BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Ringkasan Temuan Yogyakarta dan Solo adalah dua wilayah yang memiliki kemiripan dan hubungan budaya yang kuat. Keduanya ingin memasarkan wilayah berdasarkan pada kesadaran adanya keunikan/ kekayaan budayanya dengan langkah awal pemasaran dilakukan pembuatan brand. Kesadaran akan keunikan budaya menjadikan keduanya sebagai daerah budaya. Hal seperti ini sering dijumpai dalam realita kehidupan, misal ketika penduduk Provinsi DIY berada di luar Yogyakarta akan mengenalkan dirinya sebagai Wong Yogjo (orang Jogja). Begitu pula dengan penduduk yang masuk wilayah Solo Raya (Subosukawonosraten) akan mengenalkan dirinya sebagai Wong Solo (orang Solo). Strategi ini sesuai dengan kaidah pemasaran (brand association, Kartajaya & Yuswohady, 2003: 177), yang sering mengasosiasikan produk baru (yang akan dipasarkan) dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh pasar. Pembuatan brand di kedua wilayah, dilatar belakangi hal yang berbeda. Kasus Yogyakarta dilatarbelakangi oleh: krisis ekonomi, globalisasi dan adanya kesadaran bahwa pemasaran wilayah adalah cara utama untuk mendorong perdagangan, pariwisata dan investasi. Sementara Kasus Solo dilatar-belakangi oleh: adanya kesamaan budaya untuk membentuk identitas bersama dalam rangka mempermudah dalam memasarkan wilayah mereka. Selanjutnya terkait aktor yang terlibat dalam branding, keduanya melibatkan para pakar pemasaran (IMA dan Markplus&Co), kalangan profesional (GTZ, desainer logodan akademisi), pengusaha, juga melibatkan multi stake-holder lainnya. Namun, dalam hal ini, Solo lebih banyak melibatkan pihak berkepentingan dibandingkan Yogyakarta. Dimana Solo menjadikan seluruh perwakilan dari multi-stakeholder sebagai panitia branding (Tim Kecil 117
Pemasaran), sedangkan kasus Yogyakarta multi-stakeholder hanya terlbat dalam penentuan brand name dan pembuatan Buku Induk Kraton. Dalam pelaksanaannya kedua wilayah diuji konsistensi dan kegigihannya dalam menggunakan brand. Yogyakarta diuji dengan: birokrasi yang sulit diubah mindset-nya, kejadian tak terduga (eksternal berupa: Terorisme bali; Bom Kuningan; JW Marriot; SARS; Antraks dan sebagainya, sementara internal berupa: gempa bantul), serta keterbatasan dana dalam melakukan promosi. Solo juga diuji dengan: gagalnya pembentukan PT. SRP (karena tidak memiliki dasar hukum), ketersediaan dana, serta egoisme daerah. 6.2 Kontribusi Teoritik Kedua kasus memiliki kelemahan baik dalam proses pembuatan maupun penerapannya. Dalam kasus Yogyakarta poin penting sebagai kekurangan dalam melakukan pemasaran branding dibandingkan teori faktor kesuksesan dalam melakukan pemasaran wilayah Rainisto (2003) adalah faktor: Keberuntungan dan Kerjasama Publik-Privat. Sementara pada kasus branding Solo, kekurangannya adalah faktor: Kepemimpinan; Dukungan Politik dan Pembangunan Lokal. Selanjutnya, apabila dilihat kembali proses pembuatan brand dan implementasinya di kedua kasus, dan dibandingkan dengan teori branding dari More & Raid (2008) dan Kavartzis (2004), dapat disimpulkan bahwa: a. Kasus Yogyakarta: Proses pembuatan brand memiliki pola yang serupa dengan teori, yakni: riset brand, pembuatan brand logo, pembuatan blueprint brand, dan launching brand. Sementara dalam tahap implementasi brand, secara umum komunikasi primer dan sekunder sudah terpenuhi (meskipun belum optimal), namun ada satu poin kekurangan di komunikasi primer. Kekurangan di komunikasi primer dalam bentuk lanskap (landscape) belum terpenuhi. Dimana komunikasi ini dilakukan dalam bentuk: urban design, architecture, art and public space. 118
b. Kasus Solo: secara keseluruhan dalam proses pembuatan memiliki urutan yang sama dengan teori, yakni: analisis situasi 7 kab/ kota, workshop pembuatan identitas bersama, sayembara slogan, desain logo, pembuatan panduan aplikasi dan launching. Hanya saja ada keunikan yang dimiliki kasus Solo, yakni: sayembara slogan. Selanjutnya, pada tahap implementasi brand lebih banyak melakukan komunikasi primer di struktur organisasi. Sementara komunikasi primer lainnya, yakni: infrastruktur dan lanskap belum tersentuh. Tabel 18. Perbandingan How antara Realita Kasus Yogyakarta dan Teori Tahap Pembuatan Implementasi Realita Kasus Yogyakarta Riset Awareness terhadap Jogja Pembuatan brand logo dan penentuan brand (dari beberapa alternatif) Pembuatan blueprint brand (the brand charter) Launching brand Perbandingan How antara Promosi JNEA dilakukan di berbagai Negara dan berbagai media Pembangunan infrastruktur guna membuka Jogja pada dunia internasional Dunia usaha dan masyarakat luas diperbolehkan menggunakan logo dan slogan JNEA Enterpreneural workshop Pembuatan Coffee Book Table Kraton Yogyakarta Sumber: Analisis Penulis (2013) Dalam Teori (More & Raid, 2008; Kavartzis, 2004) Market investigation, analysis and strategic recommendations identity development launch and introduction Komunikasi Sekunder (Pembuatan media center, promosi, iklan ) (Infrastruktur ) (Struktur Organisasi ) (Tingkah laku ) Komunikasi Sekunder (Pembuatan media center, events, iklan ) 119
Tabel 19. Perbandingan How antara Realita Kasus Solo dan Teori Tahap Pembuatan Realita Kasus Solo Perbandingan How antara Analisis situasi dan FGD 7 Kabupaten/ Kota Workshop Pembuatan Identitas Wilayah Sayembara Slogan Desain Logo Pembuatan Panduan Aplikasi Dalam Teori (More & Raid, 2008; Kavartzis, 2004) Market investigation, analysis and strategic recommendations identity development Pengelanan (launching) Pembentukan PT. Solo Raya Penyelenggaraan Berbagai Event Dimasukkannya anggaran untuk kebutuhan kegiatan promosi pariwisata bersama launch and introduction (Tingkah laku) Komunikasi sekunder (Pembuatan iklan) Implementasi Pembentukan Forum Pariwisata Solo Raya Penyediaan jaringan informasi kerjasama antar daerah berbasis IT Koordinasi penyelenggaraan administrasi pembangunan dan administrasi pemerintahan Penyediaan sarana untuk promosi/aktivitas bersama Solo Raya (Grha Solo Raya) Penjalinan kerjasama antar pelaku swasta melalui fasilitas BKAD Sumber: Analisis Penulis (2013) 120
Kemudian, apabila kita lihat kedua tabel diatas dan dikaitkan dengan teori dari Djunaedi (2002), tentang keterkaitan pemasaran dan perencanaan, terdapat benang merah. Bahwa kedua kasus (Wilayah Yogyakarta dan Solo) melakukan branding, agar dapat memasarkan wilayah mereka melalui proses membangun image yang positif terhadap target pemasaran (Tourist, Trade, Investor, dan sebagainya). Pemasaran yang dilakukan keduanya dengan menciptakan brand ini belum terencana dengan baik. Karena, badan perencana daerah, dinas pariwisata dan pihak pemerintah lainnya yang memiliki tanggung jawab untuk memasarkan wilayah keduanya belum memasukkan brand ini dalam rencana jangka panjang. Padahal, semestinya pemasaran wilayah (branding) dilakukan setelah rencana disusun dan pembangunan dilakukan. Meskipun dalam beberapa kasus keduanya (pemasaran dan pembangunan) dilakukan secara bersamaaan 6.3 Implikasi Kebijakan Berdasarkan perbandingan antara kasus Yogyakarta dan Solo, penulis memberikan saran kepada pemerintah di: a. Tingkat Nasional: Agar menambahkan pasal khusus terkait rincian pemasaran wilayah untuk tingkat nasional berikut pendanaannya dalam Permendagri No 54 Tahun 2010 tentang pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 8 tahun 2008 tentang tahapan tatacara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah. Penambahan pasal tentang pemasaran wilayah ini, penting agar nantinya pemerintah di tingkat nasional, daerah dan kota memiliki dasar hukum/ payung hukum yang secara jelas agar dapat mengenalkan secara lebih intensif kepada dunia internasional. Sehingga, dengan semakin dikenalnya segala potensi di Negara Indonesia dapat mengundang para tourist, trader, dan investor dari luar negeri. Selain itu, warga negara Indonesia akan semakin mencintai negerinya sendiri. Akhirnya, dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. 121
b. Tingkat Daerah: setelah pasal khusus tentang pemasaran wilayah di tingkat nasional terbentuk, selanjutnya sangat diharapkan para legislatif dan pemimpin di tiap daerah menindak-lanjuti dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang pemasaran daerahnya dan menyertakan rincian strategi dan pendanaan dalam perencanaan daerahnya (RPJPD, RPJMD dan RPJPd Daerah). Keberadaan payung hukum ini (berupa Perda), diharapkan dapat mengatur tentang segala sesuatu yang dibutuhkan oleh tiap daerah untuk memasarkan semua potensinya (infrastruktur, atraksi, citra, penduduk/ sdm-nya) ke daerah lain, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Tujuan dari penambahan pasal khusus untuk pemasaran wilayah di tingkat nasional, serta pembuatan Perda terkait pemasaran wilayah di tiap daerah di atas, adalah: agar tempat kita menjadi menarik untuk dikunjungi/ didatangi/ diminati oleh para target pasar. Sehingga apabila mereka berhasil tertarik, otomatis akan berdampak pada pergerakan ekonomi yang semakin membaik. Dengan semakin membaiknya perekonomian kita pembangunan daerah/ nasional juga membaik. Akhirnya, dengan semakin terbangunnya daerah/ nasional secara merata, diharapkan semakin sejahtera pula masyarakat kita. 6.4 Saran Penelitian Saran penulis kepada peneliti lain yang ingin melakukan penelitian terkait place branding di Indonesia untuk: mengambil lokasi penelitian di daerah lain yang dilatar belakangi bukan dari kesamaan budaya dan sejarah melainkan murni untuk peningkatan ekonomi dan dibandingkan dengan wilayah lain dengan latar belakang ekonomi. Hal ini bertujuan agar dapat menghasilkan temuan yang baru terkait faktor-faktor yang mempengaruhinya. Karena hukum dasar ekonomi adalah modal sekecil-kecilnya, untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Jadi, kemungkinan ing yang dilatar belakangi untuk meningkatkan perekonomian murni (profit oriented) kemungkinan dapat lebih berhasil dan bertahan. 122