PEMILIHAN TIPE PESAWAT TERBANG UNTUK RUTE YOGYAKARTA JAKARTA BERDASARKAN PERKIRAAN BIAYA OPERASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMILIHAN TIPE PESAWAT TERBANG UNTUK RUTE YOGYAKARTA JAKARTA BERDASARKAN PERKIRAAN BIAYA OPERASIONAL"

Transkripsi

1 PEMILIHAN TIPE PESAWAT TERBANG UNTUK RUTE YOGYAKARTA JAKARTA BERDASARKAN PERKIRAAN BIAYA OPERASIONAL Didik Prihananto Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto Jl. Janti Blok R Lanud Adisutjipto, Yogyakarta didik_prihananto@yahoo.com ABSTRACT Biaya operasional merupakan salah satu pertimbangan dalam pemilihan jenis pesawat terbang. Biaya operasional terdiri dari biaya operasional langsung (DOC = direct operating cost) dan biaya operasional tidak langsung (IOC = indirect operating cost). Dengan biaya operasional yang rendah, maka dapat diperoleh tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Makalah ini memperkirakan besar biaya operasional untuk beberapa jenis pesawat yang memungkinkan dioperasikan pada rute Yogyakarta Jakarta untuk beberapa tahun ke depan. Jenis pesawat yang dipergunakan sebagai alternatif adalah yang diproduksi setelah tahun 2000 dan memungkinkan untuk dipergunakan oleh airline di Indonesia untuk menggantikan armada yang sekarang. Biaya operasional diperhitungkan berdasarkan biaya awak pesawat, biaya bahan bakar, biaya sewa, biaya asuransi, biaya perawatan dan ditambah biaya tidak langsung. Penentuan jenis pesawat dengan membandingkan biaya operasional, dimana pesawat yang dipilih adalah yang mempunyai biaya operasional paling rendah. Untuk rute Yogyakarta Jakarta, pesawat Airbus A mempunyai biaya operasional per ASK (available seat kilometer) paling kecil disamping itu untuk mencapai break event point, pesawat Airbus A membutuhkan load factor paling rendah dibandingkan pesawat lainnya yang setara. Dengan pertimbangan tersebut, maka untuk menggantikan armada yang sekarang beroperasi, pesawat Airbus A merupakan tipe yang tepat untuk dioperasikan pada rute Yogyakarta Jakarta dilihat dari sisi biaya operasi Keywords : biaya operasional, jenis, pesawat terbang, ASK 1. PENDAHULUAN Rute Yogyakarta Jakarta merupakan salah satu rute domestik yang cukup ramai dalam persaingannya. Pada rute ini tidak kurang dari enam maskapai penerbangan menerbanginya dengan pesawat yang beragam. Keenam maskapai tersebut adalah Lion Air, Wings Air, Mandala Air, Adam Air, Batavia Air, dan Garuda Indonesia dengan berbagai jenis pesawat yaitu MD-82, Boeing , Boeing dan Boeing Jenis pesawat yang dioperasikan merupakan pesawat dengan usia yang cukup tua (produksi tahun ). Sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 05 Tahun 2006, tentang Peremajaan Armada Pesawat Udara Kategori Transport Untuk Angkutan Udara Penumpang, yang mengatur batas maksimum umur pesawat yang boleh beroperasi di Indonesia, maka perlu dikaji tentang jenis pesawat yang dapat dipergunakan untuk beberapa tahun kedepan. Dengan adanya perbedaan jenis pesawat dengan kapasitas penumpang yang berbeda terbang pada rute yang sama, dapat diperkirakan bahwa biaya operasi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan akan berbeda. Suatu perusahaan penerbangan akan efisien diantaranya bila menggunakan pesawat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan jumlah penumpang serta mempunyai biaya operasional yang rendah. C 1

2 Biaya operasional akan mempengaruhi kemampuan finansial dari perusahaan, semakin tinggi biaya operasional maka keuntungan akan semakin rendah dan sebaliknya. Sehingga perlu dilakukan analisis untuk menentukan jenis pesawat yang akan dioperasikan. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka makalah ini bertujuan untuk memperkirakan besar biaya operasi dari beberapa jenis pesawat terbang yang memungkinkan untuk dioperasikan pada rute Yogyakarta Jakarta, kemudian dari biaya operasional tersebut akan ditentukan jenis pesawat yang tepat ditinjau dari biaya operasional yang paling rendah. Dalam pemilihan pesawat, beberapa kriteria pemilihan diantaranya adalah kapasitas jumlah penumpang, jarak tempuh, kecepatan terbang, konsumsi bahan bakar dan lainnya. Pemilihan jenis pesawat dilakukan dengan mempertimbangkan kapasitas jumlah penumpang sebanyak-banyaknya dengan tujuan agar jumlah penerbangan yang dibutuhkan dapat dikurangi dengan membawa penumpang yang banyak namun harus mempertimbangkan kemampuan dari bandar udara asal dan tujuan. Dalam menetapkan biaya per komponen didasarkan pada standar biaya operasional dari Air Transport Association (ATA) yang tercantum dalam ATA Cost Index 2007 dan ATA Cost Method. Data dari PT. Angkasa Pura I Bandara AdisutjiptoYogyakarta menunjukkan bahwa pertumbuhan penumpang dari tahun 1999 hingga 2006 dan perkiraan hingga tahun 2008 dengan regresi linier seperti pada gambar 1. Dengan bertambahnya jumlah penumpang yang berangkat maupun datang, mestinya dibutuhkan pesawat yang lebih besar atau dengan frekuensi penerbangan yang lebih banyak. Gambar 1. Perkiraan pertumbuhan penumpang Yogyakarta Jakarta sampai LANDASAN TEORI Analisis biaya operasional merupakan salah satu pertimbangan dalam menentukan dan merencanakan armada yang akan dioperasikan oleh suatu perusahaan penerbangan. beberapa pertimbangan lain yang digunakan sebagai parameter dalam pemilihan jenis pesawat diantaranya adalah (1) karakteristik pesawat udara, yang meliputi prestasi pesawat udara (aircraft performance), berat pesawat (aircraft weight), kehandalan (reliability) dan keterawatan (maintainability), profil terbang, sertifikasi, peralatan dan fasilitas pendukung, perbandingan pesawat udara, (2) analisis biaya operasional pesawat, yang meliputi biaya operasional langsung dan baya operasional tidak langsung, (3) penggunaan dan jadwal penerbangan (4) analisis ekonomi dan finansial, (5) pendanaan pengadaan pesawat, dan (6) kecenderungan pembelian. 2.1 Waktu Operasional Penggunaan pesawat pada dasarnya tergantung pada jarak penerbangan masing-masing rute. Untuk rute dengan jarak yang pendek, maka pesawat dapat melakukan penerbangan dengan jumlah yang banyak, dan kebalikannya untuk rute dengan jarak yang semakin jauh, maka pesawat dapat C 2

3 melakukan jumlah penerbangan pada rute tersebut yang semakin sedikit. Penggunaan pesawat ini disebut utilisasi. Utilisasi adalah penggunaan pesawat (jam terbang atau trip) dalam satu periode waktu tertentu, umumnya adalah dalam satu tahun. Operasional pesawat selalu diperhitungkan berdasarkan jam operasi atau disebut dengan jam terbang. Secara umum jam terbang dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu flight time dan block time. Flight time merupakan jam terbang pesawat mulai dari tinggal landas hingga mendarat kembali ditambah dengan 0,1 jam untuk waktu pergerakan di udara (manuever time). Block time adalah waktu mulai pesawat bergerak dari apron hingga berhenti lagi setelah mendarat. Block time diperhitungkan dengan flight time ditambah waktu pergerakan didarat sebesar 0,5 jam. 2.2 Pembiayaan Airline Dalam hal finansial (keuangan), airline mendapatkan pemasukan dari penjualan tiket penumpang, kargo, biaya kelebihan bagasi, pos (mail), pendapatan sewa dan pendapatan lain seperti pemasangan iklan, leasing, bunga piutang, pendapatan dari pelatihan dan lainnya. Pada dasarnya pendapatan merupakan tanggung jawab bagian pemasaran. Pembiayaan airline pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu biaya non operasional dan biaya operasional. Biaya non operasional merupakan biaya yang tidak ada kaitannya dnegana pengoperasian pesawat, sedangkan biaya operasional merpakan biaya untuk pengoperasiaan pesawat. Biaya operasional terdiri dari biaya operasi langsung (DOC = Direct Operating Cost) dan biaya operasi tidak langsung (IOC = Indirect Operating Cost). DOC merupakan biaya yang berhubungan langsung dengan penerbangan suatu pesawat, sedangkan IOC merupakan biaya pendukung yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan manajemen perusahaan, namun dapat diperkirakan kebutuhan untuk IOC ini. Kedua jenis biaya operasi ini (DOC dan IOC) merupakan salah satu faktor dalam mempertimbangkan jenis pesawat yang akan dioperasikan untuk suatu rute tertentu Biaya Operasi Langsung (Direct operating cost) Merupakan seluruh biaya yang berhubungan langsung dengan dan tergantung kepada jenis pesawat udara yang dioperasikan dan akan berubah untuk jenis pesawat yang berbeda. Direct operating cost ini dapat dikelompokkan menjadi : 1. Flight operation cost adalah biaya yang harus dikeluarkan sehubungan dengan pengoperasian pesawat tersebut. Komponen biaya ini meliputi beberapa unsur yaitu biaya awak pesawat (air crew), biaya bahan bakar, biaya leasing, biaya asuransi 2. Maintenance cost, biaya yang harus dikeluarkan akibat adanya perawatan pesawat. Terdiri dari biaya tenaga kerja dan biaya material 3. Depresiasi dan amortisasi. Depresiasi merupakan biaya akibat turunnya nilai nominal atau harga pesawat seiring dengan berjalannya waktu sejak produk tersebut keluar. Sedangkan amortisasi merupakan penyisihan uang secara berkala untuk biaya-biaya seperti pelatihan awak kabin, biaya pengembangan dan pra-operasi yang berhubungan dengan pengembangan rute atau penggunaan pesawat baru Biaya Operasi Tidak langsung Merupakan seluruh biaya yang tetap tidak terpengaruh dengan perubahan jenis pesawat udara karena tidak tergantung secara langsung dengan operasi pesawat udara tersebut. Biaya ini terdiri dari station and ground cost (biaya penanganan dan pelayanan pesawat di darat), passenger service cost (biaya pelayanan penumpang), ticketing, sales dan promotion cost, dan biaya administrasi. C 3

4 2.2.3 Biaya Operasi Total Jumlah dari biaya operasi langsung dan biaya operasi tidak langsung. Biaya operasi ini dinyatakan dalam setiap seat yang tersedia per jarak misal per ASK (available seat kilometer) atau per ASM (available seat mile). 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, pertama menentukan jenis pesawat alternatif, pesawat yang dipilih adalah dengan kapasitas seat yang banyak, diproduksi dalam 10 tahun terakhir sehingga masa pakainya masih lama, dengan dibatasi panjang landasan di Bandara Adisutjipto Yogyakarta dan Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Tahap kedua yaitu mengitung biaya operasi baik biaya operasi langsung, biaya operasi tidak langsung dan biaya operasi total per ASK sesuai spesifikasi masing-masing pesawat. Selanjutnya dari masing-masing jenis pesawat tersebut dibandingkan besar biaya operasi. Pesawat yang paling menguntungkan adalah dengan biaya operasi per ASK paling kecil, sehingga dengan jumlah penumpang biaya yang harus dikeluarkan plaing kecil dan keuntungan bisa lebih besar. Langkah selanjutnya adalah dengan menghitung break event point (BEP) dari tiap pesawat. Untu ini dipergnakan harga tiket adalah rata-rata dari harga yang berlaku pada rute Yogyakarta Jakarta dari beberapa airline yang beroperasi saat ini. BEP dinyatakan dalam load factor minimum, yaitu perbandingan jumlah penumpang dengan kapasitas seat tersedia. 4. HASIL Dan PEMBAHASAN 4.1 Pemilihan Jenis Pesawat Alternatif Mengacu pada peraturan keselamatan penerbangan sipil di Indonesia, CASR Part 91, General Flight Rules, pesawat diijinkan mendarat pada suatu bandara bila panjang landasan yang dibutuhkan (sesuai dengan spesifikasi dari pabrik pesawat) tidak lebih dari 70% dari panjang landasan bandara tersebut. Dengan panjang landasan di Bandara Adisutjipto adalah 2200 meter dan di bandara Soekarno Hatta adalah 3600 meter, maka pesawat yang dipilih harus mempunyai kebutuhan panjang landasan untuk mendarat maksimal 1540 meter. Dari spesifikasi beberapa tipe pesawat, dipilih beberapa alternatif sebagai berikut: Tabel 1. Jenis Pesawat Terbang untuk Rute Yogyakarta Jakarta Jenis Pesawat Jumlah Crew Jumlah Seat Berat (Kg) Panjang landasan(meter) Empty MTOW MLW Take off landing Airbus A , Airbus A , Airbus A , Boeing , Boeing , Boeing , Boeing , C 4

5 Sumber : spesifikasi dari pabrik MTOW MLW = Maximum Take Off Weight = Maximum Landing Weight 4.2 Perhitungan Biaya Operasi dan Break Even Point Dikarenakan harga bahan bakar berfluktuasi sesuai dengan nilai tukar Dollar, maka dalam penelitian ini digunakan asumsi bahwa harga bahan bakar Avtur adalah tetap yaitu dengan harga tertinggi pada tahun 2006 sebesar Rp. 5531,33 atau US$ 0,601 per gallon dengan kurs 1 US$ = Rp ,-. Pengadaan pesawat adalah diasumsikan dengan dry leasing (sewa) sehingga biaya depresiasi tidak ada. Untuk perhitungan yang memerlukan kecepatan digunakan block speed, yaitu kecepatan yang diperhitungkan berdasarkan jarak tempuh Yogyakarta Jakarta dibagi dengan block time masing-masing pesawat. Jarak tempuh Yogyakarta Jakarta diasumsikan 550 km. Dari hasil perhitungan terhadap maing-masing komponen biaya operasi dapat dipaparkan sepertti pada tabel-tabel berikut: Tabel 2. Direct Operating Cost (US$/per jam terbang) Jenis Pesawat Bahan bakar Crew Asuransi Leasing Perawatan Jumlah Airbus A ,12 26,44 27,40 751,53 215, ,42 Airbus A ,73 30,31 29,92 820,64 226, ,29 Airbus A ,92 34,18 36,22 993,41 261, ,06 Boeing ,43 22,19 23,27 638,17 160, ,19 Boeing ,33 27,19 25,25 692,68 189, ,74 Boeing ,87 28,85 28,57 783,60 200, ,25 Boeing ,41 32,40 34,33 941,63 219, ,37 Perhitungan biaya bahan bakar disesuaikan fase penerbangan, yaitu bahan bakar untuk penerbangan cruising (jelajah) dan bahan bakar selain cruising (untuk lepas landas dan taxiing atau pergerakan di darat). Biaya untuk bahan bakar masing-masing pesawat berbeda disebabkan jenis mesin (engine) yang dipergunakan dan berat pesawat berbeda. Perhitungan crew adalah untuk pilot dan co-pilot, diperhitungkan berdasarkan berat pesawat. Biaya asuransi dan leasing diperhitungkan berdasarkan harga pesawat baru. Harga pesawat mengacu pada harga pesawat baru dari pabrik pada tahun Biaya perawatan meliputi biaya tenaga kerja dan biaya material termasuk suku cadang. Tabel 3. Indirect Operating Cost (US$/per jam terbang) Palayanan Tiket & Pelayanan Jenis Pesawat Administrasi darat Sales Penumpang IOC Airbus A ,84 96,68 103,16 195,05 687,73 Airbus A ,17 112,48 112,05 199,75 734,46 Airbus A ,11 116,91 120,94 201,07 793,02 C 5

6 Boeing ,56 80,39 90,32 148,64 556,91 Boeing ,40 83,61 105,28 149,60 607,89 Boeing ,22 94,38 109,11 152,81 641,52 Boeing ,95 119,99 117,76 202,00 760,69 Perhitungan untuk IOC berdasarkan jumlah kapasitas penumpang dan berat pesawat (MTOW) dan mengunakan indeks yang telah ditetapkan sebagai standar. Tabel 4. Total Operating Cost (US$/per jam terbang) Jenis Pesawat Jumlah seat ASK DOC IOC TOC TOC/ASK Airbus A ,42 687, ,15 0,0359 Airbus A ,29 734, ,75 0,0345 Airbus A ,06 793, ,08 0,0389 Boeing ,19 556, ,10 0,0371 Boeing ,74 607, ,63 0,0412 Boeing ,25 641, ,77 0,0402 Boeing ,37 760, ,06 0,0358 Total operating cost merupakan jumlah dari direct operating cost dan indirect operating cost. Perhitungan dilakukan untuk tiap available seat kilometer (ASK). ASK merupakan hasil kali jumlah seat dengan jarak (550 km). dengan perhitungan per ASK maka biaya tersebut merupakan biaya yang harus ditanggung oleh tiap penumpang setiap jarak satu kilometer. Untuk membandingkan biaya operasi pesawat, perhitungan biaya operasi per ASK merupakan cara yang tepat karena diperhitungkan berdasarkan tiap seat (penumpang) pada jarak yang sama. Break even point (BEP) akan tercapai bila pemasukan yang diperoleh mampu menutupi total pembiayaan yang harus dikeluarkan. Untuk analisis BEP ini diasumsikan bahwa harga tiket digunakan rata-rata harga tiket dari airline yang beroperasi pada rute Yogyakarta Jakarta sekarang ini. Dari hasil pemantauan harga tiket rata-rata adalah Rp ,-. Sehingga untuk mencapai BEP, jumlah penumpang yang harus terangkut adalah diperhitungkan dengan biaya operasi dibagi dengan harga tiket atau dengan persamaan sebagai berikut. Pemasukan = Biaya operasi harga tiket seat terjual = biaya operasi biaya operasi seat terjual minimum = harga tiket seat terjual load factor minimum = 100% kapasitas seat maksimum Dalam hal ini perlu diperhitungkan biaya operasi untuk satu kali penerbangan (trip). Biaya ini diperhitungkan dengan biaya operasi per jam dkalikan dengan block time masing-masing pesawat. C 6

7 Menginta biaya operasi ang diperhitungkan dalam nilai Dollar, sedangkan harga tiket dalam Dollar, maka biaya operasi dikonversikan dalam nilai rupiah dengan 1 US$ = Rp ,-. Dengan persamaan tersebut, maka diperoleh load factor minimum untuk masng-masing pesawat adalah : Tabel 5. Load factor minimum Jenis Pesawat Jumlah seat TOC (US$) TOC (Rp.) Per trip Per jam Per trip seat minimum Load factor minimum Airbus A , , , ,06% Airbus A , , , ,78% Airbus A , , , ,18% Boeing , , , ,57% Boeing , , , ,79% Boeing , , , ,20% Boeing , , , ,68% 4.3 PEMBAHASAN Dari hasil perhitungan terhadap biaya operasi total dan load factor minimal, dapat dijelaskan bahwa jumlah kapasitas penumpang akan mempengaruhi besarnya biaya operasi. Pesawat Boeing dengan jumlah kapasitas seat 130 dimana paling sedikit dari beberapa jenis pesawat tersebut, mempunyai biaya operasi yang paling kecil yaitu Rp ,44. Sedangkan pesawat terbang Airbus A dan Boeing yang mempunyai kapasitas seat terbesar mempunyai biaya operasi yang paling besar juga. Bila dikaitkan dengan available seat kilometer (ASK) maka pesawat Airbus A dengan kapasitas seat 178 mempunyai biaya operasiper ASK paling kecil, yaitu US$ 0,0345 atau Rp. 317,4 per ASK, dan pesawat Boeing dengan kapasitas seat 132 mempunyai biaya operasi per ASK paling besar yaitu US$ 0,0412 atau Rp. 379,04. Untuk mencapai break event point yang ditinjau dari load factor minimum yang merupakan perbandingan penumpang yang terangkut atau seat yang terjual, pesawat Airbus A membutuhkan load factor 57,78% dan paling kecil dibandingkan pesawat jenis lainnya. Sedangkan pesawat Boeing membutuhkan load factor paling besar, yaitu 68,79%. Dari pertimbangan biaya operasi dan analisis BEP tersbut, maka pesawat Airbus A merupakan pesawat yang paling tepat dipergunakan untuk rute Yogyakarta Jakarta pada masa yang akan datang. 5. KESIMPULAN Pertimbangan pemilihan jenis pesawat dapat didasarkan pada besarnya biaya operasi per ASK. Untuk rute Yogyakarta Jakarta, pesawat Airbus A dengan kapasitas penumpang 178 mempunyai biaya operasi per ASK yang paling kecil. Untuk mencapai break event point (BEP) peawat ini juga membutuhkan load factor paling kecil, sehingga pesawat ini paling tepat untuk dioperasikan pada rute Yogyakarta Jakarta. C 7

8 6. DAFTAR PUSTAKA Airbus (1998). Getting To Grips With The Cost Index, Issue II, Blacnac Cedex, France: Flight Operations Support & Line Assistance Airbus Departemen Perhubungan Republik Indonesia (2002). Keputusan Menteri Perhubungan No. 9 Tahun 2002, Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi, Jakarta : Departemen Perhubungan Republik Indonesia Departemen Perhubungan Republik Indonesia (2003). Keputusan Menteri Perhubungan RI No 3 Tahun 2003, Penyelenggaraan Angkutan Udara, Jakarta : Departemen Perhubungan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (1997). Civil Aviation Safety Regulation Part 91, General Flight Rules, Departemen Perhubungan Republik Indonesia Federal Aviation Administration (2006). Federal Aviation Regulation (FAR) Cost Principles Guide, Version: July 2006, Washington DC : United States Department of Transportation Harris Franklin D. (2005). An Economic Model of U.S. Airline Operating Expenses, NASA Ames Research Center, California : University of Maryland Horder Peter (2003). Airline Operating Costs, Managing Aircraft Maintenance Costs Conference, Brussel : SH&E International Air Transport Consultancy, Maddalon Dal V (1978). Estimating Airline Operating Cost, NASA Technical Memorandum 78694, Virginia : Langrey Research Center Smith Chris J, Dr. (2003). Airline Operating Costs The Variations, Managing Aircraft Maintenance Cost Conference, Brussel : SH&E International Air Transport Consultancy Smyth Mark, Pearce Brian (2006). Airline Cost Performance, IATA Economics Briefing No.5, Juli 2006, Ssamula, Mistro Del, Visser (2006) Using an operating cost model to analyse the selection of aircraft type on short-haul routes, Journal of the South African Institution of Civil Engineering, Vol 48 No 2, 2006, Pages 2 9, Paper 579 ATA Cost Index 2007, airlines.org, diakses terakhir tanggal 15 Mei 2007 ATA Cost Method, Standard Method of Estimating Comparative Direct Operating Cost Of Turbine Powered Transport Airplanes, diakses terakhir tanggal 20 April 2007 C 8

Perhitungan Break Event Point untuk Jalur Penerbangan Domestik Rute Semarang-Jakarta dengan Pesawat Boeing CFM56-3C

Perhitungan Break Event Point untuk Jalur Penerbangan Domestik Rute Semarang-Jakarta dengan Pesawat Boeing CFM56-3C Perhitungan Break Event Point untuk Jalur Penerbangan Domestik Rute Semarang-Jakarta dengan Pesawat Boeing 737-400 CFM56-3C Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai gelar

Lebih terperinci

ANALISIS DIRECT OPERATING COST DALAM SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PENENTUAN TIPE PESAWAT TERBANG UNTUK PEMBUKAAN RUTE BARU PENERBANGAN

ANALISIS DIRECT OPERATING COST DALAM SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PENENTUAN TIPE PESAWAT TERBANG UNTUK PEMBUKAAN RUTE BARU PENERBANGAN Analisis Direct Operating Cost Dalam Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Tipe Pesawat Terbang Untuk Pembukaan Rute Baru Penerbangan ANALISIS DIRECT OPERATING COST DALAM SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PENENTUAN

Lebih terperinci

Oleh : BAGUS DWIPURWANTO

Oleh : BAGUS DWIPURWANTO EVALUASI LOAD FACTOR PADA BANDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA TUJUAN SURABAYA JAKARTA DAN SURABAYA DENPASAR Oleh : BAGUS DWIPURWANTO 3106 100 016 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Batasan

Lebih terperinci

HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY

HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY www.m.tempo.com Maskapai penerbangan Lion Air kembali dilanda masalah keterlambatan alias delay. Setelah mengalami keterlambatan hingga 25 jam di Bandara Soekarno-Hatta,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 39 TAHUN 2018 TENTANG TATA CARA DAN FORMULASI PERHITUNGAN BIAYA OPERASI PENERBANGAN ANGKUTAN UDARA PERINTIS

Lebih terperinci

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.561, 2014 KEMENHUB. Penetapan. Biaya. Navigasi Penerbangan. Formulasi. Mekanisme. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga aspek yaitu keselamatan penerbangan (safety), keselamatan gedung (security), dan total quality management

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 072 TAHUN 2018 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 072 TAHUN 2018 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 072 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN TEKNIS OPERASIONAL PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI FRACTIONAL AIRCRAFT OWNERSHIP Fractional Aircraft Ownership (FAO), yang dikenal pula dengan sebutan Fractional Jets, merupakan suatu konsep kemilikan pesawat secara bersama

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.716, 2015 KEMENHUB. Angkutan Udara Niaga. Keterlambatan Penerbangan. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 707 TAHUN 2012

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 707 TAHUN 2012 MENTERI KEPUTUSAN MENTERI NOMOR 707 TAHUN 2012 TENTANG JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA ASING PADA KATEGORI TRANSPORTASI DAN PERGUDANGAN GOLONGAN POKOK ANGKUTAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI DAN MEKANISME PENETAPAN BIAYA PELAYANAN JASA NAVIGASI PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II STUDI LITERATUR

BAB II STUDI LITERATUR BAB II STUDI LITERATUR 2.1. Komponen Berat Pesawat Udara Berat pesawat udara, pada umumnya, terbagi menjadi 3 (tiga) bagian besar, yaitu APS (Aircraft Prepared for Service) weight, payload, dan berat bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan penerbangan semakin ketat. Penumpang transportasi udara terus

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan penerbangan semakin ketat. Penumpang transportasi udara terus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Semakin pesat perkembangan industri penerbangan membuat kompetisi antar perusahaan penerbangan semakin ketat. Penumpang transportasi udara terus meningkat

Lebih terperinci

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubung

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubung No.93, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Batas Usia Pesawat Udara. Kegiatan Angkutan Udara Niaga. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 155 TAHUN 2016 TENTANG BATAS USIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Total Penumpang

BAB I PENDAHULUAN. Total Penumpang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bandar Udara Adisutjipto Yogyakarta terletak 7 Km di sebelah timur kota Yogyakarta dan masuk di wilayah Kabupaten Sleman. Bandar Udara (Bandara) Adisutjipto Yogyakarta

Lebih terperinci

PA U PESAW PESA AT A T TER

PA U PESAW PESA AT A T TER PERENCANAAN PANJANG LANDAS PACU PESAWAT TERBANG Didalam merencanakan panjang landas pacu, dipakai suatu standar yang disebut Aeroplane Reference Field Length (ARFL) Menurut ICAO (International Civil Aviation

Lebih terperinci

2 Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014; 3. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tenta

2 Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014; 3. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tenta BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.290, 2015 KEMENHUB. Sertifikat Operator Pesawat Udara. Keselamatan. Penilaian Kinerja. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 35 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

2015, No Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75); 4

2015, No Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75); 4 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1593 2015 KEMENHUB. Perawat Udara. Niaga. Armada. Peremajaan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 160 TAHUN 2015 TENTANG PEREMAJAAN ARMADA PESAWAT

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 92 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, berikut akan disajikan kesimpulan hasil penelitian tersebut, yaitu sebagai berikut : 1. Hasil pengujian hipotesis pertama

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. yang bertempat di Pool DAMRI jalan Tipar Cakung No. 39 Jakarta Timur.

BAB IV ANALISIS DATA. yang bertempat di Pool DAMRI jalan Tipar Cakung No. 39 Jakarta Timur. BAB IV ANALISIS DATA 4.1 Hasil Survey Primer Pengumpulan data melalui wawancara dilakukan secara langsung kepada operator yang bertempat di Pool DAMRI jalan Tipar Cakung No. 39 Jakarta Timur. Metode wawancara

Lebih terperinci

FRACTIONAL AIRCRAFT OWNERSHIP

FRACTIONAL AIRCRAFT OWNERSHIP BAB 2 FRACTIONAL AIRCRAFT OWNERSHIP Fractional Aircraft Ownership (FAO) adalah konsep kepemilikan pesawat di mana pengguna hanya perlu membeli sebagian kecil saham dari pesawat dibanding membeli keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperlancar perekonomian sebagai pendorong, penggerak kemajuan suatu wilayah.

BAB I PENDAHULUAN. memperlancar perekonomian sebagai pendorong, penggerak kemajuan suatu wilayah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transportasi sangat diperlukan bagi kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, transportasi juga merupakan sarana yang sangat penting dalam memperlancar

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II Bandar Udara Radin Inten II adalah bandara berkelas umum yang penerbangannya hanya domestik. Bandara ini terletak di kecamatan Natar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peningkatan keselamatan penerbangan merupakan hal yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peningkatan keselamatan penerbangan merupakan hal yang menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan keselamatan penerbangan merupakan hal yang menjadi prioritas utama untuk mencapai sasaran program pemerintah road map to zerro accident. Dalam peraturan

Lebih terperinci

III ASPEK ORGANISASI, ISSUE-ISSUE DAN PERMASALAHAN DALAM INDUSTRI PENERBANGAN

III ASPEK ORGANISASI, ISSUE-ISSUE DAN PERMASALAHAN DALAM INDUSTRI PENERBANGAN ASPEK ORGANISASI, ISSUE-ISSUE DAN PERMASALAHAN DALAM INDUSTRI PENERBANGAN ASPEK ORGANISASI DALAM INDUSTRI PENERBANGAN 1. Organisasi Menurut Stoner Organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN 1. Tujuan Perencanaan Sistem Bandara (Airport System), adalah : a. Untuk memenuhi kebutuhan penerbangan masa kini dan mendatang dalam mengembangkan pola pertumbuhan wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG KURIKULUM PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN DI BIDANG MANAJEMEN PENERBANGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Jurnal Penelitian Perhubungan Udara WARTA ARDHIA

Jurnal Penelitian Perhubungan Udara WARTA ARDHIA Jurnal Penelitian Perhubungan Udara WARTA ARDHIA Perkiraan Kebutuhan Energi PT. Garuda Indonesia sampai dengan Tahun 2015 Energy Consumption Estmation In PT. Garuda Indonesia Until Year 2015 MindaMora

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Perhitungan pemakaian bahan bakar (Fuel Burn off) pesawat Untuk mencari jumlah pemakaian bahan bakar pada pesawat diperoleh dengan perhitungan Fuel Burn Off: Burn

Lebih terperinci

BAB 2 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. kita baru saja membenahi kondisi perekonomian yang cukup pelik,

BAB 2 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. kita baru saja membenahi kondisi perekonomian yang cukup pelik, BAB 2 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT. Mandala Airlines didirikan pada tanggal 17 April 1969 saat negara kita baru saja membenahi kondisi perekonomian yang cukup pelik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Semarang merupakan salah satu kota di Jawa Tengah dan merupakan Ibukota Propinsi Jawa Tengah. Kota Semarang memiliki prospek untuk berkembang dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemenuhan kebutuhan transportasi yang cepat dan aman. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemenuhan kebutuhan transportasi yang cepat dan aman. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin berkembangnya bidang teknologi dan perubahan pola kehidupan manusia yang semakin cepat membuat begitu banyak aktivitas yang harus dilakukan oleh manusia untuk

Lebih terperinci

ANALISA INVESTASI PROYEK PERLUASAN APRON BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA

ANALISA INVESTASI PROYEK PERLUASAN APRON BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA ANALISA INVESTASI PROYEK PERLUASAN APRON BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA Dosen Pembimbing: Farida Rachmawati, ST., MT. Christiono Utomo, ST., MT., Ph.D. RINDA IKA LESTARI 3109 100 127 Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE

BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE 3.1 Pendahuluan Dalam tugas akhir ini, mengetahui optimalnya suatu penerbangan pesawat Boeing 747-4 yang dikendalikan oleh seorang pilot dengan menganalisis

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara Republik Indon

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara Republik Indon BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.106, 2016 KEMENHUB. Tarif. Angkutan Udara Niaga. Pelayanan Kelas Ekonomi. Batas Atas. Batas Bawah Penumpang. Formulasi. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara global akan meningkatkan perjalanan udara sebesar 1 2.5%

BAB I PENDAHULUAN. secara global akan meningkatkan perjalanan udara sebesar 1 2.5% 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi udara merupakan industri yang memiliki kaitan erat dengan ekonomi global. Peningkatan 1% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) secara global akan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi udara telah menjadi salah satu moda transportasi penting untuk perjalanan dengan jarak menengah dan jarak jauh. Prasarana utama yang menangani pergerakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang luas yang terdiri dari banyak pulau.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang luas yang terdiri dari banyak pulau. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang luas yang terdiri dari banyak pulau. Kondisi geografis yang sedemikian rupa menyebabkan alat-alat transportasi baik transportasi darat,

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH Model Rumusan Masalah dan Pengambilan Keputusan

BAB 4 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH Model Rumusan Masalah dan Pengambilan Keputusan BAB 4 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH 4.1. Model Rumusan Masalah dan Pengambilan Keputusan Biaya awak pesawat adalah biaya kedua terbesar yang harus dikeluarkan oleh suatu perusahaan penerbangan setelah biaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan dicirikan dengan adanya akses transportasi yang cukup baik. Perbaikan akses transportasi ke suatu tempat akan menjadikan lahan tersebut semakin menarik. Berkembangnya

Lebih terperinci

PENENTUAN SUBCLASSES BERDASARKAN TIPE PESAWAT

PENENTUAN SUBCLASSES BERDASARKAN TIPE PESAWAT PENENTUAN SUBCLASSES BERDASARKAN TIPE PESAWAT Charles, AN STMT Trisakti stmt@indosat.net.id Nadya Sartika nadya.sartika@gmail.com ABSTRACT Based on Break Event Point (BEP) in this article, the most effective

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG A. Dasar Hukum Penetapan Tarif Angkutan Penumpang Undang-undang pengangkutan Indonesia menggunakan istilah orang untuk pengangkutan penumpang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri penerbangan di Indonesia berkembang dengan cepat setelah adanya deregulasi mengenai pasar domestik melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Lebih terperinci

Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi

Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi Perekonomian Jambi yang mampu tumbuh sebesar 5,89% pada tahun 2006 merupakan prestasi tersendiri. Pada awal tahun bekerjanya mesin ekonomi

Lebih terperinci

PERENCANAAN SISTEM PENANGANAN BAGASI PADA TERMINAL 1B DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA

PERENCANAAN SISTEM PENANGANAN BAGASI PADA TERMINAL 1B DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA E37 PERENCANAAN SISTEM PENANGANAN BAGASI PADA TERMINAL 1B DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA Tubagus Moch. Satria Erlangga dan Ervina Ahyudanari Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil &

Lebih terperinci

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBllK INDONESIA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBllK INDONESIA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBllK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 7 TAHUN 2016 TENT ANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 160 TAHUN 2015 TENTANG PEREMAJAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan global diproyeksikan tumbuh sebesar 3,5 % pada

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan global diproyeksikan tumbuh sebesar 3,5 % pada 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pertumbuhan global diproyeksikan tumbuh sebesar 3,5 % pada 2012,seperti yang tercantum pada theglobal-review.com menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 69 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 69 TAHUN 2014 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 69 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS LAPORAN KEUANGAN DAN EVALUASI KINERJA KEUANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa serta

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia penerbangan saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan merupakan salah satu unsur penting dalam menggerakan dinamika pembangunan, mendukung mobilitas

Lebih terperinci

PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN

PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN Yasruddin Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRAK Bandar Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Airport) berfungsi sebagai simpul pergerakan penumpang atau barang dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Airport) berfungsi sebagai simpul pergerakan penumpang atau barang dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandar udara (Airport) merupakan salah satu infrastruktur penting yang diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Bandar udara (Airport) berfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan jasa pelayanan maskapai penerbangan dari tahun ke tahun semakin menjadi perhatian masyarakat luas. Hal itu dapat dilhat dari ketatnya persaingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan transportasi udara adalah tersedianya Bandar Udara (Airport)

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan transportasi udara adalah tersedianya Bandar Udara (Airport) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi udara sangat efektif digunakan untuk membawa penumpang dengan jarak yang jauh dan dapat mempercepat waktu tempuh dibandingkan transportasi darat dan laut.

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI 3.1 LANGKAH PENYUSUNAN TUGAS AKHIR 3.2 PENGUMPULAN DATA

BAB 3 METODOLOGI 3.1 LANGKAH PENYUSUNAN TUGAS AKHIR 3.2 PENGUMPULAN DATA BAB 3 METODOLOGI 3.1 LANGKAH PENYUSUNAN TUGAS AKHIR Analisis yang dilakukan dalam studi ini merupakan gabungan antara studi kelayakan dengan simulasi operasi atau analisis komputasi menggunakan perangkat

Lebih terperinci

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Posted by jjwidiasta in Airport Planning and Engineering. Standar dan regulasi terkait dengan

Lebih terperinci

BAB VI INTEGRASI ANALISA CRUISE, LANDING, DAN TAKEOFF

BAB VI INTEGRASI ANALISA CRUISE, LANDING, DAN TAKEOFF BAB VI INTEGRASI ANALISA CRUISE, LANDING, DAN TAKEOFF 6.1. Hasil Analisis Fasa Terbang Setelah tiap tahap analisis selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah melakukan penggabungan hasil-hasil tersebut

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 89 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 89 TAHUN 2015 TENTANG MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 89 TAHUN 2015 TENTANG PENANGANAN KETERLAMBATAN PENERBANGAN (DBLAY MANAGEMENT) PADA BADAN USAHA ANGKUTAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sandhyavitri (2005), bandar udara dibagi menjadi dua bagian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sandhyavitri (2005), bandar udara dibagi menjadi dua bagian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bandar Udara Bandar udara adalah area yang dipergunakan untuk kegiatan take-off dan landing pesawat udara dengan bangunan tempat penumpang menunggu (Horonjeff R, 1975). Menurut

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN Pengertian Menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Yang Berhubungan Dengan Pajak Penghasilan

BAB III PEMBAHASAN Pengertian Menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Yang Berhubungan Dengan Pajak Penghasilan BAB III PEMBAHASAN 3.1 Tinjauan Teori 3.1.1 Pengertian Menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Yang Berhubungan Dengan Pajak Penghasilan Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 6 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak lima tahun terakhir angkutan udara di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan. Data angkutan udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementrian Perhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Semarang merupakan salah satu kota besar di Indonesia dan juga merupakan Ibukota Provinsi Jawa Tengah. Kota dengan julukan Kota Lumpia ini merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan informasi yang sudah diproses dan dilakukan penyimpanan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan informasi yang sudah diproses dan dilakukan penyimpanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi informasi pada masa sekarang sangat cepat. Teknologi Informasi adalah salah satu alat yang digunakan para manajer untuk mengatasi perubahan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN ANALISIS

BAB V HASIL DAN ANALISIS 73 BAB V HASIL DAN ANALISIS 1.1. Hasil 1.1.1. Konsep LCC Berdasarkan data primer hasil interview bahwa konsep penerapan LCC pada Citilink Garuda Indonesia sebagai berikut: LCC Citilink Garuda Indonesia

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS SISTEM SEDANG BERJALAN

BAB 3 ANALISIS SISTEM SEDANG BERJALAN BAB 3 ANALISIS SISTEM SEDANG BERJALAN 3.1 Gambaran Umum Perusahaan 3.1.1 Profil Perusahaan PT. Kalstar Aviation PT. Kalstar Aviation sudah cukup terkenal dengan strategi pemasaran yang cepat dan inovatif.

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN ANALISIS. yang telah ditentukan Kementerian Perhubungan yang intinya dipengaruhi oleh

BAB IV DATA DAN ANALISIS. yang telah ditentukan Kementerian Perhubungan yang intinya dipengaruhi oleh BAB IV DATA DAN ANALISIS Indikator indikator pelayanan yang diidentifikasi sesuai dengan standar yang telah ditentukan Kementerian Perhubungan yang intinya dipengaruhi oleh waktu waktu sibuk pada jaringan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.723, 2015 KEMENHUB. Pesawat Udara. Tanpa Awak. Ruang Udara. Indonesia. Pengoperasian. Pengendalian. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 90 TAHUN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1. ANALISA PERGERAKAN PESAWAT 4.1.1. Data pergerakan pesawat Data yang digunakan dalam menganalisa kebutuhan apron adalah data pergerakan pesawat dimana idealnya disesuaikan

Lebih terperinci

Unit kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, melakukan penilaian pelanggaran terhadap hasil pemeriksaan.

Unit kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, melakukan penilaian pelanggaran terhadap hasil pemeriksaan. -7- (2) Hasil pemeriksaan ulang dan arahan dari Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Inspektur Penerbangan menetapkan penanganan lebih lanjut. (3) Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja Inspektur Penerbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia dengan jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia dengan jumlah penduduk yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia dengan jumlah penduduk yang kurang lebih dari 240 juta jiwa dan termasuk negara yang memiliki banyak pulau.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2001 telah

Lebih terperinci

mempengaruhi eksistensi maskapai penerbangan di Indonesia pada umumnya, karena setiap pelaku usaha di tiap kategori bisnis dituntut untuk memiliki

mempengaruhi eksistensi maskapai penerbangan di Indonesia pada umumnya, karena setiap pelaku usaha di tiap kategori bisnis dituntut untuk memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum dan Objek Observasi Setiap manusia di dunia memiliki kebutuhan dan keinginan dalam usaha untuk mempertahankan hidup, namun sering kali manusia tidak suka memperhatikan

Lebih terperinci

PENANGANAN PENUMPANG WCHR (WHEEL CHAIR) DI PT. GAPURA ANGKASA BANDARA SOEKARNO-HATTA CENGKARENG JAKARTA. Vidyana Mandrawaty STTKD Yogyakarta

PENANGANAN PENUMPANG WCHR (WHEEL CHAIR) DI PT. GAPURA ANGKASA BANDARA SOEKARNO-HATTA CENGKARENG JAKARTA. Vidyana Mandrawaty STTKD Yogyakarta PENANGANAN PENUMPANG WCHR (WHEEL CHAIR) DI PT. GAPURA ANGKASA BANDARA SOEKARNO-HATTA CENGKARENG JAKARTA Vidyana Mandrawaty STTKD Yogyakarta ABSTRAK Dalam menganaangi penumpang ada beberapa penumpang yang

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL) DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

Lebih terperinci

BAB III SLOT TIME DAN IDSC (INDONESIA SLOT COORDINATOR) tersibuk nomor tiga setelah Bandara Internasional Soekarno Hatta Jakarta

BAB III SLOT TIME DAN IDSC (INDONESIA SLOT COORDINATOR) tersibuk nomor tiga setelah Bandara Internasional Soekarno Hatta Jakarta digilib.uns.ac.id 32 BAB III SLOT TIME DAN IDSC (INDONESIA SLOT COORDINATOR) A. Slot Time Bandara Internasional Adisutjipto merupakan salah satu bandara tersibuk nomor tiga setelah Bandara Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berjalannya waktu, kemajuan teknologi di bidang transportasi turut serta berkembang dengan cepat, mulai dari transportasi darat, laut, hingga udara.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 51 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 57 TAHUN 2010 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP.289 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP.289 TAHUN 2012 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP.289 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK DAN TATA CARA PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport merupakan sebuah fasilitas di mana pesawat terbang seperti pesawat udara dan helikopter

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN. sejarah PT Garuda Indonesia sebagai induk dari SBU Citilink. Sebagai national

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN. sejarah PT Garuda Indonesia sebagai induk dari SBU Citilink. Sebagai national 8 BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN 2.1. Sejarah Perusahaan Sebelum masuk ke SBU Citilink yang merupakan unit usaha mandiri yang berada didalam lingkup perusahaan PT Garuda Indonesia maka perlu melihat sejarah

Lebih terperinci

Evaluasi Kinerja Gate Assignment pada Terminal 1 Keberangkatan Domestik Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya

Evaluasi Kinerja Gate Assignment pada Terminal 1 Keberangkatan Domestik Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya E4 Evaluasi Kinerja Gate Assignment pada Terminal 1 Keberangkatan Domestik Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya Hersanti Rahayu, Ervina Ahyudanari Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. maskapai dengan sistem penerbangan full service carrier. kenyamanan dan pelayanan diberikan secara maksimal..

BAB III LANDASAN TEORI. maskapai dengan sistem penerbangan full service carrier. kenyamanan dan pelayanan diberikan secara maksimal.. BAB III LANDASAN TEORI Kebutuhan masyarakat akan transportasi udara yang semakin meningkat mengakibatkan bukan hanya masyarakat kelas atas saja yang membutuhkan transportasi jenis ini. Pasca penerapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri jasa penerbangan di Indonesia, khususnya untuk penerbangan komersial berjadwal semakin marak sejak dikeluarkannya deregulasi yang mengatur transportasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar di dunia. Pertumbuhan industri penerbangan juga cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar di dunia. Pertumbuhan industri penerbangan juga cenderung BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang penelitian Industri penerbangan merupakan salah satu sektor industri yang memiliki pangsa pasar terbesar di dunia. Pertumbuhan industri penerbangan juga cenderung relatif

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang **% KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Jalan Merdeka Barat No. 8 Telepon 3505550-3505006 Fax:3505136-3505139 ^g Jakarta 10110 (Sentral) 3507144 ^^^^ Kotak Pos No. 1389 Jakarta

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent No.689, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Sistem Tanpa Awak. Pesawat Udara. Pengendalian. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 47 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah pengguna angkutan transportasi udara baik domestik maupun internasional setiap tahunnya mengalami peningkatan yang pesat, hal ini disebabkan oleh

Lebih terperinci

PERHITUNGAN VEHICLE OPERATION COST GUNA KESINAMBUNGAN PERUSAHAAN: (STUDI KASUS SHUTTLE SERVICE TUJUAN BANDUNG-BANDARA SOEKARNO HATTA)

PERHITUNGAN VEHICLE OPERATION COST GUNA KESINAMBUNGAN PERUSAHAAN: (STUDI KASUS SHUTTLE SERVICE TUJUAN BANDUNG-BANDARA SOEKARNO HATTA) Yogyakarta, 22 Juli 2009 PERHITUNGAN VEHICLE OPERATION COST GUNA KESINAMBUNGAN PERUSAHAAN: (STUDI KASUS SHUTTLE SERVICE TUJUAN BANDUNG-BANDARA SOEKARNO HATTA) Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi

Lebih terperinci

Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung

Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung Reka Racana Jurusan Teknik Sipil Itenas Vol. 2 No. 3 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional September 2016 Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP. 572 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP. 572 TAHUN 2011 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor : KP. 572 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PENERIMAAN, PENYETORAN, PENGGUNAAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada tahun 2010, Indonesia yang memiliki populasi 237 juta jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada tahun 2010, Indonesia yang memiliki populasi 237 juta jiwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2010, Indonesia yang memiliki populasi 237 juta jiwa (www.bps.go.id) menjadikannya sebagai negara terbesar ke empat di dunia setelah China, India, dan Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keamanan merupakan aspek terpenting yang harus dimiliki dalam setiap moda transportasi. Salah satu moda transportasi yang harus memiliki standar peraturan keamanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization):

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization): BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang 2.1.1. Bandar udara Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization): Bandar udara adalah area tertentu di daratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ini telah menjadikan peranan transportasi menjadi sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ini telah menjadikan peranan transportasi menjadi sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya pembangunan disegala bidang khususnya bidang ekonomi pada dewasa ini telah menjadikan peranan transportasi menjadi sangat penting didalam menunjang aktifitas

Lebih terperinci

BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA

BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA 57 BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA 5.1. TINJAUAN UMUM Pada bab sebelumnya telah dibahas evaluasi dan analisis kondisi eksisting Bandara Babullah sesuai dengan tipe pesawat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan transportasi udara di Indonesia berkembang sangat pesat dalam 10 tahun terakhir ini (dalam Airports Council International (ACI), 2013). Hal ini menuntut peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesawat udara 1 merupakan sarana perhubungan yang cepat dan efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi. Pesawat udara memiliki karakteristik

Lebih terperinci

2015, No Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014; 4. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM

2015, No Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014; 4. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.831, 2015 KEMENHUB. Kepemilikan. Penguasaan. Pesawat Udara. Petunjuk Pelaksanaan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 97 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kondisi ekonomi, sosial dan pertumbuhan penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kondisi ekonomi, sosial dan pertumbuhan penduduk BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Peningkatan kondisi ekonomi, sosial dan pertumbuhan penduduk menyebabkan meningkatnya tuntutan manusia terhadap sarana transportasi. Untuk menunjang kelancaran pergerakan

Lebih terperinci

-9- keliru. Personel AOC melakukan landing yang menyimpang dari prosedur

-9- keliru. Personel AOC melakukan landing yang menyimpang dari prosedur -9-4.35. 4.36. 4.37. 4.38. 4.39. 4.40. 4.41 4.42. 4.43. 4.44. 4.45. 4.46. 4.47. 4.48. 4.49. 4.50. 4.51. 4.52. 4.53. 4.54. 4.55. 4.56. 4.57. 4.58. 4.59. Personel AOC melakukan approach to landing yang bertentangan

Lebih terperinci