengan menggunakan komposisi Fe 2 O 3 yaitu %, dan 7-11 % komposisi Cr 2 O 3. Katalis ini dibuat dengan menggunakan metode kopresipitasi larutan garam sulfat yaitu FeSO 4.7H 2 O dan Na 2 Cr 2 O 7.H 2 O. Selanjutnya ditambahkan Mg(OH) 2 ke dalam campuran tersebut pada temperatur o C. Presipitat yang terbentuk xxvii II-5

6 kemudian disaring dan dikeringkan pada temperatur 220 o C selama 15 jam. Presipitat yang telah kering selanjutnya dikalsinasi pada temperatur 480 o C selama 1 jam dan dibentuk menjadi tablet silinder. Katalis ini memiliki luas permukaan 78 m 2 /g dan menghasilkan konversi CO yaitu 70,1 %. Selain keunggulan yang dimiliki, katalis Fe/Cr ini juga memiliki kelemahan. Pada perbandingan kukus/gas umpan (S/G) yang rendah, kromium oksida (Cr 2 O 3 ) yang digunakan berperan sebagai katalis pada reaksi pembentukan hidrokarbon (CH 4 ) dan senyawa beroksigen (CH 3 OH) menurut reaksi berikut ini. CO 2 + 4H 2 CH 4 + 2H 2O H = -164,9 kj/mol (2.4) CO 2 + 3H 2 Û CH 3OH + H 2O H = -49,47 kj/mol (2.5) Reaksi reaksi tersebut mengkonsumsi H 2 dan menyebabkan H 2 yang dihasilkan semakin sedikit (Hu, 1999). Untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki oleh katalis Fe/Cr ini, di industri digunakan rasio kukus terhadap gas umpan (S/G) = 0,6. Selain itu kelemahan kromium adalah memiliki tingkat racun yang tinggi (IPCS, 1988). Dengan melihat kelemahan kelemahan yang dimiliki oleh katalis Fe/Cr, beberapa peneliti melakukan upaya pengembangan katalis dengan menambahkan oksida lain, seperti : Fe-Ce-Cr-O atau mengganti Cr 2 O 3 dengan oksida lain, seperti : V 2 O 5. Ringkasan hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada uraian di bawah ini. II.2.2 Katalis HTSC berbasis Fe/Vanadium Maria do Carmo Rangel dkk telah mengembangkan katalis berbasis Fe vanadium. Katalis ini dibuat dengan cara kopresipitasi garam amonium metavanadat (NH 4 VO 3 ) dengan Fe nitrat [Fe{NO 3 } 3 ] pada ph = 10. Presipitat yang dihasilkan kemudian disaring, dicuci dengan 5 % amonium asetat (NH 4 C 2 H 3 O 2 ) dan disaring kembali. Pengeringan dilakukan pada temperatur 393 K. Presipitat yang telah dikeringkan selanjutnya dikalsinasi pada temperatur 673 K selama 2 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa katalis yang menghasilkan aktivitas, stabilitas, dan selektivitas yang tinggi adalah katalis xxviii II-6

7 dengan perbandingan vanadium dan besi (V/Fe) = 0,1. Katalis ini memiliki luas permukaan 0,28 m 2 /g, aktivitas katalitik 26,4 x 10 7 mol gas umpan/g s, dan selektivitas CO 2 30 % pada S/G = 0,2. Penambahan vanadium menyebabkan katalis yang dihasilkan memiliki luas permukaan spesifik yang besar, lebih tahan terhadap sintering, dan memiliki aktivitas serta selektivitas yang tinggi (Rangel, 2004). Selain itu penambahan vanadium akan menyebabkan katalis cenderung lebih stabil dibandingkan dengan penggunaan besi dan kesulitan untuk mereduksi katalis dapat diperkecil, sehingga efisiensi energi dapat tercapai. Kelemahan vanadium adalah memiliki tingkat racun yang tinggi di air 0,67 ± 0,32 µg/liter (IPCS, 1988), harganya yang relatif lebih mahal (Resse, 1999), dan lebih mudah teroksidasi (Satterfield, 1991). II.2.3 Katalis HTSC berbasis Fe-Ce-Cr-O Yanping Hu dkk mengembangkan katalis berbasis Fe-Ce-Cr-O. Katalis ini dibuat dengan cara kopresipitasi garam sulfat yang terdiri dari ferri sulfat [Fe 2 {SO 4 } 3 ], kromium sulfat [Cr 2 {SO 4 } 3 ], dan cerium sulfat [Ce 2 {SO 4 } 3 ] yang direaksikan dengan NH 4 OH dan dipanaskan pada temperatur 333 K. Proses presipitasi dilangsungkan pada temperatur ruang selama 2 jam, kemudian dicuci dengan air hingga SO 2-4 tidak ditemukan. Presipitat disaring dan ditambahkan potassium hidroksida (KOH). Pengeringan dilakukan pada temperatur 383 K. Sampel yang telah dikeringkan selanjutnya dikalsinasi pada temperatur 673 K selama 4 jam. Katalis ini memiliki aktivitas, selektivitas dan stabilitas yang tinggi (Hu,1999). Penggunaan Fe-Ce-Cr-O sebagai katalis HTSC dapat dipertimbangkan karena katalis ini dapat mengatasi kelemahan katalis Fe/Cr yaitu pada rasio kukus terhadap gas umpan (S/G) yang rendah akan menyebabkan terjadinya reaksi pembentukan hidrokarbon dan senyawa beroksigen yang mengkonsumsi H 2. Akan tetapi katalis HTSC berbasis Fe-Ce-Cr-O ini belum teruji sebagai katalis komersial dan baru digunakan pada skala laboratorium. xxix II-7

8 II.3 Pembuatan Katalis Metode yang umum digunakan pada pembuatan katalis yaitu presipitasi dan impregnasi. II.3.1 Metode Impregnasi Impregnasi merupakan metode pembuatan katalis yang paling sederhana. Impregnasi dilakukan dengan mengkontakkan support yang poros dengan larutan yang terdiri dari satu atau lebih garam logam yang memiliki konsentrasi tertentu (Satterfield, 1991). Support pada proses ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas katalis yang dihasilkan. Tahapan proses metode impregnasi dapat dilihat pada diagram alir berikut ini. Garam logam Support Impregnasi Pengeringan Kalsinasi Katalis oksida Gambar II.2 Diagram alir metode impregnasi xxx II-8

9 II Tahapan Proses Metode Impregnasi Proses impregnasi diawali dengan memilih support yang akan digunakan. Beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar pada pemilihan support yang akan digunakan adalah sebagai berikut : 1. bersifat inert dan tidak menghasilkan reaksi lain; 2. memiliki sifat sifat mekanik, termasuk ketahanan secara fisik; 3. stabil; 4. memiliki luas permukaan yang besar; 5. poros dan 6. harganya murah (Satterfield, 1991). Selanjutnya support dikeringkan terlebih dahulu untuk menghilangkan kelembaban dan impuritis yang ada. Support ditetesi garam logam, diaduk, dan dibiarkan selama 30 menit agar distribusi garam logam menjadi merata. Selanjutnya support yang telah ditetesi garam logam dikeringkan untuk menghilangkan sisa sisa air. Proses kalsinasi dilakukan untuk mendekomposisi garam logam menjadi oksida. Selain itu kalsinasi juga bertujan untuk meningkatkan stabilitas katalis terhadap perubahan temperatur. II Keunggulan dan Kelemahan Keunggulan metode impregnasi adalah jumlah reaktan yang digunakan lebih kecil daripada jumlah reaktan yang digunakan pada metode presipitasi. Selain itu metode impregnasi tidak memerlukan banyak peralatan karena tidak memerlukan penyaringan dan pencucian. Ukuran dan bentuk katalis yang dihasilkan melalui metode impregnasi sama dengan ukuran dan bentuk support yang digunakan. Selain keunggulan yang dimiliki, metode ini memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah garam logam menjadi mudah runtuh karena tidak menyatu dengan support (Twigg, 1989). Selain itu pada metode impregnasi, penentuan konsentrasi garam logam yang akan digunakan untuk membentuk lapisan monolayer sangat sulit dilakukan (Makertiharta, 2007). xxxi II-9

10 II.3.2 Metode Presipitasi Presipitasi merupakan metode yang paling umum digunakan pada proses pembuatan katalis. Tujuan presipitasi adalah untuk mengendapkan campuran garam logam dengan precipitating agent yang dapat berupa amonium hidroksida atau natrium karbonat. Bagian terpenting pada proses presipitasi adalah pemilihan campuran awal yang akan digunakan. Pertimbangan pertimbangan yang dijadikan sebagai dasar pada pemilihan campuran awal yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. tinggi rendahnya kelarutan; 2. murah; 3. tidak bersifat korosif; 4. tidak menyebabkan sintering dan 5. tidak menimbulkan polusi air dan udara. II Tinggi Rendahnya Kelarutan Semakin tinggi kelarutan senyawa dalam air akan menyebabkan konsentrasi senyawa menjadi lebih tinggi. Akibatnya pelarut yang digunakan akan menjadi lebih sedikit sehingga efisiensi energi untuk mengeringkan presipitat dapat tercapai. Contoh garam yang memiliki kelarutan tinggi dalam air adalah nitrat, sulfat, dan klorida. II Murah Penggunaan campuran awal yang mahal akan menyebabkan biaya pembuatan katalis menjadi lebih tinggi. Contoh garam yang berharga mahal adalah format dan oksalat. II Tidak Bersifat Korosif Semakin tinggi sifat korosif garam yang akan digunakan akan menyebabkan proses pembuatan katalis menjadi lebih sulit. Akibatnya biaya proses pembuatan katalis akan semakin tinggi. Selain itu garam yang bersifat korosif akan menghasilkan katalis yang korosif dan menyebabkan kerusakan pada reaktor. Contoh garam yang bersifat korosif adalah klorida, dan halogen lainnya. xxxii II-10

11 II Tidak Menyebabkan Sintering Senyawa yang mengandung sodium dapat menyebabkan sintering pada katalis (Satterfield, 1991). Karena itu penggunaan senyawa yang mengandung sodium sebaiknya dihindari. Akan tetapi jika harus menggunakan senyawa yang mengandung sodium maka sebaiknya pencucian presipitat dilakukan berulang kali untuk meminimalkan sisa sodium. II Tidak Menimbulkan polusi air dan udara Pengendalian terhadap polusi air dan udara merupakan faktor yang penting pada pemilihan campuran awal yang akan digunakan. Contoh garam yang menimbulkan polusi air dan udara adalah logam berat, nitrat, sulfat, dan klorida. Senyawa yang mengandung logam berat dapat menyebabkan polusi di dalam air sedangkan senyawa yang mengandung nitrat dapat menyebabkan polusi di udara dalam bentuk NOx. Berdasarkan kriteria pemilihan tersebut, garam logam nitrat lebih disukai karena memiliki kelarutan yang tinggi dalam air dan murah. Akan tetapi penggunaan garam logam nitrat memerlukan pengendalian terhadap pembentukan NOx yang bersifat racun bagi lingkungan (Satterfield, 1991). Pada katalis multikomponen, proses presipitasi dikenal sebagai kopresipitasi. Pada proses ini campuran yang terdiri dari dua atau lebih garam logam diendapkan dengan menggunakan precipitating agent. Tahapan proses metode presipitasi dapat dilihat pada diagram alir berikut ini. xxxiii II-11

12 Garam logam Precipitating agent Presipitasi Penyaringan Apakah air hasil penyaringan telah memiliki ph = 7? belum Pencucian sudah Pengeringan Kalsinasi Katalis oksida Gambar II.3 Diagram alir metode presipitasi II.3.3 Tahapan Proses Metode Presipitasi Pada awal proses presipitasi dilakukan pencampuran garam logam dan precipitating agent. Endapan yang terbentuk dari proses presipitasi selanjutnya disaring dan dicuci. Kemudian dilakukan pemeriksaan ph. Apabila ph pencucian = 7, maka proses penyaringan dan pencucian dihentikan. Setelah dikeringkan untuk menghilangkan sisa sisa air, endapan dikalsinasi untuk mendekomposisi senyawa hidroksida menjadi oksida dan meningkatkan ketahanan katalis terhadap perubahan temperatur. xxxiv II-12

13 II Faktor Faktor yang Berpengaruh terhadap Metode Presipitasi Faktor faktor yang berpengaruh terhadap proses presipitasi adalah sebagai berikut : 1. Temperatur presipitasi 2. ph 3. Pengadukan 4. Aging II Temperatur Presipitasi Tujuan pemanasan pada proses presipitasi adalah untuk meningkatkan kelarutan dan laju presipitasi (Vogel, 1989). Semakin tinggi temperatur pemanasan maka kelarutan akan semakin tinggi. Temperatur pemanasan yang tinggi juga akan menyebabkan laju presipitasi menjadi lebih tinggi. II ph Tujuan pengendalian ph pada proses presipitasi adalah untuk menghindari terjadinya perubahan ph menjadi asam atau basa yang akan mempengaruhi ukuran presipitat yang dihasilkan. Kebanyakan presipitat menjadi larut pada kondisi terlalu asam atau terlalu basa sehingga akan hilang saat pencucian. Akibatnya tidak ada kandungan komponen yang hilang pada katalis yang dihasilkan. Secara umum, ph yang paling baik digunakan pada proses presipitasi adalah kondisi ph netral (ph = 7) (Twigg, 1989). II Pengadukan Tujuan pengadukan adalah untuk mendapatkan campuran yang homogen sehingga campuran dapat terdistribusi secara merata. Pada kasus pembuatan katalis HTSC berbasis Fe/Cr yang menggunakan Na 2 CO 3 sebagai precipitating agent, pengadukan secara perlahan diperlukan untuk melepaskan CO 2 yang terlarut (Jennings, 1984). xxxv II-13

14 II Aging Tujuan proses aging adalah untuk meningkatkan ukuran kristal presipitat yang dihasilkan. Pada proses aging, endapan dibiarkan terendam dalam larutan induk selama waktu tertentu untuk mengendapkan dan menggumpalkan sehingga menghasilkan presipitat dengan ukuran kristal yang lebih besar (Harijadi, 1993). II Keunggulan dan Kelemahan Keunggulan metode presipitasi adalah distribusi fasa aktif yang seragam pada partikel katalis, pencampuran yang seragam pada skala molekular, dan bentuk serta ukuran yang tidak terbatas (tidak berdasarkan bentuk support) (Satterfield, 1991). Akan tetapi metode ini memiliki kelemahan, diantaranya adalah presipitat yang dihasilkan biasanya berfasa amorf dan lebih mahal karena menggunakan precipitating agent dalam jumlah yang lebih besar. II.4 Karakterisasi Katalis Sifat sifat katalis yang harus diperhatikan pada saat melakukan karakterisasi katalis adalah sifat bulk, partikel, dan permukaan katalis. Sifat sifat katalis secara lebih jelas diuraikan pada tabel II.2 dan II.3 berikut ini. xxxvi II-14

15 Tabel II.2 Sifat sifat katalis (Richardson, 1989) Sifat Katalis Kegunaan Metode yang digunakan Sifat bulk - Komposisi Mengetahui kemurnian komponen yang ditambahkan pada proses pembuatan dan deposisi kontaminasi selama digunakan Mengetahui variasi komponen Metode Spektroskopi - Metode XRD - Struktur fasa dalam katalis berdasarkan - Metode analisis termal strukturnya dan differensial (DTA) mengidentifikasi struktur bahan kristal Sifat partikel - Densitas - Ukuran partikel - Sifat mekanik - Luas permukaan Mengukur densitas partikel katalis Menentukan ukuran partikel katalis Menentukan ketahanan terhadap stress (Stress resistance) pada partikel katalis selama pembuatan dan penggunaan Menentukan luas permukaan katalis - Densitas teoritik - Densitas stuktur - Densitas partikel - Densitas packing Analisa ukuran partikel secara elektronik - Crushing strength - Loss On Attrition - Loss On Ignition Metode BET xxxvii II-15

16 Tabel II.3 Sambungan sifat sifat katalis (Richardson, 1989) Sifat Katalis Kegunaan Metode yang digunakan Sifat partikel - Distribusi ukuran Menentukan distribusi ukuran - Porosimeter pori pori - Adsorpsi nitrogen - Difusivitas Menentukan difusivitas - Metode Wicke-Kallenback - Metode Kromatografi Sifat permukaan - Morfologi Menganalisis bentuk dan - Metode SEM ukuran partikel katalis - Metode TEM - Struktur Identifikasi struktur fasa - Metode XRD - Metode EXAFS - Metode AES - Metode XPS - Metode UPS - Metode SEM permukaan - Metode TEM - Metode XRD - Metode XPS - Metode UPS - Metode AES - Dispersi Menentukan dispersi katalis -Chemisorption isotherm - Titrasi reaksi - Titrasi racun Menentukan jenis asam, - Titrasi non aqua - Keasaman tingkat keasaman, dan - Base Chemisorption distribusi asam Berdasarkan keseluruhan sifat sifat katalis yang harus diperhatikan untuk mengkarakterisasi katalis, hanya analisa luas permukaan dan analisa struktur bahan kristal yang dapat dilakukan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan alat dan biaya yang ada. xxxviii II-16

17 II.4.1 Difraktometer Sinar X (XRD) Difraktometer sinar x digunakan untuk menganalisa struktur bahan kristal katalis. Urutan kerja analisa ini dimulai dengan mendapatkan pola XRD katalis HTSC ITB. Selanjutnya pola XRD yang dihasilkan dibandingkan dengan pola referensi. Beberapa peneliti yang melakukan analisa struktur bahan kristal dengan menggunakan metode XRD dapat dilihat pada uraian berikut ini. Suoyuan Lian dkk mensintesis magnetit (Fe 3 O 4 ) melalui proses hidrolisis FeCl 3 dan FeSO 4 yang mengandung urea pada temperatur o C selama 12 jam. Sintesis magnetit ini dilakukan dengan menggunakan dua metode pembuatan, yaitu metode refluks dan hidrotermal. Pada kondisi refluks, dilakukan proses aging. Pada kondisi hidrotermal, magnetit disintesis hingga diperoleh Fe 2 O 3 yang porous. Hasil analisa XRD menunjukkan bahwa magnetit (Fe 3 O 4 ) nanorod memiliki sistem kristal kubik. Difraktogram yang terbentuk dari analisa XRD dapat dilihat pada gambar II.4 berikut ini. Gambar II.4 Hasil analisa XRD magnetit (Fe 3 O 4 ) nanorod dan hematit (Fe 2 O 3 ) nanorod Keterangan gambar II.4 : a = Pola XRD untuk kandungan Fe 3 O 4 /Fe 2 O 3 /FeCO 3 /FeOOH b = Pola XRD hematit (Fe 2 O 3 ) murni xxxix II-17

18 berikut ini. Pola standar XRD magnetit (Fe 3 O 4 ) murni dapat dilihat pada gambar II.5 Gambar II.5 Pola standar XRD magnetit (Fe 3 O 4 ) murni Mathias Jarlbring dkk mengkarakterisasi hematit yang dibuat dengan mencampurkan 200 ml larutan Fe(NO 3 ) 3 ke dalam 2500 ml air. Hasil analisa hematit sintetik tersebut dapat dilihat pada gambar II.6 berikut ini. Gambar II.6 Difraktogram XRD hematit (Fe 2 O 3 ) sintetik II.4.2 Metode Brunauer Emmet-Teller (BET) Metode Brunaeur-Emmet-Teller (BET) banyak dipergunakan sebagai metode analisa luas permukaan. Penelitian penelitian yang menggunakan metode BET untuk menganalisa luas permukaan dapat diuraikan sebagai berikut. Burton H. Davis memperoleh Fe 2 O 3 murni dengan menggunakan metode kopresipitasi dan temperatur kalsinasi 350 o C. Hematit yang dihasilkan memiliki luas permukaan 100 m 2 /g. Untuk proses pembuatan dengan menggunakan xl II-18

19 temperatur kalsinasi 400 o C, dihasilkan Fe 2 O 3 murni yang memiliki luas permukaan 53 m 2 /g. Yanping Hu dkk membuat katalis berbasis Fe/Ce yang memiliki luas permukaan 36,6 m 2 /g dengan metode kopresipitasi. Dengan metode pembuatan yang sama, Fiato dkk menghasilkan katalis berbasis Fe/Co yang memiliki luas permukaan 3 m 2 /g. Ward dkk membuat katalis berbasis Fe/Cr yang memiliki luas permukaan 5 m 2 /g dengan menggunakan metode kopresipitasi sedangkan katalis berbasis Fe/Cr yang dihasilkan oleh Jennings dengan metode yang sama memiliki luas permukaan yang jauh lebih besar yaitu m 2 /g. Apane Leungnaruemitchai dkk menghasilkan katalis yang berbasis Fe/Au dengan metode kopresipitasi dan deposisi presipitasi. Katalis Fe/Au yang dihasilkan dengan metode kopresipitasi memiliki luas permukaan 345 m 2 /g sedangkan katalis Fe/Au yang dihasilkan dengan metode deposisi presipitasi memiliki luas permukaan 79,5 m 2 /g. II.5 Aktivasi Katalis Proses aktivasi bertujuan untuk mengaktifkan katalis sebelum digunakan. Aktivasi katalis HTSC dilakukan dengan mereduksi oksida besi haematit (Fe 2 O 3 ) menjadi fasa aktif HTSC yaitu magnetit (Fe 3 O 4 ) dengan gas yang mengandung H 2. Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada persamaan 2.6 berikut ini. 3Fe 2 O 3 + H 2 à 2Fe 3 O 4 + H 2 O H = -16,3 kj mol-1...(2.6) Faktor - faktor yang harus diperhatikan saat melakukan aktivasi katalis adalah temperatur, waktu aktivasi, kemurnian dan konsentrasi gas hidrogen. Temperatur aktivasi sangat berpengaruh terhadap fasa aktif katalis yang dihasilkan. Aktivasi katalis HTSC dilakukan pada temperatur 400 o C selama 4-8 jam (Twigg, 1989). xli II-19

20 Penggunaan temperatur aktivasi di atas 400 o C akan menyebabkan magnetit (Fe 3 O 4 ) menjadi tidak stabil dan mengalami perubahan fasa menjadi besi metalik (Fe) mengikuti persamaan berikut ini. Fe 3 O 4 + 4H 2 à 3Fe + 4H 2 O H = -149,4 kj mol -1...(2.7) Besi metalik (Fe) ini akan mengkatalisis pembentukan metan, dan bersama sama dengan hidrokarbon lainnya akan menyebabkan terjadi penguraian CO menjadi karbon dengan reaksi sebagai berikut. CO + 3H 2 à CH 4 + H 2 O H = -206,2 kj mol -1...(2.8) 2CO à C + CO 2 H = -172,5 kj mol -1...(2.9) Pembentukan karbon pada permukaan katalis berupa benang benang (filamen) yang keluar dari permukaan logam. Lama kelamaan, struktur karbon yang berupa filamen akan memadat dan menutupi pori katalis (Satterfield, 1991). Selain menyebabkan perubahan fasa, penggunaan temperatur aktivasi di atas 400 o C akan menyebabkan terjadinya sintering. Akan tetapi penggunaan temperatur aktivasi di bawah 400 o C akan menyebabkan proses reduksi katalis menjadi tidak sempurna. Waktu aktivasi juga memiliki peranan penting untuk mencapai kesempurnaan proses aktivasi. Waktu aktivasi yang terlalu lama akan menyebabkan terjadinya sintering dan waktu aktivasi yang terlalu cepat akan menyebabkan katalis belum tereduksi secara keseluruhan. Konsentrasi gas hidrogen yang digunakan sebagai reducing agent memiliki peranan yang tak kalah penting dalam proses aktivasi. Semakin tinggi konsentrasi hidrogen yang digunakan maka konsentrasi produk air yang terbentuk menjadi lebih tinggi (Twigg, 1989). Konsentrasi produk air yang tinggi akan menyebabkan sintering pada oksida dan membentuk permukaan hidroksil yang menyebabkan laju reduksi menjadi lebih rendah (Satterfield, 1991). Umumnya konsentrasi gas hidrogen yang digunakan di industri adalah 4 %. xlii II-20

21 II.6 Pengoperasian Menurut Twigg (1989), pengoperasian katalis HTSC dilakukan pada temperatur o C dengan tekanan 3 MPa. Faktor faktor yang harus diperhatikan pada proses pengoperasian katalis HTSC ini adalah temperatur operasi, rasio kukus terhadap gas umpan, komposisi gas umpan, dan tekanan operasi. Penggunaan temperatur operasi yang tinggi akan menaikkan laju reaksi. Akan tetapi dapat menyebabkan terjadinya sintering bila temperatur operasi yang digunakan lebih besar dari rentang temperatur ( o C). Sebaliknya, bila temperatur operasi yang digunakan lebih rendah dari rentang temperatur ( o C) maka konversi yang dihasilkan menjadi terlalu rendah. Rasio kukus terhadap gas umpan turut mempengaruhi reaksi pergeseran CO menjadi CO 2 dan H 2. Rasio kukus terhadap gas umpan yang digunakan harus tinggi untuk mencegah terjadinya reaksi pembentukan hidrokarbon (CH 4 ) dan senyawa beroksigen (CH 3 OH). Hal ini disebabkan karena Cr 2 O 3 merupakan katalis pembentukan kedua reaksi tersebut pada S/G yang rendah. Selain itu rasio kukus terhadap gas umpan yang rendah akan menyebabkan magnetit (Fe 3 O 4 ) akan tereduksi menjadi besi metalik (Fe). Rasio kukus terhadap gas umpan yang lazim digunakan di industri adalah 0,6. Komposisi gas umpan yang digunakan juga akan mempengaruhi konsumsi kukus, jumlah unggun katalis, dan temperatur operasi yang digunakan. Umumnya komposisi gas umpan HTSC di industri adalah 54 % CO, 12 % CO 2, dan 32 % H 2. Tekanan operasi akan berpengaruh terhadap ukuran reaktor yang digunakan. Semakin tinggi tekanan total maka tekanan parsial menjadi lebih besar. Tekanan parsial yang besar akan menyebabkan laju reaksi menjadi lebih besar. Akibatnya ukuran reaktor yang digunakan menjadi lebih kecil. Faktor faktor yang mempengaruhi reaksi pergeseran CO menjadi CO 2 dan H 2 penting diketahui pada proses pengoperasian di pabrik dan uji aktivitas di laboratorium. Beberapa peneliti melakukan uji aktivitas katalis dengan metode yang berbeda beda. Ringkasan uji aktivitas untuk masing masing penelitian tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini. Jenning et al melakukan proses reduksi katalis HTSC berbasis Fe/Cr dengan menggunakan campuran kukus dan hidrogen sebagai pereduksi pada xliii II-21

22 temperatur o C dalam reaktor fixed bed. Selanjutnya reaksi pergeseran dilakukan pada temperatur o C dan menghasilkan aktivitas katalis yang sama dengan katalis komersial HTSC. Maria do Carmo Rangel dkk melakukan proses reduksi katalis berbasis Fe/vanadium sebanyak 0,35 gr dengan menggunakan campuran 5 % H 2 dan N 2 pada temperatur o C. Uji aktivitas katalis dilakukan pada kondisi isotermal 370 o C pada tekanan atmosfer dalam mikroreaktor fixed bed yang terdiri dari tabung stainless steel. Gas umpan terdiri dari 10 % CO, 10 % CO 2, 60 % H 2, dan 20 % N 2 dengan perbandingan S/G = 0,6 dan S/G = 0,2. Perbandingan S/G = 0,6 digunakan sebagai pendekatan terhadap kondisi proses dalam industri sedangkan S/G = 0,2 digunakan untuk meminimalkan konsumsi kukus. Gas keluaran selanjutnya dianalisa secara online pada Gas Chromatography (GC). Kolom yang digunakan adalah kolom sieve 13X dengan temperatur 30 o C. Gas carrier yang digunakan adalah gas hidrogen dengan laju alir 30 ml/menit. Katalis HTSC berbasis Fe/vanadium yang diuji adalah katalis dengan perbandingan V/Fe = 0,03 dan V/Fe = 0,1. Hasil uji aktivitas menunjukkan bahwa katalis yang memiliki aktivitas katalitik yang paling baik pada S/G = 0,6 adalah katalis dengan perbandingan V/Fe = 0,03. Katalis ini memiliki aktivitas katalitik = 17,2 x 10-7 mol/g s. Katalis HTSC berbasis Fe/vanadium yang memiliki aktivitas paling baik dengan perbandingan S/G = 0,2 adalah katalis dengan perbandingan V/Fe = 0,1. Katalis ini memiliki aktivitas katalitik = 26 x 10-7 mol/g s. Selanjutnya aktivitas katalitik katalis dengan perbandingan V/Fe = 0,03 dibandingkan terhadap aktivitas katalitik katalis HTSC komersial berbasis Fe/Cr. Hasil perbandingan menunjukkan bahwa katalis yang memiliki aktivitas katalitik paling baik dengan perbandingan S/G = 0,6 adalah katalis HTSC berbasis Fe/vanadium dengan perbandingan V/Fe = 0,03. Katalis ini memiliki aktivitas katalitik yang lebih baik dari aktivitas katalitik katalis komersial berbasis Fe/Cr (6,9 x 10-7 mol/g s). Yanping Hu dkk melakukan proses reduksi katalis HTSC berbasis Fe/Ce dalam reaktor turbular berjenis U-shape-quartz. Katalis sebanyak 0,5 gr xliv II-22

23 selanjutnya direduksi menggunakan campuran kukus dan 50 % hidrogen dengan laju alir 25 ml/menit pada temperatur o C. Setelah proses reduksi selesai, dilakukan purging dengan menggunakan gas nitrogen untuk menghilangkan sisa sisa kukus dan hidrogen. Selanjutnya reaksi pergeseran CO menjadi CO 2 dan H 2 dilakukan pada temperatur 350 o C. Akan tetapi Yanping Hu tidak melaporkan aktivitas katalis yang dihasilkannya. II.7 Deaktivasi Katalis Deaktivasi adalah proses yang menyebabkan penurunan aktivitas katalis. Penyebab deaktivasi dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu peristiwa mekanik, termal, dan kimia. Ketiganya tidak dapat dipisahkan karena kaitan satu dengan lainnya. Misalnya, termal akan berpengaruh pada sensitivitas katalis terhadap racun dan sintering. Demikian pula sebaliknya, pengaruh termal dapat dikendalikan melalui interaksi kimia dengan reaktan. Termal dan kimia dapat pula menyebabkan terjadinya kerusakan pada mekanik katalis (Richardson, 1989). Penyebab deaktivasi katalis secara umum dapat dilihat pada tabel II.4 berikut ini. Tabel II.4 Penyebab deaktivasi katalis (Richardson, 1989) Jenis Sebab Akibat Mekanik Kerusakan partikel Bed channeling dan plugging Fouling Kehilangan luas permukaan Volatilisasi senyawa Kehilangan senyawa Termal Perubahan fasa Kehilangan luas permukaan Pembentukan senyawa baru Kehilangan senyawa dan luas permukaan Sintering Kehilangan luas permukaan Kimia Peracunan Kehilangan fasa aktif Coking Kehilangan luas permukaan dan plugging xlv II-23

24 Deaktivasi katalis yang terjadi pada katalis HTSC adalah sintering dan kerusakan partikel katalis (Twigg, 1989). Selain itu deaktivasi katalis HTSC juga disebabkan akibat terjadinya fouling, dan peracunan. II.7.1 Sintering Penggunaan temperatur yang tinggi akan menyebabkan terjadinya sintering. Akibat sintering, luas permukaan katalis menjadi lebih rendah. II.7.2 Kerusakan partikel katalis Kerusakan partikel katalis HTSC disebabkan karena terjadinya kenaikan pressure drop. Akibatnya umur katalis menjadi lebih pendek (Twigg, 1989). II.7.3 Fouling Fouling adalah pengotoran katalis yang disebabkan oleh deposisi debu, karat, dan produk korosi lainnya pada partikel katalis (Richardson, 1989). Pada katalis HTSC, fouling terjadi karena kotoran yang terbawa aliran gas proses yang keluar dari secondary reformer. II.7.4 Peracunan Katalis HTSC pada pabrik amonia modern tidak memiliki masalah peracunan oleh adanya sulfur. Hidrogen sulfida (H 2 S) yang ada pada aliran gas proses dalam jumlah besar tidak mempengaruhi aktivitas katalis HTSC secara permanen. Hal ini disebabkan karena reaksi pembentukan FeS adalah reaksi reversibel (Twigg, 1989). Fe3 O 4 + 3H 2S + H 2 Û 3FeS + 4H 2O G = -89,79 kj/mol...(2.10) Pada saat konsentrasi H 2 S tinggi, reaksi bergeser ke kanan sehingga H 2 S akan meracuni katalis HTSC dan membentuk FeS, sedangkan pada saat konsentrasi H 2 S kembali rendah, reaksi akan bergeser ke kiri dan menyebabkan katalis kembali aktif. xlvi II-24

25 Pada pabrik amonia modern, katalis LTSC-lah yang lebih rentan terhadap peracunan sulfur (Satterfield, 1991). Hal ini dapat dilihat pada reaksi berikut ini. 2Cu + H + G = -52,46 kj/mol.(2.11) 2S Cu 2S H 2 ZnO + H 2 S ZnS + H 2O G = -61,16 kj/mol.(2.12) Reaksi ini irreversibel, sehingga konsentrasi sulfur yang rendah juga akan menyebabkan pembentukan Cu 2 S dan ZnS secara permanen. Selain peracunan secara tidak permanen oleh adanya sulfur dalam gas proses, katalis HTSC juga mengalami peracunan lain yang bersifat permanen oleh adanya unsur halida. Kehadiran halida dalam proses disebabkan oleh penggunaan pelarut klorida pada saat pembersihan reaktor. Unsur lainnya yang dapat menyebabkan deaktivasi katalis secara permanen adalah komponen arsen yang terdapat pada unit penyingkiran karbon dioksida melalui kompresi udara atau sistem nitrogen. Komponen lain yang menyebabkan deaktivasi katalis secara permanen adalah posfor dan silika. Komponen ini dapat menyebabkan terjadinya fouling dan kegagalan pada sistem boiler. xlvii II-25

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Karakteristik katalis Pembuatan katalis HTSC ITB didasarkan pada prosedur menurut dokumen paten Jennings 1984 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III.1 Pembuatan Katalis HTSC Proses pembuatan katalis HTSC menggunakan metoda kopresipitasi. Katalis yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi dan diuji aktivitasnya. III.1.1

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Sebelum dilakukan sintesis katalis Cu/ZrSiO 4, serbuk zirkon (ZrSiO 4, 98%) yang didapat dari Program Studi Metalurgi ITB dicuci terlebih dahulu menggunakan larutan asam nitrat 1,0

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN UJI AKTIVITAS KATALIS Fe OKSIDA UNTUK REAKSI HTSC TESIS. FITRI RUMIANI NIM : Program Studi Teknik Kimia

PEMBUATAN DAN UJI AKTIVITAS KATALIS Fe OKSIDA UNTUK REAKSI HTSC TESIS. FITRI RUMIANI NIM : Program Studi Teknik Kimia PEMBUATAN DAN UJI AKTIVITAS KATALIS Fe OKSIDA UNTUK REAKSI HTSC TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister Institut Teknologi Bandung Oleh FITRI RUMIANI NIM : 23004001

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sintesa Katalis Dalam penelitian ini, katalis disintesis menggunakan metode impregnasi kering. Metode ini dipilih karena metode impregnasi merupakan metode sintesis yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sejak ditemukan oleh ilmuwan berkebangsaan Jerman Christian Friedrich

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sejak ditemukan oleh ilmuwan berkebangsaan Jerman Christian Friedrich BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sel Bahan Bakar (Fuel Cell) Sejak ditemukan oleh ilmuwan berkebangsaan Jerman Christian Friedrich Schönbein pada tahun 1838, sel bahan bakar telah berkembang dan menjadi salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perak Nitrat Perak nitrat merupakan senyawa anorganik tidak berwarna, tidak berbau, kristal transparan dengan rumus kimia AgNO 3 dan mudah larut dalam alkohol, aseton dan air.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dihasilkan sebanyak 5 gram. Perbandingan ini dipilih karena peneliti ingin

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dihasilkan sebanyak 5 gram. Perbandingan ini dipilih karena peneliti ingin BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sintesis Katalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 Katalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 disintesis dengan metode kopresipitasi dengan rasio fasa aktif Cu, promotor ZnO, penyangga dan Al 2 O 3 yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram alir penelitian Penelitian ini diawali dengan pembentukan komposit magnetit pada silika melalui tahapan sintesis magnetit dengan metode ko-presipitasi, dan

Lebih terperinci

3 Percobaan. Peralatan yang digunakan untuk sintesis, karakterisasi, dan uji aktivitas katalis beserta spesifikasinya ditampilkan pada Tabel 3.1.

3 Percobaan. Peralatan yang digunakan untuk sintesis, karakterisasi, dan uji aktivitas katalis beserta spesifikasinya ditampilkan pada Tabel 3.1. 3 Percobaan 3.1 Peralatan Peralatan yang digunakan untuk sintesis, karakterisasi, dan uji aktivitas katalis beserta spesifikasinya ditampilkan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Daftar peralatan untuk sintesis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian Katalis umumnya diartikan sebagai bahan yang dapat mempercepat suatu reaksi kimia menjadi produk. Hal ini perlu diketahui karena, pada dasarnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN 4.1 Sintesis Padatan ZnO dan CuO/ZnO Pada penelitian ini telah disintesis padatan ZnO dan padatan ZnO yang di-doped dengan logam Cu. Doping dengan logam Cu diharapkan mampu

Lebih terperinci

Secara umum tahapan-tahapan proses pembuatan Amoniak dapat diuraikan sebagai berikut :

Secara umum tahapan-tahapan proses pembuatan Amoniak dapat diuraikan sebagai berikut : PROSES PEMBUATAN AMONIAK ( NH3 ) Amoniak diproduksi dengan mereaksikan gas Hydrogen (H 2) dan Nitrogen (N 2) dengan rasio H 2/N 2 = 3 : 1. Disamping dua komponen tersebut campuran juga berisi inlet dan

Lebih terperinci

Laju reaksi meningkat menjadi 2 kali laju reaksi semula pada setiap kenaikan suhu 15 o C. jika pada suhu 30 o C reaksi berlangsung 64 menit, maka

Laju reaksi meningkat menjadi 2 kali laju reaksi semula pada setiap kenaikan suhu 15 o C. jika pada suhu 30 o C reaksi berlangsung 64 menit, maka Laju reaksi meningkat menjadi 2 kali laju reaksi semula pada setiap kenaikan suhu 15 o C. jika pada suhu 30 o C reaksi berlangsung 64 menit, maka waktu reaksi berlangsung pada suhu 90 o C Susu dipasteurisasi

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Persiapan Bahan Baku 4.1.1 Silika Terpresipitasi Abu sawit yang berasal dari pabrik pengolahan sawit, terlebih dahulu dikonversi menjadi silika terpresipitasi dengan cara

Lebih terperinci

KESETIMBANGAN KIMIA SOAL DAN PEMBAHASAN

KESETIMBANGAN KIMIA SOAL DAN PEMBAHASAN KESETIMBANGAN KIMIA SOAL DAN PEMBAHASAN 1. Suatu reaksi dikatakan mencapai kesetimbangan apabila. A. laju reaksi ke kiri sama dengan ke kanan B. jumlah koefisien reaksi ruas kiri sama dengan ruas kanan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Industri amonia merupakan salah satu industri pendukung utama dalam bidang industri dan pertanian. Salah satu tahapan proses pada pembuatan amonia di industri adalah

Lebih terperinci

Kesetimbangan Kimia. Bab 4

Kesetimbangan Kimia. Bab 4 Kesetimbangan Kimia Bab 4 Standar Kompetensi 3. Memahami kinetika reaksi, kesetimbangan kimia, dan faktor-faktor yang memengaruhinya, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dan industri Kompetensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Katalis merupakan suatu zat yang sangat diperlukan dalam kehidupan. Katalis yang digunakan merupakan katalis heterogen. Katalis heterogen merupakan katalis yang dapat digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Magnesium klorida Salah satu kegunaan yang paling penting dari MgCl 2, selain dalam pembuatan logam magnesium, adalah pembuatan semen magnesium oksiklorida, dimana dibuat melalui

Lebih terperinci

(in CATALYST TECHNOLOGY Lecture ) Instructor: Dr. Istadi.

(in CATALYST TECHNOLOGY Lecture ) Instructor: Dr. Istadi. (in CATALYST TECHNOLOGY Lecture ) Instructor: Dr. Istadi (http://tekim.undip.ac.id/staf/istadi id/ ) Email: istadi@undip.ac.id Instructor s t Background BEng. (1995): Universitas Diponegoro Meng. (2000):

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, tujuan dari penelitian dan manfaat yang diharapkan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, tujuan dari penelitian dan manfaat yang diharapkan. BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, tujuan dari penelitian dan manfaat yang diharapkan. 1.1 Latar Belakang Masalah Mineral besi oksida merupakan komponen utama dari

Lebih terperinci

II. LATAR BELAKANG PENGOLAHAN AIR

II. LATAR BELAKANG PENGOLAHAN AIR II. LATAR BELAKANG PENGOLAHAN AIR Air baku yang digunakan umumnya mengandung bermacam-macam senyawa pengotor seperti padatan tersuspensi, padatan terlarut, dan gas-gas. Penggunaan air tersebut secara langsung

Lebih terperinci

Butadiena, HCN Senyawa Ni/ P Adiponitril Nilon( Serat, plastik) α Olefin, senyawa Rh/ P Aldehid Plasticizer, peluas

Butadiena, HCN Senyawa Ni/ P Adiponitril Nilon( Serat, plastik) α Olefin, senyawa Rh/ P Aldehid Plasticizer, peluas Katalis adalah suatu zat yang ditambahkan pada sistem reaksi untuk meningkatkan laju reaksi tanpa ikut berubah secara kimia pada akhir reaksi. Dan menurut Oswald (1902) mendefinisikan katalis sebagai suatu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini akan dibahas tentang sintesis katalis Pt/Zr-MMT dan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini akan dibahas tentang sintesis katalis Pt/Zr-MMT dan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini akan dibahas tentang sintesis katalis Pt/Zr-MMT dan uji aktivitas katalis Pt/Zr-MMT serta aplikasinya sebagai katalis dalam konversi sitronelal menjadi mentol

Lebih terperinci

Hubungan koefisien dalam persamaan reaksi dengan hitungan

Hubungan koefisien dalam persamaan reaksi dengan hitungan STOIKIOMETRI Pengertian Stoikiometri adalah ilmu yang mempelajari dan menghitung hubungan kuantitatif dari reaktan dan produk dalam reaksi kimia (persamaan kimia) Stoikiometri adalah hitungan kimia Hubungan

Lebih terperinci

Sulfur dan Asam Sulfat

Sulfur dan Asam Sulfat Pengumpulan 1 Rabu, 17 September 2014 Sulfur dan Asam Sulfat Disusun untuk memenuhi Tugas Proses Industri Kimia Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Chandrawati Cahyani, M.S. Ayu Diarahmawati (135061101111016)

Lebih terperinci

BAB VI KINETIKA REAKSI KIMIA

BAB VI KINETIKA REAKSI KIMIA BANK SOAL SELEKSI MASUK PERGURUAN TINGGI BIDANG KIMIA 1 BAB VI 1. Padatan NH 4 NO 3 diaduk hingga larut selama 77 detik dalam akuades 100 ml sesuai persamaan reaksi berikut: NH 4 NO 2 (s) + H 2 O (l) NH

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1 Batubara

BAB II TEORI DASAR 2.1 Batubara BAB II TEORI DASAR 2.1 Batubara Batubara merupakan bahan bakar padat organik yang berasal dari batuan sedimen yang terbentuk dari sisa bermacam-macam tumbuhan purba dan menjadi padat disebabkan tertimbun

Lebih terperinci

ANION TIOSULFAT (S 2 O 3

ANION TIOSULFAT (S 2 O 3 ANION TIOSULFAT (S 2 O 3 2- ) Resume Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mata Kuliah Kimia Analitik I Oleh: Dhoni Fadliansyah Wahyu NIM. 109096000004 PROGRAM STUDI KIMIA JURUSAN MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perlakuan Awal dan Karakteristik Abu Batubara Abu batubara yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari 2 jenis, yaitu abu batubara hasil pembakaran di boiler tungku

Lebih terperinci

Pemanfaatan Bentonit Dan Karbon Sebagai Support Katalis NiO-MgO Pada Hidrogenasi Gliserol

Pemanfaatan Bentonit Dan Karbon Sebagai Support Katalis NiO-MgO Pada Hidrogenasi Gliserol Pemanfaatan Bentonit Dan Karbon Sebagai Support Katalis NiO-MgO Pada Hidrogenasi Gliserol Oleh : Ferlyna Sari 2312 105 029 Iqbaal Abdurrokhman 2312 105 035 Pembimbing : Ir. Ignatius Gunardi, M.T NIP 1955

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemakaian batubara sebagai sumber energi telah menjadi salah satu pilihan di Indonesia sejak harga bahan bakar minyak (BBM) berfluktuasi dan cenderung semakin mahal.

Lebih terperinci

1. Isilah Biodata anda dengan lengkap (di lembar Jawaban) Tulis dengan huruf cetak dan jangan disingkat!

1. Isilah Biodata anda dengan lengkap (di lembar Jawaban) Tulis dengan huruf cetak dan jangan disingkat! Petunjuk : 1. Isilah Biodata anda dengan lengkap (di lembar Jawaban) Tulis dengan huruf cetak dan jangan disingkat! 2. Soal Teori ini terdiri dari dua bagian: A. 30 soal pilihan Ganda : 60 poin B. 5 Nomor

Lebih terperinci

kimia KESETIMBANGAN KIMIA 2 Tujuan Pembelajaran

kimia KESETIMBANGAN KIMIA 2 Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 kimia K e l a s XI KESETIMBANGAN KIMIA 2 Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami faktor-faktor yang memengaruhi kesetimbangan.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. analisis komposisi unsur (EDX) dilakukan di. Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong,

III. METODOLOGI PENELITIAN. analisis komposisi unsur (EDX) dilakukan di. Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong, III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biomassa, Lembaga Penelitian Universitas Lampung. permukaan (SEM), dan Analisis difraksi sinar-x (XRD),

Lebih terperinci

II. DESKRIPSI PROSES. Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dapat dihasilkan melalui beberapa

II. DESKRIPSI PROSES. Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dapat dihasilkan melalui beberapa II. DESKRIPSI PROSES A. Macam - Macam Proses Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dapat dihasilkan melalui beberapa proses sebagai berikut: 1. Proses Calcium Chloride-Sodium Carbonate Double Decomposition

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. sol-gel, dan mempelajari aktivitas katalitik Fe 3 O 4 untuk reaksi konversi gas

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. sol-gel, dan mempelajari aktivitas katalitik Fe 3 O 4 untuk reaksi konversi gas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengantar Penelitian ini pada intinya dilakukan dengan dua tujuan utama, yakni mempelajari pembuatan katalis Fe 3 O 4 dari substrat Fe 2 O 3 dengan metode solgel, dan mempelajari

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

Antiremed Kelas 11 Kimia

Antiremed Kelas 11 Kimia Antiremed Kelas 11 Kimia Persiapan UAS 1 Kimia Doc. Name: AR11KIM01UAS Version: 016-08 halaman 1 01. Salah satu teori yang menjadi dasar sehingga tercipta model atom modern (A) Rutherford, Niels Bohr,

Lebih terperinci

STOKIOMETRI BAB. B. Konsep Mol 1. Hubungan Mol dengan Jumlah Partikel. Contoh: Jika Ar Ca = 40, Ar O = 16, Ar H = 1, tentukan Mr Ca(OH) 2!

STOKIOMETRI BAB. B. Konsep Mol 1. Hubungan Mol dengan Jumlah Partikel. Contoh: Jika Ar Ca = 40, Ar O = 16, Ar H = 1, tentukan Mr Ca(OH) 2! BAB 7 STOKIOMETRI A. Massa Molekul Relatif Massa Molekul Relatif (Mr) biasanya dihitung menggunakan data Ar masing-masing atom yang ada dalam molekul tersebut. Mr senyawa = (indeks atom x Ar atom) Contoh:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dimetil Eter Dimetil Eter (DME) adalah senyawa eter yang paling sederhana dengan rumus kimia CH 3 OCH 3. Dikenal juga sebagai methyl ether atau wood ether. Jika DME dioksidasi

Lebih terperinci

II. DESKRIPSI PROSES. Pembuatan kalsium klorida dihidrat dapat dilakukan dengan beberapa macam proses:

II. DESKRIPSI PROSES. Pembuatan kalsium klorida dihidrat dapat dilakukan dengan beberapa macam proses: II. DESKRIPSI PROSES A. Jenis Proses Pembuatan kalsium klorida dihidrat dapat dilakukan dengan beberapa macam proses: 1. Proses Recovery reaksi samping pembuatan soda ash ( proses solvay ) Proses solvay

Lebih terperinci

Wardaya College IKATAN KIMIA STOIKIOMETRI TERMOKIMIA CHEMISTRY. Part III. Summer Olympiad Camp Kimia SMA

Wardaya College IKATAN KIMIA STOIKIOMETRI TERMOKIMIA CHEMISTRY. Part III. Summer Olympiad Camp Kimia SMA Part I IKATAN KIMIA CHEMISTRY Summer Olympiad Camp 2017 - Kimia SMA 1. Untuk menggambarkan ikatan yang terjadi dalam suatu molekul kita menggunakan struktur Lewis atau 'dot and cross' (a) Tuliskan formula

Lebih terperinci

TUGAS KOROSI FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KOROSI

TUGAS KOROSI FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KOROSI TUGAS KOROSI FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KOROSI Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Korosi Dosen pengampu: Drs. Drs. Ranto.H.S., MT. Disusun oleh : Deny Prabowo K2513016 PROGRAM

Lebih terperinci

KESETIMBANGAN. titik setimbang

KESETIMBANGAN. titik setimbang KESETIMBANGAN STANDART KOMPETENSI;. Memahami kinetika reaksi, kesetimbangan kimia, dan faktor-faktor yang berpengaruh, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. KOMPETENSI DASAR;.. Menjelaskan kestimbangan

Lebih terperinci

Soal Soal Kesetimbangan Kimia. Proses Haber-Bosch merupakan proses pembentukan atau produksi ammonia berdasarkan reaksi:

Soal Soal Kesetimbangan Kimia. Proses Haber-Bosch merupakan proses pembentukan atau produksi ammonia berdasarkan reaksi: Nama : Fitria Puspita NIM : 1201760 Kelas : Pendidikan Kimia A Soal Soal Kesetimbangan Kimia SBMPTN 2014 Untuk soal no 1-3, bacalah narasi berikut. Proses Haber-Bosch merupakan proses pembentukan atau

Lebih terperinci

LOGO. Stoikiometri. Tim Dosen Pengampu MK. Kimia Dasar

LOGO. Stoikiometri. Tim Dosen Pengampu MK. Kimia Dasar LOGO Stoikiometri Tim Dosen Pengampu MK. Kimia Dasar Konsep Mol Satuan jumlah zat dalam ilmu kimia disebut mol. 1 mol zat mengandung jumlah partikel yang sama dengan jumlah partikel dalam 12 gram C 12,

Lebih terperinci

Waktu (t) Gambar 3.1 Grafik hubungan perubahan konsentrasi terhadap waktu

Waktu (t) Gambar 3.1 Grafik hubungan perubahan konsentrasi terhadap waktu 3 LAJU REAKSI Setelah mempelajari bab ini, kamu diharapkan mampu: Menghitung konsentrasi larutan (molaritas larutan). Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi (konsentrasi, luas permukaan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini didahului dengan perlakuan awal bahan baku untuk mengurangi pengotor yang terkandung dalam abu batubara. Penentuan pengaruh parameter proses dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI 39 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 PENDAHULUAN Hasil eksperimen akan ditampilkan pada bab ini. Hasil eksperimen akan didiskusikan untuk mengetahui keoptimalan arang aktif tempurung kelapa lokal pada

Lebih terperinci

II. DESKRIPSI PROSES. Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dapat dihasilkan melalui beberapa proses

II. DESKRIPSI PROSES. Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dapat dihasilkan melalui beberapa proses II. DESKRIPSI PROSES A. Macam- Macam Proses Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dapat dihasilkan melalui beberapa proses sebagai berikut: 1. Proses Calcium Chloride-Sodium Carbonate Double Decomposition

Lebih terperinci

KONSEP MOL DAN STOIKIOMETRI

KONSEP MOL DAN STOIKIOMETRI KONSEP MOL DAN STOIKIOMETRI HUKUM-HUKUM DASAR KIMIA 1. Asas Lavoiser atau kekekalan massa jumlah sebelum dan setelah reaksi kimia adalah tetap 2. Hukum Gas Ideal P V = nrt Dengan P adalah tekanan (atm),

Lebih terperinci

Pengaruh Kadar Logam Ni dan Al Terhadap Karakteristik Katalis Ni-Al- MCM-41 Serta Aktivitasnya Pada Reaksi Siklisasi Sitronelal

Pengaruh Kadar Logam Ni dan Al Terhadap Karakteristik Katalis Ni-Al- MCM-41 Serta Aktivitasnya Pada Reaksi Siklisasi Sitronelal Pengaruh Kadar Logam Ni dan Al Terhadap Karakteristik Katalis Ni-Al- MCM-41 Serta Aktivitasnya Pada Reaksi Siklisasi Sitronelal K Oleh Said Mihdar Said Hady Nrp. 1407201729 Dosen Pembimbing Dra. Ratna

Lebih terperinci

30 Soal Pilihan Berganda Olimpiade Kimia Tingkat Kabupaten/Kota 2011 Alternatif jawaban berwarna merah adalah kunci jawabannya.

30 Soal Pilihan Berganda Olimpiade Kimia Tingkat Kabupaten/Kota 2011 Alternatif jawaban berwarna merah adalah kunci jawabannya. 30 Soal Pilihan Berganda Olimpiade Kimia Tingkat Kabupaten/Kota 2011 Alternatif jawaban berwarna merah adalah kunci jawabannya. 1. Semua pernyataan berikut benar, kecuali: A. Energi kimia ialah energi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN BaTiO 3 merupakan senyawa oksida keramik yang dapat disintesis dari senyawaan titanium (IV) dan barium (II). Proses sintesis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan,

Lebih terperinci

MODUL III KESETIMBANGAN KIMIA

MODUL III KESETIMBANGAN KIMIA MODUL III KESETIMBANGAN KIMIA I. Petunjuk Umum 1. Kompetensi Dasar 1) Mahasiswa memahami Asas Le Chatelier 2) Mahasiswa mampu menjelaskan aplikasi reaksi kesetimbangan dalam dunia industry 3) Mahasiswa

Lebih terperinci

LATIHAN ULANGAN TENGAH SEMESTER 2

LATIHAN ULANGAN TENGAH SEMESTER 2 Pilihlah jawaban yang paling benar LATIHAN ULANGAN TENGAH SEMESTER 2 TATANAMA 1. Nama senyawa berikut ini sesuai dengan rumus kimianya, kecuali. A. NO = nitrogen oksida B. CO 2 = karbon dioksida C. PCl

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DINAS PENDIDIKAN SMA NEGERI PATIKRAJA Jalan Adipura 3 Patikraja Telp (0281) Banyumas 53171

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DINAS PENDIDIKAN SMA NEGERI PATIKRAJA Jalan Adipura 3 Patikraja Telp (0281) Banyumas 53171 PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS DINAS PENDIDIKAN SMA NEGERI PATIKRAJA Jalan Adipura 3 Patikraja Telp (0281) 6844576 Banyumas 53171 ULANGAN KENAIKAN KELAS TAHUN PELAJARAN 2010/ 2011 Mata Pelajaran : Kimia

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

Kelompok B Pembimbing

Kelompok B Pembimbing TK-40Z2 PENELITIAN Semester II 2007/2008 SINTESIS DAN UJI AKTIVITAS Cu/Zn/Al 2 O 3 UNTUK KATALIS REFORMASI KUKUS METANOL SEBAGAI PENYEDIA HIDROGEN SEL TUNAM (FUEL CELL) Kelompok B.67.3.20 Michael Jubel

Lebih terperinci

Laju reaksi meningkat menjadi 2 kali laju reaksi semula pada setiap kenaikan suhu 15 o C. jika pada suhu 30 o C reaksi berlangsung 64 menit, maka

Laju reaksi meningkat menjadi 2 kali laju reaksi semula pada setiap kenaikan suhu 15 o C. jika pada suhu 30 o C reaksi berlangsung 64 menit, maka Laju reaksi meningkat menjadi 2 kali laju reaksi semula pada setiap kenaikan suhu 15 o C. jika pada suhu 30 o C reaksi berlangsung 64 menit, maka waktu reaksi berlangsung pada suhu 90 o C Susu dipasteurisasi

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III.1 Metodologi Seperti yang telah diungkapkan pada Bab I, bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat katalis asam heterogen dari lempung jenis montmorillonite

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit Penelitian ini menggunakan zeolit alam yang berasal dari Lampung dan Cikalong, Jawa Barat. Zeolit alam Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Alumina banyak digunakan dalam berbagai aplikasi seperti digunakan sebagai. bahan refraktori dan bahan dalam bidang otomotif.

I. PENDAHULUAN. Alumina banyak digunakan dalam berbagai aplikasi seperti digunakan sebagai. bahan refraktori dan bahan dalam bidang otomotif. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alumina banyak digunakan dalam berbagai aplikasi seperti digunakan sebagai bahan refraktori dan bahan dalam bidang otomotif. Hal ini karena alumina memiliki sifat fisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran lingkungan oleh logam berat menjadi masalah yang cukup serius seiring dengan penggunaan logam berat dalam bidang industri yang semakin meningkat. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sintesis dan Karakterisasi Karboksimetil Kitosan Spektrum FT-IR kitosan yang digunakan untuk mensintesis karboksimetil kitosan (KMK) dapat dilihat pada Gambar 8 dan terlihat

Lebih terperinci

SKL 2 RINGKASAN MATERI. 1. Konsep mol dan Bagan Stoikiometri ( kelas X )

SKL 2 RINGKASAN MATERI. 1. Konsep mol dan Bagan Stoikiometri ( kelas X ) SKL 2 Menerapkan hukum-hukum dasar kimia untuk memecahkan masalah dalam perhitungan kimia. o Menganalisis persamaan reaksi kimia o Menyelesaikan perhitungan kimia yang berkaitan dengan hukum dasar kimia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) saat ini terus mengalami peningkatan, baik bensin (gasoline), minyak solar (diesel), maupun minyak mentah (kerosene). Peningkaan

Lebih terperinci

II. PEMILIHAN DAN URAIAN PROSES

II. PEMILIHAN DAN URAIAN PROSES II. PEMILIHAN DAN URAIAN PROSES.1 Jenis-jenis bahan baku dan proses Proses pembuatan VAM dapat dibuat dengan dua proses, yaitu proses asetilen dan proses etilen. 1. Proses Dasar Asetilen Reaksi yang terjadi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan nasional dewasa ini dan semakin dirasakan pada masa mendatang adalah masalah energi. Perkembangan teknologi, industri dan transportasi yang

Lebih terperinci

Pelatihan Online I OSN Bidang Kimia Page 1 PETUNJUK PENGERJAAN SOAL

Pelatihan Online I OSN Bidang Kimia Page 1 PETUNJUK PENGERJAAN SOAL PETUNJUK PENGERJAAN SOAL 1. Periksalah terlebih dahulu soal yang Anda terima, apakah dalam keadaan baik, terbaca, lengkap, dan jelas, sebelum Anda mengerjakan. 2. Jawaban dikerjakan pada lembar jawaban

Lebih terperinci

SOAL SELEKSI NASIONAL TAHUN 2006

SOAL SELEKSI NASIONAL TAHUN 2006 SOAL SELEKSI NASIONAL TAHUN 2006 Soal 1 ( 13 poin ) KOEFISIEN REAKSI DAN LARUTAN ELEKTROLIT Koefisien reaksi merupakan langkah penting untuk mengamati proses berlangsungnya reaksi. Lengkapi koefisien reaksi-reaksi

Lebih terperinci

Reaksi dalam larutan berair

Reaksi dalam larutan berair Reaksi dalam larutan berair Drs. Iqmal Tahir, M.Si. iqmal@gadjahmada.edu Larutan - Suatu campuran homogen dua atau lebih senyawa. Pelarut (solven) - komponen dalam larutan yang membuat penuh larutan (ditandai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BATAN Bandung meliputi beberapa tahap yaitu tahap preparasi serbuk, tahap sintesis dan tahap analisis. Meakanisme

Lebih terperinci

OLIMPIADE SAINS NASIONAL SELEKSI Tingkat PROVINSI. UjianTeori. Waktu 2,5 Jam. Departemen Pendidikan Nasional

OLIMPIADE SAINS NASIONAL SELEKSI Tingkat PROVINSI. UjianTeori. Waktu 2,5 Jam. Departemen Pendidikan Nasional OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2009 SELEKSI Tingkat PROVINSI UjianTeori Waktu 2,5 Jam Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Managemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah

Lebih terperinci

A. ARTI KESETIMBANGAN B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERGESERAN KESETIMBANGAN C. TETAPAN KESETIMBANGAN D. KESETIMBANGAN KIMIA DALAM INDUSTRI

A. ARTI KESETIMBANGAN B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERGESERAN KESETIMBANGAN C. TETAPAN KESETIMBANGAN D. KESETIMBANGAN KIMIA DALAM INDUSTRI 4 KESETIMBANGAN KIMIA A. ARTI KESETIMBANGAN B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERGESERAN KESETIMBANGAN C. TETAPAN KESETIMBANGAN D. KESETIMBANGAN KIMIA DALAM INDUSTRI Dalam kehidupan sehari-hari, sering

Lebih terperinci

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi NURUL ROSYIDAH Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Pendahuluan Kesimpulan Tinjauan Pustaka

Lebih terperinci

Oleh: Arifta Henda Kurniatullah Dosen Pembimbing: Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc Arif Fadlan, M.Si

Oleh: Arifta Henda Kurniatullah Dosen Pembimbing: Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc Arif Fadlan, M.Si PERBANDINGAN HASIL REAKSI KONDENSASI ISATIN DAN INDOL DENGAN KATALIS AlCl 3 DAN ZSM-5 Oleh: Arifta Henda Kurniatullah 1407 100 014 Dosen Pembimbing: Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc Arif Fadlan, M.Si O HN N

Lebih terperinci

BAB III KESETIMBANGAN KIMIA. AH = 92 kj

BAB III KESETIMBANGAN KIMIA. AH = 92 kj BAB III KESETIMBANGAN KIMIA Amonia (NH 3 ) merupakan salah satu zat kimia yang paling banyak diproduksi. Amonia digunakan terutama untuk membuat pupuk, yaitu urea dan ZA. Penggunaan amonia yang lain, yaitu

Lebih terperinci

PENGETAHUAN PROSES PADA UNIT SINTESIS UREA

PENGETAHUAN PROSES PADA UNIT SINTESIS UREA BAB V PENGETAHUAN PROSES PADA UNIT SINTESIS UREA V.I Pendahuluan Pengetahuan proses dibutuhkan untuk memahami perilaku proses agar segala permasalahan proses yang terjadi dapat ditangani dan diselesaikan

Lebih terperinci

METODA GRAVIMETRI. Imam Santosa, MT.

METODA GRAVIMETRI. Imam Santosa, MT. METODA GRAVIMETRI Imam Santosa, MT. METODA GRAVIMETRI PRINSIP : Analat direaksikan dengan suatu pereaksi sehingga terbentuk senyawa yang mengendap; endapan murni ditimbang dan dari berat endapan didapat

Lebih terperinci

KUMPULAN SOAL-SOAL KIMIA LAJU REAKSI

KUMPULAN SOAL-SOAL KIMIA LAJU REAKSI KUMPULAN SOAL-SOAL KIMIA LAJU REAKSI 1. Untuk membuat 500 ml larutan H 2 SO 4 0.05 M dibutuhkan larutan H 2 SO 4 5 M sebanyak ml a. 5 ml b. 10 ml c. 2.5 ml d. 15 ml e. 5.5 ml 2. Konsentrasi larutan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat

I. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembuatan mesin pada awalnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat yang berfungsi untuk

Lebih terperinci

UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2007/2008

UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2007/2008 UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2007/2008 PANDUAN MATERI SMA DAN MA K I M I A PROGRAM STUDI IPA PUSAT PENILAIAN PENDIDIKAN BALITBANG DEPDIKNAS KATA PENGANTAR Dalam rangka sosialisasi kebijakan dan persiapan

Lebih terperinci

kimia KTSP & K-13 KESETIMBANGAN KIMIA 1 K e l a s A. Reaksi Kimia Reversible dan Irreversible Tujuan Pembelajaran

kimia KTSP & K-13 KESETIMBANGAN KIMIA 1 K e l a s A. Reaksi Kimia Reversible dan Irreversible Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 kimia K e l a s XI KESETIMBANGAN KIMIA 1 Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami definisi reaksi kimia reversible dan irreversible..

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Batu bara merupakan mineral organik yang mudah terbakar yang terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap dan kemudian mengalami perubahan bentuk akibat proses fisik

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Neraca Digital AS 220/C/2 Radwag Furnace Control Indicator Universal

BAB 3 METODE PENELITIAN. Neraca Digital AS 220/C/2 Radwag Furnace Control Indicator Universal BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Alat Neraca Digital AS 220/C/2 Radwag Furnace Control Fisher Indicator Universal Hotplate Stirrer Thermilyte Difraktometer Sinar-X Rigaku 600 Miniflex Peralatan Gelas Pyrex

Lebih terperinci

ZAHRA NURI NADA YUDHO JATI PRASETYO

ZAHRA NURI NADA YUDHO JATI PRASETYO SKRIPSI TK091383 PEMBUATAN HIDROGEN DARI GLISEROL DENGAN KATALIS KARBON AKTIF DAN Ni/HZSM-5 DENGAN METODE PEMANASAN KONVENSIONAL ZAHRA NURI NADA 2310100031 YUDHO JATI PRASETYO 2310100070 Dosen Pembimbing:

Lebih terperinci

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA NANOSILIKA PASIR Anggriz Bani Rizka (1110 100 014) Dosen Pembimbing : Dr.rer.nat Triwikantoro M.Si JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Nitrometana Nitrometana merupakan senyawa organik yang memiliki rumus molekul CH 3 NO 2. Nitrometana memiliki nama lain Nitrokarbol. Nitrometana ini merupakan

Lebih terperinci

BAB III BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September

BAB III BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September BAB III BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September tahun 2011 di Laboratorium Riset kimia makanan dan material, untuk

Lebih terperinci

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT DI SUSUN OLEH : NAMA : IMENG NIM : ACC 109 011 KELOMPOK : 2 ( DUA ) HARI / TANGGAL : SABTU, 28 MEI 2011

Lebih terperinci

Kesetimbangan Kimia. Chapter 9 P N2 O 4. Kesetimbangan akan. Presentasi Powerpoint Pengajar oleh Penerbit ERLANGGA Divisi Perguruan Tinggi

Kesetimbangan Kimia. Chapter 9 P N2 O 4. Kesetimbangan akan. Presentasi Powerpoint Pengajar oleh Penerbit ERLANGGA Divisi Perguruan Tinggi Presentasi Powerpoint Pengajar oleh Penerbit ERLANGGA Divisi Perguruan Tinggi Kesetimbangan adalah suatu keadaan di mana tidak ada perubahan yang terlihat seiring berjalannya waktu. Kesetimbangan kimia

Lebih terperinci

Termodinamika apakah suatu reaksi dapat terjadi? Kinetika Seberapa cepat suatu reaksi berlangsung?

Termodinamika apakah suatu reaksi dapat terjadi? Kinetika Seberapa cepat suatu reaksi berlangsung? Presentasi Powerpoint Pengajar oleh Penerbit ERLANGGA Divisi Perguruan Tinggi Chapter 8 Kinetika Kimia Termodinamika apakah suatu reaksi dapat terjadi? Kinetika Seberapa cepat suatu reaksi berlangsung?

Lebih terperinci

MODUL 1 TERMOKIMIA. A. Hukum Pertama Termodinamika. B. Kalor Reaksi

MODUL 1 TERMOKIMIA. A. Hukum Pertama Termodinamika. B. Kalor Reaksi MODUL 1 TERMOKIMIA Termokimia adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara energi panas dan energi kimia. Sebagai prasyarat untuk mempelajari termokimia, kita harus mengetahui tentang perbedaan kalor (Q)

Lebih terperinci

KATALIS LTS LK SEBAGAI SULFUR GUARD UNIT DESULFURIZER PABRIK AMONIAK KALTIM 2 PUPUK KALTIM

KATALIS LTS LK SEBAGAI SULFUR GUARD UNIT DESULFURIZER PABRIK AMONIAK KALTIM 2 PUPUK KALTIM KATALIS LTS LK-821-2 SEBAGAI SULFUR GUARD UNIT DESULFURIZER PABRIK AMONIAK KALTIM 2 PUPUK KALTIM Anton Sri Widodo, Suharyoso Departemen Pengendalian Proses PT Pupuk Kalimantan Timur Jl. Ir. James Simandjuntak

Lebih terperinci

MAKALAH PENYEDIAAN ENERGI SEMESTER GENAP TAHUN AJARAN 2014/2015 GASIFIKASI BATU BARA

MAKALAH PENYEDIAAN ENERGI SEMESTER GENAP TAHUN AJARAN 2014/2015 GASIFIKASI BATU BARA MAKALAH PENYEDIAAN ENERGI SEMESTER GENAP TAHUN AJARAN 2014/2015 GASIFIKASI BATU BARA Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Penyediaan Energi Dosen Pengajar : Ir. Yunus Tonapa Oleh : Nama

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan - 1 -

Bab I Pendahuluan - 1 - Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pada saat ini, pengoperasian reaktor unggun diam secara tak tunak telah membuka cara baru dalam intensifikasi proses (Budhi, 2005). Dalam mode operasi ini, reaktor

Lebih terperinci