BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
|
|
- Hadian Hardja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penemuan kurare oleh Harold Griffith dan Enid Johnson pada tahun 1942 merupakan tonggak bersejarah dalam perkembangan ilmu anestesi. Kurare telah memfasilitasi intubasi dan menyediakan relaksasi otot selama pembedahan. Hal ini merupakan kabar gembira bagi dokter anestesi di seluruh dunia. Untuk pertama kali, prosedur operasi dapat dilakukan tanpa membutuhkan tingkat sedasi yang relatif dalam untuk menghasilkan relaksasi otot yang baik. Hal ini tentunya mengurangi penggunaan obat-obat anestesi yang sebelumnya diberikan dalam dosis besar dan berdampak pada depresi sistem pernafasan dan kardiovaskular. Beberapa tahun kemudian, tahun 1949, Bovert berhasil mensintesis succinyl choline, dan mempublikasikan penggunaannya secara luas pada tahun Selama beberapa dekade succinylcholine telah menjadi obat standar yang dipakai untuk memfasilitasi intubasi trakea selama induksi sekuensial cepat (rapid sequence induction). Mula kerja yang cepat, relaksasi otot yang baik, durasi kerja yang ultra singkat membuat penggunaan nya sulit tergantikan dalam praktis klinis. 1 Succinyl choline pernah menjadi obat pelumpuh otot utama pada induksi sekuensial cepat, akan tetapi obat ini dikontra indikasikan pada beberapa keadaan klinis seperti luka bakar berat, cedera berat lebih dari 48 jam, cedera medulla spinalis, dan riwayat hipertermia maligna. 2,3 Succinylcholine tetap menjadi pilihan utama pada intubasi trakea karena secara konsisten menyediakan relaksasi otot yang baik dalam waktu detik. 1 Akan tetapi akhir-akhir ini, penggunaan succinylcholine mulai ditinggalkan, efek samping yang ditimbulkan menuntut penemuan pelumpuh otot-saraf lain yang lebih aman dan ideal. Pada akhirnya pelumpuh otot non depolarisasi seperti vecuronium, atracurium, dan rocuronium dianggap ideal untuk menggantikan succinylcholine walaupun tidak ada satu pun dari golongan ini yang menyamai karakteristik succinylcholine. 1
2 Ketika succinylcholine menjadi kontraindikasi, penggunaan pelumpuh otot saraf nondepolarisasi menjadi rasional. Akan tetapi mula kerja dan potensi dari obat ini tidak sebaik succinylcholine. Mula kerja pelumpuh otot-saraf nondepolarisasi dapat dipercepat dengan pemberian dosis priming sebelum dosis penuh intubasi, dengan menggunakan dosis yang tinggi dari setiap obat pelumpuh otot-saraf, atau dengan menggunakan kombinasi pelumpuh otot-saraf. 4 Intubasi trakea cepat diperlukan oleh pasien-pasien dengan resiko aspirasi, walaupun ketika bukan dalam keadaan emergensi. 5 Kecepatan mula kerja dari pelumpuh otot-saraf diperlukan untuk dengan cepat mengamankan jalan nafas pada pasien emergensi dan pasien dengan resiko aspirasi yang tinggi. 4 Mula kerja suatu pelumpuh otot-saraf berbanding terbalik dengan potensinya. ED 95 yang besar menandakan obat mempunyai potensi yang rendah, tetapi semakin tinggi nilai nya akan memberikan mula kerja obat yang cepat, demikian sebaliknya. 4 Semakin poten suatu obat (cisatracurium) maka semakin lambat mula kerjanya, dosis yang dibutuhkan semakin kecil untuk mendapatkan efek dan semakin kurang poten suatu obat (rocuronium) maka semakin cepat mula kerjanya, dosis yang dibutuhkan lebih besar untuk mendapatkan efek. 4 Beberapa peneliti merekomendasikan pemberian dosis kecil subparalisis sekitar 20 % dari ED 95 atau 10 % dari dosis intubasi, diberikan 2-4 menit sebelum dosis kedua yang lebih besar. Prosedur ini akan mempercepat mula kerja pelumpuh otot non depolarisasi detik, dimana intubasi dapat dilakukan 90 detik setelah dosis kedua. Adapun kondisi intubasi yang terjadi setelah priming tidak menyamai pemberian succinylcholine. Priming juga membawa resiko aspirasi dan kesulitan menelan serta gangguan visus dengan derjat penghambatan yang dapat mengganggu kenyamanan pasien, adapun hal ini dapat terjadi pada pasien sakit kritis dan geriatrik. 4,6 Pelumpuh otot dalam dosis besar direkomendasikan ketika intubasi harus dilaksanakan dalam waktu kurang dari 90 detik. Dosis yang lebih besar ini berhubungan dengan pemanjangan durasi kerja dan meningkatkan resiko efek samping kardiovaskular. Meningkatkan dosis
3 hal ini. 13 Anak-anak dengan cerebral palsy menunjukkan resistensi terhadap pelumpuh otot non rocuronium 0.6 mg/kg (2 x ED 95) menjadi 1.2 mg/kg ( 4x ED 95) akan memperpendek mula kerja dari 89 detik menjadi 55 detik tetapi secara signifikan memperpanjang durasi kerja dari 37 menit menjadi 73 menit. 4 Meningkatkan dosis atracurium juga mempunyai dampak terhadap pelepasan histamine dan akan mempengaruhi hemodinamik dan sistem kardiovaskular. 4,7 Selain permasalahan diatas, intubasi sekuensial cepat dan resistensi terhadap pelumpuh otot adalah keadaan klinis yang menyebabkan tidak tercapai nya keadaan relaksasi otot yang cukup pada saat intubasi endotrakea. 8,9 Hal ini disebabkan karena tidak terpenuhinya waktu untuk mendapatkan efek maksimal dari obat. Kerja pelumpuh otot yang tidak adekuat akan menyebabkan kegagalan pita suara untuk terbuka sempurna, kegagalan intubasi endotrakea, dan kondisi intubasi yang sulit dan tidak nyaman bagi operator intubasi. Pada akhirnya hal-hal diatas akan menyebabkan cedera laring, morbiditas pada pita suara dan serak paska operasi. 10,11,12 Beberapa pasien menunjukkan resistensi terhadap pelumpuh otot non depolarisasi, hal ini dapat disebabkan obat-obatan atau penyakit. Pada kasus seperti ini magnesium dapat menjadi solusi. Pasien yang akan menjalani kraniotomi sering mendapat asam valproat sebelum tindakan operasi untuk mengontrol kejang. Asam valproat akan menurunkan potensi klinis rocuronium dan akan meningkatkan kebutuhan dosis, magnesium sulfat dapat mengurangi kebutuhan akan depolarisasi, dengan pemberian magnesium sulphate, kebutuhan rocuronium dapat dikurangi dan efek analgesia dari magnesium sulphate menunjukkan berkurangnya konsumsi opioid pasca operasi. 14 Rocuronium dapat digunakan sebagai alternatif pada kasus-kasus dimana succinylcholine dikontraindikasikan. Mula kerja rocuronium, yaitu mulai pemberian sampai supresi 95 % kedutan pertama lebih cepat dengan penggunaan dosis yang tinggi dan hal ini semakin dipersingkat lagi dengan pemberian pretreatment MgSO4. 15 Peningkatan dosis rocuronium memiliki dampak pada pemanjangan durasi kerja dan rocuronium ternyata memiliki ceiling efek. Penambahan dosis obat tidak selalu memberikan jaminan mula kerja yang lebih cepat. Terlebih lagi pemanjangan durasi kerja pelumpuh otot tidak diharapkan pada setiap pembedahan. 8,16,17
4 Magnesium digunakan secara luas dalam kedokteran peri operatif, mulai dari pengobatan aritmia pada pasien-pasien jantung sampai obat untuk mengontrol tekanan darah dan mengendalikan kejang pada pasien-pasien dengan pre eklampsia berat dan eklampsia. 17 Magnesium sulphate memberikan keuntungan ketika digunakan pada prosedur intubasi oleh karena efek potensiasi dengan obat-obat pelumpuh otot non depolarisasi Magnesium bekerja sebagai antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate yang memiliki efek pada transmisi saraf otot. Pemberian magnesium juga dapat mempercepat mula kerja pelumpuh otot, mekanisme ini didasarkan pada menurun nya pelepasan acethylcholine presinaps dengan menurunkan konduksi saluran kalsium yang bergantung tegangan. 17, 21,22 Pemberian magnesium sulphate sebagai adjuvan perioperatif akan menurunkan kebutuhan akan pelumpuh otot non depolarisasi. 13 Kim dan kawan kawan menginvestigasi, apakah pemberian magnesium sulphate dengan priming rocuronium mempersingkat mula kerja pelumpuh otot. Sembilan puluh pasien yang dijadwalkan anestesi umum, dialokasikan pada empat grup secara random. Grup kontrol mendapat 0.6 mg/kg rocuronium, pasien pada grup priming mendapat 0.06 mg/kg rocuronium 3 menit sebelum dosis utama 0.54 mg/kg. Pasien pada grup magnesium mendapat 50 mg/kg magnesium sulphate sebelum rocuronium, sedangkan pada grup magnesium dan priming diberikan keduanya baik priming rocuronium dan magnesium. Intubasi endotracheal dilakukan 40 detik setelah injeksi rocuronium. Pada penelitian ini luaran primer yang hendak dinilai adalah mula kerja pelumpuh otot, durasi kerja pelumpuh otot dan kondisi intubasi endotrakea. Grup magnesium dan priming menunjukkan mula kerja yang paling singkat 56 detik (mempersingkat 63 % dibandingkan kontrol) dengan standar deviasi 16, magnesium (94 detik), priming (125 detik), kontrol (150 detik) dan kondisi intubasi yang paling baik. Intubasi trakea sukses dilakukan pada detik 60 pada semua subjek penelitian. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada durasi kerja. Durasi kerja pelumpuh otot memanjang 27 % pada grup magnesium dan 30 % pada grup magnesium dan priming. Magnesium menurunkan kebutuhan rocuronium yang diperlukan untuk memelihara relaksasi otot selama pembedahan. Hal ini menyebabkan tidak bermaknanya pemanjangan durasi kerja pelumpuh otot pada akhir operasi. 23 Hasil yang didapat pada penelitian (magnesium sulphate + priming) ini jika dibandingan dengan rocuronium akan membutuhkan peningkatan dosis rocuronium hingga 1.6 mg/kg bb
5 untuk mencapai kecepatan mula kerja yang sama dengan efek pemanjangan hingga 2.5 x dari pemberian rocuronium 0.8 mg/kg bb. 23 Mula kerja obat juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti obat-obat anestesi yang digunakan, indeks massa tubuh, peralatan monitoring yang digunakan untuk menstimulasi saraf, dan definisi operasional peneliti mengenai mula kerja. 23 Pada penelitian Kim dan kawan-kawan ini penggunaan dosis mg/kg bb tidak berhubungan dengan komplikasi serius. Efek samping yang dilaporkan meliputi rasa panas dan sensasi terbakar pada 35 % grup magnesium dan 26 % grup magnesium dan priming. Tidak dijumpai efek samping seperti kesulitan bernafas atau aspirasi isi lambung pada subjek yang mendapat dosis priming. 23 Penelitian ini menyimpulkan bahwa kombinasi magnesium sulphate dan priming rocuronium mempercepat mula kerja dan meningkatkan kondisi intubasi, dibandingkan dengan grup magnesium sulphate, grup priming, dan grup kontrol. 23 Czarnetzki dan kawan-kawan membandingkan pemberian magnesium sulphate 60 mg/kg sebagai pretreatment dan mengamati mula kerja dan durasi kerja rocuronium. Magnesium sulphate diberikan 15 menit sebelum induksi anestesia. Pasien yang mendapat magnesium menunjukkan mula kerja yang lebih singkat 77 SD 18 detik, dibandingkan placebo 120 SD 24 detik (p<0.001). Dengan pretreatment magnesium sulphate NNT untuk mula kerja lebih cepat dari detik dibandingkan placebo adalah 5, sedangkan NNT untuk lebih cepat dari 80 atau 90 detik adalah Rasa terbakar atau sensasi panas pada saat pemberian magnesium sulfat dilaporkan 25 dari 40 (62.5 %) pasien dan tidak ada laporan dari grup placebo (p<0.005). Pemberian magnesium sulphate hingga total 16 gram tidak memberikan efek samping yang serius. 24 Kesimpulan penelitian Czarnetzki dan kawan-kawan bahwa pemberian magnesium sulphate 15 menit sebelum induksi anestesi akan mempersingkat mula kerja rocuronium 35 % dan memperpanjang masa pemulihan total sekitar 25 % dari kontrol. 17 Perbedaan efikasi pada pemberian magnesium sulphate merefleksi kepada perbedaan farmakodinamik dari obat pelumpuh otot, semakin singkat mula kerja dari pelumpuh otot maka semakin minimal efek magnesium sulphate. Dapat diasumsikan bahwa efek magnesium terhadap sambungan saraf otot bergantung pada konsentrasi dan waktu. Oleh karenanya pemberian magnesium sulphate secara bolus cepat sebelum rocuronium, menyebabkan magnesium belum
6 mencapai sambungan saraf otot dan konsentrasi nya masih rendah dan tidak cukup untuk mempengaruhi rocuronium. Ion magnesium membutuhkan waktu untuk melakukan penetrasi ke endplate sambungan saraf otot. 17 Penelitian pada ujung saraf motorik mamalia (in vitro), dibutuhkan 4-6 menit untuk mendapatkan peningkatan konsentrasi magnesium di sambungan saraf otot. 17 Magnesium yang diberikan secara infus dibandingkan dengan bolus harusnya mempunyai efek yang berbeda. Pemberian magnesium sulphate sebagai pretereatment harusnya dapat mempersingkat mula kerja yang dapat menjadi alternatif pemberian suxamethonium pada RSI. 17 Czarnetzki dan kawan-kawan juga menemukan bahwa pretreatment magnesium sulphate memberikan variabilitas yang lebih sedikit terhadap mula kerja obat pelmpuh otot saraf. Standar deviasi pada grup placebo mencapai 48 detik sedangkan pada grup yang mendapat magnesium 18 detik, hal ini memberikan efek yang lebih terprediksi pada pemberian magnesium sulfat. 17 Adapun penelitian dilakukan Kussman dan kawan-kawan dengan menggunakan pretreatment magnesium sulphate, 60 mg/kg yang diberikan 1 menit sebelum rocuronium 0.6 mg/kg bb memperpanjang durasi kerja tetapi tidak mempengaruhi mula kerja obat. Waktu rerata mula kerja pada grup magnesium sulphate 71 detik sedangkan pada control 75 detik. Perbedaan hasil ini diakibatkan ion magnesium belum memberikan efek pada endplate sambungan saraf otot pada pemberian injeksi bolus cepat. Disimpulkan bahwa efek magnesium pada endplate sambungan otot-saraf berhubungan dengan konsentrasi magnesium dan waktu untuk mencapai efek. Kussaman dan kawan-kawan juga berpendapat bahwa perbedaan efek pretreatment magnesium terhadap mula kerja obat pelumpuh ototsaraf bergantung pada profil farmakodinamik, semakin cepat mula kerja suatu pelumpuh otot semakin minimal efek magnesium. 25 Hubbard dan kawan-kawan melaporkan bahwa diperlukan waktu 4-6 menit untuk dapat memberikan efek pada potensial aksi end plate setelah peningkatan konsentrasi magnesium. 27 Pemberian magnesium sulphat dengan dosis 60 mg/kg bb tidak berhubungan dengan efek samping hemodinamik. Pada penelitian ini kadar magnesium plasma 4 mmol/l yang diukur 75 menit setelah pemberian magnesium sulphate. Akan tetapi nilai dasar dari magnesium tidak diperiksa. 17
7 Lampl dan kawan-kawan melakukan penelitian pada 15 pasien dengan memberikan 62.5 mg/kg iv bolus selama 1 menit sebelum pemberian pelumpuh otot saraf non depolarisasi atracurium 0.2 mg/kg bb. Pada pemberian magnesium sulphate rata-rata mula kerja ( 90 % dari penurunan kedutan pertama ) detik sedangkan pada control 228,7 detik. Sedangkan durasi kerja mulai dari injeksi atracurium sampai pemulihan 25 % kedutan pertama pada grup magnesium sulphat 34.6 menit sedangkan grup control 26.3 menit. 27 Sang-Hun Kim dan kawan-kawan meneliti efek pemberian magnesium sulphate terhadap mula kerja dan karakteristik pemulihan cisatracurium. Pemberian magnesium sulphate 30 mg/kg dalam 0.9 % saline 100 cc 15 menit sebelum induksi anestesi sebelum atracurium 0.15 mg/kg dibandingkan pemberian normal saline control menunjukkan mula kerja lebih singkat dan tidak ada perbedaan yang bermakna pada durasi kerja. Median Mula kerja obat pada grup cisatracurium detik (75-225) detik sedangkan grup control 150 (93-240) detik. Konsentrasi magnesium terionisasi pada darah meningkat secara signifikan tetapi tidak dijumpai efek samping. 28 Pemberian magnesium sulphate 3 gram setelah induksi anestesi yang diikuti dengan infus berkesinambungan 0.5 gram/jam memberikan kondisi intubasi yang lebih baik dan hemodinamik yang stabil. Selain itu magnesium sulphate juga mempotensiasi pelumpuh otot atracurium dengan mempercepat mula kerja, dan memperlama durasi kerja. 29 Penggunaan magnesium sulphate menunjukkan kondisi intubasi yang lebih baik (75 % kondisi intubasi sangat baik) dibandingkan grup kontrol (45 % kondisi intubasi sangat baik) walaupun tidak dijumpai perbedaan yang bermakna. 29 Mula kerja atracurium pada grup yang mendapatkan magnesium sulphate lebih singkat 1.76 menit ± 0.42 vs 2.14 menit ± 0.36 dibandingkan grup kontrol, namun durasi kerja menjadi lebih panjang walaupun tidak berbeda bermakna. 29 Mula kerja pelumpuh otot lebih cepat (p=0.002), sedangkan durasi kerja dan indeks pemulihan lebih panjang pada pemberian magnesium sulphate walaupun yang terakhir tidak berbeda signifikan (p< dan p=0.02). 29 Fuchs buder dan kawan-kawan menginvestagasi interaksi antara magnesium sulfate 40 mg/kg dan vecuronium dan memyimpulkan bahwa magnesium sulphate memperpendek mula kerja vecuronium 0.1 mg/kg menjadi 147 (SD 22.2) dibandingkan kontrol (SD 122) detik dan memperbaiki kondisi intubasi pada intubasi sekuensial cepat menyamai suxamethonium 1
8 mg/kg bb. Pada penelitian ini konsentrasi magnesium 1.08 mmol/l setelah pemberian magnesium sulphat 40 mg/kg. 30 Sang Hwan do dan MH Kim hanya mengunakan dosis 30 mg/kg bb dan tidak memberikan infuse kontinu, pada penelitiannya konsentrasi ionized magnesium mmol/l. Dosis 30 mg/kg bb disimpulkan tidak menyebabkan efek seperti sensasi panas/terbakar, dan efek mempercepat frekuensi jantung dan aritmia. 28 Banyak peneliti menggunakan dosis mulai mg/kg bb magnesium sulphat dan melaporkan keefektifannya dalam mempersingkat mula kerja, dan memperpanjang masa pemulihan tanpa memberikan dampak efek samping yang serius. 28 Berdasarkan penelitian-penelitian pendahulu, didapatkan bukti bahwa pemberian magnesium sulphate dapat mempercepat mula kerja dan meningkatkan kemudahan intubasi. Akan tetapi masih sedikit penelitian yang melihat karakteristik atracurium dengan pemberian magnesium sulphate. Atracurium besylate merupakan pelumpuh otot-saraf kerja sedang yang memiliki mula kerja dibawah rocuronium. 6,7 Akantetapi mula kerja dari obat ini termasuk lama jika dibandingkan succinylcholine dan rocuronium. Penelitian pendahulu menggunakan magnesium sulphate yang diberikan secara bolus sebelum pemberian pelmpuh otot saraf. 29 Akan tetapi penelitian lain menunjukkan dibutuhkan waktu bagi magnesium untuk sampai ke celah sinaps. 17 Oleh karenanya peneliti mengharapkan hasil yang lebih baik dari penelitian ini. Peneliti dalam hal ini memilih dosis 30 mg/kg bb magnesium dikarenakan selain sudah memberikan efektifitas yang diharapkan juga segi kemanan penelitian. Peneliti melihat ruang masalah dan ruang penelitian dalam hal ini. Seandainya disuatu kondisi dan institusi succinylcholine dan rocuronium tidak tersedia, dan situasi menuntut dokter anestesi untuk mendapatkan kondisi intubasi yang baik dan cepat, atracurium dapat menjadi alternatif pilihan. Dalam sudut pandang farmako ekonomi, beban biaya atracurium dua kali lebih murah dibandingkan rocuronium, dan tidak semua instansi menggunakan rocuronium dengan alasan biaya ini, sehingga penelitian ini hendak membuktikan bahwa penggunaan atracurium dengan intervensi priming dan pretreatment memiliki mula kerja yang sama dengan rocuronium. Peneliti dalam hal ini menitik beratkan kepada usaha-usaha untuk mempercepat mula kerja dari atracurium berdasarkan penelitianpenelitian yang sudah ada dan dalam hal ini berniat untuk membandingkan pemberian priming 10 % dari dosis intubasi atracurium besylate dengan pretreatment magnesium sulphate 30 mg/kg bb iv.
9 1.2. RUMUSAN MASALAH Apakah pretreatment magnesium sulphate 30 mg/kg bb iv 15 menit sebelum pemberian atracurium 0.5 mg/kg bb iv memberikan efek mula kerja yang lebih cepat dan kemudahan intubasi yang lebih baik dibandingkan pemberian dosis priming 0.05 mg/kg bb iv 3 menit sebelum dosis atracurium 0.45 mg/kg bb iv? 1.3. HIPOTESIS Pretreatment magnesium sulphate 30 mg/kg bb iv 15 menit sebelum pemberian atracurium 0.5 mg/kg bb iv memberikan efek mula kerja yang lebih cepat dan kemudahan intubasi yang lebih baik dibandingkan pemberian dosis priming 0.05 mg/kg bb iv 3 menit sebelum dosis atracurium 0.45 mg/kg bb iv TUJUAN Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan alternatif cara yang lebih efektif untuk mempercepat mula kerja atracurium dan menilai kemudahan intubasi Tujuan Khusus 1. Untuk mendapatkan mula kerja dan menilai kemudahan intubasi pada pemberian atracurium, dengan priming 0.05 mg/kg bb iv atracurium, dengan 30 mg/kg bb iv magnesium sulphate, dan tanpa priming maupun pretreatment, 2. Untuk membandingkan karakteristik mula kerja obat dan kemudahan intubasi pada pemberian atracurium, dengan priming 0.05 mg/kg bb iv atracurium, dengan 30 mg/kg bb iv magnesium sulphate, dan tanpa priming maupun pretreatment, 1.5. MANFAAT Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam bidang akademis, pelayanan masyarakat, dan perkembangan penelitian.
10 Bidang Akademis Penelitian ini dapat menambah referensi dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Hasil penelitian diharapkan dapat memperkuat penelitian sebelumnya atau membantah penelitian sebelumnya Bidang Pelayanan Masyarakat Hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam praktis klinis sehari-hari pada kondisi dimana succinyl choline merupakan kontraindikasi dan ketidak tersediaan baik succinyl choline maupun rocuronium dalam rangka mendapatkan kemudahan intubasi Bidang Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber rujukan penelitian selanjutnya, menjadi perintis penelitian-penelitian dengan konsep yang sama untuk mencari obat dan alternatif cara yang dapat mempercepat mula kerja obat pelumpuh otot non depolarisasi, akan tetapi tetap aman dalam mendapatkan kemudahan intubasi.
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap sebuah pelumpuh otot yang ideal yang dapat memberikan kondisi intubasi yang ideal dalam durasi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi
Lebih terperinciRIWAYAT HIDUP PENELITI. : dr. Haryo Prabowo NIM : Tempat / Lahir : Medan / 26 Desember 1985
Lampiran 1 RIWAYAT HIDUP PENELITI Nama : dr. Haryo Prabowo NIM : 107114003 Tempat / Lahir : Medan / 26 Desember 1985 Pekerjaan : Dokter umum Agama : Islam Alamat : Jln. Sentosa Lama gg. Sanun no. 12 Medan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang anestesiologis, mahir dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan kemampuan yang sangat penting. Salah satu tindakan manajemen jalan nafas adalah tindakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan makin luas pemakaiannya dibidang anestesi. Mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, di antaranya relatif murah,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat-obat pelumpuh otot-saraf Mekanisme kerja obat-obat pelumpuh otot-saraf adalah menghambat transmisi impuls saraf di sambungan otot-saraf. Obat-obat ini dapat diklasifikasikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan dihubungkan dengan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini dikarenakan memiliki waktu mula kerja, durasi dan waktu pulih sadar yang singkat. 1,2 Disamping
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap prosedur pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca bedah, maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi umum
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang
tua. 1 Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak-anak mempunyai kondisi berbeda dengan orang dewasa pada saat pra bedah sebelum masuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penatalaksanaan nyeri akut pascaoperasi merupakan salah satu tantangan seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 melaporkan bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Anestesi intravena total adalah suatu tehnik anestesi yang dilakukan hanya dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat anestesi inhalasi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan dan anestesi merupakan suatu kondisi yang dapat memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani pembedahan sudah tentunya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Evaluasi pra anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status fisik (ASA) pasien pra operatif,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikasi tindakan seksio sesaria pada wanita hamil berkisar antara 15 sampai 20% dari seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan
Lebih terperinciDr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI
Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Mempunyai kekhususan karena : Keadaan umum pasien sangat bervariasi (normal sehat menderita penyakit dasar berat) Kelainan bedah yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. subarachnoid sehingga bercampur dengan liquor cerebrospinalis (LCS) untuk mendapatkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang paling sederhana dan paling efektif. Anestesi spinal dilakukan dengan memasukkan obat anestesi lokal ke dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan suatu tindakan yang sering dilakukan pada anestesi umum untuk mengurangi atau menumpulkan respon
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reaksi tubuh terhadap pembedahan dapat merupakan reaksi yang ringan atau berat, lokal, atau menyeluruh. Reaksi yang menyeluruh ini melibatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan kian meningkat yang berbanding lurus dengan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan
Lebih terperinciBAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara
BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Nyeri merupakan masalah yang paling sering menyebabkan pasien mencari perawatan ke rumah sakit. Nyeri tidak melakukan diskriminasi terhadap manusia, nyeri tidak membeda-bedakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laringospasme dan batuk merupakan komplikasi setelah ekstubasi pada pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan menutupnya glottis secara
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak
BAB 1 PENDAHULUAN 11 LATAR BELAKANG Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit Nyeri bersifat subjektif,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Nyeri bersifat subjektif,
Lebih terperinciPREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA
PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA Dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K) Dept. Obstetri dan ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA GEJALA DAN TANDA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nyeri pascabedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Saat ini nyeri masih menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada kasus-kasus pembedahan seperti tindakan operasi segera atau elektif
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kasus-kasus pembedahan seperti tindakan operasi segera atau elektif memiliki komplikasi dan risiko pasca operasi yang dapat dinilai secara objektif. Nyeri post
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rasa sakit didefinisikan sebagai perasaan tidak nyaman dan suatu pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan tubuh (Levine, 2012), oleh
Lebih terperinciPELAYANAN BEDAH DAN ANESTESI (PAB)
PELAYANAN BEDAH DAN ANESTESI (PAB) STANDAR, MAKSUD DAN TUJUAN, ELEMEN PENILAIAN ORGANISASI DAN MANAJEMEN >/= 8% Terpenuhi 2-79% Terpenuhi sebagian < 2% Tidak terpenuhi Standar PAB.1. Tersedia pelayanan
Lebih terperinciPELAYANAN BEDAH DAN ANESTESI
PELAYANAN BEDAH DAN ANESTESI STANDAR, MAKSUD DAN TUJUAN, ELEMEN PENILAIAN ORGANISASI DAN MANAJEMEN Standar PAB.1. Tersedia pelayanan anestesi (termasuk sedasi moderat dan dalam) untuk memenuhi kebutuhan
Lebih terperinciHUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt
HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT JULAEHA, M.P.H., Apt FISIONEUROLOGI OBAT SSP Obat SSP menekan / menstimulasi seluruh atau bagian tertentu dari SSP. Jika terdapat penekanan
Lebih terperinciPETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM
PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di instalasi rekam medik RSUP dr. Kariadi Semarang,
31 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini merupakan penelitian di bidang Anestesiologi dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di instalasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Keperawatan pasca operasi merupakan periode akhir dari keperawatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keperawatan pasca operasi merupakan periode akhir dari keperawatan perioperative. Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada upaya untuk menstabilkan kondisi
Lebih terperinciBAB 1 1. PENDAHULUAN
BAB 1 1. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penanganan nyeri paska bedah yang efektif adalah penting untuk perawatan pasien yang mendapat tindakan pembedahan. Penanganan nyeri yang efektif dengan efek samping
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dengan ditemukannya agen inhalasi yang baru, desflurane dan sevoflurane, muncul permasalahan baru yang dikenal dengan agitasi pulih sadar. Agitasi pulih sadar didefinisikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. proliferatif, dan fase remodeling. Proses-proses tersebut akan dipengaruhi oleh faktor
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tubuh memiliki mekanisme untuk merespon bagian yang mengalami luka. Respon terhadap luka ini terdiri dari proses homeostasis, fase inflamasi, fase proliferatif, dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manajemen jalan napas merupakan salah satu keterampilan yang paling penting yang harus dimiliki ahli anestesi. Ketidakmampuan menjaga jalan napas dapat menimbulkan kondisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anestesi digunakan secara luas dalam bidang kedokteran hewan seperti menghilangkan nyeri dan kesadaran pada tindakan pembedahan, pengendalian hewan (restraint), keperluan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. letak insisi. Antara lain seksio sesaria servikal (insisi pada segmen bawah), seksio
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seksio sesaria adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat
Lebih terperinciPreeklampsia dan Eklampsia
Preeklampsia dan Eklampsia P2KS PROPINSI SUMATERA UTARA 1 Tujuan Membahas praktek terbaik untuk mendiagnosis dan menatalaksana hipertensi, pre-eklampsia dan eklampsia Menjelaskan strategi untuk mengendalikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Afrika 11,9%, terendah di Eropa 6,2% dan Asia Tenggara 11,1% (Beck, 2010).
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bayi kurang bulan (BKB) adalah bayi lahir dengan umur kehamilan (UK) kurang dari 37 minggu. Angka kelahiran BKB di dunia sebesar 9,6%, tertinggi di Afrika 11,9%, terendah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat dilakukan dengan General Anesthesia (GA), Regional Anesthesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan anestesi dan reanimasi pada hakekatnya harus dapat memberikan tindakan medik yang aman, efektif, manusiawi yang berdasarkan ilmu kedokteran mutakhir dan teknologi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanganan nyeri adalah hak dasar manusia tanpa memandang jenis kelamin dan usia. Telah diketahui bahwa transmisi dan persepsi nyeri timbul dan berfungsi sejak kehamilan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Anestesi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen anestesi seperti obat analgesik yang dapat menghilangkan rasa sakit, sementara obat-obat
Lebih terperinciMENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL
MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat Pelumpuh Otot Prinsip farmakologi pelumpuh otot adalah menghalangi transmisi impuls saraf di sambungan saraf-otot (neuromuscular junction). Berdasarkan mekanisme kerjanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk melakukan pembedahan diperlukan tindakan anestesi yang dapat berupa anestesi umum atau regional. Masing masing teknik anestesi ini mempunyai keuntungan dan kerugian.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. anestesi untuk pengelolaan nyeri, tanda vital, juga dalam pengelolaan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembedahan atau operasi merupakan tindakan invasif dengan membuka bagian tubuh untuk perbaikan.pembedahan biasanya diberikan anestesi untuk pengelolaan nyeri, tanda
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. diinginkan (Covino et al., 1994). Teknik ini pertama kali dilakukan oleh seorang ahli bedah
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sub Arachnoid Blok (SAB) atau anestesi spinal adalah salah satu teknik dalam anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnooid
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator mekanik merupakan alat yang digunakan untuk membantu fungsi pernapasan. Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan hipoksemia, hiperkapnia berat dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Bayi dengan asfiksia neonatorum
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Bayi dengan asfiksia neonatorum mengalami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. beberapa dekade terakhir ini, namun demikian perkembangan pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai sensasi yang tidak mengenakkan dan biasanya diikuti oleh pengalaman emosi tertentu
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Popularitas anestesi lokal yang semakin meluas dan meningkat dalam bidang kedokteran gigi merupakan cerminan dari efisiensi, kenyamanan dan adanya kontraindikasi
Lebih terperinciSURAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN
RM 02.05.04.0114 Dokter Pelaksana Tindakan Penerima Informasi Penerima Informasi / Pemberi Penolakan * SURAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN PEMBERIAN INFORMASI JENIS INFORMASI ISI INFORMASI TANDA ( ) 1
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan luar biasa terhadap mekanisme hemostasis tubuh karena jaringan di dalam mulut memiliki vaskularisasi
Lebih terperinciOBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt.
OBAT OBAT EMERGENSI Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. PENGERTIAN Obat Obat Emergensi adalah obat obat yang digunakan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manajemen neoplasma primer dan metastasis neoplasma pada otak. 1 Tindakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kraniotomi merupakan tindakan bedah yang paling sering dilakukan pada manajemen neoplasma primer dan metastasis neoplasma pada otak. 1 Tindakan bedah tersebut bertujuan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
56 BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional dengan uji kuantitatif analitik yang membandingkan dua kelompok penelitian, yaitu kelompok isofluran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. multiorgan, ini disebut septic shock. Sepsis merupakan SIRS (Systemic. tempat infeksi, maka ini disebut dengan sepsis berat.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Infeksi serius dan kelainan lain yang bukan infeksi seperti pankreatitis, trauma dan pembedahan mayor pada abdomen dan kardiovaskular memicu terjadinya SIRS atau sepsis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses persalinan yang disertai dengan anestesi mempunyai angka kematian maternal yang rendah (sekitar
Lebih terperinciMANAJEMEN NYERI POST OPERASI
MANAJEMEN NYERI POST OPERASI Ringkasan Manajemen nyeri post operasi bertujuan untuk meminimalisasi rasa tidak nyaman pada pasien, memfasilitasi mobilisasi dini dan pemulihan fungsi, dan mencegah nyeri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekonomis dari suatu teknologi yang baru adalah penting. Reformasi pelayanan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era reformasi kesehatan, kemampuan untuk menunjukkan angka ekonomis dari suatu teknologi yang baru adalah penting. Reformasi pelayanan kesehatan memberikan tekanan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.
BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penelitian Asma adalah suatu penyakit obstruksi saluran pernafasan yang bersifat kronis dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. modalitas sensorik tetapi adalah suatu pengalaman 1. The
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya Nyeri bukan hanya suatu modalitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tindakan ekstraksi adalah prosedur yang menerapkan prinsip bedah, fisika, dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tindakan ekstraksi adalah prosedur yang menerapkan prinsip bedah, fisika, dan mekanik. Ketika prinsip tersebut diterapkan dengan tepat, gigi dapat dikeluarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. emosional atau mengalami cemas akan mengalami rasa nyeri yang hebat setelah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyeri yang tidak ditangani dengan baik akan mengganggu mobilisasi pasien pasca operasi yang dapat berakibat terjadinya tromboemboli, iskemi miokard, dan aritmia.
Lebih terperinciHipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi
Hipertensi dalam kehamilan Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi DEFINISI Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmhg sistolik atau 90 mmhg diastolik pada dua kali
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. didalam tindakan operasi atau pembedahan untuk menghilangkan rasa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anestesi general adalah salah satu anestesi yang sering dipakai didalam tindakan operasi atau pembedahan untuk menghilangkan rasa nyeri atau sakit bahkan pasien akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap pembedahan, dilakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk baik menghilangkan rasa nyeri yang kemudian disebut dengan anestesi. Dan keadaan hilangnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu jenis penyakit metabolik yang selalu mengalami peningkat setiap tahun di negara-negara seluruh dunia. Berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Berdasarkan data yang didapat dari studi pendahuluan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, pasien yang mendapatkan tindakan operasi bedah semakin meningkat. Berdasarkan data yang didapat dari studi pendahuluan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tujuan dari terapi cairan perioperatif adalah menyediakan jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat agar sistem kardiovaskular
Lebih terperinciDiabetes tipe 2 Pelajari gejalanya
Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan
Lebih terperinciDi bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :
Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Pemakaian obat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah salah satu jenis tanaman
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah salah satu jenis tanaman herbal yang biasanya dijadikan sebagai menjadi tanaman hias. Tanaman patah tulang selain tanaman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman, teknologi di bidang farmasi saat ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun 1885 dan sekarang teknik ini dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun 1885 dan sekarang teknik ini dapat digunakan untuk prosedur pembedahan daerah abdomen bagian bawah, perineum dan ekstremitas
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. PONV juga menjadi faktor yang menghambat pasien untuk dapat segera
A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Mual dan muntah pascaoperasi (Postoperative Nausea and Vomiting / PONV) masih merupakan komplikasi yang sering dijumpai setelah pembedahan. PONV juga menjadi faktor
Lebih terperinciPENGARUH KOMPRES HANGAT DI SUPRA PUBIK TERHADAP PEMULIHAN KANDUNG KEMIH PASCA PEMBEDAHAN DENGAN ANESTESI SPINAL DI RSUD BATANG
PENGARUH KOMPRES HANGAT DI SUPRA PUBIK TERHADAP PEMULIHAN KANDUNG KEMIH PASCA PEMBEDAHAN DENGAN ANESTESI SPINAL DI RSUD BATANG Skripsi ARI WIJAYANTO NIM : 11.0758.S TAUFIK NIM : 11.0787. S PROGRAM STUDI
Lebih terperinciBAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Pemberian sediaan poliherbal menurunkan tekanan darah tikus model
50 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan 1. Pemberian sediaan poliherbal menurunkan tekanan darah tikus model hipertensi pada dosis 126 mg/kgbb dan 252 mg/kgbb dibandingkan kontrol negatif. 2. Pemberian
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa
PENDAHULUAN Latar Belakang Industri perunggasan di Indonesia, terutama broiler saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa pemeliharaan broiler untuk meningkatkan
Lebih terperinci1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuretase merupakan salah satu prosedur obstetrik dan ginekologi yang sering dilakukan. Baik untuk pengosongan sisa konsepsi dari kavum uteri akibat abortus. Ataupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gigi impaksi adalah gigi yang gagal untuk erupsi secara utuh pada posisi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gigi impaksi adalah gigi yang gagal untuk erupsi secara utuh pada posisi yang seharusnya. Hal ini dapat terjadi karena tidak tersedianya ruangan yang cukup pada rahang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyulit medis yang sering ditemukan pada kehamilan yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun perinatal. Hipertensi dalam
Lebih terperinciBAB I. A. Latar Belakang. Mual dan muntah pasca operasi atau yang biasa disingkat PONV (Post
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mual dan muntah pasca operasi atau yang biasa disingkat PONV (Post Operative Nausea and Vomiting) merupakan dua efek tidak menyenangkan yang menyertai anestesia dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Mual muntah pascaoperasi atau post operatif nausea and vomiting (PONV)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Mual muntah pascaoperasi atau post operatif nausea and vomiting (PONV) masih merupakan masalah yang umum. Insiden PONV terjadi pada 25-30% pasien pascaoperasi dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Stress ulcer merupakan ulser pada lambung dan atau duodenum yang biasanya muncul dalam konteks trauma atau penyakit sistemik atau SSP yang hebat. Ulcer secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang tinggi. Menurut Basha (2009) hipertensi adalah satu keadaan dimana seseorang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi adalah salah satu penyakti yang mengakibatkan angka kesakian yang tinggi. Menurut Basha (2009) hipertensi adalah satu keadaan dimana seseorang mengalami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Persalinan merupakan kejadian fisiologi yang normal dialami oleh
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persalinan merupakan kejadian fisiologi yang normal dialami oleh seorang ibu berupa pengeluaran hasil konsepsi yang hidup didalam uterus melalui vagina ke dunia luar.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tindakan bedah pada pasien menunjukkan peningkatan seiring tumbuhnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan bedah pada pasien menunjukkan peningkatan seiring tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perkembangan ilmu kesehatan. Hipotensi pada parturien (kondisi
Lebih terperinci(AIS) dan golongan antiinflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak.
BAB 1 PENDAHULUAN Di era globalisasi saat ini, rasa sakit atau nyeri sendi sering menjadi penyebab salah satu gangguan aktivitas sehari-hari seseorang. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1mm/KgBB + tramadol. Dalam hal ini, masing-masing data akan
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Data Penelitian Deskripsi data menyajikan data yang terkumpul dari penelitian, yang terdiri dari data rasa nyeri yang diperoleh dari
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. banyak dilakukan adalah teknik aliran gas segar tinggi atau high-flow anesthesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metode anestesi umum dengan menggunakan obat anestesi inhalasi yang saat ini banyak dilakukan adalah teknik aliran gas segar tinggi atau high-flow anesthesia (HFA)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2002).
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2002). Nyeri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anjing merupakan hewan peliharaan yang paling populer hampir di seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga memiliki jiwa pengabdian
Lebih terperinciPENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012
PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012 Penelitian Keperawatan Jiwa SITI FATIMAH ZUCHRA BP. 1010324031
Lebih terperinci