MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 62/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA PERBAIKAN PERMOHONAN (II) J A K A R T A SELASA, 9 SEPTEMBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 62/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 142 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Suhendar 2. Yayat Ruhiyat 3. Yudi Yuspar, dkk. ACARA Perbaikan Permohonan (II) Selasa, 9 September 2014, Pukul 13.31 13.46 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Aswanto (Ketua) 2) Arief Hidayat (Anggota) 3) Muhammad Alim (Anggota) Ida Ria Tambunan Panitera Pengganti i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Asri Vidya Dewi 2. Mangiring Sibagariang 3. Ahmad Jamaludin ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 13.31 WIB 1. KETUA: ASWANTO Sidang dalam Perkara Nomor 62/PUU-XII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. Saudara Pemohon, silakan diperkenalkan diri, siapa yang hadir pada kesempatan hari ini? 2. KUASA HUKUM PEMOHON: ASRI VIDYA DEWI Terima kasih, Yang Mulia. Pada hari ini kami saya sendiri Asri Vidya Dewi. Kemudian sebelah kanan saya, Mangiring Sibagariang. Kemudian sebelah kanannya lagi, Ahmad Jamaludin. 3. KETUA: ASWANTO Baik, agenda kita pada hari ini adalah perbaikannya. 4. KUASA HUKUM PEMOHON: ASRI VIDYA DEWI Ya. 5. KETUA: ASWANTO KETUK PALU 3X Pemeriksaan perbaikan permohonan. Pada sidang sebelumnya, Panel sudah memberikan saran, masukan. Nah, pada kesempatan ini, Saudara Pemohon diminta untuk menyampaikan pokok-pokok yang sudah dilakukan perbaikan, silakan. 6. KUASA HUKUM PEMOHON: ASRI VIDYA DEWI Terima kasih, Yang Mulia. Beberapa permohonan akan saya poin-poinnya saja, dimulai dari pendahuluan. Pada halaman 3, paragraf kedua. Bahwa amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28I ayat (2) memberikan tataran penting. Yang pertama adalah bahwa setiap orang harus terbebas. Kemudian yang kedua, negara menjamin hak asasi setiap orang tanpa diskriminasi. Kemudian bahwa hal tersebut, perlindungan terhadap hak penyandang disabilitas, ini dilanjutkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat. 1
Konsentrasi dunia internasional dalam upaya perlindungan hakhak penyandang disabilitas ditujukan dengan adanya Konvensi Internasional pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Yang selanjutnya Indonesia juga telah meratifikasi konvensi tersebut ke dalam Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Persons With Disabilities atau Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Selanjutnya bahwa hak penyandang disabilitas yang dilindungi oleh negara adalah hak-hak politik. Salah satunya, yang ada dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Selanjutnya dalam Pasal 8 dipertegas bahwa pemerintah atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat. Partisipasi dalam kehidupan politik dan publik diatur lebih rinci pada Pasal 29A yang tidak perlu saya bacakan, Yang Mulia. Tapi yang poin paling penting adalah pada 29A I1. Bahwa di sana memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan bahan-bahan pemilihan bersifat layak, dapat diakses, serta mudah dipahami dan digunakan. Untuk selanjutnya pada halaman 4, paragraf kedua. Terkait dengan prosedur, fasilitas, dan bahan-bahan pemilihan bersifat layak, dapat diakses, serta mudah dipahami dan digunakan ini. Dalam pasal sebelumnya terdapat ketegasan mengenai bentuk komunikasi sesuai pilihan mereka, termasuk seperti yang dikemukakan dalam Pasal 21 huruf b, menerima dan memfasilitasi penggunaan bahasa isyarat, Braille, komunikasi argumentatif, dan alternatif, dan semua cara, alat dan bentuk komunikasi lainnya yang dapat dijangkau sesuai dengan pilihan penyandang disabilitas dalam interaksi resmi. Dalam rangka amanah dan kewajiban negara terhadap warga negara penyandang disabilitas, penyelenggara negara berkewajiban untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut. Sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum dan berperikemanusiaan, adil, dan beradab. Salah satunya dengan membuat suatu aturan hukum yang tidak membatasi penyandang disabilitas dalam menjalankan hak kerahasiaan dan independensinya dalam kegiatan pemilu. Terkait dengan hal ini, Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu dirasakan tidak cukup menjamin para penyandang disabilitas dalam menjalankan haknya sebagai warga negara dalam setiap pemilihan umum yang mengedepankan kerahasiaan dan independensi sikap. Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan perlengkapan lainnya. Demikian bunyi Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum. Dukungan perlengkapan lainnya yang dimaksud oleh pasal tersebut 2
dirinci lebih lanjut dalam penjelasan undang-undang tersebut. Tidak akan saya bacakan. Selanjutnya, penjelasan tersebut hanya menyangkut alat bantu tuna netra tanpa memberi keterangan lengkap mengenai jenis alat bantunya. Dengan demikian, Peraturan KPU sebagai instrumen hukum teknis pelaksanaan dari undang-undang juga tidak mencantumkan dengan konkret jenis alat bantu yang dimaksud. Kemudian pada halaman 5, perubahan pada halaman 5 pada paragraf ketiga. Bahwa menurut pusat data informasi nasional atau Pusdapin dari Kementerian Sosial pada 2010, Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 11.580.117 orang, dengan 3.474.035 orang penyandang disabilitas tuna netra. Sedangkan yang memiliki hak pilih mencapai 1.754.689 jiwa. Data tersebut menunjukkan jumlah penyandang disabilitas tuna netra yang cukup signifikan. Maka dengan jumlah yang cukup besar seperti itu, sudah semestinya pihak penyelenggara pemilu seperti KPU memberikan perhatian agar hak penyandang disabilitas tuna netra tersebut tidak hilang dalam proses pemilu mendatang. Dalam hal ini, satu suara saja sudah merupakan pelanggaran hak. Perubahan selanjutnya, pada halaman 6 paragraf kedua. Pasal 142 ayat (2) in casu tidak memiliki kepastian hukum bagi tuna netra tanpa pembatasan dan penafsiran yang jelas. Pasal tersebut dapat ditafsirkan bermacam-macam, luas, dan semaunya saja oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum. Padahal, penyandang disabilitas, khususnya tuna netra hanya bisa membaca melalui huruf Braille. Sudah seharusnya ketika penyandang disabilitas menjalankan hak dan kewajibannya dalam pemilihan umum yang menentukan jalannya bangsa dan negara dilindungi oleh hukum yang tegas dan konkret. Berdasarkan apa yang telah disampaikan di atas, maka jelas dan berdasar demi hukum, demi tegaknya amanat Konstitusi, perlu diuji materiil terhadap Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum yang terbukti dan dengan meyakinkan tidak mencerminkan amanat Konstitusi Pasal 28 ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28J ayat (1). Mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak akan saya bacakan. Kemudian, pada halaman 7 tentang legal standing Para Pemohon. Perubahan ada pada poin 4 huruf e dan f. Bahwa uji materiil Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh Para Pemohon dilatarbelakangi oleh peristiwa dan fakta hukum, sebagaimana yang telah diuraikan oleh Para Pemohon di bawah ini. Saya langsung pada huruf e. Bahwa alasan teknis tersebut, sungguh mengabaikan hak-hak Konstitusi para penyandang disabilitas tuna netra yang seharusnya mendapatkan perlindungan negara yang 3
menjamin hak suaranya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam pelaksanaan melaksanakan kedaulatannya. Kemudian, f. Bahwa dalam Pemilihan Umum Tahun 2004, alat bantu tuna netra berupa template Braille pernah digunakan oleh penyelenggara pemilihan umum. Alat ini terbuat dari bahan jenis karton, dengan huruf Braille di setiap set, berisi empat helai alat bantu, masingmasing untuk suara DPR RI, DPRD, dan DPD. Setiap helainya tercantum template Braille untuk menerangkan nama, dan tanda gambar parpol, serta nomor urut caleg. Nomor 5. Bahwa tidak eksplilsitnya Pasal 142 ayat (2) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum, dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum yang mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2013 tentang Pemungutan dan Perhitungan suara di TPS dalam pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 21 ayat (2) menyebutkan, Alat kelengkapan pemungutan dan perhitungan suara, antara lain disebutkan dalam huruf k alat bantu tuna netra untuk suara DPD, hanya untuk suara DPD saja. Enam. Bahwa Para Pemohon merupakan warga negara Indonesia penyandang disabilitas tuna netra yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya secara nyata. Para Pemohon merasa kesulitan dalam menjalankan hak pilihnya dan merasa tidak berkenan dengan cara KPU memberikan mereka pendamping. Tujuh. Bahwa pendamping yang diberikan oleh KPU bukanlah alat bantu yang seharusnya ada. Keberadaan pendamping justru mengganggu asas rahasia yang menimbulkan rasa intimidasi tersendiri bagi Pemohon. Delapan. Bahwa dengan dikabulkannya Pemohon permohonan Pemohon, maka hak ini akan memulihkan hak konstitusional Pemohon pada pemilu-pemilu mendatang. Pada pokok permohonan. A. Pasal 142 ayat (2) undang ( ) 7. KETUA: ASWANTO Itu kan sudah ada dalam konsep yang tertulis, ya? 8. KUASA HUKUM PEMOHON: ASRI VIDYA DEWI Ya. 9. KETUA: ASWANTO Langsung ke petitum saja. 4
10. KUASA HUKUM PEMOHON: ASRI VIDYA DEWI Ada beberapa, Yang Mulia. Bahwa pada pokoknya, mengenai kami tetap... kalau dibacakan mengenai nafas yang di... secara per ayat di situ bahwa kami tetap akan mencoba mengajukan permohonan ini ke Mahkamah Konstitusi karena kan pemilu sudah selesai, gitu. Namun... apa... bahwa peraturan tidak ke Mahkamah Agung... tidak melalui Mahkamah Agung karena undang-undang... Pasal 142 ini kami harap agar bisa konkret, agar peraturan teknis pun bisa mengikuti. Jadi, kalau undang-undang kan long lasting, sementara peraturan teknis bisa berubah. Walaupun undang-undang dapat berubah, itu alasan kami tetap mengajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi. Mengenai petitum, silakan. 11. KUASA HUKUM PEMOHON: MANGIRING SIBAGARIANG Kami lanjut, Yang Mulia. Berdasarkan uraian di atas, Para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus permohonan uji materiil Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut. 1. Mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang Para Pemohon. 2. Menyatakan Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. 3. Menyatakan Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum atau dalam penjelasannya perlu diberi tambahan frasa mengenai alat bantu tuna netra, setidaknya berupa template Braille. 4. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 142 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, dengan menyatakan konstitusional bersyarat atau conditionally unconstitutional diartikan untuk penyandang (suara tidak terdengar jelas) tuna netra, lembaga penyelenggaraan pemilihan umum menyediakan perlengkapan yang mendukung penyelenggaraan pemilihan umum, setidaknya berupa template Braille. 5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. 5
12. KETUA: ASWANTO Baik. Ini sudah dimasukkan tadi? 13. KUASA HUKUM PEMOHON: ASRI VIDYA DEWI Sudah. 14. KETUA: ASWANTO Sudah dimasukkan? 15. KUASA HUKUM PEMOHON: ASRI VIDYA DEWI Sudah. 16. KETUA: ASWANTO Baik. Ini yang Anda masukkan ini ada yang mungkin kelewat, nomor 4 di petitum tidak ada, gitu? Ini di asli yang Saudara masukkan. Ini yang sudah perbaikan ini. Nanti diini kembali ya, dilihat kembali karena atau nanti direnvoi saja karena yang Anda bacakan tadi di nomor 4 itu ternyata enggak ada di sini, mungkin Anda kelewat. Nanti direnvoi saja, ya? 17. KUASA HUKUM PEMOHON: ASRI VIDYA DEWI Baik. 18. KETUA: ASWANTO Baik. Ada yang Yang Mulia? Baik, Saudara juga sudah memasukkan bukti, ya? 19. KUASA HUKUM PEMOHON: ASRI VIDYA DEWI Ya. 20. KETUA: ASWANTO Alat bukti mulai dari P-1 sampai P-6? 21. KUASA HUKUM PEMOHON: ASRI VIDYA DEWI Betul. 6
22. KETUA: ASWANTO Betul, ya? 23. KUASA HUKUM PEMOHON: ASRI VIDYA DEWI Ya. 24. KETUA: ASWANTO Baik, kita sahkan bukti itu. Nah, masih ada hal-hal yang Saudara akan kemukakan? 25. KUASA HUKUM PEMOHON: ASRI VIDYA DEWI Saya kira cukup. 26. KETUA: ASWANTO KETUK PALU 1X Cukup, ya. Karena sudah tidak ada lagi hal-hal yang Saudara akan sampaikan, maka sidang pada hari ini namun sebelumnya, untuk sidang selanjutnya, Saudara tinggal menunggu pemberitahuan dari Mahkamah ya. Dan karena tidak ada lagi yang Saudara mau sampaikan, maka sidang pada hari ini kita anggap selesai. Dan dengan demikian, sidang kita tutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.46 WIB Jakarta, 9 September 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004 Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya. 7