REVIEW KAITAN PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN DENGAN BEBERAPA ISU PEMBANGUNAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REVIEW KAITAN PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN DENGAN BEBERAPA ISU PEMBANGUNAN"

Transkripsi

1

2 REPUBLIK INDONESIA REVIEW KAITAN PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN DENGAN BEBERAPA ISU PEMBANGUNAN KEDEPUTIAN EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 2009

3 KATA PENGANTAR Sumber daya manusia merupakan faktor, unsur dan komponen terpenting dalam pembangunan. Dua sektor yang memiliki peran penting dan dominan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Berkaitan dengan sektor pendidikan, fondasi utama pembangunan pendidikan adalah pendidikan dasar. Sejalan dengan itu, maka kami melakukan kajian terhadap Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 Tahun dikaitkan dengan isuisu pembangunan. Kajian ini merupakan pelengkap dari laporan Evaluasi Pelaksanaan Program Wajardikdas 9 Tahun. Tinjauan kajian difokuskan pada peran Wajardikdas 9 Tahun dikaitkan dengan tiga isu pokok, yaitu keberpihakan kepada masyarakat miskin, desentralisasi pendidikan, serta ketersediaan dan kualitas guru. Diharapkan kajian ini dapat menjadi masukan dalam kebijakan pembangunan pendidikan maupun sektor lainnya yang terkait di masa yang akan datang. Kami menyadari kajian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik, saran, dan masukan yang membangun sangat diharapkan. Akhirnya, terima kasih serta penghargaan kami ucapkan kepada semua pihak yang telah bekerja sama dan membantu dalam penyusunan kajian ini. Jakarta, Desember 2009 Plt. Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan, Bappenas Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi ii

4 DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar ii iii iv v BAB I LATAR BELAKANG 1 BAB II KEBERPIHAKAN KEPADA MASYARAKAT MISKIN Kerangka Kebijakan Bantuan Operasional Sekolah Analisa dan Pembahasan Permasalahan Implikasi Kebijakan 24 BAB III DESENTRALISASI PENDIDIKAN Kerangka Kebijakan Desentralisasi Pendidikan Pembiayaan Dalam Kerangka Desentralisasi Pendidikan Capaian Wajardikdas dalam Kerangka Desentralisasi Permasalahan Implikasi Kebijakan 55 BAB IV KETERSEDIAAN dan KUALITAS GURU Kebijakan untuk Peningkatan Kualitas Guru Capaian Permasalahan Implikasi Kebijakan 94 BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Implikasi Kebijakan 102 Daftar Pustaka 108 iii

5 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Urusan Wajib Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah 27 Tabel 4.2 Persentase Kelayakan Mengajar Kepala Sekolah dan Guru menurut Jenjang Pendidikan Tahun Tabel 4.3 Perkembangan Angka Mengulang SD/MI dan SMP/MTs Tahun 2001/ / Tabel 4.4 Angka Kelulusan Tahun iv

6 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia 6 Gambar 2.2 Alokasi Anggaran BOS Periode Tahun Gambar 2.3 Sasaran Jumlah Siswa Penerima BOS 10 Gambar 2.4 Alokasi Dana BOS dan Penduduk Miskin Tahun Gambar 2.5 APK SD dan BOS SD Tahun Gambar 2.6 APK SMP dan BOS SMP Tahun Gambar 2.7 Jumlah Siswa Mengulang SD 19 Gambar 2.8 Jumlah Siswa Mengulang SMP 20 Gambar 2.9 Jumlah Lulusan SD 22 Gambar 2.10 Jumlah Lulusan SMP 22 Gambar 3.1 Alur Pembiayaan Pendidikan Nasional 35 Gambar 3.2 Perkembangan Alokasi Anggaran Program Wajardiknas 9 Tahun Departemen Pendidikan Nasional 37 Gambar 3.3 Komposisi Dana Alokasi Khusus (DAK) Gambar 3.4 Kontribusi Pemerintahan dalam Belanja Pendidikan Dasar 9 Tahun 42 Gambar 3.5 Kontribusi DAU terhadap Total Penerimaan APBD Kabupaten Kota 43 Gambar 3.6 Target dan Realisasi Disparitas APM Sekolah Dasar dan SMP Antara Kabupaten dengan Kota 45 Gambar 3.7 APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar Gambar 3.8 APK dan APM Tingkat Sekolah Menengah Pertama Gambar 3.9 Disparitas APK-APM Antara Kabupaten-Kota Dalam Provinsi Gambar 3.10 Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan Gambar 3.11 Anggaran Pendidikan Dasar dan Menengah per penduduk usia 7-15 tahun 53 v

7 Gambar 4.1 Rasio Siswa per Guru Tahun 2001/ / Gambar 4.2 Rasio Siswa per Guru Tahun 2006 dan Gambar 4.3 Rasio Siswa per Guru Sekolah Dasar & Menengah Tahun 2005 dan Gambar 4.4 Kepala Sekolah dan Guru menurut Tingkat Pendidikan Tahun Gambar 4.5 Persentase Guru SD dan SMP yang Layak Mengajar Tahun Gambar 4.6 Persentase Guru SD-SMP Negeri dan Swasta yang Layak Mengajar Tahun Gambar 4.7 Persentase Guru yang Lulus Sertifikasi Tahun vi

8 BAB I LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi yang telah ditempuh di masa lalu telah menghasilkan berbagai kemajuan yang cukup berarti namun sekaligus juga mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk dipecahkan. Penitikberatan pembangunan masa lalu hanya kepada tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menciptakan peningkatan pendapatan perkapita, penurunan jumlah kemiskinan dan pengangguran, dan perbaikan kualitas hidup manusia secara rata-rata. Namun pembangunan ekonomi yang sangat berorientasi kepada peningkatan produksi nasional ini tidak disertai dengan pembangunan dan perkuatan insitusi-insitusi baik publik maupun insitusi pasar terutama institusi keuangan yang seharusnya berfungsi melakukan alokasi sumber daya secara efisien dan bijaksana. Hasil pembangunan yang dicapai justru menimbulkan akibat negatif dalam bentuk kesenjangan antar golongan pendapatan, antar wilayah, dan antar kelompok masyarakat. Oleh karena itu pembangunan nasional diarahkan tidak saja pada pada pertumbuhan ekonomi namun pada pembangunan manusia secara keseluruhan. Salah satu upaya untuk meningkatnya taraf pendidikan penduduk Indonesia adalah melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajardikdas 9 1

9 Tahun). Program ini dimulai pada tahun 1994 dengan mentargetkan semua warga negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Sehingga diharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketika dicanangkan pada tahun 1994, Program Wajardikdas 9 Tahun diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target tersebut tidak dapat tercapai. Target penuntasan Wajar disesuaikan dari 2003/2004 menjadi 2008/2009 Program Wajardikdas 9 Tahun merupakan satu program yang sangat krusial dalam pembangunan nasional. Selain sebagai pemenuhan hak dasar masyarakat Indonesia, Wajardikdas 9 tahun diharapkan pula mempunyai dampak terhadap daya saing tenaga kerja hingga kesejahteraan masyarakat secara umum. Beberapa permasalahan pembangunan bisang pendidikan diantaranya: (1) Terbatasnya akses penduduk terhadap pendidikan dasar, yang bisa dilihat dari ketersediaan guru yang belum memadai (20:1); (2) Tingkat pendidikan penduduk rendah, dimana angka Partisipasi Sekolah (APS) 7-12 tahun sebesar 96,4 persen; tahun sebesar 81 persen; tahun (51 persen), masih terdapat sekitar 19 persen anak usia tahun dan sekitar 49 persen anak usia 2

10 16-18 tahun yang tidak bersekolah baik karena belum/tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi; serta (3) Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik, yang bisa dilihat dari ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas, kesejahteraan pendidik yang masih rendah, fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai. Tahun 2008 merupakan pelaksanaan tahun keempat dari RPJMN yang pelaksanaannya dituangkan dalam perencanaan tahunan yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Sebagai masukan dalam pelaksanaan RKP tahun 2009 dan juga penyusunan rancangan RPJMN periode berikutnya, pelaksaaan program-program pembangunan yang telah dilakukan selama kurun waktu sangat diperlukan. Hal ini sangat penting terutama untuk melihat apakah selama kurun waktu tersebut dapat dicapai sasaran serta target-target yang telah ditetapkan dalam RKP dan juga perkiraan pencapaian pada akhir periode RPJMN Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan yang telah dilaksanakan dalam periode Diharapkan evaluasi ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam peningkatan pencapaian sasaran khususnya bagi sektor-sektor yang saat ini pencapaian sasarannya masih jauh dari RPJMN. Selanjutnya, dengan diketahuinya pencapaian sasaran nasional berdasarkan evaluasi kinerja pembangunan maka 3

11 penyusunan RPJMN baik kebijakan maupun sasaran serta program-program pembangunannya dapat lebih tepat lagi. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2002, dan ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor: KEP.050/M.PPN/03/2002 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Meneg. PPN/Kepala Bapppenas disebutkan bahwa Bappenas mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang perencanaan pembangunan nasional. Di samping itu, Undang-Undang No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa pimpinan kementerian/lembaga harus melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan kementerian/ lembaga. Sejalan dengan itu, untuk mendukung keperluan di atas pada tahun 2008 dilakukan evaluasi kinerja pembangunan sektoral untuk periode Evaluasi memfokuskan pada evaluasi program Wajardikdas 9 Tahun. Evaluasi akan dilakukan dengan mengacu kepada dokumen-dokumen perencanaan, yaitu RPJMN , RKP 2005, RKP 2006, dan RKP Lebih lanjut, laporan ini akan menggunakan analisa kualitatif dengan tiga isu pokok, yaitu Wajardikdas dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin (BOS), desentralisasi pendidikan serta ketersediaan dan kualitas guru. 4

12 BAB II KEBERPIHAKAN KEPADA MASYARAKAT MISKIN Studi literatur dan empiris telah menunjukkan bahwa peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan dapat dijadikan alat kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan di suatu negara. Kenaikan harga BBM di Indonesia pada tahun 2005, telah meningkatkan persentase jumlah penduduk miskin yang cukup signifikan. Disisi lain, tingginya biaya pendidikan makin mempersulit masyarakat yang kurang beruntung untuk mengakses pendidikan yang bermutu. Jika hal ini tidak diantisipasi dengan baik oleh Pemerintah, maka pertumbuhan ekonomi di Indonesia semakin terpuruk di masa-masa yang akan datang. Dengan demikian, kebijakan yang terkait sektor pendidikan harus berpihak kepada masyarakat miskin, sehingga mereka dapat keluar dari kemiskinan dan berkontribusi bersamasama dalam pembangunan. Keberpihakan terhadap masyarakat miskin di sektor pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dengan cara menghilangkan berbagai hambatan biaya bagi orangtua peserta didik, dalam rangka meningkatkan jumlah peserta didik SDsetara dan SMP-setara yang berasal dari keluarga miskin sehingga wajib belajar 9 tahun dapat diselesaikan. 5

13 Gambar 2.1 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun , , , , , ,5 14 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin (% Sumber: Departemen Keuangan, 2007, diolah. Perkemba Penduduk Adapun, jenis biaya pendidikan yang dibebankan kepada orangtua peserta didik adalah biaya operasi satuan pendidikan, biaya pribadi dan biaya investasi. Sejalan dengan amanat Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, Pemerintah secara bertahap membebaskan seluruh beban biaya operasi satuan pendidikan negeri dan swasta menuju pendidikan dasar bebas biaya. Dengan mengurangi biaya-biaya tersebut diatas, khususnya bagi keluarga miskin, diharapkan anak-anak dari keluarga miskin dapat menyelesaikan wajib belajar 9 tahun. Namun demikian, pembebasan biaya diatas sepertinya kurang mencukupi karena masih banyak keluarga miskin yang 6

14 tidak mampu memenuhi biaya pribadi untuk anaknya pergi ke sekolah. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah menyediakan bantuan beasiswa yang disalurkan melalui biaya satuan pendidikan ke sekolah untuk menutup biaya pribadi bagi siswa miskin agar tidak terhambat masuk sekolah. Dengan bantuan dari Pemerintah ini diharapkan dapat meningkatkan APK SD-SMP dan Setara. Sedangkan, untuk biaya investasi seperti lahan, prasarana pendidikan, sarana pendidikan, dan modal kerja yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang baik dan bermutu, sejak tahun 2005, Pemerintah dan Pemerintah Daerah telah menanggung sebagian besar dari biaya investasi satuan pendidikan. Biaya investasi tersebut berupa perbaikan sarana dan prasarana pendidikan yang telah rusak Kerangka Kebijakan Bantuan Operasional Sekolah Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tunai Dalam rangka penuntasan Wajib Belajar 9 tahun, banyak program yang telah dilakukan oleh Pemerintah, dimana dikelompokkan menjadi 3 yaitu; (1) Pemerataan dan Perluasan Akses; (2) Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya Saing; dan (3) Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik. Salah satu program yang diharapkan berperan besar terhadap percepatan penuntasan Wajar 9 tahun yang bermutu adalah program BOS. Meskipun tujuan utama program BOS adalah untuk pemerataan dan perluasan akses, program BOS juga merupaka program 7

15 untuk peningkatan mutu, relevansi dan daya saing serta untuk tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Sejak bulan Juli 2005, Pemerintah telah meluncurkan program BOS kepada seluruh sekolah setingkat SD/MI/SDLB dan SMP/MTs/SMPLB di Indonesia untuk meringankan atau menggratiskan biaya pendidikan yang ditanggung oleh masyarakat. Melalui program BOS yang terkait dengan gerakan percepatan penuntasan Wajib Belajar 9 tahun, maka setiap pelaksana program pendidikan harus memperhatikan hal-hal berikut: (i) BOS harus menjadi sarana penting untuk mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, (ii) Melalui BOS tidak boleh ada siswa miskin putus sekolah karena tidak mampu membayar iuran/pungutan yang dilakukan oleh sekolah /madrasah/ponpes, (iii) Anak lulusan sekolah setingkat SD, harus diupayakan kelangsungan pendidikannya ke sekolah setingkat SMP. Tidak boleh ada tamatan SD/MI/setara tidak dapat melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB dengan alasan mahalnya biaya masuk sekolah, dan (iv) Kepala sekolah/madrasah/ponpes mencari dan mengajak siswa SD/MI/SDLB yang akan lulus dan berpotensi tidak melanjutkan sekolah untuk ditampung di SMP/MTs/SMPLB. Demikian juga bila teridentifikasi anak putus sekolah yang masih berminat melanjutkan agar diajak kembali ke bangku sekolah. Dana BOS diberikan kepada seluruh sekolah penyelenggara Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun baik negeri maupun swasta,yakni SD/MI/SDLB/Salafiyah 8

16 dan SMP/MTs/SMPLB/Salafiyah. Pada saat pertama kali dikucurkan dana BOS pada tahun 2005, dana BOS diberikan ke sekolah berdasarkan jumlah murid di masing-masing sekolah, dengan perhitungan Rp per murid per tahun untuk tingkat SD dan Rp per murid per tahun untuk tingkat SMP. Biaya per unit mengalami peningkatan pada tahun 2008 menjadi Rp per murid per tahun untuk tingkat SD, Rp per murid per tahun untuk tingkat SMP dan Rp per murid per tahun untuk buku. Total alokasi APBN untuk dana BOS Depdiknas tahun 2007 mencapai Rp ,00 Selama periode tahun , alokasi dana BOS mengalami peningkatan yang sangat signifikan, melebihi 100% antara periode tahun , lalu mengalami penurunan yang tidak terlalu signifikan pada tahun 2007, seperti yang terlihat pada Gambar berikut. Adapun sasaran jumlah siswa penerima BOS, paling banyak dari SD/MI/SDLB/Salafiyah SD. 9

17 Gambar 2.2 Alokasi Anggaran BOS Periode Tahun (dalam Juta Rupiah) Total Anggaran BOS Total Anggaran BOS Sumber: Depdiknas Gambar 2.3 Sasaran Jumlah Siswa Penerima BOS SD/MI/SDLB/Salafiyah SD SMP/MTs/SMPLB/Salafiyah SMP Sumber: Depdiknas 10

18 Program BOS secara jelas menfokuskan pada subsidi pendidikan bagi keluarga miskin dan penuntasan wajib belajar 9 tahun, seperti yang tercantum pada tujuan program BOS menurut Buku Panduan Program BOS dapat dikatakan sebagai bantuan gratis terbatas, dimana menggratiskan siswa miskin dan meringankan siswa tidak miskin. Sasaran program BOS mencakup sekitar 40 juta siswa setara SD dan SMP di seluruh Indonesia, dengan total dana lebih dari Rp. 11 trilyun per tahun. Dengan mempertimbangkan besarnya skala program dan besarnya dana, pengelolaan Program BOS dilakukan dengan mekanisme dekonsentrasi ke tingkat provinsi. Dana BOS diadministrasikan di DIPA (Dinas Pendidikan Provinsi), dan penyaluran dana BOS disalurkan dengan mekanisme perbankan langsung ke rekening sekolah. Teknis penyaluran BOS dirancang sedemikian rupa untuk menghilangkan potensi kebocoran dalam proses penyaluran. Dana dari Kantor Pembendaharaan Kas Negara (KPKN) di Departemen Keuangan disalurkan langsung ke rekening dana dekonsentrasi provinsi tanpa melalui Depdiknas, kemudian provinsi menyalurkannya langsung ke rekening sekolah tanpa melalui kabupaten/kota. Menurut ketetapan yang berlaku, dana BOS hanya digunakan untuk biaya operasional sekolah non personel, misalnya uang pendaftaran, ATK, langganan daya dan jasa, membayar guru/pegawai honorarium, kegiatan kesiswaan, dan sebagainya. Dana BOS bukan untuk kesejahteraan guru dan juga bukan untuk biaya investasi. Kesejahteraan guru dan biaya investasi sekolah diharapkan dibiayai dari program lain, dengan 11

19 prioritas utama didanai oleh pemerintah daerah (pemda). Sekolah yang menerima dana BOS diharuskan untuk mengikuti semua aturan yang ditetapkan oleh pengelola program, baik mengenai cara pengelolaan penggunaan, pertanggungjawaban dana BOS yang diterima maupun monitoring dan evaluasi. Sekolah berhak menolak BOS, jika sekolah mampu secara ekonomi dan memiliki pendapatan yang lebih besar dari dana BOS, yang harus disetujui oleh orang tua siswa dan komite sekolah. Untuk sekolah penerima BOS harus mengikuti aturan sebagai berikut: Sekolah yang jumlah penerimaan dari peserta didik (sebelum BOS) lebih kecil dari BOS harus membebaskan siswa dari semua bentuk pungutan/sumbangan/iuran yang digunakan untuk membiayai pengeluaran yang dapat dibiayai dari dana BOS. Sekolah juga diminta untuk membantu siswa kurang mampu yang mengalami kesulitan transportasi dari dan ke sekolah. Sekolah yang jumlah penerimaan dari peserya didik (sebelum BOS) lebih besar dari BOS tetap dapat memungut biaya tambahan, tetapi harus membebaskan iuran sekolah bagi siswa miskin, apabila di sekolah tersebut ada siswa miskin. Bila masih ada sisa dana BOS, setelah digunakan untuk mensubsidi siswa miskin, maka sisa dana tersebut dapat digunakan untuk mensubsidi siswa lain. 12

20 Apabila di sekolah tersebut tidak ada siswa miskin, dana BOS dapat digunakan untuk mensubsidi semua siswa sehingga iuran siswa akan berkurang. Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, dana BOS telah memberikan dampak positif sebagai berikut (Lakip ): (i) Program BOS meningkatkan jumlah siswa yang terbebas dari pungutan biaya operasional sekolah/madrasah yaitu, dari 28.4% pada tahun 2004 menjadi 70.3% setelah digulirkannya program BOS sejak tahun 2005, (ii) Program BOS menurunkan angka putus sekolah dari 0.60% menjadi 0.40%, menurunkan tingkat kehadiran dari 2.71% menjadi 2.14%, dan menurunkan angka mengulang kelas dari 1.73% menjadi 1.24%, serta meningkatkan angka melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs dari 94.27% menjadi 96.70%, jika dibandingkan antara kondisi setelah digulirkannya program BOS sejak tahun 2005, (iii) Penyelenggaraan program BOS pada tahun 2007 relatif lebih baik dibandingkan dengan tahun 2006 dilihat dari aspek perencanaan dan pengorganisasian, sosialisasi program, penyaluran dana, pemanfaatan dana, serta monitoring evaluasi dan pelaporannya. Namun demikian, masih ditemukan beberapa kelemahan yaitu pengadaan buku pedoman yang masih kurang efisien, waktu penyampaian buku pedoman, sosialisasi, dan penyaluran dana yang kadang terlambat, serta masih terjadinya kesalahan data jumlah siswa di sementara sekolah/madrasah. 13

21 BOS Buku BOS buku dimasudkan sebagai subsidi kepada semua peserta didik wajib belajar, yang disalurkan melalui satuan pendidikan, sehingga diharapkan siswa miskin dapat mengakses buku teks pelajaran yang digunakan satuan pendidikan melalui peminjaman buku di perpustakaan sekolah. BOS buku, diharapkan dapat meringankan beban biaya pendidikan bagi siswa miskin dan sekaligus meningkatkan mutu pendidikan. Seperti halnya BOS Tunai, BOS buku dialokasikan ke semua sekolah dan madrasah serta bentuk lainnya yang sederajat, baik negeri maupun swasta, yang melaksanakan program wajib belajar 9 tahun. Besarnya alokasi BOS per satuan pendidikan ditentukan atas dasar jumlah peserta didik dengan biaya satuan Rp /siswa untuk tahun Dana bantuan BOS buku hanya ditujukan untuk membeli satu buku teks saja (diantara tiga mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, atau Bahasa Indonesia). Total alokasi APBN untuk dana BOS Buku Depdiknas tahun 2007 mencapai Rp ,00. Mulai tahun 2007, BOS buku juga diberikan kepada siswa SMP Terbuka. Tata cara pengalokasian BOS Buku mengikuti tata cara yang dipakai untuk BOS Tunai. Menurut penelitian Balitbang Depdiknas, program BOS buku telah memberikan dampak positif sebagai berikut (Lakip ): (i) BOS Buku telah menurunkan biaya pendidikan sebesar 11.77% (setelah memperhitungkan tingkat inflasi

22 sebesar 6.6%) dibandingkan dengan sebelum program BOS Buku diluncurkan. Rerata jumlah dana yang dikeluarkan oleh orang tua untuk pembelian buku teks pada tahun ajaran 2005/2006 yang sebesar Rp turun menjadi Rp pada tahun 2006/2007, dan (ii) Sebanyak 97.3% orang tua menyatakan keberadaan program BOS Buku meringankan beban pembiayaan mereka Analisa dan Pembahasan BOS dengan Keberpihakan terhadap Masyarakat Miskin Sebagian besar penerima dana BOS tersebut terpusat di Pulau Jawa yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jika dilihat lebih lanjut, distribusi alokasi dana BOS antara periode tahun , masih menunjukkan tingginya disparitas antar wilayah penerima dana BOS. Berdasarkan gambar berikut, terlihat bahwa program BOS belum banyak menyentuh orang miskin. Hal ini dapat dilihat dari propinsi-propinsi yang memiliki persentase penduduk miskin paling besar seperti Papua, Papua Barat, Maluku dan Gorontalo belum memanfaatkan program BOS secara optimal. Dengan perkataan lain, jika tujuan BOS adalah bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa miskin dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun seperti pada panduan BOS 2006, maka seharusnya dana BOS lebih banyak dikucurkan 15

23 NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri DKI Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan untuk propinsi yang memiliki presentase penduduk miskin terbesar, seperti Papua dan Maluku. Gambar 2.4 Alokasi Dana BOS dan Penduduk Miskin Tahun Alokasi Dana BOS Presentase Penduduk Miskin Terhadap Total Penduduk Propinsi Sumber: Depdiknas, diolah BOS dan Percepatan Wajardikdas Program BOS bertujuan untuk mempercepat penuntasan Wajib Belajar 9 tahun, dimana seperti diketahui salah satu indikator keberhasilan Wajardikdas adalah angka partisipasi kasar. Gambar berikut menunjukkan bahwa sepertinya tidak ada hubungan antara dana BOS dengan APK SD pada tahun

24 APK SD Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan Hal ini terlihat bahwa propinsi seperti Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Lampung dan Jambi yang memiliki APK SD diatas rata-rata nasional, walaupun mereka hanya menerima dana BOS sedikit. Gambar 2.5 APK SD dan BOS SD Tahun B a l i Sulut Kalbar Kalteng 117 Kalsel Lampung Jambi Sultra Sumbar 115 DIY Maluku Kaltim DKI Jakarta 113 NAD Bengkulu Banten Sulbar Sumut 111 NTB Sumsel Jatim Jateng Jabar 109 Sulteng R i a u; Sulsel NTT BOS SD Sumber: Depdiknas, diolah Hal yang serupa juga terjadi pada BOS SMP, dimana tidak terlihat adanya hubungan dana BOS SMP dengan APK SMP tahun Kasus yang sangat ekstrem dapat dilihat pada Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Propinsi Jawa Barat adalah provinsi penerima dana BOS terbesar dibandingkan provinsi-provinsi lain pada tahun 2007, namun memiliki APK SMP masih dibawah rata-rata nasional. Di sisi lain, DIY yang 17

25 APK SMP Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan menerima dana BOS terkecil pada tahun 2007, tetapi memiliki APK SMP paling tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Gambar 2.6 APK SMP dan BOS SMP Tahun DIY DKI Jakarta 95 B a l i NAD Sumbar Sumut Jateng R i a u; Kaltim Jatim 85 NTB Lampung Sulsel Jabar 75 Kalbar NTT Sumsel Banten BOS SMP Sumber: Depdiknas, diolah Sehingga dapat disimpulkan bahwa dana BOS tidak terlalu signifikan dalam meningkatkan APK SD, masih banyak faktor lain yang mempengaruhi outcomes Wajardikdas. Hal ini sejalan dengan hasil temuan di lapangan dimana hanya sekitar 67,86% responden menyatakan bahwa program BOS berdampak pada outcomes program Wajardikdas. 18

26 BOS dan Jumlah Siswa Mengulang Jumlah siswa mengulang SD mengalami penurunan yang sangat drastis pada saat era BOS. Terjadi penurunan jumlah siswa mengulang SD sebesar 16,7 persen dibandingkan sebelum adanya program BOS, penurunan ini terus berlanjut sampai 2007, yaitu turun sekitar 67,2 persen. Jika dilihat lebih jauh, penurunan angka mengulang siswa SD Swasta lebih tinggi dibandingkan SD Negeri yaitu sebesar 22,2 persen pada tahun 2006, sedangkan SD Negeri hanya sebesar 16,3 persen. Namun demikian, kondisi ini berbalik pada tahun 2007, dimana penurunan angka mengulang SD Negeri jauh lebih besar dibandingkan SD Swasta, yaitu sebesar 68,72 persen. Gambar 2.7 Jumlah Siswa Mengulang SD Jumlah Siswa Mengulang SD Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta Pra BOS Era BOS Sumber: Depdiknas, diolah 19

27 Lebih lanjut, jumlah siswa mengulang SMP mengalami penurunan menjadi siswa pada tahun 2007 (era BOS). Jika dibandingkan dengan kondisi pra BOS pada tahun 2004, penurunannya sebesar persen. Akan tetapi, pada tahun 2006, satu tahun setelah program BOS diluncurkan, angka mengulang siswa mengalami peningkatan sebesar persen. Namun demikian, jika dilihat secara keseluruhan jumlah siswa mengulang SMP mengalami penurunan pada era BOS. Gambar 2.8 Jumlah Siswa Mengulang SMP Jumlah Siswa Mengulang SMP Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta Pra BOS Era BOS Sumber: Depdiknas, diolah Bila dibandingkan dengan antar SD dan SMP, maka penurunan angka mengulang SD jauh lebih besar dibandingkan SMP pada era BOS. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa ada indikasi program BOS berdampak pada penurunan jumlah siswa mengulang SD dan SMP. Namun demikian, hasil ini tidak dapat 20

28 mengatakan bahwa program BOS benar-benar berdampak pada penurunan angka mengulang SD dan SMP, diperlukan model lain untuk menerangkan lebih jauh hal tersebut. Karena keterbatasan data tidak dapat dilakukan dalam studi ini BOS dan Jumlah Lulusan Jika dibandingkan pada saat pra BOS (tahun 2004), jumlah lulusan SD mengalami peningkatan pada saat era BOS (tahun 2006) sebesar 11,9 persen. Peningkatan terjadi paling besar di SD Swasta yaitu sebesar 4,4 persen. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah lulusan SD pada era BOS. Berbeda dengan yang terjadi pada jenjang pendidikan sekolah dasar, jumlah lulusan mengalami penurunan pada era BOS menjadi siswa pada tahun 2007 atau turun sekitar 59,29 persen pada pra BOS (tahun 2004). Walaupun pada tahun 2006, jumlah lulusan mengalami peningkatan, namun perubahannya sangat sedikit sekali, sekitar 2,8 persen dibandingkan pada era BOS (tahun 2004). Sehingga dapat dikatakan bahwa adanya indikasi bahwa program BOS tidak berdampak pada jumlah lulusan SMP. 21

29 Gambar 2.9 Jumlah Lulusan SD Jumlah Lulusan SD Negeri Swasta Negeri Swasta Pra BOS Era BOS Sumber: Depdiknas, diolah Gambar 2.10 Jumlah Lulusan SMP Jumlah Lulusan SMP Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta Pra BOS Era BOS Sumber: Depdiknas, diolah 22

30 2.3. Permasalahan Berdasarkan temuan di lapangan, terdapat beberapa permasalahan dalam implementasi program BOS. Pertama, formula penentuan alokasi dana yang didasarkan pada jumlah siswa dirasa kurang adil bagi sekolah yang mempunyai jumlah siswa sedikit, memiliki banyak guru honorer, berlokasi di tempat terpencil, yang memiliki keterbatasan infrastruktur dan sekolah khusus (SDLB dan SMPLB). Kedua, secara umum program BOS cenderung dalam bentuk subsidi umum, dan manfaat yang dirasakan siswa miskin dan tidak miskin hampir sama, karena hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk siswa miskin. Ketiga, sekolah yang menolak BOS umumnya sekolah yang relatif kaya. Keputusan untuk menolak program BOS hanya dilakukan secara sepihak oleh pengelola sekolah, tanpa bermusyawarah dengan orang tua murid. Keempat, administrasi pelaksanaan di tingkat sekolah terlalu banyak menyita waktu dan perhatian kepala sekolah yang peranannya sangat krusial dalam manajemen kegiatan belajar-mengajar, sehingga dikhawatirkan justru akan berdampak negatif terhadap kegiatan belajar mengajar. Kelima, sering terjadinya ketelambatan pencairan dana BOS, yang mengakibatkan manajemen sekolah harus mencari dana talangan. Keenam, banyak persepsi dari orang tua murid yang salah bahwa program BOS membebaskan siswa dari semua biaya. 23

31 2.4. Implikasi Kebijakan Secara umum Program BOS telah membantu penyelenggaraan kegiatan belajar disekolah dan dalam batasbatas tertentu telah mengurangi biaya beban biaya pendidikan yang ditanggung orang tua murid. Dengan mempertimbangkan manfaat yang telah terwujud dan potensi manfaat program dimasa depan, disarankan agar program BOS terus dilanjutkan dengan berbagai penyempurnaan konseptual dan teknis agar manfaat program dapat lebih optimal. Selain itu, beberapa hal yang perlu disempurnakan dalam teknis pelaksanaan program adalah: 1. Kesamaan persepsi mengenai tujuan dan sasaran program yang akan menjadi landasan bagi pelaksanaan program, mulai dari tahap sosialisasi, pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi. Agar tidak membingungkan masyarakat dan pelaksana program. Ada dua hal yang perlu mendapat penekanan, yaitu: (1) bahwa program BOS hanya memenuhi pelayanan minimum pendidikan, sehingga dalam rangka peningkatan mutu pendidikan tidak menutup partisipasi dan kontribusi masyarakat, dan (2) sasaran utaama program adalah untuk membebaskan biaya pendidikan bagi masyarakat miskin sehingga tidak terjadi putus sekolah. 2. Perlu rumusan formulasi alokasi dana yang lebih proporsional dengan melibatkan variabel jumlah siswa, 24

32 jumlah guru honor, lokasi sekolah dan kondisi sekolah. Khusus untuk sekolah tertentu seperti yang mempunyai jumlah siswa sedikit, yang memiliki banyak guru honor, banyak siswa miskin, sekolah khusus (SDLB atau SMPLB), sekolah yang berlokasi di daerah terpencil perlu memperoleh program/alokasi khusus dari APBN atau APBD. 3. Untuk menjamin bahwa sekolah dan yayasan tidak membuat keputusan penolakan BOS secara sepihak, penolakan sekolah yang tidak bersedia menerima BOS harus disertai surat keputusan hasil musyawarah antara sekolah dengan dewan gurum komite sekolah dan perwakilan orang tua murid 4. Pencairan dana seharusnya tidak dibebani dengan persyaratan-persyaratan tambahan yang memperpanjang birokrasi, kecuali yang sudah ditetapkan dalam buku pedoman. 5. Tidak diperlukan adanya pengaturan batas waktu pengambilan dana, mengingat kebutuhan sekolah tiap bulan tidak selalu sama. Disamping itu, perlu dipertegas bahwa pencairan dan penggunaan dana tidak dibatasi hanya satu semester saja. 25

33 BAB III DESENTRALISASI PENDIDIKAN 3.1. Kerangka Kebijakan Desentralisasi Pendidikan Sejak ditetapkan Undang-Undang no.22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami reformasi sistem pemerintahan yang sentralistis kepada pemerintahan yang lebih otonom dan terdesetralisasi. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah ini, ditetapkan pula Undang-Undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejak saat itu, dinamika pembangunan Indonesia dari sisi pemerintahan dan keuangan mengalami perubahan yang fundamental. Pemerintah daerah dengan kewenangan yang lebih luas dituntut untuk dapat mengoptimalkan pembangunan di daerahnya, dengan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang dimiliki untuk dapat menyelenggarakan otonomi daerah. Kemudian Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditetap sebagai pengganti kedua undang-undang di atas. 26

34 Tabel 3.1 Urusan Wajib Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Kabupaten/ Kota a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial lintas g. penanggulangan masalah sosial; kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sumber: Disarikan dari Undang-Undang No.32 Tahun k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 27

35 Berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004, pemerintah daerah memiliki otonom yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya terkecuali kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang- Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat 1. Sementara itu, urusan-urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota meliputi perencanaan dan pengendalian pembangunan, pelayanan umum, pendidikan, kesehatan, kependudukan dan pelayanan dasar lainnya. Secara umum urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota adalah sama, yang membedakan adalah cakupan urusannya dimana untuk provinsi lebih pada urusan-urusan yang mencakup lintas kabupaten/kota. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota secara detail disajikan pada tabel di atas. Berdasarkan undang-undang di ataslah desentralisasi pendidikan dilaksanakan. Sejumlah urusan dalam pembangunan bidang pendidikan didesentralisasikan kepada pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Gagasan desentralisasi pendidikan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru dalam pembangunan pendidikan. Melalui Undang-Undang Nomor 3 tahun 1947 daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya, 1 Urusan Pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah Pusat meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal nasional. (UU No.32 Tahun 2004, Pasal 10, ayat 3). 28

36 utamanya dalam bidang pertukangan dan kepandaian putri. Beberapa tahun kemudian melalui Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 dan PP Nomor 65 Tahun 1951 kewenangan pengelolaan pendidikan dasar berada pada pemerintah daerah. Dengan landasan hukum yang sama pula pihak swasta dapat turut serta dalam mendirikan sekolah. Secara konseptual desentralisasi pendidikan dapat diterjemahkan sebagai pendelegasian sebagian atau seluruh kewenangan di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pusat atau pejabat di bawahnya atau dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dari pemerintah kepada masyarakat (Catur Ratna, 2008). Sementara itu, Departemen Pendidikan Nasional mendefinisikan desentralisasi pendidikan dalam 2 definisi. Pertama, desentralisasi pendidikan dalam arti desentralisasi pemerintahan dalam bidang pendidikan. Dalam definisi ini diharapkan dengan desentralisasi pendidikan dapat mewujudkan pemerintahan daerah yang otonom dalam pengelolaan pendidikan. Kedua adalah desentralisasi pada satuan pendidikan. Dalam definisi ini desentralisasi pendidikan ditujukan untuk mewujudkan lembaga/satuan pendidikan yang mandiri dan profesional. Konsep desentralisasi pendidikan sendiri diharapkan dapat mencapai pengelolaan pendidikan yang efisien, demokratis dan berkeadilan. Secara umum kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam bidang pendidikan adalah dalam hal 29

37 penyelenggaraan pendidikan ditambah dengan kewenangan provinsi dalam hal alokasi sumber daya manusia potensial. Namun kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah (pusat), Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; pemerintah merumuskan kebijakan yang lebih detail dan bersifat teknis terutama berkaitan dengan kewenangan dalam urusan pendidikan. Kewenangan urusan pendidikan ini sendiri dibedakan atas 4 bidang, yaitu: Kebijakan, Pembiayaan, Kurikulum, Sarana Prasana, Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, serta Pengendalian Mutu Pendidikan (Detail Pembagian Urusan dimaksud terlampir). Dalam konteks pelaksanaan Program Wajardikdas 9 tahun, kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/ kota untuk pendidikan dasar dan menengah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 disusun sebagai berikut: 1. Bidang Kebijakan strategis di tingkat nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat, kebijakan strategis di tingkat provinsi kewenangan pemerintahan provinsi sementara kebijakan yang bersifat operasional menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. 2. Bidang Pembiayaan di tingkat nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat, pendidikan dasar dan menengah yang bertaraf internasional kewenangan pemerintah provinsi sementara pendidikan dasar dan 30

38 menengah secara umum menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/ kota. 3. Bidang Kurikulum ditetapkan oleh pemerintah pusat sementara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kewenangan dalam hal sosialisasi kurikulum sesuai kewenangannya masing-masing. 4. Bidang Sarana dan Prasarana merupakan kewenangan pemerintah pusat utamanya dalam hal monitoring dan evaluasi sementara dalam hal pengawasan menjadi kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya masingmasing. 5. Bidang Pendidik dan Tenaga Pendidikan secara nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat, pendidikan dasar dan menengah bertaraf internasional menjadi kewenangan pemerintahan provinsi sementara pendidikan dasar dan menengah menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. 6. Bidang Pengendalian Mutu pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten mempunyai kewenangan dalam hal penetapan, supervisi dan monitoring evaluasi sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Dengan pembagian kewenangan di atas, diharapkan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun (Wajardikdas 9 Tahun) dalam konteks desentralisasi dapat 31

39 mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah secara makro dan lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat secara mikro. Hal Ini sejalan dengan sasaran Wajardikdas 9 tahun utamanya dalam perluasan dan pemerataan akses pendidikan dasar 9 tahun Pembiayaan Dalam Kerangka Desentralisasi Pendidikan Desentralisasi Fiskal Sejalan dengan pembagian kewenangan di atas, juga dilaksanakan desentralisasi fiskal untuk mendukung pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi fiskal dicerminkan oleh adanya pos dana perimbangan dalam APBD daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dana perimbangan ini bersumber dari APBN dan dialokasikan kepada pemerintah daerah melalui beberapa mekanisme, yaitu: Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Perbantuan. Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah menyebutkan spesifikasi masing-masing komponen sebagai berikut: Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah 32

40 berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Dana Tugas Perbantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan. Sementara itu, pemerintah daerah juga memiliki sumber pendapatannya sendiri sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah, diantaranya pajak daerah, retribusi 33

41 daerah dan pendapatan lainnya. Sumber-sumber pembiayaan baik yang bersumber dari APBN maupun APBD inilah yang digunakan untuk membiayai pembangunan daerah sesuai dengan arah dan prioritas pembangunan di daerah. Mekanisme yang serupa juga berlaku bagi pembiayaan pembangunan pendidikan di daerah. Sumber-sumber seperti dana bagi hasil, DAU dan Pendapatan Asli Daerah dikumpulkan dalam pos pendapatan daerah dan dialokasikan ke tiap-tiap bidangtermasuk pendidikan- sesuai dengan arah dan prioritas daerah sementara sumber-sumber seperti DAK, Dana Dekonsentralisasi dan Dana Tugas Perbantuan dialokasikan pada bidang-bidang tertentu sesuai dengan peruntukkan yang telah ditentukan oleh pemerintah termasuk pembiayaan bidang pendidikan. 34

42 Gambar 3.1 Alur Pembiayaan Pendidikan Nasional APBN Belanja Pusat Belanja Daerah Depdiknas Depag K/L Lainnya Dekonsentrasi Tugas Perbantuan APBD-Prop DAU Bagi Hasil Perimbanga n Diknasprop DAK APBD- Kab/Kota Diknas Kab/Kota Block Dekon. Kab/ kota Dekon. APBD Satuan Pendidikan Tenaga Pendidik Peserta Didik Pembiayaan bidang pendidikan secara umum sejalan dengan mekanisme pembiayaan pembangunan daerah dalam kerangka desentralisasi di atas. Melalui prioritas tertentu dalam pembangunan di masing-masing daerah, bidang pendidikan memperoleh sumber pembiayaan dari komponen PAD, DAU dan dana bagi hasil. Sementara itu, bidang pendidikan secara khusus dibiayai pula oleh DAK, dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Perbantuan khusus untuk bidang pendidikan. Dana 35

43 Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan dialokasikan melalui mekanisme pembiayaan APBN kepada Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama yang dialokasikan kembali kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama mengalokasikan dana langsung kepada satuan pendidikan, tenaga pendidik maupun peserta didik melalui mekanisme block grant. Melalui mekanisme yang serupa, pembiayaan pendidikan juga dilaksanakan melalui mekanisme APBD Provinsi dan Kabupate/Kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Secara detail alur pembiayaan pembangunan bidang pendidikan seperti pada Gambar di atas Pembiayaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Program Wajardikdas 9 Tahun dapat dikatakan sebagai program yang krusial dapat pembangunan nasional utamanya dalam pembangunan jangka menengah Bahkan Program Wajardikdas ini dapat dikatakan sebagai program utama Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini dapat dilihat tidak saja dari alokasi anggaran untuk program Wajardikdas 9 Tahun yang terus meningkat setiap tahun tetap juga porsinya yang cukup besar dibandingkan dengan program-program lainnya yang dilaksanakan oleh Depdiknas. Dari Gambar berikut tampak bahwa porsi anggaran untuk Wajardikdas 9 tahun terus 36

44 mengalami peningkatan tiap tahunnya, dari 41,9 persen di tahun 2005 hingga mencapai 48,19 persen di tahun secara nominal anggaran Program Wajardikdas juga terus mengalami peningkatan dari Rp.10,82 Miliar di tahun 2005 hingga Rp.23,96 Miliar di tahun Gambar 3.2 Perkembangan Alokasi Anggaran Program Wajardikdas 9 Tahun Departemen Pendidikan Nasional Rp. Miliar Wajardikdas 9 Tahun Total Belanja Depdiknas % Anggaran Wajardikdas 9 Tahun 60% ,90% 50,15% 46,13% 48,19% 50% 40% % % % Sumber: 0% 37

45 Gambar 3.3 Komposisi Dana Alokasi Khusus (DAK) % 90% 80% Prasarana Pemerintahan 10,8% 4,2% 8,0% Pertanian Kelautan Perikanan 9,5% 6,7% 8,7% 6,4% 70% 60% 16,1% 15,5% Kesehatan 20,8% 19,8% 50% 23,0% 30,5% Pendidikan 40% 25,3% 30,4% 30% 20% Infrastruktur 10% 42,1% 38,3% 33,0% 29,5% 0% Keterangan: - Alokasi DAK bidang Pertanian sejak tahun Alokasi DAK Bidang Lingkungan Hidup sejak Alokasi Infrastruktur sejak tahun 2005 termasuk infrastruktur air bersih. Sumber: Departemen Keuangan, berbagai periode, diolah. Salah satu komponen yang erat kaitannya dengan Pelaksanaan Wajardikdas dalam kerangka desentralisasi adalah DAK bidang Pendidikan. DAK bidang pendidikan ini bersumber dari APBN dan dialokasikan ke daerah untuk membantu pembangunan dan rehabilitasi fisik sarana pendidikan khususnya 38

46 pendidikan dasar 9 tahun. Porsi alokasi DAK Pendidikan relatif cukup besar dibandingkan alokasi DAK untuk bidang lainnya. Dari Gambar berikut ini tampak bahwa sepanjang , porsi alokasi DAK Pendidikan rata-rata adalah 27,28 persen dari total alokasi DAK setiap tahun. Porsi ini tertinggi setelah DAK bidang Infrastuktur dengan porsi rata-rata sebesar 35,71 persen setiap tahunnya. DAK pendidikan sendiri sangat erat kaitannya dengan desentralisasi pendidikan. Pertama, karena alokasi DAK Pendidikan memprasyaratkan adanya Dana pendamping dari APBD yang besarnya minimal 10 persen dari alokasi dana DAK. Hal ini mendorong peran serta pemerintah daerah pembangunan bidang pendidikan, dalam hal ini rehabilitasi fisik. Kedua, DAK pendidikan diprioritaskan pada daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal relatif lebih rendah dibandingkan daerah lainnya di Indonesia 2. Ketiga, DAK Pendidikan diprioritaskan bagi daerah-daerah tertinggal dan terpencil, daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan, daerah rawan banjir, daerah rawan pangan serta kriteria-kriteria lainnya terkait dengan karakteristik daerah. Keempat, alokasi DAK Pendidikan dikelola langsung oleh sekolah sebagai satuan pendidikan terendah Anggaran Pemerintah Daerah 2 Tahun 2006 mengunakan acuan Indeks Fiskal Netto dibawah 1, sedangkan tahun 2007 menngunakan dasar penerimaan umum dikurangi belanja pegawai. 39

47 Salah satu tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk lebih mengoptimalkan pembangunan bidang pendidikan. Pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota memiliki kewenangannya masing-masing untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan pendidikan di daerahnya. Kewenangan yang lebih luas ini didukung pula oleh dukungan pembiayaan pemerintah, baik melalui kementerian/ lembaga terkait maupun melalui mekanisme dana perimbangan. Disamping itu, terdapat sumber-sumber pembiayaan baik yang bersumber dari APBD provinsi maupun APBD kabupaten/kota. Sejalan dengan desentralisasi pendidikan, masingmasing instansi dan tingkatan pemerintahan memainkan peranannya masing-masing dalam pembiayaan pendidikan. Dengan kata lain dengan prinsip money follow function, desentralisasi pendidikan tidak saja dapat dilihat dari pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota tetapi juga dari kontribusi masing-masing tingkat pemerintahan terhadap pembiayaan bidang pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi pemerintah kabupaten terhadap total belanja pendidikan dasar 9 tahun secara nasional. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat bahwa kontribusi rata-rata pemerintah kabupaten/ kota sepanjang mencapai di atas 50 persen. 40

48 Data Anggaran pendidikan di Era Desentralisasi Berbagai kebijakan juga dilahirkan dalam periode desentralisasi pendidikan. Salah satunya kebijakan dalam akuntansi pemerintahan. Berdasarkan Kepmendagri No.29 Tahun 2002, Struktur keuangan pemerintah daerah berubah dari sektoral-based menjadi economic-based. Hal ini menjadi isu tersendiri untuk menganalisis anggaran pendidikan tidak saja pada tingkat kabupaten/kota tetapi juga tingkat provinsi. Sebelum 2003, analisis terhadap anggaran sektoral lebih mudah dilaksanakan dengan data sekunder berupa pelaporan anggaran Provinsi atau kabupaten/kota yang terpublikasi di Departemen Keuangan ( Namun setelah 2003, sejalan dengan kebijakan struktur anggaran pemerintah data sekunder tersebut tidak lagi disajikan dalam struktur sektoral, namun menurut ekonomi. Untuk dapat menganalisis anggaran pemerintah pada bidang pendidikan secara lebih baik, dibutuhkan rincian anggaran yang ada di masing-masing kabupaten/kota. 41

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI DISAMPAIKAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN DALAM SOSIALISASI

Lebih terperinci

PROGRAM PENUNTASAN REHABILITASI SEKOLAH RUSAK

PROGRAM PENUNTASAN REHABILITASI SEKOLAH RUSAK PROGRAM PENUNTASAN REHABILITASI SEKOLAH RUSAK Prof. Suyanto, Ph.D. Direktur Jenderal DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2011 1 1 Penuntasan Pendidikan Dasar Sembilan

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 89 BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 SIMPULAN 5.1.1 Kebijakan pendidikan Sistem pendidikan di Indonesia, secara kebijakan maupun berdasarkan pengukuran desentralisasi dari OECD (1995), sudah dapat dikatakan

Lebih terperinci

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 5.1.Pendahuluan Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki potensi sumber daya yang sangat besar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk sumber daya alam tidak

Lebih terperinci

Analisis Kualifikasi Guru pada Pendidikan Agama dan Keagamaan

Analisis Kualifikasi Guru pada Pendidikan Agama dan Keagamaan Analisis Kualifikasi Guru pada Pendidikan Agama dan Keagamaan Oleh : Drs Bambang Setiawan, MM 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pasal 3 UU no 20/2003 menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN

KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN DEPUTI SESWAPRES BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN SELAKU SEKRETARIS EKSEKUTIF TIM NASIONAL

Lebih terperinci

PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011

PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011 PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011 ARAHAN WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN TINGKAT NASIONAL (MUSRENBANGNAS) 28 APRIL 2010

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017 Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017 - Direktur Otonomi Daerah Bappenas - Temu Triwulanan II 11 April 2017 1 11 April 11-21 April (7 hari kerja) 26 April 27-28 April 2-3 Mei 4-5 Mei 8-9 Mei Rakorbangpus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan salah satu indikator untuk kemajuan pembangunan suatu bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan salah satu indikator untuk kemajuan pembangunan suatu bangsa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingkat pencapaian pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu indikator untuk kemajuan pembangunan suatu bangsa. Bahkan pendidikan menjadi domain

Lebih terperinci

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008 Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008 Oleh : Asep Sjafrudin, M.Si 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sebagai jenjang terakhir dalam program Wajib Belajar 9 Tahun Pendidikan Dasar

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014 KATA PENGANTAR Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan merupakan rangkaian kegiatan dari programprogram

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan merupakan rangkaian kegiatan dari programprogram I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan merupakan rangkaian kegiatan dari programprogram di segala bidang secara menyeluruh, terarah, terpadu, dan berlangsung secara terus menerus dalam

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 1 Pembahasan 1. Makna Ekonomi Politik 2. Makna Pemerataan 3. Makna Mutu 4. Implikasi terhadap

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1.

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN REPUBLIK INDONESIA EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2009 Kata Pengantar Laporan Evaluasi

Lebih terperinci

C UN MURNI Tahun

C UN MURNI Tahun C UN MURNI Tahun 2014 1 Nilai UN Murni SMP/MTs Tahun 2014 Nasional 0,23 Prov. Sulbar 1,07 0,84 PETA SEBARAN SEKOLAH HASIL UN MURNI, MENURUT KWADRAN Kwadran 2 Kwadran 3 Kwadran 1 Kwadran 4 PETA SEBARAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor penyebab..., Rika Aristi Cynthia, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor penyebab..., Rika Aristi Cynthia, FISIP UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan mempunyai peranan penting di seluruh aspek kehidupan manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan kepribadian manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang

Lebih terperinci

PUSAT DISTRIBUSI DAN CADANGAN PANGAN BADAN KETAHANAN PANGAN RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN TAHUN 2015

PUSAT DISTRIBUSI DAN CADANGAN PANGAN BADAN KETAHANAN PANGAN RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN TAHUN 2015 PUSAT DISTRIBUSI DAN CADANGAN PANGAN BADAN KETAHANAN PANGAN RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN TAHUN 2015 Workshop Perencanaan Ketahanan Pangan Tingkat Nasional Tahun 2015

Lebih terperinci

Dr. Ir. Kemas Danial, MM Direktur Utama

Dr. Ir. Kemas Danial, MM Direktur Utama Dr. Ir. Kemas Danial, MM Direktur Utama KONDISI KOPERASI 1. Total Koperasi : 209.488 Unit 2. Koperasi Aktif : 147.249 Unit (NIK) dan didalamnya telah RAT sebanyak 80.000 Unit 3. Koperasi Tidak Aktif :

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan Asep Sjafrudin, S.Si, M.Si Jenjang Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama (MTs/SMP) memiliki peranan yang sangat penting

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

Rencana Induk Pengembangan E Government Kabupaten Barito Kuala Sistem pemerintahan daerah disarikan dari UU 32/2004 tentang

Rencana Induk Pengembangan E Government Kabupaten Barito Kuala Sistem pemerintahan daerah disarikan dari UU 32/2004 tentang BAB III SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN E-GOVERNMENT Sistem pemerintahan daerah disarikan dari UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Disini keterangan tentang pemerintah daerah diuraikan pada beberapa

Lebih terperinci

Pengantar Diskusi Kinerja APBD Sulsel. Oleh. Syamsuddin Alimsyah Koor. KOPEL Indonesia

Pengantar Diskusi Kinerja APBD Sulsel. Oleh. Syamsuddin Alimsyah Koor. KOPEL Indonesia 04/03/2012 Pengantar Diskusi Kinerja APBD Sulsel Oleh Syamsuddin Alimsyah Koor. KOPEL Indonesia Latar Belakang Provinsi Sulsel sebagai pintu gerbang Indonesia Timur?? Dari segi kesehatan keuangan suatu

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat

Lebih terperinci

PELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT

PELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT PELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT BAMBANG WIDIANTO DEPUTI BIDANG KESRA KANTOR WAKIL PRESIDEN RI APRIL, 2010 KLASTER 1: PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERSASARAN KELUARGA/RUMAH

Lebih terperinci

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014 HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat Tahun Ajaran 213/21 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 13 Juni 21 1 Ringkasan Hasil Akhir UN - SMP Tahun 213/21 Peserta UN 3.773.372 3.771.37 (99,9%) ya

Lebih terperinci

Yang Terhormat: 1. Menteri Kelautan RI / Eselon 1 di KKP. 2. Kepala Staf Kantor Kepresidenan. 3. Ketua Satgas IUU Fishing

Yang Terhormat: 1. Menteri Kelautan RI / Eselon 1 di KKP. 2. Kepala Staf Kantor Kepresidenan. 3. Ketua Satgas IUU Fishing SAMBUTAN PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM KEGIATAN RAPAT MONEV KOORDINASI DAN SUPERVISI GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM SEKTOR KELAUTAN 3 PROVINSI (SULAWES SELATAN, SULAWESI TENGAH

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional karena merupakan salah satu penentu kemajuan bagi suatu negara (Sagala, 2006).

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat

Lebih terperinci

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA Pendahuluan Policy Brief PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA 1. Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal tentang pentingnya peningkatan daya saing pertanian. Di tingkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan dilakukan perubahan dari dana APBN menjadi dana perimbangan. yang dilakukan melalui mekanisme transfer ke daerah dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. akan dilakukan perubahan dari dana APBN menjadi dana perimbangan. yang dilakukan melalui mekanisme transfer ke daerah dalam bentuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mulai tahun 2011 akan dilakukan perubahan dari dana APBN menjadi dana perimbangan yang dilakukan melalui mekanisme

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Pendidikan juga penting bagi terciptanya kemajuan dan kemakmuran

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROGRAM LISTRIK PERDESAAN DI INDONESIA: KEBIJAKAN, RENCANA DAN PENDANAAN Jakarta, 20 Juni 2013 DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KONDISI SAAT INI Kondisi

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif.

Lebih terperinci

DESKRIPTIF STATISTIK PONDOK PESANTREN DAN MADRASAH DINIYAH

DESKRIPTIF STATISTIK PONDOK PESANTREN DAN MADRASAH DINIYAH DESKRIPTIF STATISTIK PONDOK PESANTREN DAN MADRASAH DINIYAH Deskriptif Statistik Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pendataan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Tahun 2007-2008 mencakup 33 propinsi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah dilaksanakan pada 26 April 2016, pemerintah Jawa Tengah telah menentukan arah kebijakan dan prioritas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak negara di dunia, karena dalam negara maju pun terdapat penduduk miskin. Kemiskinan identik dengan

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DIY

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DIY KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DIY SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat ini

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI JAWA TIMUR

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI JAWA TIMUR KINERJA TATA KELOLA PROVINSI JAWA TIMUR SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH Oleh: DR. MOCH ARDIAN N. Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH 2018 1 2 KEBIJAKAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB 4 DANA DEKONSENTRASI DI PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

BAB 4 DANA DEKONSENTRASI DI PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH 64 BAB 4 DANA DEKONSENTRASI DI PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH 4.1 Alokasi dana dekonsentrasi Kementerian Pendidikan Nasional: Dalam Dokumen Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009,

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DKI JAKARTA

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DKI JAKARTA KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DKI JAKARTA SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BENGKULU

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BENGKULU KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BENGKULU SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI ACEH

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI ACEH KINERJA TATA KELOLA PROVINSI ACEH SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat ini

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) Disampaikan pada Kegiatan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi Jakarta, 01 Desember

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA DIREKTORAT FASILITASI DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1292, 2012 KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH. Dekonsentrasi. Kegiatan. Anggaran. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN

Lebih terperinci

IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 DALAM KERANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PENATAAN RUANG

IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 DALAM KERANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PENATAAN RUANG KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 DALAM KERANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PENATAAN RUANG Oleh : Ir. DIAH INDRAJATI, M.Sc Plt.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

PEMANTAUAN CAPAIAN PROGRAM & KEGIATAN KEMENKES TA 2015 OLEH: BIRO PERENCANAAN & ANGGARAN JAKARTA, 7 DESEMBER 2015

PEMANTAUAN CAPAIAN PROGRAM & KEGIATAN KEMENKES TA 2015 OLEH: BIRO PERENCANAAN & ANGGARAN JAKARTA, 7 DESEMBER 2015 PEMANTAUAN CAPAIAN PROGRAM & KEGIATAN KEMENKES TA 2015 OLEH: BIRO PERENCANAAN & ANGGARAN JAKARTA, 7 DESEMBER 2015 Penilaian Status Capaian Pelaksanaan Kegiatan/ Program Menurut e-monev DJA CAPAIAN KINERJA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

PEMBINAAN KELEMBAGAAN KOPERASI

PEMBINAAN KELEMBAGAAN KOPERASI Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia PEMBINAAN KELEMBAGAAN KOPERASI Oleh: DEPUTI BIDANG KELEMBAGAAN Pada Acara : RAPAT KOORDINASI TERBATAS Jakarta, 16 Mei 2017 ISI 1 PEMBUBARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Namun, sampai dengan saat ini masih banyak orang

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

Tahun), sampai saat ini pemerintah masih dihadapkan pada berbagai

Tahun), sampai saat ini pemerintah masih dihadapkan pada berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 6 mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

DRAF APK-APM PENDIDIKAN TAHUN 2017

DRAF APK-APM PENDIDIKAN TAHUN 2017 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan DRAF APK-APM PENDIDIKAN TAHUN 2017 Cutoff data tanggal 30-Nov-2017 PDSPK, Setjen Kemendikbud Jakarta, 11 Desember 2017 DRAF APK-APM PENDIDIKAN TAHUN AJARAN 2017/2018

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN TENTANG EVALUASI PELAKSANAAN BOS TINGKAT SDN DI KABUPATEN BANJAR KERJASAMA

RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN TENTANG EVALUASI PELAKSANAAN BOS TINGKAT SDN DI KABUPATEN BANJAR KERJASAMA RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN TENTANG EVALUASI PELAKSANAAN BOS TINGKAT SDN DI KABUPATEN BANJAR KERJASAMA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN, DAN PENGEMBANGAN KABUPATEN BANJAR DENGAN LEMBAGA PENELITIAN

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA TA 2017

PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA TA 2017 PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA TA 2017 PELAKSANAAN PENYALURAN 1. Penyaluran melalui KPPN dilaksanakan berdasarkan PMK nomor 112/PMK.07/2017 tentang Perubahan PMK nomor 50/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah telah melahirkan desentralisasi fiskal yang dapat memberikan suatu perubahan kewenangan bagi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan Modul ke: 12 Dosen Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Pendidikan Kewarganegaraan Berisi tentang Otonomi Daerah : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Hubungan Masyarakat A. Pengertian Otonomi Daerah

Lebih terperinci

Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014

Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014 Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014 Deputi Menteri Bidang SDM dan Kebudayaan Disampaikan dalam Penutupan Pra-Musrenbangnas 2013 Jakarta, 29 April 2013 SISTEMATIKA 1. Arah Kebijakan

Lebih terperinci

PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN RI PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN disampaikan pada: Sosialisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS REPUBLIK INDONESIA RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir akhir ini membawa dampak

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

DESKRIPTIF STATISTIK RA/BA/TA DAN MADRASAH

DESKRIPTIF STATISTIK RA/BA/TA DAN MADRASAH DESKRIPTIF STATISTIK RA/BA/TA DAN MADRASAH Deskriptif Statistik RA/BA/TA dan Madrasah (MI, MTs, dan MA) A. Lembaga Pendataan RA/BA/TA dan Madrasah (MI, MTs dan MA) Tahun Pelajaran 2007/2008 mencakup 33

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tonggak perubahan yang bergerak sejak tahun 1998 dengan pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan dalam aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor utama bagi pengembangan. sumber daya manusia. Karena pendidikan diyakini mampu meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor utama bagi pengembangan. sumber daya manusia. Karena pendidikan diyakini mampu meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor utama bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena pendidikan diyakini mampu meningkatkan sumber daya manusia untuk menciptakan

Lebih terperinci

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULAWESI SELATAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULAWESI SELATAN KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULAWESI SELATAN SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif.

Lebih terperinci