BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Virus hepatitis B (VHB) merupakan virus yang dapat menyebabkan infeksi kronis pada penderitanya (Brooks et al., 2008). Virus ini telah menginfeksi lebih dari 350 juta penduduk dunia dengan kematian satu juta orang setiap tahunnya (Pellisier et al., 2012). Data dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa penderita hepatitis B di Asia Tenggara bisa mencakup 3/4 dari seluruh penderita hepatitis B di dunia (Gust, 1996). Bahkan, menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi penyakit hepatitis B di Indonesia mencapai 9,4%. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki endemisitas tinggi dari penyakit hepatitis B (Depkes, 2012). Namun begitu, sebuah penelitian lain lebih sepakat apabila Indonesia disebut sebagai negara yang memiliki endemisitas sedang-tinggi yaitu sebesar 5-20% (Creati et al., 2007). Selain masalah tingginya endemisitas, terdapat pula masalah dalam mendeteksi VHB ini. Meskipun virus ini dapat dideteksi dengan memeriksa hepatitis B 1
2 surface antigen (HBsAg) secara serologis, ada kalanya HBsAg ini tidak dapat terdeteksi walaupun pada orang tersebut terdapat VHB. Infeksi jenis ini biasa disebut dengan occult hepatitis B infection (OBI) atau dalam bahasa Indonesia disebut infeksi hepatitis B tersamar (Alavian, 2012). Sumber yang lain mendefinisikan infeksi hepatitis B tersamar sebagai terdapatnya DNA VHB dalam serum yang tidak memiliki HBsAg, tetapi terdapat penanda lain berupa hepatitis B core antigen (HBcAg) (Vaezjalali et al., 2013). Ada juga yang menyebutkan bahwa infeksi hepatitis B tersamar dikarakteristikkan dengan tidak terdapatnya HBsAg dan replikasi virus yang lambat (Said, 2011). Dari definisi yang dijabarkan, dapat diaplikasikan bahwa infeksi hepatitis B tersamar dapat terjadi pada beberapa kondisi, yaitu: 1. Penderita yang telah sembuh dari infeksi hepatitis B tetapi memiliki antibodi anti-hbs, 2. Penderita dengan VHB yang memiliki mutasi pada gena permukaan, 3. Penderita hepatitis B tahap kronis yang hanya memiliki DNA hepatitis B saja,
3 4. Penderita hepatitis B kronis pada daerah endemis yang memiliki kadar HBsAg terlalu rendah untuk dideteksi. (Said, 2011) Di samping kesulitan-kesulitan di atas, ditemukan fakta yang cukup menarik, yaitu resiko penularan VHB disumbang salah satunya oleh donor darah. Dari sebuah penelitian yang dilakukan Sulaiman et al. (1995), terungkap bahwa donor darah dari seluruh Indonesia, terdapat 8,8% donor yang memiliki HBsAg. Dari data ini, dapat diasumsikan bahwa selain 8,8% donor sehat Indonesia, masih ada donor sehat yang mengalami infeksi hepatitis B tersamar dan tidak terdeteksi pada pemeriksaan rutin di unit transfusi darah karena virus tersebut tidak mengekspresikan HBsAg. Hal tersebut dibuktikan oleh Thedja et al. (2010), di mana terdapat 8% donor yang terdeteksi memiliki DNA VHB dari 309 sampel darah dengan HBsAg negatif yang didapat dari PMI kota Solo dan Medan, padahal skrining hepatitis B pada unit transfusi darah hanya dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya status HBsAg positif pada kantong darah. Hal ini menunjukkan masih rawannya penularan VHB melalui transfusi darah. Data di luar negeri sendiri menunjukkan hasil yang beragam. Pada
4 penelitian di Iran, terdapat 4% kantong donor yang memiliki DNA VHB diantara seluruh kantong donor yang memiliki status HBsAg negatif (Vaezjalali et al., 2013), sedangkan di Cina, penelitian tertentu menunjukkan angka kejadian 0,13% (Liu et al., 2010), ada juga yang menunjukkan angka 0,18% (Yuan et al., 2010). Di Yogyakarta sendiri, belum nampak adanya penelitian yang menganalisis kejadian infeksi hepatitis B tersamar ini. Sedikitnya data di Yogyakarta bisa saja mengurangi tingkat kewaspadaan tenaga medis terhadap infeksi hepatitis B tersamar ini. Padahal, terdapat penelitian yang membahas bahwa terdapat hubungan yang jelas antara infeksi hepatitis B tersamar dengan sirosis maupun KHS (Allain, 2004). Selain itu juga, terdapat pula 35,4% kasus keganasan hepar atau penyakit hepar kronis yang setelah diteliti memiliki hubungan erat dengan infeksi hepatitis B yang tidak bermanifes (Heriyanto et al., 2012). Pada penilitian yang pernah dilakukan di Indonesia, kejadian infeksi hepatitis B tersamar ini disebabkan karena adanya mutasi spesifik asam amino pada regio a (alpha) determinant HBsAg sehingga terjadi perubahan antigenisitas dari molekul tersebut (Thedja et al., 2010). Tidak hanya di Indonesia,
5 penelitian yang dilakukan di Cina menunjukkan bahwa terdapat heterogenitas yang tinggi pada epitop a HBsAg pada sampel darah infeksi hepatitis B tersamar jika dibanding dengan kelompok kontrol (Yuan et al., 2010). Namun begitu, walaupun kejadian infeksi hepatitis B tersamar ini kebanyakan karena terjadinya mutasi pada a determinant HBsAg, terdapat pula beberapa penelitian yang menemukan mutasi pada core protein seperti yang dilakukan pada donor darah di Shenzhen, Cina(Zheng et al., 2011). Dari fakta yang telah dikemukakan, telah dimengerti bahwa penularan VHB lewat transfusi darah masih rawan terjadi mengingat skrining hepatitis B yang masih dengan mendeteksi status HBsAg pada kantong darah, padahal bisa saja terdapat infeksi hepatitis B tersamar yang diakibatkan oleh mutasi pada VHB. Apabila hal ini terus terjadi, di masa mendatang akan banyak bermunculan kasus sirosis maupun karsinoma hepatoseluler (KHS) yang diakibatkan kejadian infeksi hepatitis B tersamar ini. Oleh karenanya, diperlukan penelitian yang melaporkan tentang infeksi hepatitis B tersamar ini, juga apakah terdapat mutasi spesifik pada regio a determinant HBsAg yang pernah ditemukan di Indonesia juga terjadi di Yogyakarta, mengingat di
6 Yogyakarta sama sekali belum ada data tentang infeksi hepatitis B tersamar ini, juga tentang mutasi spesifik yang ada. I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, rumusan masalah yang dapat diambil adalah: Apakah terdapat mutasi spesifik pada regio a determinant HBsAg pada donor darah dengan infeksi hepatitis B tersamar di Unit Pelayanan Transfusi Darah RSUP Dr. Sardjito? I.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi atau menganalisis mutasi spesifik pada regio a determinant HBsAg pada pada donor darah dengan infeksi hepatitis B tersamar di Unit Pelayanan Transfusi Darah RSUP Dr. Sardjito. I.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai infeksi hepatitis B tersamar secara molekular dan menjadikan petugas kesehatan lebih waspada akan infeksi virus ini. Selain itu, diharapkan pula UPTD RSUP Dr. Sardjito dan unit transfusi darah di Yogyakarta maupun kota-kota lain dapat meningkatkan
7 kualitas skrining VHB. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui lebih lanjut penyebab mutasi dari VHB yang terlibat dalam infeksi hepatitis B tersamar ini. Manfaat lain secara tidak langsung juga bisa didapatkan oleh pasien karena pasien bisa mendapatkan transfusi yang aman dari penularan penyakit hepatitis B. I.5 Keaslian Penelitian Berikut ini beberapa penelitian tentang infeksi hepatitis B tersamar: 1. Yuan et al. (2010) di Cina meneliti tentang karakteristik molekular dari infeksi hepatitis B tersamar. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat karakteristik molekular infeksi hepatitis B tersamar dan prevalensinya pada Genotipe C. Metode yang digunakan adalah dengan mengetes ada tidaknya DNA VHB pada sampel yang status serologisnya hanya positif anti-hbc dengan nested PCR kemudian dilakukan sequencing. 2. Thedja et al. (2010) meneliti tentang kejadian infeksi hepatitis B tersamar pada donor darah di Solo dan Medan. Tujuan penelitian tersebut adalah
8 untuk mengetahui prevalensi infeksi hepatitis B tersamar pada donor darah di 2 kota tersebut, juga melihat variasi genetik dan efeknya pada HBsAg. Metode yang dipakai adalah dengan melakukann polymerase chain reaction(pcr) pada sampel yang terdeteksi HBsAg negatif namun memiliki anti-hbc positif. 3. Zheng et al. (2011) di Cina meneliti infeksi hepatitis B tersamar pada donor darah di Shenzen Blood Centre dengan tujuan melihat prevalensi dan menganalisis karakteristik molekular infeksi hepatitis B tersamar dengan genotype B dan C. Metode yang dipakai adalah dengan mengecek DNA VHB yang status HBsAg, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan Hepatitis C Virus (HCV) negatif dengan roche assay. Setelahnya, dihitung konsentrasi virusnya dengan quantitative PCR, dan disequencing. Penelitian yang dilakukan penulis saat ini memiliki tujuan yang berbeda, yaitu untuk melihat ada atau tidaknya mutasi pada a determinant HBsAg, dan membandingkannya dengan mutasi pada regio lain atau wild type yang ditemukan pada sampel yang lain. Selain
9 itu, penelitian ini diadakan di Yogyakarta, tepatnya di UPTD RSUP Dr. Sardjito, berbeda dengan penelitian Thedja et al. (2010) yang dilakukan di Palang Merah Indonesia(PMI) kota Solo dan Medan.