PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku"

Transkripsi

1 155 5 PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku Penangkapan ikan pada dasarnya merupakan aktifitas eksploitasi sumberdaya ikan di laut. Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis secara optimal dapat dilakukan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya tersebut dengan meningkatkan efisiensi eksploitasi yaitu pengoperasian alat tangkap yang efektif (teknologi), pengetahuan tentang sumberdaya ikan yang ditangkap (jenis, penyebaran, dan perkiraan jumlah), oleh karena itu informasi tentang keberadaan sumberdaya suatu perairan laut sangat penting untuk diketahui. Pemanfaatan sumberdaya perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi tangkap lebih. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan diketahui dengan terlebih dahulu mengetahui besarnya potensi sumberdaya (stok). Menurut Azis (1989) dan Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (1998), estimasi stok ikan di Indonesia dilakukan dengan enam metode pendekatan, yaitu sensus/transek, sweept area, akustik, production surplus, tagging, dan ekstra/intra-polasi. Diantara ke-enam metode pendekatan tersebut, metode surplus production adalah relatif paling murah, cepat dan sederhana dalam pengerjaannya. Faktor penentu keberhasilan penggunaan metode ini terletak pada keakuratan data yang digunakan antara lain data time series hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Informasi tentang status potensi sumberdaya yang tersedia perlu diketahui untuk pengelolaan sumberdaya secara optimal tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya yang ada. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi kelebihan penangkapan (overfishing). Suyasa et al (2007) menyatakan bahwa potensi ikan laut di Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun, dimana sekitar 73,43 persen atau 4,7 juta ton diantaranya adalah dari kelompok ikan pelagis, baik itu ikan pelagis besar maupun ikan pelagis kecil. Potensi ikan pelagis diperkirakan sekitar 3,6 juta ton per tahun atau 56,25 persen dari potensi ikan secara keseluruhan, dan baru dimanfaatkan sekitar 49,50 persen. Hasil analisis produksi

2 156 sumberdaya ikan pelagis kecil dengan menggunakan model surplus produksi Schaefer menunjukkan bahwa nilai MSY ikan pelagis kecil yang tertinggi di perairan Maluku adalah ikan layang sebesar ton per tahun dengan effort optimal sebesar trip per tahun dan ikan komu memiliki MSY yang paling rendah yaitu 1493 ton per tahun dengan effort optimal trip per tahun. Penyebaran kurva yang tidak normal pada tahun 2001 disebabkan karena faktor non teknis akibat konflik horizontal menyebabkan keamanan tidak terjamin sehingga jumlah nelayan melaut berkurang sementara stok ikan konstan sehingga hasil tangkapan meningkat terhadap jumlah armada yang sedikit. Effort optimal ikan komu (Auxist thazard) memiliki nilai tertinggi yaitu trip per tahun dan terendah pada ikan selar sebesar trip per tahun. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Maluku dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2001 sampai 2005) belum mencapai titik maximum sustainable yield (MSY). Hasil analisis dengan model surplus produksi Schaefer terhadap ikan pelagis besar menunjukkan bahwa ikan cakalang mempunyai MSY tertinggi sebesar ,78 ton/tahun dengan effort optimal trip per tahun. Sedangkan ikan layur mempunyai MSY terendah sebesar 250,00 ton/tahun dengan effort optimal trip per tahun dan sekaligus merupakan effort yang tertinggi sedangkan ikan tuna sebesar ,67 trip per tahun. Kondisi tersebut memberikan dugaan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan masih memungkinkan untuk dieksploitasi, mengingat pada batas yang melebihi potensi lestari belum tercapai sehingga memberikan peluang untuk meningkatkan produksi. Pauly (1979) dan Panayotou (1982) yang diacu dalam Atmaja dan Haluan (2003), menggunakan MSY sebagai titik sasaran acuan pengelolaan perikanan terutama ketidakpastian sehubungan dengan kekurangan data pada laju penangkapan ikan. Maximum sustainable yield (MSY) menurut Cunningham (1981) yang diacu dalam Atmaja dan Haluan (2003) hanya digunakan sebagai titik sasaran acuan pengelolaan sumberdaya ikan dalam jangka waktu yang pendek. Secara umum sumberdaya ikan pelagis kecil dan pelagis di perairan Maluku tingkat pemanfaatannya masih dibawah MSY. Hal ini disebabkan karena teknologi penangkapan masih bersifat tradisional berdampak pada produksi yang rendah

3 155 akibat produktifitas yang rendah. Berbeda seperti yang dilaporkan Atmaja dan Nugroho (2001), tentang perikanan pelagis di Laut Jawa yang telah mengalami kelebihan kapasitas dan kondisi stok ikan pelagis yang menurun drastis maka, perikanan pelagis kecil di perairan Maluku dapat dikatakan underutilized. Teknologi yang relevan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan dan pendapatan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan dengan memperbesar armada penangkapan serta penggunaan alat tangkap yang lebih efektif dan efisien (Solihin 2003). Wisudo (2008) mengatakan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pada suatu daerah penangkapan (fishing ground) diupayakan sesuai dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang boleh dimanfaatkan. Apabila tingkat pemanfaatan di suatu wilayah penangkapan ikan melebihi nilai optimumnya, maka akan terjadi penurunan efisiensi usaha penangkapan ikan, bahkan akan menyebabkan fenomena tangkap lebih (overfishing). Sebaliknya, bila tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya tidak optimal tentu akan merugikan, karena kelimpahan sumberdaya ikan yang ada hanya disia-siakan mati secara alamiah (natural mortality) atau bahkan dimanfaatkan oleh para nelayan asing, sehingga tidak memberikan manfaat yang optimal untuk masyarakatnya. Tujuan konsep MSY adalah pengelolaan sumberdaya alam yang sederhana yakni mempertimbangkan fakta bahwa persediaan sumberdaya biologis seperti ikan tidak dimanfaatkan terlalu berat, karena akan menyebabkan hilangnya produktivitas (Hermawan 2006). Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil maupun pelagis besar di perairan Maluku perlu ditingkatkan hingga batas optimum. Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa bila tingkat pemanfaatan dibawah angka MSY, akan terjadi tingkat pemanfaatan yang belum optimal, artinya walaupun tidak membahayakan ketersediaan stok ikan tetapi sumberdaya ikan tersebut masih kurang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Bila dilakukan perbandingan terhadap dua keadaan diatas sebagai konsekuensi dari upaya tangkap yang berlebih, maka penurunan produktifitas unit penangkapan lebih besar dibandingkan dengan peningkatan hasil tangkapan. Keadaan tersebut dapat dipahami mengingat jumlah nelayan terus meningkat secara tidak langsung akan

4 156 berdampak terhadap jumlah alat tangkap. Seperti yang dikatakan Gulland (1983) meningkatnya jumlah kapal maka bagian yang diperoleh dari masing-masing kapal (produktifitas) akan semakin kecil. Meski demikian jika kita cermati baik produksi yang telah dicapai maupun upaya tangkap yang telah dilakukan sudah mendekati batas lestari. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat trend jumlah penduduk pesisir (nelayan) semakin bertambah demikian pula alat tangkap yang digunakan. Mengacu kepada kondisi aktual tersebut, maka sangat diperlukan kehatihatian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, mengingat perikanan tangkap di perairan Maluku memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi. Aktualisasi dari upaya kehati-hatian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Maluku yaitu dilakukannya tatalaksana mengenai sikap dan perilaku praktek yang bertanggungjawab dalam kegiatan perikanan tangkap. Upaya konkritnya dapat dilakukan dengan mengacu kepada prinsip kehati-hatian (precautionary) sebagaimana yang tertuang dalam Code of Conduct of Responsible Fisheries (CCRF) (FAO 1995). Inti dari prinsip tersebut terdapat pada penekanan pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi hingga 80% dari MSY. Perhatian terhadap CCRF berimplikasi terhadap kebijakan pengembangan perikanan dimana target produksi ikan pelagis kecil di perairan Maluku menjadi 6180 ton/tahun dari jenis ikan selar dengan upaya penangkapan 1138,64 trip/tahun dan merupakan yang tertinggi dibandingkan jenis ikan pelagis lainnya. Sedangkan jenis ikan kembung 1320 ton/tahun dengan upaya penangkapan sebesar 1056 trip/tahun. Sementara untuk jenis ikan pelagis besar menempatkan jenis ikan tuna dengan target produksi sebanyak 4315,2 ton/tahun dengan upaya penangkapan 862,4 trip/tahun. Jenis ikan tongkol dengan target produksi sebesar 975,2 ton/tahun dengan upaya penangkapan 1950,4 trip/tahun dan sekaligus merupakan yang terendah dibandingkan dengan jenis ikan pelagis besar lainnya. Walapun ketentuan yang tercantum dalam CCRF bersifat tidak mengikat, akan tetapi karena bangsa Indonesia (khususnya di Maluku) yang merupakan bagian dari masyarakat dunia seyogyanya tidak mengabaikan prinsip yang termuat dalam CCRF. Selain karena memuat prinsip pengelolaan, juga mengandung nilainilai keberlanjutan, baik sumberdaya ikan maupun usaha penangkapan ikan. Oleh

5 155 karena itu pada masa yang akan datang target produksi dan upaya penangkapan dapat ditetapkan tidak melebihi dari kondisi tersebut. Perbandingan tingkat pemanfaatan dan pengupayaan pada kondisi lestari dan batas pemanfaatan ikan pelagis kecil dan pelagis besar sebagaimana dalam CCRF dapat terlihat pada Tabel 69 dan Tabel 70 Tabel 69 Perbandingan pemanfaatan ikan pelagis kecil dan pengupayaan pada kondisi aktual, estimasi MSY, F opt dan CCRF (80%) Jenis Ikan pelagis kecil Produksi /ton Aktual Estimasi CCRF (80%) Kondisi Tingkat Effort Effort MSY/ton F opt/trip MSY/ton aktual optimal (trip) (trip) Selar 3451, ,4 Under overfishing Layang 6765, ,4 1797,6 Under overfishing Tembang ,8 899,8 Under overfishing Teri ,2 981,7 Under overfishing Komu 355, ,2 2069,7 Under overfishing Kembung 831, , Under overfishing Sumber: data penelitian 2009 Tabel 70 Perbandingan pemanfaatan ikan pelagis besar dan pengupayaan pada kondisi aktual, estimasi MSY, F opt dan CCRF (80%) Jenis Ikan pelagis besar Aktual Estimasi CCRF (80%) Kondisi Produksi /ton Tingkat MSY/ton Effort aktual (trip) Effort optimal (trip) MSY/ton F opt/trip Tuna ,2 862,4 Under overfishing Tenggiri 40, , ,8 5642,4 Under overfishing Tenggiri papan , ,8 4257,6 Under overfishing Tongkol ,2 1950,4 Under overfishing Cakalang ,4 2488,8 Under overfishing Layur ,00 156, ,2 3023,2 Under overfishing Sumber: data penelitian 2009 Perbandingan kondisi aktual terlihat bahwa terjadi kenaikan terhadap tingkat MSY, effort optimal pada ikan pelagis. Fenomena yang terjadi adalah pemanfaatan yang dilakukan baik pada ikan pelagis kecil maupun pelagis besar di perairan Maluku belum mengalami tangkap lebih pada perairan tersebut, besarnya laju pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil dan besar di perairan Maluku diduga karena tekanan pemanfaatan sumberdaya di perairan tersebut dilakukan

6 156 setiap hari oleh kapal-kapal dengan peralatan teknologi modern yang datang dari luar daerah ini untuk mengeksploitasi potensi sumberdaya. Secara garis besar faktor yang menyebabkan semakin besarnya tekanan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan di perairan Maluku terbagi atas dua yaitu: faktor internal, dan faktor eksternal, antara lain: (1) Faktor internal: 1) Sumberdaya manusia 2) Teknologi penangkapan dominan sederhana 3) Kemampuan modal untuk meningkatkan kapasitas armada kecil 4) Rendahnya produktifitas unit penangkapan (2) Faktor eksternal: 1) Peningkatan jumlah nelayan 2) Fishing ground 3) Peningkatan jumlah unit penangkapan yang datang dari luar daerah Bertitik tolak dari kondisi tersebut dimana pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis kecil dan besar telah melampaui batas pemanfaatan dalam prinsip kebijakan pemanfaatan (CCRF) alternatif sehingga perlu dilakukan beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengganti unit penangkapan ikan yang tidak produktif dengan alat tangkap yang produktif (2) Melakukan rasionalisasi unit penangkapan berdasarkan kapasitas/daya dukung sumberdaya yang ada di perairan tersebut (3) Melakukan kontrol terhadap jumlah unit penangkapan dan dilakukan oleh instansi terkait (4) Melakukan ekspansi fishing ground (out shore) Pengembangan usaha perikanan tangkap ikan pelagis di perairan Maluku diarahkan pada peningkatan faktor biologi, teknik, ekonomi, dan sosial dalam sub sistem potensi sumberdaya ikan, sub sistem teknologi, sub sistem mutu, sub sistem pemasaran, sub sistem kelayakan usaha dan sub sistem infrastruktur. Hal tersebut dimaksud agar sistem usaha perikanan tangkap ikan pelagis yang ada dapat menguntungkan bagi pelaku usaha dan berkelanjutan. Peningkatan yang diharapkan yaitu dapat meningkatkan produksi dengan tetap menjaga kelestarian

7 155 sumberdaya, peningkatan pendapatan, kesejahteraan nelayan serta para pelaku yang terlibat dalam sistem usaha tersebut. 5.2 Teknologi Penangkapan Tepat Guna dan Alokasi Unit Penangkapan Optimum Tujuan pemilihan teknologi penangkapan tepat guna adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik, ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek bio-technico-socio-economi-approach, oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu: 1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumberdaya, 2) secara teknis efektif digunakan, 3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan, dan 4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan aktifitas penting di Maluku. Ikan yang ditangkap selama 5 tahun terakhir sangat beragam. Jumlah spesies ikan yang tertangkap sejak tahun 1998 hingga 2007 mencapai 97 spesies yang terdiri dari pelagis kecil (30 species), pelagis besar (22 species), demersal kecil (25 species), dan demersal besar (10 species). Sumberdaya ikan pelagis kecil didominasi oleh 6 spesies yaitu ikan teri (Stolephorus sp), kembung (Rastrelliger sp), tembang (Sardinella sp), layang (Decapterus sp), selar (Selaroides spp) dan lemuru (Sardinela lemuru). Sedangkan ikan pelagis besar didominasi oleh 6 species antara lain: cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna (Thunnus sp), tenggiri (Scomberomorus sp) tongkol (Auxis thazard), layur (Istiophorus sp), (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, 2008). Alat penangkapan ikan yang dominan di Maluku yakni pukat cincin, bagan, huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan. Menurut Monintja et al. (2001), bahwa alat tangkap sebagai komponen teknologi yang dijadikan standar perbandingan untuk kepentingan keberlanjutan perikanan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu: 1) penerapan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, 2) jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang

8 156 diperbolehkan, 3) kegiatan usaha harus menguntungkan, 4) investasi rendah, 5) penggunaan bahan bakar minyak rendah, dan 6) memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek biologi Tujuan utama pengelolaan sumberdaya perikanan ditinjau dari segi biologi adalah dalam upaya konservasi stok ikan untuk menghindari tangkap lebih (King and Ilgorm 1989 dalam Hermawan 2006). Dengan kata lain bahwa untuk keberlanjutan perikanan tangkap diperlukan upaya agar tidak terjadi tangkap lebih melalui konservasi stok ikan. Seleksi pemilihan teknologi penangkapan berdasarkan aspek biologi terhadap jenis unit penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Maluku menghasilkan pengembangan alat tangkap huhate, jaring insang permukaan, pancing tonda sebagai prioritas utama, kedua, dan ketiga diikuti oleh purse seine, bagan dan pukat pantai pada posisi berikutnya. Alat tangkap huhate memiliki CPUE lebih besar bila dibandingkan dengan alat tangkap lain, begitu pula jumlah trip (58.909,2) lebih unggul dari jaring insang permukaan (720,49) dan pancing tonda (393,27). Sedangkan untuk kategori komposisi hasil tangkapan (jumlah jenis) menempatkan bagan (skor 5) pada urutan pertama dan diikuti oleh pukat cincin (skor 3) dan pukat pantai (skor 3). Kelemahan dari huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan adalah hanya menangkap ikan tertentu dengan ukuran yang hampir seragam, seperti cakalang, tuna. Sementara untuk ukuran ikan yang layak tertangkap secara biologi menempatkan alat tangkap ikan pelagis besar seperti huhate (skor 3), pancing tonda (skor 3) dan jaring insang permukaan (skor 3) sebagai yang terbaik dibandingkan dengan alat tangkap ikan pelagis kecil yang hampir menangkap semua jenis ukuran ikan. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kelangsungan sumberdaya ikan. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Heriawan (2008) di perairan Kabupaten Pandeglang yang menempatkan pukat cincin sebagai prioritas utama pengembangan, dan jaring insang menempati urutan kedua. Perbedaan ini disebabkan karena untuk daerah Pandeglang untuk komposisi hasil tangkapan menduduki urutan pertama, sedangkan Provinsi Maluku, huhate menduduki urutan utama.

9 155 Semakin kecil nilai prioritasnya untuk komposisi hasil tangkapan, mengakibatkan semakin buruk nilai prioritasnya. Hal ini disebabkan karena alat tangkap ikan pelagis kecil dengan ukuran mata jaring yang hampir sama (0,25 mm) untuk pukat pantai dan bagan akan sangat mempengaruhi hasil tangkapan ikan pelagis kecil dari faktor biologi. Hal ini berbanding terbalik dengan alat tangkap ikan pelagis besar yang sebagian besar sebagai alat tangkap ramah lingkungan. Khususnya untuk jaring insang permukaan dengan ukuran mata jaring (4 sampai 7 inchi) khususnya menangkap jenis ikan pelagis besar yang sesuai dengan ukuran mata jaring. Sementara untuk alat huhate dan pancing tonda, walaupun komposisi hasil tangkapan yang diperoleh tidak sebanyak alat tangkap pukat cincin namun dari aspek biologi lebih baik dibandingkan pukat cincin karena ikan yang tertangkap mempunyai ukuran yang sama serta sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek teknis Seleksi berdasarkan aspek teknis, memprioritaskan pancing tonda sebagai prioritas dan diikuti oleh jaring insang permukaan, huhate, pukat cincin, bagan, dan pukat pantai. Pancing tonda lebih diprioritaskan karena lebih mudah dioperasikan dan memiliki selektivitas yang tinggi dibandingkan dengan pukat pantai dan bagan. Aspek teknis ini sama dengan hasil penelitian Heriawan (2008) di perairan Pandeglang, dimana prioritas pertama berdasarkan aspek teknis di perairan tersebut yang layak untuk dikembangkan adalah untuk alat tangkap pancing sedangkan pukat cincin menempati urutan prioritas kedua. Menurut Widodo dan Suadi (2006), dalam suatu usaha penangkapan atas suatu stok ikan maka tertangkap pula stok lainnya sebab usaha penangkapan dilakukan pada perikanan multi jenis akan terdapat adanya tangkapan sampingan (bycatch). Pada aspek biologi, pukat pantai dan bagan sebagai prioritas akhir dan merupakan unit penangkapan yang tergolong tidak selektif, namun dari berbagai data dan informasi belum ditemukan tingkat kerusakan sumberdaya di perairan Maluku sebagai akibat dari pengoperasian alat tangkap tersebut. Di Maluku penangkapan ikan dengan pukat cincin menggunakan alat bantu penangkapan

10 156 berupa rumpon, sedangkan pada malam hari menggunakan alat bantu lampu (light fishing). Pengoperasian alat tangkap (X1) untuk jenis alat huhate, pancing tonda, jaring insang sangat sulit namun nelayan masih mampu mengatasinya sehingga unggul dari alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, bagan. huhate (skor 3), pancing tonda (skor 3), jaring insang (skor 3) unggul dalam pengoperasian alat tangkap sedangkan sedangkan daya jangkau operasi penangkapan alat tangkap juga mempunyai skor yang sama masing-masing skor 5. Hal ini disesuaikan dengan hasil skoring sesuai jawaban nelayan responden terhadapnya. Sedangkan untuk daya jangkau pengoperasian alat tangkap ikan pelagis besar pada umumnya lebih jauh (>5mil) bila dibandingkan dengan alat tangkap pelagis kecil yang pengoperasiannya di daerah pantai (<5mil). Lingkungan fisik sangat berpengaruh terhadap semua jenis alat tangkap terutama pada alat tangkap ikan pelagis besar dengan daerah penangkapan yang jauh memungkinkan kapal penangkap harus laik laut. Pukat cincin merupakan alat tangkap yang produktif karena tujuan penangkapannya adalah ikan-ikan yang sifatnya bergerombol. Walaupun produktifitasnya lebih tinggi daripada jaring insang tetapi dari teknik pengoperasian alat, jaring insang merupakan alat tangkap yang lebih mudah dioperasikan dan lebih ramah lingkungan karena selektivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan pukat cincin. Bagan juga merupakan alat tangkap yang produktif tetapi tidak selektif dan pengoperasiannya lebih sulit daripada jaring insang. Alat tangkap bagan di perairan Maluku menggunakan lampu petromaks sebagai sumber cahaya karena ikan umpan bersifat phototaxis positif sehingga dengan adanya sumbercahaya maka ikan akan berkumpul dan proses penangkapan dapat dilakukan. Alat tangkap huhate, pukat cincin, pancing tonda menggunakan teknologi alat bantu penangkapan yang lengkap bila dibandingkan dengan pukat pantai dan bagan. Pukat pantai didalam pengoperasiannya menggunakan tenaga manusia sebanyak 12 orang untuk menarik alat tangkap tersebut, sementara alat tangkap bagan dalam pengoperasiannya, saat seting maupun hauling hanya membutuhkan tenaga 2 sampai 3 orang.

11 Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek sosial Pada aspek sosial, menempatkan huhate dan pukat cincin sebagai prioritas pertama dan kedua dalam pengembangan disusul pancing tonda, jaring insang, pukat pantai dan bagan. Hal ini disebabkan karena huhate dan pukat cincin menyerap lebih banyak tenaga kerja, kesempatan kerja lebih besar serta memberikan upah yang lebih besar bagi tenaga kerja dibandingkan dengan jaring insang, pukat cincin, jaring insang, bagan. Huhate unggul untuk semua kriteria penilaian baik itu respon penerimaan alat baru, tingkat pendidikan, konflik antar nelayan, pengalaman kerja, serta jumlah tenaga kerja. Sering terjadi konflik nelayan antar alat tangkap pukat cincin di daerah penangkapan. Penyebab terjadinya konflik adalah keberadaan alat bantu penangkapan (rumpon) yang terdapat di fishing ground. Sementara alat tangkap pukat pantai walaupun unggul dalam penyerapan tenaga kerja, tetapi kelemahannya terdapat pada tingkat pendidikan (skor1) tidak terlalu trampil serta pengalaman kerja sebagai nelayan (skor 1). Pancing tonda dan jaring insang unggul pada empat kriteria penilaian respon penerimaan alat tangkap baru (skor 5) (Y1), tingkat pendidikan (skor 5) (Y2), konflik antar nelayan (skor 5) (Y3), pengalaman kerja sebagai nelayan (skor 5) (Y4) sementara Y5 (jumlah tenaga kerja) (skor 5) alat tangkap ini hanya membutuhkan 2 sampai 3 orang nelayan. Walaupun alat tangkap bagan unggul pada kriteria penerimaan alat tangkap baru, justru nelayan yang mengoperasikan alat ini hampir seluruhnya lulusan sekolah dasar. Di perairan Pandeglang, purse seine juga menempati urutan prioritas pengembangan dan bagan menempati urutan berikutnya (Heriawan 2008). Satu hal yang perlu mendapat perhatian sebagaimana dikatakan Panayotou (1992) diacu dalam Suyasa et al. (2007), bahwa pada umumnya di negara sedang berkembang khususnya pada perikanan skala kecil, peluang untuk mendapatkan pekerjaan lain (employment opportunities) bagi nelayan tidak ada. Hal ini mengakibatkan upaya penangkapan yang beroperasi di perairan cenderung lebih besar sehingga jumlah nelayan yang terlibat juga semakin besar. Salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup nelayan adalah dengan menjaga kelangsungan hidup dengan meningkatkan efisiensi serta mengganti

12 156 kapal dengan ukuran yang lebih besar. Cara tersebut selain dapat menyerap jumlah tenaga kerja yang lebih juga dapat meningkatkan jumlah hasil tangkapan. Karunia et al. (2008), mengatakan bahwa arah pembangunan nasional harus ditindaklanjuti melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui kebijakan peningkatan kesejahteraan guna menanggulangi kemiskinan, yakni dengan cara: 1) modal usaha untuk mengembangkan kewirausahaan, 2) pemberdayaan sumberdaya manusia, dan 3) penguatan kelembagaan dan pengembangan teknologi, oleh karena itu model peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil menggunakan ketiga indikator tadi Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek ekonomi Pancing tonda menempati prioritas pertama pengembangan setelah dilakukan seleksi berdasarkan aspek ekonomi. Prioritas kedua adalah huhate, jaring insang permukaan pada posisi ketiga, kemudian yang terakhir adalah pukat cincin, bagan, dan pukat pantai. Pancing tonda dan huhate unggul pada semua kriteria penilaian penerimaan kotor per trip (Z1), penerimaan kotor per jam operasi (Z2), penerimaan kotor per alat tangkap per bulan (Z3), penerimaan kotor per tahun (Z4), dan penerimaan kotor per tenaga kerja (Z5). Penerimaan kotor per trip pancing tonda Rp , huhate Rp , sedangkan penerimaan per bulan pancing tonda Rp , huhate Rp Hal ini disebabkan karena pada kedua alat ini penerimaan yang diterima, baik penerimaan kotor/trip operasi, penerimaan kotor/jam, penerimaan kotor alat tangkap/bulan, penerimaan kotor/tahun melampaui hasil penerimaan yang diterima dari alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, bagan dan jaring insang permukaan. Penerimaan kotor per trip pukat cincin (Rp ), pukat pantai (Rp ), bagan (Rp ), penerimaan per bulan pukat cincin (Rp ), pukat pantai (Rp ), dan bagan (Rp ). Pukat pantai merupakan alat tangkap yang menduduki urutan paling rendah dalam memenuhi semua kriteria penilaian. Modal yang dibutuhkan untuk 1 unit pukat pantai adalah Rp Hal ini tentunya membutuhkan kerja keras dari nelayan, apabila hal ini tidak tercapai maka tentunya nelayan akan mengalami kerugian yang besar. Alat tangkap bagan walaupun tidak unggul pada penerimaan kotor/trip,

13 155 penerimaan kotor/bulan (skor 1) namun alat ini unggul pada penerimaan kotor/tahun, penerimaan kotor/tenaga kerja (skor 3). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pukat cincin merupakan alat tangkap yang efektif dalam menghasilkan ikan hasil tangkapan. Perkembangan pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Cina Selatan tidak terlepas dari perkembangan alat tangkap pukat cincin pasca pelarangan alat tangkap trawl memperlihatkan bahwa pukat cincin merupakan alat tangkap yang produktif, efektif dan efisien (Atmaja, Wiyono dan Nugroho 2001). Suyasa et al. (2007) mengatakan bahwa alat tangkap pukat cincin merupakan alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap ikan pelagis kecil sehingga dipergunakan sebagai alat tangkap baku dalam mengevaluasi status perikanan pelagis kecil di perairan Laut Jawa Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan penilaian gabungan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi Penentuan prioritas pengembangan kegiatan perikanan di suatu daerah tidak hanya dilihat dari satu atau dua aspek tetapi dari berbagai macam aspek yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan kegiatan tersebut. Demikian pula pada kegiatan pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku, ditentukan dengan menganalisis semua aspek yakni biologi, teknis, sosial, dan ekonomi. Setelah menganalisa keempat aspek tersebut maka hasil yang diperoleh adalah prioritas pertama pengembangan pada unit penangkapan huhate. Hal ini disebabkan karena huhate unggul pada aspek biologi (736,46), sosial (2,7). Sementara pancing tonda pada urutan kedua dan unggul pada aspek teknis (2, 21) dan aspek ekonomi (2,9) serta jaring insang permukaan menduduki prioritas ketiga dalam pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Maluku. Sejalan dengan tujuan strategis pengembangan perikanan pelagis di Provinsi Maluku yang memprioritaskan peningkatan jumlah hasil tangkapan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, maka prioritas pengembangan pancing tonda, huhate, jaring insang, serta pukat cincin merupakan suatu alternatif yang paling efektif untuk mendukung tujuan strategis tersebut. Haluan dan Nurani (1988) menyatakan bahwa pukat cincin adalah unit penangkapan ikan pelagis yang paling produktif. Demikian pula, Yuliansyah (2002) menyatakan bahwa

14 156 pukat cincin merupakan unit penangkapan yang tepat dikembangkan untuk menangkap ikan-ikan pelagis. Heriawan (2008) dalam menentukan prioritas pengembangan unit penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Pandeglang juga memprioritaskan purse seine sebagai yang pertama. Tujuan pengembangan adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan pada dasarnya dengan tidak mengabaikan faktor keberlanjutan dan faktor ramah lingkungan. Faktor keberlanjutan tersebut berkaitan dengan perikanan tangkap yang bertanggungjawab, karena bila hanya mementingkan keinginan saat ini dengan melakukan penangkapan berlebih (over exploited) dan eksploitasi yang hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya ditakutkan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan, bahkan penurunan hasil tangkapan. Fauzi dan Anna (2005) mengatakan bahwa pembangunan perikanan tangkap harus didekati dengan pendekatan menyeluruh (holistic) yang menyangkut beberapa aspek, seperti ekologi (tingkat eksploitasi, keragaan rekruitmen, perubahan ukuran tangkap, dan sebagainya), ekonomi (tingkat subsidi, kontribusi perikanan, penyerapan tenaga kerja dan sebagainya), sosial (pertumbuhan komunitas, status konflik, tingkat pendidikan dan sebagainya), teknologi (produktivitas alat, selektivitas alat, ukuran kapal, dan sebagainya), dan etik (illegal fishing, mitigasi terhadap habitat dan ekosistem, sikap terhadap limbah dan bycatch. Kesteven (1973) dan Monintja (2000) diacu dalam Wisudo (2008) mengemukakan bahwa komponen-komponen utama dari sistem perikanan tangkap adalah sumberdaya ikan, unit penangkapan ikan, masyarakat (nelayan), prasarana pelabuhan, sarana penunjang (galangan kapal, bahan alat tangkap ikan, dan mesin kapal), unit pemasaran dan unit pengolahan. Keseluruhan komponen tersebut sangat menentukan upaya mewujudkan perikanan tangkap bertanggungjawab. Pengembangan perikanan bertanggungjawab pada dasarnya ditujukkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, memenuhi kebutuhan pangan, dan sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya ikan beserta lingkungannya.

15 Aspek berkelanjutan berdasarkan CCRF Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang memperhatikan aspek kelanjutan di perairan Maluku adalah pukat cincin, pukat pantai, bagan, huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan, pukat udang, payang, pukat tarik, rawai, perangkap. Pancing tonda berpotensi untuk dapat dikembangkan di perairan Maluku setelah dianalisis berdasarkan aspek berkelanjutan sumberdaya ikan serta pemanfaatannya. Untuk kriteria memenuhi ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku, pancing tonda memiliki skor 4 karena sesuai dengan persyaratan CCRF, UU No 31/2004 tentang perikanan, peraturan daerah dan hukum adat yang selalu mengedepankan pelestarian sumberdaya. Pancing tonda memiliki memiliki keunggulan pada lima (5) kriteria penilaian penangkapan berkelanjutan dengan total skor tertinggi 23, nilai rata-rata 3,83 dan memperoleh skor 4 pada menerapkan kriteria teori ramah lingkungan, jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, menguntungkan, penggunaan BBM rendah, serta memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu kriteria yang menjadi kekurangan dari alat tangkap ini adalah investasi rendah (skor 3). Hal ini disebabkan karena untuk membuat 1 unit pancing tonda (kapal, alat tangkap, mesin) dibutuhkan biaya Rp Huhate didalam pengoperasiannya, dilakukan di lautan bebas sehingga tidak mempengaruhi lingkungan sekitarnya serta memperoleh keuntungan yang cukup besar (Rp sampai Rp /bulan), oleh karena itu alat tangkap ini dianggap menguntungkan. Selain itu alat tangkap ini juga tidak dioperasikan pada daerah karang sehingga tidak mempengaruhi ekosistim di daerah ini sehingga hal ini sangat berhubungan erat dengan kaidah pemanfaatan sumberdaya laut menurut CCRF, UU No 31/2004 tentang perikanan, peraturan daerah dan hukum laut. Huhate mempunyai skor 22 dan jaring insang permukaan dengan skor 18 dianggap sebagai alat tangkap yang menduduki ranking kedua dan ketiga sebagai alat tangkap berkelanjutan. Pada alat tangkap jaring insang permukaan mempunyai kekurangan hanya terjadi pada penggunaan bahan bakar (skor 2) karena pada kapal/perahu yang digunakan hanya menggunakan mesin 25PK bila dibandingkan dengan kapal huhate ( mesin inboard) maupun pancing tonda 40 PK sehingga membutuhkan biaya bahan bakar yang besar.

16 156 Perangkap/bubu dengan hasil skor 18 dengan nilai tinggi (skor 4) untuk kriteria jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, investasi rendah, serta penggunaan bahan bakar rendah (BBM). Pada prinsipnya operasi penangkapan bubu dilakukan hanya pada satu tempat dengan ukuran ikan yang tertangkap relatif tidak terlalu besar dan hasil tangkapannya sedikit. Kriteria investasi rendah karena dapat dibuat dengan biaya yang relatif kecil (<Rp ) per unit. Bagan sebagai unit penangkapan berlanjutan dan memperoleh hasil skor 15 dengan nilai skor tinggi (skor 3) untuk kriteria jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, penggunaan BBM rendah dan memenuhi ketentuan perundangundangan yang berlaku. Dalam pengoperasian alat tangkap bagan hanya dibutuhkan sekitar 20 liter minyak tanah untuk bahan bakar lampu petromaks (Rp /hari operasi). Sedangkan untuk kriteria menguntungkan (skor 2) tentunya sangat berpengaruh terhadap pengoperasian alat ini, hal ini juga sama dengan penggunaan investasi yang besar pada alat tangkap ini (skor 2) karena dalam pembuatan alat tangkap ini dibutuhkan biaya sekitar Rp sampai Rp /unit. Unit penangkapan ikan yang kurang mendukung terhadap kriteria keberlanjutan berdasarkan CCRF adalah pukat pukat pantai, pukat tarik. Meskipun pukat pantai tidak menerapkan kriteria keberlanjutan berdasarkan CCRF karena alat ini hanya memenuhi 1 dari 5 aspek yang di nilai. Aspek yang dapat dipenuhi oleh alat tangkap pukat pantai ini adalah penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang rendah karena alat ini dalam pengoperasiannya hanya membutuhkan 10 liter minyak tanah/trip (Rp ). Pukat pantai yang digunakan di perairan Maluku dengan ukuran jaring 0,25 mm tentunya sangat berpengaruh terhadap biota-biota laut yang ada di sekitar daerah pantai. Alat tangkap pukat pantai membutuhkan dana yang cukup besar (skor 3) diperkirakan sekitar Rp sehingga dengan dana yang cukup besar tidak seimbang dengan hasil tangkapan yang diperoleh sehingga pada umumnya nelayan pukat pantai di perairan Maluku mengalami kerugian yang cukup besar. Pukat tarik juga mempunyai mengalami hal yang sama seperti pukat pantai. Hal ini diakui bahwa pukat tarik dalam pengoperasian di sekitar pinggiran pantai dilakukan dengan cara menarik semua jenis-jenis ikan baik berukuran kecil

17 155 maupun besar yang ada di sekitar wilayah pantai. Biaya investasi (skor 2) yang dibutuhkan oleh pukat tarik di perairan Maluku diperkirakan sekitar Rp sampai Rp Aspek ramah lingkungan berdasarkan CCRF Hasil seleksi aspek ramah lingkungan terhadap alat tangkap yang beroperasi di perairan Maluku adalah huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan, rawai, payang, pukat cincin, perangkap, dan bagan. Sedangkan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan adalah pukat pantai, pukat tarik, pukat udang. Pancing tonda merupakan alat tangkap yang cukup sempurna (skor 3,55) dalam penilaian terhadap alat tangkap ramah lingkungan karena alat tangkap ini dapat mewakili semua kriteria-kriteria penilaian terhadap aspek ramah lingkungan. Huhate termasuk dalam alat tangkap ramah lingkungan karena alat ini memenuhi kriteria selektifitas tinggi dan produknya tidak membahayakan konsumen (skor 4). Hal ini disebabkan karena alat ini hanya juga menangkap jenis ikan tertentu saja sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan serta produk hasil tangkapan juga tidak membahayakan konsumen. Alat tangkap ini termasuk bersama dengan jenis pancing lainnya seperti pancing tonda, handline, multiple handline yang dikategori sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan Jaring insang permukaan (skor 3,22) merupakan alat tangkap yang sangat ramah lingkungan karena alat ini juga cukup mendukung terhadap aspek ramah lingkungan. Alat ini mempunyai selektivitas yang tinggi dan tidak berpengaruh terhadap nelayan (skor 4). Hal ini disebabkan karena dalam pengoperasiannya alat tangkap ini hanya menangkap ikan yang sesuai dengan ukuran mata jaring yang digunakan. Jaring insang yang dipergunakan adalah berukuran mata 4 sampai 7 inci sehingga hanya untuk menangkap ikan pelagis besar di perairan Maluku. Pukat cincin termasuk alat tangkap yang harus diperhitungkan terhadap penilaian kriteria ramah lingkungan karena alat ini hasil tangkapan berkualitas tinggi (skor 3), tidak membahayakan nelayan (skor 3), produknya tidak membahayakan konsumen (skor 3), serta by catch dan discard minim (skor 3). Produk dari pukat cincin tidak destruktif, by catch rendah serta jenis ikan hasil tangkapan alat ini berupa jenis ikan pelagis kecil (kembung, layang, selar, teri dan

18 156 lain-lain). Hasil tangkapan dari alat ini mendominasi 60 % semua pasar lokal di daerah Maluku, khususnya kota Ambon. Produk rawai dipastikan aman bagi konsumen, hal ini disebabkan karena dalam pengoperasiannya alat ini tidak menggunakan bahan berbahaya seperti: potasium, bahan peledak untuk memperoleh hasil tangkapan sehingga dapat dikatakan aman bagi konsumen, sedangkan skor 3 untuk kriteria dapat diterima secara sosial di masyarakat karena pengusahaan rawai hanya membutuhkan biaya kecil, menguntungkan, serta tidak bertentangan dengan budaya serta memenuhi peraturan perikanan yang berlaku. Bagan juga memiliki kriteria penilaian tidak destruktif terhadap habitat (skor 3), hasil tangkapan berkualitas tinggi (skor 3), tidak membahayakan nelayan (skor 3), serta produknya tidak membahayakan konsumen (skor 3). Alat tangkap bagan ini dalam pengoperasiannya tidak terlalu berpengaruh terhadap habitat di sekelilingnya karena pengoperasiannya di laut lepas. Hasil tangkapan yang diperoleh cukup berkualitas tinggi dari jenis-jenis ikan pelagis kecil seperti ikan teri, kembung, layang. Di daerah Maluku khususnya pengoperasian bagan sangat berpengaruh terhadap pengoperasian alat tangkap huhate karena ikan umpan yang diperoleh dari alat tangkap ini dipergunakan sebagai umpan hidup untuk penangkapan ikan cakalang. Harga ikan pelagis kecil yang dipergunakan sebagai ikan umpan untuk penangkapan cakalang sekitar Rp /ember. Pukat pantai merupakan unit penangkapan yang cenderung merusak lingkungan dibandingkan dengan alat tangkap lainnya di perairan Maluku. Jenis alat tangkap pukat pantai, pukat udang, pukat tarik, merupakan alat tangkap yang cenderung merusak lingkungan dengan skor masing-masing 16. Pukat pantai mempunyai selektifitas yang terendah dan kurang diterima di masyarakat (skor 1). Hal ini disebabkan karena alat tangkap ini mempunyai ukuran mata jaring yang cukup kecil (0,25 inci) tentunya semua jenis ikan dari fase pertumbuhan sampai dewasa akan tertangkap oleh alat ini. Pukat tarik, pukat pantai mempunyai sifat destruktif yang tinggi (skor 1) terhadap habitat karena semua habitat biota laut yang terperangkap dalam alat tangkap ini minimal akan mengalami rusak (jika tidak tertangkap) pada saat jaring ini tidak ditarik.

19 155 Hasil analisis linear goal programming memperlihatkan terjadi penurunan jumlah alat penangkapan ikan pelagis seperti: pukat cincin, bagan, pukat pantai di perairan Maluku. Hal ini disebabkan karena jumlah ketiga alat tangkap ini tidak memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan lingkungan sehingga berpengaruh pada keberlanjutan sumberdaya yang ada. Hasil analisis liniear goal programming memperlihatkan terjadi penambahan dan pengurangan terhadap alat tangkap yang menangkap ikan pelagis. Alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan mengalami penurunan masing-masing: 15, 175, dan 240 unit untuk mencapai alokasi optimal, sedangkan huhate, pancing tonda dan jaring insang mengalami penambahan sebesar 1053 unit, unit, dan unit. Implikasi yang terjadi akibat penambahan jumlah alat tangkap di perairan Maluku berpengaruh terhadap potensi sumberdaya ikan, jumlah tenaga kerja, sedangkan implikasi akibat pengurangan jumlah alat tangkap dilakukan mengingat jenis alat-alat tangkap ini dalam pengoperasiannya tidak mengikuti aturan-aturan sesuai dengan kriteria penangkapan ikan berkelanjutan yang telah ditetapkan. Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, pengurangan terhadap jumlah alat tangkap adalah sangat efektif dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi yang diperlukan untuk mengurangi tekanan sumberdaya adalah dengan perbaikan teknologi tepat guna dari masing-masing alat tangkap sehingga keberadaan stok sumberdaya yang ada dapat berkelanjutan dengan mengikuti aturan yang berlaku. Perbaikan teknologi tepat guna yang dilakukan ini didasarkan pada keberlanjutan usaha yang dilakukan seperti: 1) menangkap ikan dengan ukuran jaring yang sesuai, 2) tidak merusak ekosistim perairan, 3) tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, 4) penggunaan teknologi penangkapan sesuai jenis ikan yang ditangkap, 5) serta dapat diterima secara sosial. Hasil analisis goal programming tidak merekomendasikan pukat cincin untuk dikembangkan berdasarkan solusi optimal basis, sehingga perlu pengurangan jumlah armada sebanyak 15 unit dari jumlah alokasi aktual (272 unit). Hal ini dilakukan karena alat tangkap ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan dan pada kondisi ini perlu perhatian serius dari stakeholder sehingga potensi sumberdaya tersebut dapat dikelola secara

20 156 optimal. Pengurangan jumlah pukat cincin ini perlu dilakukan dengan memperhatikan perubahan kapasitas perikanan pelagis kecil di perairan Maluku. Pada kondisi access capacity yang bersifat jangka pendek, unit penangkapan tersebut secara individual tidak menerapkan prinsip penangkapan berwawasan lingkungan, akan tetapi nelayan ingin memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya dalam penangkapan ikan tanpa memperhatikan stok ikan yang ada. Disisi lain walaupun terjadi pengurangan jumlah alat tangkap, namun diusulkan solusi untuk pengembangan untuk alat tangkap ini berupa desain teknologi tepat guna yang dapat memabntu nelayan dalam mengelola sumberdaya antara lain: 1) perubahan desain palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka, 2) ukuran kapal diperbesar, 3) serta penggunaan winch sebagai alat bantu penangkapan. Perubahan ini dilakukan sehingga sumberdaya dapat dikelola secara optimal mengingat selama ini nelayan pukat cincin Hasil analisis juga menunjukkan terjadi pengurangan terhadap jumlah alat tangkap pukat pantai sebesar 175 unit dari jumlah aktual 435 unit. Pengurangan terhadap alat tangkap ini dilakukan karena alat ini merupakan alat tangkap yang tidak efektif dan efisien mengingat alat ini merusak sumberdaya yang ada. Solusi yang diperlukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan boouke ami. Boouke ami adalah jenis alat tangkap yang menggunakan sumber cahaya untuk mengumpulkan ikan umpan dan digunakan pada pengoperasian alat tangkap huhate. Alat tangkap ini dapat dipakai pada kapal huhate sehingga kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat pukat pantai dapat terhindari. Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, pengurangan terhadap jumlah alat tangkap bagan sebanyak 240 unit dari hasil analisis berdasarkan solusi optimal basis (1659 unit) adalah sangat efektif dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi yang diperlukan untuk mengurangi tekanan sumberdaya adalah dengan menempatkan bagan pada jalur-jalur yang telah ditetapkan oleh instansi terkait. Kebijakan pengurangan terhadap alat tangkap bagan dilakukan sangat perlu dilakukan karena selama ini nelayan bagan dalam penempatan alat ini dilakukan pada daerahdaerah yang mengganggu alur pelayaran. Kebijakan yang dilakukan terhadap pengurangan jumlah armada dapat menimbulkan dampak bagi nelayan dan harus

21 155 mendapat perhatian serius, ditinjau dari aspek sosial dan tenaga kerja, dimana sebagian nelayan bagan akan kehilangan pekerjaan. Apabila terjadi pengurangan jumlah nelayan terhadap alat tangkap tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan bertahap untuk mencegah terjadinya konflik nelayan. Disamping itu, perlu penanganan yang lebih serius oleh instansi terkait dalam penyediaan lapangan pekerjaan alternatif yang efektif bagi nelayan yang bersedia meninggalkan alat tangkap tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan jumlah alat tangkap huhate sebanyak 1053 unit dari kondisi aktual 404 unit sehingga untuk mencapai hasil berdasarkan solusi optimal basis sebanyak 1457 unit. Solusi yang dilakukan terhadap pengembangan alat tangkap huhate ke depan melalui peningkatan motorisasi kapal penangkap dan perbaikan desain teknologi alat tangkap dan kapal, serta perbaikan manajemen usaha penangkapan menjadi lebih efisien. Perbaikan teknologi penangkapan ikan seharusnya sudah dimulai dari sekarang sehingga produk yang dihasilkan dapat di eksport keluar negeri. Pengembangan alat tangkap ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor pendukung dalam pengelolaan sumberdaya perikanan seperti: 1) ukuran kapal diperbesar, 2) perbaikan desain palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka, 3) serta perubahan teknologi penangkapan. Perubahan terhadap alat tangkap ini dilakukan sehingga dapat mengelola sumberdaya ikan pelagis besar secara efektif dan berkesinambungan. Beberapa pertimbangan untuk mengembangkan alat tangkap huhate berdasarkan wawancara dan pengamatan di lapangan, antara lain: 1) sumberdaya ikan pelagis kecil cukup potensial, 2) teknologi penangkapan lebih baik dikuasai oleh nelayan lokal, 3) armada dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh dari basis penangkapan, 4) lebih produktif, 5) penyerapan tenaga kerja lebih besar. Solusi yang dilakukan mengingat pengembangan alat tangkap ini sangat efektif dilakukan bila ditinjau dari faktor lingkungan dan aspek sumberdaya, karena pada prinsipnya ikan yang tertangkap dengan alat ini sangat efektif dalam ukuran. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan data lapangan di lokasi sampel, ukuran mata kail yang digunakan nelayan berukuran 1000 terutama dilakukan khusus untuk menangkap ikan pelagis besar.

22 156 Kebijakan penambahan berdasarkan hasil analisis terhadap alat pancing tonda sebanyak unit dari alokasi aktual unit untuk mencapai solusi optimal basis unit. Hal ini perlu dilakukan karena alat ini merupakan jenis alat tangkap yang mempunyai selektifitas tinggi, menghasilkan ikan berkualitas tinggi, tidak merusak habitat, serta menguntungkan. Beberapa solusi yang dilakukan terhadap alat ini adalah dengan perbaikan teknologi dalam proses penangkapan seperti: 1) penggunaan metode layang-layang dalam penangkapan ikan, 2) perbaikan desain cool box yaitu dengan penggunaan styrofoam, 3) perbaikan ukuran kapal (ukuran kapal di perbesar). Hal ini perlu dilakukan karena akhir-akhir ini semakin banyak permintaan akan ikan pelagis besar di pasaran domestik maupun internasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi penambahan jumlah alat tangkap jaring insang permukaan di perairan Maluku sebesar unit dari kondisi aktual untuk mencapai solusi aktual basis sebanyak unit. Pengembangan alat tangkap ini perlu dilakukan mengingat alat tangkap ini merupakan salah satu diantara alat tangkap ikan pelagis besar yang tidak merusak lingkungan. Kebijakan penambahan ini dilakukan agar dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan. Ditinjau dari aspek kelestarian sumberdaya, ikan yang tertangkap dengan alat tangkap jaring insang permukaan sangat selektif dalam ukuran. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran mata jaring yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis besar adalah 4 sampai 7 inchi, terutama untuk menangkap ikan cakalang, ikan tongkol, serta ikan tuna. Namun, tingkat penyerapan tenaga kerja nelayan dan produktifitas pada alat tangkap ini tergolong rendah. Solusi pengembangan jaring insang permukaan ke-depan dapat dilakukan melalui peningkatan motorisasi kapal penangkap, perbaikan desain kapal, perbaikan teknologi alat tangkap yang produktif, dan perbaikan manajemen usaha penangkapan menjadi lebih efisien. Optimalisasi alokasi unit penangkapan ikan pelagis di perairan Maluku memerlukan suatu kondisi pengelolaan sumberdaya ikan secara terpadu dan berkesinambungan dari berbagai stakeholder, karena posisi perairan tersebut bersinggungan langsung dan mencakup hampir seluruh wilayah administratif

23 155 kabupaten/kota di Maluku. Dalam rangka pengembangan potensi sumberdaya ikan ke depan, dengan terinspirasi oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, setiap pemerintah kabupaten/kota cenderung menentukan sendiri besar potensi sumberdaya ikan sesuai dengan luas wilayah administrasinya. Jumlah potensi kemudian digunakan sebagai dasar alokasi unit penangkapan ikan, tanpa memperhatikan sifat sumberdaya ikan yang beruaya dari suatu perairan ke perairan lainnya sehingga sulit untuk menentukan hak kepemilikannya. Penambahan unit penangkapan dapat dilakukan dengan memperbesar armada penangkapan dan perluasan daerah penangkapan ikan. Armada penangkapan yang lebih besar dibutuhkan agar dapat menjangkau daerah penangkapan ikan di luar zona pantai, karena selama ini daerah penangkapan ikan terbatas hanya pada daerah pantai. Nikijuluw (2002) mengatakan bahwa sifat eksludabilitas sumberdaya ikan yang berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu menjadi semakin sulit karena sifat sumberdaya ikan yang bergerak luas di laut. Kesulitan pengendalian dan pengawasan tersebut menimbulkan kebebasan pemanfaatan oleh siapa saja yang ingin masuk ke dalam industri perikanan tangkap. Kebebasan pemanfaatan dan kesulitan pengawasan terhadap unit penangkapan yang mengelola sumberdaya perikanan menghendaki suatu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) pelagis kecil maupun besar secara terpadu oleh kabupaten/kota yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya di perairan Maluku. RPP tersebut diharapkan akan memberikan arah yang jelas, terorganisir sehingga keberlanjutan pengelolaan sumberdaya dapat dimanfaatkan. Penyususan RPP seharusnya melibatkan pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengelola sumberdaya. Keterlibatan seluruh stakeholder dalam proses penyusunan dengan sendirinya mendorong proses peningkatan rasa memiliki secara bertanggungjawab untuk mengelola sumberdaya ikan dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan (Martosubroto 2007). Pembangunan perikanan di Maluku pada dasarnya mengacu pada kebijakan perikanan nasional tahun 2005 sampai 2009 dengan inti kebijakan tersebut adalah: 1) menjadikan perikanan tangkap sebagai andalan perekonomian dengan

24 156 membangkitkan industri perikanan nasional, 2) rasionalisasi, nasionalisasi, dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dan keberpihakan pada nelayan lokal maupun perusahan nasional, 3) mendorong Pemerintah Daerah untuk lebih proaktif dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya di wilayahnya secara berkelanjutan. Intinya pada tingkat provinsi, kebijakan pemerintah dalam bidang kelautan dan perikanan adalah termanfaatkan potensi secara optimal. Sasaran tersebut dijabarkan dalam program pembangunan yang dikembangkan sesuai tujuan pembangunan perikanan di Maluku. Perkembangan teknik penangkapan modern, terutama semenjak diperkenalkannya motorisasi (modernisasi perikanan) telah membagi formasi sosial nelayan menjadi dua kategori yaitu nelayan tradisional dan nelayan modern. Berdasarkan teknik dan alat penangkapan nelayan tradisional adalah nelayan yang masih mempertahankan cara penangkapannya dengan menggunakan kapal tanpa motor (KTM), tanpa inovasi teknologi, tanpa dukungan modal yang kuat, tanpa kelembagaan usaha yang efektif, cenderung bersifat subsistem, dan secara geneologi telah menekuni aktifitas tersebut secara turun temurun. Berbeda halnya dengan nelayan modern, teknik penangkapannya mengadopsi perkembangan teknologi, seperti kapal motor hingga ke teknologi citra satelit. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan adanya transformasi teknologi dan inovasi baru dalam kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tradisional. Hal tersebut merupakan syarat penting yang harus dipenuhi dalam rangka penciptaan perbaikan tingkat output dan produktifitas hasil tangkapan. Kenyataan yang ada sekarang adalah bahwa nelayan tradisional dengan teknologi dan kapasitas unit penangkapan yang masih rendah menyebabkan mereka hanya terkonsentrasi pada daerah penangkapan di sekitar pantai dimana potensi sumberdaya ikan di wilayah tersebut semakin menurun akibat meningkatnya upaya penangkapan yang dilakukan, namun demikian transformasi teknologi dan inovasi baru harus juga diimbangi dengan perubahan yang mempengaruhi seluruh struktur sosial, politik dan kelembagaan masyarakat nelayan sehingga tanpa adanya perubahan tersebut maka modernisasi dan peningkatan kapasitas penangkapan menjadi kontraproduktif.

25 155 Pemilihan jenis dan bentuk introduksi teknologi juga perlu mempertimbangkan kondisi tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan karena introduksi teknologi di samping dapat memberikan dampak positif terhadap produktifitas, tetapi terkadang memberikan dampak negatif karena penggunaan teknologi maju memberikan peluang tergesernya peran tenaga kerja manusia dalam proses produksi tersebut. Apabila tingkat pengangguran begitu tinggi, maka alternatif teknologi tepat guna dan padat karya mungkin dapat menjadi alternatif, tetapi apabila tingkat pengangguran tergolong rendah, maka pengenalan teknologi yang lebih efisien dapat menjadi pertimbangan. Teknologi yang relefan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan yaitu berupa memperbesar armada penangkapan dan penggunaan alat tangkap yang lebih efisien dan produktif. 5.3 Kendala pengembangan perikanan tangkap di perairan Maluku Pengembangan teknologi alat penangkapan ikan dalam rangka pemberdayaan masyarakat nelayan di perairan Maluku menghadapi beberapa kendala yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Daerah, antara lain: (1) Pendidikan Eksistensi sumberdaya manusia (SDM) dalam pengelolaan perikanan tidak dapat diabaikan. SDM memiliki multiflyer effect yang besar terhadap berbagai bidang dalam praktek kehidupan manusia berupa sikap, mental, manajerial dan keterampilan, sehingga kualitas SDM sangat menentukan dan memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan perikanan di daerah tersebut. Pada tahun 2006 jumlah nelayan di Provinsi Maluku berjumlah orang dengan struktur pendidikan yang beragam, yang paling dominan adalah tamatan Sekolah Dasar bahkan banyak nelayan juga yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dampak dari struktur pendidikan yang demikian adalah pada tingkat kemampuan nelayan untuk menerima teknologi baru, apalagi sampai tingkat teknologi modern selain itu juga mempengaruhi kemampuan dalam mengatur pendapatan sehingga nelayan terus terbelenggu dalam kemiskinan secara permanen khususnya kemiskinan struktural.

26 156 Konsekuensi lain rendahnya tingkat pendidikan nelayan adalah menyebabkan rendahnya pengetahuan nelayan tentang pelestarian lingkungan pesisir dan laut, sehingga kadang-kadang berperilaku negatif dan tidak bertanggung jawab. Hal ini demikian kemudian menyebabkan kerusakan terus meningkat. Pendidikan pada hakekatnya merupakan human investment dan sosial capital bagi kepentingan pembangunan di daerah. Pengembangan SDM seharusnya sudah dimulai dari sekarang serta dijadikan sebagai program utama pemerintah. Sebagaimana yang diamanatkan dalam CCRF tentang pentingnya peningkatan SDM bahwa setiap negara harus mengakui dan menyadari bahwa nelayan dan pembudidaya patut mendapatkan pemahaman yang benar tentang konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan (Nikijuluw 2002). Peningkatan kualitas SDM nelayan dapat dilakukan melalui tiga hal utama, yaitu 1) peningkatan kualitas sumberdaya anak buah kapal (ABK); 2) pemberian pelatihan teknologi dan pengelolaan usaha perikanan skala kecil dan menengah; 3) pemberian intensif modal usaha bagi kegiatan perikanan rakyat yang prospek lebih baik (Dahuri 2001). (2) Teknologi penangkapan Pemanfaatan sumberdaya ikan pada tingkat optimum dibutuhkan dukungan teknologi penangkapan yang modern, akan tetapi teknologi penangkapan yang digunakan di perairan Maluku masih bersifat turun temurun dan dalam operasi penangkapan lebih dominan menggunakan insting, sehingga produktifitas hasil tangkapan sangat terbatas. Operasi armada penangkapan terjauh yang dilakukan di perairan Maluku pada jarak >10 mil kearah laut itupun masih dilakukan oleh armada huhate, pukat cincin, serta pancing tonda dengan jumlah sangat terbatas. Peningkatan hasil tangkapan dilakukan dengan perbaikan teknologi sehingga mampu menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh. Beberapa teknologi yang dapat membantu dalam pengoperasian alat tangkap pukat cincin seperti penggunaan alat bantu wings sebagai alat penarik tali kolor pada pukat cincin. Penggunaan desain cool box pada kapal pancing tonda dan desain palka dengan penambahan styrofoam pada kapal huhate sangat membantu nelayan dalam penanganan hasil tangkapan karena belakangan ini permintaan ikan ekspor semakin besar. Demikian pula teknologi sederhana lain yang dapat dikembangkan

27 155 pada alat tangkap pancing tonda, adalah penggunaan layang-layang dalam proses penangkapan ikan tuna. Hal ini sangat membantu nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap tersebut karena dengan menggunakan metode ini lebih efektif karena tidak terpengaruh oleh suara bising yang diakibatkan oleh mesin pendorong. (3) Pelabuhan perikanan Fasilitas perikanan pada prinsipnya berperan sebagai fasilitas penunjang untuk meningkatkan produksi perikanan. Pendukung kegiatan operasi penangkapan ikan keberadaannya sangat penting dalam mendukung usaha perikanan tangkap. Fungsi dari pelabuhan perikanan maupun pangkalan pendaratan ikan (PPI) diantaranya sebagai tempat mendaratkan hasil tangkapan serta tempat berlabuhnya armada penangkapan ikan. Bila ditinjau dari faktor geografis maka keberadaan PPN di Tantui serta PPI di desa Eri di Kota Ambon memiliki arti yang strategis karena berada di zona pemukiman masyarakat pantai serta aktifitas perdagangan yang merupakan bagian dari perkembangan desa. (4) Ketersediaan bahan bakar minyak Bahan bakar minyak (BBM) merupakan input produksi yang sangat vital bagi nelayan baik skala kecil maupun skala industri yang ada pada suatu daerah. Ketergantungan nelayan terhadap ketersediaan BBM sangat tinggi, hal ini dapat dipahami oleh adanya kenyataan bahwa biaya operasional melaut terbebani oleh kebutuhan BBM. Kebutuhan BBM di perairan Maluku selama ini dipasok dari Depot Pertamina Waiyame serta SPBU di Kota Ambon. Jarak yang ditempuh angkutan BBM sampai ke desa-desa pesisir di pulau Ambon cukup jauh mengakibatkan harga jual BBM jauh melebihi harga eceran resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebanyakan tidak memiliki uang tunai untuk membeli BBM langsung di SPBU, sehingga mereka membeli dan meminjamkan uang dari dari para punggawa dengan harga Rp 5000 sampai Rp 5.500/liter. Harga yang sudah berlaku ini makin diperparah dengan kenaikan harga BBM sehingga dapat mempengaruhi nelayan dalam mengelola usaha pada bidang perikanan tangkap. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan campur tangan pihak pemerintah dalam menangani masalah yang dihadapi oleh nelayan, yaitu dengan solusi

28 156 pembangunan depot minyak pada desa yang masyarakatnya didominasi oleh nelayan. 5.4 Strategi Pengembangan Perikanan Pelagis di Maluku Perumusan strategi pengembangan perikanan pelagis didasarkan pada pendekatan analisis lingkungan strategis (LINSTRA) yang meliputi: kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Analisis LINSTRA pengembangan perikanan pelagis mengacu pada logika bahwa institusi atau organisasi yang berwenang bertanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya serta selalu berada dalam satu sistem yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain sehingga untuk menghasilkan rencana pengelolaan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan maka perlu mengenali dan menguasai informasi lingkungan strategi berdasarkan analisis (LAN-RI 2007). Analisis tersebut bermanfaat untuk mendeteksi perubahan dan peristiwa penting dalam pengelolaan, merumuskan tantangan dan peluang akibat perubahan, menghasilkan informasi tentang orientasi masa depan, dan merekomendasikan kegiatan yang dibuat organisasi. Hasil kajian berdasarkan analisis LINSTRA dapat memberikan beberapa alternatif kebijakan yang dapat digunakan sebagai acuan pengembangan perikanan pelagis di daerah Maluku. Bertolak pada matrik keterkaitan faktor internal, eksternal dan hasil analisis SWOT, maka dapat ditentukan strategi dan kebijakan pengembangan perikanan tangkap khususnya ikan pelagis di Provinsi Maluku, antara lain: 1. Strategi strength-opportunity (SO), menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada menempati urutan pertama dengan kebijakannya antara lain: Kebijakan 1: Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan bertujuan untuk mengupayakan optimalisasi pengembangan usaha perikanan tangkap, khususnya untuk ikan pelagis besar. Penambahan armada huhate sebanyak 1053 unit, pancing tonda unit, dan jaring insang unit.

29 155 Penambahan jumlah armada ini tentunya di sesuaikan dengan kondisi sumberdaya perikanan di daerah ini, sedangkan perubahan teknologi pada alat tangkap ini tentunya diharapkan untuk menambah income bagi nelayan sehingga dalam pengelolaan sumberdaya diharapkan dapat optimal. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar lokal, maupun regional, yang didukung dengan produksi sumberdaya ikan pelagis di Maluku yang tinggi dan dibarengi dengan adanya dukungan nelayan skala kecil yang tersedia cukup banyak serta tersedianya alat tangkap, umpan dan alat pengumpul ikan (rumpon). Kebijakan 2: Penerapan CCRF perlu segera dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) atau ketentuan perikanan yang bertanggungjawab diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan perikanan secara bertanggungjawab. Pedoman teknis ini akan memberikan kelengkapan yang diperlukan bagi upaya nasional dan internasional untuk menjamin pengusahaan yang lestari dan berkelanjutan menyangkut sumberdaya hayati akuatik yang selaras dan serasi dengan lingkungan. Pedoman ini juga ditujukkan terutama bagi para pengambil keputusan didalam otoritas pengelolaan perikanan dan kelompok yang berkepentingan, termasuk perusahan perikanan, organisasi nelayan, organisasi non pemerintah yang peduli dan lainlainnya. Adanya eksploitasi yang berlebihan stok ikan penting, modifikasi ekosisitim, kerugian ekonomi yang nyata dan persengketaan internasional mengenai pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam konversi jangka panjang perikanan dan kontribusi perikanan terhadap suplai pangan. 2 Strategi strength-threats (ST) yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk menghindari ancaman merupakan prioritas kedua dengan kebijakannya antara lain: Kebijakan 1: Melakukan aturan sesuai dengan batas wilayah penangkapan dan aturan pemasangan rumpon Kebijakan dalam menerapkan aturan batas wilayah penangkapan dan aturan pemasangan rumpon yang sesuai untuk perikanan skala kecil (pelagis kecil) bertujuan untuk mengupayakan kepemilikkan wilayah dari nelayan pelagis kecil

30 156 yang melakukan penangkapan pada wilayahnya, yaitu menetapkan hak kepemilikan dari nelayan skala kecil pada alat pengumpul ikan (rumpon) yang dipasang pada suatu perairan. Hal ini perlu karena harus disesuaikan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. Kep.30/Men/2004 tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon. Untuk menerapkan kebijakan ini dapat dilakukan dengan mengurangi kelemahan dan mengeliminasi ancaman dan menghasilkan kebijakan antara keterkaitan pengelolaan usaha perikanan yang masih rendah dengan batas-batas daerah penangkapan yang belum diterapkan. Perijinan pemasangan rumpon harus disesuaikan dengan aturan Pasal 3 Kep. 30/Men/2004 yang menyatakan bahwa ijin diberikan oleh: 1) Bupati/Walikota untuk pemasangan rumpon di wilayah perairan 2 sampai 4 mil laut, 2) Gubernur atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang perikanan untuk pemasangan rumpon pada 4 mil 12 mil laut, dan 3) Direktorat Jenderal atau Pejabat yang ditunjuk diatas 12 mil sampai ZEE Indonesia. Output yang diharapkan adalah pemasangan dan pemanfaatan rumpon sesuai dengan Kep 30/Men/2004 dengan harapan pemasangan diperairan Maluku harus teratur, tertata dan terdata dengan baik, pemasangan rumpon memberikan dampak efektifitas khususnya nelayan kecil, kepastian penangkapan sehingga menurunkan biaya operasional sehingga keuntungan meningkat. Penerapan kebijakan ini ditujukkan kepada nelayan yang memiliki perizinan dan diberikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, sehingga penambahan alat pengumpul ikan dan penangkapan ikan hanya ditujukkan kepada nelayan pemilik alat tangkap dan alat pengumpul ikan saja. Ini dilakukan agar nelayan-nelayan yang tidak memiliki izin penangkapan di daerah tersebut tidak melakukan penangkapan. Selain itu juga penerapan kebijakan ini dilakukan untuk mencegah konflik yang diakibatkan oleh perebutan penguasaan daerah penangkapan (fishing ground) yang merupakan sumber konflik antar nelayan. Dalam pemasangan rumpon harus disesuaikan dengan Pasal 10. Kep/Men/ 2004 tentang posisi penempatan rumpon. Penempatan rumpon harus mengikuti aturan yang mengatakan bahwa orang atau perusahan perikanan dalam pemasangan rumpon harus dengan syarat: 1) tidak mengganggu alur pelayaran, 2) jarak antara satu rumpon dengan rumpon lain tidak kurang dari 10 mil laut, 3)

31 155 tidak dipasang dengan cara pemasangan yang mengakibatkan efek pagar (zigzag); 4) ketentuan teknik pemasangan pemasangan rumpon selanjutnya harus ditetapkan oleh Direktorat Jenderal. Kebijakan 2: Memaksimalkan galangan kapal perikanan sebagai sarana pengembangan armada perikanan tangkap Didalam era perdagangan bebas ini dimana terjadi persaingan yang cukup tinggi, maju mundurnya suatu industri manufaktur seperti industri galangan kapal ikan sangat ditentukan oleh produk atau kapal ikan yang dihasilkannya baik dari segi kualitas, harga maupun waktu penyerahan kapal, tanpa memenuhi ketiga kriteria tersebut pihak perusahan akan sulit survive atau berkembang. Demikian pula dialami oleh industri perkapalan nasional, meskipun didalam proses pembuatan kapal sekarang ini tidak kalah dengan industri perkapalan dari luar negeri, akan tetapi menurut para pemakai (domestik) selama ini kapal yang dibuatnya terkesan harganya cukup tinggi dan delivery time sering terlambat, belum lagi masalah bahan baku pembuatan kapal ikan. Berdasarkan hasil pemantauan ke galangan kapal di Maluku, khususnya di Tulehu dan beberapa tempat lain bersifat tradisional, terlihat kesan belum profesional dan salah satu penyebabnya adalah kegiatan pengelolaannya belum berjalan dengan baik terutama dalam hal pengawasan, baik dalam proses pengadaan barang dan material, penerimaan, penyimpanan, pengamanan maupun cara mendistribusi ke bengkel-bengkel produksi. Kurang baiknya pengelolaan persediaan peralatan pada galangan kapal tradisional memang perlu dimaklumi, karena sebagian besar dari galangan tersebut dalam pengelolaannya belum menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern secara baik. Dengan kondisi seperti itu tentu akan memberikan dampak negatif terhadap galangan tersebut sehingga dapat mengakibatkan sulitnya mendapat pesanan, padahal kontinyutas pesanan tersebut sangat menentukan maju-mundurnya galangan kapal tersebut terutama untuk kapal perikanan. 3 Strategi prioritas ketiga adalah strategi weakness-opportunity (WO), yaitu memanfaatkan peluang yang dimiliki untuk mengatasi kelemahan yang ada dengan kebijakannya antara lain:

32 156 Kebijakan 1: Investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil Penguatan struktur industri pengolahan perikanan adalah peningkatan kerja sama kemitraan antar nelayan dengan industri perikanan tuna dan industri terkait melalui prinsip bisnis yang saling menguntungkan dengan dukungan dan fasilitas pemerintah, dengan mengembangkan kewajiban antar pihak dimana aktor utamanya adalah masuknya investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil. Ada 3 aspek yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu pertama Industri : menjamin membeli ikan nelayan terutama ikan tuna sesuai dengan dengan standar mutu yang ditetapkan dan diketahui nelayan, membayar dengan harga kesepakatan menurut pasar, jenis-ukuran-mutu, dan jumlah kontrak, melakukan perluasan gudang penyimpanan/cold storage, melakukan pembinaan penanganan mutu pasca tangkap dan transportasi, serta membantu mengupayakan peningkatan modal kerja agar pasokan dapat meningkat baik jumlah, maupun mutu; kedua Nelayan : melakukan penguatan kelembagaan profesi/ekonomi, meningkatkan dan menjaga mutu hasil tangkapan, meningkatkan jenis dan kualitas alat tangkap sesuai dengan target ikan yang akan ditangkap yaitu tuna dan cakalang, menjamin jumlah pasokan yang rutin, serta menjaga hubungan bisnis yang konsisten, dan yang terakhir; Peran Pemerintah : pemerintah pusat dan daerah memiliki peran menciptakan dan menjaga hubungan bisnis antara nelayan dengan industri pengolahan ikan dan meningkatkan mutui sumberdaya manusia pelaku bisnis perikanan, pemberdayaan lembaga bisnis perikanan terkait dan bisnis perikanan. Kebijakan investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan pelagis bertujuan untuk lebih memajukkan usaha perikanan tangkap. Dengan adanya investor dari luar tersebut, terutama investasi dari pihak swasta, yang selama ini kurang memperhatikan nelayan di Maluku, maka diharapkan mampu meningkatkan usaha perikanan yang dijalankan oleh nelayan di Maluku. Untuk lebih menggairahkan pangsa pasar ikan pelagis, diharapkan kita dapat memperkecil kelemahan yang ada, terutama kelemahan pada modal usaha (biaya) pengadaan alat tangkap, pendapatan nelayan dan pembagian hasil usaha yang selama ini tidak merata pada nelayan, dikaitkan dengan peluang yang ada pada

33 155 permintaan pasar lokal dan regional serta peningkatan armada kapal ikan. Investasi dari luar ini diharapkan untuk penambahan modal kepada nelayan untuk menangkap ikan, karena selama ini modal yang dimiliki berasal dari nelayan itu sendiri. Adapun pemberian modal dapat disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) kepada kelompok nelayan yang ada di daerah yang menjadi tujuan investasi. Kebijakan 2: Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan Pengadaan cold storage ditujukkan untuk menampung ikan-ikan yang tertangkap pada saat musim penangkapan terutama di daerah Waai, Seri, dan Galala yang mempunyai alat jumlah armada penangkapan pukat cincin, pancing tonda, huhate yang cukup besar. Kebijakan dalam menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna pada armada penangkapan ikan di perairan, untuk menjaga mutu ikan pelagis, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang selama ini hanya tertumpu pada penjualan ikan segar. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi kelemahan modal usaha (biaya) pengadaan alat tangkap oleh nelayan dengan memanfaatkan peluang dalam pengadaan cold storage dan kapal penampung hasil tangkapan. Pengadaan cold storage juga dimaksudkan agar ikan yang tertangkap tersebut selain dapat dipasarkan di pasaran lokal, juga dapat dipasarkan keluar daerah (dalam lingkup regional), dan dapat diekspor ke luar negeri untuk ikan pelagis besar khususnya ikan cakalang dan tuna. Hal ini perlu ditindaklanjuti sehingga hasil tangkapan ikan pelagis yang dipasarkan akan meningkatkan kesejahteraan nelayan disamping menambah devisa bagi daerah maupun negara. 4 Strategi kebijakan prioritas terakhir adalah strategi weakness-threats (WT), yaitu kebijakan yang dilakukan untuk meminimalkan kelemahan yang dimiliki dan menghindari berbagai ancaman dengan kebijakannya antara lain: Kebijakan 1: Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun sekaligus desain alat tangkap Kajian basic design kapal perikanan adalah suatu pekerjaan untuk merancang kapal-kapal penangkapan ikan. Untuk merancang basic design kapal

34 156 penangkapan ikan sehingga memperoleh hasil maksimal diharapkan mengacu pada dua hal dasar yang penting yaitu laik laut dan layak tangkap. Untuk membuat atau merancang kapal agar laik laut dapat mengacu pada prinsip-prinsip perancangan suatu kapal sesuai dengan kaidah perancangan kapal. Kapal dapat laik tangkap, harus mengacu pada ilmu-ilmu perikanan khususnya teknologi penangkapan yang akan diterapkan, terlebih dahulu diketahui jenis ikan yang akan menjadi target penangkapan, mengetahui sifat biologis ikan, sifat migrasi, habitat serta fishing ground dimana ikan itu akan ditangkap. Penerapan teknologi, penggunaan dan penentuan jenis serta ukuran alat tangkap ikan sangat berpengaruh terhadap rancang bangun kapal yang akan digunakan. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa jenis dan ukuran alat tangkap serta teknologi yang akan diterapkan pada saat pengopersian alat tangkap akan berpengaruh langsung kepada rancangan basic design kapal penangkapan ikan. Kebijakan 2: Menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan selektifitas alat tangkap Kebijakan menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan ukuran tubuh ikan bertujuan untuk lebih mengoptimalkan penangkapan dengan lebih memperhatikan ukuran minimal mata jaring agar ikan hasil tangkapan sesuai dengan ukuran panjang standar ikan, sehingga ikan yang tertangkap merupakan ikan yang telah melewati ukuran pertumbuhan. Kebijakan ini sangat diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan sumberdaya ikan di perairan Maluku, agar tidak terjadi kelebihan tangkap dalam masa proses pertumbuhan (growth over fishing). Pembangunan sektor perikanan juga tidak terlepas dari dukungan dan keterkaitannya dengan sektor lain. Salah satu infrastuktur yang terkait dengan pengembangan perikanan khususnya perikanan laut adalah Pelabuhan Perikanan (PP), Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dengan berbagai sarana dan prasarana pendukungnya. Fungsi pokok PP/PPI dalam dukungannya terhadap pengembangan perikanan tangkap diantaranya adalah: (1) Penyediaan fasilitas distribusi dan pemasaran (dermaga, Tempat Pelelangan Ikan)

35 155 (2) Penyediaan fasilitas pengolahan/penanganan pasca panen (cold storage, cool room, kawasan industri perikanan seperti industri pengalengan, industri tepung ikan) (3) Penyediaan fasilitas perbekalan melaut (BBM, air bersih, pabrik es/ice storage) (4) Penyediaan fasilitas perbaikan unit penangkapan (docking, perbengkelan, perbaikan jaring). Penyediaan infrastuktur tersebut harus terintegrasi dengan kegiatan penangkapan ikan dan pengolahan dalam arti harus memberikan dukungan yang signifikan terhadap peningkatan output produksi perikanan baik secara kuantitas maupun kualitas. Di samping itu, pembangunan infrastuktur perikanan juga harus diintegrasikan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah dimana aktifitas perikanan tersebut berada. Hal ini dimaksudkan di samping untuk mengoptimalkan kontribusinya terhadap pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat, juga untuk menghindari adanya konflik kepentingan akibat penggunaan lahan oleh berbagai kegiatan dan adanya kepastian berusaha. Dalam merumuskan kebijakan ini strategi yang memiliki mempunyai hubungan yang erat antara kekuatan produksi sumberdaya ikan pelagis dan adanya dukungan nelayan skala kecil di Maluku dengan ancaman dari selektifitas alat tangkap yang belum diterapkan dan terjadinya over fishing pada ikan pelagis kecil. Upaya untuk mencapai manfaat maksimum jangka panjang dapat dilakukan apabila sumberdaya ikan dapat dilakukan secara optimal. Optimalisasi penangkapan ikan di perairan Maluku dapat dilakukan bilamana nelayan dan alat penangkapan ikan di perairan ini juga dalam kondisi jumlah optimal. Dari kedelapan strategi yang telah dikemukakan dapat dikatakan bahwa arahan strategi ini jika dapat kita capai dan diwujudkan demi pengembangan perikanan pelagis di Maluku maka pendapatan, kesejahteraan serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan meningkat. Mengutip pendapat Nielsen (1996) yang diacu dalam Satria et al (2002), perlu adanya perspektif co-management sebagai sebuah kelembagaan yang merupakan proses untuk mengintegrasikan dan merelokasikan tanggung jawab manajemen dan kompetensi (kekuatan hukum) diantara pelaku dengan jalan

36 156 membagi biaya perumusan dan implementasi regulasi kepada kelompok pengguna (user). Selain strategi dan kebijakan yang disampaikan diatas, Satria et al (2002) juga mengedepankan program-program alternatif yang berusaha untuk mengurangi kemiskinan dalam masyarakat nelayan antara lain: (1) Perbaikan kapal dan alat penangkapan (2) Perbaikan pemasaran dan teknologi pasca-panen (3) Subsidi kepada nelayan (4) Pembentukan koperasi atau organisasi lainnya (5) Pengembangan sumber pendapatan alternatif. Adapun empat alternatif pertama diciptakan untuk mecapai sasaran, yaitu: (1) Meningkatkan produktifitas nelayan (kuantitas penangkapan) (2) Meningkatkan harga yang diterima oleh nelayan (3) Menekan biaya yang harus ditanggung para nelayan Kriteria dan sasaran pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Berdasarkan hasil analisis terhadap kriteria dan sasaran pengembangan perikanan tangkap dengan mempertimbangkan kondisi perikanan tangkap di perairan Maluku, maka kriteria model pengembangan perikanan pelagis di daerah ini adalah: 1) nelayan (NLY), 2) pengusaha perikanan tangkap (PPT), 3) selektifitas alat tangkap (SAT), 4) produktifitas alat tangkap (PTK), 5) pendapatan asli daerah (PAD), dan 6) penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Gambar 59 memperlihatkan posisi kriteria-kriteria tersebut pada tingkat II dan juga ditunjukkan hasil analisis kepentingan setiap kriteria setelah diolah dengan program AHP.

37 155 Tingkat 1 FOKUS MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU Tingkat 2 AKTOR Nelayan Pengusaha Perikanan Tangkap Selektifitas Alat Tangkap Penyerapan Tenaga Kerja Pendapatan Asli Daerah Penggunaan Bahan Bakar Minyak Tingkat 3 FAKTOR Potensi Sumberdaya Potensi Teknologi Sumberdaya Manusia Operasi Penangkapan Ikan Kondisi Perairan Peluang Pasar Tingkat 4 ALTERNATIF TUJUAN Huhate Pancing Tonda Jaring Insang Permukaan Gambar 60 Struktur hirarki kebijakan model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku

38 156 Tingkat 1 FOKUS MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU Tingkat 2 AKTOR Nelayan (0,347) Pengusaha Perikanan Tangkap (0,157) Selektifitas Alat Tangkap (0,113) Penyerapan Tenaga Kerja (0,168) Pendapatan Asli Daerah (0,099) Penggunaan Bahan Bakar Minyak (0,117) Tingkat 3 FAKTOR Potensi Sumberdaya (0,129) Potensi Teknologi (0,061) Sumberdaya Manusia (0,043) Operasi Penangkapan Ikan (0,039) Kondisi Perairan (0,037) Peluang Pasar (0,038) Tingkat 4 ALTERNATIF TUJUAN Huhate (0,512) Pancing Tonda (0,266) Jaring Insang Permukaan (0,223) Gambar 61 Hasil hirarki kebijakan model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku

39 155 Pada Gambar 60, terlihat bahwaa dalam penentuan prioritas model pengembangan perikanan pelagis dan desain alat tangkap di perairan Maluku dengan dilakukan pertimbangann terhadap 6 (enam) kriteria yang akan dicapai dalam upaya pengembangan armada, setiap kriteria dilakukan pengembangan terhadap enam jenis pembatas limiting factor di bidang perikanann tangkap, setiap armada alternatif dipertimbangkan untuk setiap pembatas padaa setiap kriteria. Untuk mengakomodir semua kepentingan, maka pertimbangan tersebut diminta melalui kuesioner kepada semua stakeholders yang terkait dalam aktifitas perikanan tangkap di perairan Maluku, seperti: nelayan, pengusaha perikanan tangkap, Dinas Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, serta masyarakat umum. Bahasan berikut menguraikan tentang kepentingan kriteria-kriteriaa dan pembatas dalam hubungannya dengan opsi pengembangan perikanan tangkap di daerah Maluku Gambar 62 Posisi kriteria pengembangann pada levell kedua (setelah goal) aplikasi Progam AHP pada Dalam kaitannya dengan rasio kepentingan peranann aktor dalam mewujudkan tujuan pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku, Gambar 62 menunjukkan bahwa peran aktor nelayann (NLY) mempunyai rasio kepentingan yang paling penting bila dibandingkann dengan peran lima aktor lainnya yaitu 0,347 pada inconsistency terpercaya 0,05. Batas inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah maksimum 0,1. Penyerapan tenaga merupakan kriteria dengan rasio kepentingan yang kedua dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku yaitu 0,168 pada

40 156 inconsistency terpercaya 0,05. Aktor ketiga yang mempunyai rasio kepentingan adalah pengusaha perikanan tangkap (PPT) dengan nilai 0,157 pada inconsistency terpercayaa 0,05. Aktor keempat yang mempunyai rasio kepentingan dalam pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku adalah penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan nilai 0,117 pada inconsistency terpercaya 0,05. Selektifitas alat tangkap (SAT) merupakan aktor kelima yang penting dalam mewujudkan tujuan pengembangan alat penangkapan ikan yang ditandaii dengan rasio kepentingan sebesar 0, 113 pada inconsistency terpercaya 0,05. Kriteria yang mempunyai rasio kepentingan terendah adalah pendapatan asli daerah (PAD) dengan nilai 0,099 pada inconsistency terpercaya 0,,05. Berdasarkan rasio kepentingan maka, nelayan mempunyai peranann yang sangat strategis dalam mengelola suatu potensi sumberdaya sehingga dalam upaya pengembangan perikanan pelagis diakomodir alat tangkap huhate sebagai yang terbaik untuk dikembangkan dengan skor 0,504 diikuti oleh pancing tonda 0,2622 dan terakhir jaring insang 0,235 dengan tingkat inconsistency terpercaya 0,05. Hal ini ditunjukkan dengan rasio kepentingan seperti terlihat pada Gambar 63 Gambar 63 Rasio kepentingann kriteria dalam upayaa pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (insconsistency 0,05) Faktor pembatas (limiting factor) dalam upaya perikanan pelagis di perairan Maluku pengembangan Beberapa hal yang menjadi pembatas dalam pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku antara lain: potensi sumberdaya ikan (PSDI), potensi teknologi (PT), sumberdaya manusia (SDM), teknikk operasi penangkapann ikan

41 155 (OPI), kondisi perairan (KP), serta peluang pasar (PP). Pembatas-pembatas ini merupakan faktor koreksi dalam memenuhi kriteria-kriteria pengembangan perikanan tangkap. Bahasan berikut ini akan dibahas mengenai kepentingan pembatas-pembatapengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku. Gambar 64 memperlihatkan pembatas yang berkepentingann setiap kriteria yang menjadi perhatian pada yang sesuai pada setiap kriteria yang digunakan dalam upaya nelayan setelah diolah dengan menggunakan program Software Expert Choise AHP. Gambar 64 Pembatas yang berkepenting gan dengann perhatian pada nelayan Dalam kaitan dengan perhatian terhadap kriteria nelayan (NLY), ada enam hal yang berpengaruh atau berkepentingan yaitu potensi sumberdaya ikan ( SDI), potensi teknologi (PT), sumberdaya manusia (SDM), operasi kapal penangkapan ikan (OPI), kondisi perairan (KP), dan peluang pasar (PP). Pembatas potensi sumberdaya ikan (PSDI), sumberdaya manusia (SDM), serta operasi kapal penangkapan ikan (OPI), merupakan pembatas yang secara teknis berpengaruh terhadap kegiatan penangkapan ikan, sedangkan kondisi perairan (KP), peluang pasar (PP), dan potensi teknologi (PT) berpengaruh secaraa biologis bagi perkembangan nelayan. Keberadaan nelayan akan menentukan seberapa besar produksi hasil tangkapann dari pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut. Potensi sumberdayaa ikan (PSDI) (0,182) merupakan kriteria dengann rasio kepentingan yang utama dalam upaya pengembangan teknologi alat penangkapan ikan pada inconsistency terpercayaa 0,09. Pada Gambar 65 terlihat bahwa pembatas potensi sumberdaya ikan (PSDI) mempunyai rasio kepentingan n yang paling tinggi, yaitu 0,371 pada

42 156 inconsistency terpercaya 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya ikan sangat berpengaruh dominan (25,4%) terhadap keberadaan nelayan yang mengadakan operasi penangkapan ikan di perairan Maluku. Dalam kaitan ini, diharapkan dengan potensi sumberdaya ikan yang melimpah maka diusahakan nelayan dapat memanfaatkan secara maksimal dengan mengikuti aturan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa didalam mengadakan operasi penangkapan ikan khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dengan berbagai jenis alat tangkap, masih banyak nelayan yang belum menerapkan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah seperti alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab (CCRF), padahal itu harus sudah mulai dari sekarang. Berdasarkan rasio kepentingan tersebut, maka diharapkan masyarakat khususnya nelayan sadar akan hal ini sehingga potensi sumberdaya itu akan tetap lestari. Penggunaan teknologi modern maupun sederhana sangat menentukan keberhasilan operasi penangkapan ikan karena teknologi merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang keberlanjutan pengelolaan sumberdaya. Hal ini ditunjukkan dengan rasio kepentingan yang diperoleh sebesar 0,176 pada inconsistency terpercaya 0,09 dan berada pada urutan kedua. Sebagai contoh penggunaan teknologi sederhana berupa desain cool box merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap nilai jual ikan hasil tangkapannya. Apabila hasil tangkapan memiliki nilai kualitas baik maka nilai jual ikan tersebut dipasaran sangat memuaskan. Aktor ketiga yang sangat berpengaruh dalam perhatian pada nelayan adalah sumberdaya manusia (0,123) pada inconsistency terpercaya 0,09. Kualitas sumberdaya manusia yang dicirikan oleh perilaku, serta wawasan IPTEK, kondisinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan, kesehatan dan agama serta adat dan budaya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan dalam rangka pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolanya. Dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pengembangan ekonomi, peran pemerintah masih sangat dibutuhkan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukung, termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah, akses permodalan, pasar

43 155 dan tata ruang kawasan pesisir. Faktor pembatas operasi penangkapan ikan merupakan aktor keempat yang mempunyai rasio kepentingan terhadap nelayan dengan nilai 0,113 pada inconsistency terpercaya 0,09. Hal ini mengindikasikan bahwa bahwa operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan sangat ditentukann oleh potensi sumberdaya manusia dalam memanfaatkan potensi teknologi untuk mengelola sumberdaya ikan secara maksimal. Pembatas peluang pasar (PP) merupakan pembatas kelima yang sangat berpengaruh terhadap nelayan, hal ini ditunjukkan dengan nilai 0,109 pada inconsistency terpercaya 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan sangat menentukan peluang pasar yang ada, baik pasar domestik maupun pasar internasional. Hasil tangkapann yang diperoleh nelayan sangat ditentukan oleh kualitas hasil tangkapan yang diperolehnya. Pembatas peluang pasar (PP) adalah merupakan faktor pembatas yang strategis serta mempunyai berkepentingan pada nelayan karena keberhasilan operasi penangkapan ikan sangat menentukan peluang pasar yang ada. Faktor pembatas kondisi perairan (KP) mempunyai nilai rasio kepentingan terakhir dengan nilai 0,107 pada inconsistency terpercaya 0,09. Hal ini berarti bahwa kondisi perairan (KP) turutt berpengaruh terhadap nelayan yang mengadakan operasi penangkapan ikan. Dalam kaitan ini, diharapkan armada perikanan tangkap yang akan dikembangkan sebaiknya dapat menjaga kondisi perairan dan tidak merusak ekosistim perairan. Gambar 65 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengann perhatian pada nelayan dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Malukuu (inconsistency 0,09)

44 156 Pembatas potensi sumberdaya ikan (SDI), potensi sumberdaya manusia (SDM), kondisi perairan (KP), serta peluang pasar (PP) adalah merupakan faktor- Kepentingan dari faktor pembatas sumberdaya ikan sebagai faktor utama faktor pembatas yang berkepentingan pada kriteria pengusaha perikanan tangkap dalam upaya nelayann mengelola sumberdaya perairan, ketersediaan sumberdaya manusia berkepentin ngan sebagai calon tenaga kerja yang produktif, kondisi perairan berkepentingan sangat membantu nelayan dalam mengadakan operasi dan keberadaan dan kelimpahan sumberdaya ikan, serta peluang pasar berkepentingan dalam menjaga harga pasar selalu stabil sehingga nelayan dapat memasarkan hasil tangkapan dengan baik. Rasio kepentingan keempat pembatas tersebut seperti terlihat pada Gambar 66 Gambar 66 Pembatas yang berkepentingan dengan perikanann tangkap (PPT) perhatian pada pengusaha Padaa Gambar 66 terlihat bahwa pembatas potensi sumberdaya ikan (PSDI) mempunyai rasio kepentingan terhadap pengusahaa perikanann tangkap yang tertinggi, yaitu 0,532 pada inconsistency terpercaya 0,08. Sumberdaya manusia (SDM) menempati urutan kedua dengan nilai 0,221 pada inconsistency terpercaya 0,07. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya ikan sangat berpengaruh terhadap keberadaan pengusahaa perikanan tangkap (PPT) di suatu daerah dalam menjalankan usaha di bidang perikanan tangkap. Pembatas kondisi perairan berada pada urutan ketiga dengan nilai 0,166 pada inconsistency terpercaya 0,08.Peluang pasar (0,082) pada inconsistency terpercaya 0,,08 pada posisi terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar cukup berpengaruh terhadap

45 155 keberhasilan pengusaha perikanan tangkap dalam menjalankan usahanya walaupun faktor ini berada padaa urutan terakhir, akan tetapi sangat berhubungan dengan keberhasilan nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap di suatu perairan. Peluang pasar juga sangat ditentukan oleh kualitas hasil tangkapan nelayan sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap nilai jualnya. Apabila kualitas hasil tangkapan baik maka, nilai jual akan semakin mahal dan sangat menguntungkan nelayan atau pengusaha perikanan tangkap Gambar 67 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengann perhatian pada pengusaha perikanann tangkap dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,08) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kriteria selektifitas alat tangkap meningkat adalah potensi sumberdaya ikan (PSDI), potensi teknologi (PT), operasi kapal penangkapan ikan (OPI), serta peluang pasar (PP). Kepentingan dari pembatas-pembatas tersebut adalah potensi sumberdayaa ikan berkepentingan dalam menentukan keberadaan ukuran ikan yang layak ditangkap, potensi teknologi berkepentingan dalam menentukann ukuran alat tangkap serta ukuran mata jaring yang selektif dan sesuai dengan target operasi, operasi kapal penangkapan ikan berkepentingan dalam upaya proses penangkapan, serta peluang pasar sangat menentukan untung ruginya sebuah usaha. Ukuran mata jaring yang selektif merupakan acuan bagi nelayan karena dengan menggunakan ukuran mata jaring seperti ini maka ukuran ikan hasil tangkapann dapat diseleksi sehingga sumberdaya a akan lebih berkelanjutan.

46 156 Gambar 68 Pembatas yang berkepentingann dengan selektifitas alat tangkap tangkap (SAT) perhatian pada Potensi sumberdaya ikan merupakan faktor pembatas dari selektifitass alat tangkap menempati urutan pertama (0,458) pada inconsistency terpercaya 0,05. Hal ini mengindikas sikan bahwa keberadaan sumberdaya manusia yang handal dalam mengelola potensi sumberdaya akan berpeluang untuk memperoleh hasil tangkapann optimal sehingga akan membuka peluang pasar yang menjanjikkan. Potensi teknologi (PT) (0,240) pada inconsistency terpercaya 0,05 berada pada urutan kedua sebagai faktor pembatas yang berkepentingan terhadap selektifitas alat tangkap. Peluang pasar (PP) menduduki urutan ketiga dengan nilai 0,185 pada inconsistency terpercaya 0,05. Potensi teknologi sangat berhubungan erat dengan peluang pasar karena apabila dalam penggunaan teknologi sederhana maupun modern tidak dilakukan secaraa efektif maka akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap peluang pasar yang ada sehingga kalau hal ini tidak ditindaklanjuti maka sistem yang ada tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Peluang pasar sangat saat ini cukup menjanjikann terutama untuk jenis ikan pelagis besar seperti: ikan tuna, cakalang, tongkol, dan jenis-jenis lainnya sehingga ini merupakan suatu motivasi bagi nelayann untuk mengusahakann alat tangkap dalam rangkaa pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.

47 155 Gambar 69 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengann perhatian pada selektifitas alat tangkap dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,05) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kriteria penyerapan tenaga kerja (PTK) adalah potensi teknologi (PT), sumberdaya manusia (SDM), operasi kapal penangkapan ikan (OPI) (Gambar 70). Potensi teknologi berkepentingan terhadap kemampuan dari tenaga kerja untuk mengoperasikan teknologi tersebut, sumberdaya manusia dan operasi penangkapan ikan berkepentingan terhadap tenaga kerja yang trampil sesuai dengan bidang keahliannya, serta operasi kapal penangkapan ikan berkepentingan sebagai sarana yang didukung oleh tenaga kerja yang trampil dalam mengelola armada perikanan tangkap. Dalam memproduksi ikan sebagian petani nelayan menggunakan cara- budidaya, akibat kurangnya nelayan menguasai teknologi dengan cara baru, cara lama, baik dalam usahaa perikanann tangkap (perikanann laut) maupun sehingga nelayan kurang trampil. Gambar 70 Pembatas yang berkepentingann dengan penyerapan tenaga kerja perhatian pada

48 156 Potensi teknologi berkepentingan terhadap kemampuan dari tenaga kerja untuk mengoperasikan teknologi tersebut, sumberdaya manusia dan operasi penangkapan ikan berkepentingan terhadap tenaga kerja yang trampil sesuai dengan bidang keahliannya, serta operasi kapal penangkapan ikan berkepentingan sebagai sarana yang didukung oleh tenagaa kerja yang trampil dalam mengelola armada perikanan tangkap. Dalam memproduksi ikan sebagian petani nelayan menggunakan cara-cara lama, baik dalam usaha perikanan tangkap (perikanan laut) maupun budidaya, akibat kurangnya nelayan menguasai teknologi dengan cara baru, sehingga nelayan kurang trampil. Meningkatkann ketrampilan petani nelayan merupakan langkah yang tidak dapat ditunda terutama dalam mengantisipasi degradasi sumberdaya manusia dan lingkungan. Selain rendahnya penguasaan teknologi penangkapa an dan budidaya, penguasaan terhadap teknologi pascapanen juga sangat rendah. Penguasaan teknologi baik teknologi sederhana maupun modern merupakan suatu acuan yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan ikan karena hal ini sangat didukung oleh besarnya potensi sumberdaya di perairan ini. Gambar 71 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengann perhatian pada penyerapan tenaga kerja dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,05) Pembatas potensi teknologi (PT) dan potensi sumberdaya ikan (PSDI) mempunyai rasio kepentingan yang menempati urutan pertama dan kedua terhadap penyerapann tenaga kerja (PTK), yaitu 0,661 dan 0,288 pada inconsistency terpercaya 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memanfaatkan potensi sumberdaya ikan diharapkan kemampuan armada penangkapan untuk

49 155 mengoperasikan alat tangkap hanya untuk menangkap sumberdaya ikan sesuai dengan ukuran dan jenis tertentu sesuai dengan spesifikasinya dan tetap menjaga kondisi perairan. Operasi penangkapan ikan (OP) (0,131) menduduki urutan ketiga dengan tingkat inconsistency terpercaya pada 0,05. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya yang ada karenaa dengan adanya operasi penangkapann ikan maka sumberdaya akan diperolehnya asalkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang tertuang dalam CCRF supaya sumberdaya tetap berkelanjutan. Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kriteria pendapatan asli daerah adalah potensi sumberdaya ikan (PSDI), potensi teknologi (PT), sumberdaya manusia (SDM), operasi kapal penangkapan ikan, serta peluang pasar (PP) (Gambar 72). Hasil pengamatan lapangan dapat dijelaskan rata-rata pendidikann nelayan/petani ikan di wilayah pesisir mumnya sangat rendah dan bahkan ada yang tidak sekolah. Kondisi ini menyebabkan akses terhadap ilmu maupun teknologi sangat terbatas. Umumnya nelayan hanyaa mengandalkan pengetahuan dari generasi sebelumnya, dari lingkungan dan tidak ada kemauan untuk menambah pengetahuan yang sebenarnya diperlukan untuk meningkatkan keahliannya terutama yang berkaitan dengan mata pencahariannya sebagai nelayan/petani ikan. Gambar 72 Pembatas yang berkepentingan dengan asli daerah perhatian pada pendapatan Kepentingan pembatas terhadap kriteria tersebutt adalah potensi sumberdaya ikan yang sangat membantu terhadap volume usaha penyumbang pendapatan asli

50 156 daerah, potensi teknologi berkepentingan dalam penciptaan mesin kapal yang hemat terhadap bahan bakar minyak, sumberdaya manusia berkepentingan dalam menyediakan calon tenaga kerja yang terampil dan siap pakai, operasi kapal penangkapan ikan sangat berkepentingan dalam meningkatkan hasil tangkapan secara maksimal, serta peluang pasar berkepentingan dalam menjaga mutuu ikan hasil tangkapan tetap segar sehingga harganya tetap stabil. Padaa Gambar 73, terlihatt bahwa pembatas sumberdaya ikan (PSDI) dan potensi teknologi (PT) menempati urutan pertama dan kedua dengan nilai rasio 0,395 dan 0,202 padaa inconsistency terpercaya 0,08. Hal ini menunjukkan bahwa dengan potensi sumberdaya yang melimpah serta dengan menggunakan teknologi modern akan membantu usaha di bidang perikanan tangkap sehingga menghasilkan hasil tangkapan yang berkualitas untuk kebutuhan pasar domestik maupun pasar internasional. Pembatas potensi teknologi (PT) dan pembatas peluang pasar (PP) mempunyai rasio kepentingan yang menempati urutan ketiga dan keempat, yaitu 0,156 dan 0,135 pada inconsistency terpercaya 0,08 dengan perhatian pada pendapatan asli daerah. Rasio dengann kepentingan yang diinginkann ini dimungkinkan oleh sumberdayaa manusia yang tersedia adalah calon-calon tenaga kerja yang siap pakai dengan kemampuan serta keahlian yang dimiliki dalam mengelola sumberdaya sehingga pengembangan pengelolaan perikanan tangkap dapat maksimal dan berkelanjutan dengan mematuhi aturan-aturann yang berlaku. Gambar 73 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengann perhatian pada pendapatan asli daerah dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,08)

51 155 Faktor pembatas yang menempati urutan terakhir adalah sumberdaya manusi (SDM). Hal ini menunjukkan bahwa dengann potensi sumberdaya yang melimpah serta dengan menggunakan teknologi modern akan membantu usaha di bidang perikanan tangkap sehingga menghasilkan hasil tangkapan yang berkualitas untuk kebutuhan pasar domestik maupun pasar internasional. Faktor pembatas yang berkepentingann bagi penggunaan bahan bakar minyak adalah potensi sumberdaya ikan (PSDI), potensi teknologi (PT), operasi kapal penangkapan ikan (OPI), serta kondisi perairan (KP). Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada penggunaan BBM rendah adalah potensi sumberdaya ikan berkepentingan dalam penentuan daerah penangkapan yang berhubungan secara langsung dengan penggunaan bahan bakar minyak pada armada hingga kembali ke fishing base. Potensi teknologi berkepentingan pada penciptaann mesin kapal yang hemat bahan bakar minyak. Gambar 74 Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian padaa BBM Keberhasilan peningkatann pendapatan (ekonomi) akan mempengaruhi kegiatan usaha yang dikembangkan di masaa yang akan datang. Kegiatan usaha itu sendiri akan dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya laut dan pesisir yang ada, teknologi yang tersedia, serta kualitas SDM yang akan mengelolanya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan dalam rangkaa pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolanya.

52 156 Gambar 75 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada bahan bakar minyak dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,04) Padaa Gambar 75 terlihat bahwa pembatas potensi sumberdaya ikan mempunyai peranan yang cukup besar dalam hubungannya dengan penggunaan bahan bakar minyak dan sekaligu menduduki urutan pertama dengan nilai 0,371 pada tingkat inconsistency terpercaya 0,,04. Potensi teknologi (PT), kondisi perairan (KP), dan operasi penangkapan ikan (OPI) menduduki urutan 2, 3, dan 4. Keempat faktor pembatas ini mempunyai saling ketergantungan yang cukup erat sehingga apabila salah satu faktor mempunyai kendala maka faktor yang lain tidak dapat dilakukan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan bakar minyak sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan karena dengan kondisi perairan yang tidak bersahabat, fishing ground yang jauh akan sangat mempengaruhi armada penangkapan dalam penggunaan bahan bakar minyak. Pembatas potensi teknologi (PT) dan kondisi perairan (KP) mempunyai rasio kepentingan masing-masing 0,283 dan 0,183 pada inconsistency terpercaya 0,04. Semakin jauh daerah penangkapan akan mempengaruhi armada dalam penggunaan bahan bakar minyak. Pembatas operasi penangkapan ikan (OPI) menempati urutan terakhir dengan nilai rasio kepentingannya adalah 0,163 pada inconsistency terpercaya 0,04. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kemampuan penguasaann teknologi yang dimiliki oleh tenaga-tenaga yang terampil akan mampu meningkatkan kualitas hasil tangkapan.

53 155 Prioritas tujuan model pengembangann perikanan pelagis di perairan Maluku ditentukann secara terstruktur dengan mempertimbangkan semua aktor/pelaku beserta faktor-faktor yang berperan didalam mewujudkan tujuan pengembangan perikanan pelagis. Pertimbangan tersebut ditunjukkan dalam bentuk rasio kepentingan kriteria, rasio kepentingan pembatas, serta rasio kepentingann opsi (alternatif armada yang akan dikembangk kan). Urutan prioritas terhadap ketiga alternatif alat penangkapan ikan yang akan dikembangkan di perairan Maluku dapat dilihat pada Gambar 76 Gambar 76 Urutan prioritas presentase pengembangan terhadap ketiga alternatif alat penangkapan ikan di perairan Maluku (incosistency 0,06) Berdasarkan Gambar 76 terlihat bahwa bahwa alat tangkap huhate (pole and line) mempunyai nilai rasio kepentingan pengembangan yang tertinggi, yaitu 39,3%, pancing tonda 32,6 %, dan jaring insang 28,1%. Hal ini menunjukkan bahwa huhate menduduki prioritas utama untuk dikembangkan di perairan Maluku. Terpilihnya alat tangkap huhate sebagai prioritas utama dalam pengembangan perikanan pelagis karenaa huhate lebih mengakomodir enam kriteria yang perlu dicapai dalam pengembangan perikanan pelagis dalam bidang perikanan tangkap yang telah dianalisis sebelumnya. Hal ini diidukung oleh pendapat yang disampaikan oleh Yulistyo (2006) yang menyatakan bahwa perairan Indonesia bagian timur yang pada kegiatan operasi penangkapa annya masih didominasi oleh armada dengan skala kecil serta sasaran target adalah jeni- teknologi (PT) diakomodir pada pengembangan huhate masing-masing sekitar 9,5% dan 8,2% dibandingkan pada pengembangan alat tangkap pancing jenis ikan pelagis baik pelagis besar maupun kecil. Padaa Gambar 77 terlihat bahwa kriteria nelayan (NLY) dan potensi tonda.

54 156 Hal ini berarti keberadaan jumlah nelayan pada huhate lebih dominann jika dibandingkan dengan nelayan pada pancing tonda. Kriteria nelayan (NLY) (0,347), penyerapan tenaga kerja (PT ) (0,168), serta pengusaha perikanan tangkap (PPT) (0, 157) masing-masing merupakan kriteria dengan rasio kepentingan tertinggii dan ini menunjukka an bahwa nelayan memegang peranan penting dalam pengelolaan sumberdayaa perairan serta didukung dengan penyerapan tenaga kerja sehingga memungkinkan pengusaha perikanan tangkap mengusahakan alat tangkap sebanyak mungkin sehingga dapat mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. PSDI PT OPI PP Over all Gambar 77 Perbandingan alat tangkap huhate dengann alat tangkap pancing tonda untuk semua kriteria Perbandingan akomodir kriteria pada pengembangann huhate dan pengembangan jaring insang (Gambar 78) menunjukkan bahwaa sebagian besar kriteria diakomodir lebih tinggi pada pengembangan huhate. Kriteria dengan rasio kepentingan tertinggii adalah nelayan (NLY), serta penyerapan tenaga kerja (PTK) diakomodir pada pengembangan teknologi alat tangkap huhate di perairan Maluku, masing-masing lebih tinggi 9,7 % dan 8,,5 % dibandingkan pada

55 155 pengembangan jaring insang. Disamping itu, kriteria peluang pasar (PP) dan penggunaan bahan bakar minyak diakomodir sedikit lebih rendah (masing-masing 3,5% dan 3,4%) pada pengembangan huhate dibandingkan pada jaring insang permukaan. Hal ini disebabkan karena disamping rasio kepentingan yang tinggi, nilai ini tentu sangat tinggi dibandingkan yang dapat diakomodir lebih pada alat tangkap jaring insang permukaan. Selain itu juga diperlukan alternatif kebijakan pengembangan alat penangkapan ikan yang memiliki produktivitas penangkapan yang tinggi, serta tidak memerlukan penggunaan BBM yang tinggi. Sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa armada huhate dan pancing tonda melakukan kegiatan penangkapannya di perairan lepas yang masih potensial sehingga jarak tempuh dari fishing base ke fishing ground relatif jauh. Hal demikian menyebabkan biaya operasional khususnya penggunaan BBM untuk kedua jenis alat penangkapan tersebut cukup besar. PSDI PT OPI PP Over all Gambar 78 Perbandingan alat tangkap huhate dengan jaring insang untuk semua kriteria Hasil skor dari beberapaa kriteria yang ada diperoleh beberapa urutan alternatif prioritas dalam model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku, dimana terdapat tiga alat penangkapan yang akan dikembangkan antara lain, huhate (pole and line ) mendapat prioritas utama dengan skor 0,512, pancing tonda (troll line) menempati urutan kedua dengan skor 0,266, serta jaring insang

4 HASIL. Gambar 18 Grafik kurva lestari ikan selar. Produksi (ton) Effort (trip) MSY = 5.839,47 R 2 = 0,8993. f opt = ,00 6,000 5,000 4,000

4 HASIL. Gambar 18 Grafik kurva lestari ikan selar. Produksi (ton) Effort (trip) MSY = 5.839,47 R 2 = 0,8993. f opt = ,00 6,000 5,000 4,000 126 4 HASIL 4.1 Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan 4.1.1 Produksi ikan pelagis kecil Produksi ikan pelagis kecil selama 5 tahun terakhir (Tahun 2001-2005) cenderung bervariasi, hal ini disebabkan karena

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol 2. No. 1. Juni 2013 ISSN : Laman : unkripjournal.com

Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol 2. No. 1. Juni 2013 ISSN : Laman : unkripjournal.com Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol. No.. Juni 0 ISSN : 0-778 Evaluasi Alat Tangkap Ikan Pelagis yang Ramah Lingkungan di Perairan Maluku dengan Menggunakan Prinsip CCRF (Code of Conduct for Responsible Fisheries)

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Andi Adam Malik, Henny Setiawati, Sahabuddin Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 16 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Maluku Utara, memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi Perikanan Indonesia dapat diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 telah mencapai 4.383.103 ton, dan tahun 2004 tercatat

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan, Politeknik Perikanan Negeri Tual. Jl.

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi 7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON 6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON Pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap bertujuan untuk mewujudkan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk itu, laju

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan perikanan di Indonesia secara umum bersifat terbuka (open access), sehingga nelayan dapat dengan leluasa melakukan kegiatan penangkapan di wilayah tertentu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI

SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 20. 1 Edisi Maret 2012 Hal. 89-102 SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI Oleh: Himelda 1*, Eko Sri Wiyono

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik dalam skala lokal, regional maupun negara, dimana sektor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 27 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan data dilaksanakan bulan Juli-September 2007 yaitu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010) 37 3 METODOLOGI UMUM Penjelasan dalam metodologi umum, menggambarkan secara umum tentang waktu, tempat penelitian, metode yang digunakan. Secara spesifik sesuai dengan masing-masing kriteria yang akan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data 3 METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Menurut Riduwan (2004) penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU Akmaluddin 1, Najamuddin 2 dan Musbir 3 1 Universitas Muhammdiyah Makassar 2,3 Universitas Hasanuddin e-mail : akmalsaleh01@gmail.com

Lebih terperinci

Produksi (Ton) Trip Produksi (Ton) Pukat Cincin ,

Produksi (Ton) Trip Produksi (Ton) Pukat Cincin , Lampiran 1. Produksi per alat tangkap per tahun Tabel 11. Produksi ikan tembang per upaya penangkapan tahun 2008-2012 Jenis Alat 2008 2009 2010 2011 2012 Tangkap Upaya Penangkapan Produksi (Ton) Upaya

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun 37 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Aspek Teknis Perikanan Purse seine Aspek teknis merupakan aspek yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan usaha penangkapan ikan, yaitu upaya penangkapan, alat

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH

EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH Erika Lukman Staf Pengajar Faperta FPIK UNIDAR-Ambon, e-mail: - ABSTRAK Ikan tuna (Thunnus

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Usaha Perikanan Tangkap

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Usaha Perikanan Tangkap 21 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Usaha Perikanan Tangkap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mnyatakan bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung 6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung Supaya tujuh usaha perikanan tangkap yang dinyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid Program Studi Ilmu Kelautan STITEK Balik Diwa Makassar Email : hartati.tamti@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pancing Ulur Pancing Ulur (Gambar 2) merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan yang sering digunakan oleh nelayan tradisional untuk menangkap ikan di laut. Pancing Ulur termasuk

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Visi pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia adalah bahwa wilayah pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE

ANALISIS POTENSI PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE ANALISIS POTENSI PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE Aisyah Bafagih* *Staf Pengajar THP UMMU-Ternate, email :aisyahbafagih2@yahoo.com ABSTRAK Potensi sumberdaya perikanan tangkap di kota ternate merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Baik di dunia maupun di Indonesia, perikanan tangkap mendominasi hasil produksi perikanan walaupun telah terjadi over fishing diberbagai tempat. Kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis 29 4 KEADAAN UMUM 4.1 Letak dan Kondisi Geografis Keadaan geografi Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas laut yang cukup besar. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar berada

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah salah satu sektor yang diandalkan untuk pembangunan masa depan Indonesia, karena dapat memberikan dampak ekonomi kepada sebagian penduduk Indonesia. Selain

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI LESTARI KEMBUNG (Rastrelliger spp.) DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN SUMATERA UTARA ABSTRACT

PENDUGAAN POTENSI LESTARI KEMBUNG (Rastrelliger spp.) DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN SUMATERA UTARA ABSTRACT PENDUGAAN POTENSI LESTARI KEMBUNG (Rastrelliger spp.) DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN SUMATERA UTARA (Potential Estimation on Sustainable of Mackerel Fish (Rastrelliger spp.) on Belawan Ocean Fishing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Administrasi Secara geografis Kabupaten Halmahera Utara terletak antara 127 O 17 BT - 129 O 08 BT dan antara 1 O 57 LU - 3 O 00 LS. Kabupaten

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA UTARA

ANALISIS PENGEMBANGAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA UTARA ANALISIS PENGEMBANGAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA UTARA (Analysis of Small Pelagic Fish Development in North Halmahera Waters) Fredo Uktolseja 1, Ari Purbayanto 2, Sugeng Hari

Lebih terperinci

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5.1 Pendahuluan Armada penangkapan yang dioperasikan nelayan terdiri dari berbagai jenis alat tangkap,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kabupaten Buton diperkirakan memiliki luas sekitar 2.509,76 km 2, dimana 89% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan laut. Secara geografis Kabupaten Buton terletak

Lebih terperinci

penangkapan (Berkes et a/., 2001 dalam Wiyono dan Wahju, 2006). Secara de

penangkapan (Berkes et a/., 2001 dalam Wiyono dan Wahju, 2006). Secara de I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Operasi penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine merupakan salah satu metoda pernanfaatan ikan-ikan pelagis yang ada di suatu perairan. Alat tangkap purse seine

Lebih terperinci

MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):43-50

MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):43-50 MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):43-50 PENGKAJIAN STOK SUMBERDAYA CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN MENGGUNAKAN FAO-ICLARM STOCK ASSESSMENT TOOLS

Lebih terperinci

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN Vol. 4 No. 1 Hal. 1-54 Ambon, Mei 2015 ISSN. 2085-5109 POTENSI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TONGKOL (Auxis thazard) DI PERAIRAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA The Potential

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki luas perairan wilayah yang sangat besar. Luas perairan laut indonesia diperkirakan sebesar 5,4 juta km 2 dengan garis pantai

Lebih terperinci

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4.1 Provinsi Maluku Dengan diberlakukannya Undang-Undang RI Nomor 46 tahun 1999 tentang pemekaran wilayah Provinsi Maluku menjadi Provinsi Maluku Utara dan Provinsi

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan 3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan Optimalisasi upaya penangkapan udang sesuai potensi lestari di Delta Mahakam dan sekitarnya perlu dilakukan. Kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

9.1 Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan di Kota Tegal

9.1 Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan di Kota Tegal 9 PEMBAHASAN UMUM Aktivitas perikanan tangkap cenderung mengikuti aturan pengembangan umum (common development pattern), yaitu seiring dengan ditemukannya sumberdaya perikanan, pada awalnya stok sumberdaya

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan dan memiliki peranan ganda sebagai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN

MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN Dionisius Bawole *, Yolanda M T N Apituley Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Secara geografis propinsi Bali terletak pada posisi 8º 03 40-8º 50 48 LS dan 144º 50 48 BT. Luas propinsi Bali meliputi areal daratan sekitar 5.632,66 km² termasuk keseluruhan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya

Lebih terperinci