BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Employee Engagement Definisi mengenai engagement saat ini masih belum jelas, istilah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang bernama Gallup pada tahun 1990-an. Menurut survei Global,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi. Komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), adalah keadaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Banyak penelitian yang menggunakan istilah engagement sebagai variabel

BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job

PENDAHULUAN. Employee engagement merupakan topik yang banyak dibicarakan. beberapa tahun terakhir. Penelitian dan aplikasi mengenai topik ini banyak

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Teori yang menghubungkan konsep kepuasan kerja dengan keadilan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pengelolaan sumber daya manusia telah ditandai pergeseran

BAB 2 TINJAUAN REFERENSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. memiliki pengertian berbeda mengenai engagement (Albrecht, 2010).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB I PENDAHULUAN. keuangan, kemampuan marketing, dan sumber daya manusia (SDM).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Iklim organisasi (atau disebut juga suasana organisasi) adalah. serangkaian lingkungan kerja di sekitar tempat kerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. 1. Pengertian Kinerja. tujuan organisasi (Viswesvaran & Ones, 2000). McCloy et al. (1994)

BAB I PENDAHULUAN. sangatlah penting karena manusia merupakan penggerak utama dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk

2015 HUBUNGAN FAMILY SUPPORTIVE SUPERVISORY BEHAVIORS DAN TRUST IN SUPERVISOR DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Keadilan organisasi menurut Bakhshi et al, (2009) bisa didefinisikan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dimainkan oleh orang yaitu karyawan dalam organisasi dapat memberikan sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diperhatikan, dijaga, dan dikembangkan. Organizational Citizenship Behaviour

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. satunya adalah cabang Solo Raya dan Madiun Raya. Pada bulan April 2016

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sampai saat ini belum ada definisi yang konsisten dan universal

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia (SDM) adalah pelaksanaan job analysis, perencanaan SDM,

BAB 2 LANDASAN TEORI

Pengaruh Stress Kerja dan Keadilan Organisasi terhadap Employee engagement

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN ANALISIS. Responden penelitian ini adalah seluruh karyawan Starbucks Coffee

BAB I PENDAHULUAN. manajemen sumber daya manusia (Saks, 2006). Para praktisi organisasi dan para

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI WORK ENGAGEMENT PADA KARYAWAN OUTSOURCING DIVISI KARTU KREDIT PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) TBK.

BAB I PENDAHULUAN. beban operasional perusahaan sehingga mengakibatkan jumlah jabatan struktural

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kahn (dalam May dkk, 2004) work engagement dalam. pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan

Seminar Nasional dan Call for Paper, Universitas Kristen Maranatha, Bandung Juni 2013; ISSN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. performance. Kata Performance berasal dari kata to perform yang berarti

BAB II LANDASAN TEORI. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai hasrat karyawan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. yang mendefinisikan work engagement adalah tingkat keterikatan fisik,

BAB I PENDAHULUAN. segala kegiatan bisnis dan perekonomian, hal ini menyebabkan terjadinya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kepuasan kerja merupakan salah satu studi yang secara luas dipelajari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori pertukaran sosial menurut Staley dan Magner (2003) menyatakan

BAB II TELAAH PUSTAKA. mengenai penelitian ini, berdasarkan variabel-variabel yang menjadi obyek

untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat.

Salah satu tantangan terbesar perusahaan dalam persaingan di pasar global. engaged menjadi sangat berharga dalam mendukung kinerja perusahaan karena

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. organisasi. Penelitian mengenai engagement dalam pekerjaan yang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Penilaian kinerja (Performance Appraisal) adalah suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini diawali dengan latar belakang peneliti dalam pemilihan topik

BAB I PENDAHULUAN. dukungan dan keterlibatan karyawan.perhatian terhadap perbedaan kebutuhan

HUBUNGAN ANTARA JOB CRAFTING DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN GENERASI Y DI KANTOR PUSAT PT. BANK BUKOPIN, TBK JAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Organizational Citizenship Behavioral. 1. Pengertian Organizational Citizenship Behavioral (OCB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. Employee engagement merupakan rasa keterikatan secara emosional

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang telah ditetapkannya sendiri. Chaplin (2006) Life Satisfaction adalah satu

BAB I PENDAHULUAN. suatu organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja anggota organisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. meninggalkan pekerjaannya.turnover intention harus disikapi sebagai suatu

Bab I. Pendahuluan. pengelolaan yang baik pula organisasi akan mendapatkan karyawan-karyawan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Organisasi modern meyakini bahwa manusia merupakan faktor penting

BAB I PENDAHULUAN. rakyatnya, kualitas sumber daya manusia memegang peran yang cukup penting,

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kominfo Jawa Timur. Penelitian dilakukan pada tanggal 28 Nopember

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inovatif. Kompetisi yang terjadi menuntut organisasi untuk senantiasa mengembangkan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. karyawan dan organisasi yang berimplikasi terhadap keputusan untuk bertahan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia dan perilaku organisasi (Colquitt et al., 2001). Keadilan sangat

BAB II LANDASAN TEORI. Saat ini, engagement merupakan salah satu topik yang hangat di antara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Komitmen Organisasional dapat didefinisikan sebagai tingkat sampai

BAB I PENDAHULUAN. hanya pada sektor usaha yang berorientasi pada laba, sektor pendidikan juga

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

yang memiliki peran penting dalam perusahaan karena mereka akan berhubungan dengan para pelanggan. Dalam masyarakat, karyawan pemasaran sering kali

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kemajuan suatu bangsa pada masa pembangunan.

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkebunan tercatat sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Perilaku Kewarganegaraan Organisasional (Organizational. a. Pengertian Perilaku Kewarganegaraan Organisasional

BAB I PENDAHULUAN. efisien dalam menunjang tercapainya tujuan organisasi (Rusmayanti, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kemudahan dan pelayanan yang diberikan. Mulai dari kemudahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Keterikatan Karyawan (employee engagement) 1. Definisi Keterikatan Karyawan (employee engagement)

BAB V SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis employee engagement di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN Latar belakang

Teori Keadilan (Equity Theory)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel gaya

SELF REGULATION, KEPUASAN TERHADAP INFORMASI PEKERJAAN DAN WORK ENGAGEMENT: Studi Kasus pada Dosen FISIP UT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumber daya manusia dalam suatu organisasi memiliki peranan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kompetitif dengan mendorong sebuah lingkungan kerja yang positif (Robbins dan

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga banyak yang menyebut keterikatan kerja merupakan old wine in

KEADILAN PROSEDURAL DAN KEADILAN DISTRIBUTIF SEBAGAI PREDIKTOR EMPLOYEE ENGAGEMENT

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan organisasi. Terlebih, kepemimpinan dari seorang pemimpin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancang untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Menurut Robbins dan Judge (2008), Kepercayaan adalah suatu harapan positif

BAB II LANDASAN TEORI. Cascio (2003) mengungkapkan OCB sebagai perilaku kebijaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Permasalahan. memiliki batasan reaktif yang dapat diidentifikasi serta bekerja bersama-sama untuk

BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Employee Engagement 1. Definisi Employee Engagement Definisi mengenai engagement saat ini masih belum jelas, istilah engagement pertama kali digunakan dalam setting pekerjaan, Umumnya arti engagement mengarah pada keterlibatan, komitmen, gairah, antusias, fokus, usaha, dedikasi, dan energi. Para ahli sering menggunakan istilah employee engagement dan work engagement secara bergantian ketika menjelaskan konsep engagement (Schaufeli, 2013). Yang membedakan konsep work engagement dengan employee engagement adalah; work engagement mengacu pada hubungan karyawan dengan pekerjaannya, sedangkan employee engagement mengacu pada hubungan karyawan dengan pekerjaan dan organisasinya (Schaufeli, 2013). Jurnal mengenai engagement pertama kali dikeluarkan oleh Willam Kahn. Kahn (1990) menyebutnya dengan istilah personal engagement yaitu keadaan anggota perusahaan mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjannya dimana anggota tersebut memanfaatkan diri mereka untuk terikat, berperan dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif dan emosional selama menjalankan pekerjaan atau peran mereka. Lalu organisasi Gallup menciptakan istilah employee engagement secara umum sekitar tahun 1990-an (Schaufeli, 2013). Saks (2006) mendefinisikan employee engagement sebagai konstruk yang unik dan berbeda, terdiri dari komponen kognitif, emosi dan 12

perilaku yang terkait dengan kinerja peran individu. Saks membagi istilah employee engagement kedalam dua bentuk yaitu organizational engagement (melaksanakan peran dirinya sebagai anggota dari organisasi) dan job engagement (melaksanakan perannya dalam bekerja). Definisi yang dikemukakan oleh Saks (2006) mirip dengan definisi dari Kahn (1990) karena sama-sama berfokus pada peran performa dalam bekerja. Kahn (1990) dalam studi kualitatifnya menyebutkan tiga kondisi psikologis yang bisa diasosiasikan dengan engagement atau disengagement pada pekerjaan yaitu kebermaknaan/makna psikologis, rasa aman, dan ketersediaan. Dengan kata lain, karyawan akan merasa dirinya lebih engaged ketika perusahaan dapat memenuhi kondisi psikologis yang dibutuhkan karyawan seperti kebermaknaan, rasa aman, dan ketersediaan saat sedang bekerja. Kahn (1990) juga mengatakan bahwa ada tumpang tindih antara konsep ini dengan konsep psikologis lainnya seperti kepuasan kerja, komitmen dan motivasi. Tetapi beberapa tahun terakhir definisi tentang engagement mulai bermunculan untuk memisahkan konsep ini dengan konsep psikologis lainnya seperti penjelasan mengenai engagement dalam literatur burnout oleh Maslach et al (2001) yang mengasumsikan engagement sebagai kutub positif dari burnout. Menurut Maslach terdapat enam hal yang dapat mempengaruhi engagement dan burnout yaitu : keseimbangan beban kerja, kebebasan untuk memilih dan kontrol, gaji dan penghargaan yang pantas, lingkungan kerja yang mendukung, fairness dan justice, serta pekerjaan yang memiliki arti dan nilai. Enam hal tersebut jika dianggap positif oleh individu, maka akan 13

menghasilkan pemikiran serta sikap yang positif, jika dianggap negatif, maka akan menghasilkan pemikiran serta sikap yang negatif pula. Sama halnya dengan Schaufeli & Bakker (2003) yang mengatakan engagement sebagai lawan dari burnout, tetapi Schaufeli & Bakker memisahkan konsep burnout dan engagement menjadi dua konstruk yang berbeda (Schaufeli, 2013). Kemudian Schaufeli & Bakker (2004) yang menjelaskan engagement sebagai emosi yang positif, puas, berhubungan dengan pekerjaan yang dikarakteristikan dengan vigor, dedication dan absorption. Lalu Robinson (2004) mendefinisikan employee engagement sebagai sikap positif dari karyawan kepada organisasi dan nilai nilai yang dianutnya. Menurutnya karyawan yang engaged menjadi sadar akan konteks tentang bisnis dan pekerjaannya untuk meningkatkan performa didalam pekerjaan untuk keuntungan organisasi. Saks (2006) membedakan definisi employee engagment dengan konstruk lain seperti komitmen organisasi dan OCB, menurutnya komitmen organisasi berbeda dengan engagement dalam hal ini komitmen merujuk pada sikap dan perasaan sayang individu pada organisasinya sedangkan engagement tidak selalu menunjukkan dengan sikap. Engagement merupakan tingkat dimana seseorang memberi perhatian penuh pada pekerjaan mereka dan merasa tertarik dengan kinerja dalam pekerjaan mereka. OCB merupakan kerelaan dan perilaku informal yang dapat membantu teman kerja dan organisasi sedangkan fokus engagement adalah salah satu peran kinerja formal dari pada semata-mata untuk peran tambahan (Margaretha & Santosa, 2012). 14

Berdasarkan penjelasan berbagai definisi diatas maka penelitian ini akan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Schaufeli (2004) yang menyatakan bahwa employee engagement adalah perasaan puas dan emosi positif yang dirasakan individu terkait pekerjaan dan organisasi yang dikarakteristikkan melalui perilaku vigor, dedication dan absorption. 2. Dimensi Employee Engagement Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2001) mendefinisikan engagement sebagai keadaan positif, terpenuhi, keadaan pikiran yang berhubungan dengan pekerjaan yang dikarateristikkan dengan vigor, dedication, dan absorption. Dari penjelasan di atas, Schaufeli dan Bakker (2004) mengkonsepkan dimensi-dimensi dari engagement, sebagai berikut : a. Vigor (Kekuatan) Vigor mengarah pada tingkat energi yang tinggi dan ketahanan mental yang kuat ketika bekerja, kemauan untuk memberi usaha lebih pada pekerjaannya, dan gigih menghadapi berbagai kesulitan. Karyawan yang memiliki skor yang tinggi pada aspek ini adalah orang yang memiliki tingkat semangat dan stamina yang tinggi ketika bekerja sedangkan orang yang memiliki skor rendah pada aspek ini mempunyai semangat dan stamina yang rendah pula ketika bekerja. 15

b. Dedication (Dedikasi) Dedication mengarah pada perasaan yang penuh dengan makna, antusias dan bangga dengan pekerjaan, memiliki inspirasi dan tertantang dengan pekerjaannya. Orang yang memiliki skor yang tinggi pada aspek ini mengidentifikasi pekerjaan mereka dengan kuat karena membuat pengalaman menjadi berarti dan berharga. Selain itu, juga merasa antusias dan bangga dengan pekerjaan mereka. Orang yang memiliki skor rendah pada aspek ini tidak mengidentifikasi diri mereka dengan pekerjaannya karena mereka tidak membuat pengalaman mereka menjadi bermakna, menginspirasi atau menantang. c. Absorption (Absorpsi) Absorption mengarah pada konsentrasi penuh dan mendalam, tenggelam dengan pekerjaan dimana waktu terasa lebih cepat dan sulit memisahkan diri dengan pekerjaan, sehingga mudah lupa dengan sesuatu disekitarnya. Orang dengan skor tinggi pada aspek ini merasa senang tenggelam dengan pekerjaan sebaliknya orang dengan skor rendah pada aspek ini tidak tertarik dan tidak memiliki perhatian penuh dengan pekerjaannya. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Employee Engagement Berikut faktor-faktor potensial yang memprediksi employee engagement, menurut Saks (2006) : 1. Karakteristik pekerjaan Kebermaknaan secara psikologis dapat diperoleh dari karateristik pekerjaan yang menantang, bervariasi, butuh berbagai keterampilan, bebas 16

mengambil keputusan sendiri dan kesempatan untuk membuat kontribusi yang penting. Kahn (1990) mengatakan bahwa pekerjaan yang memiliki lima karateristik tersebut dapat menghasilkan karyawan menjadi lebih engaged. 2. Perceived Organizational and Supervisor Support Persepsi terhadap dukungan organisasi dan persepsi terhadap dukungan supervisor (POS) merupakan variabel yang penting dalam dukungan sosial. Faktor ini mengarah pada keyakinan karyawan bahwa organisasi menghargai konstribusi karyawan dan peduli dengan kesejahteraan mereka. POS membuat sebuah kewajiban (obligation) bagi karyawan untuk peduli pada organisasi dan bekerja untuk mencapai tujuan organisasi yang kemudian menghasilkan organisasi yang menghargai konstribusi karyawan dan peduli dengan kesejahteraan karyawannya. Dengan kata lain, karyawan yang engaged terhadap pekerjaan dan organisasi mereka didasari sebagai bagian dari norma timbal balik sehingga hal tersebut membantu organisasi untuk mencapai tujuannya (Saks, 2006). 3. Pengakuan dan Penghargaan Karyawan memiliki berbagai variasi engagement sesuai dengan bagaimana mereka mempersepsikan keuntungan yang diterima dari pekerjaannya. Karyawan akan lebih engaged dengan pekerjaannya ketika mereka mempersepsikan nilai yang lebih besar dari rewards dan recognition bagi performa pekerjaan mereka. 17

4. Keadilan Organisasi a. Keadilan Prosedural Keadilan prosedural berkaitan dengan prosedur-prosedur yang digunakan organisasi untuk mendistribusikan hasil dan sumber daya organisasi kepada karyawannya atau persepsi terhadap proses dan aturan dalam pembuatan keputusan. Penjelasan teoritis mengenai proses psikologis yang mendasari pengaruh keadilan prosedural adalah kontrol proses dan komponen struktural. Perspektif komponen struktural mengatakan bahwa keadilan prosedural merupakan suatu fungsi dari sejauh mana atuan-aturan prosedural dipatuhi atau dilanggar. Aturan-aturan tersebut memiliki implikasi yang penting karena dipandang sebagai manifestasi nilai-nilai proses dasar dalam organisasi. Dan mengarah pada persepsi keadilan karyawan terhadap proses yang digunakan dalam menentukan dan mendistribusikan sumber daya yang ada. b. Keadilan Distributif Keadilan distributif merupakan persepsi pada keadilan mengenai jumlah dan pemberian penghargaan diantara individu. Keadilan distributif ini mengacu pada konsep dasar equity. Konsep tersebut mendasarkan penjabaran keadilan sebagai kesetaraan imbalan seperti; gaji dan insentif lainnya dengan pekerjaan yang dilakukan. Keadilan terjadi apabila karyawan merasa bahwa rasio antara usaha dan imbalan sebanding dengan rasio karyawan lain. 18

Ketika karyawan merasa diperlakukan secara adil, mereka akan cenderung merasa wajib bekerja secara maksimal dengan meningkatkan engagement menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, karyawan yang merasa dirinya tidak diperlakukan secara adil akan cenderung untuk menarik diri dan disengaged dari peran kerja mereka. Adanya keadilan prosedural dan keadilan distributif mampu memunculkan perilaku engaged pada karyawan. B. Keadilan Organisasi 1. Definisi Keadilan Organisasi Ide keadilan organisasi berasal dari teori equity dari Adams (1965) yang mengatakan bahwa penilaian dari adil dan ketidakadilan berasal dari perbandingan antara diri sendiri dengan orang lain berdasarkan input dan outcomes. Individu akan membandingkan input dan outcomes yang mereka punya dengan input dan outcomes orang lain atau dengan diri sendiri di masa lalu (Adams, 1963). Kemudian Greenberg (1987) memperkenalkan konsep keadilan organisasi yang mengatakan bahwa keadilan organisasi sebagai persepsi karyawan tentang bagaimana karyawan menilai perilaku adil di dalam organisasi, yang terkait dengan cara yang tepat mendistribusikan hasil dan tentang bagaimana memperlakukan orang lain dengan baik (misal, jika perusahaan tidak memperhatikan setengah dari para pekerjanya, karyawan mungkin merasa ada ketidakadilan yang menghasilkan perubahan sikap dan penurunan dalam hal produktivitas). 19

Griffin dan Moorhead (2011) mengatakan bahwa keadilan organisasi sebagai sebuah fenomena penting yang baru-baru ini telah diperkenalkan ke dalam studi organisasi. Keadilan dapat dikaji dari berbagai sudut pandang termasuk motivasi, kepemimpinan, dan dinamika kelompok. Menurut Greenberg & Baron (2003) keadilan organisasi sebagai persepsi individu terhadap keadilan dalam proses pembuatan keputusan dan distribusi hasil yang telah diterima oleh individu. Sedangkan Cropanzano dkk (2007) menjelaskan keadilan organisasi sebagai evaluasi personal tentang moral yang bagaimana seharusnya seseorang lakukan di dalam organisasi. Keadilan merupakan inti dari hubungan karyawan dengan atasannya, sebaliknya rasa tidak adil dianggap sebagai hal yang dapat merusak hubungan dalam organisasi. Ketidakadilan dalam organisasi dapat merusak individu maupun organisasi. Kemudian menurut Robbins dan Judge (2008) menyebutkan keadilan organisasi sebagai persepsi keseluruhan dari apa yang adil di tempat kerja. Karyawan menganggap organisasi mereka adil ketika yakin bahwa hasil dan cara menerimanya sudah adil. Hal ini serupa dengan penjelasan oleh Aryee, Pawan, dan Chen (2002) yang mengatakan keadilan organisasi sebagai persepsi individu dan organisasi terhadap perlakuan yang adil dari organisasi. Karyawan menginginkan keadilan dari organisasi mereka, begitu juga sebaliknya. Karyawan membandingkan apa yang sudah mereka peroleh dari organisasi dengan apa yang sudah mereka berikan pada organisasi, begitu juga dengan organisasi membandingkan apa yang telah mereka terima dari karyawan dengan apa yang sudah mereka berikan. Kondisi yang seimbang antara yang diberikan dengan apa yang diperoleh akan menimbulkan persepsi 20

yang sama tentang keadilan dalam organisasi baik dari sisi karyawan dan organisasi (Sekarwangi, 2014) Didalam keadilan organisasi, perlakuan adil dianggap menjadi hal penting terhadap sikap karyawan di tempat kerja termasuk komitmen karyawan dan kepuasan kerja (Colquitt, 2001). Colquitt (2001) menggunakan definisi Greenberg dalam menjelaskan mengenai keadilan organisasi yang kemudian membagi keadilan organisasi kedalam 4 dimensi yaitu ; a. keadilan distributif (persepsi alokasi input dan outcomes), b. keadilan prosedural (persepsi terhadap proses dan aturan pengambilan keputusan), c. keadilan interpersonal (sensitivitas dan penghargaan yang diberikan pada karyawan), d. keadilan informasi (persepsi tentang pemberian informasi pada karyawan). Di dalam sebuah organisasi, karyawan dipengaruhi oleh persepsinya mengenai perlakuan adil seperti mampu meningkatkan kemampuan pengendalian untuk peristiwa atau kejadian yang akan datang yang kemudian mengurangi rasa ketidakpastian pada saat bekerja kemudian mampu mengindikasikan pengabdian dengan standar moral dan etika organisasi pada bagian diri sendiri (Srivastava, 2015). Berdasarkan penjelasan berbagai definisi diatas maka penelitian ini akan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Colquitt (2001) yang mengatakan bahwa keadilan organisasi merupakan persepsi karyawan tentang keadilan dalam organisasi yang mencakup keadilan distribusi, keadilan prosedur, keadilan interpersonal dan keadilan informasi. 21

2. Dimensi Keadilan Organisasi Pada awalnya keadilan organisasi hanya memiliki dua dimensi saja yaitu keadilan prosedural dan keadilan distributif (Folger R dan Konovsky, 1989). Sama dengan Thibaut dan Walker (dalam Judge & Colquitt, 2004) yang juga mengusulkan dimensi kedua yaitu, keadilan prosedural. Banyak penelitian sebelumnya yang hanya berfokus pada dua dimensi ini. Kemudian dimensi ketiga diperkenalkan yaitu keadilan interaksional (Barling dan Phillips, 1993). Dan pada akhirnya Greenberg (1993) mengemukakan empat dimensi keadilan organisasi. Greenberg (1993) membagi keadilan interaksional menjadi dua bagian yaitu, keadilan interpersonal dan keadilan informasional, sehingga Greenberg (1993) menyatakan bahwa keadilan organisasi memiliki empat dimensi, yaitu keadilan distributif, prosedural, interpersonal dan informasional. Telah ditemukan beberapa penelitian sebelumnya yang hanya mengukur keadilan organisasi dengan satu atau dua dimensi saja (Niehoff, Moorman, 1993). Dan ditemukan juga penelitian yang mengukur keadilan organisasi dengan tiga dimensi keadilan organisasi, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional (Skarlicki, Folger, 1997). Karena munculnya ketidakjelasan mengenai dimensi keadilan organisasi, Colquitt (2001) melakukan sebuah penelitian mengenai dimensi dari keadilan organisasi. Dalam penelitiannya, Colquitt (2001) mengukur keadilan organisasi dengan keempat dimensi yang sesuai dengan dimensi yang dikemukakan Greenberg (1993). Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa keempat dimensi keadilan organisasi akan lebih valid ketika diukur secara keseluruhan dibandingkan jika diukur dengan terpisah per dimensinya. Sehingga Colquitt 22

(2001) melakukan sebuah penelitian dengan menggunakan empat dimensi ini yaitu: 1) Keadilan Distributif Dimensi ini merupakan bentuk keadilan paling tua dan dikonsepsikan berdasarkan teori equity dari Adams (1965). Didefinisikan sebagai persepsi keadilan tentang hasil yang didapatkan seperti bayaran, rewards dan recognition. Dimensi ini terkait dengan pengalokasian hasil pada karyawan berdasarkan teori equity yaitu individu akan membandingkan rasio hasil/masukan dengan orang lain, jika rasio jauh dibawah orang lain maka disebut dengan underpayment inequity sedangkan jika berlebihan dibanding dengan orang lain maka disebut dengan overpayment inequity dan ketika seseorang mengalami underpayment inequity ia akan cenderung mengalami emosi marah dan mengakibatkan stressor bagi dirinya. (Colquitt, 2001). Teori equity memandang keadilan distributif sebagai sebuah istilah dalam mempersepsikan rasio hasil dan masukan yang diterima oleh individu (Greenberg & Colquitt, 2005). Hasil adalah hal yang berkaitan dengan gaji, penghargaan, supervisi yang memuaskan, keuntungan dari senioritas, status pekerjaan dan berbagai insentif baik formal maupun informal. Sedangkan masukan (input) termasuk didalamnya pendidikan, pengalaman, pelatihan, keterampilan, senioritas, jenis kelamin, usia, latar belakang etnis, status sosial, serta segala upaya yang dikeluarkan individu dalam pekerjaannya. Dan keadilan distributif muncul ketika hasil tetap 23

konsisten dengan apa yang diberikan seperti ekuitas atau kesetaraan (Colquitt, 2001). Berikut ini akan dipaparkan beberapa indikator dari keadilan distributif (Colquitt, 2001): a. Keadilan (Equity): Menghargai karyawan berdasarkan kontribusinya. b. Persamaan (Equality): Menyediakan kompensasi yang sama bagi setiap karyawan. c. Kebutuhan (Need): Menyediakan keuntungan berdasarkan pada kebutuhan personal seseorang. 2) Keadilan Prosedural Dimensi adalah persepsi karyawan mengenai proses atau prosedur yang digunakan untuk mengambil keputusan yang mengarah pada hasil yang adil. Menurut Greenberg (1990) dimensi ini mengarah pada persepsi keadilan tentang prosedur yang digunakan di lingkungan kerja, melihat apakah prosedur untuk mengambil keputusan sudah reliabel, transparan, etis, bebas dari bias, akurat dan dapat diperbaiki. Dimensi ini didasarkan apakah seseorang diberi suara di dalam sebuah prosedur dan pengambilan keputusan untuk menentukan hasil. Terdapat 6 aturan keadilan prosedural yang mendefinisikan kriteria dimana prosedur pengalokasian dianggap adil (Colquitt, 2001; Cropanzano dkk, 2007) adalah: a. Konsistensi : Prosedur yang adil harus konsisten pada setiap karyawan. b. Minimalisasi bias : Kepentingan-kepentingan pribadi harus dicegah dalam proses pengalokasian. 24

c. Informasi yang akurat : Proses pengalokasian keadilan harus didasarkan pada informasi yang jelas. Informasi dan opini harus dikumpulkan dan diproses sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kesalahan dalam mengambil keputusan. d. Dapat diperbaiki : Kesempatan harus ada untuk memperbaiki proses alokasi. Prosedur yang adil mengandung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang mungkin akan muncul. e. Representatif : Prosedur dikatakan adil bila sejak awal ada upaya untuk melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Meskipun keterlibatan yang dimaksudkan dapat disesuaikan dengan sub-sub kelompok yang ada, secara prinsip harus ada penyertaan dari berbagai pihak sehingga akses untuk melakukan kontrol juga terbuka. f. Etis : Prosedur yang adil harus sesuai dengan moral dan nilai- nilai etika atau sebuah aturan yang disepakati bersama. Dengan kata lain, bila berbagai hal diatas terpenuhi namun tidak sesuai dengan etika, maka belum bisa dikatakan adil. 3) Keadilan Interpersonal Dimensi ini merupakan persepsi tentang kualitas perlakuan yang diterima karyawan ketika prosedur dan keputusan diimplementasikan di tempat kerja. Dimensi ini merupakan aspek sosial dari keadilan prosedural. Dalam konteks organisasi, dimensi ini berkaitan dengan proses komunikasi antara atasan dan bawahan. Juga didasarkan dengan perlakuan pihak otoritas 25

dengan bawahannya. Colquitt (2001) mengemukakan dua indikator bagi keadilan interpersonal, yaitu: a. Respect Pihak otoritas sebaiknya memperlakukan bawahan dengan tulus dan bermartabat dan menahan diri untuk tidak bertindak kasar dan menyerang bawahan. b. Propriety (kesopanan) Pihak otoritas sebaiknya menahan diri untuk tidak menyatakan pernyataan yang mengandung prasangka dan menghindari untuk bertanya mengenai pertanyaan yang tidak sesuai seperti, ras, etnis, agama, dan lain-lain. 4) Keadilan Informasional Dimensi ini mengarah pada kejujuran dan kejelasan informasi yang diberikan kepada karyawan. Informasi yang tidak benar dan salah akan mengarah pada persepsi ketidakadilan oleh karyawan. Informasi yang diberikan akan menunjukkan bahwa atasan memperhatikan bawahannya. Berikut merupakan indikator dari keadilan informasional (Colquitt, 2001; Greenberg & Colquitt, 2005): a. Truthfulness Pihak otoritas sebaiknya berkomunikasi secara terbuka, jujur, dan terus terang dalam mengimplementasikan prosedur pembuatan keputusan dan berusaha untuk menghindari munculnya kecurangan. 26

b. Justification Pihak otoritas sebaiknya memberikan penjelasan yang memadai dan jelas mengenai hasil dari pembuatan keputusan. C. Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Employee Engagement Employee engagement pertama kali dikemukakan oleh organisasi Gallup (Endres & Smoak, 2008). Mereka mendefinisikan employee engagement sebagai keterlibatan dan antusias karyawan dengan pekerjaannya. Mereka juga menyamakan employee engagement dengan kelekatan emosi karyawan dan komitmen karyawan yang positif. Lalu Perrin Global Workforce Study (dalam Markos, 2010) mengatakan employee engagement sebagai kemauan dan kemampuan karyawan untuk membantu perusahaan menjadi sukses, dengan memberi usaha secara berkelanjutan. Saks (2006) dalam jurnal Antecedents and consequences of employee engagement menyebutkan beberapa faktor yang bisa mempengaruhi munculnya perilaku engagement pada karyawan. Salah satu faktor yang disebut oleh Saks adalah keadilan distributif dan keadilan prosedural. Keadilan distributif dan keadilan prosedural merupakan dimensi dari keadilan organisasi. Banyak perdebatan dalam mengukur dimensi dari keadilan organisasi seperti Saks (2006) yang menyebutkan keadilan organisasi sebagai keadilan distributif dan prosedural. Lalu penelitian yang dilakukan oleh Colquitt (2001) yang mencoba untuk mengukur keadilan organisasi dengan empat dimensi 27

secara keseluruhan dan membandingkannya dengan pengukuran tiga dimensi, dua dimensi, dan satu dimensi dari keadilan organisasi. Ditemukan bahwa pengukuran dengan empat dimensi secara signifikan lebih baik dari pengukuran yang hanya menggunakan tiga dimensi, dua dimensi, dan satu dimensi. Lalu penggunaan pengukuran tiga dimensi lebih baik dari dua dimensi dan begitu seterusnya. Dari hasil penelitian Colquitt (2001), menurutnya keadilan organisasi lebih valid jika diukur secara satu kesatuan menggunakan empat dimensi. Bakker, Demerouti, dan Vergel (2014) mengatakan karyawan yang engaged memiliki perasaan yang berenergi dan memiliki koneksi yang efektif dengan pekerjaannya, serta mereka melihat pekerjaan sebagai tantangan yang harus dilewati. Maslach et al., (2001) juga mengatakan bahwa pengaruh dari persepsi keadilan pada karyawan yang engaged dapat menghasilkan peningkatan produktivitas dan loyalitas karyawan terhadap perusahaannya (Maslach et al., 2001). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alvi dan Abbasi (2012) pada 312 responden di sektor perbankan menemukan bahwa keadilan organisasi memiliki peran yang penting dalam meningkatkan employee engagement. Dengan kata lain, ketika karyawan merasa adanya keadilan dalam organisasinya dapat dipastikan karyawan akan merasa dirinya diwajibkan untuk berlaku adil dalam memainkan peran mereka sebagai karyawan yang dikategorikan dalam tingkat engagement yang tinggi dengan organisasinya. Sebaliknya, karyawan yang menganggap rendah keadilan didalam organisasinya akan sangat mudah untuk menarik diri dan melepaskan diri 28

mereka sendiri dari peran kerja mereka serta dapat meningkatkan kelelahan pada karyawan. Dan kelelahan tersebut berdampak pada penurunan tingkat engaged karyawan (Alvi dan Abbasi, 2012). Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Saks (2006) untuk menjelaskan employee engagement yaitu teori pertukaran sosial (SET). Dalam teori ini karyawan merasa perlu untuk membuat performa lebih dalam bekerja ketika hasil yang didapatkan sesuai dan karyawan yang melakukan hal yang tidak pantas merupakan respon terhadap perlakuan yang tidak adil dari apa yang diberikan organisasi/perusahaan. Berdasarkan uraian diatas kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Keadilan Organisasi Employee Engagement Gambar 1. Kerangka Penelitian D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh positif keadilan organisasi terhadap tingkat employee engagement. Yang berarti, semakin tinggi keadilan organisasi yang dirasakan karyawan maka semakin meningkat pula employee engagement. 29