HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

MATERI DAN METODE. Prosedur

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

Parameter yang Diamati:

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

MATERI DAN METODE. Materi

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai

Oleh : Lincah Andadari

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Ayam Broiler Awal Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

MATERI DAN METODE. Materi

Tingkat Kelangsungan Hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

III. BAHAN DAN METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014, bertempat di Laboratorium

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

I PENDAHULUAN. dari generasi ke generasi di Indonesia sebagai unggas lokal hasil persilangan itik

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi pengolahan kokon sendiri dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kokon disimpan dalam box plastik untuk melindungi kokon dari pengaruh udara, parasit, dan mikroorganisme secara langsung selama penelitian. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C Konstruksi bangunan di atas sebagian besar merupakan kisi-kisi dari kawat dengan bagian bawah dinding terbuat dari tembok yang memungkinkan sirkulasi udara berjalan dengan sangat lancar. Rata-rata suhu dan kelembaban selama penelitian dari bulan November 2010 sampai Januari 2011 berturut-turut adalah 25,9 o C dan 85%, 25,5 o C dan 83%, dan 25,4 o C dengan kelembaban 83%. Kisaran suhu selama penelitian ini yaitu 22,8 o C (Januari 2011) hingga 31,6 o C (November 2010), sedangkan kisaran kelembaban relatif sebesar 71% (Desember 2010) hingga 95% (November 2010). Kisaran suhu ini melewati batas nyaman larva A. atlas seperti dinyatakan oleh Awan (2007) yang menyatakan bahwa suhu nyaman ulat berada pada kisaran 20-30 ºC. Namun apabila suhu lebih tinggi dari 30 ºC atau kurang dari 20 ºC dapat menyebabkan mortalitas yang tinggi karena terganggunya proses fisiologis dan pertumbuhan ulat sutera. Sebagaimana halnya dengan suhu, kisaran kelembaban juga

berada di luar batas nyaman untuk larva A. atlas sesuai dengan pendapat Veda et al. (1997) yang menyatakan bahwa kelembaban yang baik untuk larva instar I dan II berkisar 80%-95% sedangkan untuk larva instar III, IV dan V adalah 70%. Kisaran suhu dan kelembaban di luar batas nyaman selama penelitian ini terbukti menyebabkan mortalitas larva yang tinggi selama masa persiapan penelitian. Larva yang dapat bertahan hidup sampai membentuk kokon hanya mencapai 31 ekor dari ratusan larva instar I yang dipelihara. Kelembaban udara juga mempengaruhi karakteristik filamen sutera, Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa kelembaban yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mengakibatkan filamen sutera terputus-putus. Performa Filamen Sampel penelitian berupa 12 gulung filamen dari kokon A. atlas dengan usia berbeda ditunjukkan pada Gambar 6. (A) (B) (C) (D) Gambar 6. Filamen dari Kokon dengan Empat Usia yang Berbeda. (A) 30 Hari, (B) 45 Hari, (C) 60 Hari, dan (D) 75 Hari

Gambar 6 menunjukkan warna dari gulungan filamen yang bervariasi dari cokelat terang sampai cokelat kehitaman yang berkilau keemasan. Warna filamen menurut Saleh (2000) merupakan pigmen alami yang diproduksi oleh larva A. atlas pada saat pengokonan. Variasi warna yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kandungan nutrien pakan, kondisi fisiologis, dan genetik dari masing-masing larva (Awan, 2007). Selain itu, belum didomestikasinya ulat sutera ini turut mempengaruhi tidak seragamnya warna filamen. Tidak ditemukan kecenderungan peningkatan atau penurunan tonase warna filamen yang beraturan seiring bertambahnya usia kokon seperti tampak pada Gambar 6. Akan tetapi, intensitas warna filamen pada usia kokon 75 hari tampak lebih pudar dibandingkan dengan warna filamen pada usia kokon lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh warna awal kokon yang memang lebih pudar dan pertambahan usia kokon. Sebagai perbandingan, dalam Gambar 7 ditampilkan gambar kokon berusia satu minggu dan kokon yang berusia 75 hari. (A) (A) (B) Gambar 7. Kokon mentah sebelum didegumisasi: (A) Kokon segar usia satu minggu, (B) Kokon usia 75 hari. Kokon yang usianya lebih tinggi tampak lebih kering, permukaan floss sangat berkerut dan berwarna pucat dibandingkan dengan kokon yang usianya lebih muda. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya kandungan air selama pertambahan usia kokon yang boleh jadi mempengaruhi pigmentasi kokon dan filamen. Kontak udara yang lebih lama sedikit demi sedikit dapat menguapkan kandungan air kokon, apalagi didukung data suhu selama penelitian yang menunjukkan seiring pertambahan usia kokon, kelembaban udara semakin kering yang diduga turut berkaitan dengan berkurangnya kandungan air kokon. Perlu dilakukan uji lanjutan

untuk mengetahui apakah warna yang lebih terang ini benar-benar dipengaruhi usia kokon yang lebih lama tersebut. Permukaan filamen yang telah digulung sangat halus saat disentuh (hand feel). Hasil ini sesuai pernyataan Kato (2000) bahwa setelah melalui proses degumisasi menggunakan larutan Na 2 CO 3 3g/l dan ekstraksi menggunakan etanol pada waktu dan suhu yang ditetapkan, permukaan filamen A. atlas sangat halus karena hampir seluruh serisin dan zat lainnya telah hilang dari filamen. Serisin yang merupakan gum (perekat) antar filamen dalam kokon dan zat lainnya jika tertinggal pada filamen akan meninggalkan tekstur yang tidak halus setelah degumisasi. Bobot Kulit Kokon Kulit kokon merupakan bagian kokon yang telah dipisahkan dari floss dan pupa. Kulit kokon inilah yang diolah dan diurai menjadi filamen sutera. Penimbangan kulit kokon dilakukan untuk mengetahui bobot kokon yang telah terbentuk sempurna dan dapat diurai sebelum dimasak dan digulung. Bobot kulit kokon dapat digunakan untuk menentukan kualitas kokon yang dihasilkan, karena menurut Lee (1999) berat kokon merupakan karakter kokon yang paling penting secara komersial. Hal ini dikarenakan penjualan kokon didasarkan pada beratnya, semakin berat bobot kokon yang dihasilkan maka semakin bagus kualitas kokon. Kokon yang bobotnya tinggi cenderung menghasilkan filamen atau benang sutera yang lebih panjang dan tebal. Rata-rata bobot kulit kokon yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 0,80±0,19 g/kokon. Hasil ini lebih besar dibandingkan dengan bobot kulit kokon pada penelitian Baskoro (2004) yakni sebesar 0,5±0,2 g/kokon, penelitian Setiorini (2009) sebesar 0,62±0,35 g/kokon, dan penelitian Erliyani (2011) sebesar 0,46±0,08 g/kokon. Hasil penelitian tersebut menggunakan kokon yang dihasilkan oleh larva dengan pakan daun teh dan diperoleh dari alam, sedangkan dalam penelitian ini larva yang dipelihara merupakan keturunan dari larva yang diperoleh di alam, dengan pakan daun sirsak. Larva dipelihara di kandang pada tiga instar pertama, dan tiga instar berikutnya dipelihara di pohon sirsak. Bobot kulit kokon generasi F3 hasil domestikasi Awan (2007) dengan pakan daun sirsak dan teh memiliki rataan sebesar 1,66±0,4 g/kokon. Berdasarkan uraian di atas, faktor yang juga dapat mempengaruhi bobot kulit kokon diantaranya adalah kualitas dan jenis pakan, kondisi mikroklimat

lingkungan, domestikasi, ukuran larva, dan kesehatan larva semasa proses pengokonan berlangsung. Hasil pengamatan terhadap bobot kulit kokon pada usia kokon yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Bobot Kulit Kokon A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon Bobot kulit kokon (hari) ± SB (g) Kisaran (g) KK (%) 30 0,98 ± 0,24 0,70-1,13 24,96 45 0,71 ± 0,10 0,59-0,79 14,90 60 0,87 ± 0,14 0,71-0,97 16,09 75 0,64 ± 0,11 0,51-0,71 17,30 Keseluruhan 0,80 ± 0,19 0,51-0,97 24,60 Tabel 3 memperlihatkan nilai rataan dan keragaman tertinggi terdapat pada kokon usia 30 hari (24,96%) dan keragaman paling kecil pada kokon dengan kokon dengan usia 45 hari (14,90%). Keragaman ini dapat disebabkan oleh perbedaan yang tinggi antar bobot kulit kokon individu pada usia 30 hari dan sebaliknya pada usia 45 hari. Selain itu, diduga terdapat kontribusi yang cukup besar dari kandungan air dan jumlah serisin dalam kokon yang usianya lebih singkat (30 hari) terhadap nilai keragaman ini. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas pupasi yang tidak serentak di dalam kokon, mengingat dalam penelitian, pupa dibiarkan tetap hidup sampai bermetamorfosis menjadi imago (ngengat) selama tidak melewati batas usia kokon yang ditetapkan dalam pengamatan. Pupa dalam kokon mengalami aktivitas respirasi, dikarenakan selama masa pupasi, terjadi organogenesis dari larva menjadi pupa dan dari pupa menjadi imago (ngengat) yang secara otomatis menggunakan banyak energi yang sebagian dilepaskan berupa uap air. Panas tubuh yang dikeluarkan dari pupa juga dapat menghasilkan uap air. Uap air ini dapat mempengaruhi bobot kulit kokon dikarenakan sifat higroskopis kokon terlebih pada usia kokon yang lebih singkat (30 hari) karena pada beberapa kokon masih terdapat pupa yang belum bermetamorfosis ke fase imago. Sekalipun merupakan masa dormansi, jika pupa dalam kokon dikeluarkan, pupa yang hidup memberikan respon pergerakan pada bagian abdominal ketika diberikan stimulus berupa sentuhan. Kerapkali terdengar pergerakan pupa di dalam kokon selama pengamatan terhadap kokon berlangsung.

Selain aktivitas pupasi, sifat kokon yang higroskopis (menyerap kelembaban udara sekitar) juga dapat menyebabkan keragaman pada bobot kulit kokon, apalagi pada kokon dengan usia 30 hari pada bulan November 2010, dengan kelembaban udara mencapai nilai tertinggi. Kandungan air dalam kokon dapat berasal dari zat penyusun filamen yang dikeluarkan oleh kelenjar sutera, kandungan air dalam udara di sekitar kokon yang diserap oleh filamen karena kokon memiliki sifat higroskopis (menyerap kelembaban) dan aktivitas respirasi pupa yang terdapat di dalam kokon. Kontak udara yang lebih lama pada kokon yang berusia lebih dari 30 hari tampaknya sedikit demi sedikit menurunkan kandungan air kokon sehingga bobot antar kokon bertambah stabil sehingga keragamannya lebih rendah. Selain itu, permukaan kokon yang berusia lebih lama memiliki penampakan warna yang lebih pudar dan tampak lebih kering jika dibandingkan dengan kokon yang lebih singkat usianya. Rata-rata bobot kulit kokon pada usia 60 hari nilainya cukup tinggi (0,87 g) dengan tingkat keragaman relatif lebih rendah, hal ini juga disebabkan hampir semua kokon pada masa penyimpanan tersebut berukuran besar dan kulitnya tebal. Kondisi mikroklimat lingkungan seperti kelembaban yang rendah (udara terlalu kering) dapat juga membuat filamen lebih kering dan terputus-putus (Atmosoedarjo et al., 2000) sehingga dapat dikatakan filamen yang kering dapat mempengaruhi bobot kulit kokon. Kelembaban udara selama penelitian berlangsung menunjukkan bahwa kelembaban udara terendah terjadi sepanjang bulan Desember 2010 yang bertepatan dengan pertambahan usia kokon 45 hari dan 60 hari. Hal ini dapat juga menjelaskan rendahnya keragaman bobot kulit kokon pada usia tersebut. Akan tetapi, keragaman terendah pada usia kokon 45 hari dinilai paling baik dikarenakan kokon sudah cukup stabil kandungan airnya baik dari dalam filamen maupun aktivitas respirasi pupa (sebagian besar pupa keluar menjadi imago atau ngengat pada usia 28-40 hari). Meskipun demikian, usia kokon yang lebih tua jika diimbangi dengan kondisi tempat peletakan atau penyimpanan kokon yang baik, minim kontak dengan udara langsung dan pengaruh lainnya, bobot kulit kokon dapat terjaga kestabilannya. Panjang Filamen Panjang filamen menunjukkan banyaknya filamen yang dapat diurai dari sebuah kulit kokon setelah didegumisasi dan diekstraksi. Panjang filamen yang

dihasilkan berhubungan dengan tingkat kemudahan penguraian filamen dari kokon. Tingkat kemudahan penguraian filamen yang tinggi menghasilkan filamen yang lebih panjang. Asumsi dugaan awal ialah seiring pertambahan usia kokon terjadi penurunan tingkat kemudahan penguraian filamen sehingga panjang filamen yang dihasilkan semakin rendah sesuai dengan bobot kulit kokonnya. Panjang filamen yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki rataan sebesar 798,47±189,99 m/kokon dengan panjang filamen minimum sebesar 398,15 m/kokon dan panjang filamen maksimum sebesar 989,07 m/kokon. Hasil ini jauh lebih pendek dibandingkan panjang filamen sutera A. atlas yang diperoleh dengan alat pintal modern yang dinyatakan oleh Saleh (2000) dapat mencapai 2500 meter, sedangkan panjang filamen sutera B. mori memiliki panjang filamen antara 1500-2000 meter. Panjang filamen dalam penelitian ini (798,47±189,99 m/kokon) berkali lipat lebih tinggi dari hasil penelitian Awan (2007) 83,61 m/kokon, Erliyani (2011) 159,08 m/kokon, dan Aini (2009) 293-413,8 m/kokon. Perbedaan panjang filamen yang sangat besar diantara beberapa hasil penelitian tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis dan kualitas pakan, kondisi pemeliharaan larva, ukuran dan bobot kokon, metode penggulungan filamen, dan perlakuan penelitian termasuk metode dan bahan degumisasi kokon yang mempengaruhi tingkat kemudahan penguraian filamen. Cara dan bahan degumisasi kokon yang berbeda dapat menghasilkan tingkat degumisasi serisin pada kokon A. atlas yang berbeda pula. Serisin pada sutera liar sebagian besar terikat dengan tanin, zat warna, lilin, dan lain-lain (Kato et al., 1997), sehingga diperlukan metode yang tepat untuk melepaskan serisin yang menyatukan filamen satu sama lain dengan menyeluruh sehingga lebih banyak filamen yang dapat diurai. Degumisasi filamen sutera dalam penelitian ini menggunakan metode Kato (2000) dinilai menghasilkan filamen yang lebih baik tingkat degumisasinya jika dibandingkan dengan filamen yang didegumisasi dengan sabun dan NaOH seperti dalam Erliyani (2011) baik dari tingkat kehalusan (tekstur), hand feel dan kilau warna filamen. Panjang filamen sutera A. atlas pada usia kokon yang berbeda ditampilkan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Panjang Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon Panjang Filamen (hari) ± SB (g) Kisaran (g) KK (%) 30 776,22 ± 247,85 496,35-967,98 31,93 45 854,83 ± 115,83 729,50-957,94 13,55 60 921,79 ± 109,45 795,50-989,07 11,87 75 641,03 ± 214,94 398,15-806,71 33,53 Keseluruhan 798,47 ± 189,99 398,15-989,07 23,79 Berdasarkan Tabel 4, koefisien keragaman panjang filamen terendah terdapat pada kokon dengan usia 60 hari (11,87 %) dan tertinggi pada kokon dengan usia 75 hari (33,53 %). Keragaman pada panjang filamen dapat disebabkan oleh keragaman pada individu dan kemudahan penguraian kokon menjadi filamen. Tentu saja belum dilakukannya proses domestikasi yang ketat juga berperan besar dalam tingginya keragaman tersebut. Apabila ditinjau secara khusus pada kemudahan penguraian filamen berdasarkan usia kokon yang berbeda-beda, maka berdasarkan nilai koefisien keragamannya kokon yang berusia 60 hari (11,87%) dan 45 hari (13,55%) menunjukkan performa terbaik dalam kaitannya dengan variabel panjang filamen. Penguraian filamen yang lebih mudah sampai lapisan paling dalam menghasilkan panjang filamen yang lebih besar dan sebaliknya. Jika diulas terkait dengan bobot kulit kokon, sepintas tampak panjang filamen ini tidak memperlihatkan hubungan yang berbanding lurus dengan bobot kulit kokon khususnya terlihat pada bobot kulit kokon usia 30 hari pada Tabel 3 dan panjang filamen dari kokon usia 30 hari pada Tabel 4. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan air yang berbeda-beda dan masih fluktuatif antar kokon karena berbagai faktor sebagaimana telah diulas dalam peubah sebelumnya yang dapat mempengaruhi bobot kulit kokon. Hal inilah yang mendasari pentingnya pengeringan kokon sebelum dikomersilkan agar diperoleh bobot kokon yang seragam kandungan airnya sehingga penjelasan keragaman dapat dinyatakan lebih terkendali. Pengeringan kokon tidak dilakukan dalam penelitian ini untuk menjaga kelangsungan siklus reproduksi A. atlas. Dapat dikatakan bahwa semakin bertambah usia kokon (di atas 30 hari), kestabilan faktor-faktor di luar kendali seperti kandungan air kokon yang dapat

dipengaruhi oleh aktivitas respirasi pupa lebih stabil sehingga pengukuran beberapa variabel menunjukkan hubungan yang lebih konsisten. Selain itu, kontak udara yang lebih lama seiring pertambahan usia kokon tampaknya turut berperan dalam penurunan kandungan air kokon. Terbukti nilai panjang filamen usia kokon lainnya (45, 60, dan 75 hari) merepresentasikan panjang filamen yang berbanding lurus dengan nilai bobot kulit kokon masing-masing secara konsisten. Bobot Filamen Bobot filamen diperoleh dari penimbangan filamen yang telah digulung. Bobot filamen berhubungan dengan panjang filamen, menurut Atmosoedarjo et al., (2000) semakin panjang filamen, semakin besar bobot filamen sebagaimana halnya semakin besar bobot kulit kokon semakin besar pula bobot filamen. Dengan demikian, secara tidak langsung bobot filamen juga berkaitan dengan tingkat kemudahan penguraian filamen. Bobot filamen dalam penelitian ini memiliki rataan sebesar 0,4±0,14 g dengan nilai minimum 0,18 g dan nilai maksimum 0,69 g. Ratarata bobot filamen ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Erliyani (2011) dengan bobot filamen 0,06 g dan Aini (2009) dengan bobot filamen 0,2486-0,3724 g. Merujuk pustaka Atmosoedarjo et al. (2000), bobot filamen ideal yang telah distandarisasi pada B. mori adalah 30-45 centigram (0,30-0,45 g). Hal ini mengindikasikan bobot filamen A. atlas dalam penelitian ini cukup besar dan memiliki potensi tinggi untuk ditingkatkan misalnya melalui seleksi dan domestikasi. Rata-rata bobot filamen pada usia kokon yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Bobot Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon Bobot Filamen (hari) ± SB (g) Kisaran (g) KK (%) 30 0,43 ± 0,19 0,21-0,54 43,99 45 0,38 ± 0,08 0,30-0,47 22,48 60 0,51 ± 0,16 0,40-0,69 30,20 75 0,30 ± 0,10 0,18 0,38 35,28 Keseluruhan 0,40 ± 0,14 0,18-0,69 35,48 Tabel 5 menunjukkan koefisien keragaman bobot filamen tertinggi terdapat pada kokon dengan usia 30 hari (43,99%), sedangkan terendah pada kokon dengan

usia 45 hari (22,48 %). Keragaman bobot filamen dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah fibroin dan serisin pada kokon selain bobot kulit kokon awal. Perbedaan jumlah serisin dan zat lainnya yang dipisahkan dari fibroin masing-masing kokon saat degumisasi berperan besar karena filamen tersusun dari komponen utama berupa fibroin. Semakin banyak kandungan serisin dan zat lain yang terpisah dari fibroin, semakin besar selisih antara bobot kulit kokon dan bobot filamen. Bobot filamen idealnya berbanding lurus dengan bobot kulit kokon dan panjang filamen. Akan tetapi dalam penelitian ini, bobot filamen yang tinggi tidak selalu menunjukkan panjang filamen yang lebih tinggi pula. Sebagaimana halnya dengan bobot kokon, bobot filamen juga berkaitan dengan ketebalan filamen yang dihasilkan. Hal yang juga dapat menyebabkan perbedaan ini adalah perbedaan kandungan air dan jumlah serisin dan zat lainnya yang dipisahkan dari fibroin masing-masing kokon saat degumisasi, karena filamen tersusun dari komponen utama berupa fibroin. Semakin banyak kandungan serisin dan zat lain yang terpisah dari fibroin, semakin besar selisih antara bobot kulit kokon dan bobot filamen. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa semakin besar bobot kokon, semakin besar pula panjang dan bobot filamen. Hal itu berlaku untuk kokon B. mori yang telah didomestikasi sehingga memiliki keseragaman ukuran filamen yang tinggi dan sudah memiliki standarisasi. Kokon A. atlas termasuk ke dalam jenis sutera liar yang belum didomestikasi sehingga memiliki keragaman yang tinggi dalam banyak hal termasuk ketebalan filamen sesuai pernyataan Kato et al. (1997). Persentase Filamen Persentase filamen menunjukkan perbandingan jumlah filamen yang dihasilkan dari sebuah kulit kokon. Selisih antara bobot filamen dengan bobot kulit kokon merupakan kandungan air kokon, serisin, mineral, dan zat-zat organik lainnya yang terdapat pada kokon dan terpisah dari fibroin pada proses degumisasi. Usia kokon diduga berpengaruh terhadap bobot kulit kokon dan bobot filamen yang merupakan variabel penentu persentase filamen. Nilai persentase filamen sangat bermanfaat dalam dunia tekstil dikarenakan dengan nilai tersebut dapat diketahui kelayakan kokon untuk dijadikan sumber benang. Semakin tinggi persentase filamen, jumlah atau panjang benang yang dapat dihasilkan dari sebuah kokon semakin besar. Nilai persentase filamen juga menggambarkan perbandingan yang lebih akurat dari

hasil penelitian ini terkait karakteristik filamen sesuai perbedaan usia kokon. Persentase filamen A. atlas pada usia kokon yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon Persentase Filamen (hari) ± SB (g) Kisaran (g) KK (%) 30 41,70 ± 10,15 30,00-48,21 24,35 45 53,45 ± 8,23 46,84-62,67 15,40 60 58,97 ± 14,08 46,39-74,19 23,89 75 46,08 ± 10,01 35,29-55,07 21,72 Keseluruhan 50,05 ± 11,56 30,00-74,19 23,09 Rata-rata persentase filamen adalah 50,05±11,56 %, dengan koefisien keragaman persentase filamen tertinggi pada kokon dengan masa penyimpanan 30 hari (24,35%) dan terendah pada kokon dengan masa penyimpanan 45 hari (15,40 %) dalam Tabel 5. Secara keseluruhan, persentase filamen dalam penelitian ini lebih besar dari persentase filamen hasil penelitian Erliyani (2011) yakni 13,38 %. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) bobot filamen kokon B. mori beratnya berkisar antara 30-45 centigram dan memiliki persentase 80-90 % dari berat kulit kokon. Persentase filamen A. atlas dalam penelitian ini tidak mencapai angka 80%, tetapi nilainya berkisar antara 30-74,19 %. Nilai ini sangat bagus mengingat karakter kokon A. atlas yang termasuk sutera liar yang belum didomestikasi secara ketat dan masih memiliki keragaman tinggi. Untuk itulah, proses domestikasi berkelanjutan dan secara ketat perlu dilangsungkan untuk mendapatkan filamen A. atlas berkualitas tinggi dan seragam. Apabila dalam kondisi liar A. atlas mampu menghasilkan filamen dengan persentase yang tinggi, peningkatan persentase filamen melalui proses domestikasi memiliki peluang besar. Nilai persentase filamen sangat bergantung pada bobot kokon dan bobot filamen. Persentase filamen berbanding lurus dengan bobot filamen dan berbanding terbalik dengan bobot kulit kokon. Persentase filamen yang tinggi lebih menguntungkan daripada persentase filamen yang rendah. Tingginya persentase filamen juga menandakan jumlah serisin dan jumlah filamen yang tidak dapat diurai pada kokon tidak terlalu banyak.

Tebal Filamen Ketebalan filamen menunjukkan ukuran filamen sutera. Ketebalan filamen dapat dinyatakan dalam satuan mikrometer (µm) yang diperoleh dengan pengamatan dibawah mikroskop dan dalam satuan denier (d) yang diperoleh dengan perhitungan baku. Penelitian ini menggunakan cara penghitungan manual seperti dinyatakan oleh Atmosoedarjo et al. (2000) yaitu apabila panjang serat 9000 meter dengan berat 1 gram, maka kehalusan filamen adalah satu denier. Rata-rata tebal filamen dalam penelitian ini adalah 4,49±0,84 d. Filamen yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih tebal dibandingkan hasil penelitian Erliyani (2011) yaitu 3,60 d. Kato et al. (1997) menyebutkan bahwa filamen B. mori berukuran sekitar 3 denier yang setara dengan ketebalan sekitar 20-30 mikron. Jika dibandingkan, tebal filamen A. atlas lebih tinggi daripada ketebalan filamen B. mori. Kondisi ini diperkuat oleh pernyataan Kato et al. (1997) bahwa filamen sutera liar termasuk filamen dari kokon A. atlas memiliki keragaman ukuran dan diameter yang tinggi. Tabel 6. Tebal Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon Tebal Filamen (hari) ± SB (g) Kisaran (g) KK (%) 30 4,79 ± 0,91 3,81-5,62 19,08 45 4,02 ± 0,82 3,08-4,56 20,32 60 4,98 ± 1,19 4,09-6,33 23,87 75 4,19 ± 0,10 4,07-4,26 2,49 Keseluruhan 4,49 ± 0,84 3,08-6,33 18,70 Tabel 6 menunjukkan ketebalan filamen dari kokon yang berusia 60 hari memiliki koefisien keragaman tertinggi (23,87 %) dan terendah pada filamen dari kokon dengan usia 75 hari (2,49%). Keragaman pada tebal filamen tidak hanya disebabkan oleh proses seleksi untuk domestikasi yang belum dilakukan secara ketat, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak hal. Mengutip pernyataan Atmosoedarjo et al. (2000) kehalusan filamen sutera dipengaruhi beberapa faktor: (1) suhu dan kelembaban: filamen mempunyai tendensi ukuran denier yang tinggi (lebih besar seratnya) apabila ulatnya dipelihara semasa instar I dan II, dengan suhu dan

kelembaban udara yang tinggi. Selain itu, suhu yang tinggi pada waktu pengokonan ulat yang belum dewasa, membuat denier filamennya rendah; (2) musim pemeliharaan: pemeliharaan ulat sutera pada musim semi di Jepang menghasilkan denier filamen lebih besar daripada pada pemeliharaan musim gugur; (3) pakan dan kepadatan populasi: pemberian pakan dengan daun yang lunak dan pemeliharaan yang jarang, akan menghasilkan filamen yang lebih besar dibandingkan dengan pada pemeliharaan yang lebih padat; (4) ukuran larva: ulat yang bertubuh besar cenderung menghasilkan pola denier yang lebih besar pula. Ketebalan filamen memiliki keragaman terendah di antara semua peubah, sejalan dengan rataan nilainya pada tiap-tiap masa penyimpanan yang hanya berkisar pada 4 d. Selain secara genetik, keragaman pada ketebalan filamen juga dapat dipengaruhi oleh jenis pakan, gangguan selama siklus hidup larva khususnya semasa pengokonan, fluktuasi arus dan kelembaban udara, dan jenis kelamin larva. Larva betina harus memiliki ketersediaan nutrien yang sangat besar untuk memproduksi filamen sutera dan telur pada fase imago yang berjumlah ratusan butir, sehingga diduga kuat deposisi nutrien larva betina untuk produksi sutera mendapatkan proporsi yang tidak lebih besar dari larva jantan yang siklus hidupnya lebih pendek dari betina (2-5 hari). Selain itu, rata-rata ukuran tubuh imago betina lebih besar daripada imago jantan. Apabila hal ini terjadi, diduga ketebalan filamen sutera dari larva betina tidak lebih tebal daripada sutera yang dihasilkan larva jantan. Ukuran ketebalan filamen sendiri menurut Atmosoedarjo et al. (2000) dipengaruhi oleh pakan, kepadatan populasi, jenis dan ukuran larva, dan suhu serta kelembaban lingkungan selama pengokonan. Ketebalan filamen berkontribusi dalam bobot filamen dan selanjutnya terhadap persentase filamen. Hasil ketebalan filamen yang berbeda-beda ini turut menjelaskan kaitan antara panjang filamen dan bobot filamen. Bobot filamen yang tinggi dapat dihasilkan dari filamen yang panjang dan filamen yang tebal. Jika bobot filamen tinggi tetapi panjang filamennya rendah, maka tingginya bobot filamen tersebut terdeposisi lebih besar pada filamen yang lebih tebal. Sebaliknya panjang filamen yang tinggi tetapi bobot filamennya lebih rendah, menandakan filamen lebih halus. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mulyani (2008) bahwa bobot filamen yang tinggi terkadang tidak berbanding lurus dengan panjang filamennya, karena panjang

filamen berkaitan juga dengan kehalusan dari filamen tersebut. Jika suatu filamen dengan bobot yang rendah menghasilkan panjang filamen yang tinggi saat dipintal, maka filamen yang dihasilkan sangat halus. Panjang Filamen Sekali Putus Panjang filamen sekali putus dapat digunakan sebagai indikator kekuatan filamen saat digulung secara manual dan merupakan parameter yang sangat penting dalam pemintalan. Semakin tinggi nilai panjang filamen sekali putus saat digulung, filamen dinilai semakin kuat. Sebaliknya, filamen yang rapuh akan memiliki nilai panjang filamen sekali putus yang rendah. Asumsi dugaan awal penelitian ini adalah seiring pertambahan usia kokon, panjang filamen sekali putus semakin rendah. Hal ini berkaitan dengan tingkat kerapuhan yang meningkat dengan pertambahan usia kokon. Rata-rata panjang filamen sekali putus dalam penelitian ini (2,69±0,91 m) lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Erliyani (2011) yaitu 1,81 m. Panjang filamen A. atlas sekali putus pada usia kokon yang berbeda ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7. Panjang Filamen A. atlas Sekali Putus pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon Panjang Filamen Sekali Putus (hari) ± SB (g) Kisaran (g) KK (%) 30 3,04 ± 1,91 1,54-5,20 62,94 45 2,61 ± 0,59 2,23-3,29 22,74 60 2,54 ± 0,32 2,19-2,82 12,63 75 2,58 ± 0,45 2,07-2,94 17,55 Keseluruhan 2,69 ± 0,91 1,54-5,20 33,90 Tabel 7 menunjukkan panjang filamen sekali putus dengan koefisien keragaman tertinggi terdapat pada filamen dari kokon dengan usia 30 hari (62,94 %) dan terendah pada usia kokon 60 hari (12,63 %). Namun demikian, nilai maksimum panjang filamen sekali putus yang tinggi terdapat pada usia kokon 30 dan 45 hari, sehingga untuk memperoleh filamen yang panjang sekali putusnya lebih besar sebaiknya kokon tidak diolah pada usia lebih dari 45 hari. Cara mengatasi keragaman yang tinggi pada usia kokon 30 hari dapat dilakukan dengan cara pengeringan kokon untuk menyeragamkan kandungan air kokon. Keragaman panjang filamen sekali

putus dapat disebabkan oleh berkurangnya kekuatan filamen seiring pertambahan usia kokon. Hal ini diduga berhubungan dengan penguapan kandungan air dan zat volatil lainnya yang terdapat dalam filamen yang lebih banyak terkait kontak udara dengan bertambahnya usia kokon. Semasa proses penggulungan dilakukan, filamen A. atlas putus berkali kali, panjang filamen yang lebih tinggi setiap kali putus terdapat pada bagian posterior kokon. Bagian anterior kokon cenderung lebih mudah putus (lebih rapuh) saat digulung dikarenakan tidak seperti pada kokon sutera B. mori, kokon A. atlas memiliki lubang di bagian anterior sejak awal pembuatan kokon oleh larva. Lubang pada bagian anterior kokon ini berfungsi sebagai tempat keluarnya ngengat dari dalam pupa setelah masa pupasi selesai. Jumlah putus pada filamen A. atlas jauh lebih besar dibandingkan jumlah putus pada B. mori. Filamen B. mori unggul biasanya hanya mengalami beberapa kali putus (tidak sampai puluhan kali seperti pada filamen A. atlas), karena sebelum dilakukan pemintalan, kokon B. mori biasanya dikeringkan dengan tujuan untuk membunuh pupa sebelum keluar menjadi ngengat sehingga kokon tidak berlubang yang akan menyulitkan proses pemintalan. Panjang filamen sekali putus ini merupakan salah satu karakteristik filamen yang penting dalam usaha pemintalan filamen dan benang sutera karena terkait efisiensi waktu, tenaga, dan biaya produksi. Jika panjang filamen sekali putus rendah, akan banyak waktu, tenaga, dan biaya yang terpakai hanya untuk menyambung filamen yang putus. Selain itu, tinggi rendahnya nilai panjang filamen sekali putus ini dapat juga berkaitan dengan tingkat kehalusan filamen. Filamen yang lebih halus cenderung lebih mudah putus ketika digulung atau dipintal dengan kecepatan dan kekuatan yang sama dengan filamen yang ukurannya lebih tebal. Masa Penyimpanan Kokon Terbaik Hasil analisis data menunjukkan baik masa penyimpanan kokon 30, 45, 60, dan 75 hari pada tiap peubah memiliki nilai keragaman yang berbeda-beda. Akan tetapi, nilai koefisien keragaman terendah pada sebagian besar karakteristik filamen terdapat pada kokon dengan usia 45 dan 60 hari, kecuali pada ketebalan filamen, keragaman terendah pada kokon usia 75 hari dan nilai keragaman terendah panjang filamen sekali putus pada kokon berusia 60 hari. Hal ini mengindikasikan bahwa

kokon memiliki kualitas karakteristik filamen yang dapat dipertahankan sampai pada rentang usia maksimum 45-60 hari. Akan tetapi, pengolahan kokon pada usia 30 hari dinilai cukup menguntungkan mengingat pada usia ini nilai maksimum panjang filamen sekali putus tercapai. Cara mengatasi keragaman yang tinggi pada usia ini ialah dengan mengeringkan kokon terlebih dahulu. Pertambahan usia kokon juga menurunkan panjang filamen sekali putus yang merupakan karakteristik filamen penting dalam usaha pemintalan benang dan lainnya yang menggunakan filamen sutera. Hasil penelitian ini melebihi pernyataan Kaomini dan Bertha (1988) dalam Samsijah dan Lincah Andadari (1992) menyatakan bahwa penyimpanan kokon dalam ruangan yang mempunyai kelembaban 65-75% selama 4-6 minggu akan menurunkan daya gulung, akan tetapi tidak mempengaruhi persentase benang. Hal ini cukup menguntungkan dalam usaha budidaya dan produksi benang sutera, karena sekalipun kokon tidak diolah secara bersamaan, kualitas karakteristik filamen sutera tidak mengalami perubahan yang berarti. Namun demikian, kokon yang ingin disimpan untuk diolah harus ditempatkan dalam tempat yang kering terlindung dari perubahan cuaca dan minim kontak dengan udara, dan kokon disimpan setelah sebelumnya disortasi terlebih dahulu sehingga tidak tercampur dengan kokon cacat.