BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. satu, maka yang menjadi tujuan pemasaran adalah brand loyality. Tanpa sebuah brand

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. Middleton dan konsep pengembangan city brand yang relevan dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Dalam kondisi ini, para pemimpin pasar telah mencitrakan dirinya sendiri

BAB VI KEBIJAKAN DAN STRATEGI

Bab VI. Penutup. Berdasarkan hasil temuan dan analisis yang telah dipaparkan, menunjukkan bahwa wisata MICE menjadi salah satu wisata yang menjanjikan

BAB I PENDAHULUAN. kemasyarakatan dan investasi. Dalam perencanaan nation branding terkait

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak wilayah potensi parawisata (Bridatul J, 2014).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 8.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian mengenai peran pemerintah daerah dalam

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Rata-rata kunjungan wisatawan sesudah city branding lebih besar dibanding

BAB V KESIMPULAN. mengalami degradasi. Bali, sebagai daerah yang dibom dan mengandalakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang masalah. Pada era globalisasi ini banyak terjadi perubahan-perubahan yang begitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata yang mungkin kiranya kita sebagai warga negara Indonesia patut untuk

BAB I PENDAHULUAN. keputusan pembelian. Sehingga pemberian merek (branding) sebenarnya merupakan

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 45 TAHUN 2008

BAB IV PENUTUP. maka dapat diambil kesimpulan bahwa strategi city branding Yogyakarta

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 1. Pelaksanaan place branding yang dilakukan Pemda Kabupaten Purwakarta,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Baker dalam Dinnie (2011: xiii) kota dan kota-kota besar lainnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. kebersamaan dengan seseorang. Yakni berbagi informasi, ide atau sikap.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Namun, hal ini menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi kota yang baru

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Setiap dampak positif yang muncul dari event harus dapat dikelola dengan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

BAB I LATAR BELAKANG. Dilihat dari perkembanganya, industri jasa penyelenggara MICE (meeting,

KONSEP PEMASARAN KAWASAN WISATA TEMATIK

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan yang beroperasi di Indonesia, di satu sisi era globalisasi memperluas

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Pada bab ini penulis akan menyimpulkan dari berbagai uraian yang telah

PANDUAN LOMBA DESAIN LOGO BRANDING BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Solo sebagai salah satu kota administratif di Jawa Tengah memegang peranan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. 1 Ratih Purbasari_

BAB I PENDAHULUAN. tujuan wisata sebaiknya tetap menjaga citra tujuan wisata dan lebih

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan yang bergerak di bidang suplai material khususnya di batu kapur,

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu subsektor yang potensial dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dengan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian dan untuk

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS DAN PEMBINAAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN PT. BATIK DANAR HADI DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. dapat membedakan antara kota yang satu dengan kota-kota yang lainnya. Sebuah

ABSTRAK DAN RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

BUILDING MATERIAL EXPO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGUATAN KELEMBAGAAN DAN BRANDING DESA WISATA SONDAKAN KOTA SURAKARTA.

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana suatu kota mengawasi dan mengenalkan wilayahnya serta

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN

BAB IV ANALISIS MAS{LAH{AH MURSALAH TERHADAP PELAKSANAAN FESTIVAL KEBUDAYAAN JEMBER FASHION CARNAVAL DI KABUPATEN JEMBER

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. yaitu PT. Layindo Swarna Dwipa dan PT. Layindo Surya Gemilang.

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi satu dimensi baru, yaitu Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata.

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

MENINGKATKAN INVESTASI DAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN

LAPORAN EXECUTIVE KAJIAN MODEL PENGEMBANGAN SENI DAN BUDAYA DAERAH KOTA BANDUNG (Kerjasama Kantor Litbang dengan PT. BELAPUTERA INTERPLAN) Tahun 2005

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang baik

PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN PROVINSI LAMPUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2015 lalu, sektor pariwisata

BAB IV ANALISIS ISU ISU STRATEGIS

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN

DRAFT RANCANGAN AWAL RPJMD KABUPATEN GUNUNGKIDUL TAHUN Disampaikan pada Forum Konsultasi Publik Rabu, 6 April 2016

BAB I. Pendahuluan. disebut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimulai tahun 2015 ini. Secara

STRATEGI SUSTAINABLE MARKETING ENTERPRISE DALAM PENGEMBANGAN WIDYAISWARA MENDUKUNG CITRA LEMBAGA KEDIKLATAN YANG DIPERHITUNGKAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. yang lainnya akan berbeda dalam bentuk strukturalisasi manajemen dan

BAB I PENDAHULUAN. tahun ke tahun. Dari tahun wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta

BAB VI RINGKASAN TEMUAN, KONTRIBUSI TEORITIK, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN PENELITIAN LANJUTAN

BAB V SIMPULAN, KETERBATASAN & IMPLIKASI

KERANGKA ACUAN KEGIATAN RAPAT KOORDINASI PENINGKATAN PELAKSANAAN PROGRAM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI JAWA TENGAH TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Dimana karena adanya tuntutan global bagi kota-kota di dunia untuk berebut investor,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak potensi wisata baik dari segi sumber daya

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

-i- DAFTAR ISI. Kata Pengantar... BAB I PENDAHULUAN... 1

BAB VII PENUTUP GUBERNUR JAMBI, H. HASAN BASRI AGUS

VISI KOTA SURAKARTA. Terwujudnya Kota Solo sebagai Kota budaya yang bertumpu pada potensi perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata dan olah raga.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ARAHAN BENTUK, KEGIATAN DAN KELEMBAGAAN KERJASAMA PADA PENGELOLAAN SARANA DAN PRASARANA PANTAI PARANGTRITIS. Oleh : MIRA RACHMI ADIYANTI L2D

BAB I PENDAHULUAN. bergeraknya kegiatan bisnis yang dilakukan. Penunjang tersebut berguna

HUMAS & HUBUNGAN PERS (MEDIA RELATIONS)

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia global yaitu meliputi semua negara-negara yang ada di dunia.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

B A P P E D A D A N P E N A N A M A N M O D A L P E M E R I N T A H K A B U P A T E N J E M B R A N A. 1.1 Latar Belakang

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI EVENT TAHUNAN KEGIATAN BIDANG KEGIATAN PELAYANAN KEANGGOTAAN PROGRAM KERJASAMA MITRA 2017

Bab V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dewasa ini untuk menciptakan kerja sama, dimana orang-orangnya

BAB I PENDAHULUAN. dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di Inggris dan mulai sangat populer hingga dekade ke 20. Definisi Humas menurut Denny Griswold dalam buku Dasar- Dasar Public

BAB I PENDAHULUAN. industri keuangan yang lain, salah satu indikatornya adalah industri asuransi

Transkripsi:

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Ringkasan Temuan Yogyakarta dan Solo adalah dua wilayah yang memiliki kemiripan dan hubungan budaya yang kuat. Keduanya ingin memasarkan wilayah berdasarkan pada kesadaran adanya keunikan/ kekayaan budayanya dengan langkah awal pemasaran dilakukan pembuatan brand. Kesadaran akan keunikan budaya menjadikan keduanya sebagai daerah budaya. Hal seperti ini sering dijumpai dalam realita kehidupan, misal ketika penduduk Provinsi DIY berada di luar Yogyakarta akan mengenalkan dirinya sebagai Wong Yogjo (orang Jogja). Begitu pula dengan penduduk yang masuk wilayah Solo Raya (Subosukawonosraten) akan mengenalkan dirinya sebagai Wong Solo (orang Solo). Strategi ini sesuai dengan kaidah pemasaran (brand association, Kartajaya & Yuswohady, 2003: 177), yang sering mengasosiasikan produk baru (yang akan dipasarkan) dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh pasar. Pembuatan brand di kedua wilayah, dilatar belakangi hal yang berbeda. Kasus Yogyakarta dilatarbelakangi oleh: krisis ekonomi, globalisasi dan adanya kesadaran bahwa pemasaran wilayah adalah cara utama untuk mendorong perdagangan, pariwisata dan investasi. Sementara Kasus Solo dilatar-belakangi oleh: adanya kesamaan budaya untuk membentuk identitas bersama dalam rangka mempermudah dalam memasarkan wilayah mereka. Selanjutnya terkait aktor yang terlibat dalam branding, keduanya melibatkan para pakar pemasaran (IMA dan Markplus&Co), kalangan profesional (GTZ, desainer logodan akademisi), pengusaha, juga melibatkan multi stake-holder lainnya. Namun, dalam hal ini, Solo lebih banyak melibatkan pihak berkepentingan dibandingkan Yogyakarta. Dimana Solo menjadikan seluruh perwakilan dari multi-stakeholder sebagai panitia branding (Tim Kecil 117

Pemasaran), sedangkan kasus Yogyakarta multi-stakeholder hanya terlbat dalam penentuan brand name dan pembuatan Buku Induk Kraton. Dalam pelaksanaannya kedua wilayah diuji konsistensi dan kegigihannya dalam menggunakan brand. Yogyakarta diuji dengan: birokrasi yang sulit diubah mindset-nya, kejadian tak terduga (eksternal berupa: Terorisme bali; Bom Kuningan; JW Marriot; SARS; Antraks dan sebagainya, sementara internal berupa: gempa bantul), serta keterbatasan dana dalam melakukan promosi. Solo juga diuji dengan: gagalnya pembentukan PT. SRP (karena tidak memiliki dasar hukum), ketersediaan dana, serta egoisme daerah. 6.2 Kontribusi Teoritik Kedua kasus memiliki kelemahan baik dalam proses pembuatan maupun penerapannya. Dalam kasus Yogyakarta poin penting sebagai kekurangan dalam melakukan pemasaran branding dibandingkan teori faktor kesuksesan dalam melakukan pemasaran wilayah Rainisto (2003) adalah faktor: Keberuntungan dan Kerjasama Publik-Privat. Sementara pada kasus branding Solo, kekurangannya adalah faktor: Kepemimpinan; Dukungan Politik dan Pembangunan Lokal. Selanjutnya, apabila dilihat kembali proses pembuatan brand dan implementasinya di kedua kasus, dan dibandingkan dengan teori branding dari More & Raid (2008) dan Kavartzis (2004), dapat disimpulkan bahwa: a. Kasus Yogyakarta: Proses pembuatan brand memiliki pola yang serupa dengan teori, yakni: riset brand, pembuatan brand logo, pembuatan blueprint brand, dan launching brand. Sementara dalam tahap implementasi brand, secara umum komunikasi primer dan sekunder sudah terpenuhi (meskipun belum optimal), namun ada satu poin kekurangan di komunikasi primer. Kekurangan di komunikasi primer dalam bentuk lanskap (landscape) belum terpenuhi. Dimana komunikasi ini dilakukan dalam bentuk: urban design, architecture, art and public space. 118

b. Kasus Solo: secara keseluruhan dalam proses pembuatan memiliki urutan yang sama dengan teori, yakni: analisis situasi 7 kab/ kota, workshop pembuatan identitas bersama, sayembara slogan, desain logo, pembuatan panduan aplikasi dan launching. Hanya saja ada keunikan yang dimiliki kasus Solo, yakni: sayembara slogan. Selanjutnya, pada tahap implementasi brand lebih banyak melakukan komunikasi primer di struktur organisasi. Sementara komunikasi primer lainnya, yakni: infrastruktur dan lanskap belum tersentuh. Tabel 18. Perbandingan How antara Realita Kasus Yogyakarta dan Teori Tahap Pembuatan Implementasi Realita Kasus Yogyakarta Riset Awareness terhadap Jogja Pembuatan brand logo dan penentuan brand (dari beberapa alternatif) Pembuatan blueprint brand (the brand charter) Launching brand Perbandingan How antara Promosi JNEA dilakukan di berbagai Negara dan berbagai media Pembangunan infrastruktur guna membuka Jogja pada dunia internasional Dunia usaha dan masyarakat luas diperbolehkan menggunakan logo dan slogan JNEA Enterpreneural workshop Pembuatan Coffee Book Table Kraton Yogyakarta Sumber: Analisis Penulis (2013) Dalam Teori (More & Raid, 2008; Kavartzis, 2004) Market investigation, analysis and strategic recommendations identity development launch and introduction Komunikasi Sekunder (Pembuatan media center, promosi, iklan ) (Infrastruktur ) (Struktur Organisasi ) (Tingkah laku ) Komunikasi Sekunder (Pembuatan media center, events, iklan ) 119

Tabel 19. Perbandingan How antara Realita Kasus Solo dan Teori Tahap Pembuatan Realita Kasus Solo Perbandingan How antara Analisis situasi dan FGD 7 Kabupaten/ Kota Workshop Pembuatan Identitas Wilayah Sayembara Slogan Desain Logo Pembuatan Panduan Aplikasi Dalam Teori (More & Raid, 2008; Kavartzis, 2004) Market investigation, analysis and strategic recommendations identity development Pengelanan (launching) Pembentukan PT. Solo Raya Penyelenggaraan Berbagai Event Dimasukkannya anggaran untuk kebutuhan kegiatan promosi pariwisata bersama launch and introduction (Tingkah laku) Komunikasi sekunder (Pembuatan iklan) Implementasi Pembentukan Forum Pariwisata Solo Raya Penyediaan jaringan informasi kerjasama antar daerah berbasis IT Koordinasi penyelenggaraan administrasi pembangunan dan administrasi pemerintahan Penyediaan sarana untuk promosi/aktivitas bersama Solo Raya (Grha Solo Raya) Penjalinan kerjasama antar pelaku swasta melalui fasilitas BKAD Sumber: Analisis Penulis (2013) 120

Kemudian, apabila kita lihat kedua tabel diatas dan dikaitkan dengan teori dari Djunaedi (2002), tentang keterkaitan pemasaran dan perencanaan, terdapat benang merah. Bahwa kedua kasus (Wilayah Yogyakarta dan Solo) melakukan branding, agar dapat memasarkan wilayah mereka melalui proses membangun image yang positif terhadap target pemasaran (Tourist, Trade, Investor, dan sebagainya). Pemasaran yang dilakukan keduanya dengan menciptakan brand ini belum terencana dengan baik. Karena, badan perencana daerah, dinas pariwisata dan pihak pemerintah lainnya yang memiliki tanggung jawab untuk memasarkan wilayah keduanya belum memasukkan brand ini dalam rencana jangka panjang. Padahal, semestinya pemasaran wilayah (branding) dilakukan setelah rencana disusun dan pembangunan dilakukan. Meskipun dalam beberapa kasus keduanya (pemasaran dan pembangunan) dilakukan secara bersamaaan 6.3 Implikasi Kebijakan Berdasarkan perbandingan antara kasus Yogyakarta dan Solo, penulis memberikan saran kepada pemerintah di: a. Tingkat Nasional: Agar menambahkan pasal khusus terkait rincian pemasaran wilayah untuk tingkat nasional berikut pendanaannya dalam Permendagri No 54 Tahun 2010 tentang pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 8 tahun 2008 tentang tahapan tatacara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah. Penambahan pasal tentang pemasaran wilayah ini, penting agar nantinya pemerintah di tingkat nasional, daerah dan kota memiliki dasar hukum/ payung hukum yang secara jelas agar dapat mengenalkan secara lebih intensif kepada dunia internasional. Sehingga, dengan semakin dikenalnya segala potensi di Negara Indonesia dapat mengundang para tourist, trader, dan investor dari luar negeri. Selain itu, warga negara Indonesia akan semakin mencintai negerinya sendiri. Akhirnya, dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. 121

b. Tingkat Daerah: setelah pasal khusus tentang pemasaran wilayah di tingkat nasional terbentuk, selanjutnya sangat diharapkan para legislatif dan pemimpin di tiap daerah menindak-lanjuti dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang pemasaran daerahnya dan menyertakan rincian strategi dan pendanaan dalam perencanaan daerahnya (RPJPD, RPJMD dan RPJPd Daerah). Keberadaan payung hukum ini (berupa Perda), diharapkan dapat mengatur tentang segala sesuatu yang dibutuhkan oleh tiap daerah untuk memasarkan semua potensinya (infrastruktur, atraksi, citra, penduduk/ sdm-nya) ke daerah lain, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Tujuan dari penambahan pasal khusus untuk pemasaran wilayah di tingkat nasional, serta pembuatan Perda terkait pemasaran wilayah di tiap daerah di atas, adalah: agar tempat kita menjadi menarik untuk dikunjungi/ didatangi/ diminati oleh para target pasar. Sehingga apabila mereka berhasil tertarik, otomatis akan berdampak pada pergerakan ekonomi yang semakin membaik. Dengan semakin membaiknya perekonomian kita pembangunan daerah/ nasional juga membaik. Akhirnya, dengan semakin terbangunnya daerah/ nasional secara merata, diharapkan semakin sejahtera pula masyarakat kita. 6.4 Saran Penelitian Saran penulis kepada peneliti lain yang ingin melakukan penelitian terkait place branding di Indonesia untuk: mengambil lokasi penelitian di daerah lain yang dilatar belakangi bukan dari kesamaan budaya dan sejarah melainkan murni untuk peningkatan ekonomi dan dibandingkan dengan wilayah lain dengan latar belakang ekonomi. Hal ini bertujuan agar dapat menghasilkan temuan yang baru terkait faktor-faktor yang mempengaruhinya. Karena hukum dasar ekonomi adalah modal sekecil-kecilnya, untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Jadi, kemungkinan ing yang dilatar belakangi untuk meningkatkan perekonomian murni (profit oriented) kemungkinan dapat lebih berhasil dan bertahan. 122