BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Employee Engagement 2.1.1 Pengertian Employee Engagement Banyak penelitian yang menggunakan istilah engagement sebagai variabel mereka, tetapi belum ada definisi jelas mengenai engagement ini. Engagement diartikan secara umum sebagai rasa antusias, usaha, semangat, dedikasi, energi, dan lain sebagainya. Istilah employee engagement atau work engagement berganti-gantian digunakan saat menjelaskan mengenai engagement. Namun, employee engagement mengarah kepada hubungan antara karyawan dengan organisasinya, sedangkan work engagement mengarah kepada hubungan antara karyawan dengan pekerjaannya (Schaufeli, 2013). Istilah engagement pertama kali muncul dalam penelitian Kahn. Kahn (1990) mengatakan personal engagement adalah kondisi karyawan menggunakan dan menunjukkan dirinya secara fisik, emosi, dan kognitif pada peran mereka dalam organisasi. Kahn lebih lanjut menjelaskan engagement sebagai keterlibatan dan pengekspresian diri seorang karyawan terhadap tugas-tugas yang diberikan. Maslach dan Leiter (dalam Shuck dan Wollard, 2010) menjelaskan bahwa engagement dan burnout berada dalam satu garis kontinum. Engagement dikarakteristikkan dengan energi, keterlibatan, dan efficacy. Ketiga karakteristik ini merupakan kebalikan dari dimensi burnout. Hal ini berarti saat engagement seseorang tinggi maka tingkat burnoutnya rendah dan begitu pula sebaliknya. 11
Menurut Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2001), employee engagement adalah kondisi gigih dan emosi positif-afektif yang penuh dari karyawan yang dikarakteristikkan dengan tingginya tingkat kesenangan dan aktif karyawan dalam organisasi. Menurut Harter, Schmidt, dan Hayes (2002), employee engagement merujuk pada keterlibatan dan kepuasan karyawan pada pekerjaan mereka. Robinson (2004) mendefinsikan employee engagement sebagai sikap positif yang dimiliki karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilai organisasi tersebut. Saks (2006) mendefinisikan employee engagement sebagai konsep yang unik dan berbeda meliputi komponen seperti kognitif, emosional, dan perilaku yang berhubungan dengan kinerja individu tersebut. Konsep ini juga berfokus pada kinerja individu sehingga konsep Saks mirip dengan konsep yang diungkapkan oleh Kahn. Macey dan Scheider (2008) mengatakan employee engagement terdiri dari trait engagement, psychological engagement, dan behavioral engagement. Trait engagement didefinsikan sebagai kecenderungan untuk melihat dunia sebagai tempat yang memiliki banyak keuntungan. Psychological engagement merupakan antesenden dari behavioral engagemet, seperti kepuasan, keterlibatan, komitmen, dll). Behavioral engagement didefinisikan sebagai perilaku adaptif yang bisa meningkatkan efektivitas organisasi. Berdasarkan pemaparan teori-teori yang sudah dipaparkan diatas, penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2001) dimana employee engagement merupakan kondisi gigih dan emosi positif-afektif 12
yang penuh dari karyawan yang dikarakteristikkan dengan tingginya tingkat kesenangan dan aktif karyawan dalam organisasi yang dikarakteristikkan dengan vigor, dedication, dan absorption. 2.1.2 Dimensi Employee Engagement Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), ada tiga dimensi dari employee engagement, yaitu: a. Vigor Vigor dikarakteristikkan dengan tingkat energi dan resiliensi yang tinggi ketika bekerja. Vigor juga ditunjukkan dengan keinginan untuk memberikan usaha lebih pada pekerjaan mereka dan tetap gigih dalam menghadapi kesulitan. Individu yang memiliki level vigor yang tinggi akan menunjukkan semangat yang tinggi saat bekerja dan memiliki energi yang tinggi. Sedangkan, individu yang memiliki level vigor yang rendah akan tidak bersemangat saat bekerja. b. Dedication Dedication dikarakteristikkan dengan rasa antusias, bermakna, berharga, dan tantangan. Karyawan dengan skor dedication rendah tidak akan mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan mereka karena tidak memiliki pengalaman kerja yang bermakna, berharga, atau menantang. Sedangkan, karyawan dengan dedication yang tinggi dalam bekerja akan merasa antusias dan mengidentifikasikan diri mereka dengan pekerjaan tersebut karena mereka merasa pengalaman kerja mereka bermakna, berharga, atau menantang. 13
c. Absorption Absorption dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh saat bekerja sehingga tidak sadar bahwa waktu sudah berlalu. Karyawan dengan tingkat absorption yang tinggi akan suka saat perhatiannya terfokus pada pekerjaannya, sulit untuk lepas dari pekerjaannya, dan lupa waktu saat sedang bekerja. Sedangkan, karyawan dengan tingkat absorption yang rendah akan merasa tidak tertarik pada pekerjaannya, mudah untuk lepas dari pekerjaannya sehingga waktu sangat terasa lama jika dia sedang bekerja. 2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Employee Engagement Chandani dkk (2016) mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi employee engagement, seperti: a. Career Development (pengembangan karir) Perkembangan karir juga salah satu faktor yang mempengaruhi employee engagement. Praktik pengembangan karir membantu organisasi mempertahankan karyawan yang bertalenta dan menyediakan sarana untuk mengembangkan diri. Perusahaan yang menyediakan kesempatan untuk mengembangkan karir karyawannya akan membuat karyawan cenderung lebih engaged. Peningkatan employee engagement melalui pelatihan, keahlian, dan pembelajaran bisa membuat karyawan lebih engaged pada pekerjaan dan organisasinya. b. Effective Management of Talent (pengaturan talenta yang efektif) Strategi pengaturan talenta meliputi perencanaan karir, dukungan organisasi, dan reward akan menghasilkan engagement yang tinggi dan 14
mengurangi erosi pada organisasi. Employee engagement cenderung sangat dipengaruhi oleh manajemen yang efektif. c. Leadership (Kepemimpinan) Karyawan akan menunjukkan engagement yang lebih pada organisasi ketika mereka dinilai oleh atasan atau organisasi secara langsung atau karyawan yang mendapatkan perhatian melalui kepemimpinan atasannya. Ditemukan juga bahwa kepemimpinan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi employee engagement. Kualitas dari kepemimpinan yang berinteraksi antara atasan dan bawahan akan mempengaruhi tingkat engagement karyawan. d. Clarity of Company Values, Policies and Practises Karyawan sebaiknya merasa nilai-nilai perusahan jelas dan tidak ambigu sehingga bisa meningkatkan engagement pada karyawan. Nilai-nilai organisasi yang cocok dengan karyawan dilihat sebagai antesenden dari employee engagement. e. Respectful Treatment of Employees Organisasi yang sukses akan menghargai elemen-elemen didalamnya, termasuk karyawan. Sikap yang adil dan menghargai dari atasan terhadap karyawannya akan membuat karyawan merasa berharga dan dapat berkomunikasi dengan efektif satu sama lain. Perasaan karyawan yang merasa dihargai akan meningkatkan engagement mereka. f. Empowerment Karyawan merasa bahwa mereka seharusnya mampu untuk mengutarakan pendapat mereka secara bebas. Karyawan yang memiliki 15
engagement yang tinggi akan memunculkan lingkungan kerja yang penuh tantangan dan terpercaya sehingga mereka mampu untuk mengutarakan ide mereka tanpa takut serta membantu dalam melakukan inovasi pada perusahaan. Kondisi ini akan membuat karyawan merasa diberdayakan secara baik. Karyawan merasa diberdayakan ketika mereka merasa atasannya memiliki gaya empowering yang meningkatkan motivasi dan keterikatan pada perusahaan yang pada akhirnya akan membuat mereka lebih engaged lagi. g. Kepuasan Kepuasan adalah salah satu sarana bagi karyawan untuk meningkatkan engagement. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk mencocokkan antara tujuan organisasi dan tujuan dari karyawannya sehingga mereka bisa puas dengan hasil kerja mereka nanti. Karyawan yang sudah menetapkan tujuannya biasanya adalah karyawan dengan self-efficacy yang tinggi sehingga mereka akan lebih engaged pada perusahaan. h. Performance Appraisal Penilaian pada kinerja karyawan yang transparan dan jujur akan menunjukkan tingkat employee engagement yang lebih tinggi. Pengkomunikasian tentang kinerja mereka dengan tetap menghargai karyawan akan meningkatkan engagement karyawan tersebut. i. Fair Treatment Employee engagement cenderung lebih tinggi ketika atasan memberikan kesempatan untuk berkembang dan tumbuh dengan adil pada semua 16
karyawan. karyawan yang merasa mendapatkan keadilan dalam penilain kinerja mereka akan meningkatkan kesejahteraan dan employee engagementnya. Selain dari faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, hardiness juga mempengaruhi employee engagement. Britt dkk (2001) juga mengatakan bahwa hardiness akan membantu dalam menemukan kebermaknaan dalam situasi-situasi sulit, termasuk dalam situasi pekerjaan. Pemenuhan kebermerkanaan merupakan salah satu prediktor dalam meningkatkan employee engagement (Fairlie, 2011). 2.2 Hardiness 2.2.1 Pengertian Hardiness Hardiness merupakan suatu struktur karakteristik individu yang membedakan individu dalam menanggapi lingkungan yang penuh dengan stress (Sarafino, 2011). Menurut Cooper (2015) Hardiness adalah kemampuan menanggung penderitaan, atau jika dikaitkan dengan stress, hardiness adalah kemampuan bertahan dalam situasi stress tanpa merasa tertekan. Maddi (2013) mendefinisikan hardiness sebagai suatu pola sikap yang dipelajari dan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk mengubah lingkungan yang penuh stress menjadi kesempatan tidak hanya untuk bertahan dalam lingkungan stress tetapi juga meningkatkan performa atau potensi individu. Hardiness diartikan sebagai sikap dan keterampilan untuk bertahan dalam keadaan stress (Maddi, 2013). Hardiness mampu dipelajari dari lingkungannya (Maddi, 2013). Hardiness juga mepengaruhi kinerja dan perilaku dari individu (Maddi, 2013). Kobasa (Dalam Cooper, 2015) mendeskripsikan individu dengan hardiness yang tinggi 17
percaya bahwa mereka dapat mengontrol kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup mereka, memiliki komitmen dalam setiap kegiatan dan mengubah suatu kegiatan atau kejadian menjadi hal yang positif dan menantang, bukan sebagai hal yang negatif dan mengancam mereka. Sebaliknya, individu dengan hardiness yang rendah memiliki ketidakyakinan akan kemampuan dirinya dalam mengendalikan situasi dan tidak berdaya Berdasarkan pemaparan definisi diatas, penelitian ini akan mengacu pada teori yang dikemukan oleh Maddi (2013) yang menyatakan bahwa hardiness adalah kemampuan yang dimiliki dan dipelajari oleh individu untuk mengubah lingkungan yang penuh stress menjadi kesempatan tidak hanya untuk bertahan dalam lingkungan stress yang akan mempengaruhi kinerja dan perilakunya. 2.2.2 Dimensi Hardiness Menurut Maddi (2013) ada 3 dimensi dari hardiness yang dikonsepkan sebagai 3C. Dimensi-dimensi hardiness tersebut adalah: a. Challenge Challenge merupakan kemampuan individu untuk menerima bahwa kehidupan tidak lepas dari kejadian-kejadian yang menyebabkan stres. Kejadian yang menyebabkan stress dianggapanya sebagai tantangan dalam hidup. Individu melihat perubahan peristiwa dalam hidup yang menyebabkan stres sebagai kesempatan untuk menjadi lebih baik dan mengembangkan diri dengan belajar melalui lingkungan stress yang dihadapi. b. Control Control merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk 18
tetap berusaha memperbaiki lingkungan yang penuh stres menjadi kesempatan untuk belajar dan bertumbuh, walaupun dalam keadaan sangat buruk. Individu yang memiliki control percaya bahwa ia dapat mengontrol setiap kejadian atau pekerjaan yang dimiliki sehingga ia tidak merasa tertekan dan stress. c. Commitment Commitment adalah kecenderungan individu untuk meyakini bahwa dalam keadaan buruk sekalipun, individu akan tetap bertahan dalam situasi tersebut. 2.3 DINAMIKA PENGARUH HARDINESS TERHADAP EMPLOYEE ENGAGEMENT Employee engagement menjadi istilah yang populer di kalangan HRD, konsultan, praktisi, dan para pebisnis. Employee engagement semakin menarik bagi organisasi sama seperti para praktisi dan ahli tertarik dengan istilah ini (Shuck&Wollard, 2010). Employee engagement juga merupakan salah satu aspek penting dalam kesuksesan pegawai dan organisasi (Sundaray, 2011). Employee engagement adalah kondisi gigih dan emosi positif-afektif yang penuh dari karyawan yang dikarakteristikkan dengan tingginya tingkat kesenangan dan aktifnya karyawan dalam organisasi (Maslach, Schaufeli, dan Leiter, 2001). Employee Engagement sendiri memiliki beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti career development, effective management of talent, leadership, empowerment, personality, dan lain-lain (Chandani dkk, 19
2016). Adapun hal lain yang bisa mempengaruhi employee engagement adalah hardiness. Konsep hardiness berkembang dari literatur yang membahas stres dan coping terhadap stres tersebut (Kobasa, dalam Sansone dkk, 1999). Hardiness adalah satu bentuk sikap dan keterampilan untuk bertahan dalam keadaan stress. Hardiness sendiri memiliki dampak terhadap kinerja dan perilaku individu. Hardiness ditunjukkan dengan tiga karakteristik, yaitu challenge, control, dan commitment (Maddi, 2013). Individu dengan hardiness yang tinggi juga mengalami jumlah pengalaman yang penuh tekanan yang sama dengan individu dengan hardiness yang rendah, tetapi mereka mengintepretasikan kejadian tersebut sebagai kejadian yang tidak mengancam dan masih mampu untuk ditangani (Sansone dkk, 1999). Individu yang mencari pekerjaan dengan hanya melihat gaji yang besar tanpa ada tekanan dan menginginkan sedikit perubahan dalam pekerjaannya adalah orang dengan hardiness yang rendah. Walaupun jika mereka mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu banyak tekanan dan gaji yang bagus, rasa bosan dan kosong terhadap pekerjaan akan muncul dan tumbuh. Sebaliknya, individu dengan hardiness yang tinggi akan mencari pekerjaan yang memacu mereka untuk tumbuh dan berkembang. Pekerjaan mereka akan memaksa mereka untuk terus mempelajari hal-hal baru. Sehingga proses ini akan membuat individu tersebut lebih engaged pada pekerjaan dan perusahaannya (Maddi, 2013). 20
Lalu, karyawan akan cenderung engaged apabila mereka memiliki hardiness yaitu terbuka kepada perubahan dan mampu bertahan pada keadaan yang penuh tekanan (Wildermuth dan Pauken, dalam Heikkwei, 2010). Berdasarkan pemaparan diatas kerangka berpikir dalam penelitin ini dapat ditunjukkan sebagai berikut: Hardiness Employee Engagement Gambar 1. Kerangka Berpikir 2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian diatas, peneliti mengajukan hipotesis ada pengaruh positif antara hardiness dengan employee engagement. Hal ini berarti peningkatan skor hardiness seorang karyawan akan berkonstribusi pada peningkatan skor employee engagement karyawan tersebut. Sebaliknya, apabila penurunan skor hardiness seorang karyawan akan berkonstribusi pula pada penurunan skor employee engagement pegawai tersebut. 21