1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap sebuah pelumpuh otot yang ideal yang dapat memberikan kondisi intubasi yang ideal dalam durasi waktu yang sangat pendek dengan efek samping yang minimal (Singh, Singhal & Raghove, 2013). Pada sebagian besar kasus kesulitan pada jalan nafas, pelumpuh otot bukan merupakan masalah, faktanya pelumpuh otot merupakan solusi. Kemampuan untuk menekan refleks jalan nafas dengan cepat dan memungkinkan ventilasi tekanan positif dapat dilakukan dengan mudah merupakan keistimewaan obat ini (Calder & Pearce, 2005). Intubasi diindikasikan pada pasien-pasien yang beresiko aspirasi dan yang akan menjalani prosedur bedah yang melibatkan rongga tubuh atau kepala leher (Butterworth, Mackey & Wasnick, 2013). Intubasi bukanlah suatu prosedur yang bebas resiko, selama waktu onset dari agen pelumpuh otot untuk intubasi, pasien terpapar pada resiko hipoksia dan aspirasi pulmoner. Oleh karena itu pada rapid sequence induction pada anestesi umum, digunakan pelumpuh otot dengan waktu onset yang cepat dan durasi yang pendek untuk mengurangi resiko hipoksia dan aspirasi pulmoner (Soltanimohammadi & Seyedi, 2007; Won et al., 2010).
2 Pada masa dahulu, suksinilkolin merupakan agen yang digunakan untuk rapid sequence induction. Walaupun agen ini cocok untuk tujuan ini, akan tetapi karena banyaknya potensi komplikasi telah menimbulkan pencarian terhadap alternatif dan pengembangan dari agen pelumpuh otot untuk intubasi secara cepat (Ahn et al., 2012). Sebagai tambahan terhadap pengembangan dari pelumpuh otot yang baru untuk intubasi trakeal yang cepat, berbagai usaha juga telah dilakukan untuk menggunakan pelumpuh otot non depolarisasi yang ada dengan mengurangi waktu onsetnya (Won et al., 2010). Donati (2003) menyatakan bahwa sensitivitas terhadap agen pelumpuh otot pada semua otot tubuh tidaklah sama. Aliran darah juga tidak sama, dan hal ini penting karena obat-obat dibawa ke lokasi kerjanya melalui aliran darah. Hal ini berarti bahwa perbedaan onset, blokade maksimal, dan durasi kerja berbeda pada otot-otot yang berbeda kemungkinan merupakan hasil dari perbedaan aliran darah dan/atau sensitivitasnya. Sebagai tambahan, dosis juga harus dipertimbangkan. Atracurium merupakan salah satu agen pelumpuh otot non-depolarisasi, dan dapat digunakan dengan aman pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal dikarenakan degradasinya yang unik dengan hidrolisis ester dan reaksi hoffman. Waktu onset dari obat ini lebih lama dibandingkan suksinilkolin, yang membatasi penggunaannya pada rapid sequence induction pada anestesi umum (Hui, Lianbing & Yunxia, 2013).
3 Untuk mengurangi waktu onset, banyak penelitian telah dilakukan yang berfokus dengan memodifikasi faktor-faktor hemodinamik seperti cardiac output, waktu sirkulasi, dan aliran darah otot. Para peneliti telah menyarankan bahwa pelumpuh otot non depolarisasi dapat bekerja lebih cepat pada neuromuscular junction melalui peningkatan cardiac output dan aliran darah otot karena obat yang diinjeksikan melalui vena dapat mencapai neuromuscular junction lebih cepat (Won et al., 2010). Ketamin merupakan analog struktural dari phencyclidine. Obat ini digunakan untuk induksi anestesi intravena. Berbeda dengan agen anestesi lainnya, ketamin meningkatkan tekanan darah arterial, heart rate, dan cardiac output, terutama setelah injeksi bolus cepat. Efek tidak langsung terhadap kardiovaskular ini berhubungan dengan stimulasi sentral dari sistem syaraf simpatis dan inhibisi dari reuptake norepinefrin setelah dilepaskan pada nervus terminalis (Butterworth, Mackey & Wasnick, 2013). Berbagai laporan terakhir telah menyatakan bahwa ketamin berhubungan dengan kondisi intubasi yang lebih baik, hal ini disebabkan karena peningkatan cardiac output (Ahn et al., 2012). B. Pertanyaan Penelitian Bagaimana efek pemberian ketamin dosis 0,5 mg/kgbb terhadap onset blokade neuromuskular oleh atracurium 0,5 mg/kgbb?
4 C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui efek pemberian ketamin dosis 0,5 mg/kgbb terhadap onset blokade neuromuskular oleh atracurium 0,5 mg/kgbb. D. Manfaat Penelitian Dengan mengetahui efek pemberian ketamin dosis 0,5 mg/kgbb terhadap onset blokade neuromuskular dan perubahan hemodinamik selama intubasi dapat dipilih kombinasi obat yang dapat digunakan untuk meminimalkan resiko hipoksia dan aspirasi pulmoner selama intubasi. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian tentang onset blokade neuromuskular seperti tercantum dalam tabel 1, salah satunya oleh Ahn et al. (2012) yang membandingkan efek pemberian ketamin 0,5 mg/kg dengan teknik priming terhadap onset blokade neuromuskular dari cisatracurium dan penelitian Topcuoglu et al. (2010) yang membandingkan efek pemberian ketamin 0,5 mg/kg dengan teknik priming terhadap onset blokade neuromuskular dari rocuronium. Pada penelitian ini menggunakan ketamin 0,5 mg/kgbb dan atracurium 0,5 mg/kgbb dengan kontrol salin, sehingga penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya.
5 Tabel 1. Penelitian Tentang Onset Blokade Neuromuskular. Peneliti (tahun) Teknik/obat yang dibandingkan Ahn et al. (2012) Ketamin 0,5 mg/kg vs priming cisatracurium 0,01 mg/kg vs kombinasi ketamin 0,5 mg/kg + priming cisatracurium 0,01 mg/kg vs salin Topcuoglu et al. Ketamin o,5 (2010) mg/kgbb vs Priming technique Hans et al. (1999) Thiopentone 5 mg/kg vs ketamin 2,5 mg/kg Baraka et al.(1997) Thiopental 4 mg/kg vs ketamin 1,5 mg/kg Desain Penelitian Jumlah Sampel Hasil (insiden) RCT 120 Onset (detik) : - Salin : 112,7±13,2 - Priming cisatracurium : 91,4 ±17,9 - Ketamin : 84,9±12,7 - Kombinasi ketamin + priming : 76,4±8,3 Prospective 120 Onset (detik): double - Kontrol : 216±18 s blind RCT - Priming : 212±27 s - Ketamin : 162±26 s - Ketamin+Priming : 168±22 s RCT 32 Derajat blokade neuromuskular saat intubasi : mean (sd) - Ketamin : 51,8 (25) - Thiopentone : 54,3 (23,1) RCT 40 Onset (detik) : - Thiopental: 105±35 - Ketamin : 101±34,5 Keterangan - Usia 18-65 thn - Usia 19-49 thn - Berat badan : 55-84 kg ASA I - Usia 21-44 - Full term parturients