BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and Agricultural Organization (FAO) menempatkan Indonesia di urutan kedelapan dari sepuluh negara dengan luas hutan terbesar di dunia. Namun, laju kerusakan hutan di Indonesia yang mencapai 1,87 juta hektar per tahun dalam kurun waktu 2000 2005 menempatkan Indonesia di peringkat kedua dari sepuluh negara, dengan laju deforestasi tertinggi di dunia (FAO, 2007). Salah satu penyebab deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia adalah pembalakan liar, bahkan pembalakan liar ini sering disebut sebagai penyebab utamanya (Maryudi, 2015). Sebagai bagian dari upaya penanggulangan penebangan liar dan perbaikan tata kelola kehutanan, Indonesia memunculkan inisiatif/skema untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi di Indonesia berasal dari sumber-sumber yang sah. Inisiatif ini dijalankan melalui skema sertifikasi mandatori yang diterapkan pada seluruh sumber kayu, pemasok kayu, industri pengolahan, dan perdagangannya. Skema sertifikasi mandatori ini dikenal sebagai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). SVLK dikembangkan untuk mendorong implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia. 1
2 Kewajiban memenuhi standar SVLK atas produk-produk kayu telah dimulai sejak keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. Diawal pemberlakuan SVLK, hanya beberapa pelaku usaha yang menerapkannya. Pemerintah memberlakukan kewajiban penggunaan dokumen V-Legal sebagai dokumen pelengkap kepabeanan bagi eksportir produk kehutanan untuk lingkup produk kayu olahan per 1 Januari 2013. Bagi eksportir yang telah memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (SLK), penerbitan Dokumen V-Legal hanya cukup dengan verifikasi dokumen ekspor. Sedangkan bagi yang belum memiliki SLK, penerbitan Dokumen V-Legal dilakukan melalui mekanisme inspeksi. Inspeksi penerbitan Dokumen V-Legal yang berbiaya tinggi dan membutuhkan waktu yang lebih lama daripada mekanisme verifikasi, mendorong para eksportir kayu olahan untuk memiliki SLK. Pemberlakuan penggunaan Dokumen V-Legal bagi produk-produk kelompok furniture dan kertas per 1 Januari 2015 merupakan salah satu pemicu pemberlakukan kewajiban SVLK bagi pemasok bahan baku. Eksportir yang telah memiliki SLK diwajibkan menggunakan bahan baku dari pemasok yang telah ber-slk, ber-phpl atau ber-dkp. Pemberlakuan SVLK bagi industri hilir secara tidak langsung berdampak pada industri-industri hulu yang dipersyaratkan SLK oleh industri hilirnya. Begitupun pelaku usaha dalam rantai pasok peredaran dan distribusi produk kehutanan seperti pemegang izin Tempat Penampungan Terdaftar (TPT).
3 Kepemilikan SLK merupakan keharusan bagi pemegang TPT. Selain sebagai bukti pemenuhan terhadap peraturan yang ada, kepemilikan SLK juga merupakan jalan untuk melakukan ekspansi pasar karena saat ini seluruh rantai pasok peredaran kayu telah mensyaratkan kepemilikan SLK. Untuk mengajukan sertifikasi Legalitas Kayu bagi TPT, maka kondisi TPT harus sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh peraturan pemerintah terkait standar penilaian SVLK. Salah satu syarat terbitnya SVLK bagi TPT yaitu pemenuhan terhadap peraturan ketenagakerjaan. TPT wajib memenuhi ketentuan ketentuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan memenuhi hak-hak tenaga kerja. Standar verifikasi SVLK diatur dalam Peraturan Direktur Jendral Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor P.14/PHPL/SET/4/2016. Secara garis besar, standar SVLK untuk TPT terbagi dalam 4 prinsip sebagai berikut: 1. TPT mendukung terselenggaranya perdagangan kayu sah. 2. TPT menerapkan sistem penelusuran kayu yang menjamin keterlacakan kayu dari asalnya. 3. Keabsahan penjualan atau pemindahtanganan kayu bulat/kayu olahan dari TPT. 4. Pemenuhan terhadap peraturan ketenagakerjaan. Pekerjaan di bidang kehutanan khususnya dalam kegiatan pemanenan kayu merupakan salah satu pekerjaan lapangan dengan risiko pekerjaan yang tinggi. Sessions (2007) juga menjelaskan bahwa pekerjaan di bidang kehutanan merupakan salah satu pekerjaan yang paling berat dan berbahaya karena seringkali melibatkan upaya fisik yang berat dan menuntut pekerja
4 berada dalam cuaca yang panas serta kemungkinan diserang serangga dan penyakit. Dari semua pekerjaan di bidang kehutanan, kegiatan pemanenan hasil kayu merupakan kegiatan yang paling berat. Kegiatan pemanenan hasil kayu merupakan satu rangkaian kegiatan yang banyak melibatkan kegiatan fisik mulai dari kegiatan penebangan dan pembagian batang di petak tebangan, penyaradan, pemuatan, pengangkutan dan pembongkaran di Tempat Penimbunan Kayu. Berdasarkan data Depnaker (1999) dalam ILO (2002) menunjukkan bahwa angka kecelakaan kerja di sektor kehutanan menduduki peringkat keempat setelah sektor pertanian, peternakan, tekstil, dan garmen. Kecelakaan kerja yang terjadi tidak terlepas dari adanya kelalaian pekerja dalam melaksanakan tugasnya, namun faktor keselamatan dan kesehatan pekerja terkadang merupakan aspek yang masih sering terabaikan karena pihak perusahaan cenderung lebih mementingkan pencapaian target produksi dan terselesaikannya pekerjaan tepat waktu tanpa memperhatikan kondisi keselamatan dan kesehatan pekerja. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja diatur dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas kesehatan dan keselamtan kerja. Para pekerja di bidang kehutanan juga berhak mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja dalam melaksanakan pekerjaannnya. Berdasarkan kondisi ini dipandang perlu dilakukan penelitian difokuskan tentang Pemenuhan Aspek Ketenagakerjaan dalam Verifikasi Legalitas Kayu
5 di Tempat Penampungan Terdaftar (TPT) Mutiara Jati. Aspek ketenagakerjaan tersebut meliputi: pedoman/prosedur K3, implementasi K3, catatan kecelakaan kerja, kebebasan berserikat bagi pekerja, peraturan perusahaan (PP) atau kesepakatan kerja bersama (KKB) dan tidak mempekerjakan pekerja anak. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 13. Jenis-jenis pekerjaan dan risikonya di Tempat Penampungan Terdaftar (TPT) Mutiara Jati. 14. Penerapan K3 dalam Verifikasi Legalitas Kayu di Tempat Penampungan Terdaftar (TPT) Mutiara Jati. 15. Pemenuhan aspek ketenagakerjaan dalam Verifikasi Legalitas Kayu di Tempat Penampungan Terdaftar (TPT) Mutiara Jati. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui jenis-jenis pekerjaan dan risikonya di Tempat Penampungan Terdaftar (TPT) Mutiara Jati. 2. Mengetahui dan mendeskripsikan penerapan K3 dalam Verifikasi Legalitas Kayu di Tempat Penampungan Terdaftar (TPT) Mutiara Jati. 3. Mengetahui pemenuhan aspek ketenagakerjaan dalam Verifikasi Legalitas Kayu di Tempat Penampungan Terdaftar (TPT) Mutiara Jati.
6 1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan dari tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Bagi peneliti, akan memperoleh pemahaman mengenai jenis-jenis pekerjaan dan risikonya di TPT, aspek ketenagakerjaan dan penerapan K3 dalam verifikasi legalitas kayu di Tempat Penampungan Terdaftar (TPT) Mutiara Jati. 2. Sebagai masukan bagi pihak TPT agar lebih memperhatikan aspek K3 dalam melaksanakan kegiatan di TPT. 3. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak TPT dalam menerapan K3 dan pemenuhan aspek ketenagakerjaan. 4. Menambah wawasan dan memperkaya ilmu pengetahuan di bidang pemanenan hasil hutan, khususnya terkait dengan penerapan K3 dan pemenuhan aspek ketenagakerjaan dalam Verifikasi Legalitas Kayu.