MENGAPA ANGKA PENGANGGURAN RENDAH DI MASA KRISIS?: Menguak Peranan Sektor Informal Sebagai Buffer Perekonomian 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MENGAPA ANGKA PENGANGGURAN RENDAH DI MASA KRISIS?: Menguak Peranan Sektor Informal Sebagai Buffer Perekonomian 1"

Transkripsi

1 MENGAPA ANGKA PENGANGGURAN RENDAH DI MASA KRISIS?: Menguak Peranan Sektor Informal Sebagai Buffer Perekonomian 1 Edy Priyono Drektur Pelaksana AKADEMIKA, Bekasi 1. Pengantar : Proyeksi Yang Salah Pada tahun 1998, Indonesia mulai merancang dan melaksanakan program penganggulangan dampak krisis yang dikenal dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Salah satu masalah yang paling mendasar dalam perancangan program JPS adalah bagaiman menentukan kelompok sasaran. Penentuan kelompok sasaran ini menjadi masalah, karena besaran (magnitude) dampak krisis belum diketahui. Bahwa ada dampak krisis, semua orang setuju dan bisa melihatnya hingga saat ini. Akan tetapi, seberapa besar dampak tersebut, sangat sulit untuk mengetahuinya akibat keterbatasan data. Persoalan tersebut sangat terasa di bidang ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran 2 yang terjadi memang dapat diamati dan dihitung secara kasar, tetapi dinamika pasar kerja secara keseluruhan tetap sulit untuk diteteksi. Survai Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survai Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 1998 baru bisa diketahui hasilnya paling cepat pada tahun Padahal, disisi lain, perencanaan dan pelaksanaan program JPS tidak bisa ditunda lagi. Dalam kondisi demikian, tidak ada jalan lain kecuali membuat proyeksi dampak krisis di pasar tenaga kerja, khususnya proyeksi jumlah penganggur. Beberapa pihak kemudian membuat proyeksi jumlah penganggur berdasarkan data dan alat analisis yang dikuasainya. Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) RI memproyeksikan jumlah pengangur pada tahun 1998 akan mencapai 13,7 juta, sedangkan Bappenas memproyeksikan jumlah 12,4 persen (lihat tabel 1). Secara umum, proyeksi ini dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa demand for labor akan turun sebagai implikasi menurunnya output nasional. Pada gilirannya, penurunan permintaan terhadap tenaga kerja akan meningkatkan jumlah penganggur 3. Meskipun ada juga pihak yang memperingatkan bahwa ledakan junlah penganggur ini belum tentu terjadi 4, tetap saja jauh lebih banyak pihak yang percaya bahwa akan terjadi pembengkakan angka penganguran pada tahun 1 Artikel ini dimuat di Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol 1, No. 2, Juli Menurut perkoraan Departemen Tenaga Kerja RI, hingga bulan Juni 1998 saja sudah ada sekitar 3,2 juta orang yang menjadi korban PHK. 3 Ini cocok denngan berbagai teks. Antara lain lihat Taylor (1995), Sharp et al (1998) serta Sharp dan Leftwich (1993). 1

2 1998 dan tahun-tahun berikutnya sebagai dampak krisis ekonomi yang terjadi mulai tahun sebelumnya. Data proyeksi inilah yang antara lain kemudian menjadi patokan penyusunan program dan alokasi dana dalam pelaksanaan program JPS. Akan tetapi, hasil perhitungan angka pengangguran menurut Sakernas 1998 ternyata jauh lebih rendah dibandingkan yang diproyeksikan sebelumnya. Tabel 1 menunjukkan, bahwa angka pengangguran pada tahun 1998 hanya 5,5 persen yang berkaitan dengan sekitar 5,1 juta penganggur. Angka ini jelas jauh lebih rendah dibandingkan dengan angka proyeksi mana pun di berbagai publikasi. Rendahnya angka pengangguran di satu sisi, sementara di sisi lain dampak krisi di pasar tenaga kerja begitu mudah diamati, akhirnya menimbulkan berbagai dugaan dan kecurigaan yang diarahkan kepada pemerintah. BPS dianggap telah memanipulasi perhitungan angka pengangguran untuk keperluan tertentu 5. Disamping itu, ini sebenarnya yang paling serius dari sekedar kecurigaan terjadinya manipulasi data, muncul pendapat yang pada intinya menyatakan, bahwa dampak krisis di pasar tenaga kerja tidak besar, ditunjukkan oleh rendahnya angka pengangguran merupakan bukti keberhasilan upaya pemerintah untuk menaggulangi dampak krisis di pasar tenaga kerja. PROYEKSI *: Depnaker Bappenas Task Force ILO-Jakarta Tabel 1. Beberapa Poyeksi Ketenagakerjaan 1998 dan kenyataanya Jumlah Penganggur (Juta) 13,7 12,4 9,3 Jumlah Angkatan Kerja (Juta) 92,6 91,5 92,6 Angka Pengangguran (%) 14,8 13,6 10,0 KENYATAAN **: BPS 5,1 92,7 5,5 * Lihat ILO-Jakarta Office, Employment Chalengees Of the Indonesian Economic Crisis ** Lihat BPS, Keadaan angkatan Kerja di Indonesia Agustus Silang pendapat seputar angka pengangguran tersebut memunculkan beberapa pertanyaan. Pertama, benarkah angka pengangguran setelah terjadi krisis ekonomi memang rendah? Kedua, kalau angka pengangguran memeng rendah, apakah itu berarti 4 Lihat artikel Ledakan Penganggur Belum Tentu Terjadi oleh Edy Priyono di koran Suara Pembaruan, Oktober Lihat antara lain komentar pengamat politik Didik J. Rachibini dan Martin Panggabean dalam Harian Suara Pembaharuan 3 April

3 tidak ada dampak krisis ekonomi terhadap pasar tenaga kerja? Ketiga, kalau tetap dipercaya bahwa ada dampak krisis dan dampak itu bukan tingginya angka pengangguran, lantas apa sebenarnya dampak krisis di pasar tenaga kerja? Makalah ini ditulis untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut. 2. Metode Penelitian Studi ini merupakan analisis data sekunder yang menggunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS). IFLS merupakan survai skala besar yang diselenggarakan oleh Lembaga Demografi FEUI bekerjasama dengan RAND. IFLS pertama (IFLS-1) dilaksanakan pada tahun 1993, sedangkan IFLS-2 dilaksanakan pada tahun1997. IFLS merupakan survai panel, sehingga rumah tangga sampel IFLS-2 merupakan responden pada survai IFLS-1. Seperti dimaklumi, tahun 1997 (tepatnya Juli 1997) sering dianggap sebagai awal periode krisis ekonomi di Indonesia. Khusunya untuk melihat dampak krisis ekonomi terhadap kehidupan rumah tangga Indonesia, pada tahun 1998 diadakan survai ulang sekitar 20 persen responden IFLS-2. IFLS yang diselenggarkan pada tahun 1998 disebut sebagai IFLS-2+. Studi ini menggunakan data responden panel IFLS-2 dan IFLS-2+. Responden yang digunakan adalah mereka yang berumur 15 tahun atau lebih. Dengan kata lain, yang menjadi responden penelitian ini adalah mereka yang burumur 15 tahun atau lebih yang diwawancarai pada tahun 1997 dan Jumlah total responden panel dalam studi ini adalah orang. Dibandingkan denngan studi-studi sejenis lainnya (termasuk yang menggunakan data Sakernas 1998 dan Susenas 1998), studi ini memiliki kekhasan pada penggunaan data responden panel. Dengan menganalisis dinamika responden panel, dampak sebuah kejadian (dalam hal ini : krisi ekonomi) dapat diamati secara lebih baik. Di samping keunggulannya dalam mengidentifikasi dampak sebuah kejadian (atau perlakuan), data responden panel juga mengandung kelemahan. Kelemahan yang dimaksud adalah ketidakmampuannya merepresentasikan populasi. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan jumlah dan karakteristik populasi, sementara sampel penelitian tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, studi ini tidak dimaksudkan untuk mengkonfirmasikan rate (angka) tertentu yang sudah dihitung oleh BPS, tetapi lebih kepada upaya untuk menjelaskan fenomena yang secara kasar tertangkap oleh statistik yang dikeluarkan oleh BPS, khususnya mengenai angka pengngguran. 3

4 Analisi mengenai dampak dampak krisis ekonomi ekonomi dalam studi ini dilakukan dengan cara membandingkan kondisi tahun 1997 (sebelum terjadi krisis) dengan kondisi tahun 1998 (ketika krisis berlangsung). Sangat disadari, bahwa metode analisis seperti ini mengandung sebuah kelemahan dalam bentuk asumsi bahwa berbagai perubahan yang terjadi pada periode memang disebabkan oleh krisis ekonomi, bukan oleh sebab lain. Meskipun denikian, tenggang waktu yang pendek (yakni hanya satu tahuan) cukup memberikan landasan yang kuat bagi peletakan sebuah asumsi bahwa faktor-faktor di luar krisis ekonomi tidak banyak mengalami perubahan. Di samping itu, sejauh dimungkinkan, analisi dilakukan denan cara membandingkan perubahan dengan pola umum yang terjadi, dengan sebuah pemikiran bahwa perubahan di luar pola umum merupakan dampak krisis ekonomi. 3. Temuan dan Analisis 3.1. TPAK Naik, Angka Pengangguran Turun Dengan menggunakan data IFLS, hasil perhitungan statistik ketenagakerjaan ternyata cenderung underestimated. Tabel 2 menunjukkan bahwa berdasarkan data tersebut, tingkat partisipasi angkatan kerja Indonesia (TPAK) pada tahun 1997 adalah sekitar 66 persen. Ini menunjukkan bahwa pada tahun 1997 sekitar 67 dari 100 penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) di Indonesia aktif dipasar tenaga kerja, sehingga dapat dikelompokkan ke dalam angkatan kerja. TPAK ini meningkatkan menjadi sekitar 70 persen pada tahun Hal ini menunjukkan, bahwa di masa krisis ekonomi, tenaga kerja di Indonesia semakin aktif di pasar kerja, dan bukan sebaliknya. Tabel 2. Perbandingan Beberapa Statistik Ketenagakerjaan 1997dan 1998 Berdasarkan Data IFLS Statistik TPAK (%) 66,5 69,5 Employment Rate (%) 94,56 96,83 Unemployment Rate (%) 5,44 3,17 Sumber : Data mentah IFLS (diolah) Konsisten dengan hasil perhitungan BPS, angka pengangguran 6 (unemployment rate) yang dihitung berdasarkan data IFLS ternyata juga rendah. Bukan hanya rendah, 6 Ada beberapa jenis pengangguran. Yang dimaksud dengan pengangguran di sini adalah pengangguran terbuka (open unemployment) 4

5 angka pengangguran justru mengalami penurunan di masa krsisi ekonomi. Penurunan terjadi dari sekitar 5,4 persen pada tahun 1997 menjadi sekitar 3,2 persen pada tahun Ini menunjukkan, bahwa bukan hanya tenaga kerja di Indonesia semakin aktif di asar kerja (ditunjukkan oleh perkembangan TPAK) di masa krisis, tetapi yang aktif di pasar tenaga kerja ternyata yang menganggur juga relatif semakin sedikit. Berdasarkan employment rate, terlihat bahwa pada tahun sebelum krisis ekonomi terjadi (1997) sekitar 95 diantara 100 angkatan kerja berstatus sebagai pekerja dan hanya sekitar lima orang yang menganggur. Sementara itu, pada tahuan dimasa krisis (tahun 1998) diantara 100 orang angkatan kerja yang berstatus sebagai pekerja adalah 97, sedangkan yang menganggur hanya dua. Kecenderungan semakin banyaknya orang yang bekerja berkaitan dengan meningkatnya partisipasi angkatan kerja seperti yang dijelaskan di atas. Tabel 3 menunjukkan, bahwa ketika terjadi krisis ekonomi, banyak responden yang sebelumnya tidak aktif di pasar kerja (bukan angkatan kerja) masuk ke pasar tenaga kerja sebagai pekerja. Terlihat bahwa sekitar 23 persen dari responden melakukan entry ke pasar kerja dan nyaris semuanya menjadi pekerja (22 persen dari responden). Tabel yang sama memperlihatkan, bahwa sangat sedikit responden yang mengalami perubahan status dari pekerja menjadi penganggur. Inilah yang menyebabkan angka pengangguran justru turun ketika krisis, karena pergeseran dari pekerja menjadi penganggur jauh lebih sedikit dibandingkan pergeseran dari bukan angkatan kerja ke pekerja ditambah dengan pergeseran dari penganggur ke pekerja. Bahkan, pergeseran dari pekerja menjadi penganggur masih lebih kecil dibandingkan dengan pergeseran dari penganggur ke pekerja. Tabel 3. Perubahan aktifitas responden panel Aktifitas 1997 Aktivitas 1998 Jumlah Persen Bekerja Bekerja ,1 Bekerja Menganggur 36 0,8 Bekerja Buka AK 319 7,0 Menganggur Bekerja 98 2,1 Menganggur Menganggur 22 0,5 Menganggur Buka AK 46 1,0 Bukan AK Bekerja ,5 Bukan AK Menganggur 43 0,9 Bukan AK Buka AK ,5 5

6 TOTAL ,0 Frekuensi missing = 5 Sumber: Data mentah IFLS (diolah) Kenyataan semakin banyaknya orang bekerja di masa krisis disebabkan oleh dorongan untuk mencukupi kebutuhan. Dengan semakin mahalnya harga barang dan jasa, tidak ada jalan lain bagi tenaga kerja kecuali berusaha untuk bekerja apa saja 7. Orang yang terkena PHK pun, terutama ketika uang pesangonnya sudah habis, akan berusaha matimatian memperoleh pekerjaan lain, karena di Indonesia tidak ada tunjangan penganggur (unemployment benefit). Analisis tersebut didukung oleh hasil analisis responden panel tentang karakteristik responden yang berubah status dari bukan angkatan kerja menjadi pekerja, seperti terlihat dalam Tabel 4. Tabel tersbut menunjukkan bahwa sekitar 35 persen dari mereka ternyata pada tahun 1998 bekerja di sektor informal 8 (usaha sendiri). Secara umum, sektor informal ini memberikan return yang kecil (apalagi dalam situasi krisis ekonomi), tetapi alternatif ini tetap harus diambil oleh tenaga kerja untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kalaupun tidak bekerja untuk memperoleh penghasilan, paling tidak, banyak orang yang terdorong untuk membantu anggota keluarga lain mencari uang, meskipun dia sendiri tidak dibayar (sebagai unpaid family worker). Tabel 4 juga menunjukkan, bahwa sebagian besar dari mereka (sekitar 43 persen), meskipun bekerja, tidak menerima upah karena sifat pekerjaannya hanya membantu orang lain (kemungkinan besar keluarganya) mencari uang. Dilihat dari karakteristik responden yang bergeser dari bukan angkatan kerja menjadi pekerja, juga terlihat bahwa sebagian besar di antara mereka merupakan usia kerja 9 (19-55 tahun) dari sebagian besar diantara mereka sebelum krisis memiliki aktifitas utama mengurus rumah tangga. Pola mobilisasi tenaga kerja menjadi terlihat dengan jelas, yakni ketika terjadi krisis, banyak orang yang sebelumnya hanya mengurus rumah tangga, kemudian dilibatkan untuk membantu mencari uang (tanpa dibayar). Menarik untuk dilihat, bahwa tenaga kerja yang sebelum krisis sebenarnya sudah berada di luar angkatan kerja karena pensiun, ternyata kembali masuk ke pasar kerja sebagai pekerja ketika terjadi krisis. Dilihat dari sisi umur, sekitar 18 persen responden 7 Ini menguatkan hipotesis luxury unemployment. Antara lain lihat Manning (1998). 8 Sebenarnya usaha sendiri di data IFLS tidak secara sempurna mencerminkan sektor informal, karena didalamnya bisa termasuk usaha dibantu buruh tetap yang secara umum dikategorikan sebagai sektor formal. Akan tetapi, proporsi usaha dibantu buruh tetap biasanya sangt kecil, sehingga status usaha sendiri dapat dikatakan identik dengan sektor informal. 9 Usia kerja didefinisikan demikian, karena usia 18 tahun ke bawah dianggap sebagai usia sekolah dan usia di atas 55 tahun merupakan usia pensiun umumnya di Indonesia. 6

7 yang kembali bekerja merupakan mereka yang usianya di atas 55 tahun. Disamping itu, dari data aktivitas tahun 1997, terlihat bahwa sekitar 11 persen dari mereka ternyata sebelumnya sudah pensiun (tidak aktif di pasar kerja). Dilihat lebih mendalam, sekitar 55 persen diantara responden usia pensiun yang kembali ke pasar kerja ternyata bekerja sebagai pengusaha mandiri. Ini berarti ketika krisis terjadi, banyak orang yang sudah memasuki usia pensiun (tetapi masih mampu bekerja) kembali bekerja untuk menghasilkan uang. Tabel 4. Karakteristik Responden yang Bukan AK tahun 1997 Tapi Bekerja Tahun 1998 Karakteristik Jumlah Persentase 1. Umur Tahun Tahun > 55 Tahun TOTAL 2. Daerah Tempat Tinggal Perkotaan Pedesaan TOTAL 3. Pendidikan Terakhir Tidak sekolah SD SLTP SLTA Perguruan tinggi TOTAL 4.Aktifitas 1997 Sekolah Mengurus rumah tangga Pensiun Lainnya TOTAL 4. Status Pekerjaan 1998** Berusaha sendiri Karyawan swasta Pekerja tak dibayar TOTAL *** * : Ada frekuensi missing =21 ** : Pilihan jawaban karyawan pemerintah frekuensi = 0 *** : Ada frekuensi missing = 14 Sumber: Data mentah IFLS (diolah) 16,7 64,6 18,7 100,0 38,0 62,0 100,0 44,3 29,1 24,5 1,6 0,5 100,0 12,6 65,5 10,6 11,3 100,0 35,3 21,9 42,7 100,0 Selain penduduk usia tua, penduduk usia sekolah juga dilibatkan di pasar kerja. Sekitar 17 persen dari mereka yang berubah status dari bukan angkatan kerja menjadi 7

8 pekerja berusia kurang dari 18 tahun. Ini senada dengan kenyataan bahwa sekitar 13 persen dari mereka yang berubah status, pada tahun 1997 memiliki aktivitas sebagai pelajar (bersekolah). Sebagian besar (58 persen) dari mereka yang berusia sekolah tersbut bekerja tanpa dibayar, sehingga mudah diduga mereka menjadi pekerja karena membantu keluarga (terutama orang tua) dalam mencari uang. Jika benar demikian, kemungkinan besar mereka tak harus meninggalkan sekolah ketika harus bekerja membantu keluarga. Meskipun demikian, ada juga yang menjadi pengusaha atau karyawan swasta yang kemungkinan besar mengharuskan mereka untuk meninggalkan sekolah (jika sebelumnya masih sekolah). Kenyataan bahwa mayoritas (43) persen dari mereka yang masuk ke pasar kerja sebagai pekerja itu berstatus sebagai pekerja tak dibayar perlu mendapat catatan khusus. Status sebagai pekerja tak dibayar tidak berimplikasi pada penghasilan individu bersangkutan, dan belum tentu meningkatkan produktivitas usaha dimana dia bekerja. Dalam banyak kasus usaha keluarga, mereka bekerja bukan karena memang diperlukan bantuannya, tetapi lebih karena alasan daripada menganggur. Akibatnya, meskipun secara statistik ada tambahan jumlah pekerja, tidak ada jaminan bahwa kesejahteraan rumah tangga meningkat. Secara makro, sekali lagi penting untuk dicatat, bahwa peningkatan employment rate (atau penurunan unemployment rate) tidak merupakan petunjuk bahwa telah terjadi peningkatan kesejarteraan penduduk dimasa krisis 10. Sebaliknya, penurunan angka pengangguran ini merupakan implikasi memburuknya kondisi perekonomian rumah tangga yang membuat banyak orang tak punya pilihan lain kecuali mencoba bekerja mencari nafkah atau, paling tidak bekerja (baik menjadi penganggur atau tidak aktif di pasar kerja sama sekali). Mereka tetap bisa hidup karena ada transfer dari anggota keluarga lain atau dengan melakukan dissaving Dampak Krisis Ekonomi Paparan di bagian terdahulu jelas menunjukkan bahwa dampak krisi ekonomi sama sekali tidak dicerminkan oleh tingginya angka pengangguran. Angka pengangguran justru turun ketika terjadi krisis ekonomi. Akan tetapi, sangat naif jika kemudian dikatakan bahwa pasar kerja di Indonesia ternyata baik-baik saja di masa krisis. Berbagai perubahan yang terjadi selama krisis ekonomi akan ditunjukkan oleh paparan berikut ini. 10 Bandingkan dengan fenomena pengangguran di negara maju. Antara lain lihat Becker (1997) 8

9 a. Perubahan Status Pekerjaan Dampak krisis ekonomi dihipotesiskan akan terlihat pada perubahan struktur pekerja menurut status pekerjaan. Secara lebih spesifik, diduga akan terjadi sektor infomal sebagai implikasi merosotnya daya serap sektor formal di satu sisi, dan tekanan bagi tenaga kerja untuk terus bekerja di sisi lain. Tabel 5 menunjukkan, bahwa tidak terjadi perubahan dramatis dalam struktur pekerja menurut status pekerjaan diantara responden panel antara tahun 1997 (sebelum krisis) dengan tahun 1998 (setelah krisis). Memang terjadi kenaikan persentase pekerja tak dibayar dari sekitar 16 persen menjadi sekitar 20 persen, tetapi pada saat yang sama terjadi penurunan persentase pekerja yang berusaha sendiri dari sekitar 47 persen menjadi 44 persen. Sementara itu, kelompok status pekerjaan lain (karyawan pemerintah dan karyawan swasta) praktis tak menunjukkan perubahan berarti. Dapat dikatakan, bahwa tidak terjadi perubahan struktur pekerja menurut status pekerjaan dimasa krisis ekonomi. Tabel 5. Perubahan Distribusi Pekerja Menurut Status Pekerjaan Responden Panel (%) Status Pekerjaan Berusaha sendiri 47,1 44,0 Karyawan Pemerintah 7,5 7,1 Karyawan Swasta 29,0 29,2 Pekerja Tak Dibayar 16,4 19,7 TOTAL 100,0 100,0 Sumber: Data mentah IFLS (diolah) Meskipun tak terlalu terlihat dalam struktur pekerja menurut status pekerjaan, dinamika status pekerjaan sebenarnya terjadi terjadi selama krisis ekonomi. Tabel 6 menunjukkan bahwa sekitar 20 persen dari pekerja yang berusaha sendiri sebelum krisis ekonomi, berubah menjadi karyawan swasta atau pekerja tidak dibayar di masa krisis ekonomi. Diduga, pergeseran ini terjadi akibat bangkrutnya sebagian usaha informal. Pergeseran ke arah karyawan swasta tak bisa langsung diklaim sebagai perpindahan ke sektor formal, karena kuat dugaan bahwa status sebagai karyawan swasta disini tetap dalam lingkup usaha informal. Sementara itu, pergeseran ke arah status pekerja tak dibayar menunjukkan bahwa kegiatan itu dilakukan sekedar asal tidak mengganggur. Pergeseran dari yang semula bekerja sebagai karyawan pemerintah tidak besar. Adanya sekotar 11 persen karyawan pemerintah yang bergeser status menjadi karyawan swasta diduga disebabkan oleh kembalinya pensiunan ke pasar kerja. Biaya hidup yang 9

10 semakin tinggi menyebabkan sebagian pensiunan tak cukup hidup dengan mengandalkan uang pensiun. Dalam kondisi demikian, kembali bekerja sebagai karyawan merupakan salah satu alternatif yang bisa diambil. Perubahan yang cukup besar terjadi terhadap mereka yang sebelum krisis terjadi bekerja sebagai karyawan swasta. Sekitar 38 persen diantara mereka berubah status setelah terjadi krisis ekonomi. Sebagian besar diantara mereka yang berubah status, berubah menjadi pengusaha mandiri. Inilah fenomena yang dapat diamati secara sederhana dalam lingkup yang kecil, dimana banyak korban PHK yang mencoba memperbaiki nasib dengan membuka usaha secara informal dalam skala kecil. Perubahan paling mendasar dialami oleh mereka yang sebelumnya terjadi krisis ekonomi bekerja sebagai pekerja tak dibayar. Sekitar 34 persen dari mereka berubah status pekerjaannya pada masa krisis ekonomi. Perubahan terbesar mengarah kepada status pekerjaan berusaha sendiri, kemudian menyusul perubahan menjadi karyawan swasta. Mudah diduga, bahwa krisis ekonomi menyebabkan tekanan yang lebih besar untuk mendapatkan uang, sehingga banyak pekerja tak dibayar yang kemudian berubah status menjadi pekerja yang dibayar atau denngan penghasilan. Pembahasan ini menunjukkan, bahwa dinamika status pekerjaan dimasa krisis tidak terlalu terlihat, jika yang digunakan adalah struktur pekerja menurut status pekerjaan. Ini tidak berarti krisis tidak berdampak pada perubahan status pekerjaan, tetapi perubahan status pekerjaan ini tidak terjadi dengan pola yang seragam. Status Pekerjaan 1997 Tabel 6 Persentase Responden yang Bekerja 1997 Menurut Status Pekerjaan 1997 dan 1998 Status Pekerjaan 1998 Usaha Kary. Kary. Tidak TOTAL Sendiri Pemerintah Swasta Dibayar Usaha Sendiri 79,2 0,4 11,5 8,9 100,0 Kary. Pemerintah 2,4 85,9 11,3 0,4 100,0 Kary. Swasta 17,2 3,2 72,1 7,5 100,0 Tidak Dibayar 20,9 0,6 12,7 65,8 100,0 Sumber: Data mentah IFLS (diolah) b. Perubahan Jam Kerja Utama Jam kerja merupakan gambaran intensitas kerja. Rata-rata jam kerja per minggu pada pekerjaan utama responden panel dalam studi ini ternyata mengalami penurunan dari 10

11 rata-rata sekitar 39 jam perminggu menjadi sekitar 34 jam per minggu. Hal ini menunjukkan bahwa selama terjadi krisis ekonomi, intensitas orang bekerja pada pekerjaan utamanya berkurang. Pada skala mikro, pengurangan jam kerja ini antara lain disebabkan adannya pekerja yang dirumahkan selama krisis atau junlah shift kerja yang berkurang di banyak perusahaan yang bergerak di industri manufaktur. Analisis juga dapat dilakukan dengan melakukan pengelompokkan responden ke dalam tiga kategori, yaitu: underemployment (jam kerja < 35 jam seminggu), fullempleyment (jam kerja 35 s/d 60 jam seminggu) dan overempleyment 11 (jam kerja lebih dari 60 jam seminggu). Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase underemployment naik dari sekitar 62 persen menjadi sekitar 67 persen ketika terjadi krisis ekonomi. Pada saat yang sama, persentase pekerja fullemployed dan overemployed mengalami penurunan. Analisis ini mengkonfirmasikan penurunan rata-rata jam kerja pada pekerjaan utama yang disebut sebelumnya. Tabel 7 Distribusi Pekerja Menurut Intensitas Kerja Di Pekerjaan Utama Responden Panel (%) Intensitas Underemployed 62,1 67,1, Fullemployed 29,7 26,0 Overemployed 8,2 7,0 Sumber: Data mentah IFLS (diolah) c. Perubahan Kepemilikan Pekerjaan Sampingan Kepemilikan pekerjaan sampingan merupakan salah satu variabel yang menunjukkan perubahan besar ketika terjadi krisi ekonomi. Hasil pengolahan data IFLS menunjukkan bahwa sebelum terjadi krisis ekonomi (tahun1997) hanya sekitar 20 persen responden yang menyatakan memilki pekerjaan sampingan. Persentase ini meningkat drastis menjadi sekitar 75 persen pada periode krisi ekonomi (tahun 1998). Kenyataan tersebut diatas menunjukkan bahwa mencari pekerjaan sampingan merupakan salah satu cara yang dipakai oleh masyarkat untuk mengatasi krisi ekonomi. Seperti dijelaskan dibagian lain tulisan ini, krisis ekonomi benar-benar memaksa orang untuk bekerja lebih keras lagi guna mencukupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi akibat inflasi. 11

12 d. Perubahan Penghasilan. Secara umum, Tabel 8 menunjukkan bahwa para pekerja mengalami kenaikan penghasilan nominal pada periode krisis ekonomi, yakni rata-rata sekitar Rp 195 ribu sebulan menjadi sekitar Rp 270 ribu, atau naik sekitar 38 persen. Meskipun demikian, kenaikan penghasilan nominal ini masih lebih rendah dibandingkan dengan laju inflasi pada periode krisis (sekitar 70 persen). Ini berarti, rata-rata pekerja yang menjadi sampel studi ini mengalami kemerosotan penghasilan riil sekitar 32 persen. Ada dua informasi penghasilan yang bisa diperoleh dari data IFLS, yakni penghasilan untuk status pekerjaan karyawan (swasta maupun pemerintah) dan informasi penghasilan untuk status pekerjaan berusaha sendiri. Krisis ekonomi ternyata memberikan dampak yang berbeda pada pekerja di dua status pekerjaan tersebut. Tabel 8 menunjukkan, bahwa rata-rata penghasilan pekerja berstatus karyawan cenderung tetap (sekitar Rp 255 ribu sebulan), sementara penghasilan pekerja yang berusaha sendiri mengalami peningkatan dari sekitar Rp 144 ribu sebulan menjadi Rp 282 ribu sebulan (naik hampir 100 persen). Hal ini menginsyaratkan bahwa pekerja dengan status pekerjaan karyawan sama sekali tak mampu meng-adjust laju inflasi, sementara yang berstatus sebagai usaha sendiri mampu melakukannya. Kenaikan rata-rata penghasilan kelompok pekerja yang berusaha sendiri bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan laju inflasi. Dengan kata lain, ada indikasi bahwa kelompok responden yang berusaha sendiri justru mampu memetik manfaat di tengah krisis ekonomi. Tabel 8. Rata-rata Penghasilan Nominal per Bulan Dari Pekerjaan Utama Responden Panel (Rp) Kelompok Responden Pekerja: Karyawan Berusaha sendiri Sumber: Data mentah IFLS (diolah) Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan a. Hasil studi ini menunjukkan bahwa krisis ekonomi sama sekali tidak berimplikasi pada tingginya angka pengangguran. Dalam kondisi demikian, memaksakan diri untuk 11 Hipotesisi overemployment dapat dilihat antara lain dalam Killingsworth (1983) 12

13 menggunakan angka pengangguran sebagai salah satu indikator dampak krisis ekonomi akan berimplikasi pada dua hal, yaitu kehilangan sense of crisis atau pengabaian prinsip-prinsip statistik ketenagakerjaan. Sudah waktunya angka pengangguran tidak lagi sebagai indikator untuk melihat dinamika pasar tenaga kerja di negara sedang berkembang (termasuk Indonesia) dimana peranan sektor informal sangat besar, khususnya jika dikaitkan dengan krisis ekonomi. Diperlukan sebuah pemahaman baru terhadap situasi ketenagakerjaan di Indonesia, bahwa masalahnya bukanlah orang bekerja ataukah tidak bekerja, melainkan kesejahteraan pekerja. b. Dampak krisis ekonomi di pasar tenaga kerja yang paling nyata adalah turunnya pendapatan riil, khususnya bagi mereka yang berstatus karyawan. Penurunan ini merupakan dampak langsung kenaikan harga barang dan jasa, bukan akibat penurunan pendapatan nominal. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa persoalan ketenagakerjaan tidak selesai ketika seseorang sudah bekerja. Status sebagai pekerja tidak memberikan jaminan bahwa dia sejahtera, dan status sebagai penganggur tidak selalu berarti bahwa dia miskin. Implikasinya, menjadikan penganggur sebagai kelompok sasaran utama dalam program penanggulangan krisis merupakan langkah yang menyesatkan. Berdasarkan situasi obyektif pasar tenaga kerja di Indonesia, kelompok yang paling memerlukan perhatian adalah yang sudah bekerja tetapi tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan. c. Di masa krisis, tenaga kerja melakukan mekanisme penyesuaian dengan cara mencari pekerjaan sampingan. Hal itu mengklarifikasikan peranan signfikan sektor informal sebagai penyangga (buffer) dalam perekonomian. Meski tak secara khusus dipelajari dalam studi ini, hal itu berimplikasi pada curahan waktu yang semakin besar di pasar tenaga kerja. Salah satu indikasinya adalah relatif banyak ibu rumah tangga yang terjun ke pasar kerja sebagai pekerja, serta banyak pekerja tidak dibayar yang berubah status menjadi pengusaha mandiri. Dalam kondisi demikian, tugas pemerintah adalah menghilangkan berbagai kebijakan yang dapat dikonotasikan sebagai entry barrier ke pasar kerja. Selain itu, berbagai pihak sebaiknya berhati-hati dalam membuat proyeksi ketenagakerjaan yang mengkaitkan angka pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi. 13

14 DAFTAR PUSTAKA Becker, Gary S., The Economics of Life. Mc Graw-Hill Book. Biro Pusat Statistik, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus ILO-Jakarta Office, Employment Challenges of the Indonesian Economic Crisis. Killingsworth, M.R., Labor Supply. Cambridge University Press. Manning, Indonesian Labour in Transition: An East Asian Success Story?. Cambridge University Press. Sharp, A.M, Register, C.H, dan Grimes, P.W., Economics of Social Issues. Thirteenth Edition. Irwin-McGraw-Hill. Sharp, A.M., dan Leftwich, R.H., Economics of Social Issues. Seventh Edition. Business Publication Inc. Taylor, J.B., 995. Principles of Macroeconomics. Houghton Mifflin Company. 14

SITUASI KETENAGAKERJAAN INDONESIA DAN TINJAUAN KRITIS TERHADAP KEBIJAKAN UPAH MINIMUM 1

SITUASI KETENAGAKERJAAN INDONESIA DAN TINJAUAN KRITIS TERHADAP KEBIJAKAN UPAH MINIMUM 1 SITUASI KETENAGAKERJAAN INDONESIA DAN TINJAUAN KRITIS TERHADAP KEBIJAKAN UPAH MINIMUM 1 Edy Priyono Direktur Eksekutif AKADEMIKA, Bekasi (akademika@dnet.net.id) 1. Pendahuluan Dapat dikatakan, bahwa hingga

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat Keadaan Ketenagakerjaan No. 69/11/76/Th. XI, 6 November BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Di Provinsi Sulawesi Barat : Tingkat Pengangguran Terbuka di Sulawesi Barat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius

I. PENDAHULUAN. menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan pada umumnya menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius (Depnakertrans, 2004a).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

[ OPISSEN YUDISYUS ]

[ OPISSEN YUDISYUS ] Ada pendapat yang mengatakan bahwa proses yang mempercepat pembangunan ekonomi adalah jumlah penduduk yang besar. Namun, ada yang berpendapat lain yaitu jumlah penduduk yang sedikit justru mempercepat

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 74/11/35/Th. XIV, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA JAWA TIMUR SEBESAR 4,21 PERSEN Jumlah angkatan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 78//35/Th. XIII, 5 November 05 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 05 AGUSTUS 05: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA JAWA TIMUR SEBESAR 4,47 PERSEN Jumlah angkatan kerja di

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2008 SEBESAR 6,04 PERSEN

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2008 SEBESAR 6,04 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2008 SEBESAR 6,04 PERSEN No. 17/05/34/Th. X, 15 Mei 2008 Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA AGUSTUS 2016 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 65/11/12/Th. XIX, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,84 PERSEN angkatan kerja di Sumatera

Lebih terperinci

Penambahan Angkatan Kerja Baru di Provinsi Jawa Tengah

Penambahan Angkatan Kerja Baru di Provinsi Jawa Tengah Penambahan Angkatan Kerja Baru di Provinsi Jawa Tengah Erisman, M.Si, Kabid Statistik Sosial, BPS Provinsi Jawa Tengah Data Penduduk Yang Digunakan Mulai tahun 2014 angka penduduk yang digunakan adalah

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2015 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 35/05/12/Th XVIII, 05 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SUMATERA UTARA SEBESAR 6,39 PERSEN. angkatan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS No. 69/11/76/Th.X, 7 November AGUSTUS : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SULAWESI BARAT SEBESAR 3,33 PERSEN Penduduk usia kerja di Sulawesi Barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hal ini dapat tercapai bila jumlah supply tenaga kerja yang besar

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hal ini dapat tercapai bila jumlah supply tenaga kerja yang besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Jumlah penduduk dan angkatan kerja yang besar merupakan

Lebih terperinci

SITUASI KETENAGAKERJAAN INDONESIA *) FEBRUARI 2005

SITUASI KETENAGAKERJAAN INDONESIA *) FEBRUARI 2005 No. 37 / VIII / 1 Juli SITUASI KETENAGAKERJAAN INDONESIA *) FEBRUARI Jumlah angkatan kerja Februari mencapai 105,8 juta orang, bertambah 1,8 juta orang dibanding Agustus sebesar 104,0 juta orang. Jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus

I. PENDAHULUAN. mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu hal yang sangat esensial dalam usaha memajukan perekonomian bangsa. Usaha yang dimaksud dalam bidang ini adalah penyediaan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, FEBRUARI 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, FEBRUARI 2013 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 34/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, FEBRUARI 2013 FEBRUARI 2013 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA JAWA TIMUR SEBESAR 4,00 PERSEN Jumlah angkatan kerja

Lebih terperinci

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN PEMANFAATAN TENAGA KERJA DI PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2000 DAN 2004

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN PEMANFAATAN TENAGA KERJA DI PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2000 DAN 2004 ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN PEMANFAATAN TENAGA KERJA DI PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2000 DAN 2004 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi Oleh

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 20/05/34/Th. XI, 15 Mei 2009 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional

Lebih terperinci

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * Oleh: Kecuk Suhariyanto, Badan Pusat Statistik Email: kecuk@mailhost.bps.go.id 1. PENDAHULUAN Menjelang berakhirnya tahun 2007, 52

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2015 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 71 /11/76/Th.IX, 5 November KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS AGUSTUS : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SULAWESI BARAT SEBESAR 3,35 PERSEN Jumlah penduduk usia kerja di Sulawesi

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI No. 31/05/21/Th. VI, 5 Mei 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN FEBRUARI 2011 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI SEBESAR 7,04 PERSEN Jumlah

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI DI KOTA YOGYAKARTA, NAMUN JUMLAH PENGANGGUR TERBANYAK

TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI DI KOTA YOGYAKARTA, NAMUN JUMLAH PENGANGGUR TERBANYAK BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 03/01/34/Th.X, 02 Januari 2008 SAKERNAS AGUSTUS 2007 MENGHASILKAN ANGKA PENGANGGURAN PERBANDINGAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI DIY : TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. of The Republic of Indonesia. Jakarta, 1992, page 18. Universitas Indonesia. Pengaruh upah minimum..., Gianie, FE UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. of The Republic of Indonesia. Jakarta, 1992, page 18. Universitas Indonesia. Pengaruh upah minimum..., Gianie, FE UI, 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Setiap kali perekonomian suatu negara mengalami guncangan (shock), masyarakat langsung terkena imbasnya. Biasanya harga-harga kebutuhan pokok yang mencerminkan tingkat

Lebih terperinci

Potret Ketenagakerjaan Indonesia: Komposisi Penduduk Usia Kerja. uzairsuhaimi.wordpress.com

Potret Ketenagakerjaan Indonesia: Komposisi Penduduk Usia Kerja. uzairsuhaimi.wordpress.com Potret Ketenagakerjaan Indonesia: Komposisi Penduduk Usia Kerja uzairsuhaimi.wordpress.com Artikel ini menyajikan potret ketenagakerjaan di Indonesia secara menyeluruh dengan fokus pada komposisi penduduk

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2014 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 06/05/18/Th.VII, 5 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,05 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini Indonesia sedang menikmati manfaat demografis dimana populasi penduduk usia kerja tumbuh lebih cepat daripada populasi anak- anak dan lanjut usia. Berdasarkan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 67/11/34/Th.XVII, 5 November KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA AGUSTUS TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN Hasil Survei Angkatan Kerja

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 BPS PROVINSI JAWA TIMUR KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 No. 33/05/35/Th.XV, 5 Mei 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,10 PERSEN Penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Timur

Lebih terperinci

BPS PROVINSI DKI JAKARTA

BPS PROVINSI DKI JAKARTA BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 55/11/31/Th.XVI, 5 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2014 AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 8,47 PERSEN Jumlah angkatan kerja di

Lebih terperinci

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, Kemiskinan Termasuk bagian penting dari aspek analisis ketenagakerjaan adalah melihat kondisi taraf kehidupan penduduk, yang diyakini merupakan dampak langsung dari dinamika ketenagakerjaan. Kemiskinan

Lebih terperinci

Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia

Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia Ringkasan Eksekutif Laporan Penelitian Tim Peneliti SMERU Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia Laporan dari Lembaga Penelitian SMERU,

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERENCANAAN TENAGA KERJA TERHADAP KEBUTUHAN TENAGA KERJA DI KOTA PEKANBARU TAHUN 2008 S.D 2012 ABSTRAK

HUBUNGAN PERENCANAAN TENAGA KERJA TERHADAP KEBUTUHAN TENAGA KERJA DI KOTA PEKANBARU TAHUN 2008 S.D 2012 ABSTRAK HUBUNGAN PERENCANAAN TENAGA KERJA TERHADAP KEBUTUHAN TENAGA KERJA DI KOTA PEKANBARU TAHUN 2008 S.D 2012 Sri Maryanti dan Liviawati Fakultas Ekonomi Universitas Lancang Kuning Pekanbaru ssrimaryanti@yahoo.com

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2015 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 33/05/73/Th. IX, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2015 Struktur ketenagakerjaan di Provinsi Sulawesi Selatan berfluktuasi dari tahun ke tahun.

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 28/05/61/Th. XIV, 7 Mei 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT 2012: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sebesar 3,4 persen Jumlah angkatan kerja pada 2012

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 33 /05/76/Th.IX, 5 Mei KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI FEBRUARI : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SULAWESI BARAT SEBESAR 1,81 PERSEN Pada bulan, jumlah angkatan kerja di Sulawesi

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2016 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 28/05/73/Th. X, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2016 Struktur ketenagakerjaan di Provinsi Sulawesi Selatan berfluktuasi dari tahun ke tahun.

Lebih terperinci

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN Adi Setiyanto PENDAHULUAN Tenaga kerja merupakan motor penggerak dalam pembangunan ekonomi. Tenaga kerja sebagai sumber daya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS Tenaga Kerja, Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS Tenaga Kerja, Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pengertian pengertian 2.1.1. Tenaga Kerja, Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja Banyak hal mengenai kehidupan sosial di suatu Negara / masyarakat dapat dijabarkan jika diketahui

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015 No. 27/05/Th.XVIII, 5 Mei 2015 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 7,73 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2017 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 30/05/12/Th. XX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,41 PERSEN angkatan kerja di Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama pemerintah dari masa ke masa. Permasalahan ini menjadi penting mengingat erat kaitannya dengan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

Ketenagakerjaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Ketenagakerjaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Katalog BPS : 2301003.34 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Statistik BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. terdahulu oleh Arifatul Chusna (2013) dalam penelitiannya Pengaruh Laju

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. terdahulu oleh Arifatul Chusna (2013) dalam penelitiannya Pengaruh Laju BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Dalam melakukan penelitian ini diambil acuan dari penelitian terdahulu oleh Arifatul Chusna (2013) dalam penelitiannya Pengaruh Laju

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 29/05/32/Th.XIX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI JAWA BARAT FEBRUARI 2017 Angkatan kerja pada Februari 2017 sebanyak 22,64 juta orang, naik sekitar 0,46 juta orang

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA AGUSTUS 2015 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 71/11/12/Th. XVIII, 5 November 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA AGUSTUS 2015 AGUSTUS 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,71 PERSEN angkatan kerja di

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2017 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 01/05/18/Th.X, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,43 PERSEN Penduduk yang bekerja pada Februari

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN NGADA AGUSTUS 2011 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 0,74 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN NGADA AGUSTUS 2011 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 0,74 PERSEN BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN NGADA No. 03/03/Th. IV, 20 Maret 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN NGADA AGUSTUS 2011 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 0,74 PERSEN Jumlah angkatan kerja di

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2016 No.62/11/ 63/Th XX/07 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2016 Jumlah angkatan kerja mencapai 2,08 juta orang atau terjadi penambahan sebesar 91,13 ribu orang dibanding Agustus

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Kondisi Ketenagakerjaan terus menunjukkan perbaikan. Pada bulan ruari 2011, TPT Aceh tercatat 8,27%, sementara TPAK juga menunjukkan peningkatan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2014 No.66 /11/ 63 / Th XVIII / 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2014 Pada bulan Agustus 2014, jumlah angkatan kerja mencapai 1,94 juta orang atau terjadi penambahan sebesar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut

BAB II TINJAUAN TEORI. Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut BAB II TINJAUAN TEORI 2.1. Ketenagakerjaan Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang disebut sebagai tenaga kerja

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian-Pengertian 2.1.1 Kesempatan Kerja Kesempatan kerja identik dengan Sasaran Pembangunan Nasional, khususnya pembangunan ekonomi. Oleh karena kesempatan kerja merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan ketenagakerjaan disadari bersifat kompleks karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan ketenagakerjaan disadari bersifat kompleks karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan ketenagakerjaan disadari bersifat kompleks karena mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dengan pola hubungan yang seringkali tidak mudah

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN LUWU TIMUR No : 03/10/7325/Th. I, 25 Oktober 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN LUWU TIMUR AGUSTUS 2015 RINGKASAN Pada tahun 2015 (Agustus) jumlah angkatan kerja di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejarah ekonomi dan selalu menarik untuk dibicarakan. Pengangguran adalah

BAB I PENDAHULUAN. sejarah ekonomi dan selalu menarik untuk dibicarakan. Pengangguran adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan suatu topik yang tidak pernah hilang dalam sejarah ekonomi dan selalu menarik untuk dibicarakan. Pengangguran adalah istilah bagi orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurangi kemiskinan (Madris, 2010). Indikator ekonomi makro (PDRB)

BAB I PENDAHULUAN. mengurangi kemiskinan (Madris, 2010). Indikator ekonomi makro (PDRB) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi perekonomian menjadi salah satu indikator kemajuan suatu daerah. Pembangunan ekonomi daerah tidak hanya bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melainkan

Lebih terperinci

STRUKTUR UMUR SERTA TINGKAT PENDIDIKAN PENGANGGUR BARU DAN TINGKAT PENGANGGURAN DI INDONESIA. Nugraha Setiawan

STRUKTUR UMUR SERTA TINGKAT PENDIDIKAN PENGANGGUR BARU DAN TINGKAT PENGANGGURAN DI INDONESIA. Nugraha Setiawan STRUKTUR UMUR SERTA TINGKAT PENDIDIKAN PENGANGGUR BARU DAN TINGKAT PENGANGGURAN DI INDONESIA Nugraha Setiawan PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI No. 220/12/21/Th. V, 1 Desember 20 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN AGUSTUS 20 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI SEMAKIN TURUN Jumlah angkatan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 31/05/34/Th.XVII, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN Jumlah penduduk yang bekerja

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI AGUSTUS 2011

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI AGUSTUS 2011 No. 60/11/51/Th. V, 7 Nopember 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI AGUSTUS 2011 Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2011, tercatat sebanyak 2.952,55 ribu penduduk usia kerja,

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 04/01/34/Th.XI, 05 Januari 2009 No. 47/12/34/Th.XI, 01 Desember 2009 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN (Di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini Indonesia sedang menghadapi ASEAN Economic Community atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini Indonesia sedang menghadapi ASEAN Economic Community atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini Indonesia sedang menghadapi ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam artian

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN INDONESIA AGUSTUS 2009

KEADAAN KETENAGAKERJAAN INDONESIA AGUSTUS 2009 BADAN PUSAT STATISTIK No. 75/12/Th. XII, 1 Desember 2009 KEADAAN KETENAGAKERJAAN INDONESIA AGUSTUS 2009 Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2009 mencapai 113,83 juta orang, bertambah 90 ribu

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2013 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 76/11/35/Th. XI, 6 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2013 AGUSTUS 2013 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA JAWA TIMUR SEBESAR 4,33 PERSEN Penduduk usia 15

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014 No. 22/5/Th.XVII, 5 Mei 2014 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,75 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Provinsi

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2015 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 42/05/21/Th. X, 4 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 9,05 PERSEN Jumlah angkatan

Lebih terperinci

INDIKATOR KETENAGAKERJAAN

INDIKATOR KETENAGAKERJAAN INDIKATOR KETENAGAKERJAAN KABUPATEN MAMUJU TAHUN 2012 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAMUJU INDIKATOR KETENAGAKERJAAN KABUPATEN MAMUJU TAHUN 2012 No Publikasi : 76042.1202 Katalog BPS : 2302003.7604 Ukuran

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 06/11/18/Th.IX, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,62 PERSEN Penduduk yang bekerja pada

Lebih terperinci

Pengaruh Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengangguran di Indonesia 1

Pengaruh Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengangguran di Indonesia 1 Pengaruh Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengangguran di Indonesia 1 1. Pendahuluan Salah satu titik awal kelahiran ilmu ekonomi makro adalah adanya permasalahan ekonomi jangka pendek yang tidak

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR AGUSTUS 2016 BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 96/11/64/Th. XIX, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR AGUSTUS 2016 Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Timur pada Agustus 2016 tercatat sebanyak 1.717.892

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan berlangsungnya proses demografis. Pada tahun 2004, di Jawa. 1,07 persen bila dibanding tahun 2003 (BPS, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan berlangsungnya proses demografis. Pada tahun 2004, di Jawa. 1,07 persen bila dibanding tahun 2003 (BPS, 2004). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan dan jumlah komposisi tenaga kerja tersebut akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2012

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2012 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No.51/11/31/Th. XIV, 5 November KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS Jumlah angkatan kerja di Provinsi DKI Jakarta pada mencapai 5,37 juta orang, bertambah 224,74 ribu

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Sumatera Barat Agustus 2017 No. 62/11/13/Th. XX, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Sumatera Barat Agustus 2017 Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN AGUSTUS 2015 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 69/11/73/Th. IX, 5 Nopember 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN AGUSTUS 2015 Struktur ketenagakerjaan di Provinsi Sulawesi Selatan berfluktuasi dari tahun ke

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 01/05/18/Th.IX, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,54 PERSEN Penduduk yang bekerja pada Februari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Ketenagakerjaan Penduduk suatu negara dapat dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga kerja adalah penduduk yang berusia kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. stabilitas nasional yaitu menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. stabilitas nasional yaitu menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional memiliki hakekat mewujudkan masyarakat aman, damai dan sejahtera. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang terus berupaya melakukan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014 BPS PROVINSI JAWA TIMUR KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014 No. 34/05/35/Th.XII, 5 Mei 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,02 PERSEN Penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 29,38

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2016 BPS PROVINSI JAWA TIMUR KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2016 No. 33/05/35/Th.XIV, 4 Mei 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,14 PERSEN Penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Timur

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada 8. KETENAGAKERJAAN 8.1. Konsep dan definisi Dalam perencanaan pembangunan, data mengenal ketenagakerja memegang peranan penting. Tanpa data tersebut tidalah mungkin program pembangunan direncanakan dan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2008

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2008 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 04/01/31/Th. XI, 5 Januari 2009 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2008 Jumlah angkatan kerja di Provinsi DKI Jakarta pada Agustus 2008 mencapai 4,77 juta orang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu proses prioritas pembangunan nasional sebagaimana dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) 2005-2009 yakni di bidang sumber daya

Lebih terperinci

Policy Brief Globalisasi, Pertumbuhan, dan Disadvantaged Labours di Indonesia: Analisa dan Implikasi Kebijakan. Oleh: Deni Friawan & Carlos Mangunsong

Policy Brief Globalisasi, Pertumbuhan, dan Disadvantaged Labours di Indonesia: Analisa dan Implikasi Kebijakan. Oleh: Deni Friawan & Carlos Mangunsong Policy Brief Globalisasi, Pertumbuhan, dan Disadvantaged Labours di Indonesia: Analisa dan Implikasi Kebijakan Oleh: Deni Friawan & Carlos Mangunsong LATAR BELAKANG Globalisasi telah menciptakan tidak

Lebih terperinci

KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2015

KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2015 BPS KABUPATEN SEKADAU No.06/11/6109/Th. II, 17 November 2016 KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) KABUPATEN SEKADAU TAHUN 2015 SEBESAR 2,97 PERSEN Persentase angkatan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA Abstract Inflasi dan pengangguran adalah masalah pelik yang selalu dihadapi oleh Negara Indonesia terkait belum berkualitasnya

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014 BADAN PUSAT STATISTIK KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,70 PERSEN No. 38/05/Th. XVII, 5 Mei 2014 Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2017 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No.29/05/73/Th. XI, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2017 Februari 2017 jumlah angkatan kerja 3.991.818 orang, jika dibandingkan Februari 2016

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Yogyakarta Agustus 2017 No. 65/11/34/Thn.XIX, 6 Nopember 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI D.I YOGYAKARTA Keadaan Ketenagakerjaan Yogyakarta Agustus 2017

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah masalah tingkat pengangguran yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena, pertambahan tenaga

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2013 No.65/11/63/Th XVII/6 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2013 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Kalimantan Selatan keadaan Agustus 2013 sebesar 69,08 persen. Mengalami

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI AGUSTUS 2016 No. 76/11/51/Th. X, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI AGUSTUS 2016 Jumlah angkatan kerja di Provinsi Bali pada Agustus 2016 mencapai 2.463.039 orang, bertambah sebanyak 80.573 orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kestabilan harga. Masalah pertumbuhan ekonomi adalah masalah klasik

BAB I PENDAHULUAN. kestabilan harga. Masalah pertumbuhan ekonomi adalah masalah klasik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang mengacu kepada trilogi pembangunan. Demi mewujudkan

Lebih terperinci

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar KABUPATEN WAROPEN TAHUN 2014 Oleh : Muhammad Fajar KATA PENGANTAR Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik mengamanatkan Badan Pusat Statistik (BPS) bertanggung jawab atas perstatistikan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial, yaitu berupa kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial, yaitu berupa kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu upaya untuk mencapai pertumbuhan kesejahteraan sosial, yaitu berupa kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kegiatan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI GORONTALO AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI GORONTALO AGUSTUS 2016 No. 64/11/75/Th.X, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI GORONTALO AGUSTUS 2016 - Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2016 mencapai 562.196 orang, berkurang 1.206 orang dari keadaan Februari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah sosial terbesar yang dihadapi oleh setiap negara di dunia dan setiap negara berusaha untuk mengatasinya. Kemiskinan adalah faktor yang

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI GORONTALO FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI GORONTALO FEBRUARI 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI GORONTALO FEBRUARI 2017 No. 28/05/75/Th. XI, 5 Mei 2017 - Jumlah angkatan kerja pada Februari 2017 mencapai 590.063 orang, bertambah 27.867 orang dari keadaan Agustus 2016

Lebih terperinci