8 tampak diskor secara manual. Kriteria penskoran berdasarkan muncul tidaknya lokus, lokus yang muncul diberi skor 1 dan yang tidak muncul diberi skor 0. Data biner yang diperoleh selanjutnya diolah menjadi dendrogram atau disebut dengan pohon filogenetik dengan menggunakan program NTSYS. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Pita Kelapa Sawit Hasil Isolasi Isolasi dilakukan sebagai upaya mendapatkan profil pita kelapa sawit. Ausubel et al. (1994) menyatakan bahwa isolasi dengan kualitas yang baik diperlukan dalam studi molekular karena adanya kontaminan seperti protein, polifenol, dan polisakarida akan mempengaruhi kerja enzim seperti enzim restriksi dalam teknik blotting atau Taq polimerase dalam proses PCR. Teknik isolasi yang dilakukan mengacu pada Castillo (1994). Teknik ini hampir serupa dengan teknik isolasi yang dikembangkan oleh Murray dan Thompson (1980) yakni Cetyl trimethylammonium bromide (CTAB). Perbedaanya terletak pada penambahan β- merkaptoetanol dan polyvinyl-pyrolidone (PVP) 1.5% untuk mencegah terjadinya oksidasi yang menyebabkan kerusakan. etode Castillo (1994) juga umum digunakan pada tanaman perkebunan seperti kelapa sawit (Ying & Zaman 2006). Isolasi dilakukan pada daun kelapa sawit yang masih muda. Daun yang masih muda menunjukkan biosintesis masih sangat aktif sehingga jumlah banyak. Steward (1993) melaporkan bahwa pada isolasi tanaman, kualitas dan hasil isolasi yang baik dilakukan pada daun muda. Proses penghancuran sel sebagai langkah awal isolasi dilakukan dengan penambahan nitrogen cair secara perlahan hingga daun hancur sempurna. Selain itu, enzim yang terdapat di dalamnya menjadi tidak aktif. Penelitian Storchova et al. (2000) melaporkan bahwa dalam proses isolasi, penggunaan nitrogen cair dapat digantikan dengan larutan NaCl/CTAB. Profil hasil isolasi dari 58 pohon kelapa sawit dengan elektroforesis gel agarosa 1% terlihat pada Gambar 3. Hasil elektroforesis menunjukkan sampel satu dan dua memiliki bobot molekul paling tinggi dibanding sampel lainnya yakni lebih besar dari 12000 base pair (bp). Sementara itu, sampel 14 hingga 27 dan 31 hingga 58 memiliki ukuran yang realtif sama yakni lebih kecil dari. Sampel tiga hingga 13 memiliki ukuran yang sama dengan ukuran maksimal marker 1 kb plus ladder yakni. Ukuran yang lebih tinggi dicirikan dengan posisinya yang dekat dengan sumur gel karena migrasinya lambat, begitu pula sebaliknya (Sunandar dan Imron 2010). Berdasarkan data Genome Online Database (2011), proyek genom kelapa sawit telah dilakukan pada varietas Dura dan Tenera dengan keseluruhan ukuran genom sebesar 1800000 bp. RNA (a) RNA (b) Gambar 3 Elektroforegram kelapa sawit sebelum pemurnian; (a) Kelapa sawit sampel 1-30; (b) Kelapa sawit sampel 31-58; (M) Marker 1 kb plus ladder.
9 (a) (b) Gambar 4 Elektroforegram kelapa sawit setelah pemurnian; (a) Kelapa sawit sampel 1-30; (b) Kelapa sawit sampel 31-58; (M) Marker 1 kb plus ladder. Secara kualitatif, profil hasil isolasi cukup baik, terlihat dari intensitas pita yang tampak jelas. Intensitas paling terang tampak pada sampel 46. Adanya pita pada bagian awal migrasi menunjukkan bahwa yang dihasilkan termasuk total. Hal tersebut juga terlihat dari ukuran yang dihasilkan besar yakni bervariasi sekitar. Secara umum, total terdiri atas bentuk superkoil, linier, dan sirkular. Variasi bentuk tersebut tidak berpengaruh besar terhadap proses PCR- RAPD karena komponen tersebut bukan senyawa fenolik atau polisakarida yang mempengaruhi kerja enzim Taq polimerase (Bangun 2002). Hasil isolasi masih mengandung komponen lain seperti RNA sehingga perlu untuk dilakukan pemurnian. Pemurnian hasil isolasi dilakukan dengan penambahan RNase sehingga hasil isolasi terlihat pada Gambar 4. Penghilangan RNA dapat juga dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan LiCl (Ibrahim et al. 2010). Analisis kuantitatif dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan mengukur absorban pada panjang gelombang (λ) 260 nm. Pengukuran absorban dengan sinar UV akan memberikan informasi mengenai konsentrasi dan kemurnian sampel. Adanya ikatan rangkap terkonjugasi pada basa purin dan pirimidin menyebabkan sinar UV dapat terserap (Murray et al. 2003). Nilai absorbansi 1 dari hasil pembacaan dengan spektrofotometer setara dengan 50 µg/ml dan disebut dengan faktor konversi (Brown 2003). yakni dengan mengalikan A 260, faktor konversi, dan faktor pengenceran. Tingkat kemurnian secara kuantitatif yakni rasio A 260 /A 280 menunjukkan nilai sebesar 1.21-2.16 dengan konsentrasi berkisar antara 200 945 ng/µl (Lampiran 3). Nilai rasio A 260 /A 280 dikatakan murni jika bernilai 1.6-1.8 (Farrell 2010). Adanya sampel yang memiliki konsentrasi belum murni dapat disebabkan kerusakan akibat endonuklease, tingginya kandungan polisakarida sehingga meningkatkan viskositas hasil isolasi, komponen inhibitor seperti polifenol dan metabolit sekunder lain yang secara langsung atau tidak langsung menghambat reaksi enzim (Weishing et al. 1995). Adanya polifenol yang merupakan agen oksidator dalam berbagai spesies tanaman termasuk kelapa sawit dapat menurunkan yield dan kemurnian hasil isolasi (Porebski et al. 1997). Konsentrasi hasil isolasi sudah cukup untuk melaksanakan proses amplifikasi karena yang digunakan pada proses PCR RAPD sebesar 50 ng/µl sehingga perlu dilakukan pengenceran. Demeke dan Adams (1994) menyatakan bahwa salah satu kelebihan teknik RAPD yakni jumlah yang dibutuhkan rendah sekitar 0.5-50 ng. Pemilihan konsentrasi yang tepat akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses PCR. Konsentrasi rendah akan menyebabkan kualitas hasil amplifikasi kurang baik sedangkan konsentrasi terlalu tinggi menyebabkan pita yang dihasilkan sulit dibedakan (Wibowo 2010).
10 Profil Pita RAPD Kelapa Sawit Proses amplifikasi kelapa sawit pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan primer OPC (2, 3, 5, 7, 8), OPD (1, 2, 3, 4, 5), OPM (8, 9, 12, 16, 20), dan OPN (9, 10, 15, 16, 18) (Lampiran 2). Pemilihan primer tersebut mengacu pada penelitian Wibowo (2010). Primer dipilih apabila menghasilkan minimal tiga pita polimorfik (Harnelly 2003). Primer merupakan urutan oligonukleotida antara 15-25 basa atau mer yang digunakan untuk mengamplifikasi fragmen yang berada diantaranya. Berbeda dengan primer pada umumnya, pada teknik RAPD primer memiliki urutan basa yang pendek yakni 10 basa. Hasil amplifikasi (amplikon) yang dihasilkan dari proses PCR menggunakan 20 primer acak pada 58 kelapa sawit membentuk 1870 pita (Lampiran 2). Berdasarkan hasil tersebut pita dapat digolongkan menjadi pita polimorfik dan pita monomorfik. Secara umum, amplikon tersebut sudah menunjukkan polimorfisme. Hasil amplifikasi dari setiap primer menghasilkan 5 (OPC 3) hingga 18 (OPN 15 dan OPN 16) lokus (Lampiran 2). Menurut Demeke dan Adams (1994), amplifikasi dengan primer acak pada analisis RAPD biasanya menghasilkan 5-20 lokus untuk setiap primer. Lokus gen adalah lokasi spesifik suatu gen disepanjang kromosom (Campbell 2002). Profil lokus total yang tampak pada proses amplifikasi sejumlah 229 lokus (Lampiran 2). Sebagian besar lokus yakni 217 lokus atau 94.76% termasuk lokus polimorfik sedangkan 12 lokus lainnya atau 5.24% tergolong lokus monomorfik. Ditinjau dari polimorfisme dari masing-masing primer, terdapat sembilan primer yang memiliki persentase pita polimorfik 100% yakni OPC 3, OPD 1, OPD 4, OPD 5, OPM 8, OPM 12, OPM 20, OPN 9, dan OPN 10. Tingginya persentase polimorfik dapat pula dipengaruhi jumlah individu dalam suatu populasi yang besar. Pita polimorfik menggambarkan keadaan genom tanaman. Semakin banyak pita polimorfik maka keragaman genetik semakin tinggi (Grattapaglia et al. 1992). Hasil berbagai penelitian serupa meunjukkan persentase pita polimorfik yang berbeda. Penelitian Hayati et al. (2000) menunjukkan bahwa persentase pita polimorfik pada tanaman kelapa sebesar 69% sementara Setiyo (2001) pada tanaman kelapa sawit Sungai Pancur sebesar 35%, dan Rajanaidu et al. (2000) pada tanaman kelapa sawit sebesar 56%. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan jenis primer yang digunakan sehingga hasil amplifikasi juga berbeda. Polimorfisme merupakan penemuan variasi lokus yang diwariskan sebagai hasil dari beberapa peristiwa yang menghilangkan atau mengubah ukuran fragmen. Berbagai persitiwa tersebut seperti insersi berukuran besar pada dua situs penempelan primer sehingga ukuran basa atau jarak amplifikasi menjadi terlalu besar untuk dideteksi, delesi bagian genom yang membawa situs penempelan, substitusi nukleotida yang mengubah homologi antara primer dan genom, dan delesi atau insersi fragmen kecil yang mengubah ukuran fragmen yang diamplifikasi (Setiyo 2001). Komposisi genom tanaman yang lebih banyak tersusun atas basa guanin (G) dan sitosin (C) turut andil dalam hasil amplifikasi yang diperoleh. Primer yang banyak mengandung G dan C lebih berpeluang besar untuk mengamplifikasi. Primer yang digunakan pada penelitian ini memiliki komposisi G dan C berkisar antara enam hingga tujuh basa (Lampiran 2). Hasil amplifikasi menunjukkan bahwa jumlah pita paling banyak dihasilkan oleh OPC 7 yakni 152 pita sedangkan OPD 1 menghasilkan pita paling sedikit yakni 24 (Lampiran 2). Perbedaan hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadi kompetisi dalam proses penempelan primer sehingga dapat menghasilkan fragmen dalam jumlah banyak atau jumlah sedikit. Adanya amplifikasi dengan primer acak tunggal menunjukkan kedua utas mempunyai sekuen yang komplemen dengan primer yang digunakan (Williams et al. 1990). Intensitas pita yang dihasilkan pada amplikon tidak sama pada setiap sampel dari 20 primer acak. Selain dipengaruhi oleh kemurnian cetakan dari kontaminan, sebaran situs penempelan primer pada cetakan juga berbeda (Grattapaglia et al. 1992). Keberhasilan proses amplifikasi menunjukkan penempelan primer pada situs komplemen yang jaraknya berdekatan dengan berbagai ukuran pasang basa. Grattapaglia et al. (1992) melaporkan bahwa jumlah pasang basa yang dapat diamplifikasi pada genom tanaman berkisar antara 200 2000 bp bahkan terkadang mencapai 5000 bp. Hal yang berbeda terjadi pada penelitian ini yakni ukuran hasil amplifikasi berkisar antara 150. Perbedaan ini dapat disebabkan perbedaan jenis tanaman dan
11 konsentrasi cetakan. Terdapatnya sampel yang memiliki ukuran hasil amplifikasi besar dapat disebabkan oleh cetakan tidak terfragmentasi. Selain itu dapat disebabkan oleh homologi sekuen primer dengan cetakan (Grattapaglia et al. 1992). Polimorfisme Hasil PCR Adanya variasi pita hasil PCR menunjukkan polimorfisme. Besarnya tingkat polimorfisme diketahui dari tingkat kemiripan genetik suatu populasi. Kemiripan genetik digambarkan dengan jarak genetik dari individu anggota populasi. Semakin kecil jarak genetik antar individu dalam suatu populasi maka semakin seragam populasi tersebut. Sebaliknya semakin besar jarak genetik antar individu dalam suatu populasi maka populasi tersebut memiliki anggota yang beragam. Nilai jarak genetik yang rendah diduga karena suatu populasi mengalami seleksi massa positif yang cukup lama sehingga populasi yang diperbanyak kemudian adalah individu yang memiliki kemiripan genetik cukup besar (Pandin 2000). Analisis kemiripan genetik dilakukan sebagai upaya mengetahui pola hubungan genetik dari 58 pohon kelapa sawit. Hal ini dilakukan dengan membandingkan pita hasil elektroforesis dengan koefisien kemiripan genetik Jaccard menggunakan software NTSYS. Matriks hubungan genetik dari seluruh sampel dapat dilihat pada Lampiran 4. Kemiripan genetik yang terjadi antara 58 pohon kelapa sawit berkisar antara 69.432% - 94.759%. Kemiripan paling tinggi dimiliki oleh pohon nomor 9 dengan 13 yakni 94.759 % sedangkan paling rendah dimiliki oleh pohon nomor 42 dengan 49, 42 dengan 57, dan 25 dengan 43 yakni 69.432%. Tingginya nilai kemiripan genetik antara pohon 9 dan 13 menunjukkan bahwa kedua sampel tersebut secara genotipik tidak berbeda. Informasi ini dibutuhkan dalam kegiatan pemuliaan yakni dengan menanam pohon yang memiliki kemiripan genetik tinggi secara terpisah sehingga dapat mempertahankan keragaman genetik yang ada. Terjaganya keragaman genetik suatu populasi merupakan salah satu upaya terjaganya spesies tersebut (Wulandari 2008). Pohon filogenetik Kelapa Sawit Penelitian keragaman genetik kelapa sawit menunjukkan kemampuan penanda RAPD sebagai metode yang tepat dalam mengetahui tingkat keragaman genetik kelapa sawit (Eleais guineensis Jacq). Meskipun penanda RAPD memiliki beberapa kelemahan seperti rendahnya tingkat reproduktivitas dan bersifat dominan, tetapi dengan adanya perkembangan analisis data dan juga perlengkapan yang canggih membuat teknik ini makin terpercaya. Teknik ini terbukti mampu memberikan informasi penting dalam program pemuliaan dan konservasi dan telah dengan banyak digunakan dalam analisis keragaman genetik populasi (Wulandari 2008). Penyusunan dendogram dilakukan dengan membandingkan pola pita hasil elektroforesis yang telah diterjemahkan ke dalam data biner berdasarkan ada atau tidaknya pita. Dendogram yang dihasilkan diturunkan dari matriks kemiripan genetik menggunakan UPGMA (unweighted pair-group method with arimetric). Hal ini memungkinkan melakukan pengelompokan individu dalam suatu populasi. Kemampuan dalam menduga hubungan antara individu dalam populasi termasuk salah satu kelebihan RAPD. UPGMA merupakan metode ultrametrik yang memberikan pengelompokan akurat bila jarak proporsional secara linear dengan divergensi. Kemiripan genetik juga bisa dinyatakan sebagai selisih nilai keragaman genetik terhadap 100 % (Hayati et al. 2000). Pohon filogenetik menunjukkan koefisien kemiripan genetik sebesar 76.10% dapat mengelompokkan populasi kelapa sawit menjadi dua kelompok besar (Gambar 5). Kelompok pertama terdiri atas 56 pohon yang terpisah lagi pada koefisien kemiripan genetik yang lebih tinggi sedangkan kelompok kedua terdiri atas dua pohon yakni nomor 16 dan 27. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pohon tersebut secara genotipe berbeda dengan kelapa sawit lain dalam populasi tersebut. Berdasarkan pengelompokan pada koefisien ini maka persilangan dapat dilakukan menggunakan individu dari dua kelompok yang berbeda sehingga dapat menghasilkan keturunan yang memiliki sifat unggul. Salah satu kriteria pemilihan tetua dalam persilangan untuk menghasilkan bibit unggul yakni dengan menghindari tetua dari kelompok yang sama (Harnelly 2003). Pengelompokkan lebih jauh lagi dapat memperhatikan koefisien kemiripan genetik yang lebih tinggi. Adanya garis putus-putus berwarna merah pada pohon filogenetik merupakan alternatif pilihan dalam pengelompokan individu. Garis nomor satu menunjukkan koefisien kemiripan genetik sebesar 79.975% yang dapat
12 mengelompokkan populasi menjadi 13 kelompok. Kelompok tersebut menunjukkan bahwa pada kelompok 5, 8, 9, 12, dan 13 hanya terdapat satu individu yang merupakan nomor pohon yakni secara berturut-turut 17, 39, 43, 16, dan 27 (Gambar 5). Semakin tinggi nilai koefisien kemiripan genetik maka pengelompokan individu akan semakin banyak. Hal tersebut tampak dari pengelompokan pada koefisien kemiripan genetik sebesar 85% dan 90.03% (garis nomor dua dan tiga). Koefisien kemiripan genetik sebesar 85% membagi populasi tersebut menjadi 35 kelompok sedangkan pada 90.03% sebesar 56 kelompok. Baik pada koefisien kemiripan genetik 85% maupun 90.03% pohon nomor 1, 3, 8, 30, 25, 28, 49, 29, 52, 17, 2, 7, 42, 36, 38, 48, 55, 10, 14, 44, 32, 39, 43, 31, 57, 16, dan 27 telah diidentifikasi sebagai satu kelompok tersendiri. 1 2 3 Gambar 5 Pohon filogenetik 58 pohon kelapa sawit berdasarkan pola pita hasil RAPD.