Keberlanjutan Ekologi: Potensi Ikan Unggulan Keberlanjutan ekologi dalam penelitian ini dikaji dengan menghitung potensi ikan unggulan di PPN P

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 1 Layout PPN Prigi

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

6 BESARAN KERUGIAN NELAYAN DALAM PEMASARAN TANPA LELANG

34 laki dan 49,51% perempuan. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 0,98% dibanding tahun 2008, yang berjumlah jiwa. Peningkatan penduduk ini

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

C E =... 8 FPI =... 9 P

seine yang digunakan sebagai sampel, ada 29 (97%) unit kapal yang tidak

METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

Produksi (Ton) Trip Produksi (Ton) Pukat Cincin ,

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR

TOTAL BIAYA. 1. Keuntungan bersih R/C 2, PP 1, ROI 0, BEP

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS TINGKAT PEMANFAATAN DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN PRIGI JAWA TIMUR Hari Ilhamdi 1, Riena Telussa 2, Dwi Ernaningsih 3

4 HASIL. Gambar 18 Grafik kurva lestari ikan selar. Produksi (ton) Effort (trip) MSY = 5.839,47 R 2 = 0,8993. f opt = ,00 6,000 5,000 4,000

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERIKANAN PUKAT CINCIN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI (PPP) LAMPULO BANDA ACEH PROPINSI ACEH

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengambilan Responden 3.5 Metode Pengumpulan Data

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

ANALISIS USAHA PURSE SEINE DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA SIBOLGA KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA

PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU. Oleh. T Ersti Yulika Sari ABSTRAK

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KELAYAKAN USAHA PERIKANAN PAJEKO DI TOBELO KABUPATEN HALMAHERA UTARA

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Produktivitas dan Kelayakan Usaha Bagan Perahu di Pelabuhan Perikanan Nusantara Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara

Agriekonomika, ISSN e ISSN Volume 4, Nomor 1

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu

2 PERSEPSI USAHA PENANGKAPAN TUNA DI PPN TERNATE

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 PEMBAHASAN 5.1 Analisis Sumber Daya Lestari Perikanan Gillnet

6 KELAYAKAN USAHA PERIKANAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap

4 FORMULASI MASALAH PADA UNIT PERIKANAN TONDA DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PSPK STUDENT JOURNAL, VOL. I NO. 1 pp UNIVERSITAS BRAWIJAYA Recieved 18 January 2013, Accepted 16 May 2013

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Keragaan Usaha Penangkapan Ikan

PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. perikanan skala kecil. Menurut Hermawan (2005) cit. Rahmi,dkk (2013), hanya

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : LIMBAH IKAN SEBAGAI ALTERNATIF UMPAN BUATAN UNTUK ALAT TANGKAP PANCING TONDA

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPORAN AKHIR RIA Seri: PERMENKP NO. 57 Tahun 2014 BALITBANG-KP, KKP

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

2 GAMBARAN UMUM UNIT PERIKANAN TONDA DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS TEKNIS DAN FINANSIAL USAHA PERIKANAN TANGKAP PAYANG DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI (PPP) WONOKERTO KABUPATEN PEKALONGAN

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengambilan Sampel 3.5 Jenis Data yang Dikumpulkan

Pujianto *), Herry Boesono, Dian Wijayanto

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)

4. HASIL PENELITIAN 4.1 Keragaman Unit Penangkapan Ikan Purse seine (1) Alat tangkap

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Transkripsi:

43 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Jenis Ikan Unggulan di PPN Prigi Pengelolaan membutuhkan penentuan ikan unggulan. Hal ini bertujuan agar dapat mengembangkan kegiatan perikanan yang sesuai dengan kondisi lapangan. Syarat utama suatu jenis ikan menjadi ikan unggulan yaitu dipengaruhi oleh permintaan pasar. Ikan unggulan yang dianalisis pada penelitian ini didasarkan pada kondisi yang ada saat penelitian dilakukan. Perhitungan standardisasi pada Tabel 9 menunjukkan bahwa urutan prioritas ikan unggulan di PPN Prigi adalah tuna, tongkol, cakalang, lemuru dan layang (Lampiran 4). Ikan layur untuk selanjutnya tidak disertakan karena memiliki prioritas terakhir dan bukan merupakan ikan pelagis. Ikan pelagis adalah ikan yang sebagian besar hidupnya berada pada lapisan permukaan hingga kolom air (Simbolon 2011). Ikan tuna, tongkol dan cakalang termasuk dalam ikan pelagis besar, sedangkan ikan lemuru dan layang termasuk dalam ikan pelagis kecil. Kelima ikan unggulan ini dianalisis lebih lanjut secara ekologi, kelayakan usaha penangkapannya dan persepsi sosial stakeholder. Tujuan akhir penelitian ini menghasilkan model pengelolaan perikanan pelagis berkelanjutan di PPN Prigi. Tabel 9 Kriteria dan urutan prioritas untuk menentukan ikan unggulan Nama Ikan Produksi Kontinuitas Nilai Produksi Ratarata 5 tahun terakhir (ton) V1 Ratarata musim ikan (bulan) V2 Harga (Rp) Tujuan Utama Pemasaran V3 Ke- V4 Total Tongkol 8.409,92 1.000 9 1.000 8.000 0.313 antar kota 0.500 2.813 2 Layang 3.973,33 0.447 7 0.500 6.000 0.188 antar kota 0.500 1.635 5 Tuna 494,84 0.013 9 1.000 19.000 1.000 ekspor 1.000 3.013 1 Layur 386,64 0.000 5 0.000 13.000 0.625 ekspor 1.000 1.625 6 Lemuru 5.768,61 0.671 9 1.000 3.000 0.000 diolah 0.000 1.671 4 Cakalang 912,60 0.066 9 1.000 10.000 0.438 ekspor 1.000 2.503 3 UP

44 5.2 Keberlanjutan Ekologi: Potensi Ikan Unggulan Keberlanjutan ekologi dalam penelitian ini dikaji dengan menghitung potensi ikan unggulan di PPN Prigi. Tujuannya untuk mengetahui tingkat pemanfaatan lestari agar sumberdaya ikan dapat berkelanjutan. Pengkajian potensi ikan dianalisis dengan menggunakan model produksi surplus. Potensi ikan unggulan PPN Prigi yang dikaji antara lain tuna, tongkol, cakalang, lemuru dan layang. 5.2.1 Ikan tuna (Thunnus sp.) Hasil tangkapan ikan tuna didominasi oleh alat tangkap pancing tonda sekitar 79% dari total hasil tangkapan, purse seine sekitar 9%, gillnet sekitar 8% dan sisanya oleh payang dan pancing ulur. Alat tangkap standar ikan tuna yang sesuai berdasarkan FPI (nilai terbesar) yaitu pancing tonda. Nilai FPI rata-rata untuk pancing tonda sebesar 76,33% dari total alat tangkap. Gillnet merupakan alat tangkap yang cukup berpengaruh pada penangkapan tuna dengan presentase FPI sebesar 15,57% dari total alat tangkap. Equilibrium Schaefer merupakan model poduksi surplus yang paling sesuai digunakan untuk menghitung maximum sustainable yield (MSY). Model ini digunakan karena memenuhi syarat, yaitu tanda sesuai dengan persamaan, memiliki R 2 paling tinggi yaitu 0,72 dan rata-rata nilai validasi sebesar 0,513. Perhitungan potensi ikan tuna dapat dilihat pada Lampiran 5. Gambar 8 menunjukkan grafik MSY untuk ikan tuna. Model Equilibrium Schaefer menunjukkan effort optimum untuk penangkapan ikan tuna sebanyak 56 unit pancing tonda dan catch MSY 1.000,69 ton/tahun. Data produksi aktual ikan tuna PPN Prigi tahun 2005 berjumlah 1179 ton dengan upaya penangkapan sebanyak 59 unit alat tangkap standar. Produksi ikan tuna tahun 2006-2010 mengalami penurunan hingga setengah dari produksi tahun 2005. Hal ini terjadi seiring dengan penambahan alat tangkap pancing tonda sebanyak 6 unit dan penambahan unit gillnet sebanyak 9 unit. Data aktual penangkapan ikan tuna di PPN Prigi terindikasi overfishing yang disebabkan peningkatan alat tangkap yang beroperasi (overeffort).

45 produksi tuna (ton) 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 2005 2009 2006 2010 2007 2008 0 20 40 60 80 100 120 junlah pancing tonda (unit) data aktual kurva produksi surplus batas MSY Gambar 8 Grafik maximum sustainable yield untuk ikan tuna. 5.2.2 Ikan tongkol (Euthynnus affinis) Penangkapan ikan tongkol didominasi oleh alat tangkap purse seine dengan total produksi sekitar 97%. Purse seine menjadi alat tangkap standar dengan ratarata FPI sebesar 82,44% dari semua alat tangkap. Alat tangkap lain tidak berpengaruh nyata terhadap penangkapan ikan tongkol. Perhitungan potensi ikan tongkol dapat dilihat pada Lampiran 6. Model yang dipilih untuk menghitung MSY adalah Equilibrium Schaefer. Model Equilibrium Schaefer memiliki R 2 lebih kecil daripada model Disequilibrium Schaefer yaitu 0,657. Model ini dipilih karena dapat menjelaskan kondisi aktual dengan rata-rata nilai validasi yang jauh lebih kecil yaitu 0,455. Model Equilibrium Schaefer menunjukkan effort optimum sebanyak 145 unit purse seine dan catch MSY 8.853,01 ton/tahun. Gambar 9 menunjukkan grafik produksi surplus ikan tongkol. Data produksi aktual ikan tongkol di PPN Prigi tahun 2005 sebesar 2.235 ton atau terindikasi mendekati deplesi berdasarkan model Equilibrium Schaefer. Hal ini disebabkan banyaknya alat tangkap yang beroperasi, yaitu setara 278 unit alat tangkap standar. Produksi ikan tongkol tahun 2006-2009 mulai mengalami peningkatan. Peningkatan ini terjadi akibat pengurangan jumlah armada standar menjadi 119 unit. Produksi ikan tongkol tahun 2010 mengalami penurunan tajam sebesar 67,69% dari tahun 2009 seiring dengan penambahan 7 unit purse seine.

46 Kondisi aktual selain tahun 2006 menunjukkan penangkapan ikan tongkol di PPN Prigi terindikasi mengalami kelebihan tangkap. produksi tongkol (ton) 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 2008 2009 2007 2006 2010 2005 0 50 100 150 200 250 300 350 jumlah purse seine (unit) data aktual kurva produksi surplus batas MSY Gambar 9 Grafik maximum sustainable yield untuk ikan tongkol. 5.2.3 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Ikan cakalang (skipjack tuna) memiliki tingkah laku yang mirip dengan ikan tuna, sehingga alat tangkap standar yang digunakan sama dengan alat penangkap ikan tuna yaitu pancing tonda. Pancing tonda memberikan produksi sekitar 57% dari total tangkapan cakalang. Alat tangkap purse seine dan gillnet memberikan pengaruh cukup besar dalam penangkapan ikan cakalang yaitu sekitar 30% dan sekitar 11%. Perubahan jumlah ketiga unit penangkapan tersebut memberikan pengaruh terhadap jumlah alat tangkap standar. Alat tangkap pancing tonda memiliki rata-rata FPI sebesar 60,43%. Ratarata FPI gillnet dan purse seine masing-masing sebesar 20,5% dan 16,95%. Perhitungan potensi ikan cakalang dapat dilihat pada Lampiran 7. Model Equilibrium Schaefer merupakan model paling sesuai untuk menghitung MSY ikan cakalang. Model ini dipilih karena memenuhi syarat, yaitu tanda sesuai persamaan, nilai R 2 model memiliki rata-rata validasi 0,3025. Model Walter-Hilborn yang memiliki rata-rata validasi terkecil tidak dipilih karena menghasilkan effort MSY terlalu tinggi. Gambar 10 menunjukkan grafik MSY untuk ikan cakalang. Model Equilibrium Schaefer menghasilkan effort optimum pancing tonda sebanyak 106 unit

47 dan catch MSY 1.056,56 ton/tahun. Produksi aktual ikan cakalang di PPN Prigi tahun 2005 berjumlah 1134 ton dengan upaya penangkapan sebanyak 68 unit pancing tonda. Artinya walaupun upaya yang digunakan sedikit namun hasil tangkapan yang didaratkan melebihi jumlah maksimum lestari. Jumlah alat tangkap pancing tonda bertambah 6 unit dan alat tangkap gillnet bertambah 9 unit pada tahun 2006. Hal ini memberikan pengaruh terhadap penambahan alat tangkap standar menjadi 165 unit. Penambahan unit penangkapan standar yang sangat signifikan ini disebabkan tingginya FPI unit penangkapan purse seine pada tahun 2006. Penambahan jumlah upaya penangkapan ini menyebabkan penambahan produksi 193 ton atau 18% melebihi potensi lestari. Akibatnya pada tahun selanjutnya produksi ikan cakalang mengalami penurunan (2007-2010). Data aktual tahun 2005-2010 menunjukkan bahwa penangkapan ikan cakalang terindikasi mengalami kelebihan tangkap. produksi cakalang (ton) 1400 1200 1000 800 600 400 200 2005 2008 2007 2010 2009 2006 0 0 50 100 150 200 250 jumlah pancing tonda (unit) data aktual kurva produksi surplus batas MSY Gambar 10 Grafik maximum sustainable yield untuk ikan cakalang. 5.2.4 Ikan lemuru (Sardinella lemuru) Ikan lemuru merupakan ikan pelagis kecil yang hidup bergerombol (schooling). Pukat kantong atau jaring lingkar merupakan alat penangkap ikan yang memiliki produktivitas tinggi untuk menangkap ikan pelagis bergerombol. Jumlah tangkapan ikan lemuru lebih didominasi purse seine. Alat tangkap standar yang cocok digunakan untuk menangkap ikan lemuru di PPN Prigi adalah purse

48 seine dan payang yang masing-masing memiliki FPI 49% dan 45%. Perhitungan potensi ikan lemuru dapat dilihat pada Lampiran 8. Model paling sesuai untuk menghitung MSY ikan lemuru adalah Equilibrium Schaefer. Model ini memenuhi syarat tanda sesuai persamaan, memiliki R 2 cukup tinggi sebesar 0,76 dan rata-rata nilai validasi terkecil yaitu 0,338. Berdasarkan model Equilibrium Schaefer, effort optimum untuk ikan lemuru adalah 128 unit purse seine dan catch MSY 7497,64 ton/tahun. Gambar 11 menunjukkan kurva MSY untuk ikan lemuru. Jumlah tangkapan ikan lemuru sejak tahun 2009 menurun seiring dengan penambahan jumlah alat tangkap. Data aktual tahun 2006-2010 menunjukkan penangkapan ikan lemuru terindikasi melebihi potensi maksimum lestari, bahkan tahun 2010 jumlah tangkapan ikan lemuru dalam kurva MSY kurang dari setengah dari tahun 2009. produksi lemuru (ton) 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 2008 2006 2007 2009 2010 0 50 100 150 200 250 300 jumlah purse seine (unit) data aktual kurva produksi surplus batas MSY Gambar 11 Grafik maximum sustainable yield untuk ikan lemuru. 5.2.5 Ikan layang (Decapterus macrosoma) Ikan layang tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia, dengan wilayah penangkapan terbanyak di perairan utara Jawa (Simbolon 2011). Sama halnya dengan ikan lemuru, ikan layang juga tergolong ikan pelagis kecil dan bergerombol, sehingga alat tangkap yang paling banyak menangkap ikan layang adalah purse seine. Purse seine mendaratkan sekitar 94% dari total ikan layang yang didaratkan di Prigi. Alat tangkap ini menjadi alat tangkap standar untuk menangkap ikan layang dengan rata-rata nilai FPI 67%. Selain itu payang juga

49 memiliki peran dalam menangkap ikan layang, terlihat dari nilai FPI sebesar 33%. Perhitungan potensi ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 9. Dis-equilibrium Schaefer merupakan model paling sesuai untuk menghitung MSY ikan layang. Model ini memenuhi syarat tanda sesuai dengan persamaan, memiliki R 2 tertinggi kedua yaitu 0,807 dan nilai rata-rata validasi terkecil sebesar 2,22. Model Dis-equilibrium Schaefer untuk ikan layang menunjukkan effort optimum sebanyak 103 unit purse seine dan catch MSY 5324,21 ton/tahun. Gambar 12 menunjukkan grafik MSY untuk ikan layang. Alat tangkap standar yang beroperasi menangkap ikan layang tahun 2005 sangat banyak, sehingga dalam kurva produksi surplus ikan layang terindikasi mengalami kelebihan tangkap. Tahun 2006-2009 produksi ikan layang meningkat seiring dengan berkurangnya jumlah alat tangkap standar, namun tahun 2010 produksi ikan layang turun hingga 90% yang salah satunya disebabkan meningkatnya jumlah alat tangkap. Berdasarkan data aktual yang tahun 2005-2010, penangkapan terhadap ikan layang terindikasi mengalami kelebihan tangkap akibat banyaknya alat penangkapan ikan yang beroperasi. produksi layang (ton) 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 2007 2008 2009 2006 2005 2010 0 50 100 150 200 250 300 jumlah purse seine (unit) data aktual kurva produksi surplus batas MSY Gambar 12 Grafik maximum sustainable yield untuk ikan layang. Kelima ikan unggulan di PPN Prigi telah mengalami indikasi overfishing. Perbandingan diantara kelima ikan unggulan dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa ikan tuna walaupun merupakan ikan unggulan utama ternyata memiliki persentase kelebihan tangkap yang paling

50 tinggi. Sedangkan ikan cakalang memiliki persentase kelebihan tangkap yang paling kecil, disusul ikan tongkol. Tabel 10 Potensi dan presentase kelebihan tangkap untuk tiap jenis ikan Rata-rata Persentase Rata-rata Jenis kelebihan kelebihan E MSY C MSY C a k t u a l 5 tahun tangkap 5 tahun tangkap Ikan (unit) (ton/tahun) terakhir terakhir terhadap (ton/tahun) (ton/tahun) potensi (%) Tuna 56 1000,69 614,35 386,34 39 Tongkol 145 8853,01 7442,13 1410,88 16 Cakalang 106 1056,56 949,57 106,99 10 Lemuru 128 7497,64 5768,61 1729,03 23 Layang 103 5324,21 3646,61 1677,60 32 5.3 Keberlanjutan Ekonomi: Kelayakan Usaha Unit Penangkapan Ikan Keberlanjutan ekonomi dalam penelitian ini dikaji dengan menghitung kelayakan usaha unit penangkap ikan yang dominan menangkap ikan unggulan. Alat tangkap tersebut antara lain: purse seine, pancing tonda, gillnet dan payang. Kelayakan usaha berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Jika secara ekonomi usaha tidak menghasilkan manfaat yang cukup maka pemilik investasi akan menginvestasikan untuk usaha lain yang lebih bermanfaat. Analisis yang digunakan untuk menghitung kelayakan usaha yang adalah analisis rugi-laba (cashflow) dan investment criteria. Input yang diperhitungkan dalam analisis kelayakan usaha meliputi investasi unit penangkapan, biaya tetap dan biaya tidak tetap, penyusutan investasi, penerimaan serta bagi hasil antara pemilik dan ABK kapal. 5.3.1 Unit penangkapan purse seine Purse seine merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan melingkarkan jaring pada tempat yang diprediksi terdapat ikan kemudian menarik tali kolor bagian bawah. Unit penangkapan purse seine di PPN Prigi beroperasi menggunakan 2 kapal. Kapal yang lebih besar digunakan sebagai tempat ABK dan alat tangkap sedangkan kapal yang lebih kecil digunakan untuk menarik tali kolor saat hauling dan sebagai tempat hasil tangkapan. Dimensi kapal utama

51 purse seine yang digunakan di Prigi memiliki panjang 17-20 m, lebar 4,5-5 m dan tinggi 1,5-2 m, dengan kekuatan mesin 80-100 PK. Sedangkan kapal belakang memiliki panjang 13-17m, lebar 3-4 m dan tinggi 1-1,5 m dengan kekuatan mesin 60-72 PK. Purse seine yang digunakan memiliki panjang antara 500-700m dengan kedalaman 60-90m. Gambar 13 menunjukkan kapal purse seine yang sedang sandar dan alat tangkap purse seine yang sedang diperbaiki nelayan. Gambar 13 Unit penangkapan purse seine. ABK purse seine di PPN Prigi berjumlah 20-23 orang. Lama trip kapal sekitar 12 jam. Operasi penangkapan bisa dilakukan siang atau malam hari dengan daerah penangkapan masih terkonsentrasi di perairan teluk yaitu sekitar 20-30 mil dari pantai. Musim puncak dimulai pada bulan Juli hingga November, pada bulan-bulan ini dalam satu bulan rata-rata nelayan melaut 22 hari sedangkan pada musim paceklik (Desember hingga Mei) tiap bulan nelayan melaut rata-rata 10 kali. Hasil tangkapan utama purse seine adalah tongkol, lemuru dan layang. Hasil tangkapan ini dijual kepada bakul di TPI, namun ada pula pemilik kapal yang juga berperan sebagai bakul/pengepul sehingga semua hasil tangkapan langsung ditampung. Sistem bagi hasil antara pemilik kapal dan ABK adalah 2:1. Sedangkan pada ABK, juru mudi mendapat 2 bagian, juru mesin, juru kolor, dan juru pantau mendapat bagian 1,5 sedangkan ABK lain mendapat 1 bagian. Total investasi unit penangkapan purse seine Rp518.450.000,00 yang terdiri dari investasi unit penangkapan serta alat bantu penangkapan; biaya yang dikeluarkan yaitu biaya tetap berupa biaya perawatan dan biaya tidak tetap berupa

52 biaya operasional dengan total biaya Rp331.968.000,00/tahun; penerimaan sebesar Rp844.900.000,00/tahun berasal dari penjualan hasil tangkapan dengan asumsi hanya ditangkap ikan tongkol, layang dan lemuru; penyusutan investasi tiap tahun adalah Rp54.611.904,76 dan total bagi hasil Rp199.466.333,33. Laba bersih pemilik sebesar Rp258.853.761,90. Perbandingan penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan (R/C) sebesar 2,55. Lama modal investasi akan kembali (PP) 2 tahun. Ketiga analisis rugi-laba menunjukkan bahwa usaha perikanan purse seine menghasilkan keuntungan yang tinggi dan pengembalian modal relatif cepat. Perhitungan lengkap analisis usaha purse seine dapat dilihat pada Lampiran 10. Asumsi yang digunakan untuk menghitung kriteria investasi didasarkan pada perbandingan harga tiap komponen unit penangkapan dari tahun ke tahun. Asumsi tersebut antara lain: kenaikan harga alat tangkap sebesar 12% per tahun, kenaikan harga mesin 4% per tahun, kenaikan harga lampu dan genset 1% per tahun, kenaikan harga keranjang 3% per tahun, kenaikan harga BBM dan biaya variabel 1% per tahun, biaya perawatan kapal naik 2% per tahun, kenaikan harga ikan 0,5% per tahun serta kenaikan upah teknisi 1% per tahun. Discount factor yang digunakan sebesar 12%. Nilai NPV menunjukkan jumlah penerimaan yang akan diterima pemilik selama umur teknis unit purse seine (10 tahun) adalah sebesar Rp978.159.904,61. Tingkat keuntungan atas investasi bersih selama umur teknis purse seine (IRR) adalah 40,08% jauh lebih tinggi dibanding tingkat suku bunga yang berlaku, artinya lebih menguntungkan menanam investasi pada bisnis purse seine dibanding uang tersebut disimpan pada bank dengan tingkat suku bunga 12% per tahun. Nilai net B/C 2,89 merupakan perbandingan nilai manfaat (benefit) positif yang diterima dengan benefit negatif selama umur teknis purse seine. Berdasarkan analisis rugi-laba dan kriteria investasi, unit penangkapan purse seine layak dijalankan karena memiliki nilai π dan NPV > 0, R/C dan net B/C > 1 serta nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga. Tabel 11 menunjukkan perbandingan kriteria kelayakan usaha dari unit penangkap ikan pelagis di PPN Prigi.

53 5.3.2 Unit penangkapan pancing tonda Unit penangkapan pancing tonda beroperasi di PPN Prigi mulai tahun 2004. Cara operasi penangkapannya dengan menarik pancing yang dijalankan kapal di perairan dekat rumpon. Ukuran panjang kapal tonda berkisar 15-16 m; lebar 3,25-3,5 m; tinggi 1,3-1,6 m; dengan daya mesin antara 54-80 PK. ABK kapal tonda berjumlah 5 orang. Selain mengoperasikan pancing tonda, unit ini juga membawa rawai dan pancing ulur. Unit pancing tonda di PPN Prigi dan cara pengoperasiannya dapat dilihat pada Gambar 14. Sumber: Nurdin (2011) Gambar 14 Unit penangkapan pancing tonda. Keterangan: A. Kapal B. Kayu ; panjang 6 meter C. Tali utama ; Senar no.1000 (10-20 mtr) D. Tali pancing ; Senar no.200, 12 15 buah, panjang @ 0,5 mtr, jarak antar tali pancing 1-1,5 m E. Mata pancing no.8-9 F. Pemberat ; 0,5-1 kg. Unit pancing tonda melakukan trip selama 7-10 hari, sehingga dalam satu bulan hanya melakukan 3-4 kali trip. Musim puncak untuk penangkapan pancing tonda adalah bulan Mei hingga November sedangkan musim paceklik dimulai bulan Desember hingga April. Pancing tonda ini dioperasikan di area rumpon yang terletak antara 20-100 mil dari pantai. Satu unit penangkapan biasanya beroperasi pada 2-3 rumpon secara bergantian selama trip penangkapan. Kepemilikan rumpon ada yang perorangan ada pula yang berkelompok. Hasil tangkapan utama pancing tonda adalah tuna dan cakalang. Sistem bagi hasil antara pemilik kapal dan ABK adalah 1:1. Juru mudi atau nahkoda mendapat 2 bagian sedangkan ABK lain 1 bagian. Perhitungan lengkap analisis usaha pancing tonda dapat dilihat pada Lampiran 11.

54 Total investasi pancing tonda sebesar Rp 140.100.000,- ; total biaya yang dikeluarkan Rp182.850.000,00/tahun; penerimaan sebesar Rp398.250.000,00/ tahun berasal dari penjualan hasil tangkapan, dengan asumsi hanya ditangkap ikan cakalang dan tuna; penyusutan investasi tiap tahun sebesar Rp26.833.333,33 dan total bagi hasil Rp115.415.500,00. Laba bersih yang diterima pemilik selama satu tahun sebesar Rp73.419.166,67. Perbandingan penerimaan dengan biaya yang harus dikeluarkan (R/C) sebesar 2,18. Lama modal investasi akan kembali (PP) adalah 1,91 tahun atau setara dengan 23 bulan. Asumsi yang digunakan untuk menghitung kriteria investasi sama dengan asumsi yang digunakan pada unit penangkapan purse seine. Namun untuk kenaikan harga alat tangkap dihitung sebesar 5% per tahun. Selain itu unit pancing tonda memperhitungan kenaikan harga rumpon, yaitu sebesar 5% per tahun. NPV yang akan diterima pemilik selama umur teknis unit pancing tonda (10 tahun) yang telah di-discount rate dengan tingkat suku bunga 12% adalah sebesar Rp311.074.862,23. Tingkat keuntungan atas investasi bersih selama umur teknis unit pancing tonda (IRR) sebesar 47,36% jauh lebih tinggi dibanding tingkat suku bunga yang digunakan. Artinya lebih menguntungkan menanam investasi pada bisnis pancing tonda dibanding uang tersebut disimpan pada bank dengan tingkat suku bunga 12 % per tahun. Nilai net B/C 3,22 menunjukkan perbandingan nilai benefit positif dengan benefit negatif selama umur teknis unit pancing tonda. Berdasarkan analisis rugi-laba dan kriteria investasi, pancing tonda layak untuk dijalankan karena memiliki nilai π dan NPV > 0, R/C dan net B/C > 1 serta nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga. Perbandingan kriteria kelayakan usaha dari unit penangkap ikan pelagis di PPN Prigi dapat dilihat pada Tabel 11. 5.3.3 Unit penangkapan gillnet Gillnet adalah jaring yang bersifat menjerat ikan di bagian operkulum. Unit penangkapan gillnet di PPN Prigi biasa disebut kapal putihan. Sejak tahun 2005 hampir semua kapal gillnet membawa pancing tonda, sehingga analisis usaha unit penangkapan gillnet menghasilkan pendapatan ganda antara dua alat tangkap tersebut.

55 Dimensi kapal putihan memiliki panjang berkisar 13-15 m; lebar 2,5-3,5 m; tinggi 1-1,5 m dengan daya mesin antara 30-54 PK. ABK kapal gillnet berjumlah 4-5 orang. Lama trip unit penangkapan gillnet sekitar 7-10 hari, sehingga dalam satu bulan hanya melakukan 3-4 kali trip. Musim puncak biasanya terjadi pada bulan Mei-November, sedangkan bulan Desember-April merupakan musim paceklik. Pancing tonda biasanya dioperasikan siang hari, sedangkan sore dan malam hari nelayan mengoperasikan gillnet. Gambar 15 menunjukkan kapal gillnet dan desain alat tangkap gillnet. Sumber: Nurdin (2011) Gambar 15 Unit penangkapan gillnet. Keterangan: Jumlah jaring : 4-6 pis Pelampung besar : Bola ø 30 cm digunakan 4 buah / pis, Tali Pelampung PE ø 10 mm, 4-5 m. Bendera tanda : 2 x 1 meter, pada ujung jaring diberi lampu tanda (senter) Hasil tangkapan utama gillnet antara lain tongkol, cakalang dan baby tuna. Sedangkan hasil tangkapan utama pancing tonda yaitu tuna dan cakalang. Kapal putihan ini dioperasikan di area rumpon yang terletak antara 40-100 mil dari pantai. Sama halnya dengan unit pancing tonda, kapal putihan juga beroperasi pada 2-3 rumpon secara bergantian selama operasi penangkapan. Pembagian hasil tangkapan antara pemilik kapal dan ABK adalah 1:1, dimana juru mudi atau nahkoda mendapat 2 bagian sedangkan ABK lain 1 bagian. Berdasarkan perhitungan analisis rugi-laba unit penangkapan gillnet layak dijalankan. Laba bersih yang diterima pemilik selama satu tahun sebesar Rp74.697.166,67. Perbandingan pendapatan dengan biaya (R/C) sebesar 2,34. Jangka waktu pengembalian investasi (PP) selama 1,65 tahun atau setara dengan 20 bulan. Perhitungan lengkap mengenai analisis usaha dapat dilihat pada Lampiran 12.

56 Asumsi yang digunakan untuk menghitung kriteria investasi sama dengan asumsi yang digunakan pada unit penangkapan pancing tonda dan ditambahkan kenaikan harga alat tangkap gillnet dihitung sebesar 7% per tahun. Nilai NPV selama umur teknis kapal putihan (10 tahun) yang telah di-discount rate dengan tingkat suku bunga 12% sebesar Rp331.298.062,08. Tingkat keuntungan atas investasi bersih selama umur teknis gillnet (IRR) sebesar 50,71% jauh lebih tinggi dibanding tingkat suku bunga yang berlaku. Artinya lebih menguntungkan menanam investasi pada usaha gillnet dibanding menyimpan pada bank dengan tingkat suku bunga 12% per tahun. Nilai net B/C 3,68 merupakan perbandingan benefit positif dengan benefit negatif selama umur teknis kapal putihan. Berdasarkan analisis rugi-laba dan kriteria investasi, unit penangkapan gillnet layak dijalankan karena memiliki nilai π dan NPV > 0, R/C dan net B/C > 1 serta nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga. Tabel 11 menunjukkan perbandingan kriteria kelayakan usaha dari unit penangkap ikan pelagis di PPN Prigi. 5.3.4 Unit penangkapan payang Payang termasuk dalam alat tangkap jaring kantong. Cara pengoperasiannya dengan menggiring kawanan ikan untuk masuk dalam kantong jaring. Gambar 16 menunjukkan unit penangkapan payang. Dimensi kapal payang di PPN Prigi memiliki ukuran panjang 15-17 m; lebar 3,5-5 m; tinggi 1,1-1,25 m dengan kekuatan mesin sekitar 70-90 PK. Panjang jaring rata-rata 50 m dengan rata-rata panjang kantong 15 m. ABK kapal payang berjumlah 15-20 orang. Gambar 16 Unit penangkapan payang.

57 Lama satu kali trip operasi payang sama seperti purse seine, hanya sekitar 12 jam. Operasi penangkapan dilakukan siang atau malam hari. Daerah penangkapan masih terkonsentrasi di perairan teluk yaitu sekitar 10-20 mil dari pantai. Rata-rata nelayan melaut 22 hari tiap bulan pada musim puncak yaitu pada bulan Juli-November, sedangkan pada musim paceklik (Desember-Juni) dalam satu bulan rata-rata nelayan melaut sekitar 10 hari. Hasil tangkapan utama payang adalah ikan layang dan lemuru. Sistem bagi hasil antara pemilik dan ABK adalah 2:1. Pembagian hasil pada ABK berdasar pekerjaan yang dilakukan. Juru mudi mendapat 2 bagian; juru mesin, penebar jaring, penata jaring (setelah hauling) mendapat 1,5 bagian dan ABK lain satu bagian. Total investasi unit penangkapan payang sebesar Rp87.340.000,00 ; total biaya yang dikeluarkan Rp56.569.000,00/tahun; penerimaan sebesar Rp14.400.000,00/tahun berasal dari penjualan hasil tangkapan dengan asumsi hanya ditangkap ikan layang dan lemuru; penyusutan investasi tiap tahun sebesar Rp11.833.333,33 dan total bagi hasil Rp25.910.333,33. Laba bersih yang diterima pemilik sebesar Rp19.137.333,33/tahun. Perbandingan penerimaan dengan biaya yang harus dikeluarkan (R/C) adalah 1,99. Lama modal investasi akan kembali (PP) adalah 4,56 tahun atau setara dengan 55 bulan. Perhitungan lengkap analisis usaha dapat dilihat pada Lampiran 13. Asumsi yang digunakan untuk menghitung kriteria investasi sama dengan asumsi yang digunakan pada unit penangkapan purse seine. Hanya saja kenaikan harga alat tangkap payang dihitung sebesar 9% per tahun. Nilai NPV selama umur teknis unit payang (10 tahun) yang telah didiscount rate dengan tingkat suku bunga 12% sebesar Rp32.324.561,47. Tingkat keuntungan atas investasi bersih selama umur teknis payang (IRR) adalah 10,08% lebih rendah dibanding tingkat suku bunga yang digunakan. Artinya lebih menguntungkan menanam investasi di bank dengan tingkat suku bunga 12% dibanding berinvestasi pada unit penangkapan payang. Nilai net B/C 1,47 adalah perbandingan nilai benefit positif dengan benefit negatif selama umur teknis payang.

58 Analisis cashflow dan investment criteria menunjukkan bahwa usaha perikanan payang menghasilkan keuntungan yang sedikit, perbandingan keuntungan-biaya yang hampir mendekati impas dan pengembalian modal yang lama dibandingkan dengan unit penangkapan yang lain. Analisis kriteria investasi menunjukkan bahwa penanaman investasi pada unit penangkapan payang tidak menguntungkan karena tingkat investasinya hanya sebesar 10,08% atau lebih kecil dibandingkan dengan tingkat suku bunga bank yang digunakan yaitu 12%. Perbandingan kriteria kelayakan usaha dari unit penangkap ikan pelagis di PPN Prigi dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Perbandingan kriteria kelayakan usaha unit penangkap ikan pelagis di PPN Prigi Jenis unit Kriteria analisis kelayakan usaha penangkapan Laba PP NPV IRR Net R/C ikan (Rp) (tahun) (Rp) ( % ) B/C Purse seine 258.853.761,90 2,55 2,00 978.159.904,61 40,08 2,89 Gillnet 74.697.166,67 2,34 1,65 331.298.062,08 57,21 3,68 Pancing tonda 73.419.166.67 2,18 1,91 311.074.862,23 47,36 3,22 Payang 19.137.333,33 1,99 4,56 32.324.561,47 10,08 1,47 Secara keseluruhan, semua unit penangkapan ikan pelagis di PPN Prigi layak diusahakan kecuali unit penangkapan payang dengan perhitungan IRR. Unit penangkap ikan unggulan memiliki nilai kriteria yang bervariasi, untuk itu perlu diberikan urutan prioritas. Hal ini dilakukan untuk mempermudah mengetahui alat tangkap apa yang lebih diprioritaskan berdasarkan perhitungan kelayakan usaha. Urutan prioritas unit penangkapan ikan berdasarkan kriteria cashflow dan investment criteria dapat dilihat pada Tabel 12. Urutan prioritas unit penangkapan ikan pelagis berdasarkan kriteria kelayakan usaha yaitu purse seine, disusul gillnet dan pancing tonda. Unit penangkapan payang memiliki total nilai 0 karena dibanding unit penangkap ikan yang lain, payang memiliki nilai kelayakan usaha yang paling rendah pada semua kriteria. Hal ini menyebabkan payang di PPN Prigi tidak mengalami perkembangan yang nyata dari tahun ke tahun.

59 Tabel 12 Prioritas unit penangkapan berdasarkan cashflow dan investment criteria Jenis Alat Penangkap Ikan V1 (π) V2 (R/C) V3 (PP) V4 (NPV) V5 (IRR) V6 (Net B/C) Total Purse seine 1.00 1.00 0.88 1.00 0.64 0.64 5.16 1 Pancing tonda 0.23 0.34 0.91 0.29 0.79 0.79 3.36 3 Gillnet 0.23 0.62 1.00 0.32 1.00 1.00 4.17 2 Payang 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4 UP 5.4 Keberlanjutan Sosial: Persepsi Stakeholder Keberlanjutan sosial dalam penelitian ini dikaji dengan melihat kecenderungan persepsi sosial diantara stakeholder. Persamaan pandangan atau persepsi antar stakeholder mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perikanan pelagis sangat penting untuk mewujudkan visi bersama dalam mencapai kegiatan perikanan berkelanjutan. Analisis diskriminan ganda digunakan untuk mengetahui kecenderungan persepsi stakeholder dengan hasil perceptual map. Kecenderungan persepsi stakeholder didasarkan pada usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan dari responden. 5.4.1 Persepsi stakeholder berdasarkan usia Hasil kuesioner dari 69 responden, diperoleh kisaran usia 23 tahun hingga 67 tahun. Pembagian grup usia didasarkan pada perhitungan jumlah kelas dan lebar kelas dari data yang tersedia, sehingga dihasilkan 7 grup. Grup tersebut yaitu: grup 1 kisaran usia 22-28 tahun berjumlah 12 responden; grup 2 kisaran usia 29-34 tahun berjumlah 11 responden; grup 3 kisaran usia 35-40 tahun berjumlah 10 responden; grup 4 kisaran usia 41-46 tahun berjumlah 11 responden; grup 5 kisaran usia 47-52 tahun berjumlah 11 responden; grup 6 kisaran usia 53-58 tahun berjumlah 5 responden; dan grup 7 kisaran usia 59 tahun berjumlah 9 responden. Mengenai kejelasan hak penangkapan, responden grup 1, grup 6 dan grup 7 berpendapat bahwa nelayan dari desa lain boleh menangkap ikan di perairan Prigi. Responden grup 2 dan grup 5 sebanyak 45,45% berpendapat bahwa nelayan dari kabupaten lain juga berhak menangkap ikan di perairan Prigi. Grup 3 terbagi menjadi 2 pendapat, 50% menyatakan nelayan dari desa lain boleh menangkap

60 ikan di Prigi dan 50% yang lain menyatakan bahwa nelayan dari kabupaten lain juga boleh menangkap ikan di Prigi. Sedangkan pada grup 4 responden memiliki 3 jawaban menyebar yang berpendapat bahwa yang berhak menangkap ikan di Prigi adalah nelayan desa setempat, nelayan dari desa lain dan nelayan dari kabupaten lain. Rata-rata responden dari semua grup (45,45-100% di tiap grup) memiliki persepsi bahwa konflik antar nelayan jarang terjadi dalam 5 tahun terakhir. Bahkan responden grup 5 sebanyak 45,45% menyatakan tidak pernah terjadi konflik di Prigi. Konflik nelayan yang cukup besar pernah terjadi di Prigi pada tahun 2001. Konflik ini terjadi antara nelayan lokal dan nelayan andon, penyebabnya adalah perbedaan pola kehidupan bersosialisasi. Hampir semua stakeholder mengetahui bahwa terdapat bermacam-macam organisasi nelayan di Prigi. Sebanyak 54,54%-100% dari tiap grup menyatakan bahwa terdapat beberapa organisasi atau kelompok nelayan di Prigi dan berjalan dengan baik. Namun sebanyak 45,45% responden dari grup 5 menyatakan bahwa organisasi nelayan di Prigi tidak berjalan dengan baik. Sesuai kondisi sebenarnya bahwa terdapat banyak organisasi atau kelompok nelayan di Prigi, sebagian berjalan dengan baik namun sebagian yang lain tidak berjalan optimal. Hubungan antar stakeholder dirasakan berada dalam kondisi baik oleh ratarata responden dari grup 3 dan 5 (60% dan 63,64%). Rata-rata responden dari grup 1, grup 2, grup 4 dan grup 6 (45,45-63,64%) merasa hubungan antar stakeholder di Prigi berjalan cukup baik. Sedangkan responden grup 7 memiliki persepsi yang menyebar, sebagian menyatakan hubungan stakeholder berjalan baik, sebagian lagi menyatakan berjalan cukup baik dan sebagian yang lain menyatakan sering terjadi konflik. Konflik yang dimaksud disini (dalam 5 tahun terakhir) adalah pertengkaran antara nelayan dengan pedagang atau antara sesama pedagang, umumnya mengenai harga hasil tangkapan ikan. Selanjutnya mengenai kemudahan akses pelabuhan, peningkatan pelayanan pelabuhan serta peningkatan pengetahuan dan ketrampilan nelayan > 60% dari tiap grup menyatakan bahwa hal-hal tersebut perlu dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap stakeholder masih merasa kurang puas dengan

61 kondisi PPN Prigi. Selain itu nelayan juga merasa perlu untuk diberikan pengarahan mengenai pengetahuan dan ketrampilan. Jawaban tiap responden dianalisis menggunakan analisis diskriminan ganda. Lampiran 14 menampilkan hasil analisis diskriminan ganda mengenai prediksi keanggotaan responden berdasarkan usia, fungsi diskriminan dan wilks lambda. Semakin besar nilai wilks lambda (mendekati 1) artinya semakin besar kemiripan yang dimiliki oleh responden. Responden pada kelompok usia 59 tahun memiliki persentase tepat terprediksi paling banyak yaitu 5 responden atau 55,56%. Kelompok usia 35-40 tahun paling sedikit responden yang terprediksi tepat dalam kelompoknya. Responden pada kelompok usia lainnya menyebar dalam kelompok dan di luar kelompoknya. Penyebab responden tidak terprediksi tepat pada grupnya adalah jawaban mereka yang lebih mirip dengan grup lain. Hit ratio atau persentase responden yang kelompoknya dapat diprediksi secara tepat sebesar 36,23 % atau sebanyak 25 orang. Nilai proportional chance criterion adalah 14,98%, sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan untuk memprediksi keanggotaan grup akurat karena nilai hit ratio > nilai proportional chance criterion (Sub sub bab 3.3.4). Gambar 17 Perceptual map stakeholder berdasarkan usia.

62 Gambar 17 menunjukkan sebaran persepsi responden berdasarkan usia. Grup 4, 6 dan 7 memiliki grup centroid atau pusat pengelompokkan yang saling tumpang tindih. Artinya persepsi dari tiga kelompok usia tersebut memiliki banyak kemiripan. Hal ini disebabkan responden pada grup 4, 6 dan 7 telah memiliki pengalaman yang banyak sehingga memiliki pandangan yang mirip. Selain itu grup centroid dari grup 3 yang rata-rata berasal dari pihak pengelola dan grup 5 yang rata-rata merupakan nelayan juga saling tumpang tindih. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman kerja yang telah dilalui para nelayan telah membuat mereka mengerti bagaimana arah tujuan yang hendak dilakukan oleh pihak pengelola. Sedangkan grup 1 dan grup 2 memiliki grup centroid yang sedikit agak jauh dari grup-grup lainnya. Usia yang masih muda dan baru bergabung di dunia perikanan membuat mereka belum memiliki pandangan yang terlalu mirip dengan responden lain yang lebih tua usianya dan telah lebih lama berada dalam kegiatan perikanan. Secara keseluruhan persepsi antar stakeholder berdasarkan usia lebih banyak memiliki kemiripan, terlihat dari letak grup centroid yang berdekatan, hanya sedikit responden yang memiliki pendapat berbeda (berada jauh dari grup centroid). 5.4.2 Persepsi stakeholder berdasarkan tingkat pendidikan Jumlah responden yang disampling sebanyak 69 orang dengan tingkat pendidikan dibagi menjadi 4, yaitu: SD (grup 1) sebanyak 19 responden, SMP (grup 2) sebanyak 20 responden, SMA (grup 3) sebanyak 13 responden dan S1 (grup 4) sebanyak 17 responden. Mengenai kejelasan hak penangkapan, responden grup 1 (52,63%) dan grup 2 (55%) berpendapat bahwa nelayan dari desa lain boleh menangkap ikan di perairan Prigi. Responden pada grup 3 memiliki 3 jawaban menyebar dengan pendapat bahwa yang berhak menangkap ikan di Prigi adalah nelayan desa setempat, nelayan dari desa lain dan nelayan dari kabupaten lain. Sedangkan responden grup 4, mayoritas (70,59%) berpendapat bahwa nelayan dari kabupaten lain juga berhak menangkap ikan di perairan Prigi. Berbedanya pendapat grup 4 dengan grup lain disebabkan adanya perbedaan tingkat pendidikan. Responden berpendidikan S1 (grup 4) mengetahui

63 batas-batas perairan yang hanya boleh dikuasai nelayan Prigi maupun yang boleh dimanfaatkan nelayan dari desa atau kabupaten lain. Rata-rata responden dari semua grup (47,06%-85% di tiap grup) memiliki persepsi bahwa konflik antar nelayan jarang terjadi dalam 5 tahun terakhir. Stakeholder dengan tingkat pendidikan SD hingga S1 mengetahui bahwa terdapat bermacam-macam organisasi nelayan di Prigi. Sebanyak 89,74% grup 1, 70% grup 2 dan 84,62% grup 3 menyatakan bahwa terdapat beberapa organisasi atau kelompok nelayan di Prigi dan berjalan dengan baik. Jumlah grup 4 yang menyatakan organisasi nelayan berjalan dengan baik lebih sedikit dibanding grup lain (58,82%). Rata-rata responden grup 4 merupakan pihak pengelola, yang mengetahui dan sering dilibatkan pada kegiatan organisasi nelayan sehingga lebih mengetahui presentase organisasi yang masih berjalan dengan baik. Responden grup 1 (47,37%) dan grup 4 (64,71%) menyatakan bahwa hubungan antar stakeholder dalam kondisi baik. Sedangkan 60% grup 2 dan 61,54% grup 3 menyatakan bahwa hubungan antar stakeholder di Prigi berjalan cukup baik. Hanya 15,79% responden dari grup 1 dan 5% responden dari grup 2 yang merasa hubungan antar stakeholder sering terjadi konflik. Sebanyak 70%-94,12% dari tiap grup menyatakan perlu penambahan infrastruktur untuk kemudahan akses pelabuhan. Selanjutnya 70,59%-84,21% stakeholder berpendapat bahwa perlu adanya peningkatan pelayanan pelabuhan. Selain itu 73,68%-100% responden dari tiap grup merasa perlu untuk diadakannya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan nelayan. Hanya sekitar 10% responden dari grup 1 yang merasa peningkatan pengetahuan dan ketrampilan nelayan tidak perlu dilakukan. Responden ini berpendapat bahwa modal lebih penting daripada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan yang rendah kurang dapat menerima perubahan baru untuk mencapai kemajuan. Analisis diskriminan ganda memprediksi keanggotaan responden berdasarkan tingkat pendidikan (Lampiran 15). Prediksi keanggotaan responden ini dihasilkan dari skor diskriminan tiap fungsi. Responden pada kelompok pendidikan SD dan SMP lebih banyak yang terprediksi masuk dalam grup pendidikan SMA, yaitu sebanyak 63,16% dan 40,00%. Artinya stakeholder

64 dengan tingkat pendidikan SD dan SMP cenderung memiliki persamaan persepsi setara pendidikan SMA. Hal ini dapat disebabkan lamanya pengalaman kerja karena responden grup 1 dan grup 2 rata-rata merupakan orang yang berusia lebih tua dan telah lama berada dalam kegiatan perikanan tangkap. Responden dengan tingkat pendidikan S1 yang terprediksi tepat dalam grupnya sebanyak 64,71%, mereka lebih memiliki kemiripan pemikiran dalam grupnya karena persamaan pengetahuan yang dimiliki selama menempuh pendidikan. Hit ratio persepsi berdasarkan pendidikan adalah 39,13 % atau sebanyak 27 orang, sedangkan nilai proportional chance criterion adalah 25,60%. Artinya model yang digunakan untuk memprediksi keanggotaan grup akurat karena nilai hit ratio > nilai proportional chance criterion (Sub sub bab 3.3.4). Gambar 18 Perceptual map stakeholder berdasarkan tingkat pendidikan. Gambar 18 menunjukkan sebaran persepsi responden berdasarkan tingkat pendidikan. Grup berpendidikan SD dan SMA memiliki grup centroid atau pusat pengelompokkan saling tumpang tindih. Responden dengan pendidikan SD mayoritas merupakan nelayan yang telah berumur dan memiliki banyak pengalaman. Hal ini menyebabkan pemikirannya memiliki kemiripan dengan responden berpendidikan SMA yang telah menerima pengetahuan lebih dalam. Selanjutnya grup pendidikan SMP memiliki grup centroid yang juga berdekatan dengan grup SD dan SMP. Sedangkan kelompok dengan tingkat pendidikan S1

65 grup centroid nya sedikit lebih jauh karena pola pikirnya berbeda, yang dipengaruhi tingkat pendidikannya. Secara keseluruhan persepsi stakeholder berdasarkan tingkat pendidikan juga memiliki kemiripan yang tinggi. Hal ini terlihat dari kedekatan grup centroid diantara keempat grup serta nilai wilks lambda yang mendekati 1. Fungsi diskriminan ganda dan nilai wilks lambda dapat dilihat pada Lampiran 15. 5.4.3 Persepsi stakeholder berdasarkan pekerjaan Responden berjumlah 69 orang dengan kelompok pekerjaan dibagi menjadi 3, yaitu: nelayan (grup 1) sebanyak 41 responden (terdiri dari 18 nelayan purse seine, 7 nelayan payang, 6 nelayan gillnet, dan 10 nelayan tonda), bakul/pedagang (grup 2) sebanyak 9 orang serta pihak pengelola (grup 3) sebanyak 19 orang (2 orang SatPol-Air, 2 orang Perum PPS, 2 orang DKP Trenggalek, 2 orang TPI, 2 orang Satker PSDKP dan 9 orang PPN Prigi). Mengenai kejelasan hak penangkapan, responden pada grup 1 (48,78%) dan grup 2 (55,56%) berpendapat bahwa nelayan dari desa lain boleh menangkap ikan di perairan Prigi. Responden grup 3 sebanyak 73,68% berpendapat bahwa nelayan dari kabupaten lain juga berhak menangkap ikan di perairan Prigi. Hal ini terkesan bahwa nelayan dan pedagang tidak ingin berbagi sumberdaya dengan nelayan dari kabupaten lain karena akan berpengaruh terhadap menurunnya pendapatan mereka. Responden dari semua grup (75,61% grup 1, 66,67% grup 2 dan 47,37% grup 3) memiliki persepsi bahwa konflik antar nelayan jarang terjadi dalam 5 tahun terakhir. Rata-rata responden grup 1 berpendapat bahwa hubungan antar stakeholder dalam kondisi cukup baik. Sedangkan grup 2 terbagi menjadi 2 kelompok besar yang setengahnya menyatakan hubungan antar stakeholder berjalan dengan baik dan sebagian lain menyatakan hubungan stakeholder berjalan cukup baik. Hanya sedikit responden dari grup 1 dan grup 2 yang menyatakan sering terjadi konflik antar stakeholder. Sedangkan 63,16% responden grup 3 berpendapat bahwa hubungan antar stakeholder berjalan dengan baik. Sejumlah 78,05% grup 1, 100% grup 2 dan 57,89% grup 3 menyatakan bahwa terdapat organisasi atau kelompok nelayan di Prigi dan berjalan dengan

66 baik. Namun pada pertanyaan lanjutan mengenai keikutsertaan nelayan pada organisasi atau kelompok tersebut 28 orang atau 68,29% responden nelayan menjawab tidak tergabung dalam kelompok/organisasi apapun. Hal ini seringkali membuat nelayan tersebut mengalami kerugian. Sebagai contoh nelayan tersebut tidak mengetahui atau tidak diprioritaskan ketika ada bantuan pemerintah. Bantuan pemerintah biasanya diserahkan pada organisasi untuk memudahkan pendistribusian. Sehingga perlu penanaman pemahaman mengenai pentingnya organisasi, terutama bagi nelayan. Selanjutnya >70% dari tiap grup menyatakan perlu adanya penambahan infrastruktur untuk kemudahan akses pelabuhan, perlu adanya peningkatan pelayanan pelabuhan dan perlu untuk diadakannya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan nelayan. Hanya terdapat 7,32% responden dari grup 1 dan 11,11% responden dari grup 2 yang berpendapat bahwa tidak perlu lagi adanya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan nelayan. Analisis diskriminan ganda digunakan untuk melihat prediksi keanggotaan responden berdasarkan pekerjaan (Lampiran 16). Prediksi keanggotaan responden ini dihasilkan dari skor diskriminan tiap fungsi. Responden grup nelayan, bakul dan pengelola yang terprediksi tepat masuk dalam grupnya masing-masing adalah 60,98%; 44,44% dan 73,68%. Anggota tiap grup yang diprediksi tepat masuk grupnya lebih banyak daripada yang keluar dari grup, kecuali untuk grup bakul/pedagang. Hit ratio persepsi stakeholder berdasarkan pekerjaan adalah 62,32% atau sebanyak 43 orang sedangkan nilai proportional chance criterion adalah 44,59 %. Artinya model yang digunakan untuk memprediksi keanggotaan grup akurat karena nilai hit ratio > nilai proportional chance criterion (Sub sub bab 3.3.4).

67 Pekerjaan Gambar 19 Perceptual map stakeholder berdasarkan pekerjaan. Gambar 19 menunjukkan sebaran responden berdasarkan pekerjaan. Grup 1 dan grup 2 memiliki grup centroid atau pusat pengelompokkan yang lebih dekat dibanding grup 3. Hal ini disebabkan nelayan dan pedagang memiliki kepentingan yang lebih mirip, yaitu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Beberapa responden terprediksi keluar dari teritorial wilayahnya, namun secara keseluruhan ketiga grup memiliki grup centroid yang cukup dekat. Artinya persepsi ketiga grup pekerjaan tersebut memiliki kemiripan, hal ini diperkuat dengan nilai wilks lambda yang mendekati 1. Lampiran 16 menampilkan fungsi diskriminan dan nilai wilks lambda persepsi stakeholder berdasarkan pekerjaan. 5.5 Model Pengelolaan Berkelanjutan 5.5.1 Pemfokusan model pengelolaan Fokus model pengelolaan yang cocok di PPN Prigi dihasilkan dari kombinasi antara unit penangkap ikan dan ikan unggulan. Tiap kombinasi dinilai menggunakan skoring. Skoring yang digunakan merupakan skor ikan unggulan, skor ekologi dan skor ekonomi. Hasil perhitungan skoring dari model yang paling cocok untuk perikanan pelagis di PPN Prigi dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil skoring yang diperoleh, menunjukkan 3 model prioritas yang paling cocok

68 difokuskan di PPN Prigi. Fokus pengelolaan tersebut, yaitu perikanan tongkol menggunakan purse seine, perikanan cakalang menggunakan purse seine serta perikanan tongkol menggunakan gillnet. Tabel 13 Penentuan fokus model pengelolaan yang cocok di Prigi Kombinasi ikan dan API skor ikan unggulan Kriteria skor ekologi skor ekonomi Standardisasi V1 V2 V3 Total A1 3.010 0.390 5.160 1.000 0.000 1.000 2.000 A2 2.810 0.160 5.160 0.855 0.793 1.000 2.648 A3 2.500 0.100 5.160 0.630 1.000 1.000 2.630 A4 1.670 0.230 5.160 0.029 0.552 1.000 1.581 A5 1.630 0.320 5.160 0.000 0.241 1.000 1.241 B1 3.010 0.390 3.360 1.000 0.000 0.651 1.651 B2 2.810 0.160 3.360 0.855 0.793 0.651 2.299 B3 2.500 0.100 3.360 0.630 1.000 0.651 2.282 B4 1.670 0.230 3.360 0.029 0.552 0.651 1.232 B5 1.630 0.320 3.360 0.000 0.241 0.651 0.893 C1 3.010 0.390 4.170 1.000 0.000 0.808 1.808 C2 2.810 0.160 4.170 0.855 0.793 0.808 2.456 C3 2.500 0.100 4.170 0.630 1.000 0.808 2.439 C4 1.670 0.230 4.170 0.029 0.552 0.808 1.389 C5 1.630 0.320 4.170 0.000 0.241 0.808 1.050 D1 3.010 0.390 0.000 1.000 0.000 0.000 1.000 D2 2.810 0.160 0.000 0.855 0.793 0.000 1.648 D3 2.500 0.100 0.000 0.630 1.000 0.000 1.630 D4 1.670 0.230 0.000 0.029 0.552 0.000 0.581 D5 1.630 0.320 0.000 0.000 0.241 0.000 0.241 Keterangan: A=purse seine; B= pancing tonda; C=gillnet; D=payang 1=ikan tuna; 2=ikan tongkol; 3=ikan cakalang; 4=ikan lemuru; 5=ikan layang Setelah fokus model pengelolaan yang cocok untuk perikanan pelagis ditentukan, selanjutnya dirumuskan strategi pengelolaan yang baik untuk mencapai keberlanjutan perikanan pelagis. Perumusan strategi diawali dengan membuat matriks SWOT yang mewakili keberlanjutan ekologi, ekonomi dan sosial. Selanjutnya pembuatan balanced scorecard bertujuan mengukur apakah sasaran strategis dapat tercapai atau tidak. Hal ini dilakukan dengan memberikan rencana strategi jangka pendek dan rencana strategi jangka panjang sebagai tolok ukur keberhasilan agar sasaran strategis dapat tercapai.

69 5.5.2 Perumusan strategi Analisis SWOT yang dilakukan mengacu pada fokus model pengelolaan perikanan pelagis yang cocok di PPN Prigi. Hasil perhitungan keberlanjutan ekologi, ekonomi, sosial, hasil wawancara, kuesioner dan pengamatan di lapangan dianalisis menjadi faktor internal dan eksternal keberlanjutan perikanan pelagis. Analisis internal perlu diketahui untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki PPN Prigi serta mengatasi kelemahan-kelemahan yang terjadi. Faktor internal (kekuatan dan kelemahan) jumlahnya cukup banyak. Faktor-faktor tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1) Kekuatan: (1) Adanya partisipasi masyarakat untuk menjaga lingkungan yaitu dengan adanya kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS). POKMASWAS merupakan nelayan yang ikut mengawasi kegiatan perikanan utamanya di daerah pantai dan melaporkan pelanggaran kepada satuan kerja pengawasan sumberdaya perikanan (Satker PSDKP); (2) Adanya Daerah Perlindungan Laut (DPL) di daerah Karanggongso menjadi tempat yang ekologinya terjaga; (3) Tersedianya tempat pemindangan ikan meringankan biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengolah ikan. Namun tempat pemindangan di bengkorok belum dimanfaatkan secara optimal. Bangsal pengolahan dimaksudkan untuk mendongkrak industri pengolahan ikan dengan diversifikasi produk (bakso ikan, nugget dan sosis); (4) Banyaknya bakul/pedagang menjadi suatu kekuatan agar harga ikan tidak hanya dimonopoli oleh bakul/pedagang tertentu; (5) Ketersediaan bahan perbekalan yang relatif mudah meringankan biaya operasional yang dikeluarkan nelayan karena margin pemasaran tidak terlalu besar; (6) Terbentuknya jaringan pemasaran yang baik membuat kegiatan pemasaran hasil perikanan berjalan lancar; (7) Hubungan yang baik diantara stakeholder mempermudah komunikasi dan pengelolaan bersama perikanan pelagis.

70 2) Kelemahan: (1) Produksi perikanan yang telah melewati batas maksimum lestari. Hal ini mengkhawatirkan karena jika sumberdaya ikan unggulan tereksploitasi habis, maka kegiatan perikanan akan terhenti; (2) Data yang kurang akurat menyebabkan sulit terkontrolnya sumberdaya ikan dan rancunya pengambilan keputusan manajemen perikanan; (3) Kurangnya pengawasan dan sarana pengawasan terhadap ZEE merupakan kelemahan yang dialami di perairan Indonesia. Hal ini memudahkan orang asing memasuki wilayah perairan Indonesia dan menyebabkan terjadinya IUU fishing; (4) Kualitas ikan yang kurang baik utamanya terjadi pada alat tangkap purse seine yang dalam operasionalnya tidak membawa es. Hal ini lebih dirasa merugikan pada saat musim panen. Ikan akan terjual dengan harga yang sangat murah karena melimpahnya hasil tangkapan dan kurangnya tempat menampung; (5) Fungsi TPI kurang optimal, sehingga menyebabkan kegiatan perikanan lebih dikuasai oleh bakul/pedagang. Hal ini menyebabkan masalah pembayaran yang dikeluhkan beberapa pemilik kapal karena pembayaran oleh bakul tidak langsung dibayar penuh. Sehingga biaya operasional tidak dapat langsung berputar; (6) Pendidikan dan pengetahuan nelayan yang relatif rendah menyebabkan sulitnya penerimaan konsep pembangunan perikanan keberlanjutan. Sebagai contoh persepsi dari mayoritas nelayan purse seine dan gillnet yang tidak menginginkan pembatasan alat tangkap maupun hasil tangkapan; (7) Kurangnya kesadaran masyarakat untuk bergabung dengan organisasi menyebabkan kurang berkembangnya pemikiran nelayan. Kerugian lain yang dialami nelayan adalah tidak mengetahui jika ada bantuan yang sedang turun dan sulitnya mendapat bantuan karena tidak terorganisir; (8) Perbedaan visi antar stakeholder dan kurangnya koordinasi menyebabkan kegiatan perikanan kurang berjalan optimal. Nelayan dan bakul/pedagang