7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI"

Transkripsi

1 7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI 7.1 Pendahuluan Surimi pada dasarnya adalah daging ikan yang telah dipisahkan dari kulit dan duri serta telah dibersihkan dari lemak, merupakan bahan baku pembuatan produk olahan lanjutan yang memiliki nilai tambah seperti fish cake, mie ikan, burger dan lain sebagainya. Saat ini, jumlah produsen surimi yang ada di Indonesia sangat terbatas yakni terdapat di Jakarta, Jawa Timur, Tegal-Jawa Tengah, Jambi, Moro-Riau masing-masing 1 (satu) unit pengolahan surimi. Minimnya produsen surimi tersebut berdampak pada ketidakmampuan untuk memenuhi permintaan pasar akan surimi, sedangkan bahan baku surimi masih tergolong mudah untuk diperoleh dengan harga yang terjangkau khususnya apabila bahan baku surimi tersebut dengan memanfaatkan hasil tangkap sampingan (by-catch) kapal pukat udang, mengingat bahwa hasil tangkap sampingan kebanyakan dibuang kembali ke laut. Saat ini, teknologi pengembangan surimi dengan bahan baku hasil tangkap sampingan kapal pukat udang masih sangat terbatas seiring dengan keterbatasan pemanfaatan by-catch itu sendiri, sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut. Hal ini akan sangat bermanfaat baik bagi pelaku usaha penangkapan maupun bagi pelaku usaha pengolahan surimi. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih lanjut mengenai pengembangan industri surimi melalui pemanfaatan hasil tangkap sampingan kapal pukat udang. Pengembangan industri surimi tersebut tidak lepas dari dukungan berbagai pihak dan stakeholder terkait seperti pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota, pelaku usaha penangkapan dan pengolahan, para pakar/ahli pengolahan, akademisi serta pengambil kebijakan lainnya. Analisis kebijakan pengembangan surimi dapat dilakukan dengan cara menggali informasi dan pendapat dari para stakeholder terkait, untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan pengembangan industri surimi. Hasil dari analisis tersebut diharapkan adalah dapat diperolehnya informasi mengenai kekuatan yang ada untuk dapat dimanfaatkan serta kelemahan yang dimiliki untuk dapat diminimalisir. Selain itu, diharapkan pula diperoleh informasi mengenai peluang yang dapat dimanfaatkan dan bentuk ancaman yang akan dihadapi dalam upaya pengembangan industri surimi tersebut. Pada akhirnya, diharapkan dapat diperoleh berbagai alternatif-alternatif pilihan termasuk diantaranya diperoleh langkahlangkah operasional yang harus dilakukan dalam upaya pengembangan industri surimi. 97

2 7.2 Metode Penelitian Pengumpulan data Pengumpulan data dalam rangka analisis kebijakan pengembangan industri surimi dilaksanakan pada rentang waktu antara Bulan Maret sampai dengan April Tahun Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan kuesioner terhadap stakeholder perusahaan penangkapan dan pengolahan surimi, pengambil kebijakan serta pakar/ahli dibidang penangkapan dan pengolahan surimi Analisis data Analisis kebijakan dalam pengolahan surimi dilakukan melalui penggabungan antara metode SWOT dengan Analytical Hierarchy Process (AHP). Langkah pertama yang dilakukan adalah mengindetifikasi komponen SWOT melalui wawancara kuesioner terhadap responden yang merupakan pengambil kebijakan pada suatu instansi ataupun yang dianggap pakar/ahli pada bidang pengolahan surimi. Adapun jumlah responden yang diwawancarai yang terdiri dari pengambil kebijakan, pakar dan pelaku bisnis bidang penangkapan dan pengolahan. Selanjutnya, setelah komponen SWOT teridentifikasi, maka komponen tersebut diolah lebih lanjut dengan metoda AHP. Dalam analisa melalui AHP digunakan software Expert Choice dan dilakukan melalui beberapa proses yakni sebagai berikut: (1) Matriks pendapat individu Untuk menyusun prioritas dilakukan identifikasi terhadap intensitas masalah yang merupakan faktor dominan. Teknik komparasi berpasangan menerapkan penilaian para pakar berdasarkan skala komparasi berpasangan, sehingga membentuk matriks segi (nxn). Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mendapatkan prioritas yang dicari berdasarkan nilai eigen vector dan untuk mendapatkan konsistensi penilaian diukur berdasarkan nilai eigen value. Jika C1, C2, C3,.Cn adalah set elemen suatu tingkat keputusan dalam hirarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan setiap elemen terhadap elemennya akan membentuk matriks pendapat individu: A yang berukuran n x n. eleven Ci, dibandingkan dengan elemen Cj, maka aij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi 98

3 yang mencerminkan nilai tingkat kepentingan Ci, terhadap Cj, Nilai matriks aij = 1/aij, yaitu nilai kebalikan dari matriks aij, jika 1=j, maka nilai matriks aij=aji. Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C1, C2,.Cn untuk ij = 1,2,3.n dan ij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi berdasarkan nilai tingkat kepentingan Ci,Cj untuk ij = 1,2,3 n 1 a/2 a/3 a/4.a/n 1/a/2 1 a23 a24.a2n 1/a/3 1/a22 1 a34.a3n /a/n 1/a2n 1/a3n 1/a4n.1 (2) Matriks pendapat gabungan Matriks Pendapatan Gabungan merupakan susunan matriks baru yang eleven matriknya gij berasal dari rataan geometrik atau geometric means elemen matriks pendapat individu aij yang rasion konsistensinya (CR) memenuhi persyaratan. Persamaan untuk mendapat nilai rataan geometriks dinyatakan dengan rumus: Keterangan: gij = elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i dan kolom ke-j aij (k) = elemen matriks pendapat individu dengan rasion konsistensi (CR) yang memenuhi persyaratan ke-k 1,j = 1,2,3..n k = 1,2,3.m m = jumlah matriks pendapat individu dengan CR memenuhi persyaratan 99

4 (3) Pengolahan horizontal Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas semua eleven keputusan pada setiap tingkat hirarki. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horizontal ditunjukan pada persamaan berikut : 1) Perkalian baris (Z) dengan rumus berikut: k = 1 2) Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen dengan rumus berikut: i=1 k=1 VP = (VPi) untuk 1 =1,2,3.n 3) Perhitungan Nilai Eigen maksimum ( λmaks) dengan rumus berikut: VA = (aij) X VP, dengan VA = (vai) VA VB = dengan VB = (Vbi) VP λ maks = 1/n vbi, untuk 1 = 1,2,3,.n 4) Perhitungan Indeks Konsistensi (CI) dengan rumus sebagai berikut: λ max n CI = n 1 5) Perhitungan Rasio Konsistensi (CR) dengan rumus sebagai berikut : CI CI = RI Keterangan : RI adalah random indeks 100

5 Nilai indeks acak bervariasi dengan ordo matriks yang telah dilakukan Oak Ridge laboratory dari matriks berordo 1 15 ditunjukkan dalam Tabel 24. Tabel 24 Nilai indeks acak matriks berordo 1 15, dengan contoh 100 Orde (n) Indeks Acak (RI) Orde (n) Indeks Acak (RI) Sumber : Oak Ridge laboratory yang diacu dalam Saaty (1993) (4) Pengolahan vertikal Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap eleven pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap fokus utama (ultimate goal). Jika Cvij didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh eleven ke-j, pada tingkat -1, terhadap fokus utama dengan humus sebagai berikut: s CH CV ij = ( t, i 1) x VW ( t, i 1) t= 1 ij Untuk i = 1,2,3,.n j = 1,2,3,.r t = 1,2,3.s Keterangan: CH ij (t,i-1) = Nilai prioritas pengaruh eleven ke-j pada tingkat ke-i terhadap eleven ke-t pada tingkat di atasnya i-1 yang VW (t,i-1) diperoleh dari hasil pengolahan horizontal = Nilai prioritas pengaruh eleven ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal p = Jumlah tingkat hirarki keputusan r = Jumlah eleven yang ada pada tingkat ke-i s = Jumlah eleven yang ada pada tingkat ke-j 101

6 Apabila di dalam hirarki keputusan terdapat dua faktor yang tidak berhubungan (keduanya tidak saling mempengaruhi), maka nilai prioritas sama dengan nol. Vektor prioritas untuk tingkat ke-i (CV) didefinisikan dengan rumus sebagai berikut : scv = Cvij, untuk j =123..r (5) Revisi pendapat Revisi pendapat dapat dilakukan jika rasio konsistensi (CR) pendapat cukup tinggi, dan dianggap konsistensi jika mempunyai nilai sama dengan 0.1, sedangkan nilai akurasi data ditunjukkan dengan nilai RMS dari baris (aij) dan perbandingan nilai bobot baris terhadap kolom (Wi/Wj) dengan rumus sebagai berikut: 7.3 Hasil Penelitian Identifikasi komponen SWOT Tahap awal dalam melakukan analisis kebijakan menyangkut pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat adalah melalui identifikasi komponen SWOT (Strengths/Kekuatan, Weaknesses/Kelemahan, Opportunities/Peluang, Threaths/Ancaman). Komponen kekuatan dan kelemahan merupakan hasil analisis lingkungan internal, sedangkan komponen peluang dan ancaman adalah hasil analisa lingkungan eksternal yang sifatnya tidak bisa dikendalikan. (1) Komponen S (Kekuatan) 1) Kebijakan dan legalitas Pemanfaatan HTS menjadi Surimi mendapatkan dukungan dari pemerintah yang tertuang dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan (pasal 24), menyebutkan bahwa pemerintah mendorong peningkatan nilai tambah produksi hasil perikanan dan sekaligus akan membatasi ekspor bahan baku industri pengolahan ikan untuk menjamin ketersediaan bahan baku di dalam negeri. Hasil riset yang dilakukan kerjasama antara Dinas Perikanan dan 102

7 Kelautan Provinsi Papua dan Sucofindo yang dituangkan dalam pedoman umum Perencanaan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil tangkap sampingan Pukat Udang di Laut Arafura menggambarkan bahwa urutan prioritas pengembangan jenis pengolahan yang dikaji secara menyeluruh adalah surimi, tepung ikan, fillet beku, ikan segar dan tradisional. Analisis tersebut mengindikasikan bahwa pengolahan ikan HTS menjadi surimi merupakan alternatif terbaik ditinjau dari segi teknologi, pemasaran, bahan baku, investasi dan sumberdaya manusia. Berdasarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) article 11 menyebutkan bahwa negara harus mendukung berlangsungnya pengolahan, distribusi dan pemasaran ikan agar dapat meningkatkan pemanfaatan HTS dengan tetap konsisten pada praktek pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai institusi nasional yang bertanggung jawab dalam bidang kelautan dan perikanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri nomor PER.05/MEN/ 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Salah satu pasal pada peraturan tersebut dinyatakan bahwa ijin penangkapan ikan diberikan kepada perusahaan penangkapan ikan yang memiliki unit pengolahan ikan di dalam negeri. Hasil tangkapan yang dihasilkan wajib didaratkan seluruhnya di pelabuhan pangkalan kecuali ikan hidup, tuna untuk sashimi atau ikan lain yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan. Peraturan tersebut ditindak lanjuti dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan nomor KEP 033/DJ-P2HP/2008 tentang Jenis Ikan Laut Hasil Tangkapan Yang Menurut Sifatnya Tidak Memerlukan Pengolahan. Pada peraturan tersebut dijelaskan kembali bahwa seluruh ikan hasil tangkapan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku unit pengolahan ikan atau konsumsi dalam negeri serta wajib mengalami penanganan dan atau pengolahan. Kedua peraturan tersebut menjadi stimulus bagi pengusaha untuk berinvestasi membangun industri pengolahan ikan, dan secara tidak langsung membuka peluang bagi perkembangan industri surimi yang memanfaatkan hasil tangkap sampingan. 2) Bahan baku (by-catch) melimpah Rasio HTS yang dihasilkan oleh kapal pukat udang adalah 1 : 12, artinya untuk setiap 1 (satu) ton udang akan menghasilkan 12 (lima) ton HTS. Adapun produksi udang per tahun diperkirakan sebesar ton per tahun, sehingga HTS yang dihasilkan diperkirakan sebesar ton per tahun. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi ikan HTS pukat udang di Laut Arafura diperkirakan sebesar ton/tahun (Purbayanto et al. 2004). 103

8 3) Daya serap tenaga kerja tinggi Pengolahan HTS menjadi surimi mengindikasikan terbukanya lapangan kerja baru yang merupakan salah satu cara untuk menurunkan tingkat pengangguran di Provinsi Papua Barat dikarenakan industri surimi tergolong industri padat karya, sehingga akan melibatkan banyak tenaga kerja baik pada pengolahan HTS menjadi surimi maupun pada tahap pembuatan produk-produk olahan berbahan baku surimi. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi pemerintah provinsi Papua Barat dalam mengurangi tingkat pengangguran yang mencapai orang (tahun 2002). 4) Nilai tambah bagi pelaku usaha dan masyarakat Kendala keterbatasan palka dan rendahnya nilai ekonomis apabila HTS dibawa ke darat menyebabkan pemanfaatan HTS tidak optimal, selama ini HTS yang dimanfaatkan hanya sebesar 3,71%, yang terdiri dari jenis ikan ekonomis penting, yaitu kakap, tenggiri, kerapu, dll, sedangkan selebihnya dibuang ke laut. Pemanfaatan tersebut hanya terbatas sebagai bonus bagi ABK sekaligus dimanfaatkan untuk konsumsi ABK, sehingga tidak memberikan nilai tambah. Melalui pengolahan HTS menjadi surimi, HTS yang sekiranya dibuang ke laut, pada akhirnya memiliki nilai tambah yang dapat menjadi sumber pendapatan baru baik bagi pengusaha maupun masyarakat. Bagi pengusaha pengolahan HTS menjadi surimi merupakan sumber investasi baru yang dapat menghasilkan sumber pendapatan yang baru pula. Peraturan menteri ini didukung oleh keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Nomor : KEP.033/DJ-P2HP/2008 tentang jenis ikan laut hasil tangkapan yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan, dimana jenis-jenis ikan yang merupakan HTS dan sesuai untuk bahan baku surimi dilarang untuk diekspor dalam bentuk utuh dan harus diolah. (2) Komponen W (Kelemahan) 1) Infrastruktur lemah Infrastruktur pendukung masih lemah dan belum sepenuhnya tersedia, seperti kebutuhan energi listrik untuk mesin-mesin industri yang masih kurang termasuk untuk mesin-mesin pengolahan surimi, jalur transportasi masih sangat terbatas yang berpengaruh 104

9 dalam proses distribusi dan pemasaran, kurangnya suplai air bersih yang merupakan komponen penting dalam dan lain sebagainya. Infrastruktur tersebut merupakan prasarana pendukung berlangsungnya industri pengolahan HTS menjadi surimi, sehingga apabila ketersediaannya terbatas maka proses industri akan mengalami hambatan. 2) Keterampilan SDM lokal terbatas Mengingat pengolahan surimi masih tergolong sedikit di Indonesia, sehingga pengetahuan akan hal tersebut juga masih terbatas, terlebih bagi masyarakat di Provinsi Papua Barat yang banyak bermukim di daerah pedalaman. 3) Manajemen pengumpulan bahan baku terbatas HTS yang pada umumnya dibuang ke laut disebabkan oleh terbatasnya palka kapal sebagai tempat penyimpanan di atas kapal sehingga pengusaha pada umumnya memerintahkan kepada ABK untuk membuang HTS di laut. Hal ini mengindikasikan bahwa manajemen pengumpulan HTS sebagai supply bahan baku akan terhambat. 4) Teknologi pengolahan surimi terbatas Pengolahan surimi yang umum dilakukan saat ini adalah untuk bahan baku yang terdiri dari satu jenis ikan (HTS) saja, sehingga untuk pengolahan lebih dari 1 (satu) jenis ikan belum dilakukan dikarenakan teknologi yang masih terbatas. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa HTS terdiri atas campuran antara ikan ekonomis dan non ekonomis baik yang dalam keadaan utuh maupun yang tidak utuh. (3) Komponen O (Peluang) 1) Potensi pasar luas Perkembangan surimi saat ini sangat pesat, mengingat surimi merupakan bahan baku untuk olahan fish jelly seperti seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan bentuk olahan lainnya. Surimi sudah merupakan produk internasional dengan tingkat permintaan yang setiap tahun mengalami peningkatan. Adapun negara-negara pengimpor surimi adalah Jepang, Amerika Serikat, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia. Namun 105

10 permintaan tertinggi adalah Eropa terutama Perancis dan Spanyol dengan jumlah permintaan mencapai hingga ton per tahun. Permintaan tersebut tidak hanya terbatas pada surimi saja tetapi juga pada produk lanjutan/turunan dari surimi. 2) Peningkatan devisa ekspor Potensi pasar surimi yang masih didominasi oleh pasar luar negeri sangat memungkinkan untuk dilakukannya ekspor ke negara pengimpor. Hal ini berarti pemanfaatan HTS untuk memproduksi surimi merupakan peluang besar untuk menambah devisa negara. 3) Kebiasaan konsumsi masyarakat lokal Masyarakat Papua Barat merupakan masyarakat yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi ikan-ikan ekonomis dari kelompok udang, tuna, tongkol dan cakalang, sedangkan ikan-ikan ekonomis lainnya cenderung kurang diminati terlebih lagi ikan rucah, sehingga kebutuhan konsumsi masyarakat lokal Papua Barat bukan merupakan pesaing bagi industri surimi. (4) Komponen T (Ancaman) 1) Investasi teknologi relatif mahal Selain padat karya, industri surimi juga tergolong padat modal yakni untuk membangun teknologi pengolahannya dibutuhkan modal atau imvestasi yang besar. Hal ini merupakan ancaman dikarenakan alternatif pengolahan HTS yang lain seperti ikan asin tidak memerlukan modal yang besar. Faktor penyebab mahalnya teknologi adalah teknologi pengolahan surimi masih harus diimpor dan belum diproduksi di dalam negeri. Mahalnya teknologi pengolahan surimi dapat mengakibatkan kurangnya minat investor untuk bergabung dalam usaha surimi tersebut. 2) Kebiasaan resistensi pelaku usaha dan masyarakat Resistensi yang dimaksud adalah kecenderungan pelaku usaha dan masyarakat untuk bertahan pada satu bidang usaha saja yang selama ini dirasakan cukup menguntungkan, dan akan menimbulkan kesan tertutup pada usaha lain. Hal ini merupakan ancaman karena akan menimbulkan efek kurang diminatinya usaha pengolahan surimi oleh pelaku usaha. Dengan 106

11 kata lain, akan ada kemungkinan industri surimi tidak diminati sebagai akibat kurangnya informasi dan pengetahuan tentang surimi. 3) Kompetitor pengolah surimi Produsen surimi terbesar adalah Thailand yang secara teknologi dan kualitas surimi yang dihasilkan adalah berstandar internasional. Selain Thailand, beberapa negara penghasil surimi lainnya adalah Singapura. Di Indonesia, baru terdapat 5 (lima) industri surimi dengan dengan kegiatan berada di Indonesia barat 4 (empat) buah dan Indonesia timur 1 (satu) buah. Keberadaan pelaku usaha tersebut merupakan ancaman bagi pengembangan industri surimi apabila tidak diiringi dengan kemampuan bersaing Penentuan alternatif strategi Berdasarkan hasil identifikasi komponen SWOT, diperoleh beberapa alternatif strategi terkait dengan upaya pengembangan industri surimi yakni sebegai berikut: (1) Diversifikasi surimi (SO) Strategi diversifikasi surimi merupakan strategi yang dihasilkan dalam upaya memanfaatkan kekuatan (strengths) yang dimiliki guna mengisi peluang (opportunities) yang ada. Strategi ini memanfaatkan bahan baku dan kebijakan pemerintah serta potensi pasar dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja, peningkatan konsumsi dan nilai tambah bagi pelaku usaha. Diversifikasi surimi adalah upaya dalam proses pengolahan baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal berarti diversifikasi dilakukan dalam hal proses pembuatan surimi dilakukan dengan memanfaatkan bahan baku yang berasal dari berbagai jenis ikan terutama ikan-ikan hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang, yang komersial maupun non komersil. Adapun diversifikasi secara vertikal berarti pengolahan surimi menjadi berbagai macam produk olahan seperti baso, sosis dan lain sebagainya. (2) Peningkatan infrastuktur dan ketrampilan SDM (WO) Strategi peningkatan infrastruktur dan keterampilan sumberdaya manusia merupakan strategi yang digunakan dalam menyiasati kelemahan yang dimiliki agar tetap dapat mengisi atau memanfaatkan peluang usaha yang ada. Hal ini berarti adanya infrastruktur yang masih 107

12 lemah serta ketrampilan SDM lokal, manajemen pengumpulan bahan baku dan teknologi pengolahan yang juga masih terbatas harus dapat dimanfaatkan sedemikian rupa agar dapat mengisi potensi pasar yang ada sekaligus guna meningkatkan devisa. Selain itu, peluang lain yang dapat dimanfaatkan adalah adanya kebiasaan masyarakat lokal yang memiliki kecenderungan menyukai ikan ekonomis penting, sedangkan ikan non ekonomis penting kurang diminati. Mengingat peralatan mesin yang masih diimpor dengan harga yang sangat tinggi, maka pengembangan permesinanan surimi dalam negeri harus dipacu untuk mengurangi bagian investasi yang besar. (3) Clean technology (ST) Clean technology adalah upaya pemanfaatan ikan secara keseluruhan dalam bentuk bahan baku atau seluruh bagian dari ikan termasuk daging dan tulang sehingga dapat dijadikan komoditi yang bernilai tambah. Strategi clean technology merupakan strategi yang dilakukan dalam upaya mengatasi ancaman yang ada melalui pengoptimalan kekuatan yang ada. Hal ini berarti perlu adanya pemanfaatan bahan baku, dukungan kebijakan dan legalitas serta adanya perolehan nilai tambah guna mengatasi tingginya nilai investasi teknologi, adanya kompetitor pengolah surimi serta kecenderungan resistensi pelaku usaha. (4) Pemberdayaan masyarakat, efisiensi serta efektivitas usaha (WT) Pemberdayaan masyarakat lokal yang pada umumnya masih minim pengetahuan tentang pengolahan surimi serta membangun etos kerja yang bertujuan meningkatkan ketrampilan dan bermuara pada efisiensi dan efektifitas usaha merupakan strategi yang perlu dilakukan dalam mengelola kelemahan yang dimiliki guna mengatasi berbagai ancaman yang dihadapi. 7.4 Pembahasan Hasil identifikasi komponen SWOT yang selanjutnya menghasilkan 4 (empat) strategi yang tersusun dalam suatu hirarki strategi pengembangan industri surimi dalam rangka pemanfaatan by-catch pukat Udang di Provinsi Papua Barat seperti yang terlihat pada Gambar 14, dianalisa menggunakan Analytical Hierarcy Process (AHP). 108

13 7.4.1 Analisis prioritas faktor Hasil AHP memperlihatkan bahwa dari keempat komponen SWOT, komponen kekuatan dengan bobot 0, 490 merupakan prioritas utama yang dipilih oleh responden dalam upaya pengembangan industri surimi melalui pemanfaatan by-catch pukat Udang di Provinsi Papua Barat. Prioritas berikutnya adalah komponen kelemahan dengan bobot 0, 292 yang kemudian diikuti oleh komponen peluang dan ancaman, masing-masing dengan bobot 0, 117 dan 0, 101 (Gambar 18). Ancaman.101 Kekuatan.490 Kelemahan.292 Peluang.117 Inconsistency = 0.03 with 0 missing judgments. Gambar 18 Analisis prioritas faktor terhadap fokus. Hal ini menunjukkan bahwa dalam upaya pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat, komponen kekuatan merupakan faktor yang dinilai paling sesuai dengan tujuan/fokus yang diinginkan yakni kekuatan berupa adanya dukungan kebijakan dari pemerintah dan legalitas berupa peraturan perundang-undangan, besarnya kuantitas bahan baku berupa by-catch pukat udang, kemungkinan tingginya daya serap tenaga kerja serta adanya nilai tambah yang dapat diperoleh pelaku usaha dan masyarakat. Komponen kelemahan sebagai prioritas kedua mengindikasikan bahwa infrastruktur yang lemah serta keterampilan SDM lokal, manajemen pengumpulan bahan baku dan teknologi pengolahan surimi yang terbatas, harus mendapatkan perhatian lebih bagi pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat. Hal ini dapat dilakukan apabila faktor kekuatan yang dijadikan faktor utama, telah dapat diakomodir dengan baik. Demikian pula dengan faktor peluang yang menduduki prioritas ketiga, pengisian peluang berupa pemenuhan permintaan pasar sesuai dengan potensi pasar yang ada dan diharapkan dapat meningkatkan devisa ekspor. Adapun ancaman faktor sebagai prioritas keempat atau terakhir, mengindikasikan bahwa setelah faktor kekuatan, kelemahan dan peluang dilakukan upaya-upaya pengembangan, maka barulah dilakukan segala usaha guna mengatasi segala ancaman yang 109

14 ada yakni mahalnya nilai investasi teknologi, resistennya pelaku usaha serta adanya kompetitor surimi Analisis prioritas subfaktor Selain prioritas faktor terhadap fokus, maka terdapat pula prioritas subfaktor terhadap keempat faktor/komponen SWOT yang ada. Subfaktor pada faktor/komponen kekuatan (Gambar 19) memperlihatkan bahwa dari keempat subfaktor, maka subfaktor bahan baku (bycatch) melimpah menjadi prioritas utama dengan bobot 0,456 dalam memanfaatkan kekuatan guna pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat. Prioritas berikutnya adalah subfaktor nilai tambah bagi pelaku usaha (bobot 0.243), daya serap tenaga kerja tinggi (bobot 0,151) serta kebijakan dan legalitas dengan bobot 0,149. Bahan baku (by-catch) yang melimpah dijadikan sebagai subfaktor utama dikarenakan adanya fakta Kebijakan dan Legalitas.149 Bahan Baku (by-catch) Melimpah.456 Daya Serap Tenaga Kerja Tinggi.151 Nilai Tambah Bagi Pelaku Usaha.243 Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments. Gambar 19 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor kekuatan. bahwa kurang lebih ton per tahun hasil tangkap sampingan (by-catch) alat tangkap pukat udang di perairan Arafura, belum termanfaatkan dan sebagian besar dibuang kembali ke laut. Oleh karena itu, besarnya kuantitas hasil tangkap sampingan (by-catch) tersebut telah membuka jalan bagi pengembangan industri surimi. Hal ini dikarenakan pengembangan awal suatu industri surimi juga bergantung pada ada atau tidaknya bahan baku yang akan diolah menjadi surimi dan dapat menjamin keberlangsungan industri surimi dalam hal bahan baku. Selain itu, ikan-ikan yang merupakan hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang merupakan ikan-ikan yang dapat diolah menjadi surimi seperti ikan kurisi, swanggi, pisangpisang, bambangan, beloso, biji nangka dan beberapa jenis ikan lainnya. Adanya nilai tambah bagi pelaku usaha menjadi kekuatan kedua dalam pengembangan industri surimi, dikarenakan pengolahan ikan-ikan by-catch menjadi surimi, jelas akan memberikan suatu tambahan pendapatan bagi pelaku usaha dari ikan yang 110

15 terbuang percuma menjadi surimi yang diminati pasar domestik dan internasional. Adapun daya serap tenaga kerja yang tinggi merupakan dampak yang diharapkan dari pemanfaatan bahan baku yang melimpah serta adanya nilai tambah bagi pelaku usaha. Kebijakan dan legalitas merupakan pendukung dari pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat sebagai payung hukum dalam mengatur segala hal yang terkait dengan industri surimi. Selanjutnya, Gambar 20 memperlihatkan bahwa prioritas utama subfaktor pada faktor kelemahan yang perlu dibenahi adalah infrastruktur yang lemah atau kurang dengan bobot 0,604. Prioritas kedua yakni subfaktor manajemen pengumpulan bahan baku yang terbatas dengan bobot 0,225 dan prioritas ketiga serta keempat adalah subfaktor keterampilan SDM lokal dan teknologi pengolahan surimi yang terbatas dengan masing-masing bobot sebesar 0,095 dan 0,076. Infrastruktur Lemah.604 Keterampilan SDM Lokal Terbata.095 Manajemen Pengumpulan Bahan Ba.225 Teknologi Pengolahan Surimi Te.076 Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgments. Gambar 20 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor kelemahan. Infrastruktur yang lemah dijadikan prioritas pertama dikarenakan sarana dan prasarana pendukung pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat masih tergolong kurang seperti kebutuhan energi listrik untuk mesin-mesin industri yang masih kurang termasuk untuk mesin-mesin pengolahan surimi, jalur transportasi masih sangat terbatas yang berpengaruh dalam proses distribusi dan pemasaran, kurangnya suplai air bersih yang merupakan komponen penting dalam industri surimi, serta prasarana pelabuhan yang masih kurang memadai. Infrastruktur tersebut merupakan prasarana pendukung berlangsungnya industri pengolahan HTS menjadi surimi, sehingga apabila ketersediaannya terbatas maka proses industri akan mengalami hambatan. 111

16 Fokus Strategi Pengembangan Industri Surimi Dalam Rangka Pemanfaatan By-catch Pukat Udang di Provinsi Papua Barat Faktor Kekuatan (L:0,490) Kelemahan (L:0,292) Peluang (L:0,117) Ancaman (L:0,101) Subfaktor 1. Kebijakan dan Legalitas (L:0,149) 2. Bahan Baku Melimpah (L:0,456) 3. Daya Serap Tenaga Kerja Tinggi (L:0,151) 4. Nilai Tambah Bagi Pelaku Usaha dan Masyarakat (L:0,243) 1. Infrastruktur Lemah (L:0,604) 2. Keterampilan SDM Lokal Terbatas (L:0,0,95) 3. Manajemen Pengumpulan Bahan Baku Terbatas (L:0,225) 4. Teknologi Pengolahan Surimi Terbatas (L:0,076) 1. Potensi Pasar Luas (L:0,671) 2. Peningkatan Devisa Ekspor (L:0,230) 3. Kebiasaan Konsumsi Masyarakat Lokal (L:0,098) 1. Investasi Teknologi Relatif Mahal (L:0,484) 2. Kebiasaan Resistensi Pelaku Usaha dan Masyarakat (L:0,407) 3. Kompetitor Pengolah Surimi (L:0,109) Alternatif Strategi Diversifikasi Surimi Peningkatan Infrastruktur dan Keterampilan SDM Clean technology Pemberdayaan Masyarakat, efisiensi dan efektifitas Usaha Gambar 21 Struktur strategi pengembangan industri surimi di Sorong Provinsi Papua Barat. 112

17 Manajemen pengumpulan bahan baku yang terbatas merupakan kelemahan yang harus segera dicarikan solusi dikarenakan selama ini, bahan baku surimi yang berasal dari by-catch pukat udang tersebut hanya dibuang ke laut karena adanya keterbatasan kapasitas palka kapal. Adapun keterampilan SDM lokal yang terbatas menjadi prioritas ketiga dikarenakan apabila infrastruktur telah dibenahi dan manajemen pengumpulan bahan baku telah dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah pemberdayaan SDM lokal melalui pemberian pengetahuan (pelatihan) tentang pengolahan ikan menjadi surimi. Kelemahan yang menjadi prioritas terakhir adalah teknologi pengolahan surimi yang masih terbatas, namun keterbatasan ini bukanlah tidak teratasi, dikarenakan teknologi tersebut dapat dibeli dan sudah merupakan wacana umum, bahkan telah dapat dilakukan dalam skala kecil. Oleh karena itu, keterbatasan teknologi dikategorikan kelemahan pada prioritas keempat. Adapun untuk prioritas subfaktor terhadap faktor ancaman dalam pengembangan industri surimi melalui pemanfaatan by-catch di Provinsi Papua Barat yaitu investasi teknologi yang relatif mahal adalah prioritas pertama dengan bobot 0,484, diikuti subfaktor kebiasaan resistensi pelaku usaha (bobot 0,407) dan kompetitor pengolah surimi diurutan ketiga dengan bobot 0,109 (Gambar 22). Investasi Teknologi Relatif Ma.484 Kebiasaan Resistensi Pelaku Us.407 Kompetitor Pengolah Surimi.109 Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments. Gambar 22 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor ancaman. Mahalnya investasi dalam bidang teknologi pengolahan surimi merupakan subfaktor ancaman yang harus diatasi terlebih dahulu dikarenakan untuk mengembangkan industri surimi, teknologi merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki karena sangat terkait dengan kualitas pengolahan ikan-ikan by-catch menjadi surimi. Selain itu, teknologi pengolahan surimi erat kaitannya dengan daya kreasi seseorang atau sebuah perusahaan dalam menciptakan suatu bentuk olahan termasuk didalamnya pengolahan surimi. Oleh karena itu, nilai mahal dalam hal investasi teknologi tidak hanya seputar fisik dari teknologi namun juga penciptaan teknologi tersebut. 113

18 Ancaman prioritas berikutnya yakni kebiasaan resistensi pelaku usaha, jelas akan menghambat pengembangan industri surimi dikarenakan kecenderungan pelaku usaha untuk melakukan pengolahan ikan yang lebih sederhana seperti ikan asin, pindang dan lain sebagainya dan memiliki kecenderungan untuk menutup diri dari bentuk usaha olahan yang lain. Hal ini dapat disebabkan kurangnya informasi mengenai pengolahan ikan terutama informasi pengolahan ikan menjadi surimi yang meliputi teknologi dan cara pengolahan. Selain itu, minimnya informasi mengenai potensi pasar surimi juga akan menjadi ancaman dalam pengembangan industri surimi. Hingga saat ini, usaha pengolahan ikan di Provinsi Papua Barat hanya terbatas pada produk ikan beku dan itu pun hanya untuk ikan-ikan ekonomis penting yang memiliki pasar ekspor seperti udang dan tuna. Adapun untuk ancaman dalam hal kompetitor pengolah surimi menjadi subfaktor prioritas ketiga dikarenakan pengolah surimi masih dalam jumlah kecil yakni di Indonesia hanya ada 5 (lima) pengolah, dan dari kelima pengolah tersebut hanya ada 1 (satu) di kawasan timur Indonesia, sedangkan 4 (empat) lainnya di kawasan barat Indonesia. Selanjutnya, urutan prioritas subfaktor terhadap faktor peluang pengembangan industri surimi dengan memanfaatkan hasil tangkap sampingan (by-catch) di Provinsi Papua Barat yakni prioritas pertama dengan bobot 0,671 adalah subfaktor potensi pasar yang luas, diikuti peningkatan devisa ekspor dengan bobot 0,230 dan yang terakhir adalah subfaktor kebiasaan konsumsi masyarakat dengan komposisi bobot 0,098 seperti yang terlihat pada Gambar 23. Potensi pasar yang luas dijadikan prioritas pertama dikarenakan langkah pertama dalam melakukan suatu usaha dalam bidang apapun adalah melihat potensi pasar yang ada, dan hal ini berlaku pula pada upaya pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat. Potensi pasar surimi saat ini sangat terbuka mengingat surimi merupakan bahan baku untuk olahan fish jelly seperti seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan bentuk olahan lainnya. Surimi sudah merupakan produk internasional dengan tingkat permintaan yang setiap tahun mengalami peningkatan dan tidak hanya terbatas pada surimi saja tetapi juga pada produk lanjutan/turunan dari surimi. Adapun negara-negara pengimpor surimi adalah Jepang, Amerika Serikat, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia. Namun permintaan tertinggi adalah Eropa terutama Perancis dan Spanyol dengan jumlah permintaan mencapai hingga ton per tahun (FAO 2007). Peningkatan devisa ekspor menjadi prioritas kedua karena terkait dengan prioritas pertama yakni apabila potensi pasar yang luas dimanfaatkan terutama untuk ekspor surimi, maka secara otomatis devisa ekspor akan mengalami peningkatan. Untuk subfaktor prioritas ketiga yakni kebiasaan konsumsi masyarakat di sekitar perairan Arafura pada umumnya dan 114

19 di Provinsi Papua Barat pada khususnya, yang cenderung mengkonsumsi ikan-ikan ekonomis penting dan kurang menyenangi ikan-ikan non ekonomis. Oleh karena itu, peluang ketersediaan bahan baku semakin tinggi dan adanya kompetitor pengguna bahan baku semakin kecil yang berdampak positif pada upaya pengembangan industri surimi dalam rangka pemanfaatan by-catch di Provinsi Papua Barat. Potensi Pasar Luas.671 Peningkatan Devisa Ekspor.230 Kebiasaan Konsumsi Masyarakat.098 Inconsistency = 0.06 with 0 missing judgments. Gambar 23 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor peluang Analisis dan rekomendasi prioritas strategi/kebijakan Sesuai dengan struktur hirarki pengembangan industri surimi dalam rangka pemanfaatan by-catch di Provinsi Papua Barat, maka tahapan analisis yang berikutnya adalah analisis terhadap prioritas strategi atau kebijakan yang akan direkomendasikan dalam pengembangan industri tersebut. Adapun urutan prioritas strategi/kebijakan yang dapat direkomedasikan yakni prioritas pertama adalah diversifikasi surimi dengan bobot 0,312, prioritas kedua adalah pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektifitas usaha dengan bobot 0,281 serta prioritas ketiga dan keempat yakni peningkatan infrastruktur dan keterampilan SDM dengan bobot 0,279 dan clean technology dengan bobot 0,128 seperti yang terlihat pada Gambar 24. Diversifikasi Surimi 0,312 Peningkatan Infrastruktur dan Ketrampilan SDM 0,279 Clean Technology 0,128 Pemberdayaan Masyarakat, Efisiensi dan Efektivitas Usaha 0,281 Gambar 24 Analisis prioritas strategi/kebijakan. 115

20 Diversifikasi surimi sebagai strategi utama yang diprioritaskan dalam mengembangkan industri surimi melalui pemanfaatan hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang di Provinsi Papua Barat, mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku berupa ikan by-catch pukat udang tersebut perlu diolah agar tidak lagi dibuang ke laut dengan percuma tetapi dapat dijadikan suatu produk yang lebih bermanfaat. Diversifikasi surimi yang paling tepat dilakukan adalah secara horizontal yakni memanfaatkan berbagai jenis ikan bycatch pukat udang tersebut menjadi surimi melalui teknologi pencampuran ikan-ikan tersebut dengan komposisi tertentu sehingga diperoleh surimi dengan kualitas yang sesuai standar yang diinginkan pasar. Selanjutnya apabila telah diperoleh surimi ikan campuran tersebut, maka dilakukan diversifikasi secara vertikal yakni pemanfaatan surimi tersebut menjadi produk olahan lanjutan seperti baso, sosis, siomay, fish cake, mie ikan, burger dan sebagainya. Mengingat inftrastruktur yang masih kurang dalam mendukung pencapaian diversifikasi surimi maka perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektivitas usaha sebagai strategi prioritas kedua dalam pengembangan industri surimi tersebut. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengolahan surimi dengan tujuan agar dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Provinsi Papua Barat. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga akan berdampak pada efisiensi dan efektivitas usaha yakni meminimalkan biaya tenaga kerja apabila dibandingkan dengan perekrutan tenaga kerja non lokal. Efisiensi dan efektivitas usaha sangat diperlukan dalam pengembangan industri surimi mengingat bahwa surimi merupakan komoditas ekspor, sehingga dapat menekan biaya produksi surimi yang pada akhirnya akan menurunkan harga jual surimi tersebut. Hal ini berarti salah satu komponen daya jual yaitu harga, dapat lebih bersaing dengan kompetitor lainnya. Namun demikian, terdapat banyak faktor pendukung lainnya yang perlu diperhatikan untuk mencapai hal tersebut. Pemberdayaan masyarakat utamanya masyarakat lokal yang pada umumnya masih minim pengetahuan akan pengolahan ikan menjadi surimi, sehingga perlu dilakukan pelatihan pengolahan surimi dimaksud. Pelatihan tersebut dapat berupa pemberian keterampilan dan pengetahuan akan teknologi pengolahan surimi, cara penggunaan alat pengolah, cara pengolahan yang higienis dan lain sebagainya. Selain itu, pemerintah sebagai aktor pendukung, perlu melakukan upaya peningkatan infrastruktur yang dianggap masih kurang baik melalui perbaikan infrastruktur yang sudah ada ataupun pengadaan infrastruktur yang sebelumnya belum ada, dan dianggap sangat penting bagi pengembangan industri surimi tersebut. Salah satu infrastruktur yang dianggap perlu yakni perbaikan atau pengadaan 116

21 jalan sebagai sarana transportasi yang akan dimanfaatkan dalam rangka supply ataupun distribusi dan pemasaran surimi. Infrastruktur lainnya adalah penyediaan listrik dalam kapasitas besar mengingat mesin-mesin yang digunakan dalam proses pengolahan adalah mesin dengan kebutuhan listrik dalam jumlah besar. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah penyediaan air bersih guna diperolehnya surimi dengan kualitas terbaik yakni surimi yang bebas di kontaminasi bakteri patogen dan sumber pembusukan lainnya. Strategi sebagai prioritas terakhir adalah clean technology yakni upaya memanfaatkan seluruh bagian dari ikan termasuk daging dan tulang ikan untuk diolah lebih lanjut. Strategi ini sangat diperlukan dalam pengembangan industri surimi melalui pemanfaatan by-catch pukat udang, mengingat by-catch yang diperoleh tidak semuanya dalam keadaan ikan utuh sehingga tidak dapat diolah menjadi surimi. Selain itu, tidak semua jenis ikan memiliki nilai ekonomis bila diolah menjadi surimi, seperti halnya jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi yaitu kakap merah, tuna, tenggiri, bawal, cakalang lebih menguntungkan diolah dalam bentuk fillet atau utuh beku sedangkan jenis ikan yang mempunyai rendemen (yield) yang kecil seperti peperek tidak menguntungkan bila diolah menjadi surimi. Dalam pengolahan surimi, tidak semua bagian ikan akan dimanfaatkan namun hanya dimanfaatkan (diambil) pada bagian daging, sehingga akan menyisakan bagian tulang, duri dan kulit ikan. Oleh karena itu, melalui clean technology, ikan-ikan tidak utuh (hancur) dan bagian tulang ikan yang tidak dapat diolah menjadi surimi dapat diolah lebih lanjut, salah satunya yakni dijadikan bahan baku pembuatan tepung ikan. Dengan demikian, upaya pengembangan industri surimi dalam rangka pemanfaatan by-catch pukat udang di Provinsi Papua Barat melalui keempat strategi tersebut diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal. 117

METODE PENELITIAN. San Diego Hills. Visi dan Misi. Identifikasi gambaran umum perusahaan dan pasar sasaran

METODE PENELITIAN. San Diego Hills. Visi dan Misi. Identifikasi gambaran umum perusahaan dan pasar sasaran 24 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran San Diego Hills Visi dan Misi Identifikasi gambaran umum perusahaan dan pasar sasaran Bauran Pemasaran Perusahaan: 1. Produk 2. Harga 3. Lokasi 4. Promosi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian Penerapan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) ini dilaksanakan di PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan gabungan antara data primer dan data sekunder. Data primer mencakup hasil penggalian pendapat atau

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran

III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran Pemilihan stretegi bersaing yang tepat sangat diperlukan perusahaan dalam menghadapi persaingan bisnis yang ada. Tahapan dimulai dengan pembangunan konstruksi hirarki

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. keripik pisang Kondang Jaya binaan koperasi BMT Al-Ikhlaas. yang terletak di

BAB IV METODE PENELITIAN. keripik pisang Kondang Jaya binaan koperasi BMT Al-Ikhlaas. yang terletak di 135 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian merupakan studi kasus yang dilakukan pada suatu usaha kecil keripik pisang Kondang Jaya binaan koperasi BMT Al-Ikhlaas. yang terletak

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Persaingan yang terjadi pada industri minuman ringan membuat setiap industri yang bergerak memproduksi minuman ringan harus selalu mengkaji ulang secara terus-menerus

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperkuat dan mendukung analisis penelitian adalah:

IV METODE PENELITIAN Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperkuat dan mendukung analisis penelitian adalah: IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di UPTD Balai Pengembangan Teknologi (BPT) Mekanisasi Pertanian Jawa Barat yang terletak di Jalan Darmaga Timur Bojongpicung, Cihea,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilakukan di Dapur Geulis yang merupakan salah satu restoran di Kota Bogor. Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi bauran pemasaran

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran

III. METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran III. METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Indonesia merupakan negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Namun, hal ini tidak sejalan dengan jumlah produk agroindustrinya yang tembus dijual di pasar ekspor.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 25 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan miniatur keseluruhan dari proses penelitian. Kerangka pemikiran akan memberikan arah yang dapat dijadikan pedoman bagi para

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor mulai Desember 2010 Maret 2011. 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN. Data kajian ini dikumpulkan dengan mengambil sampel. Kabupaten Bogor yang mewakili kota besar, dari bulan Mei sampai November

III. METODE KAJIAN. Data kajian ini dikumpulkan dengan mengambil sampel. Kabupaten Bogor yang mewakili kota besar, dari bulan Mei sampai November III. METODE KAJIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Data kajian ini dikumpulkan dengan mengambil sampel pemerintah kabupaten/kota, secara purposif yaitu Kota Bogor yang mewakili kota kecil dan Kabupaten Bogor yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di KUB Hurip Mandiri Kecamatan Cisolok,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di KUB Hurip Mandiri Kecamatan Cisolok, 98 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di KUB Hurip Mandiri Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 46 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang dan sekitarnya (Gambar 6 dan Gambar 7). Pemilihan lokasi ini didasarkan atas

Lebih terperinci

BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK. Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP)

BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK. Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK 3.1 Pengertian Proses Hierarki Analitik Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas Lorie Saaty dari Wharton

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Dalam penelitian mengenai strategi bauran pemasaran pertama kali peneliti akan mempelajari mengenai visi misi dan tujuan perusahaan, dimana perusahaan yang

Lebih terperinci

ANALISIS DATA Metode Pembobotan AHP

ANALISIS DATA Metode Pembobotan AHP ANALISIS DATA Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan konsumen dan pakar serta tinjauan langsung ke lapangan, dianalisa menggunakan metode yang berbeda-beda sesuai kebutuhan dan kepentingannya.

Lebih terperinci

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian III. METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Kajian Usaha pengolahan pindang ikan dipengaruhi 2 (dua) faktor penting yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek produksi, manajerial,

Lebih terperinci

ANALISIS RANTAI PASOK SEMEN DI PAPUA BARAT

ANALISIS RANTAI PASOK SEMEN DI PAPUA BARAT ANALISIS RANTAI PASOK SEMEN DI PAPUA BARAT Yandra Rahadian Perdana Jurusan Teknik Industri, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Jl. Marsda Adisucipto No. 1 Yogyakarta yrperdana@gmail.com Abstrak

Lebih terperinci

Ada tiga prinsip dasar dalam proses hirarki analitik, yaitu : secara hirarkis, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah-pisah.

Ada tiga prinsip dasar dalam proses hirarki analitik, yaitu : secara hirarkis, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah-pisah. 3. LANDASAN TEORI 3.1. Analytical Hierarchy Process Ai?nl~?rcnl Hrermc/?j9 P~~ocess (AHP) atau Proses Hirarki Analitik (PHA) ditujukan untuk membuat suatu model pel-inasalahan yang tidak mempunyai struktur

Lebih terperinci

2 METODE PENELITIAN. Kerangka Pemikiran

2 METODE PENELITIAN. Kerangka Pemikiran di Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kota Surakarta meliputi: 1. Strategi Pemasaran (Relation Marketing) dilaksanakan dengan fokus terhadap pelayanan masyarakat pengguna, sosialisasi kepada masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif

BAB III METODE PENELITIAN. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan melakukan studi kasus di UMKM sulam usus Galeri Aan Ibrahim. Pengolahan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pengembangan agroindustri kelapa sawit sebagai strategi pembangunan nasional merupakan suatu keniscayaan guna memperkecil kesenjangan pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE KAJIAN

BAB III METODE KAJIAN 47 BAB III METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Meningkatnya aktivitas perkotaan seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat yang kemudian diikuti dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk akan

Lebih terperinci

Penyebaran Kuisioner

Penyebaran Kuisioner Penentuan Sampel 1. Responden pada penelitian ini adalah stakeholders sebagai pembuat keputusan dalam penentuan prioritas penanganan drainase dan exspert dibidangnya. 2. Teknik sampling yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN. 3.1 Penerapan AHP dalam Menentukan Prioritas Pengembangan Obyek Wisata Di Kabupaten Toba Samosir

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN. 3.1 Penerapan AHP dalam Menentukan Prioritas Pengembangan Obyek Wisata Di Kabupaten Toba Samosir 29 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Penerapan AHP dalam Menentukan Prioritas Pengembangan Obyek Wisata Di Kabupaten Toba Samosir Penerapan AHP dalam menentukan prioritas pengembangan obyek wisata dilakukan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 56 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dipaparkan mengenai perancangan penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam penulisan ini. Penelitian ini memiliki 2 (dua) tujuan,

Lebih terperinci

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT Multi-Attribute Decision Making (MADM) Permasalahan untuk pencarian terhadap solusi terbaik dari sejumlah alternatif dapat dilakukan dengan beberapa teknik,

Lebih terperinci

ANALISIS PEMILIHAN SUPPLIER MENGGUNAKAN METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP)

ANALISIS PEMILIHAN SUPPLIER MENGGUNAKAN METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP) Jurnal Ilmiah Teknik Industri, Vol. 10, No. 1, Juni 2011 ISSN 1412-6869 ANALISIS PEMILIHAN SUPPLIER MENGGUNAKAN METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP) Pendahuluan Ngatawi 1 dan Ira Setyaningsih 2 Abstrak:

Lebih terperinci

III. METODOLOGI KAJIAN

III. METODOLOGI KAJIAN III. METODOLOGI KAJIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Kajian Penelitian Kajian dilakukan di Kabupaten Indramayu. Dasar pemikiran dipilihnya daerah ini karena Kabupaten Indramayu merupakan daerah penghasil minyak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Lokasi Penelitian dan Fokus penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Timur tepatnya Kota

BAB III METODE PENELITIAN. A. Lokasi Penelitian dan Fokus penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Timur tepatnya Kota BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian dan Fokus penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Timur tepatnya Kota Malang. Fokus penelitian ini meliputi Sub sektor apa saja yang dapat menjadi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan dan industri yang bergerak dibidang perikanan memiliki potensi yang tinggi untuk menghasilkan devisa bagi negara. Hal tersebut didukung dengan luas laut Indonesia

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 1) Miskin sekali: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun lebih rendah 75% dari total pengeluaran 9 bahan pokok 2) Miskin: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun berkisar antara 75-125%

Lebih terperinci

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN 6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN Hasil tangkapan di PPS Belawan idistribusikan dengan dua cara. Cara pertama adalah hasil tangkapan dari jalur laut didaratkan di PPS Belawan didistribusikan

Lebih terperinci

BAB VII FORMULASI DAN PEMILIHAN STRATEGI. oleh perusahaan. Pengidentifikasian faktor-faktor eksternal dan internal dilakukan

BAB VII FORMULASI DAN PEMILIHAN STRATEGI. oleh perusahaan. Pengidentifikasian faktor-faktor eksternal dan internal dilakukan 144 BAB VII FORMULASI DAN PEMILIHAN STRATEGI 7.1 Analisis Matriks EFE dan IFE Tahapan penyusunan strategi dimulai dengan mengidentifikasi peluang dan ancaman yang dihadapi perusahaan serta kekuatan dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, dengan batasan waktu data dari tahun 2000 sampai dengan 2009. Pertimbangan pemilihan lokasi kajian antar

Lebih terperinci

Fasilitas Penempatan Vektor Eigen (yang dinormalkan ) Gaji 0,648 0,571 0,727 0,471 0,604 Jenjang 0,108 0,095 0,061 0,118 0,096

Fasilitas Penempatan Vektor Eigen (yang dinormalkan ) Gaji 0,648 0,571 0,727 0,471 0,604 Jenjang 0,108 0,095 0,061 0,118 0,096 PENERAPAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) DALAM PEMILIHAN PERUSAHAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) SEBAGAI TEMPAT KERJA MAHASISWA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (USU) 1. Permasalahan Pemilihan Perusahaan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Keragaan armada penangkapan pukat udang yang berpangkalan di Sorong Provinsi Papua Barat

Lampiran 1 Keragaan armada penangkapan pukat udang yang berpangkalan di Sorong Provinsi Papua Barat Lampiran 1 Keragaan armada penangkapan pukat udang yang berpangkalan di Sorong Provinsi Papua Barat NO NAMA PERUSAHAAN KAPAL GT PK HARI OPERASI DAERAH TANGKAPAN WPP 1 ALFA KURNIA FISH ENTERPRISE, PT. KURNIA

Lebih terperinci

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. Penyusunan Hirarki Dari identifikasi dan subatribut yang dominan, dapat disusun struktur hirarki sebagai berikut: Gambar 4.1 Struktur Hirarki Penerima Beasiswa

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

III. LANDASAN TEORI A. PERENCANAAN PROYEK INVESTASI

III. LANDASAN TEORI A. PERENCANAAN PROYEK INVESTASI III. LANDASAN TEORI A. PERENCANAAN PROYEK INVESTASI Menurut Khadariah (986), proyek adalah suatu keseluruhan kegiatan yang menggunakan sumber-sumber untuk memperoleh manfaat (benefit), atau suatu kegiatan

Lebih terperinci

PEMILIHAN SUPPLIER BAHAN BAKU DENGAN MENGGUNAKAN METODA ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) (STUDI KASUS DI PT. EWINDO BANDUNG)

PEMILIHAN SUPPLIER BAHAN BAKU DENGAN MENGGUNAKAN METODA ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) (STUDI KASUS DI PT. EWINDO BANDUNG) PEMILIHAN SUPPLIER BAHAN BAKU DENGAN MENGGUNAKAN METODA ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) (STUDI KASUS DI PT. EWINDO BANDUNG) Hendang Setyo Rukmi Hari Adianto Dhevi Avianti Teknik Industri Institut Teknologi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3 METODOLOGI. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan mulai bulan Februari 006 sampai dengan Juli 006 di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta (PPSNZJ). Kegiatan

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT

IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT 36 IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT Wilayah utara Jawa Barat merupakan penghasil ikan laut tangkapan dengan jumlah terbanyak di Propinsi Jawa Barat. Pada tahun

Lebih terperinci

PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN PERTANIAN DENGAN METODE ANALY TICAL HIERARCHY P ROCESS (AHP) Jefri Leo, Ester Nababan, Parapat Gultom

PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN PERTANIAN DENGAN METODE ANALY TICAL HIERARCHY P ROCESS (AHP) Jefri Leo, Ester Nababan, Parapat Gultom Saintia Matematika ISSN: 2337-9197 Vol. 02, No. 03 (2014), pp. 213-224. PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN PERTANIAN DENGAN METODE ANALY TICAL HIERARCHY P ROCESS (AHP) Jefri Leo, Ester Nababan, Parapat Gultom

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI Analytial Hierarchy Process (AHP) Pengertian Analytical Hierarchy Process (AHP)

BAB 2 LANDASAN TEORI Analytial Hierarchy Process (AHP) Pengertian Analytical Hierarchy Process (AHP) BAB 2 LANDASAN TEORI 2 1 Analytial Hierarchy Process (AHP) 2 1 1 Pengertian Analytical Hierarchy Process (AHP) Metode AHP merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang menggunakan faktor-faktor

Lebih terperinci

1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian

1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian lndonesia memegang peran yang cukup penting, mengingat potensi sumberdaya ikan tuna di perairan lndonesia

Lebih terperinci

Bab 3 Kerangka Pemecahan Masalah

Bab 3 Kerangka Pemecahan Masalah Bab 3 Kerangka Pemecahan Masalah 3.1. Flowchart Penelitian Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka sebelumnya peneliti membuat perencanaan tentang langkah-langkah pemecahan masalah yang akan

Lebih terperinci

ANALISIS PENENTUAN RATING RISIKO PROYEK PT. XYZ METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROSES (AHP)

ANALISIS PENENTUAN RATING RISIKO PROYEK PT. XYZ METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROSES (AHP) ANALISIS PENENTUAN RATING RISIKO PROYEK PT. XYZ METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROSES (AHP) Hadi Setiawan 1, Shanti Kirana Anggraeni 2, dan Fitri Purnamasari 3 Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA

PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA Desy Damayanti Mahasiswa Magister Manajemen Aset FTSP ITS Ria Asih Aryani Soemitro Dosen Pembina Magister Manajemen Aset FTSP

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN ALTERNATIF ELEMEN FAKTOR TENAGA KERJA GUNA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA DENGAN SWOT DAN ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS

PENGAMBILAN KEPUTUSAN ALTERNATIF ELEMEN FAKTOR TENAGA KERJA GUNA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA DENGAN SWOT DAN ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS PENGAMBILAN KEPUTUSAN ALTERNATIF ELEMEN FAKTOR TENAGA KERJA GUNA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA DENGAN SWOT DAN ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS Endang Widuri Asih 1 1) Jurusan Teknik Industri Institut Sains

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Bab ini menjelaskan mengenai metode Analytic Hierarchy Process (AHP) sebagai metode yang digunakan untuk memilih obat terbaik dalam penelitian ini. Disini juga dijelaskan prosedur

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN VIII. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN I Dari hasil analisa yang dilakukan terhadap berbagai data dan informasi yang dikumpulkan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pangsa TSR Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lautnya, Indonesia menjadi negara yang kaya akan hasil lautnya, khususnya di

BAB I PENDAHULUAN. lautnya, Indonesia menjadi negara yang kaya akan hasil lautnya, khususnya di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara maritim. Sebagai wilayah dengan dominasi lautnya, Indonesia menjadi negara yang kaya akan hasil lautnya, khususnya di bidang perikanan dan kelautan.

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang tujuannya untuk menyajikan

Lebih terperinci

Luas hutan Indonesia menurut MoFEC (1999a) seluas 142 juta hektar, yang

Luas hutan Indonesia menurut MoFEC (1999a) seluas 142 juta hektar, yang A. LATAR BELAKANG Luas hutan Indonesia menurut MoFEC (1999a) seluas 142 juta hektar, yang terdiri dari Hutan Produksi Tetap seluas 33 juta helctar (23%), Hutan Produksi Terbatas seluas 31 juta hektar (22%),

Lebih terperinci

BAB III METODE FUZZY ANP DAN TOPSIS

BAB III METODE FUZZY ANP DAN TOPSIS BAB III METODE FUZZY ANP DAN TOPSIS 3.1 Penggunaan Konsep Fuzzy Apabila skala penilaian menggunakan variabel linguistik maka harus dilakukan proses pengubahan variabel linguistik ke dalam bilangan fuzzy.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 17 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran PT NIC merupakan perusahaan yang memproduksi roti tawar spesial (RTS). Permintaan RTS menunjukkan bahwa dari tahun 2009 ke tahun 2010 meningkat sebanyak

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Penelitian. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian.

METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Penelitian. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian. III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Penelitian Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan

Lebih terperinci

ANALISIS SISTEM PEMBAYARAN PERKULIAHAN DI UKRIDA MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)

ANALISIS SISTEM PEMBAYARAN PERKULIAHAN DI UKRIDA MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Jurnal Teknik dan Ilmu Komputer ANALISIS SISTEM PEMBAYARAN PERKULIAHAN DI UKRIDA MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) AN ANALYSIS OF THE TUITION FEE PAYMENT SYSTEM IN UKRIDA USING ANALYTICAL

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 19 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Analytic Hierarchy Process (AHP) Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 70 an ketika di Warston school. Metode AHP merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dengan panjang pantai 81.000 km serta terdiri atas 17.500 pulau, perhatian pemerintah Republik Indonesia terhadap sektor

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan, Politeknik Perikanan Negeri Tual. Jl.

Lebih terperinci

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN 5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN Dalam bab ini akan membahas mengenai strategi yang akan digunakan dalam pengembangan penyediaan air bersih di pulau kecil, studi kasus Kota Tarakan. Strategi

Lebih terperinci

ANALISA PEMILIHAN LOKASI PEMBANGUNAN PASAR BARU DI KECAMATAN MUARADUA KABUPATEN OKU SELATAN

ANALISA PEMILIHAN LOKASI PEMBANGUNAN PASAR BARU DI KECAMATAN MUARADUA KABUPATEN OKU SELATAN ANALISA PEMILIHAN LOKASI PEMBANGUNAN PASAR BARU DI KECAMATAN MUARADUA KABUPATEN OKU SELATAN Yusrinawati Mahasiswa Magister Manajemen Aset FTSP ITS Email: yusri47@yahoo.com Retno Indryani Eko Budi Santoso

Lebih terperinci

Sistem konektivitas pelabuhan perikanan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan ikan

Sistem konektivitas pelabuhan perikanan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan ikan Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Sistem konektivitas pelabuhan perikanan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan ikan Iin Solihin 1, Sugeng Hari Wisudo 1, Joko Susanto 2 1 Departemen

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan dan pemerintah di

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan dan pemerintah di 45 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan dan pemerintah di Provinsi Lampung yaitu Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Lampung,

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Metode Penelitian 4.3 Metode Pengambilan Sampel

IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Metode Penelitian 4.3 Metode Pengambilan Sampel 14 IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret-April 2009. Tempat penelitian berlokasi di Kota Sabang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 4.2 Metode Penelitian

Lebih terperinci

4 ANALISIS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU SURIMI

4 ANALISIS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU SURIMI 4 ANALISIS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU SURIMI 4.1 Pendahuluan Usaha penangkapan ikan khususnya penangkapan dengan menggunakan alat tangkap pukat udang dengan target utama adalah udang (udang putih dan jerbung)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kelautan yang memiliki banyak kekayaan hayati. Tiga perempat dari luas wilayah Indonesia atau sekitar 5.8 juta km² berupa laut. Garis pantai

Lebih terperinci

Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa

Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa Rizal Afriansyah Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Email : rizaldi_87@yahoo.co.id Abstrak - Transportasi mempunyai

Lebih terperinci

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6.1 Pendahuluan Industri surimi merupakan suatu industri pengolahan yang memiliki peluang besar untuk dibangun dan dikembangkan. Hal ini didukung oleh adanya

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis SWOT untuk menentukan Strategi Pengembangan Industri. Biofarmaka Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis SWOT untuk menentukan Strategi Pengembangan Industri. Biofarmaka Daerah Istimewa Yogyakarta BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis SWOT untuk menentukan Strategi Pengembangan Industri Biofarmaka Daerah Istimewa Yogyakarta Strategi pengembangan pada Industri Biofarmaka D.I.Yogyakarta

Lebih terperinci

Pemodelan Sistem Penunjang Keputusan (DSS) Dengan Analytic Hierarchical Proces (AHP).

Pemodelan Sistem Penunjang Keputusan (DSS) Dengan Analytic Hierarchical Proces (AHP). Pemodelan Sistem Penunjang Keputusan (DSS) Dengan Analytic Hierarchical Proces (AHP). Pengembangan Pendekatan SPK Pengembangan SPK membutuhkan pendekatan yg unik. Pengembangan SPK Terdapat 3 (tiga) pendekatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto. Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto. Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan nomos. Oikos berarti rumah tangga, nomos berarti aturan. Sehingga

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Analytic Hierarchy Process (AHP) Sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya dikarenakan faktor ketidakpasatian atau ketidaksempurnaan informasi saja. Namun masih terdapat penyebab

Lebih terperinci

PEMILIHAN SUPPLIER ALUMINIUM OLEH MAIN KONTRAKTOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS

PEMILIHAN SUPPLIER ALUMINIUM OLEH MAIN KONTRAKTOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS PEMILIHAN SUPPLIER ALUMINIUM OLEH MAIN KONTRAKTOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS Mohamad Aulady 1) dan Yudha Pratama 2) 1,2) Program Studi Teknik Sipil FTSP ITATS Jl. Arief Rahman

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai langkah-langkah yang ditempuh untuk mendapatkan metodologi penelitian yang merupakan suatu tahapan yang harus diterapkan agar penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi perikanan. Artinya, kurang lebih 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi perikanan. Artinya, kurang lebih 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sektor perikanan Indonesia cukup besar. Indonesia memiliki perairan laut seluas 5,8 juta km 2 (perairan nusantara dan teritorial 3,1 juta km 2, perairan ZEE

Lebih terperinci

Pertemuan 5. Pemodelan Sistem Penunjang Keputusan (DSS) Dengan Analytic Hierarchical Proces (AHP).

Pertemuan 5. Pemodelan Sistem Penunjang Keputusan (DSS) Dengan Analytic Hierarchical Proces (AHP). Pertemuan 5 Pemodelan Sistem Penunjang Keputusan (DSS) Dengan Analytic Hierarchical Proces (AHP). Pengembangan Pendekatan SPK (II) Pengembangan Pendekatan SPK (II) Pengembangan SPK membutuhkan pendekatan

Lebih terperinci

BAB IV PENGUMPULAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGUMPULAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Profil Perusahaan Perusahaan ini hadir di Indonesia pada tahun 1995 pada awalnya perusahaan ini bernama PT NZMI pada tahun 2004 perusahaan ini berganti nama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas keseluruhan sekitar ± 5,18 juta km 2, dari luasan tersebut dimana luas daratannya sekitar ± 1,9 juta

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Asahan, untuk melihat kajian secara

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Asahan, untuk melihat kajian secara III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Asahan, untuk melihat kajian secara umum. Sedangkan untuk kajian detil dilakukan di kecamatan-kecamatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara

METODE PENELITIAN. Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2015 TENTANG KRITERIA DAN/ATAU PERSYARATAN PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA

Lebih terperinci

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES 8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES 8.1 Pendahuluan Untuk dapat memahami persoalan dalam pemanfaatan dan pengelolaan

Lebih terperinci

Meminimumkan Limbah Produksi Kulit Samak. Dukungan Pemerintah. Perbaikan Lingkungan

Meminimumkan Limbah Produksi Kulit Samak. Dukungan Pemerintah. Perbaikan Lingkungan Lampiran 1. Struktur hierarki AHP limbah industri penyamakan kulit Goal Meminimumkan Limbah Produksi Kulit Samak Faktor Modal Teknologi Kebijakan Industri Dukungan Pemerintah Aktor Pelaku Industri Litbang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. lokasi penelitian secara sengaja (purposive) yaitu dengan pertimbangan bahwa

BAB III METODE PENELITIAN. lokasi penelitian secara sengaja (purposive) yaitu dengan pertimbangan bahwa BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Tempat Penelitian Objek penelitian ini adalah strategi pengadaan bahan baku agroindustri ubi jalar di PT Galih Estetika Indonesia Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH TEKNIK INDUSTRI

JURNAL ILMIAH TEKNIK INDUSTRI JURNAL ILMIAH TEKNIK INDUSTRI ANALISIS RISIKO PELAKSANAAN PEKERJAAN MENGGUNAKAN KONTRAK UNIT PRICE (Studi Kasus: Peningkatan dan Pelebaran Aset Infrastruktur Jalan Alai-By Pass Kota Padang Sebagai Jalur

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data

4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data 19 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Papua Barat. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa Papua Barat sebagai wilayah yang mempunyai potensi sumber

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pengambilan keputusan baik yang maha penting maupun yang sepele.

BAB II LANDASAN TEORI. pengambilan keputusan baik yang maha penting maupun yang sepele. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Manusia dan Pengambilan Keputusan Setiap detik, setiap saat, manusia selalu dihadapkan dengan masalah pengambilan keputusan baik yang maha penting maupun yang sepele. Bagaimanapun

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 3.3 Analisis Data

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 3.3 Analisis Data 9 BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Sentra Kerajinan Bambu (SKB) Putra Handicraft, Jl. AH Nasution, Kampung Situ Beet, Kelurahan Cipari, Kecamatan Mangkubumi,

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. BPK-RI Perwakilan Provinsi Lampung didirikan pada tanggal 7 Juni 2006, berdasarkan Surat

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. BPK-RI Perwakilan Provinsi Lampung didirikan pada tanggal 7 Juni 2006, berdasarkan Surat BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Gambaran Umum BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung BPK-RI Perwakilan Provinsi Lampung didirikan pada tanggal 7 Juni 2006, berdasarkan Surat Keputusan BPK RI Nomor 23/SK/

Lebih terperinci

Sabdo Wicaksono Skripsi, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Gunadarma, Jakarta

Sabdo Wicaksono Skripsi, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Gunadarma, Jakarta ANALISA FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI PENDUDUK KERJA DI KECAMATAN SUKMAJAYA DEPOK MENUJU TEMPAT KERJA DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS Sabdo Wicaksono

Lebih terperinci

III METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala

III METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala 50 III METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian 3.1.1 Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala a. Penentuan Kriteria dan Alternatif : Diperlukan data primer berupa kriteria yang digunakan dalam pemilihan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN

BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN 4.1. Objek Pengambilan Keputusan Dalam bidang manajemen operasi, fleksibilitas manufaktur telah ditetapkan sebagai sebuah prioritas daya saing utama dalam sistem

Lebih terperinci