Bab IV Hasil dan Pembahasan
|
|
- Suhendra Hartanto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Karakteristik katalis Pembuatan katalis HTSC ITB didasarkan pada prosedur menurut dokumen paten Jennings 1984 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut : Proses presipitasi diawali dengan membuat dua macam larutan, yaitu larutan I dan II. Larutan I berupa larutan ferri nitrat dan kromium nitrat, masingmasing dengan konsentrasi,429 mol/liter dan,429 mol/liter. Sedangkan larutan presipitator (larutan II) berupa larutan Na 2 CO 3 2,358 mol/liter. Selanjutnya larutan I dituang ke dalam larutan II. Pencampuran dilakukan pada temperatur 6 o C dan ph akhir pencampuran yang mendekati netral (ph =7-8,5) sambil terus diaduk sehingga karbon dioksida yang larut dapat terlepas. Suspensi yang dihasilkan selanjutnya disaring dan dicuci. Presipitat yang dihasilkan dikeringkan dan direduksi dengan menggunakan campuran kukus dan hidrogen pada temperatur 3 o C sebelum digunakan untuk reaksi. Pada prosedur ini tidak disebutkan kondisi pengeringan dan kalsinasi, sehingga perlu dilakukan studi literatur untuk mencari kondisi pengeringan dan kalsinasi (waktu dan temperatur). Berdasarkan hasil studi literatur, digunakan temperatur pengeringan 15 o C selama 18 jam (Richardson, 1989). Temperatur pengeringan ini dipilih untuk menghindari terjadinya gradien temperatur yang tinggi antara presipitat dan lingkungannya sehingga mengakibatkan tekanan tinggi dalam pori katalis. Tekanan tersebut menyebabkan runtuhnya dinding pori katalis dan membentuk pori katalis yang sangat besar. Akibatnya luas permukaan katalis menjadi sangat kecil (Richardson, 1989). Menurut Satterfield (1991), temperatur kalsinasi yang digunakan harus lebih tinggi dari temperatur reaksi dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan katalis terhadap perubahan temperatur. Karena reaksi HTSC biasanya dilangsungkan pada temperatur 37-4 o C, maka pada percobaan I dipilih temperatur kalsinasi 4 o C dan waktu kalsinasi 6 jam. Percobaan pertama penerapan prosedur ini menghasilkan katalis yang diberi nama katalis HTSC ITB 1. Katalis tersebut berwarna coklat tua mendekati hitam dan memiliki luas permukaan 15 m 2 /g. IV-1 lxiii
2 berikut ini. Hasil analisa XRD katalis HTSC ITB 1 dapat dilihat pada gambar IV.1 Hasil XRD katalis HTSC ITB 1 Intensitas Fe 2 O Cr 2 O a-fe 2 O Fe 92 O Fe 3 O Teta Gambar IV.1 Difraktogram katalis HTSC ITB 1 Pada gambar IV.1 dapat diamati puncak puncak difraktogram katalis HTSC ITB 1. Berdasarkan pengamatan terhadap difraktogram tersebut, katalis ini berfasa amorf dengan terbentuknya puncak puncak yang melebar (Richardson, 1991). Selanjutnya difraktogram katalis HTSC ITB 1 dibandingkan dengan difraktogram standar Fe 2 O 3, Cr 2 O 3, Fe 3 O 4, α-fe 2 O 3, dan Fe92O (Lampiran F) yang dapat dilihat pada tabel IV.1 berikut ini. Tabel IV.1 Perbandingan difraktogram katalis HTSC ITB 1 dengan standar Fe 2 O 3, α-fe 2 O 3, Fe92O, Fe 3 O 4, dan Cr 2 O 3 (Lampiran F) Katalis HTSC Menunjukkan Puncak ITB 1 Fe 2 O 3 α-fe 2 O 3 Fe92O Fe 3 O 4 Cr 2 O 3 2θ Int 2θ Int 2θ Int 2θ Int 2θ Int 2θ Int Int = Intensitas lxiv IV-2
3 Dengan membandingkan difraktogram katalis HTSC ITB 1 dengan difraktogram standar (Lampiran F), diperkirakan katalis HTSC ITB 1 mengandung Fe 2 O 3, α-fe 2 O 3, Fe92O, dan Cr 2 O 3. Menurut Reade (26), Fe 3 O 4 berwarna hitam dan menurut Weiser (1935), α-fe 2 O 3 berwarna merah, sedangkan Fe 2 O 3 berwana merah tua. Karena adanya campuran Fe 2 O 3 yang berwarna merah tua, α-fe 2 O 3 yang berwarna merah, dan Fe 3 O 4 yang berwarna hitam menyebabkan katalis HTSC ITB 1 cenderung berwarna coklat tua mendekati hitam. Luas permukaan yang dihasilkan katalis HTSC ITB 1 (15 m 2 /g) jauh lebih kecil dari luas permukaan katalis yang diklaim Jennings yaitu 1-2 m 2 /g. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi luas permukaan katalis. Menurut berbagai literatur luas permukaan katalis dipengaruhi oleh variabel pembuatan sebagai berikut. 1. ph pencampuran ph pencampuran sangat mempengaruhi ukuran partikel presipitat yang dihasilkan. Presipitasi pada kondisi yang asam atau basa akan menghasilkan ukuran partikel yang besar (Twigg, 1989). Hal ini harus dihindari karena ukuran partikel yang besar akan menyebabkan luas permukaan katalis menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, sebaiknya ph akhir pencampuran yang digunakan adalah ph akhir pencampuran mendekati netral (ph = 7 8,5) (Jennings, 1984). Selain itu ph akhir pencampuran harus tetap dijaga 7-8,5 untuk menghindari terjadinya perubahan ph menjadi asam atau basa yang akan mempengaruhi sifat amfoterik oksida krom hidrat (Vogel, 1951). Bila larutan - bersifat basa, maka oksida krom hidrat akan membentuk Cr(OH) 4 dan bila larutan bersifat asam maka oksida krom hidrat akan membentuk Cr 3+. Keduanya larut dalam air dan akan hilang pada saat pencucian presipitat. lxv IV-3
4 Reaksi pembentukan Cr(OH) 4 - dan Cr 3+ dapat dilihat pada persamaan 4.1 dan 4.2 berikut ini. Cr(OH) 3 (s) + OH - (aq) à Cr(OH) 4 - (aq)...(4.1) Cr(OH) 3 (s) + 3H + (aq) à Cr 3+ (aq) + 3H 2 O(l)...(4.2) 2. Proses aging Proses aging bertujuan untuk memperbaiki tingkat kristalinitas presipitat. Hal ini disebabkan karena pada saat aging terjadi interaksi kimia antar partikel (Kolthoff, 1952). Akan tetapi proses aging pada pembuatan katalis HTSC ITB sebaiknya dihindari. Hal ini disebabkan karena kristal presipitat yang besar akan menyebabkan luas permukaan menjadi lebih kecil. 3. Temperatur kalsinasi Kalsinasi bertujuan untuk mendekomposisi Fe(OH) 3 menjadi Fe 2 O 3, menghilangkan sisa molekul air dan impuritis dari proses pencampuran, seperti karbonat dan nitrat. Sisa karbonat dan nitrat yang terperangkap akan menyebabkan luas permukaan aktif katalis menjadi lebih kecil (Twigg, 1989). Selain itu proses kalsinasi juga bertujuan untuk meningkatkan ketahanan katalis terhadap temperatur (Satterfield, 1991). Menurut Neel (1979), temperatur kalsinasi yang baik digunakan untuk katalis HTSC adalah 4-1 o C selama 6 jam. Akan tetapi penggunaan temperatur kalsinasi yang terlalu tinggi dapat menyebabkan katalis mengalami sintering sehingga luas permukaan katalis yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Akibatnya aktivitas katalis menjadi lebih rendah (Satterfield, 1991). Menurut Davis (1998) pada pembuatan katalis Fischer-Tropsch berbasis Fe, Fe 2 O 3 murni yang dihasilkan melalui metode presipitasi yang dikalsinasi pada temperatur 35 o C memiliki luas permukaan 1 m 2 /g. Sedangkan pada temperatur kalsinasi yang lebih tinggi yaitu 4 o C, Fe 2 O 3 memiliki luas permukaan 53 m 2 /g. Perbedaan ini membuktikan bahwa temperatur kalsinasi berpengaruh terhadap luas permukaan katalis berbasis oksida besi. Berdasarkan hasil studi literatur dan percobaan, dapat disimpulkan bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap luas permukaan katalis adalah lxvi IV-4
5 temperatur kalsinasi. Oleh karena itu, percobaan dilanjutkan dengan menggunakan temperatur kalsinasi yang lebih rendah yaitu 3 o C. Katalis yang dihasilkan berwarna coklat tua dan memiliki luas permukaan 163 m 2 /g. Katalis ini diberi nama katalis HTSC ITB 2. Hasil analisa XRD katalis HTSC ITB 2 dapat dilihat pada gambar IV.2 berikut ini. Hasil XRD katalis HTSC ITB 2 Intensitas Fe 2 O Cr 2 O a-fe 2 O CrO Fe 3 O CrO Teta Gambar IV.2 Difraktogram katalis HTSC ITB 2 Gambar IV.2 menampilkan difraktogram katalis HTSC ITB 2. Puncak puncak yang dihasilkan berbentuk melebar sehingga dapat dikatakan bahwa katalis HTSC ITB 2 berfasa amorf. Selanjutnya difraktogram katalis HTSC ITB 2 dibandingkan dengan difraktogram standar Fe 3 O 4, α-fe 2 O 3, Fe 2 O 3, CrO 3, Cr 2 O 3, CrO 2, dan g-fe 2 O 3 (Lampiran F) yang dapat dilihat pada tabel IV.2 berikut ini. lxvii IV-5
6 Tabel IV.2 Perbandingan difraktogram katalis HTSC ITB 2 dengan standar Fe 3 O 4, α-fe 2 O 3, Fe 2 O 3, CrO 3, CrO 2, dan Cr 2 O 3 (Lampiran F) Katalis HTSC ITB 2 Menunjukkan Puncak Fe 3 O 4 α-fe 2 O 3 Fe 2 O 3 CrO 3 Cr 2 O 3 CrO 2 2θ Int 2θ Int 2θ Int 2θ Int 2θ Int 2θ Int 2θ Int Int = Intensitas Dengan membandingkan difraktogram katalis HTSC ITB 2 dengan difraktogram standar (Lampiran F), diperkirakan katalis HTSC ITB 2 mengandung Fe 3 O 4, α-fe 2 O 3, Fe 2 O 3, CrO 3, Cr 2 O 3, dan CrO 2. Karena adanya campuran Fe 2 O 3 yang berwarna merah tua, α-fe 2 O 3 yang berwarna merah, dan Fe 3 O 4 yang berwarna hitam menyebabkan katalis HTSC ITB 2 berwarna coklat tua sedikit lebih muda dari katalis HTSC ITB 1. Sedangkan luas permukaan katalis HTSC ITB 2 (163 m 2 /g) yang diperoleh sudah lebih baik dari luas permukaan katalis HTSC ITB 1 (15 m 2 /g). Akan tetapi luas permukaan katalis HTSC ITB 2 belum mendekati luas permukaan maksimum yang diklaim Jennings yaitu 2 m 2 /g. Selanjutnya pada kunjungan ke pabrik katalis Kujang Sud Chemie diperoleh informasi bahwa pencucian presipitat dengan menggunakan air hangat akan menyebabkan luas permukaan katalis menjadi lebih besar. Dari studi literatur diperoleh penjelasan bahwa impuritis mudah larut dalam air hangat (sekitar 5 o C) dan kembali ke larutan sehingga presipitat yang dihasilkan menjadi lebih murni (Hobart, 194). Kemurnian presipitat ini nantinya akan berpengaruh terhadap luas permukaan dan aktivitas katalis yang dihasilkan. Selain itu pencucian dengan menggunakan air hangat akan meningkatkan laju penyaringan presipitat yang dihasilkan (Szabo, 1976). Berdasarkan informasi tersebut di atas, pada percobaan selanjutnya pencucian presipitat dilakukan dengan menggunakan aqua dm 5 o C. Katalis yang dihasilkan diberi nama katalis HTSC ITB 3. Katalis ini berwarna coklat tua dan memiliki luas permukaan 192 m 2 /g. lxviii IV-6
7 berikut ini. Hasil analisa XRD katalis HTSC ITB 3 dapat dilihat pada gambar IV.3 Hasil XRD katalis HTSC ITB 3 Intensitas Fe 2 O Cr 2 O Fe 3 O CrO FeO Teta Gambar IV.3 Difraktogram katalis HTSC ITB 3 Gambar IV.3 menunjukkan difraktogram katalis HTSC ITB 3. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa katalis ini berfasa amorf. Difraktogram katalis ini selanjutnya dibandingkan dengan difraktogram standar Fe 2 O 3, Cr 2 O 3, Fe 3 O 4, CrO 3, dan FeO (Lampiran F) yang dapat dilihat pada tabel IV.3 berikut ini. Tabel IV.3 Perbandingan difraktogram katalis HTSC ITB 3 dengan standar Fe 3 O 4, Fe 2 O 3, FeO, CrO 3, dan Cr 2 O 3 (Lampiran F) Katalis HTSC Menunjukkan Puncak ITB 3 Fe 3 O 4 Fe 2 O 3 FeO CrO 3 Cr 2 O 3 2θ Int 2θ Int 2θ Int 2θ Int 2θ Inte 2θ Int Int = Intensitas lxix IV-7
8 Dengan membandingkan difraktogram katalis HTSC ITB 3 dengan difraktogram standar (Lampiran F), diperkirakan katalis HTSC ITB 3 mengandung Fe 2 O 3, Cr 2 O 3, Fe 3 O 4, CrO 3, dan FeO. Karena adanya campuran Fe 2 O 3 yang berwarna merah tua, dan Fe 3 O 4 yang berwarna hitam menyebabkan katalis HTSC ITB 3 berwarna coklat tua namun sedikit lebih tua dari katalis HTSC ITB 2. Hal yang sangat menggembirakan adalah dengan prosedur ini (prosedur pembuatan katalis HTSC ITB 3) diperoleh katalis dengan luas permukaan 192 m 2 /g. Luas permukaan katalis ini telah mendekati luas permukaan maksimum yang diklaim Jennings yaitu 2 m 2 /g. Kalsinasi pada temperatur yang rendah (T = 3 o C) telah menghasilkan katalis dengan luas permukaan yang besar (192 m 2 /g). Akan tetapi dikhawatirkan Fe(OH) 3 belum terdekomposisi secara sempurna pada temperatur 3 o C. Oleh karena itu percobaan dilanjutkan dengan meningkatkan temperatur kalsinasi menjadi 33 o C. Temperatur ini tidak terlalu tinggi untuk menghindari terjadinya sintering dan tidak terlalu rendah agar Fe(OH) 3 dapat terdekomposisi secara sempurna. Katalis yang dihasilkan diberi nama katalis HTSC ITB 4. Katalis ini berwarna coklat tua dan memiliki luas permukaan 162 m 2 /g. Hasil analisa XRD katalis HTSC ITB 4 dapat dilihat pada gambar IV.4 berikut ini. Hasil XRD katalis HTSC ITB 4 Intensitas Fe 2 O CrO FeO Fe 3 O a-fe 2 O Teta Gambar IV.4 Difraktogram katalis HTSC ITB 4 lxx IV-8
9 Pada gambar IV.4 dapat diamati bahwa puncak puncak difraktogram katalis HTSC ITB 4. Berdasarkan hasil pengamatan puncak puncak difraktogram dapat diketahui bahwa katalis HTSC ITB 4 berfasa amorf. Selanjutnya difraktogram katalis HTSC ITB 4 dibandingkan dengan difraktogram standar Fe 2 O 3, α-fe 2 O 3, FeO, Fe 3 O 4, dan CrO 3 (Lampiran F) yang dapat dilihat pada tabel IV.4 berikut ini. Tabel IV.4 Perbandingan difraktogram katalis HTSC ITB 4 dengan standar Fe 2 O 3, α-fe 2 O 3, FeO, Fe 3 O 4, dan CrO 3 (Lampiran F) Katalis HTSC Menunjukkan Puncak ITB 4 Fe 2 O 3 α-fe 2 O 3 FeO Fe 3 O 4 CrO 3 2θ Int 2θ Int 2θ Int 2θ Int 2θ Int 2θ Int Int = Intensitas Dengan membandingkan difraktogram katalis HTSC ITB 4 dengan difraktogram standar (Lampiran F), diperkirakan katalis HTSC ITB 4 mengandung Fe 2 O 3, α-fe 2 O 3, FeO, Fe 3 O 4, dan CrO 3. Karena adanya campuran Fe 2 O 3 yang berwarna merah tua, α-fe 2 O 3 yang berwarna merah, dan Fe 3 O 4 yang berwarna hitam menyebabkan katalis HTSC ITB 4 berwarna coklat tua namun sedikit lebih muda dari katalis HTSC ITB 1. Luas permukaan katalis HTSC ITB 4 (162 m 2 /g) yang dihasilkan lebih kecil dari luas permukaan katalis HTSC ITB 3 (192 m 2 /g). Untuk meyakinkan bahwa prosedur pembuatan katalis HTSC ITB 3 lebih baik dari katalis HTSC ITB 4 serta untuk meyakinkan bahwa prosedur pembuatan katalis HTSC ITB 4 menghasilkan katalis dengan luas permukaan yang lebih kecil dari HTSC ITB 3, maka prosedur pembuatan katalis HTSC ITB 3 dan 4 diulangi kembali. Hanya saja pada proses pembuatan ini digunakan aquadest sebagai pengganti aqua dm. Katalis yang dihasilkan diberi nama katalis HTSC ITB 5 dan 6. Katalis HTSC ITB 5 merupakan katalis hasil pengulangan prosedur pembuatan katalis HTSC ITB 4 sedangkan katalis HTSC ITB 6 merupakan pengulangan prosedur pembuatan katalis HTSC ITB 3. lxxi IV-9
10 Katalis HTSC ITB 5 berwarna coklat tua dan memiliki luas permukaan 174 m 2 /g. Selanjutnya dilakukan analisa XRD terhadap katalis HTSC ITB 5. Hasil analisa tersebut berupa difraktogram katalis HTSC ITB 5. Difraktogram ini kemudian dibandingkan terhadap difraktogram katalis HTSC ITB 4 sebagai acuan. Hasil perbandingannya dapat dilihat pada gambar IV.5 berikut ini. Perbandingan grafik posisi puncak terhadap intensitas katalis HTSC ITB 5 dan Intensitas HTSC ITB 4 HTSC ITB Teta Gambar IV.5 Perbandingan difraktogram katalis HTSC ITB 5 dan 4 Pada gambar IV.5 dapat diamati bahwa difraktogram yang dihasilkan oleh katalis HTSC ITB 5 memiliki bentuk yang hampir sama dengan difraktogram katalis HTSC ITB 4, tetapi memiliki intensitas yang berbeda. Luas permukaan katalis HTSC ITB 5 adalah 174 m 2 /g. Luas permukaan katalis ini (174 m 2 /g) sedikit lebih besar daripada luas permukaan HTSC ITB 4 (162 m 2 /g). Katalis HTSC ITB 6 berwarna coklat tua dan memiliki luas permukaan (198 m 2 /g) yang hampir sama dengan katalis HTSC ITB 3 (192 m 2 /g). Hasil analisa XRD katalis HTSC ITB 6 selanjutnya dibandingkan dengan hasil analisa XRD katalis HTSC ITB 3 seperti yang disajikan pada gambar IV.6 berikut ini. lxxii IV-1
11 Perbandingan grafik posisi puncak terhadap intensitas katalis HTSC ITB 6 dan Intensitas HTSC ITB 3 HTSC ITB Teta Gambar IV.6 Perbandingan difraktogram katalis HTSC ITB 6 dan 3 Gambar IV.6 menunjukkan difraktogram katalis HTSC ITB 6 dan 3. Kedua katalis ini menghasilkan difraktogram yang hampir sama, tetapi memiliki intensitas yang berbeda. Berdasarkan perbandingan hasil analisis XRD dan BET dapat dikatakan bahwa pengulangan prosedur pembuatan katalis HTSC 3 dan 4 mampu menghasilkan katalis yang hampir sama dengan luas permukaan yang hampir sama pula sehingga dapat disimpulkan bahwa prosedur pembuatan katalis HTSC ITB 3 dan 4 sudah reproducible. Selanjutnya dengan membandingkan luas permukaan yang diperoleh pada katalis HTSC ITB 4/5 dan 3/6, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan temperatur kalsinasi 3 o C lebih baik dari temperatur 33 o C. Kondisi pembuatan dan beberapa sifat katalis HTSC yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel IV.5. lxxiii IV-11
12 Tabel IV.5 Kondisi pembuatan dan beberapa sifat katalis HTSC yang dihasilkan No. Jenis katalis Prosedur pembuatan Warna Luas permukaan (m 2 /g) 1. HTSC ITB 1 Pencucian 2 x dengan aqua dm 1 liter Kalsinasi 4 o C selama 6 jam Coklat tua mendekati hitam HTSC ITB 2 Pencucian 2 x dengan aqua dm 1 liter Kalsinasi 3 o C selama 6 jam Coklat tua 163 HTSC ITB 3 Pencucian 2 x yang terdiri dari : Coklat tua aqua dm 25 o C 1 liter - aqua dm 5 o C 1 liter HTSC ITB 6 Kalsinasi 3 o C selama 6 jam Coklat tua 198 Pencucian 2 x yang terdiri dari : 4. HTSC ITB 4 HTSC ITB 5 - aqua dm 25 o C 1 liter - aqua dm 5 o C 1 liter Kertas saring bebas abu Kalsinasi 33 o C selama 6 jam Coklat tua Coklat tua IV.2 Kinerja Katalis Kinerja katalis HTSC ITB yang dihasilkan dapat dinilai berdasarkan aktivitasnya. Aktivitas katalis merupakan kemampuan katalis untuk mengkonversi CO pada kondisi operasi tertentu. Katalis dengan aktivitas yang tinggi merupakan katalis yang memiliki kinerja yang baik. Untuk mengetahui aktivitasnya, katalis HTSC ITB untuk reaksi pergeseran CO diuji selama 1 jam. Sebelum uji aktivitas dilakukan, katalis yang berupa Fe 2 O 3 terlebih dahulu direduksi menjadi katalis yang aktif (Fe 3 O 4 ). Pada dokumen paten Jennings 1984 disebutkan reduksi dilakukan dengan menggunakan campuran kukus dan hidrogen pada temperatur 3 o C. Tetapi menurut Twigg (1989), kehadiran kukus walaupun pada konsentrasi rendah sangat efektif menyebabkan terjadinya sintering pada oksida. Berdasarkan hasil studi literatur, gas pereduksi yang lebih baik digunakan untuk reduksi katalis logam adalah campuran H 2 dan N 2 (Twigg, 1989). Menurut lxxiv IV-12
13 Satterfield (1991), gas N 2 yang dialirkan bersama sama dengan gas H 2 memiliki fungsi sebagai faktor pengaman sehingga dapat mencegah kebakaran apabila terjadi kebocoran dan dapat mengendalikan konsentrasi H 2. Pada prosedur paten Jennings 1984 disebutkan temperatur reduksi yang digunakan adalah 3 o C. Akan tetapi temperatur ini hampir sama dengan temperatur kalsinasi yang digunakan pada katalis HTSC ITB, sehingga dikhawatirkan katalis akan mengalami sintering. Selanjutnya dilakukan studi literatur untuk mengetahui temperatur reduksi yang akan digunakan. Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan temperatur reduksi awal yang akan digunakan adalah sebagai berikut : 1. Temperatur yang terlalu tinggi selama proses reduksi akan menyebabkan terjadinya sintering (Twigg, 1989). 2. Penggunaan temperatur operasi yang tinggi akan menyebabkan terjadinya sintering dan dengan adanya gas hidrogen, sintering dapat terjadi pada temperatur yang lebih rendah (Satterfield, 1991). 3. Pengendalian terhadap temperatur reduksi dan konsentrasi kukus yang dihasilkan perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya sintering (Twigg, 1989). 4. Reduksi katalis dimulai pada temperatur 15 o C dan kesempurnaan proses reduksi baru dapat diperoleh bila temperatur reduksi mencapai 4 o C (Twigg, 1989). Selanjutnya pertimbangan yang digunakan sebagai dasar pemilihan temperatur reduksi yang akan digunakan adalah pertimbangan ke 4. Pertimbangan ini dipilih karena pada temperatur o C fasa stabil yang terbentuk adalah besi metalik (Fe) dan magnetit (Fe 3 O 4 ). Fasa stabil untuk magnetit (Fe 3 O 4 ) baru dapat dicapai pada temperatur reduksi 4 o C (Twigg, 1989). Karena itu apabila menggunakan temperatur reduksi 3 o C dikhawatirkan Fe 3 O 4 belum mencapai fasa stabil. Keseluruhan tahapan yang dilangsungkan pada proses reduksi dapat dilihat pada gambar IV.7 berikut ini. lxxv IV-13
14 KURVA REDUKSI Temperatur ( o C) Laju pemanasan H 2 : N 2 2:1 1 o C/jam QH 2 = 62,5 ml/menit QN 2 = 35,96 ml/menit Laju pemanasan H 2 : N 2 1:1 1 o C/jam QH 2 = 31,91 ml/menit QN 2 = 35,96 ml/menit H 2 : N 2 1:1 QH 2 = 31,91 ml/menit QN 2 = 35,96 ml/menit 1 5 N 2 = 85,71 ml/menit Wkatalis =,5 gr Laju pemanasan 1 o C/jam Jam ke Gambar IV.7 Proses reduksi katalis HTSC ITB Pada gambar IV.7 dapat diamati tahap tahap pelaksanaan proses reduksi katalis HTSC ITB. Terlebih dahulu,5 gr katalis dipanaskan dari temperatur 25 o C hingga 25 o C dengan laju pemanasan 1 o C/jam. Tujuan pemanasan adalah untuk menghilangkan air yang teradsorb dalam katalis. Saat pemanasan, dialirkan gas N 2 dengan laju alir 85,71 ml/menit untuk mendorong udara dan air yang mungkin masih ada pada aliran gas masuk dan keluar. Proses reduksi awal dilakukan pada temperatur 25 o C selama 1 jam. Gas pereduksi yang digunakan berupa campuran H 2 dan N 2 dengan perbandingan H 2 dan N 2 adalah 1:1. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap pembentukan embun (titik titik air) di bagian bawah reaktor sebagai produk dari reaksi reduksi. Embun (titik titik air) ini menandakan bahwa reaksi reduksi telah berlangsung. Setelah 1 jam, temperatur reduksi dinaikkan menjadi 35 o C dengan laju pemanasan 1 o C/jam. Proses reduksi pada temperatur 35 o C ini dilakukan selama 1 jam dengan perbandingan H 2 dan N 2 yang sama sambil dilakukan pengamatan terhadap pembentukan embun yang mungkin masih terjadi. Selanjutnya temperatur reduksi dinaikkan menjadi 4 o C dengan laju pemanasan 1 o C/jam. Reduksi pada temperatur 4 o C ini dilakukan selama 2 jam menggunakan gas pereduksi dengan perbandingan H 2 dan N 2 2:1. Pada proses reduksi akhir ini digunakan kadar hidrogen lebih besar agar laju reduksi menjadi lebih cepat. Laju reduksi dapat dipercepat dengan menaikkan temperatur lxxvi IV-14
15 dan konsentrasi reaktan. Setelah katalis direduksi selama 2 jam, konsentrasi Fe 2 O 3 yang tersisa menjadi lebih sedikit sehingga untuk mempercepat laju reduksi maka konsentrasi H 2 diperbesar. Proses reduksi menghasilkan pembentukan embun (titik titik air) sebagai produk. Embun (titik titik air) ini terlihat kurang lebih 15 menit setelah temperatur reduksi mencapai 25 o C dan H 2 mulai dialirkan. Embun hanya terjadi sesaat dan tidak begitu banyak. Walaupun embun tidak terlihat lagi, proses reduksi pada temperatur 25 o C tetap dilangsungkan selama 1 jam. Saat temperatur reduksi dinaikkan menjadi 35 o C terlihat pembentukan embun kurang lebih 1 menit setelah mencapai temperatur tersebut. Embun hanya terjadi sesaat dan lebih sedikit dari embun yang terbentuk pada temperatur 25 o C. Selanjutnya tidak terlihat pembentukan embun hingga proses reduksi selesai. Setelah proses reduksi selesai, dilakukan purging dengan mengalirkan gas N 2 untuk menyingkirkan gas H 2 dalam keseluruhan sistem reaksi. Laju alir gas N 2 yang digunakan untuk proses purging yaitu 85,71 ml/menit. Proses purging ini dilakukan hingga tidak ada gas H 2 yang tersisa, biasanya sekitar 2 jam. Untuk mengetahui tidak ada gas H 2 yang tersisa, dilakukan analisa dengan menggunakan Gas Chromatography (GC) terhadap aliran gas masuk dan keluar. Selanjutnya reaksi pergeseran dilangsungkan pada temperatur 37 o C selama 1 jam. Hasil uji aktivitas katalis HTSC ITB pada temperatur 37 o C, SVW 19, laju alir N 2 85,71 ml/menit, laju alir CO 13,33 ml/menit, dan laju alir H 2 O,6 ml/menit dapat dilihat pada gambar IV.8 berikut ini. lxxvii IV-15
16 Kurva Konversi CO Terhadap Waktu 12 1 Kesetimbangan Konversi (%) Katalis komersial HTSC ITB 2 HTSC ITB 3 HTSC ITB Jam ke Gambar IV.8 Hasil uji aktivitas katalis HTSC ITB Pada gambar IV.8 dapat diamati konversi CO yang dihasilkan oleh beberapa katalis HTSC ITB selama 1 jam. Pada kondisi yang sama, konversi CO dapat menunjukkan aktivitas katalis. Katalis yang aktivitasnya dapat dibandingkan adalah HTSC ITB 2, 3, dan 5. Sedangkan uji aktivitas katalis HTSC ITB 4 dan 6 tidak terlaksana dengan baik karena terdapat kebocoran pada aliran masuk saat reaksi berlangsung, sehingga udara dapat masuk ke dalam sistem reaksi. Kehadiran oksigen sangat tidak diinginkan karena oksigen lebih kuat diadsorp oleh logam dari hidrogen dan mengurangi aktivitas katalis. Aktivitas katalis HTSC ITB yang dibandingkan adalah aktivitas pada keadaan tunak (konversi CO tidak mengalami perubahan terhadap waktu) yang umumnya terjadi setelah 2-4 jam operasi. Selanjutnya aktivitas katalis HTSC ITB dibandingkan terhadap aktivitas katalis komersial. Hasil uji aktivitas menunjukkan bahwa aktivitas yang dihasilkan oleh katalis HTSC ITB 2 lebih rendah daripada katalis HTSC ITB 3 dan sedikit lebih tinggi daripada katalis HTSC ITB 5. Perbedaan yang kecil antara aktivitas katalis HTSC ITB 2 dan 5 disebabkan karena luas permukaan yang dimiliki oleh kedua katalis tersebut tidak jauh berbeda. Untuk lebih jelas hasil uji aktivitas katalis HTSC ITB dan komersial dapat dilihat pada tabel IV.6 berikut ini. lxxviii IV-16
17 Tabel IV.6 Hasil uji aktivitas katalis HTSC ITB dan komersial Jenis katalis Luas permukaan (m 2 /g) Konversi pada keadaan tunak (%) Kesetimbangan 98,1 Komersial 6 8,8-81,1 HTSC ITB ,3-86,2 HTSC ITB ,5-63,6 HTSC ITB ,7-64,2 Berdasarkan hasil uji aktivitas dapat disimpulkan bahwa aktivitas katalis HTSC ITB yang paling baik adalah katalis HTSC ITB 3. Aktivitas katalis ini sedikit lebih tinggi daripada katalis komersial. Selain itu juga dapat disimpulkan bahwa aktivitas yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh luas permukaan. Semakin besar luas permukaan katalis HTSC ITB, semakin tinggi aktivitasnya. Katalis komersial memiliki sifat yang berbeda dari katalis HTSC ITB yang dihasilkan. Katalis komersial memiliki luas permukaan yang lebih kecil dari luas permukaan katalis HTSC ITB, akan tetapi mampu menghasilkan aktivitas yang sama dengan katalis HTSC ITB 3. Hal ini disebabkan karena adanya campuran bahan lain sehingga katalis menjadi lebih porous dan aktivitasnya menjadi lebih besar. lxxix IV-17
Bab III Metodologi Penelitian
Bab III Metodologi Penelitian III.1 Pembuatan Katalis HTSC Proses pembuatan katalis HTSC menggunakan metoda kopresipitasi. Katalis yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi dan diuji aktivitasnya. III.1.1
Lebih terperinci4 Hasil dan Pembahasan
4 Hasil dan Pembahasan Sebelum dilakukan sintesis katalis Cu/ZrSiO 4, serbuk zirkon (ZrSiO 4, 98%) yang didapat dari Program Studi Metalurgi ITB dicuci terlebih dahulu menggunakan larutan asam nitrat 1,0
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sintesa Katalis Dalam penelitian ini, katalis disintesis menggunakan metode impregnasi kering. Metode ini dipilih karena metode impregnasi merupakan metode sintesis yang
Lebih terperinciBAB IV METODOLOGI PENELITIAN
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Persiapan Bahan Baku 4.1.1 Silika Terpresipitasi Abu sawit yang berasal dari pabrik pengolahan sawit, terlebih dahulu dikonversi menjadi silika terpresipitasi dengan cara
Lebih terperinciBab II Tinjauan Pustaka
Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Reaksi Pergeseran CO Menjadi CO 2 dan H 2 WGSR adalah reaksi antara CO dan kukus yang menghasilkan CO 2 dan H 2. Arti penting proses ini baru diketahui setelah adanya proses
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. sol-gel, dan mempelajari aktivitas katalitik Fe 3 O 4 untuk reaksi konversi gas
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengantar Penelitian ini pada intinya dilakukan dengan dua tujuan utama, yakni mempelajari pembuatan katalis Fe 3 O 4 dari substrat Fe 2 O 3 dengan metode solgel, dan mempelajari
Lebih terperinciBAB IV HASIL dan PEMBAHASAN
BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN 4.1 Sintesis Padatan ZnO dan CuO/ZnO Pada penelitian ini telah disintesis padatan ZnO dan padatan ZnO yang di-doped dengan logam Cu. Doping dengan logam Cu diharapkan mampu
Lebih terperinci3 Percobaan. Peralatan yang digunakan untuk sintesis, karakterisasi, dan uji aktivitas katalis beserta spesifikasinya ditampilkan pada Tabel 3.1.
3 Percobaan 3.1 Peralatan Peralatan yang digunakan untuk sintesis, karakterisasi, dan uji aktivitas katalis beserta spesifikasinya ditampilkan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Daftar peralatan untuk sintesis,
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dihasilkan sebanyak 5 gram. Perbandingan ini dipilih karena peneliti ingin
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sintesis Katalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 Katalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 disintesis dengan metode kopresipitasi dengan rasio fasa aktif Cu, promotor ZnO, penyangga dan Al 2 O 3 yaitu
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN. analisis komposisi unsur (EDX) dilakukan di. Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong,
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biomassa, Lembaga Penelitian Universitas Lampung. permukaan (SEM), dan Analisis difraksi sinar-x (XRD),
Lebih terperinciKESETIMBANGAN KIMIA SOAL DAN PEMBAHASAN
KESETIMBANGAN KIMIA SOAL DAN PEMBAHASAN 1. Suatu reaksi dikatakan mencapai kesetimbangan apabila. A. laju reaksi ke kiri sama dengan ke kanan B. jumlah koefisien reaksi ruas kiri sama dengan ruas kanan
Lebih terperinciBAB 3 METODE PENELITIAN. Neraca Digital AS 220/C/2 Radwag Furnace Control Indicator Universal
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Alat Neraca Digital AS 220/C/2 Radwag Furnace Control Fisher Indicator Universal Hotplate Stirrer Thermilyte Difraktometer Sinar-X Rigaku 600 Miniflex Peralatan Gelas Pyrex
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini akan dibahas tentang sintesis katalis Pt/Zr-MMT dan
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini akan dibahas tentang sintesis katalis Pt/Zr-MMT dan uji aktivitas katalis Pt/Zr-MMT serta aplikasinya sebagai katalis dalam konversi sitronelal menjadi mentol
Lebih terperinciBab IV Hasil dan Pembahasan
Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Analisis XRD Hasil analisis XRD sampel Montmorilonite ditunjukan oleh gambar berikut 9,6Ǻ a 8,9Ǻ b 10Ǻ c Gambar IV.1 Difraktogram XRD (a)montmorillonite, (b)h-montmorillonite,
Lebih terperinciBAB VI KINETIKA REAKSI KIMIA
BANK SOAL SELEKSI MASUK PERGURUAN TINGGI BIDANG KIMIA 1 BAB VI 1. Padatan NH 4 NO 3 diaduk hingga larut selama 77 detik dalam akuades 100 ml sesuai persamaan reaksi berikut: NH 4 NO 2 (s) + H 2 O (l) NH
Lebih terperinciBAB IV DATA HASIL PENELITIAN
BAB IV DATA HASIL PENELITIAN 4.1. DATA KARAKTERISASI BAHAN BAKU Proses penelitian ini diawali dengan karakterisasi sampel batu besi yang berbentuk serbuk. Sampel ini berasal dari kalimantan selatan. Karakterisasi
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
47 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengantar Penelitian ini bertujuan untuk menunjukan pengaruh suhu sintering terhadap struktur Na 2 O dari Na 2 CO 3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa. Pada
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI
39 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 PENDAHULUAN Hasil eksperimen akan ditampilkan pada bab ini. Hasil eksperimen akan didiskusikan untuk mengetahui keoptimalan arang aktif tempurung kelapa lokal pada
Lebih terperincidengan panjang a. Ukuran kristal dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan Debye Scherrer. Dilanjutkan dengan sintering pada suhu
6 Dilanjutkan dengan sintering pada suhu 900⁰C dengan waktu penahanannya 5 jam. Timbang massa sampel setelah proses sintering, lalu sampel dikarakterisasi dengan menggunakan XRD dan FTIR. Metode wise drop
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif Hasil analisis karakterisasi arang dan arang aktif berdasarkan SNI 06-3730-1995 dapat dilihat pada Tabel 7. Contoh Tabel 7. Hasil
Lebih terperinciTUGAS KOROSI FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KOROSI
TUGAS KOROSI FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KOROSI Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Korosi Dosen pengampu: Drs. Drs. Ranto.H.S., MT. Disusun oleh : Deny Prabowo K2513016 PROGRAM
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian Penelitian yang telah dilakukan bertujuan untuk menentukan waktu aging
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang telah dilakukan bertujuan untuk menentukan waktu aging optimal pada sintesis zeolit dari abu sekam padi pada temperatur kamar
Lebih terperinciMODUL III KESETIMBANGAN KIMIA
MODUL III KESETIMBANGAN KIMIA I. Petunjuk Umum 1. Kompetensi Dasar 1) Mahasiswa memahami Asas Le Chatelier 2) Mahasiswa mampu menjelaskan aplikasi reaksi kesetimbangan dalam dunia industry 3) Mahasiswa
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu pembuatan adsorben dan uji kinerja adsorben tersebut untuk menyisihkan phenanthrene dari dalam air. 4.1 Pembuatan adsorben
Lebih terperinciAKTIVITAS KATALIS CR/ZEOLIT ALAM PADA REAKSI KONVERSI MINYAK JELANTAH MENJADI BAHAN BAKAR CAIR
AKTIVITAS KATALIS CR/ZEOLIT ALAM PADA REAKSI KONVERSI MINYAK JELANTAH MENJADI BAHAN BAKAR CAIR Sri Kadarwati, Eko Budi Susatyo, Dhian Ekowati Program Studi Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang, e-mail:
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas
31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis material konduktor ionik MZP, dilakukan pada kondisi optimum agar dihasilkan material konduktor ionik yang memiliki kinerja maksimal, dalam hal ini memiliki nilai
Lebih terperinciBAB IV DATA DAN PEMBAHASAN
BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 SINTESIS SBA-15 Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan material mesopori silika SBA-15 melalui proses sol gel dan surfactant-templating. Tahapan-tahapan
Lebih terperinciPengaruh Kadar Logam Ni dan Al Terhadap Karakteristik Katalis Ni-Al- MCM-41 Serta Aktivitasnya Pada Reaksi Siklisasi Sitronelal
Pengaruh Kadar Logam Ni dan Al Terhadap Karakteristik Katalis Ni-Al- MCM-41 Serta Aktivitasnya Pada Reaksi Siklisasi Sitronelal K Oleh Said Mihdar Said Hady Nrp. 1407201729 Dosen Pembimbing Dra. Ratna
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 ANALISIS MINEROLOGI DAN KOMPOSISI KIMIA BIJIH LIMONITE Tabel 4.1. Komposisi Kimia Bijih Limonite Awal Sampel Ni Co Fe SiO 2 CaO MgO MnO Cr 2 O 3 Al 2 O 3 TiO 2 P 2 O 5 S
Lebih terperinciPENGARUH KONSENTRASI NaOH DAN Na 2 CO 3 PADA SINTESIS KATALIS CaOMgO DARI SERBUK KAPUR DAN AKTIVITASNYA PADA TRANSESTERIFIKASI MINYAK KEMIRI SUNAN
PENGARUH KONSENTRASI NaOH DAN Na 2 CO 3 PADA SINTESIS KATALIS CaOMgO DARI SERBUK KAPUR DAN AKTIVITASNYA PADA TRANSESTERIFIKASI MINYAK KEMIRI SUNAN DESY TRI KUSUMANINGTYAS (1409 100 060) Dosen Pembimbing
Lebih terperinciBab 3 Metodologi Penelitian
Bab 3 Metodologi Penelitian Percobaan ini melewati beberapa tahap dalam pelaksanaannya. Langkah pertama yang diambil adalah mempelajari perkembangan teknologi mengenai barium ferit dari berbagai sumber
Lebih terperinciZAHRA NURI NADA YUDHO JATI PRASETYO
SKRIPSI TK091383 PEMBUATAN HIDROGEN DARI GLISEROL DENGAN KATALIS KARBON AKTIF DAN Ni/HZSM-5 DENGAN METODE PEMANASAN KONVENSIONAL ZAHRA NURI NADA 2310100031 YUDHO JATI PRASETYO 2310100070 Dosen Pembimbing:
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2)
HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Eh dan ph Ketika tanah digenangi, air akan menggantikan udara dalam pori tanah. Pada kondisi seperti ini, mikrob aerob tanah menggunakan semua oksigen yang tersisa dalam tanah.
Lebih terperinciII. DESKRIPSI PROSES. Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dapat dihasilkan melalui beberapa
II. DESKRIPSI PROSES A. Macam - Macam Proses Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dapat dihasilkan melalui beberapa proses sebagai berikut: 1. Proses Calcium Chloride-Sodium Carbonate Double Decomposition
Lebih terperinciBab III Metodologi Penelitian
Bab III Metodologi Penelitian III.1 Metodologi Seperti yang telah diungkapkan pada Bab I, bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat katalis asam heterogen dari lempung jenis montmorillonite
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 DIAGRAM ALIR PENELITIAN Gambar 3.1 di bawah ini memperlihatkan diagram alir dalam penelitian ini. Surfaktan P123 2 gr Penambahan Katalis HCl 60 gr dengan variabel Konsentrasi
Lebih terperinciBAB III RANCANGAN PENELITIAN
BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1 Metodologi Percobaan yang akan dilakukan terbagi menjadi tiga tahap: 1. Sintesis katalis Cu/Zn/Al 2 O 3 dengan rasio berat Cu(NO 3 ) 2 :Zn(NO 3 ) 2 :Al 2 O 3 = 1,34:1,73:1
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perlakuan Awal dan Karakteristik Abu Batubara Abu batubara yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari 2 jenis, yaitu abu batubara hasil pembakaran di boiler tungku
Lebih terperinciGambar 3. Penampakan Limbah Sisa Analis is COD
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Limbah Laboratorium Limbah laboratorium yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah sisa analisis COD ( Chemical Oxygen Demand). Limbah sisa analisis COD
Lebih terperinciHubungan koefisien dalam persamaan reaksi dengan hitungan
STOIKIOMETRI Pengertian Stoikiometri adalah ilmu yang mempelajari dan menghitung hubungan kuantitatif dari reaktan dan produk dalam reaksi kimia (persamaan kimia) Stoikiometri adalah hitungan kimia Hubungan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Preparasi Awal Bahan Dasar Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa dan Batu Bara
23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab hasil dan pembahasan ini akan diuraikan mengenai hasil preparasi bahan dasar karbon aktif dari tempurung kelapa dan batu bara, serta hasil karakterisasi luas permukaan
Lebih terperinciPENGEMBANGAN METODE SINTESIS UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS ZEOLIT ALAMI DI INDONESIA
Laporan Akhir Tesis LOGO PENGEMBANGAN METODE SINTESIS UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS ZEOLIT ALAMI DI INDONESIA Disusun Oleh: M. Furoiddun Nais 2309201016 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Gede Wibawa, M.Eng
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 2 Skema Pembuatan elektrode pasta karbon.
3 Pasta dimasukkan ke ujung tabung hingga penuh dan padat. Permukaan elektrode dihaluskan menggunakan ampelas halus dan kertas minyak hingga licin dan berkilau (Gambar 2). Gambar 2 Skema Pembuatan elektrode
Lebih terperinciSOAL OLIMPIADE KIMIA SMA TINGKAT KOTA/KABUPATEN TAHUN 2011 TIPE II
1 SOAL OLIMPIADE KIMIA SMA TINGKAT KOTA/KABUPATEN TAHUN 2011 TIPE II 1. Semua pernyataan berikut benar, kecuali: A. Energi kimia ialah energi kinetik yang tersimpan dalam materi B. Energi kimia dapat dibebaskan
Lebih terperinciBab 4 Data dan Analisis
Bab 4 Data dan Analisis 4.1 Hasil XRD Pada penelitian ini dilakukan analisa dengan menggunakan XRD, serbuk yang dihasilkan lewat proses auto-combustion dan telah dikalsinasi dianalisa dengan XRD untuk
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan
6 didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 3.3.3 Sintesis Kalsium Fosfat Sintesis kalsium fosfat dalam penelitian ini menggunakan metode sol gel. Senyawa kalsium fosfat diperoleh dengan mencampurkan serbuk
Lebih terperinciBAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
15 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pembuatan Arang Aktif dari Sekam Padi Arang sekam yang telah diaktivasi disebut arang aktif. Arang aktif yang diperoleh memiliki ukuran seragam (210 µm) setelah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Permanganometri merupakan metode titrasi dengan menggunakan kalium
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permanganometri Permanganometri merupakan metode titrasi dengan menggunakan kalium permanganat, yang merupakan oksidator kuat sebagai titran. Titrasi ini didasarkan atas titrasi
Lebih terperinciTabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g)
22 HASIL PENELITIAN Kalsinasi cangkang telur ayam dan bebek perlu dilakukan sebelum cangkang telur digunakan sebagai prekursor Ca. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kombinasi suhu
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan eksperimental. B. Tempat dan Waktu Tempat penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan
Lebih terperinciREAKSI REDUKSI DAN OKSIDASI
REAKSI REDUKSI DAN OKSIDASI Definisi Reduksi Oksidasi menerima elektron melepas elektron Contoh : Mg Mg 2+ + 2e - (Oksidasi ) O 2 + 4e - 2O 2- (Reduksi) Senyawa pengoksidasi adalah zat yang mengambil elektron
Lebih terperincitanya-tanya.com Soal No.2 Apabila anda diminta untuk mengukur laju reaksi terhadap reaksi : Zn(s) + 2HCI(aq)
Soal No.1 Apa yang di maksud dengan laju reaksi dan satuan dari laju reaksi? Laju reaksi dinyatakan sebagai berkurangnya jumlah pereaksi untuk setiap satuan waktu atau bertambahnya jumlah hasil reaksi
Lebih terperinciLOGO ANALISIS KUALITATIF KATION DAN ANION
LOGO ANALISIS KUALITATIF KATION DAN ANION BY : Djadjat Tisnadjaja Golongan ketiga Besi (II) dan (III), Alumunium, Kromium (III) dan (VI), nikel, kobalt, Mangan (II) dan (VII) serta Zink Djadjat Tisnadjaja,
Lebih terperinciBAB II DASAR TEORI. FeO. CO Fe CO 2. Fe 3 O 4. Fe 2 O 3. Gambar 2.1. Skema arah pergerakan gas CO dan reduksi
BAB II DASAR TEORI Pengujian reduksi langsung ini didasari oleh beberapa teori yang mendukungnya. Berikut ini adalah dasar-dasar teori mengenai reduksi langsung yang mendasari penelitian ini. 2.1. ADSORPSI
Lebih terperinciSOAL LAJU REAKSI. Mol CaCO 3 = = 0.25 mol = 25. m Mr
SOAL LAJU REAKSI 1. Untuk membuat 500 ml larutan H 2 SO 4 0.05 M dibutuhkan larutan H 2 SO 4 5 M sebanyak ml A. 5 ml B. 10 ml C. 2.5 ml D. 15 ml E. 5.5 ml : A Mencari volume yang dibutuhkan pada proses
Lebih terperinciKUMPULAN SOAL-SOAL KIMIA LAJU REAKSI
KUMPULAN SOAL-SOAL KIMIA LAJU REAKSI 1. Untuk membuat 500 ml larutan H 2 SO 4 0.05 M dibutuhkan larutan H 2 SO 4 5 M sebanyak ml a. 5 ml b. 10 ml c. 2.5 ml d. 15 ml e. 5.5 ml 2. Konsentrasi larutan yang
Lebih terperinciBAB III BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September
BAB III BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September tahun 2011 di Laboratorium Riset kimia makanan dan material, untuk
Lebih terperinciPemanfaatan Bentonit Dan Karbon Sebagai Support Katalis NiO-MgO Pada Hidrogenasi Gliserol
Pemanfaatan Bentonit Dan Karbon Sebagai Support Katalis NiO-MgO Pada Hidrogenasi Gliserol Oleh : Ferlyna Sari 2312 105 029 Iqbaal Abdurrokhman 2312 105 035 Pembimbing : Ir. Ignatius Gunardi, M.T NIP 1955
Lebih terperinci4. Hasil dan Pembahasan
4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Analisis Sintesis PS dan Kopolimer PS-PHB Sintesis polistiren dan kopolimernya dengan polihidroksibutirat pada berbagai komposisi dilakukan dengan teknik polimerisasi radikal
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Preparasi 4.1.1 Sol Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan ZrOCl 2. 8H 2 O dengan perbandingan mol 1:4:6 (Ikeda, et al. 1986) dicampurkan
Lebih terperinciKUMPULAN SOAL-SOAL KIMIA LAJU REAKSI
KUMPULAN SOAL-SOAL KIMIA LAJU REAKSI KUMPULAN SOAL-SOAL KIMIA LAJU REAKSI 1. Untuk membuat 500 ml larutan H2SO4 0.05 M dibutuhkan larutan H2SO4 5 M sebanyak ml a. 5 ml b. 10 ml c. 2.5 ml d. 15 ml e. 5.5
Lebih terperinciPENGARUH TEMPERATUR TERHADAP UKURAN PARTIKEL FE3O4 DENGAN TEMPLATE PEG-2000 MENGGUNAKAN METODE KOPRESIPITASI
PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP UKURAN PARTIKEL FE3O4 DENGAN TEMPLATE PEG-2000 MENGGUNAKAN METODE KOPRESIPITASI Santi Dewi Rosanti, Dwi Puryanti Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand, Limau
Lebih terperinciAnalisis Kation Golongan III
Analisis Kation Golongan III A. Tujuan Percobaan Dalam percobaan ini mahasiswa diharapkan dapat 1. Memisahkan kation kation Mn, Al, Fe, Cr, Ni, Co, Zn sebagai kation golongan III 2. Memisahkan kation kation
Lebih terperinciBAB IV. HASIL PENGAMATAN dan PERHITUNGAN
BAB IV HASIL PENGAMATAN dan PERHITUNGAN A. HASIL PENGAMATAN 1. Standarisasi KMnO 4 terhadap H 2 C 2 O 4 0.1 N Kelompok Vol. H 2 C 2 O 4 Vol. KMnO 4 7 10 ml 10.3 ml 8 10 ml 10.8 ml 9 10 ml 10.4 ml 10 10
Lebih terperinciNo Indikator Soal Valid
107 Lampiran 3 Rekapitulasi asi Instrumen TDM-TWO-TIER No Indikator Soal 1 Memahami kesetimbangan Reaksi kesetimbangan antara N 2 O 4 dengan NO 2 mengikuti persamaan kimia berikut ini : ator 1 :- dinamis
Lebih terperinciLAPORAN KIMIA ANORGANIK II PEMBUATAN TAWAS DARI LIMBAH ALUMUNIUM FOIL
LAPORAN KIMIA ANORGANIK II PEMBUATAN TAWAS DARI LIMBAH ALUMUNIUM FOIL KELOMPOK : 3 NAMA NIM APRIANSYAH 06111010020 FERI SETIAWAN 06111010018 ZULKANDRI 06111010019 AMALIAH AGUSTINA 06111010021 BERLY DWIKARYANI
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan
dan kemudian ditimbang. Penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Rumus untuk perhitungan TSS adalah sebagai berikut: TSS = bobot residu pada kertas saring volume contoh Pengukuran absorbans
Lebih terperinciBab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.
Lebih terperinciLOGO. Stoikiometri. Tim Dosen Pengampu MK. Kimia Dasar
LOGO Stoikiometri Tim Dosen Pengampu MK. Kimia Dasar Konsep Mol Satuan jumlah zat dalam ilmu kimia disebut mol. 1 mol zat mengandung jumlah partikel yang sama dengan jumlah partikel dalam 12 gram C 12,
Lebih terperinci1. Isilah Biodata anda dengan lengkap (di lembar Jawaban) Tulis dengan huruf cetak dan jangan disingkat!
Petunjuk : 1. Isilah Biodata anda dengan lengkap (di lembar Jawaban) Tulis dengan huruf cetak dan jangan disingkat! 2. Soal Teori ini terdiri dari dua bagian: A. 30 soal pilihan Ganda : 60 poin B. 5 Nomor
Lebih terperinci30 Soal Pilihan Berganda Olimpiade Kimia Tingkat Kabupaten/Kota 2011 Alternatif jawaban berwarna merah adalah kunci jawabannya.
30 Soal Pilihan Berganda Olimpiade Kimia Tingkat Kabupaten/Kota 2011 Alternatif jawaban berwarna merah adalah kunci jawabannya. 1. Semua pernyataan berikut benar, kecuali: A. Energi kimia ialah energi
Lebih terperinciMETODA GRAVIMETRI. Imam Santosa, MT.
METODA GRAVIMETRI Imam Santosa, MT. METODA GRAVIMETRI PRINSIP : Analat direaksikan dengan suatu pereaksi sehingga terbentuk senyawa yang mengendap; endapan murni ditimbang dan dari berat endapan didapat
Lebih terperinciSKL 2 RINGKASAN MATERI. 1. Konsep mol dan Bagan Stoikiometri ( kelas X )
SKL 2 Menerapkan hukum-hukum dasar kimia untuk memecahkan masalah dalam perhitungan kimia. o Menganalisis persamaan reaksi kimia o Menyelesaikan perhitungan kimia yang berkaitan dengan hukum dasar kimia
Lebih terperinciTRY OUT SELEKSI OLIMPIADE TINGKAT KABUPATEN/KOTA 2010 TIM OLIMPIADE KIMIA INDONESIA 2011 Waktu: 150 Menit PUSAT KLINIK PENDIDIKAN INDONESIA (PKPI) bekerjasama dengan LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR SSCIntersolusi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Magnesium klorida Salah satu kegunaan yang paling penting dari MgCl 2, selain dalam pembuatan logam magnesium, adalah pembuatan semen magnesium oksiklorida, dimana dibuat melalui
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. a b c. Pada proses pembentukan magnetit, urea terurai menjadi N-organik (HNCO), NH + 4,
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis Magnetit Pembentukan magnetit diawali dengan reaksi reduksi oleh natrium sitrat terhadap FeCl 3 (Gambar 1). Ketika FeCl 3 ditambahkan air dan urea, larutan berwarna jingga.
Lebih terperinciMetodologi Penelitian
16 Bab III Metodologi Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode titrasi redoks dengan menggunakan beberapa oksidator (K 2 Cr 2 O 7, KMnO 4 dan KBrO 3 ) dengan konsentrasi masing-masing
Lebih terperinci4 Hasil dan pembahasan
4 Hasil dan pembahasan 4.1 Karakterisasi Awal Serbuk Bentonit Dalam penelitian ini, karakterisasi awal dilakukan terhadap serbuk bentonit. Karakterisasi dilakukan dengan teknik difraksi sinar-x. Difraktogram
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, tujuan dari penelitian dan manfaat yang diharapkan.
BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, tujuan dari penelitian dan manfaat yang diharapkan. 1.1 Latar Belakang Masalah Mineral besi oksida merupakan komponen utama dari
Lebih terperinciII. DESKRIPSI PROSES. Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dapat dihasilkan melalui beberapa proses
II. DESKRIPSI PROSES A. Macam- Macam Proses Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dapat dihasilkan melalui beberapa proses sebagai berikut: 1. Proses Calcium Chloride-Sodium Carbonate Double Decomposition
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Contoh
15 HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Contoh Contoh yang diambil dari alam merupakan contoh zeolit dengan bentuk bongkahan batuan yang berukuran besar, sehingga untuk dapat dimanfaatkan harus diubah ukurannya
Lebih terperinciSTOKIOMETRI BAB. B. Konsep Mol 1. Hubungan Mol dengan Jumlah Partikel. Contoh: Jika Ar Ca = 40, Ar O = 16, Ar H = 1, tentukan Mr Ca(OH) 2!
BAB 7 STOKIOMETRI A. Massa Molekul Relatif Massa Molekul Relatif (Mr) biasanya dihitung menggunakan data Ar masing-masing atom yang ada dalam molekul tersebut. Mr senyawa = (indeks atom x Ar atom) Contoh:
Lebih terperinciHukum Dasar Kimia Dan Konsep Mol
A. PENDAHULUAN Hukum Dasar Kimia Dan Konsep Mol Hukum dasar kimia merupakan hukum dasar yang digunakan dalam stoikiometri (perhitungan kimia), antara lain: 1) Hukum Lavoisier atau hukum kekekalan massa.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Alumina banyak digunakan dalam berbagai aplikasi seperti digunakan sebagai. bahan refraktori dan bahan dalam bidang otomotif.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alumina banyak digunakan dalam berbagai aplikasi seperti digunakan sebagai bahan refraktori dan bahan dalam bidang otomotif. Hal ini karena alumina memiliki sifat fisis
Lebih terperinciII. DESKRIPSI PROSES. Pembuatan kalsium klorida dihidrat dapat dilakukan dengan beberapa macam proses:
II. DESKRIPSI PROSES A. Jenis Proses Pembuatan kalsium klorida dihidrat dapat dilakukan dengan beberapa macam proses: 1. Proses Recovery reaksi samping pembuatan soda ash ( proses solvay ) Proses solvay
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bentonit diperoleh dari bentonit alam komersiil. Aktivasi bentonit kimia. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan merendam bentonit dengan menggunakan larutan HCl 0,5 M yang bertujuan
Lebih terperinciLATIHAN ULANGAN TENGAH SEMESTER 2
Pilihlah jawaban yang paling benar LATIHAN ULANGAN TENGAH SEMESTER 2 TATANAMA 1. Nama senyawa berikut ini sesuai dengan rumus kimianya, kecuali. A. NO = nitrogen oksida B. CO 2 = karbon dioksida C. PCl
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Korosi Baja Karbon dalam Lingkungan Elektrolit Jenuh Udara
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Korosi Baja Karbon dalam Lingkungan Elektrolit Jenuh Udara Untuk mengetahui laju korosi baja karbon dalam lingkungan elektrolit jenuh udara, maka dilakukan uji korosi dengan
Lebih terperinciD. 4,50 x 10-8 E. 1,35 x 10-8
1. Pada suatu suhu tertentu, kelarutan PbI 2 dalam air adalah 1,5 x 10-3 mol/liter. Berdasarkan itu maka Kp PbI 2 adalah... A. 4,50 x 10-9 B. 3,37 x 10-9 C. 6,75 x 10-8 S : PbI 2 = 1,5. 10-3 mol/liter
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN BaTiO 3 merupakan senyawa oksida keramik yang dapat disintesis dari senyawaan titanium (IV) dan barium (II). Proses sintesis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembuatan mesin pada awalnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat yang berfungsi untuk
Lebih terperinci4 Hasil dan Pembahasan
4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BATAN Bandung meliputi beberapa tahap yaitu tahap preparasi serbuk, tahap sintesis dan tahap analisis. Meakanisme
Lebih terperinciSOAL KIMIA 2 KELAS : XI IPA
SOAL KIMIA KELAS : XI IPA PETUNJUK UMUM. Tulis nomor dan nama Anda pada lembar jawaban yang disediakan. Periksa dan bacalah soal dengan teliti sebelum Anda bekerja. Kerjakanlah soal anda pada lembar jawaban
Lebih terperinci4 Hasil dan pembahasan
4 Hasil dan pembahasan 4.1 Sintesis dan Pemurnian Polistiren Pada percobaan ini, polistiren dihasilkan dari polimerisasi adisi melalui reaksi radikal dengan inisiator benzoil peroksida (BPO). Sintesis
Lebih terperinciθ HASIL DAN PEMBAHASAN. oksida besi yang terkomposit pada struktur karbon aktif.
Intensitas 5 selama 24 jam. Setelah itu, filtrat dipisahkan dari sampel C, D, dan E dengan cara mendekatkan batang magnet permanen pada permukaan Erlenmeyer. Konsentrasi filtrat ditentukan menggunakan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil
digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Absorbtivitas Molar I 3 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Penentuan dilakukan dengan mereaksikan KI
Lebih terperinciREAKSI AMOKSIMASI SIKLOHEKSANON MENGGUNAKAN KATALIS Ag/TS-1
REAKSI AMOKSIMASI SIKLOHEKSANON MENGGUNAKAN KATALIS Ag/TS-1 Oleh: Dyah Fitasari 1409201719 Pembimbing: Dr. Didik Prasetyoko, S.Si, M.Sc Suprapto, M.Si, Ph.D LATAR BELAKANG Sikloheksanon Sikloheksanon Oksim
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram alir penelitian Penelitian ini diawali dengan pembentukan komposit magnetit pada silika melalui tahapan sintesis magnetit dengan metode ko-presipitasi, dan
Lebih terperinci