EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN"

Transkripsi

1

2 REPUBLIK INDONESIA EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2009

3 Kata Pengantar Laporan Evaluasi Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 Tahun merupakan salah satu dari serangkaian kajian yang dilakukan di lingkup Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan pada tahun Dengan penyesuaian dan penyempurnaan laporan itu disusun kembali pada tahun Program Wajardikdas 9 Tahun sebagai titik berat kajian merupakan upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun. Selain faktor output seperti jumlah guru dan jumlah sekolah, keberhasilan pembangunan pendidikan dasar dipengaruhi pula oleh karakteristik sosial ekonomi penduduk. Untuk itu, upaya lebih keras lagi perlu dilakukan agar rumah tangga penduduk miskin dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan baik. Diharapkan laporan kajian ini dapat memberikan masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan pendidikan di masa yang akan datang. Kami sangat mengharap masukan, saran, dan kritik yang membangun apabila masih terdapat kekurangan pada kajian ini. Terima kasih dan penghargaan kami ucapkan kepada semua pihak yang telah bekerja sama dan membantu dalam penyusunan kajian ini. Jakarta, Desember 2009 Plt. Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi ii

4 Daftar Isi Kata Pengantar ii Daftar Isi iii Daftar Gambar v Daftar Tabel vii BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Ruang Lingkup Tujuan Evaluasi 3 BAB II. SEKILAS TENTANG PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN Tujuan Wajib Belajar Pelaksanaan Wajib Belajar Analisis Determinan Wajardikdas Landasan Hukum Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Outcome Program Wajardikdas 9 Tahun 14 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Analisa Kuantitatif Analisis Kualititatif Data 30 BAB IV. HASIL REGRESI : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI APK DAN APM Nasional Sumatera Jawa Bali, NTB dan NTT Kalimantan Sulawesi 51 iii

5 4.7. Papua dan Maluku 53 BAB V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN: EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN ( ) Outcome Program Wajardikdas 57 Angka Partisipasi Kasar (APK) 58 Angka Partisipasi Murni (APM) Faktor-Faktor yang Signifikan Mempengaruhi Capaian APK dan APM Produk Domestik Regional Bruto Akses Air Bersih Rasio Murid Sekolah Tingkat Kemiskinan Angka Melek Huruf Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Khusus (DAK) Rasio Murid Guru 85 BAB VI. KESIMPULAN 95 Daftar Pustaka 98 iv

6 Daftar Gambar Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Target dan Realisasi Disparitas APK Sekolah Dasar dan SMP Antara Kabupaten dengan Kota 17 APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar APK dan APM Tingkat Sekolah Menengah Pertama Disparitas APK dan APM Antara Kabupaten-Kota Dalam Provinsi APK SD dan SMP menurut Klasifikasi Daerah 22 Gambar 5.1. APK SD/MI Tahun Gambar 5.2. APK SMP/MTs Tahun Gambar 5.3. APM SD/MI Tahun Gambar 5.4. APM SMP/MTs Tahun Gambar 5.5. Produk Domestik Regional Bruto Tahun Gambar 5.6. Akses Air Bersih Tahun Gambar 5.7. Gambar 5.8. Rasio Murid Sekolah SD/MI Tahun Rasio Murid Sekolah SMP/MTs Tahun Gambar 5.9. Tingkat Kemiskinan Tahun Gambar 5.10 Angka Melek Huruf Rata-Rata v

7 Gambar Gambar Perkembangan Alokasi Anggaran Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Departemen Pendidikan Nasional 75 Kontribusi DAU terhadap Total P Penerimaan APBD Kabupaten/Kota 76 Gambar Persentase DAU Rata-Rata Gambar Gambar Komposisi Dana Alokasi Khusus (DAK) Persentase DAK Rata-Rata Tahun Gambar Rasio Murid Guru 86 Gambar Gambar Gambar Gambar Rasio Siswa per Guru Tahun 2001/ / Kepala Sekolah dan Guru menurut Tingkat Pendidikan Tahun Persentase Guru SD dan SMP yang Layak Mengajar Tahun Persentase Guru yang Lulus Sertifikasi Tahun vi

8 Daftar Tabel Tabel 2.1. Indikator Kunci dan Target Kebijakan Pendidikan Nasional Tabel 3.1. Pemilihan Sampel 32 Tabel 4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Nasional 34 Tabel 4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Nasional 35 Tabel 4.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Nasional 36 Tabel 4.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Nasional 37 Tabel 4.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Sumatera 38 Tabel 4.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Sumatera 39 Tabel 4.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Sumatera 40 Tabel 4.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Sumatera 41 Tabel 4.9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Jawa 42 Tabel 4.10.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Jawa 43 vii

9 Tabel 4.11.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Jawa 44 Tabel 4.12.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Jawa 45 Tabel 4.13.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Bali, NTB dan NTT 46 Tabel 4.14.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Bali, NTB dan NTT 46 Tabel 4.15.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Bali, NTB dan NTT 47 Tabel 4.16.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Bali, NTB dan NTT 48 Tabel 4.17.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Kalimantan 49 Tabel 4.18.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Kalimantan 49 Tabel 4.19.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Kalimantan 50 Tabel 4.20.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Kalimantan 50 Tabel 4.21.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Sulawesi 51 Tabel 4.22.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Sulawesi 52 Tabel 4.23.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Sulawesi 52 viii

10 Tabel 4.24.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Sulawesi 53 Tabel 4.25.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Papua dan Maluku 54 Tabel 4.26.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Papua dan Maluku 54 Tabel 4.27.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Papua dan Maluku 55 Tabel 4.28.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Papua dan Maluku 56 Tabel 5.1. Variabel Bebas yang Mempengaruhi APK dan APM 58 Tabel 5.2. DAU Tahun Tabel 5.3. DAK Tahun Tabel 5.4. Persentase Kelayakan Mengajar Kepala Sekolah dan Guru menurut Jenjang Pendidikan Tahun ix

11 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu aspek terpenting bagi pembangunan bangsa. Ketika di Asia Timur muncul negara-negara industri baru, banyak ahli menyatakan keberhasilan pembangunan negara-negara tersebut karena didukung oleh tersedianya penduduk yang terdidik dalam jumlah yang memadai. Karena itu, hampir semua bangsa menempatkan pembangunan pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan nasional mereka. Sumber Daya Manusia bermutu yang merupakan produk pendidikan adalah merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu negara. Pendidikan merupakan salah satu pilar terpenting dalam pembangunan manusia, bahkan kinerja pendidikan yaitu gabungan angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi dan angka melek aksara digunakan sebagai variabel dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bersama-sama dengan variabel kesehatan dan ekonomi. Pembangunan pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Pembangunan pendidikan nasional di Indonesia dalam kurun waktu telah mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan internasional seperti Pendidikan Untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak (Convention on the right of child) dan Millenium Development Goals (MDGs) serta World Summit on Sustainable Development yang secara jelas menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu cara untuk penanggulangan kemiskinan, peningkatan 1

12 keadilan dan kesetaraan gender, pemahaman nilai-nilai budaya dan multikulturalisme, serta peningkatan keadilan sosial. Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Education for All Declaration) pada konferensi UNESCO, di Thailand (1990) merupakan komitmen bersama dalam menyediakan pendidikan dasar yang bermutu dan non diskriminatif. Realisasi deklarasi tersebut juga sekaligus merupakan upaya untuk memenuhi Hak Pendidikan (sesuai pasal 26 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia : Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus Cuma-Cuma, setidaktidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan dasar diperlukan untuk menjaga perdamaian. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjamin hak atas pendidikan dasar bagi warga negara Indonesia yang berusia 7-15 tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia adalah melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Program ini dimulai pada tahun 1994 dengan mentargetkan semua warga negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Sehingga diharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketika dicanangkan pada tahun 1994, Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target tersebut tidak dapat tercapai. Target penuntasan Wajar disesuaikan dari 2003/2004 menjadi 2008/2009. Untuk mengetahui pencapaian hasil kerja atau output berdasarkan alokasi biaya atau input yang ditetapkan terkait dengan program Wajardikdas 9 Tahun, maka evaluasi pelaksanaan program tersebut sangat penting untuk dilakukan. 2

13 1.2. Ruang Lingkup Evaluasi Pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun ini akan fokus pada evaluasi outcomes yang berkaitan dengan: 1. Pengaruh faktor input dan faktor output SD/MI dan SMP/MTs terhadap outcomes Wajardikdas (APK dan APM tingkat SD/MI dan SMP/MTs). 2. Pengaruh faktor eksternal dan karakteristik wilayah terhadap outcomes Wajardikdas (APK dan APM tingkat SD/MI dan SMP/MTs) Tujuan Evaluasi Secara khusus, tujuan dari evaluasi ini adalah untuk; (1) Mengidentifikasi faktor input dan output yang mempengaruhi outcomes program Wajardikdas 9 tahun (APK dan APM tingkat SD/MI dan SMP/MTs); (2) Memperoleh gambaran pelaksanaan program Wajardikdas, yang berkaitan dengan faktor input dan faktor output program Wajardikdas. 3

14 BAB II SEKILAS TENTANG PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN Wajib Belajar telah menjadi prioritas kebijakan Pemerintah Indonesia sejak awal tahun 70-an. Sejak dikeluarkan Inpres No 10 pada tahun 1973, Pemerintah secara terencana meningkatkan pembangunan sarana pendidikan dasar. Pada tahun 1983, Pemerintah Indonesia mencanangkan program Wajib Belajar 6 Tahun untuk anak usia 7-12 tahun secara nasional. Sejalan dengan kesuksesan Program Wajib Belajar 6 Tahun, sejak bulan Mei tahun 1994, Pemerintah Indonesia melanjutkan program Wajib Belajar dengan Wajib Belajar 9 Tahun. Kelanjutan Program Wajib Belajar 9 Tahun ini dipicu oleh beberapa faktor sebagai berikut; (1) Lebih dari 50 persen angkatan kerja hanya berpendidikan SD atau kurang; (2) Program wajib belajar 9 tahun akan meningkatkan kualitas SDM dan dapat memberi nilai tambah pula pada pertumbuhan ekonomi; (3) Semakin tinggi pendidikan akan semakin besar partisipasi dan kontribusinya di sektor-sektor yang produktif; (4) Dengan peningkatan program Wajib Belajar 6 Tahun menjadi Wajib Belajar 9 Tahun akan meningkatkan kematangan dan keterampilan siswa; dan (5) Peningkatan Wajib Belajar 9 Tahun akan meningkatkan umur kerja minimum dari 10 sampai 15 tahun (Syarif, 1994) Tujuan Wajib Belajar Program Wajib Belajar 9 Tahun didasari konsep pendidikan dasar untuk semua (universal basic education), yang pada hakekatnya berarti penyediaan akses terhadap pendidikan yang sama untuk semua 4

15 anak. Hal ini sesuai dengan kaedah-kaedah yang tercantum dalam Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak Anak, dan tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak (Prayitno, 2000). Melalui program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang perlu dimiliki semua warga negara sebagai bekal untuk dapat hidup dengan layak di masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi baik ke lembaga pendidikan sekolah ataupun luar sekolah. Dengan wajib belajar, mereka akan dapat menjalani hidup dan menghadapi kehidupan dalam masyarakat. Di samping itu, menurut May (1998) wajib belajar adalah merangsang aspirasi pendidikan anak yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja penduduk secara nasional. Oleh karena itu, target penyelenggaraan Wajib Belajar 9 Tahun bukan semata-mata untuk mencapai target angka partisipasi secara maksimal, namun perhatian yang sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar yang sekarang ini masih jauh dari standar nasional. Agar sasaran tersebut terwujud secara optimal perlu diupayakan adanya kesinambungan penyelenggaraan pendidikan SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan sederajat berkenaan dengan berbagai komponen pendidikan yang mendukung Pelaksanaan Wajib Belajar Pelaksanaan program Wajib Belajar 9 Tahun di Indonesia memiliki empat ciri utama, yaitu; 1) dilakukan tidak melalui paksaan tetapi bersifat himbauan, 2) tidak memiliki sanksi hukum tetapi menekankan tanggung jawab moral dari orang tua untuk menyekolahkan anaknya, 3) tidak memiliki undang-undang khusus dalam implementasi program, 4) keberhasilan dan kegagalan program diukur dari peningkatan partisipasi bersekolah anak usia 6-15 tahun. Menurut Ibrahim (1992) pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun dilakukan melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Melalui jalur sekolah meliputi program 6 tahun di SD dan program 3 tahun di SLTP. Untuk 5

16 tingkat SD diberlakukan pada SD regular, SD Kecil, SD Pamong, SD terpadu, MI, Pondok Pesantren, SDLT, dan kelompok belajar Paket A. Sedangkan untuk tingkatan SLTP dilaksanakan SLTP Reguler, SLTP Kecil, SLTP Terbuka dan SLTP-LB dan kelompok belajar Paket B. Sejak mulai diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2000, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola pemerintahan di daerah, termasuk pengelolaan pendidikan (PP No.25 tahun 2000). Dengan kebijakan otonomi daerah ini terbuka kesempatan bagi para ahli, praktisi, dan pengamat pendidikan untuk bersama-sama memberdayakan pendidikan secara menyeluruh, termasuk Wajib Belajar 9 Tahun. Otonomi pendidikan merupakan salah satu kesempatan yang sangat baik bagi daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah masing-masing yang merupakan tolok ukur kualitas sumber daya manusia. Ada keberagaman daerah dalam menyikapi diberlakukannya otonomi pendidikan. Di satu pihak ada daerah yang optimis, dan di pihak lain ada yang pesimis. Daerah yang merasa pesimis disebabkan oleh realitas kondisi daerahnya, khususnya kemampuan masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang berbeda-beda (Suyanto, 2001). Di samping itu muncul pula kepanikan bagi daerah dalam menyediakan dana alokasi umum (DAU) untuk menggaji guru dan pegawai yang didaerahkan. Di lain pihak, daerah yang optimis, yaitu daerah yang mampu membuat rencana anggaran untuk meningkatkan penyelenggaraan pendidikan di daerahnya. Namun demikian, apapun sikap daerah segala kendala yang muncul dalam penyelenggaraan Wajib Belajar 9 Tahun harus ditangani secara otonom oleh daerah masing-masing. Diyakini atau tidak, pendidikan dasar 9 tahun merupakan wahana yang paling efektif untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu sumberdaya manusia Indonesia pada umumnya. Bagaimanapun berat dan sulitnya permasalahan yang ada pada awalnya, dengan adanya 6

17 kebijakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan akan dapat dikelola dengan lebih murah dan lebih cepat. Desentralisasi pendidikan dapat mengembangkan kreativitas siswa, guru, kepala sekolah, dan masyarakat. Untuk itu perlu diberlakukan manajemen berbasis sekolah (school based management) dengan tujuan agar sekolah dapat mengelola proses belajar mengajar dengan lebih baik sehingga dapat meningkatkan pembelajaran siswa. Artinya, manajemen berbasis sekolah harus mampu melaksanakan perbaikan proses belajar mengajar di kelas (classroom change) agar membuahkan pengalaman yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupan siswa (Zais, 1976) Analisis Determinan Wajardikdas Keberhasilan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajardikdas 9 Tahun) dapat dilihat dari beberapa indikator capaian. Indikator utamanya adalah pencapaian APK SD/MI dan SMP/MTs. Beberapa indikator pendidikan dasar digunakan untuk menggambarkan kondisi dan tingkat pencapaian pembangunan pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah bersama orangtua dan masyarakat yang berkaitan dengan aspek perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, relevansi, efesiensi dan efektivitas pengelolaan. Beberapa indikator tersebut antara lain: Angka Partisipasi, dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM). Jika angka APK lebih besar dari APM, hal ini menunjukkan adanya anak di luar kelompok usia 7-12 tahun yang bersekolah di SD/MI. Mereka adalah anak yang berusia di bawah 7 tahun dan diatas 12 Tahun. Sesuai dengan prioritas program Wajardikdas 9 tahun, adanya anak-anak berumur kurang dari 7 tahun tetapi sudah bersekolah di jenjang SD/MI dapat terjadi karena Sekolah tersebut masih dapat 7

18 menampung siswa. Di sisi lain, adanya anak-anak usia di atas 12 tahun yang masih bersekolah pada jenjang SD/MI dapat disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu (1) anak-anak tersebut terlambat masuk SD atau mereka masuk diatas usia 7 tahun, dan (2) adanya anak-anak yang mengulang kelas, sehingga mereka baru dapat menyelesaikan jenjang Sekolah Dasar (SD) pada usia di atas 12 tahun. Selain itu, APK maupun APM juga dapat dilihat berdasarkan gender sehingga dapat diketahui keseimbangan pendidikan antara perempuan dan laki-laki. Hal yang sama terkait dengan APK dan APM juga terjadi untuk jenjang SMP/MTs. Angka Putus Sekolah. Jika ditemukan masih adanya anak yang putus sekolah pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor sosial ekonomi seperti membantu orang tuanya dalam mencari nafkah. Jika jumlah ini cukup tinggi maka akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap angka putus sekolah. Untuk itu perlu ditangani secara lebih serius, dengan mengefektifkan sejumlah lembaga pendidikan alternatif, sehingga tidak berdampak hilangnya akses anak usia 7-15 tahun terhadap lembaga-lembaga pendidikan dasar. Angka melanjutkan Lulusan SD/MI ke jenjang SMP/MTs. Semakin tinggi nilainya menunjukkan semakin besar para lulusan SD/MI dapat melanjutkan ke SMP sesuai dengan program Wajardikdas 9 Tahun yang dicanangkan Pemerintah. Rasio siswa per sekolah pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs yang menunjukkan kepadatan sekolah. Rasio siswa per sekolah berkaitan erat dengan rasio siswa per kelas, dimana standar ideal siswa per kelas adalah 32 siswa. Rasio siswa per guru. Semakin besar rasio siswa per guru ini menunjukkan adanya kekurangan guru pada jenjang tersebut. Rasio kelas per ruang kelas. Semakin besar nilainya menunjukkan ruang kelas tersebut digunakan untuk lebih dari 8

19 satu kelas. Besarnya rasio tersebut mengindikasikan masih perlunya ruang kelas tambahan. Dalam hal ini diharapkan ruang kelas sama dengan jumlah kelas, sehingga tidak ada ruang kelas yang digunakan lebih dari sekali. Tingkat kelayakan guru. Angka ini menunjukkan persentase guru yang layak mengajar pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs. Mutu guru. Kinerja sekolah dapat terlihat dari mutu guru yang ditunjukkan dengan kesesuaian ijasah guru dengan bidang studi yang diajarkan. Tingkat Pelayanan Sekolah, yang menunjukkah terjadinya pemerataan dan keberhasilan program Wajib Belajar Sekolah Dasar sembilan tahun. Tingkat kesulitan sekolah. Dari angka ini dapat diketahui ada tidaknya hubungan antara angka partisipasi dengan keadaan daerah. Misalnya APK cukup tinggi di daerah yang secara geografis tidak mendukung (terpencil). Hal ini menunjukkan minat anak untuk bersekolah di daerah tersebut cukup tinggi. Jika dikaitkan dengan kinerja dari program pendidikan nasional secara umum, berbagai indikator tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga prioritas kebijakan pendidikan sebagai berikut ini. Mutu dan Relevansi Pendidikan Terkait dengan mutu dan relevansi pendidikan, beberapa indikator keberhasilan pendidikan perlu dimonitor. Mutu pendidikan dapat diukur dari seberapa efektif pengelolaan sistem pendidikan dapat memberikan efek terhadap prestasi belajar siswa secara optimal. Yang paling tepat untuk mengukur mutu pendidikan sebenarnya adalah hasil evaluasi ujian akhir yang diukur melalui Ujian Akhir Nasional, namun kegiatan monitoring yang dilakukan ini tidak secara langsung mengukur output pendidikan dalam pengertian prestasi belajar siswa secara 9

20 akademis. Sedangkan yang dimaksud dengan relevansi pendidikan adalah, kesesuaian hasil-hasil pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam berbagai bidang, misalnya penghasilan lulusan, keterampilan lulusan, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, dan sebagainya. Beberapa indikator mutu dan relevansi pendidikan yang dapat dipantau oleh sistem ini antara lain sebagai berikut: (1) Peningkatan persentase lulusan terhadap jumlah murid tingkat akhir yang mengikuti ujian, (2) Pendayagunaan sarana-prasarana belajar yang lebih optimal di sekolah-sekolah (seperti buku pelajaran, perpustakaan, alat pelajaran, media pendidikan, dan pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar, (3) Peningkatan kualitas guru yang diukur dari rata-rata tingkat pendidikan guru dan jumlah penataran yang diikuti, dan (4) Persentase siswa pendidikan pra sekolah terhadap jumlah penduduk usia pra sekolah. Indikator Pemerataan dan Perluasan Pemerataan dan perluasan pendidikan sebaiknya bukan hanya diukur dari seberapa banyak jumlah sarana-prasarana belajar tetapi juga menyangkut persebaran sarana-prasarana pendidikan antarsekolah dan antardaerah. Hal ini akan menyangkut prinsip keadilan dalam pendidikan bagi setiap anak-anak dimanapun untuk memperoleh akses terhadap sarana pendidikan yang sama. Pemerataan dan perluasan pendidikan juga akan berkaitan dengan tingkat partisipasi pendidikan bagi semua anak usia sekolah dalam satuan-satuan pendidikan yang ada. Partisipasi pendidikan itu merupakan indikator pendidikan yang digunakan oleh semua negara, sehingga dapat dibandingkan antardaerah dan bahkan antar negara. Beberapa indikator pemerataan dan perluasan pendidikan yang dapat dipantau adalah sebagai berikut: (1) Peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK), yaitu persentase jumlah murid pada suatu 10

21 satuan pendidikan terhadap jumlah penduduk usia yang berkaitan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa, (2) Angka Partisipasi Murni (APM), yaitu persentase jumlah murid pada usia sekolah tertentu terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada suatu satuan pendidikan yang bersangkutan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa, (3) Angka Partisipasi Sekolah (APS) yaitu jumlah siswa pada kelompok usia tertentu yang merepresentasikan beberapa satuan pendidikan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa, (4) Jumlah penerima beasiswa pada suatu satuan pendidikan atau suatu daerah tertentu, dengan tanpa membedakan beberapa variabel karakteristik siswa seperti: jenis kelamin, daerah, status sosial-ekonomi, dan sejenisnya, dan (5) Kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan pada setiap satuan pendidikan, baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat. Indikator Manajemen Pendidikan Sampai saat ini masalah paling mendasar dalam sistem pendidikan nasional adalah efisiensi manajemen pendidikan. Oleh karena itu berbagai ukuran efisiensi dan optimasi dalam manajemen pendidikan perlu dipantau dan dievaluasi secara terus-menerus dan dalam waktu yang teratur. Beberapa indikator manajemen pendidikan yang dapat dipantau secara terus-menerus adalah sebagai berikut: 1. Besarnya (kenaikan) anggaran pendidikan (sekolah dan daerah otonom) yang diperoleh dari sumber-sumber pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat termasuk sumber lain seperti dunia usaha; 2. Kemampuan pengadaan sarana-prasarana pendidikan di sekolah yang diperoleh dari masyarakat; 3. Kemampuan pengadaan sumberdaya manusia (guru dan tenaga kependidikan) yang diperoleh dari sumber masyarakat; 11

22 4. Perubahan dalam tingkat efisiensi pendayagunaan tenaga guru di sekolah yang diukur dengan tingkat turn-over ; 5. Penurunan persentase mengulang kelas rata-rata pada suatu satuan pendidikan tertentu; 6. Penurunan persentase putus sekolah rata-rata pada suatu satuan pendidikan; serta 7. Peningkatan angka melanjutkan sekolah (transition rate) dari suatu sekolah ke sekolah pada jenjang pendidikan berikutnya Landasan Hukum Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Seluruh kebijakan pendidikan yang telah diambil tidak terlepas dari reformasi kerangka hukum bidang pendidikan yang diawali dengan amandemen UUD RI (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia) 1945 pada tahun 1999 sampai dengan Melalui amandemen ini, bangsa Indonesia menetapkan bahwa pendidikan tidak lagi hanya sekedar hak warga negara sebagaimana termaktub dalam UUD RI 1945 sebelum amandemen, melainkan lebih dari itu, juga merupakan hak azasi manusia. Oleh karena itu, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib pula membiayainya. Dalam sejarah perjalanan UUD 1945 yang telah mengalami 4 (empat) kali amandemen, hanya bidang pendidikan saja yang ditetapkan alokasi anggarannya sebesar 20 persen dari anggaran dalam APBN dan APBD. Hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah bertekad untuk memajukan dunia pendidikan, terutama pendidikan dasar. Perubahan sangat mendasar dalam pengelolaan di bidang pendidikan terjadi setelah dilakukan amandemen kedua dan keempat. Amandemen kedua pada tahun 2000 memasukkan BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, yang di dalamnya memuat Pasal 28 C ayat 1 12

23 mengenai pendidikan sebagai hak azasi manusia. Sedangkan amandemen keempat pada tahun 2002 memasukkan BAB XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, yang di dalamnya memuat Pasal 31 yang khusus mengatur secara mendasar masalah pendidikan. Pasal 31 ayat 1 menetapkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara, yang tentu saja konsisten dengan pasal 28 C ayat 1. Ayat 2 mewajibkan setiap warga negara mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat 3 mengamanatkan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, dan mengusahakan serta menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Untuk menjamin terlaksananya semua hal itu ayat 4 mengamanatkan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD, serta ayat 5 mengamanatkan Pemerintah memajukan teknologi. Satu tahun kemudian, amanat reformasi dalam amandemen UUD RI 1945 tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang tiga tahun kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan selanjutnya pada tahun 2007 dalam UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Pada tingkat operasional, selanjutnya amanat UU No. 20 Tahun 2003 dan UU No. 14 Tahun 2005 dijabarkan dalam berbagai Peraturan Pemerintah (PP) dan pada tingkat yang lebih teknis pada berbagai Peraturan Menteri (Permen). UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi dari hal tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan yang sederajat). Selain itu yang penting adalah: (a) Kewajiban bagi orangtua 13

24 untuk memberikan pendidikan dasar bagi anaknya (pasal 7 ayat 2), (b) Kewajiban bagi masyarakat memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan (pasal 9), dan (c) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Pada tahun 1994 pemerintah telah mencanangkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun sebagaimana tercantum dalam Inpres No. 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, dan pada tahun 2006 tekad tersebut diperkuat dengan diterbitkan Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menyatakan bahwa Pendidikan termasuk dalam urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Berdasarkan PP tersebut maka Pendidikan termasuk urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota berkaitan dengan pelayanan dasar Outcome Program Wajardikdas 9 Tahun Keberhasilan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 tahun dapat dilihat dari outcomes nya, yaitu APM SD/MI dan APK SMP/MTs. APM SD/MI mengalami peningkatan antara periode tahun , walaupun tidak terlalu signifikan. Sedangkan, APK SMP/MTs mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada periode tahun Arah kebijakan nasional secara umum sejalan dengan arah kebijakan desentralisasi. Dalam Rencana Strategis Departemen 14

25 Pendidikan Nasional salah satu pilarnya adalah pemerataan akses pendidikan. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Untuk itu, sampai dengan tahun 2009 Depdiknas melaksanakan upaya-upaya sistematis dalam pemerataan dan perluasan pendidikan, yaitu dengan mempertahankan APM-SD/MI pada tingkat 95 persen, memperluas SMP/MTs hingga mencapai APK 98 persen serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas hingga 5 persen. Dari target di atas, tampak bahwa kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan difokuskan pada pendidikan dasar dan menengah. Hal ini erat kaitannya dengan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan desentralisasi pemerintahan. Di satu sisi Wajardikdas 9 tahun bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan pelayanan pendidikan dasar sehingga semua anak usia 7-15 tahun setidaknya memperoleh pendidikan sampai sekolah menengah pertama atau sederajat. Sedangkan desentralisasi pendidikan ditujukan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah. Oleh karena itu dalam konteks desentralisasi, pemerataan dan perluasan akses pendidikan ditujukan pula untuk mengurangi kesenjangan akses pendidikan antar daerah. Pemerintah menargetkan penurunan disparitas APK pendidikan dasar dan menengah antara kota dan kabupaten secara signifikan. Hal ini tercermin dari Indikator kunci dan target kebijakan pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Untuk tingkat pendidikan dasar misalnya, Depdiknas menargetkan penurunan disparitas APK antara kabupaten dan kota dari 2,49 persen di tahun 2004 menjadi 2 persen di tahun Sementara itu, untuk tingkat pendidikan menengah pertama ditargetkan penurunan disparitas APK 15

26 antara kabupaten dan kota dari 25,14 persen di tahun 2004 menjadi 13 persen di tahun Tabel 2.1. Indikator Kunci dan Target Kebijakan Pendidikan Nasional Pemerataan Akses Pendidikan 1. Disparitas APK PAUD antara kabupaten-kota 2. Disparitas APK SD/MI/SDLB antara kabupaten-kota 3. Disparitas APK SMP/MTs/SMPLB antara kabupaten-kota 4. Disparitas APK SMA/MA/SMK/ SMALB antara kabupaten-kota 5. Disparitas gender APK di jenjang pendidikan Menengah 6. Disparitas gender APK di jenjang pendidikan tinggi 7. Disparitas gender persentase buta aksara ,94 16,94 15,54 14,04 12,54 11,04 2,49 2,49 2,40 2,30 2,15 2,00 25,14 25,14 23,00 19,00 16,00 13,00 33,13 33,13 31,00 29,00 27,00 25,00 6,16 6,07 5,98 5,89 5,80 5,71 9,90 9,62 9,33 9,05 8,76 8,48 7,32 6,59 5,86 5,13 4,40 3,65 Smber: Renstra Depdiknas Secara umum pencapaian target (realisasi) penurunan disparitas APK antara Kabupaten dengan Kota baik pada tingkat SD dan sederajat maupun SMP dan sederajat menunjukkan pencapaian-pencapain yang positif. Pada tingkat SD, disparitas APK Kabupaten dengan Kota mengalami penurunan dari 2,49 persen pada tahun 2004 menjadi 2,4 persen di tahun Sementara itu pada tingkat SMP disparitas APK Kabupaten dengan Kota mengalami penurunan dari 25,1 persen di tahun 16

27 2004 menjadi 23 persen di tahun Namun beberapa permasalahan masih menjadi kendala dalam mengoptimalkan pemerataan akses pendidikan dasar 9 tahun ini. Gambar 2.1. Target dan Realisasi Disparitas APK Sekolah Dasar dan SMP Antara Kabupaten dengan Kota Disparitas APK SMP 28% Disparitas APK SD 3,0% 26% 24% 22% 20% 18% 16% 14% 12% 10% 25,1% 25,1% 25,1% 25,1% 23,4% 23,0% 2,49% 2,49% 2,49% 2,49% 2,43% 2,40% 23,0% 19,0% 2,40% 2,30% Target SMP Realisasi SMP Target SD Realisasi SD ,9% 2,8% 2,7% 2,6% 2,5% 2,4% 2,3% 2,2% 2,1% 2,0% Sumber: Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah, Depdiknas, 2007, diolah. Pada tingkat SD dan sederajat misalnya, tahun 2007 ditargetkan disparitas APK Kabupaten dengan Kota sebesar 2,3 persen namun realisasinya masih mencapai 2,4 persen. Sementara itu disparitas Kabupaten dengan Kota tingkat SMP dan sederajat yang ditargetkan mencapai 19 persen pada tahun 2007, realisasinya sebesar 23 persen. Selain itu pula, terdapat kecenderungan semakin besarnya rentang antara target dengan realisasi disparitas APK antara Kabupaten dengan Kota sepanjang baik di tingkat SD maupun SMP (Gambar 2.1.). 17

28 APM SD Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun Gambar 2.2. APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar 2007 Indonesia: 94,90 DIY DKI Jakarta Sultra Lampung Jatim Jabar Jateng Sumsel Sumbar NTT Banten Jambi Sulut Sulsel Maluku Kalteng Kaltim Sumut Babel Kalsel Sulteng Bengkulu Gorontalo NAD Kalbar Malut NTB Papua barat 107,3;87,51 IV R i a u III Sulbar 18 Indonesia: 115,51 Kepri B a l i APK SD Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah. Belum optimalnya pemerataan akses pendidikan 9 tahun khususnya dalam kerangka desentralisasi pendididikan dapat terlihat dari beberapa hal. Pertama, masih terdapat provinsi-provinsi dengan akses pendidikan di bawah rata-rata nasional. Hal ini terlihat dari sebaran pencapaian APK dan APM baik di tingkat SD maupun tingkat SMP. Gambar di atas merupakan analisis kuadran untuk capaian APK- APM tahun 2007 tingkat Sekolah Dasar. Sumbu X dan Y dibentuk oleh nilai rata-rata nasional APK dan APM. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa banyak provinsi yang telah memiliki APK tingkat SD di atas rata-rata nasional, walaupun dari sisi APM masih berapa di bawah tingkat nasional (kuadran II). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya adalah Gorontalo, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Namun masih terdapat beberapa provinsi yang memiliki APM dan APK di bawah rata-rata nasional (Kuadran III). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya adalah Papua, Sulawesi Barat, Riau, Bengkulu dan Sumatra Utara. Sementara itu provinsi-provinsi seperti Jawa Timur, I II

29 APM SMP Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun Jawa Tengah, Bali dan Jawa Barat; memiliki APM dan APK di atas rata-rata nasional (Kuadran I). Sementara itu untuk APK-APM tingkat SMP menunjukkan kondisi yang sedikit berbeda (Gambar 2.3). Pemetaan dengan analisis kuadran untuk APK-APM SMP tahun 2007 menunjukkan 2 kecenderungan umum. Pertama, provinsi-provinsi yang memiliki APK- APM di bawah rata-rata nasional (kuadran III). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya adalah Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan NTT. Kedua, provinsi-provinsi yang memiliki APK-APM di atas rata-rata nasional (Kuadran I). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Riau dan Sumatra Utara. Hanya sedikit provinsi yang berada di kuadran II atau IV. Secara umum dapat dikatakan masih cukup besar kesenjangan APK-APM di tingkat SMP, apalagi jika dibandingkan dengan pencapaian APK-APM di tingkat Sekolah Dasar. Gambar 2.3. APK dan APM Tingkat Sekolah Menengah Pertama IV Indonesia: 71,60 Sulut Bengkulu Kaltim NAD Riau Sumut Jatim Kepri Jateng I NTB Sumbar Sumsel Kalteng Gorontalo Jambi Lampung Jabar Malut Papua Barat Sulsel Sulbar Kalsel Kalbar Maluku Babel Sultra DKI Jakarta (105,69; 88,48) DI Yogyakarta (106,62; 87,68) III Sulteng Papua NTT Banten (50,77; 57,15) Indonesia: 85, APK SMP Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah. II 19

30 Gambar 2.4. Disparitas APK dan APM Antara Kabupaten-Kota Dalam Provinsi 2007 Disparitas APK SD/MI Kabupaten - Kota 2007 Malut Riau Jateng Jambi Banten Lampung Sumsel Sulsel Babel NTT Papua Barat Kalteng Sumut Indonesia NAD Maluku Jabar Jatim Sulteng Papua DKI Jakarta Kepri Kalsel NTB Kalbar Sulut Kaltim Gorontalo Sulteng Bali DIY Sumbar Bengkulu ,17 1,28 1,75 2,41 2,42 3,23 3,30 3,36 3,51 3,93 4,97 5,76 5,76 6,08 6,33 7,05 8,25 8,36 9,38 9,68 11,24 11,67 12,56 13,08 13,20 17,89 13,51 17,97 18,08 18,87 19,77 20,07 22, ,3 8,6 11,0 11,6 12,1 13,7 17,9 18,4 22,6 22,6 22,8 23,2 23,5 23,5 23,9 Disparitas APK SMP/MTs Kabupaten - Kota ,6 25,7 27,1 28,3 28,7 29,4 30,1 30,4 30,8 32,0 32,1 32,2 32,8 33,1 33,3 34,1 45,3 51, Malut Sulut Riau Jambi NTB Sulsel Jatim Sultra Lampung Bali Kaltim Jateng Kepri Sumsel Indonesia Kalsel NAD Maluku DKI Jakarta Jabar Bengkulu Sumut DIY Babel Gorontalo Banten Papua Barat Papua Sulteng Sumbar Kalbar NTT Kalteng Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah. 20

31 Kedua, masih banyaknya provinsi dengan disparitas antara kabupaten-kota yang lebih tinggi dibandingkan disparitas kabupatenkota secara nasional. Dari Gambar 2.4. ini tampak bahwa masih banyak provinsi-provinsi dengan APK yang berada di bawah rata-rata nasional. Untuk APK SD misalnya dengan disparitas antara kabupaten-kota di tingkat nasional sebesar 6,08 persen (tahun 2007), provinsi-provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara memiliki disparitas di atas tingkat nasional. Bahkan Propinsi seperti Bengkulu dan Sumatera Barat memeliki disparitas antara kota dan kabupaten hingga di atas 20 persen. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh disparitas APM baik di tingkat SD maupun tingkat SMP. Ketiga, masih tingginya disparitas antara kabupaten dengan kota untuk tingkat pendidikan SD dengan SMP. Secara nasional disparitas APM kabupaten-kota mencapai 2,2 persen untuk tingkat SD dan mencapai 20,06 persen untuk SMP. Demikian juga untuk masingmasing provinsi, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Tengah memiliki disparitas kabupaten-kota untuk APK SMP masing-masing sebesar 45,3 persen dan 51,6 persen serta 36,22 persen dan 40,14 persen untuk APM. Kedua provinsi ini menunjukkan disparitas kabupaten-kota yang terbesar diantara provinsi lainnya. Keempat, kesenjangan akses pendidikan juga masih terjadi antar daerah-daerah seperti misalnya kota-kabupaten, Jawa-Luar Jawa, Daerah Tertinggal-Non Daerah Tertinggal maupun Daerah Otonom Baru-Non Daerah Otonom Baru. Gambar 2.5. menunjukkan kesenjangan antar daerah dimaksud. Secara umum, daerah kota menunjukkan akses pendidikan yang lebih baik dibandingkan kabupaten. Sementara itu, daerah-daerah tertinggal memiliki akses relatif rendah dibandingkan daerah lainnya. Satu hal yang menarik dalam hal pencapaian APK baik SD maupun SMP ini ditunjukkan bahwa daerah otonom baru (DOB) menunjukkan rata-rata APK yang 21

32 lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya (bukan DOB). Dari sini dapat pula dikataan bahwa pemekaran daerah memiliki dampak yang positif paling tidak dalam pemerataan akses pendidikan dasar 9 tahun. Gambar 2.5. APK SD dan SMP menurut Klasifikasi Daerah Kota 119,4 114,7 114,7 Kabupaten 113,49 APK SD 119,5 119,5 114,9 115,1 114,9 115,1 113,73 113,97 121,8 Jawa 118,5 Luar Jawa 114,0 113, ,88 115,12 113,90 113,32 APK SD 116,02 115,29 114,14 113,58 116,17 115,46 114,38 113,84 Non DT 117,77 DOB 115,94 Non DOB 113,61 DT 112, Kota 119,4 88,9 76,3 Kabupaten 113,49 APK SMP 107,5 103,8 93,2 79,5 77,67 96,8 83,4 81, ,8 Jawa 118, Luar Jawa ,0 83, ,90 APK SMP 86,28 89,84 DOB 89,92 82,04 Non DOB 80,90 80,69 74,31 70,48 91,46 76,37 72,93 94,84 77,40 Non DT 93,90 DT 78, Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah. 22

33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Analisa Kuantitatif Untuk dapat mengetahui dampak input dan output Wajardikdas terhadap outcome, maka digunakan Metode Panel Data Analysis. Sebagaimana metode ekonometrika lainnya, metode analisa data panel ini dapat digunakan untuk menguji atau memperkirakan dampak dari perubahan satu faktor terhadap outcome yang diharapkan (misalnya: Angka Partisipasi Sekolah). Kelebihan estimasi menggunakan data panel adalah sebagai berikut: 1. Menghasilkan kumpulan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, memperbaiki degree of freedom, lebih efisien dan menurunkan colinearity antar variabel (Baltagi, 2001:6). 2. Memungkinkan menganalisa beberapa isu penting dalam perekonomian yang tidak dapat diterangkan dengan analisa time series atau cross section (Hsiao, 1989: 2). 3. Menghitung tingkat keberagaman karakteristik individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan analisa time series (Baltagi, 2001:6). 4. Memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dalam pemodelan perbedaan perilaku dibandingkan dengan analisa cross section (Greene, 1997:615). 5. Mampu menerangkan lebih baik dalam dynamic adjustment (Baltagi, 2001:6). Adapun model dasar yang digunakan dalam evaluasi ini adalah Model Bank Dunia 2007 mengenai investasi pendidikan. Model ini mengangkat masalah Investasi dalam Pendidikan di Indonesia dengan 23

34 menggunakan satu model dasar yang meneliti sisi penawaran dan permintaan sebagai penentu (determinat) dari outcomes pendidikan. Spesifikasi model yang digunakan adalah sebagai berikut: R i 1 E1 2E2 3S 4GDRP 5Po 6R 7 A 8Sc 9D 10K 11 Dimana: = Kabupaten/ kota = 1 N 24 L R = Net Enrollment Rates E1 = Log dari pengeluaran pendidikan per jumlah penduduk dalam usia sekolah (Total pengeluaran pendidikan per jumlah penduduk usia 7-18 Tahun). E2 = Log dari rata-rata belanja pemerintah kabupaten/kota (per populasi penduduk usia sekolah) dari S = Belanja untuk gaji tenaga pendidikan terhadap total belanja pendidikan (rasio belanja pegawai terhadap toal belanja pendidikan). GDRP = Log PDRB per kapita. Po = Poverty Head Count R = Remote Area (Jarak rata-rata geometrik dari desa terhadap kabupaten terdekat) A = Akses jalan (% desa dengan akses jalan paving) Sc = Jumlah sekolah SD dan SMP tiap KM 2 D = Bencana, variabel yang mengindikasi apakah daerah merupakan daerah pasca bencana selama 1 tahun yang lalu. K = Dummy untuk kabupaten/ kota (urban /rural) L = Persentase penduduk dalam usia sekolah yang bekerja Berdasarkan model investasi pendidikan Bank Dunia tersebut, maka dilakukan pengembangan model dan modifikasi model tanpa meninggalkan esensinya dengan mempertimbangkan data yang dimiliki. Pengembangan model dalam kajian ini bertujuan untuk menganalisis dampak sejumlah faktor terhadap outcomes Wajardikdas 9 Tahun. i

35 Salah satu outcomes utama dalam pelaksanaan program Wajardikdas 9 Tahun adalah Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk tingkat sekolah dasar dan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk sekolah menengah pertama. Faktor pertama yang digunakan adalah faktor output dalam pendidikan yang dikombinasikan dengan faktor eksternal dan faktor karakteristik wilayah. Dalam kajian ini akan disajikan hasil dari APK dan APM baik untuk SD maupun SMP. Adapun Persamaan Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar dapat dituliskan sebagai berikut: Dalam spesifikasi ini, simbol-simbol didefinisikan sebagai berikut: APSDMI = Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah APSSMMTs = Angka Partisipasi Murni dan Angka Partsipasi Kasar Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah Rycko = Rasio Produk Domestik Regional Bruto Terhadap Rata-Rata Nasional POV = Tingkat Kemiskinan AIRA = Akses Air Bersih RLF = Jumlah Angkatan Kerja 25

36 LITER = Angka Melek Huruf STAT = Dummy untuk kabupaten/kota DT = Dummy untuk daerah Indonesia Tertinggal JAWA = Dummy untuk daerah yang berada di Pulau Jawa/Luar Pulau Jawa RDAU = Rasio Dana Alokasi Umum Terhadap APBD RDAK = Rasio Dana Alokasi Khusus Terhadap APBD RPAD = Rasio Pendapatan Asli Daerah Terhadap APBD MGSDMI = Rasio Murid Guru SD/MI (Murid/Guru SD/MI) DTSDMI = Rasio Murid Sekolah SD/MI (Murid/Sekolah SD/MI) MGSMTS = Rasio Murid Guru SMP/MTs (Murid/Guru SMP/MTs) DTSMTS = Rasio Murid Sekolah SMP/MTs (Murid/Sekolah SMP/MTs) Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian outcome dari Program Wajardikdas 9 Tahun, yaitu faktor input dan output program serta faktor eksternal seperti karakteristik sosial ekonomi suatu daerah. Yang termasuk faktor input antara lain alokasi Dana Alokasi Khusus untuk Pendidikan, Rasio Dana Alokasi Umum Terhadap APBD, Rasio Dana Alokasi Khusus Terhadap APBD, dana BOS (BOS tunai dan BOS Buku). Dalam hal ini, tercapainya outcome program Wajardikdas dipengaruhi oleh besarnya dana dan pembiayaan- 26

37 pembiayaan yang dialokasikan untuk program tersebut. Dengan hipotesis bahwa terdapat hubungan positif antara besarnya dana yang dialokasikan dengan pencapaian APK dan APM. Sedangkan, output Wajardikdas antara lain unit sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB), perpustakaan dan rehabilitasi prasarana dan sarana SD/MI/SDLB/Paket A dan SMP/MTs/SMPLB, dan guru. Melalui perbaikan ruang kelas, maka akan meningkatkan daya tampung siswa secara maksimal. Demikian halnya dengan rehabilitasi gedung sekolah, dengan demikian dapat meningkatkan daya tampung secara maksimal dan memperlancar proses pembelajaran. Pembangunan USB- RKB dapat mendekatkan lembaga pendidikan dengan tempat tinggal siswa serta dapat menambah daya tampung. Pembangunan perpustakaan dan laboratorium akan meningkatkan mutu dan proses pembelajaran. Berkaitan dengan guru, maka yang harus diperhatikan adalah peningkatan ketersediaan guru yang akan memperlancar proses pembelajaran, serta peningkatan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi guru, sehingga guru dapat mengajar secara profesional sesuai dengan kompetensinya. Dalam model ini faktor output yang digunakan antara lain Rasio Murid Guru SD/MI, Rasio Murid Sekolah SD/MI (daya tampung sekolah SD/MI), Rasio Murid Guru SMP/MTs dan Rasio Murid Sekolah SMP/MTs (daya tampung sekolah SMP/MTs). Dengan hipotesis terdapat hubungan yang negatif antara Rasio Murid guru SD/MI dan SMP/MTS terhadap APK dan APM SD/MI dan SMP/MTs. Semakin banyak guru yang tersedia akan meningkatkan APK dan APM. Sedangkan hubungan antara rasio murid sekolah dengan APK dan APM diharapkan positif. Artinya semakin banyak sekolah yang tersedia akan meningkatkan APK dan APM. Sedangkan untuk faktor eksternal, antara lain angka melek huruf, tingkat kemiskinan, pendapatan masyarakat, jumlah angkatan kerja, serta akses terhadap fasilitas umum. Tingkat kemiskinan diharapkan 27

38 mempunyai hubungan negatif terhadap besarnya APK dan APM. Sedangkan, angka melek huruf diharapkan mempunyai hubungan positif terhadap APK dan APM. Dengan argumentasi bahwa ketika angka melek huruf meningkat (mencerminkan tingkat pendidikan masyarakat) maka hal ini akan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya. Demikian juga dengan tingkat kemiskinan. Tingkat pendapatan masyarakat dan akses terhadap fasilitas umum mempunyai hubungan yang positif terhadap APK dan APM. Dengan semakin terpenuhinya akses fasilitas umum, maka akan memudahkan siswa untuk menjangkau sekolah. Tingkat pendapatan masyarakat yang juga dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat, juga akan mempengaruhi orangtua dan anak untuk melanjutkan sekolah. Selain itu, juga terdapat beberapa faktor karakteristik daerah yang dapat mempengaruhi pencapaian APK dan APM. Antara lain Kabupaten/Kota, Daerah Tertinggal, dan keberadaan daerah di Pulau Jawa/Luar Pulau Jawa. Faktor karakteristik daerah digunakan sebagai variabel dummy. Dengan manggunakan beberapa variabel dummy tersebut diharapkan dapat diketahui apakah karekteristik tertentu dari suatu daerah akan mempengaruhi capaian APK dan APM. Sebagai hipotesis sementara daerah kota akan mempunyai tingkat capaian yang lebih tinggi daripada kabupaten. Hal ini dimungkinkan karena beberapa indikator input dan output daerah kota lebih baik daripada kabupaten. Demikian juga halnya jika daerah tersebut bukan merupakan daerah tertinggal (dilihat dari besarnya desa tertinggal di daerah tersebut). Hal yang sama juga terjadi untuk daerah di luar dan di Pulau Jawa. Dapat diduga bahwa daerah di Jawa capaiannya lebih baik daripada daerah di luar Jawa. Terdapat beberapa penelitian yang mendukung adanya hubungan antara tingkat pendidikan dan pendapatan yang menjadi salah satu alasan bahwa capaian APK dan APM di daerah dipengaruhi oleh 28

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

TUJUAN 2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua

TUJUAN 2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua TUJUAN 2 Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua 35 Tujuan 2: Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Target 3: Memastikan pada 2015 semua anak-anak di mana pun, laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1.

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tantangan Indonesia saat ini adalah menghadapi bonus demografi tahun 2025 yang diikuti dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Badan Perencanaan

Lebih terperinci

C UN MURNI Tahun

C UN MURNI Tahun C UN MURNI Tahun 2014 1 Nilai UN Murni SMP/MTs Tahun 2014 Nasional 0,23 Prov. Sulbar 1,07 0,84 PETA SEBARAN SEKOLAH HASIL UN MURNI, MENURUT KWADRAN Kwadran 2 Kwadran 3 Kwadran 1 Kwadran 4 PETA SEBARAN

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

DESKRIPTIF STATISTIK RA/BA/TA DAN MADRASAH

DESKRIPTIF STATISTIK RA/BA/TA DAN MADRASAH DESKRIPTIF STATISTIK RA/BA/TA DAN MADRASAH Deskriptif Statistik RA/BA/TA dan Madrasah (MI, MTs, dan MA) A. Lembaga Pendataan RA/BA/TA dan Madrasah (MI, MTs dan MA) Tahun Pelajaran 2007/2008 mencakup 33

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

Analisis Kualifikasi Guru pada Pendidikan Agama dan Keagamaan

Analisis Kualifikasi Guru pada Pendidikan Agama dan Keagamaan Analisis Kualifikasi Guru pada Pendidikan Agama dan Keagamaan Oleh : Drs Bambang Setiawan, MM 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pasal 3 UU no 20/2003 menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

DRAF APK-APM PENDIDIKAN TAHUN 2017

DRAF APK-APM PENDIDIKAN TAHUN 2017 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan DRAF APK-APM PENDIDIKAN TAHUN 2017 Cutoff data tanggal 30-Nov-2017 PDSPK, Setjen Kemendikbud Jakarta, 11 Desember 2017 DRAF APK-APM PENDIDIKAN TAHUN AJARAN 2017/2018

Lebih terperinci

DESKRIPTIF STATISTIK PONDOK PESANTREN DAN MADRASAH DINIYAH

DESKRIPTIF STATISTIK PONDOK PESANTREN DAN MADRASAH DINIYAH DESKRIPTIF STATISTIK PONDOK PESANTREN DAN MADRASAH DINIYAH Deskriptif Statistik Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pendataan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Tahun 2007-2008 mencakup 33 propinsi,

Lebih terperinci

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008 Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008 Oleh : Asep Sjafrudin, M.Si 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sebagai jenjang terakhir dalam program Wajib Belajar 9 Tahun Pendidikan Dasar

Lebih terperinci

REVIEW KAITAN PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN DENGAN BEBERAPA ISU PEMBANGUNAN

REVIEW KAITAN PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN DENGAN BEBERAPA ISU PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA REVIEW KAITAN PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN DENGAN BEBERAPA ISU PEMBANGUNAN KEDEPUTIAN EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 2009 KATA PENGANTAR Sumber daya

Lebih terperinci

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Ringkasan Eksekutif

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif Pendidikan telah menjadi sebuah kekuatan bangsa khususnya dalam proses pembangunan di Jawa Timur. Sesuai taraf keragaman yang begitu tinggi, Jawa Timur memiliki karakter yang kaya dengan

Lebih terperinci

PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011

PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011 PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011 ARAHAN WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN TINGKAT NASIONAL (MUSRENBANGNAS) 28 APRIL 2010

Lebih terperinci

Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014

Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014 Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014 Deputi Menteri Bidang SDM dan Kebudayaan Disampaikan dalam Penutupan Pra-Musrenbangnas 2013 Jakarta, 29 April 2013 SISTEMATIKA 1. Arah Kebijakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor penyebab..., Rika Aristi Cynthia, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor penyebab..., Rika Aristi Cynthia, FISIP UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan mempunyai peranan penting di seluruh aspek kehidupan manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan kepribadian manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak negara di dunia, karena dalam negara maju pun terdapat penduduk miskin. Kemiskinan identik dengan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN

KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN DEPUTI SESWAPRES BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN SELAKU SEKRETARIS EKSEKUTIF TIM NASIONAL

Lebih terperinci

INDONESIA Percentage below / above median

INDONESIA Percentage below / above median National 1987 4.99 28169 35.9 Converted estimate 00421 National JAN-FEB 1989 5.00 14101 7.2 31.0 02371 5.00 498 8.4 38.0 Aceh 5.00 310 2.9 16.1 Bali 5.00 256 4.7 30.9 Bengkulu 5.00 423 5.9 30.0 DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang terintegrasi dan komprehensif dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang tidak terpisahkan. Di samping mengandalkan

Lebih terperinci

Peningkatan Mutu Keaksaraan Diintegrasikan dengan Literasi Kewirausahaan, Peningkatan Budaya Baca dan Peningkatan Kapasitas Tutor Bindikmas PAUDNI

Peningkatan Mutu Keaksaraan Diintegrasikan dengan Literasi Kewirausahaan, Peningkatan Budaya Baca dan Peningkatan Kapasitas Tutor Bindikmas PAUDNI Disampaikan pada Evaluasi Capaian Kinerja Pelaksanaan Program Pendidikan Masyarakat Tahun 2012 Peningkatan Mutu Keaksaraan Diintegrasikan dengan Literasi Kewirausahaan, Peningkatan Budaya Baca dan Peningkatan

Lebih terperinci

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROGRAM LISTRIK PERDESAAN DI INDONESIA: KEBIJAKAN, RENCANA DAN PENDANAAN Jakarta, 20 Juni 2013 DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KONDISI SAAT INI Kondisi

Lebih terperinci

IPM 2013 Prov. Kep. Riau (Perbandingan Kab-Kota)

IPM 2013 Prov. Kep. Riau (Perbandingan Kab-Kota) IPM 2013 Prov. Kep. Riau (Perbandingan Kab-Kota) DISTRIBUSI PENCAPAIAN IPM PROVINSI TAHUN 2013 Tahun 2013 Tahun 2013 DKI DIY Sulut Kaltim Riau Kepri Kalteng Sumut Sumbar Kaltara Bengkulu Sumsel Jambi Babel

Lebih terperinci

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Rapat Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Tengah 2015 Palangka Raya, 16Desember 2015 DR. Ir. Sukardi, M.Si Kepala BPS

Lebih terperinci

Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan Siswa Madrasah

Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan Siswa Madrasah Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan Siswa Madrasah Oleh : Ir Zainal Achmad, M.Si 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan indikator utama pembangunan dan kualitas SDM suatu bangsa. Salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan pendidikan yang lebih upaya untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan pendidikan yang lebih upaya untuk meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mewujudkan pendidikan yang lebih upaya untuk meningkatkan pembangunan daerah Kota Yogyakarta maka dibuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RPJMD

Lebih terperinci

Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun

Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun Cluster 1 Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun Oleh: Jumono, Abdul Waidil Disampaikan pada kegiatan Simposium Pendidikan 23 Febuari 2015 Ki Hadjar Dewantara: Rakyat perlu diberi hak dan kesempatan yang

Lebih terperinci

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah deddyk@bappenas.go.id Abstrak Tujuan kajian

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014)

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014) F INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014) Kemampuan Siswa dalam Menyerap Mata Pelajaran, dan dapat sebagai pendekatan melihat kompetensi Pendidik dalam menyampaikan mata pelajaran 1

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan Asep Sjafrudin, S.Si, M.Si Jenjang Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama (MTs/SMP) memiliki peranan yang sangat penting

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki potensi sumber daya yang sangat besar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk sumber daya alam tidak

Lebih terperinci

Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun

Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun Daftar rsi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Tabel BAB I. PENDAHT]LUAN 1.1. Latar Belakang 1,.2. Ruang Lingkup 1.3. Tujuan Evaluasi BAB II. SEKILAS TENTANG PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAIIUN 2.1.

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014 HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat Tahun Ajaran 213/21 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 13 Juni 21 1 Ringkasan Hasil Akhir UN - SMP Tahun 213/21 Peserta UN 3.773.372 3.771.37 (99,9%) ya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Kata Pengantar

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Kata Pengantar Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas perkenan-nya kami dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Pendidikan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/05/18/Th. VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN I-2016 SEBESAR 101,55

Lebih terperinci

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 1 indikator kesejahteraan DAERAH provinsi dki jakarta sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat 111

Lebih terperinci

Mewujudkan Peningkatan Pendidikan yang berkualitas tanpa meninggalkan kearifan lokal.

Mewujudkan Peningkatan Pendidikan yang berkualitas tanpa meninggalkan kearifan lokal. Mewujudkan Peningkatan Pendidikan yang berkualitas tanpa meninggalkan kearifan lokal. Pada misi IV yaitu Mewujudkan Peningkatan Pendidikan yang berkualitas tanpa meninggalkan kearifan lokal terdapat 11

Lebih terperinci

Profil Keaksaraan: Hasil Sensus Penduduk 2010

Profil Keaksaraan: Hasil Sensus Penduduk 2010 Profil Keaksaraan: Hasil Sensus Penduduk 2010 Razali Ritonga, MA razali@bps.go.id Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Pusat Statistik 15 SEPTEMBER 2012 1 PENGANTAR SENSUS: Perintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017 Nomor : 048/08/63/Th.XX, 15 Agustus 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017 SEBESAR 71,99 (SKALA 0-100) Kebahagiaan Kalimantan Selatan tahun

Lebih terperinci

PELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT

PELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT PELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT BAMBANG WIDIANTO DEPUTI BIDANG KESRA KANTOR WAKIL PRESIDEN RI APRIL, 2010 KLASTER 1: PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERSASARAN KELUARGA/RUMAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dinilai sangat penting dalam mendukung pertumbuhan. pendidikan bagi masyarakat di antaranya berkaitan dengan pengurangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dinilai sangat penting dalam mendukung pertumbuhan. pendidikan bagi masyarakat di antaranya berkaitan dengan pengurangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan dinilai sangat penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara (World Bank, 1980; Barro, 1998; Barro dan Sala-i-Martin, 2004). Beberapa peneliti

Lebih terperinci

WORKSHOP KOMPILASI DATA SATUAN PENDIDIKAN DAN PROSES PEMBELAJARAN. Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta

WORKSHOP KOMPILASI DATA SATUAN PENDIDIKAN DAN PROSES PEMBELAJARAN. Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta WORKSHOP KOMPILASI DATA SATUAN PENDIDIKAN DAN PROSES PEMBELAJARAN Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta Kab. Karimun, 2015 PAPARAN PENDAHULUAN A. DAPODIK B. WORKSHOP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan pembangunan diindikasikan dengan peningkatan pendapatan per kapita dengan anggapan bahwa peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional UNIT PELAKSANA TEKNIS DITJEN KP3K UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Sekretariat Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum No. 11/02/94/Th. VII, 6 Februari 2017 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan

Lebih terperinci

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008 Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008 Oleh : Asep Sjafrudin, M.Si 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA 2010

LAPORAN SINGKAT PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA 2010 LAPORAN SINGKAT PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA 21 DEPUTI BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Tujuan dan Target Millennium Development Goals (MDGs)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA Disampaikan pada: SEMINAR NASIONAL FEED THE WORLD JAKARTA, 28 JANUARI 2010 Pendekatan Pengembangan Wilayah PU Pengembanga n Wilayah SDA BM CK Perkim BG AM AL Sampah

Lebih terperinci

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA Pendahuluan Policy Brief PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA 1. Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal tentang pentingnya peningkatan daya saing pertanian. Di tingkat

Lebih terperinci

Tabel 2 Ketimpangangan hasil pembangunan pendidikan antar wilayah masih belum terselesaikan

Tabel 2 Ketimpangangan hasil pembangunan pendidikan antar wilayah masih belum terselesaikan Pembangunan Bidang Pendidikan : Perencanaan Yang Lebih Fokus dan Berorientasi Ke Timur Indonesia Merupakan Solusi Atasi Kesenjangan dan Percepat Pencapaian Target Nasional Abstrak Kesenjangan input pendidikan

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN TERPADU PENANGGULANGAN KEMISKINAN

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN TERPADU PENANGGULANGAN KEMISKINAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN TERPADU PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAFTAR ISI Kondisi Umum Program Kesehatan... 1 1. Jumlah Kematian Balita dan Ibu pada Masa Kehamilan, Persalinan atau NifasError! Bookmark not

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 34/05/Th. XVI, 6 Mei 2013 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 KONDISI BISNIS DAN EKONOMI KONSUMEN MENINGKAT A. INDEKS TENDENSI BISNIS A. Penjelasan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/11/18.Th.V, 5 November 2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN III-2015 SEBESAR

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 A. Penjelasan Umum 1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) I-2017 No. 27/05/94/Th. VII, 5 Mei 2017 Indeks Tendensi

Lebih terperinci

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 1 Pembahasan 1. Makna Ekonomi Politik 2. Makna Pemerataan 3. Makna Mutu 4. Implikasi terhadap

Lebih terperinci

PROGRAM PENUNTASAN REHABILITASI SEKOLAH RUSAK

PROGRAM PENUNTASAN REHABILITASI SEKOLAH RUSAK PROGRAM PENUNTASAN REHABILITASI SEKOLAH RUSAK Prof. Suyanto, Ph.D. Direktur Jenderal DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2011 1 1 Penuntasan Pendidikan Dasar Sembilan

Lebih terperinci

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 1 indikator kesejahteraan DAERAH provinsi maluku sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat 111 Telp

Lebih terperinci

EVALUASI PEMBANGUNAN PENDIDIKAN (Indikator Makro)

EVALUASI PEMBANGUNAN PENDIDIKAN (Indikator Makro) EVALUASI PEMBANGUNAN PENDIDIKAN (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan Setjen, Kemdikbud Jakarta, 2013 LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG KONSEP Masyarakat Anak

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DALAM PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DELI SERDANG

PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DALAM PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DELI SERDANG PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DALAM PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DELI SERDANG Sirojuzilam, Abdiyanto, Bastari, A. Kadir, dan Binsar S Abstrak Dalam upaya pembangunan regional, masalah yang

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT Tujuan dari pemetaan dan kajian cepat pemetaan dan kajian cepat prosentase keterwakilan perempuan dan peluang keterpilihan calon perempuan dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) Pemilu 2014 adalah: untuk memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu indikator kemajuan suatu negara tercermin pada kemajuan bidang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu indikator kemajuan suatu negara tercermin pada kemajuan bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator kemajuan suatu negara tercermin pada kemajuan bidang pendidikan. Peningkatan pendidikan yang bermutu di Indonesia termaktub dalam amanah konstitusi

Lebih terperinci

Disabilitas. Website:

Disabilitas. Website: Disabilitas Konsep umum Setiap orang memiliki peran tertentu = bekerja dan melaksanakan kegiatan / aktivitas rutin yang diperlukan Tujuan Pemahaman utuh pengalaman hidup penduduk karena kondisi kesehatan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PROGRAM WAJIB BELAJAR DUA BELAS TAHUN DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 1 indikator kesejahteraan DAERAH provinsi sulawesi tenggara sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat

Lebih terperinci

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 1 indikator kesejahteraan DAERAH provinsi kepulauan riau sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan secara formal dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan secara formal dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan tempat dimana proses pendidikan secara formal dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis. Pada proses

Lebih terperinci

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 1 indikator kesejahteraan DAERAH provinsi maluku utara sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat 111

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) (Metode Baru)

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) (Metode Baru) INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) (Metode Baru) Kecuk Suhariyanto Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS RI Jakarta, 7 September 2015 SEJARAH PENGHITUNGAN IPM 1990: UNDP merilis IPM Human Development

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif.

Lebih terperinci

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 1 indikator kesejahteraan DAERAH provinsi banten sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat 111 Telp

Lebih terperinci

Propinsi Kelas 1 Kelas 2 Jumlah Sumut Sumbar Jambi Bengkulu Lampung

Propinsi Kelas 1 Kelas 2 Jumlah Sumut Sumbar Jambi Bengkulu Lampung 2.11.3.1. Santri Berdasarkan Kelas Pada Madrasah Diniyah Takmiliyah (Madin) Tingkat Ulya No Kelas 1 Kelas 2 1 Aceh 19 482 324 806 2 Sumut 3 Sumbar 1 7-7 4 Riau 5 Jambi 6 Sumsel 17 83 1.215 1.298 7 Bengkulu

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Kondisi Geografis Negara Indonesia Penulis menyajikan gambaran umum yang meliputi kondisi Geografis, kondisi ekonomi di 33 provinsi Indonesia. Sumber : Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena

Lebih terperinci

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 1 indikator kesejahteraan DAERAH provinsi d.i. yogyakarta sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sambutan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Assalamu alaikum Wr. Wb. Sebuah kebijakan akan lebih menyentuh pada persoalan yang ada apabila dalam proses penyusunannya

Lebih terperinci

Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik

Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik Kuliah 1 Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik 1 Implementasi Sebagai bagian dari proses/siklus kebijakan (part of the stage of the policy process). Sebagai suatu studi

Lebih terperinci

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan Subdit Pengelolaan Persampahan Direktorat Pengembangan PLP DIREKTORAT JENDRAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Aplikasi SIM PERSAMPAHAN...(1)

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA BARAT

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA BARAT KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA BARAT SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI ACEH

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI ACEH KINERJA TATA KELOLA PROVINSI ACEH SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat ini

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 46/05/Th. XVIII, 5 Mei 2015 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 KONDISI BISNIS MENURUN NAMUN KONDISI EKONOMI KONSUMEN SEDIKIT MENINGKAT A. INDEKS

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 1 indikator kesejahteraan DAERAH provinsi kalimantan tengah sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai

Lebih terperinci

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 5.1.Pendahuluan Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat

Lebih terperinci

KESEHATAN ANAK. Website:

KESEHATAN ANAK. Website: KESEHATAN ANAK Jumlah Sampel dan Indikator Kesehatan Anak Status Kesehatan Anak Proporsi Berat Badan Lahir, 2010 dan 2013 *) *) Berdasarkan 52,6% sampel balita yang punya catatan Proporsi BBLR Menurut

Lebih terperinci