BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Agresi. pemuasan atau tujuan yang dapat ditujukan kepada orang lain atau benda.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Agresi. pemuasan atau tujuan yang dapat ditujukan kepada orang lain atau benda."

Transkripsi

1 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Agresi 1. Pengertian Perilaku Agresi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agresi adalah perbuatan bermusuhan yang bersifat menyerang secara fisik maupun psikis kepada pihak lain, agresi merupakan tindakan kasar akibat kekecewaan dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat ditujukan kepada orang lain atau benda. Buss dan Perry (1992) menyatakan perilaku agresi sebagai perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun secara psikologis. Perilaku agresi sepertinya telah menjadi sesuatu hal yang sangat biasa terjadi pada kehidupan sosial individu saat ini. Perilaku agresi adalah setiap bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang itu (Breakwell, 1998). Perilaku agresi dapat dimunculkan secara fisik maupun verbal. Perilaku agresi fisik yaitu perilaku agresi yang dilakukan dengan cara melakukan kekerasan secara fisik, seperti menampar, memukul, melempar dengan benda terhadap orang lain di sekitarnya. Perilaku agresi verbal yaitu perilaku agresi yang dilakukan dengan cara mengeluarkan kata-kata untuk menyerang orang lain, dapat berupa ejekan, hinaan, maupun caci maki. Selanjutnya menurut Kartono (2003) agresi merupakan suatu ledakan emosi dan kemarahan-kemarahan hebat, perbuatan-perbuatan yang

2 13 menimbulkan permusuhan yang ditujukan kepada seseorang atau suatu benda. Atkinson (2000) menjelaskan agresi adalah perilaku yang secara sengaja bermaksud melukai orang lain (secara fisik atau verbal) atau menghancurkan harta benda.agresi sendiri menurut Berkowitz (2003) selalu mengacu pada beberapa jenis perilaku, baik secara fisik maupun simbolis yang dilakukan dengan tujuan menyakiti. Murray (dalam Chaplin, 2004) mengatakan bahwa perilaku agresi adalah kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain untuk meremehkan, merugikan, mengganggu, membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemoohkan atau menuduh secara sehat, menghukum berat atau melakukan tindakan sadis lainnya. Dayakisni dan Hudaniah (2006) mengartikan agresi sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap organisme lain, objek lain dan bahkan dirinya sendiri. Chaplin (2004) mengatakan bahwa perilaku agresi adalah satu serangan atau serbuan tindakan permusuhan yang ditujukan pada seseorang atau benda. Myers (2002) menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang disengaja dan memiliki maksud untuk menyakiti, menghancurkan atau merugikan orang lain untuk melukai objek yang menjadi sasaran agresi. Menurut Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005) mendefinisikan agresi sebagai suatu perilaku yang diwujudkan dalam berbagai bentuk yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan tersebut. Agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang atau institusi terhadap orang atau institusi yang

3 14 sejatinya disengaja (Sarwono, 2009). Agresi merupakan setiap tindakan yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai orang lain (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Agresi lebih difokuskan pada pengertian dari perilaku agresi itu sendiri yang menurut pendapat para ahli seperti Baron (2005) yang mendefinisikan perilaku agresi merupakan tingkah laku yang diarahkan untuk tujuan menyakiti makhluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan semacam menyakiti. Agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh organisme terhadap organisme lain, obyek lain atau bahkan pada dirinya sendiri (Dayakisni dan Hudaniah, 2009). Lebih lanjut Mahmudah (2010) menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain. Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku agresi adalah perbuatan bermusuhan yang bersifat menyerang secara fisik maupun psikis kepada pihak lain, agresi merupakan tindakan kasar akibat kekecewaan dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat ditujukan kepada orang lain atau benda. 2. Aspek-aspek Perilaku Agresi Menurut Buss dan Perry (1992), terdapat empat aspek perilaku agresi yang didasari dari tiga dimensi dasar yaitu motorik, afektif, dan kognitif. Empat aspek perilaku agresi menurut Buss dan Perry yaitu sebagai berikut: a. Physical aggression

4 15 Physical aggression yaitu tindakan agresi yang bertujuan untuk menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang lain melalui respon motorik dalam bentuk fisik, seperti memukul, menendang, dan lain-lain. b. Verbal aggression Verbal aggression yaitu tindakan agresi yang bertujuan untuk menyakiti, mengganggu atau membahayakan orang lain dalam bentuk penolakan dan ancaman melalui respon vokal dalam bentuk verbal. c. Anger Anger merupakan emosi negatif yang disebabkan oleh harapan yang tidak terpenuhi dan bentuk ekspresinya dapat menyakiti orang lain serta dirinya sendiri. Beberapa bentuk anger adalah perasaan marah, kesal, sebal, dan bagaimana mengontrol hal tersebut. Termasuk di dalamnya adalah irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat marah, dan kesulitan mengendalikan amarah. d. Hostility Hostility yaitu tindakan yang mengekspresikan kebencian, permusuhan, antagonisme, ataupun kemarahan yang sangat kepada pihak lain. Hostility adalah suatu bentuk agresi yang tergolong covert (tidak kelihatan). Hostility mewakili komponen kognitif yang terdiri dari kebencian seperti cemburu dan iri terhadap orang lain dan kecurigaan seperti adanya ketidak percayaan serta kekhawatiran.

5 16 Menurut Sadli (dalam Adji, 2002) aspek-aspek perilaku agresif yaitu sebagai berikut: a. Pertahanan diri Pertahanan diri yaitu individu mempertahankan dirinya dengan cara menunjukkan permusuhan, pemberontakan, dan pengrusakan. b. Perlawanan disiplin Perlawanan disiplin yaitu individu melakukan hal-hal yang menyenangkan tetapi melanggar aturan. c. Egosentris Egosentris yaitu individu mengutamakan kepentingan pribadi seperti yang ditunjukkan dengan kekuasaan dan kepemilikan. Individu ingin menguasai suatu daerah atau memiliki suatu benda sehingga menyerang orang lain untuk mencapai tujuannya tersebut, misalnya bergabung dalam kelompok tertentu. d. Superioritas Superioritas yaitu individu merasa lebih baik daripada yang lainnya sehingga individu tidak mau diremehkan, dianggap rendah oleh orang dan merasa dirinya selalu benar sehingga akan melakukan apa saja walaupun dengan menyerang atau menyakiti orang lain. e. Prasangka Prasangka yaitu memandang orang lain dengan tidak rasional. f. Otoriter

6 17 Otoriter yaitu seseorang yang cenderung kaku dalam memegang keyakinan, cenderung memegang nilai-nilai konvensional, tidak bisa toleran terhadap kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya sendiri atau orang lain dan selalu curiga. Menurut Schneiders (dalam Aman, 2004) aspek-aspek perilaku agresif yaitu sebagai berikut: a. Otoriter Otoriter yaitu orang memiliki ciri kepribadian kaku dalam memegang nilainilai konvensional dan tidak bisa toleransi terhadap kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri sendiri maupun orang lain. b. Superior Superior yaitu individu merasa yang paling baik dibanding dengan individu lain. c. Egosentris Egosentris yaitu individu mengutamakan keperluan pribadi tanpa memperhatikan kepentingan diri sendiri seperti yang ditunjukan dengan kekuasaan dan kepemilikan. d. Keinginan untuk menyerang baik terhadap benda maupun manusia Hal ini yang dimaksudkan yaitu mempunyai kecenderungan untuk melampiaskan keinginannnya dan perasaannya yang tidak nyaman ataupun tidak puas pada lingkungan di sekitarnya dengan melakukan penyerangan terhadap individu ataupun benda lain di sekitarnya.

7 18 Berdasarkan aspek-aspek perilaku agresi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari perilaku agresi menurut Buss dan Perry (1992) yaitu physical aggression, verbal aggression, anger dan Hostility. Selanjutnya aspek-aspek dari perilaku agresi menurut Sadli (dalam Adji, 2002) yaitu pertahanan diri, perlawanan disiplin, egosentris, superioritas, prasangka dan otoriter, serta aspek-aspek perilaku agresi menurut Schneiders (dalam Aman, 2004) yaitu otoriter, superior, egosentris dan keinginan untuk menyerang baik terhadap benda maupun manusia. Dari aspek-aspek perilaku agresi yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti akan mengacu pada aspek-aspek perilaku agresi menurut Buss dan Perry (1992), hal ini dikarenakan definisi di setiap ciri-cirinya lebih operasional sehingga lebih mudah dipahami dan lebih jelas untuk dijabarkan atau diamati dalam mengungkapkan adanya indikator-indikator perilaku agresi pada remaja dibandingkan dengan teori dari Sadli (dalam Adji, 2002) dan Schneiders (dalam Aman, 2004). 3. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Perilaku Agresi Menurut Sears, Freedman, dan Peplau (2009), menyatakan perilaku agresi disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu sebagai berikut: a. Serangan Serangan merupakan salah satu faktor yang paling sering menjadi penyebab perilaku agresi dan muncul dalam bentuk serangan verbal atau serangan

8 19 fisik. Serangan adalah gangguan yang dilakukan oleh orang lain. Pada umumnya orang akan memunculkan perilaku agresi terhadap sumber serangan. Berbagai rangsang yang tidak disukai juga akan menimbukan agresi. b. Frustrasi Frustrasi adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan, frustrasi (keadaan tidak tercapainya tujuan perilaku) menciptakan suatu menciptakan suatu motif untuk agresi. Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh suatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, penghargaan atau tindakan tertentu. Menurut Dollard, dkk (dalam Baron dan Byrne, 2005) mengemukakan hipotesis bahwa frustrasi menyebabkan agresi, hipotesis tersebut kemudian dijadikan postulat agresi selalu frustrasi. Menurut Berkowitz (2003), terdapat sembilan faktor penyebab atau stimulus munculnya perilaku agresi, adalah sebagai berikut: a. Frustasi Frustrasi bisa mempengaruhi kemungkinan untuk melakukan serangan terbuka, mereka bisa menjadi agresi meskipun hanya menemui rintangan yang sifatnya legal atau tak sengaja. Dorongan agresi mungkin tidak selalu tampak mata, akan tetapi bisa juga rintangan yang tidak bertentangan dengan kaidah sosial menyebabkan kecenderungan agresi. b. Perasaan negatif (inferiority feeling)

9 20 Perasaan negatif merupakan akar dari agresi emosional. Salah satu bentuk dari perasaan negatif adalah inferiority feeling. Inferiority feeling adalah suatu bentuk perasaan negatif terhadap dirinya sendiri (Jalaludin, 1977). Berkowitz (1995) yang mengatakan bahwa individu mengamuk baik secara verbal maupun secara fisik karena merasa terhina atau merasa harga dirinya tersinggung. c. Pikiran atau kognitif Penilaian mungkin tidak begitu penting, tetapi jelas bisa mempunyai pengaruh besar. Interpretasi untuk bisa menentukan apakah kejadian emosional menyenangkan atau tidak menyenangkan, seberapa kuat perasaan yang ditimbulkan dan apakah faktor penahan memainkan peranan. Dengan demikian, pikiran dapat mempengaruhi agresi seseorang dengan menentukan kejadian emosionalnya terlebih dahulu. Berkowitz (1995) menyatakan bahwa seseorang menjadi marah hanya ketika mereka berkeyakinan bahwa ada yang berbuat salah pada diri mereka atau sengaja mengancam diri mereka, dan kemudian mereka ingin menyakiti orang itu karena kemarahan yang dimiliki. d. Pengalaman masa kecil Pengalaman pada waktu masih kecil memiliki kemungkinan untuk menjadikan anak bertindak agresi emosional, sehingga waktu dewasa menjadi agresif dan anti sosial. e. Pengaruh teman

10 21 Teman merupakan salah satu agen sosialisasi yang dijumpai anak-anak dalam kehidupan dari waktu kecil hingga dewasa. Teman ini mengajari cara bertindak dalam situasi tertentu, dengan berperan sebagai model dan dengan memberi suatu penerimaan atau dukungan apabila mereka bertindak dengan cara yang dianggap pas. f. Pengaruh kelompok (geng) Dalam kelompok atau geng, anak-anak merasa dapat penerimaan dan status, mereka merasa penting dalam geng, sementara di tempat lain tidak berharga. Mereka juga mendapatkan dukungan bahwa pandangan dan sikap mereka bersama itu benar, bahkan bahaya yang mereka takuti dapat diatasi. Dukungan ini memainkan peran penting pada perilaku agresi anak. Seorang anak yang mengalami penyimpangan sosial mungkin tidak berani melanggar hukum, tetapi jika bersama teman-teman anggota geng, ia merasa berani dan aman. g. Kondisi tidak menyenangkan yang diciptakan orangtua Kondisi tidak menyenangkan ini dapat berupa memberikan sikap dingin, acuh, tidak konsisten terhadap apa yang diinginkan dari si anak, serta memberikan hukuman yang kejam jika si anak tidak mematuhi perintah. Dari kondisi tidak menyenangkan tersebut, dapat dipastikan bahwa anak akan menjadi relatif agresif apabila berada di luar lingkungan keluarga. h. Konflik keluarga Banyak yang beranggapan bahwa banyak anak nakal merupakan korban penyimpangan sosial dari kondisi keluarga abnormal. Hal tersebut

11 22 dikarenakan mereka tidak hanya tumbuh dalam kemiskinan tetapi juga hanya mempunyai satu orang tua dan bukan dua sehingga mereka belajar untuk tidak menerima norma dan nilai-nilai tradisional masyarakat. i. Pengaruh model Pengaruh model terhadap anak juga bisa mempengaruhi kecenderungan agresi anak, tidak peduli apakah orang lain itu ingin ditiru atau tidak. Dalam psikologi, fenomena ini disebut dengan modelling dan mendefinisikannya sebagai pengaruh yang timbul ketika orang lain melihat orang lain (model) bertindak dengan cara tertentu dan kemudian meniru perilaku model. Berdasarkan faktor-faktor yang telah dikemukakan oleh Sears, Freedman, dan Peplau (2009) dan Berkowitz (2003), maka variabel yang akan digunakan sebagai variabel independen adalah inferiority feeling hal ini dikarenakan perilaku agresi dipengaruhi oleh beberapa faktor dan salah satunya adalah inferiority feeling, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Smith, dkk (1995) yang mendukung teori perilaku agresi Adler. Perilaku agresi ini terjadi pada seseorang yang memiliki inferiority feeling karena tindak agresi ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan hidup mereka yaitu menuju superioritas. Hal ini juga dikemukakan oleh Adler (dalam Hall Hall & Lindzey, 1993) yang menyatakan bahwa orang yang mengalami perasaan negatif (inferiority feeling) akan mengkompensasikan perasaannya. Orang tersebut akan berusaha menutupi kelemahannya dengan berbagai cara

12 23 termasuk dengan cara yang negatif atau buruk seperti dengan melakukan perilaku agresi baik verbal maupun non-verbal. B. Inferiority Feeling 1. Pengertian Inferiority Feeling Menurut Adler (dalam Hall & Lindzey, 1993) inferiority feeling adalah perasaan-perasaan yang muncul sebagai akibat dari hambatan psikis dan sosial yang dirasakan secara subjektif dan perasaan-perasaan yang muncul dari kelemahan diri. Inferiority feeling merupakan suatu perasaan bahwa diri individu kurang atau rendah diri yang ada pada setiap diri individu karena pada dasarnya manusia diciptakan atau dilahirkan dengan keadaan lemah tak berdaya. Menurut Suadirman (1986), inferioritas adalah keadaan seseorang yang merasakan dirinya dalam keadaan serba kurang, serba ketinggalan dan serba dibawah jika membandingkan dirinya dengan orang lain. Suryabrata (1990), inferiority feeling adalah adanya rasa diri yang kurang berharga atau kurang mampu dalam berbagai bidang kehidupan. Seseorang yang cacat seringkali berusaha mengkompensasikan kelemahan tersebut dengan cara memperkuatnya melalui latihan intensif. Perasaan-perasaan tersebut bersumber pada rasa tidak lengkap atau tidak sempurna dalam setiap bidang kehidupan. Inferiority feeling adalah kondisi umum yang dimiliki oleh setiap orang bukan sebagai tanda dari kelemahan ataupun suatu tanda abnormal (dalam

13 24 Schultz, 1986). Jadi, inferiority feeling bukanlah tanda ketidakmampuan seseorang namun ini hanya suatu bentuk perasaan kekurangmampuan pada dirinya, dilanjutkan lagi oleh Adler (dalam Schultz, 1986) bahwa inferiority feeling adalah sumber dari semua kekuatan manusia. Adler (dalam Suryabrata, 2007) menyatakan bahwa inferiority feeling adalah rasa rendah diri yang timbul karena perasaan kurang berharga atau kurang mampu dalam penghidupan apa saja. Inferiority feeling adalah bentuk perasaan negatif terhadap dirinya sendiri (Jalaludin, 1977). Konsep populer dari Adler dan menjadi dasar dalam psikologi individu, Inferiority feeling ada pada diri setiap individu tanpa terkecuali karena setiap manusia terlahir dengan inferiority feeling (merasa kurang mampu dan kurang kompeten) jika dibandingkan dengan orang dewasa Adler (Boeree, 2010) yang menyatakan bahwa setiap orang menderita inferioritas dalam bentuk yang berbeda-beda. Inferiority feeling ditandai dengan adanya perasaan tidak kompeten atau ketidakmampuan diri. Faktorfaktor yang menyebabkan Inferiority feeling menurut Paponoe (Lin, 1997) ialah: sikap orangtua (parental attitude), kekurangan fisik (physical defects), keterbatasan mental (mental limitations), dan kekurangan secara sosial (social disadvantage). Kartono (2010) mengatakan bahwa inferiority feeling muncul sejak usia kanak-kanak yang umumnya perasaan ini tidak bisa diterima individu yang bersangkutan karena dirasakan sangat menghimpit dirinya dan menyiksa

14 25 batinnya, sehingga muncul dorongan-dorongan untuk menyelesaikan atau mengkompensasikan perasaan tersebut. Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa inferiority feeling adalah perasaan-perasaan yang muncul sebagai akibat dari hambatan psikis dan sosial yang dirasakan secara subjektif dan perasaanperasaan yang muncul dari kelemahan diri. 2. Aspek-aspek Inferiority Feeling Lauster (1978) menyebutkan karakteristik remaja yang memiliki inferiority feeling adalah sebagai berikut: a. Individu merasa bahwa tindakan yang dilakukan tidak adekuat. Individu tersebut cenderung merasa tidak aman dan tidak bebas bertindak, cenderung ragu-ragu dan membuang waktu dalam pengambilan keputusan, memiliki perasaan rendah diri dan pengecut, kurang bertanggung jawab dan cenderung menyalahkan pihak lain sebagai penyebab masalahnya, serta pesimis dalam menghadapi rintangan. b. Individu merasa tidak diterima oleh kelompoknya atau orang lain. Individu ini cenderung menghindari situasi komunikasi karena merasa takut disalahkan atau direndahkan, merasa malu jika tampil di hadapan orang. c. Individu tidak percaya terhadap dirinya dan mudah gugup. Individu ini merasa cemas dalam mengemukakan gagasannya dan selalu membandingkan keadaan dirinya dengan orang lain.

15 26 Fleming dan Courtney (dalam Robinson, Shaver, dan Wrightman, 1991) menjabarkan inferiority feeling yang mengindikasikan perasaan tidak mampu dalam lima aspek sebagai berikut: a. Social confidence Social confidence merupakan perasaan kurang pasti, merasa kurang bisa diandalkan, dan kurangnya rasa percaya pada kemampuan seseorang dalam situasi yang melibatkan orang lain. Faktor social confidence lebih mendekati pada umur dan pengalaman. b. School Abilities School Abilities merupakan perasaan tidak mampu atau tidak berdaya terhadap kualitas, kekuatan, daya kompetensi, kecakapan, keahlian, keterampilan, kesanggupan dalam melakukan tugas akademik. c. Self Regard Self Regard yaitu penghormatan terhadap dirinya sendiri yang rendah atau kurangnya perhatian dan pertimbangan terhadap kepentingan dan minatnya sendiri atau dengan pengertian lain self regard adalah persepsi individu terhadap dirinya. d. Physical appearance Individu dengan inferiority feeling sangat memperhatikan penampilannya, ia akan berusaha memperhatikan penampilan tubuhnya, ini merupakan salah satu bentuk untuk mengkompensasikan inferiority feeling miliknya. e. Physical abilities

16 27 Perasaan diri lebih lemah dalam hal kemampuan tubuh yang dimiliki serta potensi individu untuk melakukan performasi yang berkaitan dengan fisiknya dibandingkan teman atau kelompok sebayanya. Berdasarkan aspek-aspek inferiority feeling yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari inferiority feeling menurut Lauster (1978) yaitu individu merasa bahwa tindakan yang dilakukan tidak adekuat, individu merasa tidak terima oleh kelompoknya atau orang lain dan individu tidak percaya terhadap dirinya dan mudah gugup. Selanjutnya aspek-aspek inferiority feeling menurut Fleming dan Courtney (dalam Robinson, Shaver dan Wrightman, 1991) yaitu social confidence, school abilities, self regard, physical appearance dan physical abilities. Dari aspek-aspek inferiority feeling yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti akan mengacu pada aspek-aspek inferiority feeling menurut Fleming dan Courtney (dalam Robinson, Shaver dan Wrightman, 1991), hal ini dikarenakan definisi di setiap ciri-cirinya lebih operasional dan aspek-aspek tersebut menjelaskan unsur-unsur psikologis yang terkandung dalam inferiority feeling sehingga lebih mudah dipahami dan lebih jelas untuk dijabarkan atau diamati dalam mengungkapkan adanya indikator-indikator

17 28 C. Hubungan antara Inferiority Feeling dengan Perilaku Agresi pada Remaja Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku agresi adalah perasaan negatif pada diri individu. Perilaku agresi akan muncul ketika seseorang mempunyai pikiran yang negatif mengenai orang lain. Perasaan negatif tersebut disebut sebagai Inferiority Feeling. Inferiority feeling adalah rasa rendah diri yang timbul karena perasaan kurang berharga atau kurang mampu dalam penghidupan apa saja Adler (dalam Schultz, 1986). Menurut Adler (dalam Boeree, 2010) menyatakan bahwa setiap orang menderita inferioritas dalam bentuk yang berbeda-beda. Inferiority feeling ditandai dengan adanya perasaan tidak kompeten atau kekurang mampuan diri. Kartono (2010) mengatakan bahwa inferiority feeling muncul sejak kanakkanak yang umumnya perasaan ini tidak bisa diterima individu yang bersangkutan karena dirasakan sangat menghimpit dirinya, menyiksa batin dan juga menyiksa batinnya sehingga memunculkan dorongan-dorongan untuk menyelesaikan atau mengkompensasikannya perasaan tersebut. Inferiority feeling merupakan salah satu komponen perasaan negatif yang sering terjadi pada setiap diri remaja, dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari remaja akan membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga hal tersebut akan menimbulkan pikiran yang negatif, serta remaja akan mengkompensasikan perasaannya tersebut menjadi perilaku agresi. Pada dasarnya seorang remaja memiliki tugas-tugas perkembangan antara lain untuk mencapai kemandirian emosional dan mampu meningkatkan kemampuan mengendalikan dirinya.

18 29 Inferiority feeling yang dimiliki remaja akan dikompensasikan melalui bentuk withdrawal atau menarik diri dan perilaku agresi seperti yang telah dikemukakan oleh Lin (1997), bahwa pengkompensasian inferiority feeling dalam diri seseorang yaitu dalam bentuk-bentuk dengan strategi menarik diri dan strategi perilaku agresi, pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Alwisol (2008) yang menyatakan bahwa pengkompensasian inferiority feeling dapat digolongkan dalam tiga cara yaitu dengan penyesalan, perilaku agresi dan menarik diri. Menurut Alwisol (2008) penggunaan perilaku agresi untuk pengkompensasian pada inferiority feeling ditujukan untuk melindungi harga dirinya yang rentan. Apabila remaja mampu mengendalikan perasaan negatifnya inferiority feeling maka dirinya akan terhindar dari perilaku agresi yang dapat merugikan orang lain. Hal tersebut tentu tidak mudah bagi remaja, karena perasaan negatif tersebut muncul karena adanya stimulus-stimulus yang dimunculkan dari berbagai faktor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa inferiority feeling mempunyai pengaruh yang besar dalam menimbulkan perilaku agresi. Menurut Fleming dan Courtney (dalam Robinson, Shaver, dan Wrightman, 1991) menjabarkan inferiority feeling yang mengindikasikan perasaan tidak mampu dalam lima aspek yaitu Social confidence, school abilities, self regard, physical appearance dan physical abilities. Aspek yang pertama dari inferiority feeling yaitu Social confidence. Social confidence merupakan perasaan kurang pasti, merasa kurang bisa diandalkan, dan kurangnya rasa percaya pada kemampuan seseorang dalam situasi yang

19 30 melibatkan orang lain. Idealnya pada remaja mempunyai pemikiran yang positif terhadap dirinya dan percaya pada kemampuan diri sendiri, karena pada masa remaja akan lebih sering untuk bersosialisasi pada lingkungan sekitar. Sebagai contoh, seorang remaja yang mempunyai social confidence yang rendah maka remaja tersebut akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi terhadap kemampuan-kemampuan diri yang dimilikinya, remaja tersebut juga merasa bahwa dirinya adalah orang yang dapat diandalkan, dengan begitu remaja akan mempunyai pemikiran yang positif dan akan berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik dan tidak menyakiti orang lain. Hal ini juga diperkuat dengan adanya pernyataan yang menyatakan bahwa percaya diri merupakan modal dasar untuk pengembangan dalam aktualisasi diri (eksplorasi segala kemampuan dalam diri), dengan percaya diri seseorang akan mampu mengenal dan memahami diri sendiri (Maslow dalam Iswidharmanjaya & Agung, 2004). Jadi, dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki rasa percaya diri akan optimis di dalam melakukan semua aktivitasnya, dan mempunyai tujuan yang realistik, artinya individu tersebut akan membuat tujuan hidup yang mampu untuk dilakukan, sehingga apa yang direncanakan akan dilakukan dengan keyakinan akan berhasil atau akan mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Sedangkan seorang remaja yang memiliki social confidence yang tinggi maka remaja akan merasa tidak percaya diri, merasa bahwa individu tersebut tidak memiliki kemampuan dan juga tidak dapat diandalkan, sehingga hal tersebut akan membuat remaja mengkompensasikan perasaannya untuk mendapatkan perasaan yang baik dengan berbagai cara, salah satunya yaitu

20 31 dengan menyakiti orang lain untuk menuju diri yang superior. Terbentuknya rasa tidak percaya diri berawal dari kelemahan individu pada berbagai aspek kepribadiannya terutama yang berasal dari keluarga. Pemahaman negatif yang akan muncul pada diri seseorang maupun lingkungan sehingga individu meyakini bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan. Akibatnya perilaku dalam kehidupan pribadi dan sosialnya kurang baik. Hal ini juga dijelaskan oleh Hakim (2005), bahwa proses terbentuknya rasa tidak percaya diri adalah sebagai berikut: a. Terbentuknya berbagai kekurangan atau kelemahan dalam berbagai aspek kepribadian seseorang yang dimulai dari kehidupan keluarga dan meliputi berbagai aspek seperti aspek mental, fisik, sosial atau ekonomi. b. Pemahaman negatif seseorang terhadap dirinya sendiri yang cenderung selalu memikirkan kekurangan tanpa pernah meyakini bahwa dirinya juga memiliki kelebihan c. Kehidupan sosial yang dijalani dengan sikap negatif, seperti rendah diri, suka menyendiri, lari dari tanggung jawab, mengisolasi dari kelompok dan reaksi negatif lainnya. Aspek kedua yaitu School abilities. School abilities merupakan perasaan tidak mampu atau tidak berdaya terhadap kualitas, kekuatan, daya kompetensi, kecakapan, keahlian, keterampilan dan kesanggupan dalam melakukan tugas akademik. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki school abilities yang rendah dia akan merasa bahwa dia memiliki kemampuan tersendiri di dalam dirinya, dia akan menganggap bahwa dia seseorang yang cukup mampu untuk

21 32 menyelesaikan tugas akademiknya serta dia juga merasa bahwa dia memiliki daya kompetensi dan keterampilan yang perlu dikembangkan serta kecakapan yang cukup baik sehingga dia tidak akan melakukan persaingan sengit yang dapat menimbulkan pikiran negatif untuk menyakiti orang lain karena dia sudah cukup bangga akan dirinya dan kemampuannya. Berdasarkan hasil penelitian Fink dan Walsh (Dra. Desmita, M.Si : 2009) dapat disimpulkan bahwa konsep diri dan prestasi belajar siswa di sekolah mempunyai hubungan yang erat. Siswa yang memiliki konsep diri yang positif akan memperlihatkan prestasi yang baik di sekolah atau siswa yang berprestasi tinggi di sekolah memiliki penilaian diri yang tinggi, serta menunjukkan hubungan antar pribadi yang positif pula. Mereka juga akan memperlihatkan kemandirian dalam belajar sehingga tidak tergantung pada guru semata. Sedangkan, pada remaja yang memiliki school abilities yang tinggi di dalam dirinya akan merasa bahwa dia tidak mampu bersaing dengan teman sebayanya, merasa tidak memiliki kekuatan, daya kompetensi, keterampilan dan kesanggupan dalam melakukan tugas akademik. Hal tersebut akan memunculkan pemikiran yang negatif pada remaja untuk dapat melakukan berbagai hal agar dia dapat mencapai pribadi yang lebih baik dibandingkan dengan teman sebayanya, karena pada usia remaja mereka akan melakukan persaingan kompetensi di lingkungan sekolahnya. Pada hal ini remaja dapat melakukan berbagai hal yang dapat menyakiti temannya dalam bentuk verbal maupun non-verbal untuk mendapatkan pemuasan batin dalam dirinya. Menurut Iswidharmanjaya dan Agung (2004), mengungkapkan bahwa seseorang yang

22 33 mempunyai rasa minder dalam kompetensi akademiknya maka dia akan melakukan berbagai hal sebagai berikut : a) tidak dapat menunjukkan kemampuan diri, b) kurang berprestasi dalam studi, c) malu-malu dan canggung, d) tidak berani mengungkapkan ide-ide, e) cenderung hanya melihat dan menunggu kesempatan, f) membuang-buang waktu dalam membuat keputusan, g) rendah diri bahkan takut dan merasa tidak aman, h) apabila gagal maka individu akan cenderung menyalahkan orang lain, i) suka mencari pengakuan dari orang lain. Aspek yang ketiga adalah Self regard. Self regard yaitu penghormatan terhadap dirinya sendiri yang rendah atau kurangnya perhatian dan pertimbangan terhadap kepentingan dan minatnya sendiri. Menurut Jorfi, dkk (2010) self regard adalah persepsi individu terhadap dirinya. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki self regard yang rendah dia akan sangat memperhatikan dirinya, dia tidak akan memandang dirinya rendah, dan dia juga akan memperhatikan kepentingan dan minatnya. Hal tersebut tentu akan berdampak positif bagi diri individu tersebut karena dia mampu memberikan penghormatan kepada dirinya sendiri, sehingga hal tersebut akan menghindarkan diri individu dari perasaan yang negatif terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Menurut Branden (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara harga diri yang sehat dengan karakter orang lain yang secara langsung mendukung pencapaian dan kebahagiaan seseorang. Harga diri yang sehat juga berhubungan dengan rasionalitas, realistis,

23 34 intuitif, kreatif, mandiri, fleksibel, kemampuan untuk mengelola perubahan, keinginan untuk mengakui kesalahan, kebaikan dan sikap kooperatif. Sedangkan pada remaja yang memiliki self regard yang tinggi, dia akan memandang dirinya rendah, tidak mempunyai penghargaan tehadap dirinya sendiri dan tidak memberikan perhatian terhadap kepentingan dan minatnya sendiri. Hal tersebut akan memberikan dampak yang negatif bagi individu, karena hal ini akan membuat individu memiliki pemikiran yang negatif terhadap dirinya sehingga dia akan mencoba untuk melampiaskan perasaan negatifnya pada orang lain dengan berbagai macam cara. Hal ini juga diungkapkan oleh Branden (2007) bahwa seseorang yang memiliki harga diri yang tidak sehat maka individu tersebut akan berhubungan dengan ketidakrasionalan, tidak realistis, keras kepala, takut terhadap sesuatu yang baru, memberontak, mengeluh, bersikap berlebihan atau memusuhi orang lain. Aspek yang keempat adalah Physical appearance. Individu dengan inferiority feeling sangat memperhatikan penampilannya, ia akan berusaha memperhatikan penampilan tubuhnya, hal ini merupakan salah satu bentuk untuk mengkompensasikan inferiority feeling miliknya. Sebagai contoh individu yang memiliki physical appearance yang rendah maka ia akan memperhatikan penampilannya namun tidak berlebihan, karena ia mempunyai cara pandang yang positif mengenai dirinya sendiri, penampilan maupun situasi lingkungan sekitar. Dengan begitu hal tersebut akan membawa dampak yang positif bagi diri individu tersebut dan juga orang lain. Menurut Willis (2005), penerimaan diri yang baik adalah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar

24 35 terhadap lingkungannya, sehingga remaja merasa puas terhadap diri sendiri dan lingkungan. Sedangkan seseorang yang memiliki physical appearance yang tinggi ia akan sangat memperhatikan penampilannya, ia akan berusaha memperhatikan penampilan tubuhnya, hal ini merupakan salah satu bentuk untuk mengkompensasikan inferiority feeling miliknya. Individu tersebut akan cenderung merasa tidak percaya diri pada setiap saat karena penampilan fisiknya. Hal ini tentu menjadi salah satu aspek yang dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku agresi baik secara verbal maupun non-verbal. Aspek yang kelima adalah Physical abilities. Physical abilities merupakan perasaan diri lebih lemah dalam hal kemampuan tubuh yang dimiliki serta potensi individu untuk melakukan performasi yang berkaitan dengan fisiknya dibandingkan dengan teman atau kelompok sebayanya. Sebagai contoh seseorang yang memiliki physical abilities yang rendah dalam dirinya tidak akan berpikir bahwa dirinya lemah dan tidak memiliki potensi, ia justru akan berpikir bahwa ia memiliki potensi yang harus dikembangkan sehingga ia akan mengambil setiap kesempatan yang ada untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan seseorang yang memiliki physical abilities yang tinggi di dalam dirinya dia tidak akan merasa percaya diri akan kemampuan tubuh serta potensi yang dimilikinya, individu tersebut akan membandingkan dirinya dengan orang lain dan merasa bahwa ia tidak mampu melakukan berbagai hal yang membutuhkan kemampuan fisiknya. Hal tersebut akan menjadi aspek yang berpengaruh bagi seseorang untuk melakukan perilaku

25 36 agresi baik verbal maupun non-verbal pada teman sebayanya karena ia merasa tidak berharga dan harus menuju superior. Beberapa aspek di atas akan saling berinteraksi, sehingga inferiority feeling atau perasaan negatif pada remaja akan muncul. Dampak dari inferiority feeling dalam diri individu yaitu memunculkan adanya perilaku agresi pada remaja. Sehingga apabila inferiority feeling pada diri remaja rendah maka tidak akan menimbulkan perilaku agresi, namun apabila inferiority feeling pada remaja maka akan menimbulkan perilaku agresi yang dapat menyebabkan kerugian bagi berbagai pihak. Hasil penelitian Hardianto (2009) mengatakan bahwa salah satu faktor seseorang melakukan kekerasan dalam berpacaran adalah inferiority feeling. Inferiority feeling yang dirasa semakin kuat pada saat orang tersebut sudah merasa tidak mampu menghadapi tekanan, maka inferiority feeling tersebut dikompensasi menjadi perilaku agresi. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ulfah (2010) didapati bahwa anak jalanan perempuan yang terlibat pelacuran juga mengkompensasikan inferiority feeling yang dimiliknya menuju superioritas dengan perilaku agresi yaitu dengan cara mengadu domba orangorang yang menyukai dirinya.

26 37 D. Hipotesis Berdasarkan uraian-uraian yang terdapat dalam landasan teori di atas, maka perumusan hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara inferiority feeling dengan perilaku agresi pada remaja. Hal ini dikarenakan semakin tinggi inferiority feeling pada remaja maka cenderung tinggi pula perilaku agresi yang dihasilkan, sebaliknya jika semakin rendah inferiority feeling pada remaja maka cenderung rendah perilaku agresi yang dimunculkan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Definisi Penyesuaian Diri Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari berinteraksi dengan orang lain maupun lingkungannya. Berbicara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agresi 2.1.1 Definisi Agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental (Aziz & Mangestuti, 2006). Perilaku

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. 1 BAB 1 PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. Dimulai dari masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan masa tua. Pada setiap masa pertumbuhan manusia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agresivitas 2.1.1 Definisi Agresivitas Agresi adalah pengiriman stimulus tidak menyenangkan dari satu orang ke orang lain, dengan maksud untuk menyakiti dan dengan harapan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Adolescence (remaja) merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia, karena masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang variabel-variabel dimana didalamanya terdapat definisi, faktor dan teori dari masing-masing variabel dan juga berisi tentang hipotesis penelitian ini. 2.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya mereka dapat menggantikan generasi terdahulu dengan sumber daya manusia, kinerja dan moral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan yang terjadi saat ini sangat memprihatinkan, salah satunya adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari Komnas Perlindungan anak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif.

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku agresif seringkali diperbincangkan oleh masyarakat karena hal tersebut memicu kekhawatiran masyarakat sekitar, terutama di kalangan pelajar SMK. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN AGRESIVITAS PADA REMAJA MADYA DI SMA X BOGOR LATAR BELAKANG MASALAH Agresivitas Persahabatan Kesepian Penolakan AGRESIVITAS Perilaku merugikan atau menimbulkan korban pihak

Lebih terperinci

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL I. PENGERTIAN DAN PROSES SOSIALISASI Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock, 1990). Tuntutan sosial pada perilaku

Lebih terperinci

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh:

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang ditandai dengan perubahan-perubahan didalam diri individu baik perubahan secara fisik, kognitif,

Lebih terperinci

AGRESI MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

AGRESI MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I AGRESI Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Psikologi Psikologi 13 61016 Abstract Materi tentang pengertian agresi, teoriteori dan cara menguranginya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI 9 BAB II TINJAUAN TEORI A. Minat Siswa Kelas XII SMA Mengikuti Ujian Nasional Kejar Paket C sebagai Alternatif Kelulusan 1. Pengertian Minat Siswa Kelas XII SMA Mengikuti Ujian Nasional Kejar Paket C sebagai

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aksi-aksi kekerasan terhadap orang lain serta perusakan terhadap benda masih merupakan topik yang sering muncul baik di media massa maupun secara langsung kita temui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penanganan untuk anak berkebutuhan khusus menjadi suatu tantangan tersendiri bagi penyelenggara pendidikan luar biasa mengingat karakteristik dan kebutuhan anak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami perubahan dari masa kanak kanak menuju masa dewasa perubahan ini terjadi diantara usia 13 dan 20 tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya anak-anak. Anak menghabiskan hampir separuh harinya di sekolah, baik untuk kegiatan pembelajaran

Lebih terperinci

BENTUK AGRESIF REMAJA PELAKU KEKERASAN (SURVEY PADA SISWA KELAS 11 SMA NEGERI 2 KAB. TANGERANG)

BENTUK AGRESIF REMAJA PELAKU KEKERASAN (SURVEY PADA SISWA KELAS 11 SMA NEGERI 2 KAB. TANGERANG) 33 BENTUK AGRESIF REMAJA PELAKU KEKERASAN (SURVEY PADA SISWA KELAS 11 SMA NEGERI 2 KAB. TANGERANG) Oleh : Detria Nurmalinda Chanra 1 Prof. Dr. Dr. dr. Th. I. Setiawan 2 Herdi, M.Pd 3 Abstrak Tujuan penelitian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan koloni terkecil di dalam masyarakat dan dari keluargalah akan tercipta pribadi-pribadi tertentu yang akan membaur dalam satu masyarakat. Lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Kesepian adalah dengan merasa terasing dari sebuah kelompok, tidak dicintai oleh sekeliling, tidak mampu untuk berbagi kekhawatiran pribadi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kekerasan di lingkungan pendidikan atau sekolah ini telah menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, 16% siswa kelas akhir mengatakan bahwa mereka

Lebih terperinci

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY Pendahuluan Setiap anak memiliki karakteristik perkembangan yang berbeda-beda. Proses utama perkembangan anak merupakan hal

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk bisa mempertahankan hidupnya. Proses kehidupan manusia yang dimulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dipandang sebagai proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh sifat bakat seseorang dan pengaruh lingkungan dalam menentukan tingkah laku apa yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi MODUL PERKULIAHAN AGRESI Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Psikologi Psikologi 61119

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas BAB II LANDASAN TEORI A. Agresivitas Semua orang seperti memahami apa itu agresi, namun pada kenyatannya terdapat perbedaan pendapat tentang definisi agresivitas. agresi identik dengan hal yang buruk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak kriminalitas dilakukan oleh remaja (Republika, 2 0 0 5 ). Tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu BAB II LANDASAN TEORI A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu keluarga yang sama, teristimewa untuk memperoleh afeksi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siswa SMA berada pada usia remaja yaitu masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis. Dengan adanya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI Titing Rohayati 1 ABSTRAK Kemampuan berperilaku sosial perlu dididik sejak anak masih kecil. Terhambatnya perkembangan sosial anak sejak kecil akan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja yang merupakan masa-masa dimana banyak terjadi perubahan dalam kehidupan seseorang. Berdasarkan fenomena yang diberitakan melalui berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Agresivitas 2.1.1. Definisi Agresivitas Menurut Berkowitz, agresivitas adalah keinginan dan tindakan untuk menjadi agresif dalam berbagai situasi yang berbeda. Menurut Lazarus,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persija (singkatan dari Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta) adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Persija (singkatan dari Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta) adalah sebuah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persija (singkatan dari Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta) adalah sebuah klub sepak bola Indonesia yang berbasis di Jakarta. Persija saat ini berlaga

Lebih terperinci

Developmental and Clinical Psychology

Developmental and Clinical Psychology DCP 2 (1) (2013) Developmental and Clinical Psychology http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/dcp HUBUNGAN ANTARA INFERIORITY FEELING DAN AGRESIVITAS PADA REMAJA DELINKUEN (STUDI DI PSMP ANTASENA MAGELANG)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 oleh: Dr. Rohmani Nur Indah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angket 1: Beri tanda berdasarkan pengalaman anda di masa kecil A. Apakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Perilaku Agresi sangat

BAB I PENDAHULUAN. terjadi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Perilaku Agresi sangat 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Anak merupakan harta yang tak ternilai bagi suatu keluarga, dan menjadi aset yang berharga bagi suatu bangsa. Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi anak saat ini akan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

BAB ll KAJIAN TEORI. bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata,

BAB ll KAJIAN TEORI. bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata, BAB ll KAJIAN TEORI 2.1 Perilaku Agresif 2.1.1 Pengertian perilaku agresif Pengertian secara umum agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang di lakukan oleh suatu organisme terhadap oranisme lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan perguruan tinggi yang diharapkan dapat menjadi caloncalon intelektual. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Agresivitas. menginginkan adanya perilaku tersebut. Buss dan Perry (dalam Bryant & Smith 2001)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Agresivitas. menginginkan adanya perilaku tersebut. Buss dan Perry (dalam Bryant & Smith 2001) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Agresivitas 1. Definisi Agresivitas Baron (2004) mengatakan yang dimaksud dengan agresif adalah tingkah laku individu yang maksudkan untuk melukai atau menyakiti individu lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyandang tuna netra tidak bisa dipandang sebelah mata, individu tersebut memiliki kemampuan istimewa dibanding individu yang awas. Penyandang tuna netra lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak belajar tentang banyak hal, sejak lahir ke dunia ini. Anak belajar untuk mendapatkan perhatian, memuaskan keinginannya, maupun mendapatkan respon yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepercayaan Diri 2.1.1 Pengertian Kepercayaan Diri Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun. Pada usia ini anak mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak, dan mengabungkan diri

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Definisi operasional adalah definisi yang menjadikan variabel-variabel yang

BAB III METODE PENELITIAN. Definisi operasional adalah definisi yang menjadikan variabel-variabel yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian & Hipotesis 3.1.1 Variabel Penelitian & Definisi Operasional Definisi operasional adalah definisi yang menjadikan variabel-variabel yang sedang diteliti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang paling sulit dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberi label masa remaja sebagai

Lebih terperinci

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI AGRESI ANAK YANG TINGGAL DALAM KELUARGA DENGAN KEKERASAN RUMAH TANGGA

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI AGRESI ANAK YANG TINGGAL DALAM KELUARGA DENGAN KEKERASAN RUMAH TANGGA 1 UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI AGRESI ANAK YANG TINGGAL DALAM KELUARGA DENGAN KEKERASAN RUMAH TANGGA Disusun Oleh : Nama : Lili Hartini NPM : 10502140 Jurusan : Psikologi Pembimbing : Siti

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Remaja 1. Pengertian Remaja Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu dari kata adolescence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1980). Secara psikologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada siswa Sekolah Menengah Pertama berusia 12 tahun sampai 15 tahun, mereka membutuhkan bimbingan dan arahan dari pihak keluarga dan sekolah agar mereka dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Simpulan Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers Ragnarok Online. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat

Lebih terperinci

PERILAKU AGRESIF ORANGTUA TERHADAP ANAK DITINJAU DARI RELIGIUSITAS

PERILAKU AGRESIF ORANGTUA TERHADAP ANAK DITINJAU DARI RELIGIUSITAS PERILAKU AGRESIF ORANGTUA TERHADAP ANAK DITINJAU DARI RELIGIUSITAS SKRIPSI DIAN SAVITRI 99.40.3019 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2005 PERILAKU AGRESIF ORANGTUA TERHADAP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai pemain ke-12, sehingga suatu pertandingan tidak berarti tanpa

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai pemain ke-12, sehingga suatu pertandingan tidak berarti tanpa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepakbola tidak terlepas dari yang namanya supporter, supporter biasa disebut sebagai pemain ke-12, sehingga suatu pertandingan tidak berarti tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. Self-Control 2. 1. 1. Definisi Self-control Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Selfcontrol terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk

Lebih terperinci

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR Laelasari 1 1. Dosen FKIP Unswagati Cirebon Abstrak Pendidikan merupakan kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak dan masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Interaksi Sosial. Walgito (2007) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara

BAB II LANDASAN TEORI. A. Interaksi Sosial. Walgito (2007) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara 7 BAB II LANDASAN TEORI 1. Pengertian Interaksi Sosial A. Interaksi Sosial Walgito (2007) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu lain, individu satu dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena di masyarakat khususnya bagi warga yang tinggal di perkotaan, aksiaksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan, tanpa ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki tubuh dan alat indera yang lengkap untuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak penelitian yang mencoba memahami fenomena ini (Milletich et. al, 2010; O Keefe, 2005; Capaldi et. al,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama pada rentang usia pra sekolah. Masa ini merupakan periode seorang anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama pada rentang usia pra sekolah. Masa ini merupakan periode seorang anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Orang tua mempunyai peran paling besar terhadap tumbuh kembang anak, terutama pada rentang usia pra sekolah. Masa ini merupakan periode seorang anak memulai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus dilindungi dan diperhatikan sebaik mungkin oleh seluruh lapisan masyarakat. Keluarga sebagai unit terkecil dari

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN INTENSI AGRESI PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN YAYASAN KEJURUAN TEKNOLOGI BARU (SMK YKTB) 2 KOTA BOGOR Oleh: Amalina Ghasani 15010113130113 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bekal untuk hidup secara mandiri. Masa dewasa awal atau early health

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bekal untuk hidup secara mandiri. Masa dewasa awal atau early health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa dikenal sebagai pelaku utama dan agent of exchange dalam gerakan-gerakan pembaharuan. Mahasiswa memiliki makna yaitu sekumpulan manusia intelektual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode untuk mendisiplinkan anak. Cara ini menjadi bagian penting karena terkadang menolak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki masa dewasa (Rumini, 2000).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan

BAB I PENDAHULUAN. Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja, dalam bidang pendidikan pun, keluarga merupakan sumber pendidikan utama karena

Lebih terperinci

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang paling penting pada seseorang. Kepercayaan diri merupakan atribut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional (Santrock, 2003).

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. maupun mental. Perilaku agresi yang diukur adalah berupa bentuk agresi fisik

BAB II LANDASAN TEORI. maupun mental. Perilaku agresi yang diukur adalah berupa bentuk agresi fisik BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Agresivitas 2.1.1 Pengertian Agresivitas Buss & Perry (1992) menyatakan agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik

Lebih terperinci

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Thesis Diajukan kepada Program Studi Magister Sains Psikologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pola Asuh Orangtua a. Pengertian Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja, sistem dan model, dan asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fenomena yang ada akhir-akhir ini yang sangat memprihatinkan adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan berita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan masyarakat,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal. individu maupun kelompok. (Diah, 2010).

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal. individu maupun kelompok. (Diah, 2010). BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kecemasan Komunikasi Interpersonal 2.1.1. Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal Burgoon dan Ruffner (1978) kecemasan komunikasi interpersonal adalah kondisi ketika individu

Lebih terperinci