BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Agresivitas. menginginkan adanya perilaku tersebut. Buss dan Perry (dalam Bryant & Smith 2001)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Agresivitas. menginginkan adanya perilaku tersebut. Buss dan Perry (dalam Bryant & Smith 2001)"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Agresivitas 1. Definisi Agresivitas Baron (2004) mengatakan yang dimaksud dengan agresif adalah tingkah laku individu yang maksudkan untuk melukai atau menyakiti individu lain yang tidak menginginkan adanya perilaku tersebut. Buss dan Perry (dalam Bryant & Smith 2001) mengungkapkan bahwa perilaku agresif individu sudah dapat terlihat sejak masa kanakkanak. Setiap manusia memiliki perilaku agresif dan hal tersebut tidak dapat dihindarkan. Contoh dari perilaku agresif yang diarahkan ke eksternal diri adalah melakukan tawuran, berlaku kasar pada orang lain, melakukan perundungan pada orang lain, dan melanggar aturan-aturan yang ada. Contoh perilaku yang diarahkan ke dalam internal diri adalah perilaku menarik diri dari lingkungan masyarakat, bersikap acuh tak acuh dan cenderung putus asa. Krahe (2005) mengungkapkan bahwa motif utama perilaku agresif adalah keinginan untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif dengan menyakiti atau melukai orang lain. Perilaku agresif dapat merujuk ke tindakan agresivitas, menurut salah satu pendekatan terhadap agresivitas yaitu pendekatan belajar yang menolak keberadaan faktor-faktor bawaan yang diyakini sebagai sumber agresivitas dan menurut pendekatan ini agresi itu sebagai tingkah laku yang dipelajari atau hasil belajar yang melibatkan faktorfaktor eksternal pada proses pembentukan agresi tersebut. Dari beberapa definisi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari 12

2 13 agresivitas adalah tingkah laku individu yang menyakiti atau melukai seseorang untuk mempertahankan diri dari ketidakpuasan Berdasarkan teori-teori di atas, terdapat berbagai pemahaman mengenai agresivitas. Masing-masing teori memiliki pemahamannya tersendiri mengenai agresivitas, dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa definisi dari agresivitas itu sendiri adalah kecenderungan menyakiti atau melukai orang lain sebagai pertahanan diri akibat adanya rasa kekecewaan dari dalam diri. 2. Jenis-jenis Agresivitas menurut Buss dan Perry (dalam Bryant & Smith 2001) a. Agresi fisik (physical aggression) Agresi yang dilakukan untuk melukai seseorang secara fisik, seperti menyakiti orang lain secara fisik dan melukai orang lain secara fisik. Contoh tindakan tersebut adalah memukul, menendang, dan menyerang. b. Agresi verbal (verbal aggression) Agresi yang dilakukan kepada seseorang melalui cara verbal, contohnya adalah memaki orang lain, membentak, bersikap sarkatis, dan menyebarkan gosip. c. Rasa marah (anger) Perasaan tidak senang yang dirasakan oleh seseorang akibat dari reaksi fisik ataupun cedera fisik yang dialami oleh seseorang. Contohnya, perasaan benci, kesal, dan tidak mampu mengendalikan amarah. d. Permusuhan (hostility) Sikap negatif kepada orang lain yang muncul karena penilaian negatif dari diri kita sendiri.

3 14 3. Faktor-faktor yang memengaruhi agresivitas Menurut Koeswara (1998) faktor yang dianggap memengaruhi agresivitas pada individu adalah frustasi, stres, deindividuasi, kekuasaan dan kepatuhan, kehadiran senjata, provokasi, obat-obatan dan alkohol, dan suhu udara. a. Frustasi Frustasi adalah ketika individu gagal mendapatkan atau mencapai apa yang diinginkan atau mendapatkan hambatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Frustasi mampu mengarahkan individu kepada bertindak agresif. Dikatakan demikian karena frustasi merupakan situasi yang tidak menyenangkan dan individu pun ingin menghindari hal tersebut dengan berbagai cara, termasuk dengan perilaku agresif. b. Stres Para pakar dalam bidang fisiologis mendefinisikan stres sebagai reaksi, respon, atau adaptasi fisiologis terhadap stimulus eksternal ataupun perubahan lingkungan. Stres bisa muncul dari internal (dalam diri) maupun eksternal (luar diri) dimana stres akan menghasilkan perasaan yang tidak menyenangkan dan menuntut penyesuaian secara behavioral (dalam bentuk perilaku), tuntutan tersebut yang akan merujuk pada perilaku agresif. c. Deindividuasi Deindividuisasi atau depersonalisasi dapat mengarahkan individu pada keleluasaan dalam melakukan agresi, sehingga perilaku agresif dapat terjadi lebih intens. Definisi dari deindividuasi adalah kondisi dimana individu tidak diketahui identitasnya dan individu akan bertindak lebih anti sosial. Keadaan deindividuasi dapat membawa perilaku individu ke luar dari batasan norma d. Kekuasaan dan Kepatuhan

4 15 Kekuasaan apabila disalahgunakan oleh individu, akan merujuk pada agresi. Dasar pemikiran bahwa menggunakan kekuasaan dan mengubahnya menjadi kekuatan yang memaksa memiliki dampak yang langsung atau tidak langsung pada perilaku agresif. e. Efek Senjata Penyebaran senjata merupakan salah satu alasan mengapa seseorang bisa berprilaku agresif. Contohnya adalah senjata nuklir yang menimbulkan konflik antar negara. Fungsi senjata tidaklah memainkan peranan utama dalam agresi, tapi adanya efek kehadiran dari senjata tersebut yang dapat menimbulkan agresi. f. Provokasi Provokasi juga merupakan pemicu agresi. Karena provokasi dapat meningkatkan emosi seseorang. Schachter mengungkapkan bahwa kemungkinan tercetusnya agresi akan lebih besar apabila individu yang menerimaprovokasi mengalami peningkatan emosi. Hasil penelitian Zillman dan Byrant (dalam Koeswara 1998) mengatakan bahwa subjek-subjek yang taraf emosinya tinggi menunjukkan tingkat agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek-subjek yang taraf emosinya rendah ketika para subjek diberikan perlakuan provokatif. g. Alkohol dan Obat-Obatan Konsumsi alkohol yang berlebihan akan memiliki efek buruk pada perilaku seseorang. Jika alkohol dikonsumsi oleh individu yang berkepribadian labil atau memiliki masalah secara psikologis itu akan merujuk pada kemunculan dari tindakan kekerasan ataupun agresi. h. Suhu Udara

5 16 Faktor ini jarang diperhatikan oleh para peneliti. Meski demikian di Amerika Serikat terjadi peningkatan tindak kekerasan pada musim panas di akhir tahun 1960 dan awal tahun Dimensi Agresivitas Dalam pembentukan agresivitas, terdapat dimensi-dimensi pembentuk di dalamnya. Di bawah ini merupakan dimensi agresivitas berdasarkan Schneiders (dalam Kusumo 2007). a. Perlawanan disiplin Tindakan individu yang melanggar aturan demi untuk mencapai kesenangan pribadi. b. Superioritas Sikap individu yang menganggap bahwa dirinya sendiri lebih baik daripada orang lain. c. Egosentrisme Individu yang cenderung mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan kepentingan orang lain seperti tindakan yang menjurus ke kekuasaan dan kepemilikan. d. Keinginan untuk menyerang manusia Kecenderungan individu untuk melampiaskan dan memuaskan keinginan yang tidak nyaman maupun tidak puas akan lingkungan sekitar dengan melakukan tindakan penyerangan terhadap individu atau benda lain disekitar. Di bawah ini merupakan dimensi agresivitas dari Allport dan Adorno (dalam Koeswara, 1998). a. Survival

6 17 Perilaku naluri individu untuk mempertahankan diri. b. Egosentris Individu yang mengutamakan kepentingan dirinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain yang ditunjukkan dalam sikap kepatuhan dan kekuasaan. c. Otoriter Individu yang memiliki kepribadian otoriter cenderung memiliki sikap yang kaku dengan keyakinannya, memegang dengan teguh nilai-nilai yang konvensional, dan tidak mampu toleran dengan kelemahan diri maupun dari orang lain. Di dalam penelitian ini, peneliti mengadaptasi skala agresivitas dari Buss and Perry (dalam Bryant and Smith 2001), karena dimensi tersebut dianggap komprehensif dalam menjelaskan agresivitas. Dimensi dari skala tersebut adalah sebagai berikut: a. Agresi Fisik Agresi yang dilakukan untuk melukai seseorang secara fisik, seperti menyakiti orang lain secara fisik dan melukai orang lain secara fisik. Contoh tindakan tersebut adalah memukul, menendang, dan menyerang. b. Agresi Verbal Agresi yang dilakukan kepada seseorang melalui cara verbal, contohnya adalah memaki orang lain, membentak, bersikap sarkatis, dan menyebarkan gosip. c. Rasa Marah Perasaan tidak senang yang dirasakan oleh seseorang akibat dari reaksi fisik ataupun cedera fisik yang dialami oleh seseorang. Contohnya, perasaan benci, kesal, dan tidak mampu mengendalikan amarah. d. Sikap Permusuhan

7 18 Sikap negatif kepada orang lain yang muncul karena penilaian negatif dari diri kita sendiri. 1. Definisi Konformitas B. Konformitas Konformitas adalah perubahan perilaku seseorang sebagai akibat dari tekanan kelompok (Myers, 2014). Konformitas tidak hanya sekedar bertindak sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh orang lain, tetapi juga berarti dipengaruhi oleh bagaimana seseorang tersebut bertindak. Konformitas juga memiliki arti bahwa bertindak dan berpikir secara berbeda dari tindakan dan pikiran yang biasa kita lakukan jika kita sendiri. Individu akan melakukan konformitas karena adanya rasa ketakutan untuk tidak diterima oleh suatu kelompok dan menghindar dari celaan (Yuliana, 2013). Santrock (2002) mengatakan bahwa konformitas muncul ketika individu mengikuti tingkah laku dari orang lain dikarenakan tekanan dari orang lain baik yang nyata maupun yang dibayangkan. Konformitas terhadap tekanan sebaya pada remaja dapat menjadi positif atau negatif. Bentuk konformitas yang negatif seperti menggunakan bahasa yang kasar, mengolok-olok, dan merusak, sedangkan bentuk konformitas yang positif adalah tingkah laku remaja yang meniru gaya berpakaian teman, mengikuti kegiatan-kegiatan sosial, dan memiliki perkumpulan untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif. Berdasarkan paparan teori konformitas diatas, peneliti memutuskan untuk menggunakan teori dari Myers (2014) sebagai teori utama karena teori tersebut dianggap komprehensif dalam menjelaskan pengertian dari konformitas. Menurut Deutsch dan Gerrard (dalam Sarwono 2005) ada 2 penyebab mengapa orang melakukan konformitas, diantaranya: a. Pengaruh norma

8 19 Disebabkan oleh keinginan seseorang untuk memenuhi harapan orang lain sehingga dapat diterima oleh orang lain. Pengaruh norma terjadi ketika kita mengubah perilaku kita untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok atau standar kelompok agar seseorang dapat diterima secara sosial dan menghindari penolakan, pelecehan, atau ejekan (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). b. Pengaruh informasi Adanya bukti-bukti dan berbagai informasi mengenai realitas yang diberikan oleh orang lain yang dapat diterima atau tidak dapat dielakkan lagi. Tendensi untuk menyesuaikan diri berdasarkan pengaruh informasi ini bergantung pada 2 aspek situasi yaitu: seberapa besar keyakinan kita pada kelompok dan seberapa yakinkah kita pada penilaian diri kita sendiri sosial (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Semakin besar kepercayaan kita kepada informasi dan opini kelompok, semakin mungkin kita menyesuaikan diri dengan kelompok tersebut. Menurut Sears, dkk (2002) terdapat 3 macam aspek konformitas, diantaranya adalah a. Peniruan Peniruan adalah keinginan individu agar sama dengan orang lain secara terbuka atau dengan adanya tekanan (nyata atau dibayangkan) yang menyebabkan konformitas b. Penyesuaian Penyesuaian adalah keinginan individu agar dapat diterima oleh orang lain yang menyebabkan individu bersifat konformitas pada orang lain. Individu biasanya melakukan penyesuaian dengan norma yang suda ada pada kelompok.

9 20 c. Kepercayaan Kepercayaan individu akan semakin besar apabila informasi yang diperoleh dari orang lain terbukti kebenarannya, makan akan semakin meningkat ketepatan informasi dalam memilih untuk conform terhadap orang lain. 2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konformitas menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009) a. Ukuran kelompok Konformitas akan semakin meningkat apabila ukuran kelompok meningkat. Asch (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) mengatakan bahwa 2 orang akan menghasilkan lebih banyak tekanan ke arah konformitas dibandingkan 1 orang dan 3 orang tekanannya lebih besar daripada 2 orang, sedangkan peningkatan jumlah kelompok setelah 4 orang secara substansial tidak meningkatkan konformitas (Taylor, Peplau, & Sears, 2009) b. Keseragaman kelompok Seseorang akan berhadapan dengan mayoritas yang kompak dan cenderung untuk ikut menyesuaikan diri dengan mayoritas tersebut. Apabila kelompok tersebut tidak kompak, maka ada penurunan konformitas. Penurunan konformitas yang ekstrim akibat ketidakkompakan tampaknya disebabkan oleh faktor tingkat keyakinan pada kelompok akibat terjadinya perselisihan dan faktor keengganan untuk menonjol ( Taylor, Peplau, & Sears, 2009). c. Komitmen kepada kelompok Komitmen adalah semua kekuatan positif atau negatif yang membuat individu tetap berhubungan atau tetap dalam kelompok. kekuatan positif yang menarik individu masuk ke dalam kelompok seperti percaya bahwa kelompok memiliki tujuan yang

10 21 luhur, rasa suka terhadap sesama anggota kelompok, dan mengharapkan keuntungan dari kelompok. Kekuatan negatif membuat seseorang tidak mau meninggalkan kelompok seperti kelompok yang membuat anggotanya rugi. Semakin besar tekanan komitmen terhadap kelompok, semakin besar tekanan ke arah konformitas (Taylor, Peplau, & Sears 2009). d. Keinginan deindividuasi Seseorang yang memiliki skor individuasi tinggi jika menunjukkan kesediaan untuk melakukan hal-hal yang berbeda dengan orang lain, namun apabila seseorang memiliki skor individuasi rendah orang tersebut akan ragu atau enggan melakukan hal-hal yang membuatnya berbeda (Taylor, Peplau, & Sears 2009). 3. Dimensi konformitas Dalam pembentukan konformitas, terdapat dimensi-dimensi pembentuk di dalamnya. Di bawah ini merupakan dimensi konformitas menurut Sears (1999) 1. Kekompakan Kekuatan yang dimiliki kelompok yang membuat remaja tertarik dan ingin tetap menjadi bagian dari sebuah kelompok. Semakin besar rasa suka individu terhadap kelompoknya, akan semakin besar keinginan individu tersebut untuk kompak dengan kelompok dan konformitas akan menjadi tinggi (Sears, 1999). 2. Kesepakatan Pendapat kelompok merupakan acuan yang memiliki tekanan kuat, sehingga remaja harus menyesuaikan pendapat dengan kelompok (Sears, 1999).

11 22 3. Ketaatan Tekanan dan tuntutan dari kelompok yang membuat remaja rela untuk melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkan perilaku tersebut. Semakin remaja taat pada kelompoknya, tingkat konformitas juga semakin tinggi (Sears, 1999). Di dalam penelitian ini, peneliti membuat skala konformitas berdasarkan dimensi yang diperoleh dari Sears (2002) a. Peniruan keinginan individu agar sama dengan orang lain secara terbuka atau dengan adanya tekanan (nyata atau dibayangkan) yang menyebabkan konformitas. b. Penyesuaian keinginan individu agar dapat diterima oleh orang lain yang menyebabkan individu bersifat konformitas pada orang lain. Individu biasanya melakukan penyesuaian dengan norma yang suda ada pada kelompok. c. Kepercayaan Kepercayaan individu akan semakin besar apabila informasi yang diperoleh dari orang lain terbukti kebenarannya, makan akan semakin meningkat ketepatan informasi dalam memilih untuk conform terhadap orang lain. C. Kecerdasan Emosional 1. Definisi Kecerdasan Emosional Menurut Goleman (1995) kecerdasan emosional meliputi perasaan serta pikiranpikiran yang khas baik secara psikologis maupun biologis dan merupakan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Kecerdasan emosional merupakan suatu kemampuan yang

12 23 dimiliki oleh individu yang meliputi kemampuan untuk mempersepsikan, membangkitkan, serta memasuki emosional yang dapat membantu untuk menyadari serta mengelola emosi diri sendiri maupun orang lain, sehingga dapat mengembangkan pertumbuhan emosi dan intelektual. Selain itu kecerdasan emosional menurut Goleman (1995) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan ketika individu mengalami suatu keadaan yang membuat frustasi, mengendalikan dorongan hati serta tidak melebih-lebihkan kesenangan yang dirasakan, mengatur suasana hati dan juga menjaga agar beban stres yang ada tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, serta berdoa. Menurut McShane dan Von Glinow (dalam Wibowo, 2013) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah sekumpulan kemampuan untuk merasakan dan menyatakan emosi, mengasimilasi emosi dalam berpikir, memahami dan alasan dengan emosi, dan menghubungkan emosi dalam diri sendiri dan orang lain. Kritner dan Kinicki (dalam Wibowo, 2013), menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan mengelola dirinya sendiri dan berinteraksi dengan orang lain dengan cara dewasa dan juga konstruktif. Berdasarkan paparan teori diatas peneliti memutuskan untuk menggunakan teori dari Goleman (1995) karena dianggap komprehensif dalam menjelaskan kecerdasan emosional. 2. Dimensi Kecerdasan Emosional Dimensi kecerdasan emosional menurut Labbaf (2011) adalah sebagai berikut: a. Self awareness Kemampuan seseorang untuk memahami potensi-potensi yang ada di dalam diri seperti kekurangan dan kelebihan yang ada di dalam individu tersebut. b. Self regulation

13 24 Kemampuan seseorang untuk mengatur dan memahami emosi-emosi yang ada di dalam diri. c. Self motivation Kemampuan seseorang untuk memotivasi dirinya sendiri di dalam berbagai keadaan. Di bawah ini merupakan dimensi kecerdasan emosional dari Martin (2003) a. Kesadaran diri 1) Kesadaran emosi Mampu mengenali emosi diri dan orang lain, serta memahami dampaknya pada orang lain. 2) Penilaian diri secara akurat Menyadari kekurangan dan kelebihan diri, serta mampu memahami apa yang harus diperbaiki dan dipelajari dari pengalaman sebelumnya. 3)Percaya diri Suatu rasa keberanian yang muncul karena adanya keyakinan akan kemampuan diri sendiri. b. Pengaturan diri 1) Pengendalian diri Mampu mengelolam emosi dan impuls di dalam diri. 2) Sifat dapat dipercaya Memelihara kejujuran dan integritas di dalam diri. 3) Kewaspadaan Bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan oleh diri. 4) Adaptabilitas

14 25 Mampu menerima adanya perubahan. 5) Inovasi Memiliki pikiran yang terbuka terkait dengan informasi yang ada saat ini. c. Motivasi 1) Dorongan berprestasi Dorongan untuk menjadi individu yang lebih baik. 2) Komitmen Sikap yang setia pada visi dan misi yang ada dilingkungan. 3) Inisiatif Kesiapan individu untuk memanfaatkan kesempatan. 4) Optimisme Kegigihan individu untuk memperjuangkan sasaran walaupun adanya rintangan. d. Empati 1) Memahami orang lain Mampu memahami perasaan orang lain dan mampu memahami kepentingan orang lain dengan tidak selalu mendahulukan kepentingan pribadi. 2) Orientasi pelayanan Mampu memahami, mengatasi, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan orang lain. 3) Mengembangkan orang lain Mempu merasakan kebutuhan orang lain untuk berkembang dan berusaha membantu orang tersebut untuk berkembang. 4) Memanfaatkan keseragaman Mampu bergaul dengan semua orang untuk mendapatkan peluang. 5) Manajeman konflik

15 26 Kemampuan individu dalam negosiasi. 6) Kolaborasi dan kooperatif Kemampuan bekerja sama dengan orang lain demi tujuan yang sama. 7) Kemampuan tim Kemampuan individu untuk berjuang memperoleh tujuan yang sama dengan menciptakan sinergi kelompok. e. Keterampilan sosial 1) Pengaruh Memiliki taktik untuk melakukan persuasi. 2) Komunikasi Kemampuan individu dalam mengirimkan dan menerima pesan dengan baik. 3) Kepemimpinan Membangkitkan inspirasi dan mampu memandu orang lain. 4) Katalisator perubahan Kemampuan mengawali dan menciptakan perubahan. Peneliti memutuskan untuk menggunakan aspek Goleman sebagai dimensi untuk membuat alat ukur. Goleman (2001) membagi kecerdasan emosional ke dalam beberapa aspek yang akan dijabarkan sebagai berikut: a. Mengenali Emosi Diri Mengenali emosi diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Kemampuan mengenali emosi dibimbing oleh dua kemampuan, yaitu kemampuan menyadari apa yang dipikirkan dan mengenali apa yang dirasakan. Inti dari mengenali emosi diri adalah mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi atau timbul.

16 27 Mengenali emosi diri sama dengan kesadaran diri, yaitu mengetahui apa yang seseorang rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki acuan yang realistis atas kemampuan diri dan memiliki kepercayaan diri yang kuat. Penggunaan istilah kesadaran diri mengacu pada perhatian seseorang yang introspektif dan bercermin pada diri akan pengalamannya. Menurut Goleman (1995) beberapa hal penting yang berkaitan dengan mengenali emosi diri yaitu : 1) Mengenali dan merasakan emosinya sendiri, sungguh-sungguh menyadari emosi apa yang terjadi dalam diri, dan dengan penuh kesadaran merasakan emosi yang terjadi. 2) Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul dan tahu apa atau siapa yang menyebabkan suatu perasaan muncul. 3) Mengenali perbedaan antara perasaan dan tindakan. Seseorang harus mampu membedakan bahwa perasaan adalah sesuatu yang terjadi di dalam diri, sedangkan tindakan lebih pada perwujudan ke luar dari pikiran dan perasaan. Pada akhirnya dapat diketahui bahwa mengungkapkan perasaan itu dalam bentuk tindakan atau perilaku yang ditampakkan. b. Mengelola Emosi Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat. Kecakapan mengelola emosi ini merupakan kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri yang meliputi kemampuan menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan. Orang yang memiliki kecakapan ini mampu bangkit kembali, sedangkan orang yang kemampuannya di bidang ini buruk maka akan terus bertarung melawan perasaannya.

17 28 Goleman (2001) menyatakan hal-hal penting dalam mengelola emosi yaitu : 1) Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah. 2) Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat 3) Berkurangnya prilaku agresif 4) Perasaan positif tentang diri sendiri 5) Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa c. Memotivasi Diri Sendiri Memotivasi diri merupakan kemampuan untuk menata emosi. Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya untuk memberi perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri dan berkreasi. Memotivasi diri juga bisa diartikan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, serta bertahan untuk menghadapi kegagalan dan frustasi. Memotivasi diri sendiri dapat diartikan bahwa orang mampu bangkit dan terdorong untuk berubah. Orang yang memiliki kecakapan ini tidak tercampak dalam suatu kegagalan dan mudah puas dengan pekerjaannya, melainkan terus berusaha untuk memperbaiki dirinya. Kendali diri atau menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati menjadi landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Goleman (2001) menyatakan bahwa hal-hal penting dalam memotivasi diri sendiri yaitu : 1) Lebih bertanggungjawab, hal ini berarti bahwa orang mampu bertanggungjawab atas apa yang ia lakukan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. 2) Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan.

18 29 3) Lebih menguasai diri d. Mengenali Emosi Orang Lain Mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Empati juga mencakup kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif remaja tersebut, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan berbagai watak orang. Menurut Goleman (2001) hal-hal penting dalam mengenali emosi orang lain yaitu: 1) Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain 2) Empati dan peka terhadap perasaan orang lain. 3) Lebih baik dalam mendengarkan orang lain e. Membina Hubungan Seni membina hubungan berarti kecakapan untuk berinteraksi dengan orang lain, kemampuan untuk menjalin hubungan dan bagaimana seseorang menempatkan dirinya dalam suatu kelompok. Kemampuan untuk mengungkapkan diri dan perasaan merupakan dasar dalam kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Menurut Goleman (2001) beberapa hal penting yang berkaitan dengan membina hubungan yaitu : 1) Kemampuan menganalisis dan membina hubungan 2) Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan perselisihan 3) Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan 4) Lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi

19 30 5) Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa 6) Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok 7) Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama dan suka menolong 8) Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain D. Remaja Madya Menurut Hall (dalam Hurlock 2003) remaja atau yang sering disebut dengan adolescence adalah masa antara usia 12 sampai 23 yang penuh dengan topan dan tekanan. Topan dan tekanan (storm-and-stres) adalah konsep Hall tentang remaja sebagai masa goncangan yang ditandai dengan konflik dan perubahan suasana hati. Akan tetapi meskipun kebanyakan remaja mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang lebih positif dibandingkan dengan yang digambarkan oleh orang dewasa dan media, banyak remaja yang sekarang ini tidak memperoleh cukup kesempatan dan dukungan untuk menjadi orang dewasa yang kompeten (Santrock, 2003). Masa remaja dibagi menjadi tiga masa oleh Gunarsa dan Gunarsa (2012) yang akan diuraikan sebagai berikut: a. Masa remaja awal : tahun b. Masa remaja madya : tahun c. Masa remaja akhir : tahun Menurut Santrock (2003) remaja diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional yang berhubungan dengan minat pada karir, pacaran, dan eksploitasi identitas. Rice (2001) menyatakan bahwa remaja adalah periode tumbuhnya antara anakanak dan dewasa. Remaja biasanya dibagi menjadi dua yaitu early adolescence (umur 11-

20 31 14 tahun) dan middle or late adolescence (15-19 tahun). Ada berbagai pendekatan pada pembelajaran mengenai remaja seperti pendekatan biologis, pendekatan kognitif, pendekatan psikoseksual dan pendekatan sosial. Masa remaja (adolescence) merupakan peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun bahkan bisa lebih awal sampai masa remaja akhir atau usia dua puluhan awal (Papalia, 2009). Perkembangan pada masa remaja ini meliputi perubahan besar yang terjadi dalam aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berkaitan satu sama lain. Perubahan bentuk fisik pada remaja ditunjukkan dengan bekerjanya organ-organ reproduksi sedangkan perubahan bentuk fisik semakin menyerupai orang dewasa. Perubahan dari sisi kognitif dapat terlihat dari semakin responsifnya remaja terhadap lingkungannya, mengkritisi segala sesuatu yang di hadapinya dan mulai mampu merangkai cita-cita untuk masa depannya (Steinberg, 1993). Masa remaja dianggap sebagai usia yang bermasalah. Ada 2 alasan terkait dengan pernyataan tersebut, diantaranya adalah masalah pada waktu masa anak-anak diselesaikan oleh orang tua atau guru sehingga remaja tersebut tidak memiliki pengalaman untuk menyelesaikan masalahnya, alasan lainnya adalah remaja yang ingin mandiri sehingga di dalam penyelesaian masalahnya, tidak ingin dibantu oleh orang lain dan akibatnya adalah penyelesaian masalah tersebut tidak sesuai dengan harapan remaja tersebut (Hurlock,2003). Usia anak yang rawan akan perilaku agresif berada dalam rentang usia tahun karena terkait dengan emosi remaja yang fluktuatif (Rice, 2001). Remaja berumur tahun disebut dengan remaja madya, pada usia ini remaja membutuhkan teman-teman dan membutuhkan pengakuan (Hurlock, 2003).

21 32 E. Hubungan antar Variabel Remaja merupakan fase peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa (Hurlock, 2003). Pada masa ini remaja mulai menduduki bangku di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), remaja yang sedang duduk di bangku SMA berusia tahun yang dapat disebut sebagai remaja madya (Gunarsa & Gunarsa, 2012). Remaja adalah generasi muda yang merupakan harapan untuk menjadi penerus bangsa, sehingga membimbing remaja menjadi individu yang berkualitas merupakan tugas bersama yang tidak mudah dan memiliki banyak risiko (Buwono, 2007) Lingkungan sekitar harus mendukung proses pembinaan tersebut dengan memberikan contoh atau teladan yang baik kepada remaja. Lingkungan sekolah merupakan tempat dimana remaja paling banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman. Interaksi remaja dengan orang lain memunculkan suatu kebutuhan untuk diterima dan diakui oleh orang lain atau yang disebut dengan pengaruh norma, selain itu terdapat juga tendensi untuk memperoleh informasi dari kelompok. Informasi akan diterima dan dipercaya tergantung dari seberapa besar remaja mempercayai kelompok (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Remaja di dalam tahapan perkembangan psikosial akan banyak melakukan interaksi dengan individu, masyarakat maupun dengan organsasu, oleh karena itu remaja akan mendapat pengaruh dari individu maupun masyarakat yang diajak melakukan interaksi. Pengaruh tersebut adalah pengaruh normatif dan pengaruh informasional. Pengaruh normatif merupakan individu yang akan menyesuaikan diri dengan norma kelompoknya, sedangkan pengaruh informasional adalah individu yang akan mempercayai seluruh informasi yang diberikan oleh kelompok Deutsch & Gerrard (dalam Sarwono 2005). Kedua pengaruh tersebut merupakan alasan mengapa orang melakukan konformitas. Konformitas adalah individu yang melakukan suatu perilaku karena melihat

22 33 orang lain menampilkan perilaku tersebut (Sears, 1999). Konformitas dapat berdampak positif dan negatif, contoh dari konformitas positif adalah mematuhi peraturan di masyarakat dan contoh dari konformitas negatif seperti ikut tergabung di dalam geng motor, merokok, membolos, dan tawuran dapat merujuk ke tindak agresivitas pada remaja. Penelitian Yuliana (2012) menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan dan positif antara konformitas dengan perilaku agresif. Hal tersebut terkait dengan perilaku siswa yang cenderung ikut-ikutan dengan perilaku teman sebaya seperti mengikuti kebiasaan merokok, mengikuti kebiasaan memaki-maki dengan menggunakan kata-kata kasar. Konformitas yang negatif menyebabkan munculnya tindak agresivitas pada remaja karena terkait dengan pengaruh sosial yang memiliki sisi negatif dan positif (Sarwono, 2009). Pengaruh sosial dapat berupa interaksi yang dilakukan oleh remaja dengan teman sebaya karena tidak semua interaksi yang dilakukan bersifat positif, melainkan ada juga yang negatif seperti perkelahian, tawuran dan lain sebagainya yang merujuk tindak agresivitas yang merupakan akar dari kekerasan (Prawira, 2014). Agresivitas yang terjadi pada remaja berhubungan dengan naik turunnya emosi yang dirasakan oleh remaja tersebut, karena remaja mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi (Hurlock, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan agresivitas. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa remaja yang mampu mengolah kecerdasan emosional dengan baik, memiliki tendensi agresivitas yang rendah dan remaja yang tidak mampu mengolah kecerdasan emosional yang baik cenderung memiliki tendensi agresivitas yang lebih tinggi. Setiap individu memiliki kecerdasan emosional yang berbeda-beda. Berdasarkan tinjauan dinamika antar variabel yang telah diuraikan diatas,

23 34 dapat diasumsikannya bahwa terdapat hubungan yang signifikan konformitas dan kecerdasan emosional terhadap agresivitas pada remaja madya di SMAN 7 Denpasar. Gambar 1. Skema Hubungan antar Variabel Keterangan: : garis pengaruh yang akan diteliti : garis yang mempengaruhi variabel, tidak diteliti : variabel yang akan diteliti : variabel yang tidak akan diteliti F. Hipotesis Penelitian Hipotesis mayor Konformitas dan kecerdasan emosional memiliki hubungan terhadap agresivitas pada remaja madya di SMAN 7 Denpasar.

24 35 Hipotesis minor 1. Ada korelasi positif antara konformitas dengan agresivitas pada remaja madya di SMAN 7 Denpasar. 2. Ada korelasi negatif antara kecerdasan emosional dengan agresivitas pada remaja madya di SMAN 7 Denpasar.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja identik dengan masa pubertas, di masa ini terjadi perubahan fisik di semua bagian tubuh baik ekternal maupun internal yang juga mempengaruhi psikologis remaja

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak kriminalitas dilakukan oleh remaja (Republika, 2 0 0 5 ). Tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress (santrock, 2007 : 200). Masa remaja adalah masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal di Indonesia merupakan rangkaian jenjang pendidikan yang wajib dilakukan oleh seluruh warga Negara Indonesia, di mulai dari Sekolah Dasar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang variabel-variabel dimana didalamanya terdapat definisi, faktor dan teori dari masing-masing variabel dan juga berisi tentang hipotesis penelitian ini. 2.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelegensi atau akademiknya saja, tapi juga ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORITIK BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan gabungan dari prestasi belajar dan pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi. Prestasi dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin berkumpul untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tahun Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tahun Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kecerdasan Emosi 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosional diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer pada tahun 1990. Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Definisi Penyesuaian Diri Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari berinteraksi dengan orang lain maupun lingkungannya. Berbicara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Agresi. pemuasan atau tujuan yang dapat ditujukan kepada orang lain atau benda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Agresi. pemuasan atau tujuan yang dapat ditujukan kepada orang lain atau benda. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Agresi 1. Pengertian Perilaku Agresi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agresi adalah perbuatan bermusuhan yang bersifat menyerang secara fisik maupun psikis kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan, seseorang tidak pernah lepas dari kehidupan emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang dikatakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Schiffman & Kanuk (2004), konsumen yang melakukan pembelian dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia terlahir dalam keadaan yang lemah, untuk memenuhi kebutuhannya tentu saja manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya, artinya ia akan tergantung

Lebih terperinci

BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini merupakan siswa kelas XI SMK Saraswati Salatiga yang populasinya berjumlah 478 siswa. Kelas XI SMK Saraswati

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Penyesuaian Sosial 2.1.1. Pengertian Penyesuaian Sosial Schneider (1964) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa, Sosial adjustment signifies the capacity to react affectively

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

TINJAUAN PUSTAKA Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescent yang mempunyai arti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk terbawa arus adalah remaja. Remaja memiliki karakteristik tersendiri yang unik, yaitu

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Secara umum kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami secara lebih efektif terhadap daya kepekaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi (http://id.wikipedia.org). Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi (http://id.wikipedia.org). Mengenyam pendidikan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia berusaha meningkatkan mutu pendidikan formal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa yang sangat penting. Masa remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa yang sangat penting. Masa remaja adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa yang sangat penting. Masa remaja adalah proses panjang yang dialami seorang individu dalam kehidupannya. Proses peralihan dari masa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas BAB II LANDASAN TEORI A. Agresivitas Semua orang seperti memahami apa itu agresi, namun pada kenyatannya terdapat perbedaan pendapat tentang definisi agresivitas. agresi identik dengan hal yang buruk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Adolescence (remaja) merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia, karena masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup bersama dengan orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut Walgito (2001)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruis 2.1.1 Pengertian Altruis adalah suatu bentuk perilaku menolong berupa kepedulian untuk menolong orang lain dengan sukarela tanpa mengharapkan adanya imbalan atau balasan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan yang terjadi saat ini sangat memprihatinkan, salah satunya adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari Komnas Perlindungan anak,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. maupun mental. Perilaku agresi yang diukur adalah berupa bentuk agresi fisik

BAB II LANDASAN TEORI. maupun mental. Perilaku agresi yang diukur adalah berupa bentuk agresi fisik BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Agresivitas 2.1.1 Pengertian Agresivitas Buss & Perry (1992) menyatakan agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agresi 2.1.1 Definisi Agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental (Aziz & Mangestuti, 2006). Perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Konflik 1. Pengertian Manajemen Konflik Menurut Johnson ( Supraktiknya, 1995) konflik merupakan situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena akhir-akhir ini sangatlah memprihatinkan, karena kecenderungan merosotnya moral bangsa hampir diseluruh dunia. Krisis moral ini dilanjutkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional (Santrock, 2003).

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan pengembangan pendidikan, seperti dengan perbaikan kurikulum. seperti dari Inggris, Singapura dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. melakukan pengembangan pendidikan, seperti dengan perbaikan kurikulum. seperti dari Inggris, Singapura dan sebagainya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring kemajuan yang ada, banyak perubahan yang dirasakan dalam berbagai kehidupan saat ini. Lapangan kerja yang semakin kompetitif dan spesialis, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu pengaruh kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja. Hal ini termasuk latar belakang penelitian, rumusan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja yang merupakan masa-masa dimana banyak terjadi perubahan dalam kehidupan seseorang. Berdasarkan fenomena yang diberitakan melalui berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Simpulan Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers Ragnarok Online. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang mempunyai tujuan dan berpikir dengan cara yang rasional.

Lebih terperinci

15 Prinsip dasar Kecerdasan Emosional : Modal Dasar Perawat Profesional

15 Prinsip dasar Kecerdasan Emosional : Modal Dasar Perawat Profesional 15 Prinsip dasar Kecerdasan Emosional : Modal Dasar Perawat Profesional Saat ini kecerdasan emosional tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejak munculnya karya Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu modal yang harus dimiliki untuk hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari tingkat TK sampai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian perilaku bullying Randall (2002) berpendapat bahwa Bullying dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aksi-aksi kekerasan terhadap orang lain serta perusakan terhadap benda masih merupakan topik yang sering muncul baik di media massa maupun secara langsung kita temui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kesuksesan (keberhasilan, keberuntungan) yang berasal dari dasar kata sukses yang berarti berhasil, beruntung (Kamus Bahasa Indonesia,1998), seringkali menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan satu hal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan. Pemerintah berusaha untuk mewujudkan pendidikan yang kedepan diharapkan muncul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi kasus kekerasan baik fisik maupun non fisik yang melibatkan remaja sebagai pelaku ataupun korban. Kekerasan yang sering terjadi adalah

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Hurlock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa awal periode akhir masa remaja (Hurlock, 1999). Buss dan Perry (1992) mendefinisikan perilaku agresif sebagai suatu

BAB I PENDAHULUAN. pada masa awal periode akhir masa remaja (Hurlock, 1999). Buss dan Perry (1992) mendefinisikan perilaku agresif sebagai suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa ini juga sering disebut sebagai masa transisi dimana remaja memiliki keinginan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dimiliki seseorang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja Pada umumnya remaja didefiniskan sebagai masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahkan sampai jam enam sore jika ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. bahkan sampai jam enam sore jika ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan tempat dimana remaja menghabiskan sebagian waktunya. Remaja berada di sekolah dari pukul tujuh pagi sampai pukul tiga sore, bahkan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang dihadapi siswa dalam memasuki lingkungan sekolah yang baru adalah penyesuaian diri, walaupun penyesuaian diri tidak terbatas pada siswa

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu BAB II LANDASAN TEORI A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu keluarga yang sama, teristimewa untuk memperoleh afeksi atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sempurna perkembangan akal budinya (untuk berfikir, dan kemampuan mengolah tingkah laku dengan pola-pola baru sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sempurna perkembangan akal budinya (untuk berfikir, dan kemampuan mengolah tingkah laku dengan pola-pola baru sehingga 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Emosi dan Kecerdasan Emosi Kecerdasan secara harafiah berasal dari kata cerdas yang berarti sempurna perkembangan akal budinya (untuk berfikir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight). BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stres Gibson menyatakan bahwa Stres adalah kata yang berasal dari Bahasa Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight). Definisi ini menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer

II. TINJAUAN PUSTAKA. Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KECERDASAN EMOSIONAL Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer pada Tahun 1990 (dalam Shapiro, 2001: 8), mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional ialah

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu

BAB V PEMBAHASAN. program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu BAB V PEMBAHASAN Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistimatis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu mengembangkan potensinya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka panjang. Pola hubungan yang terbangun pada masa kanak-kanak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka panjang. Pola hubungan yang terbangun pada masa kanak-kanak dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan dengan saudara merupakan jenis hubungan yang berlangsung dalam jangka panjang. Pola hubungan yang terbangun pada masa kanak-kanak dapat bertahan hingga

Lebih terperinci

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR Laelasari 1 1. Dosen FKIP Unswagati Cirebon Abstrak Pendidikan merupakan kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja Karakteristik Remaja Jenis Kelamin

TINJAUAN PUSTAKA Remaja Karakteristik Remaja Jenis Kelamin 9 TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja merupakan masa transisi dari periode anak ke periode dewasa. Secara psikologi, kedewasaan adalah keadaan berupa sudah terdapatnya ciri-ciri psikologis pada diri seseorang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian diri ialah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhankebutuhan

Lebih terperinci

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL I. PENGERTIAN DAN PROSES SOSIALISASI Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock, 1990). Tuntutan sosial pada perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Formal Ibu 1. Pengertian Ibu Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada pada diri anaknya dalam hal mengasuh, membimbing dan mengawasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan secara biologis,

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan secara biologis, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan secara biologis, psikologis, dan sosiologis. Remaja mengalami kebingungan sehingga berusaha mencari tempat

Lebih terperinci

HUBUNGAN KONFORMITAS DENGAN KEMATANGAN EMOSI PADA REMAJA. Gani Tri Utomo H. Fuad Nashori INTISARI

HUBUNGAN KONFORMITAS DENGAN KEMATANGAN EMOSI PADA REMAJA. Gani Tri Utomo H. Fuad Nashori INTISARI HUBUNGAN KONFORMITAS DENGAN KEMATANGAN EMOSI PADA REMAJA Gani Tri Utomo H. Fuad Nashori INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konformitas dengan kematangan emosi pada remaja.

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. 1 BAB 1 PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. Dimulai dari masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan masa tua. Pada setiap masa pertumbuhan manusia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang sifatnya karena tuntutan gengsi semata dan bukan menurut tuntutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan kehidupan seorang manusia berjalan secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, dewasa, dan lanjut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber

PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai modal penting untuk membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Gaya Kepemimpinan

TINJAUAN PUSTAKA Gaya Kepemimpinan 7 TINJAUAN PUSTAKA Gaya Kepemimpinan Suatu organisasi akan berhasil atau gagal sebagian besar ditentukan oleh bentuk kepemimpinan dari pemimpin. Kotter (1997) diacu dalam Saleh (2009) menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan terbatas dalam belajar (limitless caoacity to learn ) yang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan terbatas dalam belajar (limitless caoacity to learn ) yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Hakikat pendidikan anak usia dini, secara alamiah, perkembangan anak berbeda-beda, baik intelegensi, bakat, minat, kreativitas, kematang emosi, kepribadian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima belas tahun sampai dengan dua puluh dua tahun. Pada masa tersebut, remaja akan mengalami beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti menyakiti orang lain baik fisik maupun verbal. menurut Herbert (Aisyah, 2010) agresivitas merupakan tingkah laku yang

BAB I PENDAHULUAN. seperti menyakiti orang lain baik fisik maupun verbal. menurut Herbert (Aisyah, 2010) agresivitas merupakan tingkah laku yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tahap perkembangan terjadi pada setiap manusia terutama pada masa anak-anak. Tahap perkembangan yang terjadi pada anak umumnya sama. Perkembangan pada anak biasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konformitas Negatif Pada Remaja 2.1.1 Pengertian Konformitas Negatif Pada Remaja Konformitas dapat timbul ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Apabila seseorang menampilkan

Lebih terperinci