ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

dokumen-dokumen yang mirip
VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

ANALISIS SENSITIVITAS

HASIL DAN PEMBAHASAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

IV. METODE PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

III. METODE PENELITIAN

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

IV. METODE PENELITIAN

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

Analysis of Competitiveness and Marketing Channels Ikan Kembung ( Rastrelliger sp.) in Rembang Regency, Central Java Effect

IV. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

III. METODE PENELITIAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

METODOLOGI PENELITIAN

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

JIIA, VOLUME 1, No. 4, OKTOBER 2013

EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

Lampiran 1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Ubi Jalar Seluruh Provinsi Tahun 2009

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA

ANALISIS DAYA SAING DAN SALURAN PEMASARAN IKAN KEMBUNG (RASTRELLIGER SP.) DI KABUPATEN DEMAK, JAWA TENGAH

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAYA SAING DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING KOMODITI KAKAO DI SULAWESI TENGAH

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUKOMUKO (STUDI KASUS DESA BUMI MULYA)

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung

PENENTUAN PRODUK UNGGULAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN GIANYAR

ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

Program Studi Magister Sains Agribisnis, Sekolah Pascasarjana IPB 2

SKRIPSI JOKO NOVIANTO H

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU

Oleh: Tobari dan Budi Dharmawan Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto (Diterima: 11 September 2004, disetujui: 21 September 2004)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN 1.Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian... 4

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF SERTA IMPLIKASI KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN BENGKAYANG

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES

III. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN KUPANG

JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FANNYTA YUDHISTIRA A

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. 1. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu pendekatan inovatif

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

II. TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS TEH (Studi Kasus : PTPN VIII Rancabali Afdeling Rancabali III)

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang

Transkripsi:

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG VI. 6.1 Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem usahatani memiliki keunggulan komperatif dan kompetitif dengan fokus penelitian, yaitu usahatani kentang di Desa Sigedang dan Desa Dieng. Kedua sistem usahatani ini adalah sistem usahatani pada musim penghujan. Alat analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) berdasarkan data penerimaan dan biaya produksi pada pada musim hujan yang terbagi dalam dua bagian yaitu harga finansial (privat) dan harga ekonomi (sosial). Perhitungan dan uraian finansial dan sosial dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 10. Selanjutnya data yang diperoleh akan digunakan untuk menghitung nilai-nilai yang menjadi indikator dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing kentang di Kecamatan Kejajar. Hasil analisis berdasarkan perhitungan PAM dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. PAM untuk Sistem Usahatani Kentang di Kecamatan Kejajar. Uraian Sigedang Privat Sosial Divergensi Dieng Privat Sosial Divergensi Penerimaan (Rp/Hektar) 38.771.387,15 53.996.002,64 (15.224.615,49) 19.342.172,03 24.988.509,27 (5.646.337,24) Biaya (Rp/Hektar) Faktor Input Tradable Domestik 1500 DPL 1800 2.317.073,35 35.179.935,25 2.424.556,72 39.286.335,36 (107.484,37) (4.106.400,11) DPL 2200 1.143.312,71 18.248.115,43 1.180.864,35 19.968.097,75 (37.551,64) (1.719.982,32) Keuntungan (Rp/Hektar) 1.274.378,55 12.285.110,56 (11.010.732,01) (49.256,11) 3.839.547,17 (3.888.803,28) Tabel 18 memperlihatkan hasil Policy Analysis Matrix (PAM) untuk kedua sistem usahatani. Secara keseluruhan analisis privat dan eknomi di Desa Sigedang menguntungkan. Hal ini dikarenakan memiliki penerimaan privat dan sosial yang positif. Sedangkan di Desa Dieng, analisis privat dan sosialnya tidak menguntungkan secara finansial dan hanya menguntungkan secara ekonomi karena penerimaan privat yang dimiliki bernilai negatif, sedangkan penerimaan sosialnya bernilai positif.

Untuk memudahkan pembahasan maka hasil matriks PAM juga akan disajikan dalam tabel-tabel yang lebih sederhana untuk menjelaskan secara rinci pembahasan. Tabel-tabel pembahasan tersebut terdiri dari: indikator dayasaing yang dilihat dari keunggulan kompetitif dan komparatif, sedangkan dampak kebijakan pemerintah dapat dilihat dari dampak kebijakan output, dampak kebijakan input, dan dampak kebijakan input-output. 6.2 Analisis Keunggulan Kompetitif Analisis keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan finansial usahatani. Analisis keunggulan kompetitif dari kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, dapat dilihat dari Keuntungan Privat (KP) yang dihitung berdasarkan harga yang berlaku di pasar (harga aktual), dan Rasio Biaya Privat (PCR) yang merupakan indikator yang menunjukkan bahwa komoditi yang dihasilkan efisien dalam menggunakan sumberdaya dan menguntungkan. Tabel 19 menunjukkan besarnya nilai Keuntungan Privat (KP) dan Rasio Biaya Privat (PCR) di kedua sistem usahatani kentang. Keuntungan privat yang positif di Desa Sigedang menunjukkan bahwa petani yang menjalankan usahatani kentang memperoleh keuntungan diatas nol. Sebaliknya keuntungan privat di Desa Dieng yang negatif atau lebih kecil dari nol tersebut memiliki arti bahwa usahatani kentang yang dilakukan oleh petani mengalami kerugian. Tabel 19. Keuntungan Privat (KP) dan Rasio Biaya Privat (PCR) Komoditas Kentang di Kecamatan Kejajar No 1. 2. Uraian Desa Sigedang (Rp/hektar) Desa Dieng (Rp/hektar) Keuntungan Privat PCR 1.274.378,55 (49.256,11) 0,97 1,00 Berdasarkan Tabel 19, keuntungan privat yang diperoleh dari usahatani kentang di Desa Sigedang sebesar Rp 1.274.378,55 per hektar. Artinya, bahwa keuntungan yang diterima petani dengan ada kebijakan pemerintah pada saat penelitian adalah sebesar Rp 1.274.378,55 per hektar. Penerimaan petani berdasarkan nilai rpivat lebih besar dari pengeluaran biaya input tradable dan

input domestik. Sedangkan keuntungan privat yang diperoleh petani di Desa Dieng bernilai negatif atau kurang dari nol yakni Rp 49.256,11 per hektar. Dengan kata lain pengusahaan kentang di Desa Dieng merugikan petani sebesar Rp 49.256,11 per hektar. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya perbedaan harga yang diterima oleh petani di kedua desa. Disisi lain adanya perbedaan dalam penggunaan bibit kentang dan perbedaan perlakuan dalam pemeliharaan tanaman kentang di lokasi penelitian juga mempengaruhi besarnya penerimaan atau keuntungan yang diperoleh petani. Perbedaan dalam penggunaan bibit akan berpengaruh terhadap produksi kentang pada saat panen, dan perlakuan dalam pemeliharaan tanaman akan berpengaruh terhadap nilai biaya-biaya yang dikeluarkan biaya tradable dan faktor domestik. Keunggulan kompetitif juga dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Privat (PCR) yang merupakan indikator bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi dalam usahatani kentang. Rasio biaya privat merupakan rasio antara biaya input non tradable atau faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan biaya input tradable pada tingkat harga aktual. Nilai PCR yang kurang dari satu (PCR<1) menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan efisien secara finansial. Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Nilai aktual PCR di kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, masingmasing sebesar 0,97 dan 1,00. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambahan output sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestik masing-masing sebesar 0,97 dan 1,00. Namun untuk usahatani kentang di Desa Dieng tidak layak secara finansial karena nilai PCR yang dimiliki sama dengan satu. Nilai PCR di Desa Sigedang yakni 0,97 lebih kecil dibandingkan dengan nilai PCR di Desa Dieng yakni 1,00, ini menunjukkan bahwa pengusahaan kentang di Desa Sigedang lebih efisien dan memiliki keunggulan kompetitif. Namun nilai PCR di kedua desa yang mendekati satu dan bernilai satu menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan relatif tidak efisien. Hal ini

disebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk usahatani kentang, terutama dalam biaya pupuk, peralatan, dan tenaga kerja. 6.3 Analisis Keunggulan Komparatif Analisis keunggulan komparatif digunakan untuk mengukur kelayakan secara ekonomi yakni menilai aktivitas ekonomi masyarakat secara menyeluruh tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut. Analisis keunggulan komparatif dapat dilihat menggunakan nilai Keuntungan Sosial (KS) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) yang merupakan indikator dayasaing tanpa bantuan pemerintah. Perbedaan analisis Keuntungan Sosial (KS) dengan Keuntungan Privat (KP) yakni komponen input dan output dalam Keuntungan Sosial (KS) dinilai menggunakan harga bayangan. Tabel 19 menunjukkan besarnya nilai Keuntungan Sosial (KS) dan Rasio Biaya Sumberdaya (DRC) di kedua sistem usahatani kentang. Tabel 20. Keuntungan Sosial (KS) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DCR) Komoditas Kentang di Kecamatan Kejajar No 1. 2. Uraian Desa Sigedang (Rp/hektar) Desa Dieng (Rp/hektar) Berdasarkan Tabel 20, nilai Keuntungan Sosial DRC 12.285.110,56 3.839.547,17 0,76 0,84 keuntungan sosial menggambarkan keuntungan yang diperoleh jika terjadi pasar persaingan sempurna. Nilai keuntungan sosial (KS) di Desa Sigedang dan Desa Dieng masing-masing sebesar Rp 12.285.110,56 per hektar dan Rp 3.839.547,17 per hektar. Nilai KS yang positif atau lebih dari nol tersebut menunjukkan bahwa pengusahaan kentang di lokasi penelitian menguntungkan secara ekonomi tanpa adanya campur tangan dari kebijakan pemerintah. Perbedaan nilai KS di kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, disebabkan karena adanya perbedaan biaya yang dikeluarkan masing-masing petani di lokasi penelitian, terutama biaya penggunaan pupuk, obat-obatan dan penggunaan tenaga kerja (besarnya penerimaan dan pengeluaran setiap desa dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 10).

Nilai KS di Desa Sigedang lebih besar daripada Desa Dieng, dikarenakan produksi usahatani kentang yang berbeda. Perbedaan ini dikarenakan besarnya bibit kentang yang ditanam petani berbeda di kedua lokasi sehingga mempengaruhi hasil yang diterima petani ketika panen. Disisi lain harga sosial kentang berpengaruh terhadap besarnya keuntungan sosial yang diperoleh karena harga sosial kentang lebih besar daripada harga privatnya, sehingga keuntungan sosial yang diperoleh lebih besar. Berdasarkan infomasi yang telah disampaikan bahwa nilai keuntungan privat (KP) usahatani kentang di lokasi penelitian nilainya lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai keuntungan sosial (KS). Hal ini disebabkan karena harga sosial kentang lebih tinggi daripada harga privatnya. Artinya, kebijakan pemerintah yang ditetapkan pemerintah saat ini seperti kebijakan tarif impor belum mampu meningkatkan keuntungan pengusahaan kentang. Selain dari Keuntungan Sosial (KS), keunggulan komparatif kentang juga dapat diketahui dari Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DCR). Rasio Biaya Sumberdaya Domestik merupakan rasio antara biaya non tradable atau faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dikurangi biaya tradable pada harga bayangan atau harga sosial. Nilai DRC yang diperoleh dari pengusahaan kentang di Desa Sigedang sebesar 0,76 dan di Desa Dieng sebesar 0,84. Nilai DRC yang masing-masing kurang dari satu menunjukkan bahwa pengusahaan kentang di lokasi penelitian efisien secara ekonomi dan mempunyai keunggulan komparatif tanpa ada bantuan atau intervensi pemerintah. Nilai DRC di Desa Sigedang sebesar 0,76 lebih kecil daripada nilai DRC di Desa Dieng yakni sebesar 0,84. Nilai sebesar 0,76 menjelaskan bahwa untuk memproduksi atau menambah nilai tambah output sebesar satu satuan di Desa Sigedang dibutuhkan tambahan sumberdaya domestik sebesar 0,76. Sedangkan nilai 0,84 di Desa Dieng meskipun efisien karena nilainya kurang dari nol, namun bila dibandingkan keunggulan komparatif yang dimiliki tidak sebesar Desa Sigedang. Dengan kata lain, biaya produksi yang dikeluarkan petani di Desa Dieng lebih besar dibandingkan dengan Desa Sigedang. Nilai DRC yang kurang dari satu menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan domestik akan komoditas kentang mengindikasikan lebih baik

diproduksi di dalam negeri daripada harus mengimpor kentang. Namun kenyataan yang terjadi impor kentang terus meningkat setiap tahunnya. Dengan demikian diperlukan keseriusan pemerintah dan pihak terkait agar kentang lokal dapat mensubtitusi kentang impor, seperti peningkatan produksi kentang dan kebijakan pemerintah yang mendukung pengusahaan kentang. Nilai DRC yang lebih kecil dari nilai PCR memiliki arti bahwa tidak terdapat kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi petani dalam memproduksi kentang. Beberapa hal yang menjadi penyebab diantaranya kebijakan subsidi pupuk yang merugikan petani karena harga pupuk yang beredar di pasar lebih tinggi daripada harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu adanya kebijakan melalui peraturan menteri keuangan No.241/PMK.011/2010 tentang kenaikan pajak impor sebesar lima persen atas bahan baku produksi pertanian seperti pupuk, bibit, dan obat-obatan menyebabkan biaya produksi yang harus dikeluarkan petani menjadi lebih tinggi. Dilihat dari perbedaan antara keuntungan privat dan keuntungan sosial dan nilai DRC yang lebih kecil daripada nilai PCR yang diperoleh petani di kedua sistem usahatani dapat disimpulkan bahwa keuntungan privat yang diperoleh lebih rendah dari keuntungan sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa harga input yang dibayarkan petani lebih tinggi atau harga output yang diterima oleh petani lebih rendah dari harga sosial. Artinya adanya pengaruh pemerintah atau distorsi pasar yang tidak memberikan insentif yang baik bagi petani kentang sehingga keuntungan privat yang diperoleh lebih rendah daripada keuntungan sosialnya terhadap input produksi dan distorsi pada pasar output. Adanya distorsi pasar dapat dilihat kebijakan penurunan tarif impor menjadi nol persen yang menyebabkan konsumen yang cenderung membeli kentang impor karena harganya lebih murah, selain itu dampak yang muncul yakni harga kentang akan turun karena untuk dapat bersaing produsen harus menurunkan harga kentang. 6.4 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah 6.4.1 Dampak Kebijakan Output Kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Transfer Output (TO) merupakan selisih antara penerimaan pada harga privat dengan harga sosial.

Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya intensif masyarakat terhadap produsen. Sedangkan Koefisien Output Nominal (NPCO) digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya berbedaan nilai output berdasarkan harga privat dan harga sosial. Bentuk distorsi pemerintah tersebut dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor/impor. Nilai Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) usahatani kentang di Kecamatan Kejajar dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Nilai Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) NO 1. 2. Uraian Desa Sigedang (Rp/hektar) Desa Dieng (Rp/hektar) Transfer Output (15.224.615,49) (5.646.337,25) NPCO 0,72 0,77 Berdasarkan Tabel 21, nilai transfer output (TO) yang negatif menunjukkan adanya dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat output kentang lebih rendah daripada harga sosialnya. Hal ini berarti bahwa konsumen atau masyarakat dapat membeli produk kentang dengan harga yang lebih murah dari harga sebenarnya. Berdasarkan nilai TO, kerugian terbesar dialami petani di Desa Sigedang yakni sebesar Rp 15.224.615,49 per hektar daripada kerugian yang dialami petani di Desa Dieng sebesar Rp 5.646.337,25 per hektar. Hal ini terjadi karena harga sosial kentang yang dihitung berdasarkan harga di pasar internasional lebih tinggi daripada harga kentang lokal. Disisi lain rendahnya harga kentang lokal membuat kentang lokal dapat bersaing dengan kentang impor, namun efeknya pendapatan dan keuntungan yang diperoleh petani akan berkurang. Nilai koefisien proteksi output nominal (NPCO) menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah yang mempengaruhi besarnya Transfer Output. NPCO adalah rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO<1), menunjukkan bahwa harga domestik lebih rendah dari harga dunia.

Berdasarkan Tabel 21, nilai NPCO kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, masing-masing lebih kecil dari satu, yakni 0,71 dan 0,77. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan yang menyebabkan harga privat kentang lebih rendah daripada harga sosialnya. Nilai NPCO yang bernilai kurang dari satu juga menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk petani kentang belum berjalan efektif sehingga terjadi pegurangan penerimaan petani. Pada lokasi penelitian, baik Desa Sigedang maupun Desa Dieng tidak ada kebijakan output yang diberlakukan pemerintah terhadap komoditas kentang. Hal ini dikarenakan komoditas kentang bukanlah komoditas pangan utama seperti beras. Rendahnya harga jual kentang yang diterima petani daripada harga bayangannya disebabkan karena petani menjual hasil panennya secara individual sehinggi tidak memiliki kekuatan tawar (bergaining position) dalam menntukan harga, sehingga penetapan harga jual kentang berdasarkan harga yang ditetapkan oleh tengkulak atau pembeli besar yang datang ke lokasi penelitian. 6.4.2 Dampak Kebijakan Input Interpretasi dampak kebijakan input adalah sama seperti dampak kebijakan kebijakan output karena keduanya didasarkan pada perbandingan antara harga privat dan harga sosial. Kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat dari nilai Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). Tabel 22. Nilai Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) NO 1. 2. Uraian Desa Sigedang Desa Dieng Transfer Input (Rp/hektar) (107.484,37) (37.551,64) NPCI TF (Rp/hektar) 0,96 0,97 (4.106.400,11) (1.719.982,32) Nilai transfer input (TI) merupakan selisih biaya input tradable dengan biaya bayangannya. Nilai TI yang positif menunjukkan adanya kebijakan pemerintah berupa pajak atau subsidi yang akan mengurangi tingkat keuntungan petani atau dengan kata lain produsen tidak mendapat insentif. Sebaliknya nilai TI yang negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada harga input sehingga

menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat harga privat menjadi lebih rendah daripada tingkat harga sosialnya. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kebijakan subsidi akan menguntungkan produsen atau petani kentang. Berdasarkan Tabel 22, nilai TI masing-masing di kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, sebesar Rp 107.484,37 per hektar dan Rp 37.551,64 per hektar. Hasil TI yang negatif mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi untuk mengurangi biaya input tradable menyebabkan petani kentang menerima harga yang lebih rendah daripada harga sosial. Seperti kebijakan penetapan harga eceran tertinggi untuk pupuk Urea dan non Urea. Koefisien proteksi input nominal (NPCI) merupakan rasio yang mengukur transfer input tradable yang menunjukkan besarnya harga privat dari input tradable dengan harga sosial nput tradable. Nilai NPCI juga menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable bila dibandingkan tanpa ada kebijakan. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI>1) menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input tradable. Dengan kata lain menunjukkan bahwa biaya input tersebut lebih mahal daripada biaya input pada tingkat dunia, sehingga menyebabkan sektor yang menggunakan input tersebut dibebani pajak dan akan meningkatkan biaya produksi. Sebaliknya, bila nilai NPCI kurang dari satu (NPCI<1) menunjukkan adanya subsidi atas input tersebut yang menyebabkan harga input tradable lebih rendah dari harga dunia. Nilai NPCI yang diperoleh kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, masing-masing sebesar 0,96 dan 0,97. Nilai NPCI yang bernilai kurang dari satu mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan atas input tradable yang menyebabkan harga privat lebih rendah daripada harga sosialnya. Meskipun nilai NPCI bernilai kurang dari satu, namun nilai NPCI relatif mendekati satu. Hal ini mengindikasikan adanya penyimpangan dalam kebijakan subsidi tersebut dimana harga input tradable yang dipasarkan lebih mahal dari harga subsidi yang telah ditetapkan. Seperti subsidi pupuk, dilapangan harga pupuk bersubsidi yang dijual lebih mahal dari harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi yang ditetapkan pemerintah.

Selain input tradable, petani kentang juga menggunakan input non tradable (faktor domestik) seperti peralatan, biaya modal, lahan, dan input domestik lainnya. Nilai transfer faktor (TF) menunjukkan besarnya intervensi pemerintah terhadap input non tradable. Tabel 22 menunjukkan bahwa nilai TF pada pengusahaan kentang di Desa Sigedang dan Desa Dieng bernilai negatif. Nilai ini menunjukkan bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan pemerintah pada tingkat harga privat lebih rendah daripada biaya input non tradable yang dikeluarkan pada tingkat harga ekonomi atau sosial. Artinya, ada implisit subsidi atau transfer dari produsen faktor domestik kepada petani sehingga petani menerima harga input faktor domestik lebih rendah dari harga sosialnya. Salah satu penyebab perbedaan biaya faktor domestik privat dengan biaya faktor domestik sosial yakni modal kerja. Modal kerja faktor domestik menggunakan tingkat suku bunga deposito lembaga keuangan dilokasi penelitian sebesar enam persen, namun asumsi yang digunakan dalam penentuan modal kerja sosial pada faktor domestik melalui arbitary rule of thumb (pendekatan kirakira), yaitu pengalaman peneliti lain untuk negara berkembang dengan tahap pembangunan yang sama dengan Indonesia. Didasarkan pada pendekatan bahwa tingkat bunga sosial untuk modal kerja sekitar 15 persen per tahun ditambah dengan tingkat inflasi. Dengan tingkat inflasi Indonesia pada tahun 2011 sebesar 3,8 persen18), diperoleh besarnya modal kerja sosial faktor produksi sebesar 18,80 persen. Perbedaan modal kerja privat dan sosial ini akan menyebabkan perbedaan biaya faktor domestik yang akan dikeluarkan. 6.4.3 Dampak Kebijakan Input-Ouput Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-ouput merupakan gabungan dari kebijakan input dan kebijakan output. Dampak kebijakan input-output dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Tebel 23 menyajikan nilai-nilai dari Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih 18 Bank Indonesia (www.bi.go.id)

(TB), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) di Kecamatan Kejajar. Tabel 23. Nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) Uraian Desa Sigedang Desa Dieng NT (Rp/hektar) (11.010.732,01) (3.888.803,28) EPC 0,71 0,76 PC 0,10-0,01 SRP -0,20-0,16 Nilai Koefisien Protektif Efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi suatu komoditas di dalam negeri. Berdasarkan Tabel 23, nilai EPC disetiap desa masing-masing bernilai kurang dari satu, yakni Desa Sigedang sebesar 0,71 dan Desa Dieng sebesar 0,76. Nilai EPC kurang dari satu menunjukkan bahwa tidak adanya perlindungan atau proteksi pemerintah terhadap petani. Hal ini menyebabkan petani tidak memiliki nilai tambah untuk produknya dan harga privat cenderung lebih kecil daripada harga sosialnya. Transfer bersih (NT) menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap petani apakah merugikan atau menguntungkan. Transfer bersih ditujukkan dengan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial atau selisih antara transfer output dengan transfer input. Nilai NT di kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng bernilai negatif, yakni Rp 11.010.732,01 per hektar dan Rp 3.888.803,28 per hektar. Artinya, ada surplus produsen atau keuntungan petani yang hilang sebesar nilai transfer besih, yakni Rp 11.010.732,01 per hektar untuk Desa Sigedang dan Rp 3.888.803,28 per hektar untuk Desa Dieng. Koefisien Keuntungan (PC) adalah perbandingan keuntungan bersih privat dengan keuntungan sosial. Nilai PC yang diperoleh kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, dari analisis PAM masing-masing adalah sebesar 0,1 dan -0,01. Artinya nilai 0,1 menunjukkan bahwa petani tidak mengalami kerugian yang besar, namun keuntungan yang diterima petani lebih rendah dari seharusnya. Sedangkan nilai PC sebesar -0,01, berarti bahwa petani mengalami kerugian, sehingga secara keseluruhan kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif

kepada petani dan membuat keuntungan yang diterima produsen lebih rendah dibandingkan dengan tanpa ada kebijakan. Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Berdasarkan Tabel 23, nilai SRP di kedua desa bernilai negatif yakni sebesar 0,20 (Desa Sigedang) dan 0,16 (Desa Dieng). Nilai ini secara umum berarti kebijakan pemerintah terhadap input dan output merugikan petani, karena petani diharuskan membayar lebih tinggi dari biaya imbangannya (opportunity cost) untuk berproduksi sebesar 20 persen untuk Desa Sigedang dan 16 persen untuk Desa Dieng. Secara keseluruhan kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini belum menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan dayasaing kentang di Kabupaten Wonosobo. 6.5 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas diperlukan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang kemungkinan terjadi dalam sistem ekonomi. Hal ini perlu dilakukan mengingat analisis PAM merupakan analisis yang statis, yakni hanya memberlakukan satu tingkat harga berlaku pada tahun bersangkutan. Dalam penelitian ini terdapat empat perubahan variabel, yakni perubahan nilai mata uang, perubahan harga output, perubahan harga pestisida, dan perubahan harga pupuk. Hasil lengkap PAM berdasarkan analisis sensitivitas dapat dilihat pada Tabel 24 dan Lampiran 12.

Tabel 24. Perubahan Nilai Keuntungan dan Indikator Dayasaing Berdasarkan Analisis Sensitivitas di Kecamatan Kejajar. Perubahan Desa Sigedang Normal Depresiasi mata uang 5,2 persen Apresiasi mata uang 5,2 persen Harga kentang naik 15 persen Harga kentang turun 15 persen Harga pestisida naik (10 persen pestisida padat dan 15 persen pestisida cair) Harga perstisida turun (10 persen pestisida padat dan 15 persen pestisida cair) Harga pupuk naik (10 persen urea, 30 persen non urea) Desa Dieng Normal Depresiasi mata uang 5,2 persen Apresiasi mata uang 5,2 persen Harga kentang naik 15 persen Harga kentang turun 15 persen Harga pestisida naik(10 persen pestisida padat dan 15 persen pestisida cair) Harga perstisida turun (10 persen pestisida padat dan 15 persen pestisida cair) Harga pupuk naik (10 persen urea, 30 persen non urea) 1) Indikator PCR KP (Rp/hektar) DRC 1.274.378,55 0,965 12.285.110,56 0,762 1.274.378,55 0,965 15.269.179,76 0,721 1.274.378,55 7.090.086,63 (4.541.329,52) 0,965 0,832 1,148 9.301.096,27 12.285.110,56 12.285.110,56 0,808 0,762 0,762 1.010.780,48 0,972 11.989.681,78 0,766 1.537.976,63 0,958 12.580.539,35 0,757 746.650,09 0,980 12.285.110,56 0,762 (49.256,11) 1,003 3.839.547,17 0,839 (49.256,11) 1,003 5.247.059,56 0,793 (49.256,11) 2.852.069,69 (2.950.581,92) 1,00 0,865 1,193 2.432.060,67 3.839.547,17 3.839.547,17 0,840 0,839 0,839 (171.388,29) 1,009 3.702.666,95 0,844 72.876,06 0,996 3.976.427,38 0,834 (109.472,95) 1,006 3.839.547,17 0,839 KP (Rp/hektar) Perubahan Nilai Mata Uang Perubahan nilai mata uang didasarkan pada perkembangan nilai mata uang rupiah terhadap dollar pada tahun 2011 sebesar 5,2 persen, cateris paribus. Perubahan nilai mata uang hanya berpengaruh terhadap harga sosial kentang dan harga sosial pupuk. Apabila nilai mata uang turun (terapresiasi) maka terjadi penurunan keunggulan komparatif. Artinya, terjadi penurunan penerimaan yang seharusnya diterima petani dikarenakan turunnya harga kentang sosial meskipun disaat bersamaan terjadi penurunan biaya input tradable sosial. Terapresiasinya nilai mata uang tidak berpengaruh terhadap keuntungan privat usahatani kentang. Berdasarkan Tabel 24, besarnya keuntungan sosial yang dimiliki Desa Sigedang

mengalami penurunan sebesar diantara Rp 9.301.096,27 per hektar - Rp 12.285.110,56 per hektar. Sedangkan Desa Dieng mengalami penurunan sebesar Rp 2.432.060,67 per hektar Rp 3.839.547,17 per hektar. Dengan demikian, terapresiasinya nilai mata uang tidak mempengaruhi keunggulan kompetitif, namun menurunkan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua desa. Sebaliknya, keunggulan komparatif akan meningkat jika mata uang terdepresiasi. Keuntungan sosial yang dimiliki kedua desa, Desa Sigedang dan Desa Dieng, masing-masing meningkat menjadi Rp 15.269.179,76 per hektar dan Rp 5.247.059,56 per hektar. Artinya, terjadi peningkatan penerimaan petani secara ekonomi dikarenakan harga kentang meningkat. Perubahan nilai keuntungan dan indikator dayasaing berdasarkan analisis sensitivitas pada usahatani kentang dapat dilihat pada Tabel 24. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, pada Tabel 24 nilai DRC dikedua desa mengalami peningkatan jika nilai mata uang terapresiasi, yakni 0,808 untuk Desa Sigedang dan 0,840 untuk Desa Dieng. Artinya, untuk menambah nilai tambah output sebesar satu satuan dibutuhkan tambahan sumberdaya domestik sebesar 0,808 (Desa Sigedang) dan 0,840 (Desa Dieng). Sebaliknya, nilai DRC akan semakin kecil apabila mata uang terdepresiasi, yakni 0,721 untuk Desa Sigedang dan 0,793 untuk Desa Dieng. Dengan kata lain, tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya domestik meningkat apabila mata uang terdepresiasi. 2) Perubahan Harga Output Kentang tergolong salah satu tanaman musiman, sehingga harga jual di pasar juga sering berfluktuatif. Untuk mengetahui kepekaan perubahan keuntungan privat dan sosial, nilai output kentang akan ditingkatkan dan diturunkan sebesar 15 persen, cateris paribus. Berdasarkan Tabel 24 peningkatan harga kentang akan meningkatkan keuntungan privat yang diterima oleh petani dikedua desa, yakni sebesar Rp 7.090.086,63 per hektar (Desa Sigedang) dan Rp 2.852.069,69 per hektar (Desa Dieng). Artinya, terjadi peningkatan harga jual kentang yang meningkatkan keuntungan petani secara finansial. Sebaliknya jika terjadi penurunan harga kentang maka keuntungan privat yang diterima petani akan menurun atau bernilai negatif. Nilai KP untuk Desa Sigedang menjadi

sebesar Rp 4.541.329,52 per hektar dan untuk Desa Dieng sebesar Rp 2.950.581,92 per hektar. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, kenaikan harga kentang akan meningkatkan keunggulan kompetitif usahatani kentang di kedua desa. Hal ini terlihat dari nilai PCR yang diperoleh kedua desa menjadi lebih kecil, yakni 0,832 untuk Desa Sigedang dan 0,865 untuk Desa Dieng. Artinya penggunaan sumberdaya domestik menjadi lebih sedikit (efisien) untuk menambah nilai tambah output sebesar satu satuan. Sebaliknya penurunan harga kentang menyebabkan usahatani di kedua desa tidak memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini tercermin dari nilai PCR yang lebih besar dari satu, yakni 1,148 (Desa Sigedang) dan 1,193 (Desa Dieng). Artinya penggunaan faktor sumberdaya menjadi tidak efektif sehingga petani harus mengeluarkan biaya produksi lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh. 3) Perubahan Harga Pestisida Analisis sensitivitas yang ketiga adalah melihat kepekaan perubahan Keuntungan Privat (KP) dan Keuntungan Sosial (KS) usahatani kentang dengan melakukan perubahan terhadap harga pestisida. Perubahan harga pestisida sebesar 15 persen untuk jenis pestisida cair dan 10 persen untuk jenis pestisida padat, cateris paribus. Perubahan harga pestisida menunjukkan adanya perubahan terhadap keuntungan privat (KP) dan keuntungan sosial (KS) dari pengusahaan kentang di kedua desa. Kenaikan harga pestisida pada pengusahaan kentang di kedua desa menyebabkan keuntungan privat dan keuntungan sosial yang diperoleh menurun. Nilai KP yang diperoleh di Desa Sigedang menjadi sebesar Rp 1.010.780,48 per hektar, namun di Desa Dieng nilai KP bernilai negatif, yakni sebesar Rp 171.388,29 per hektar. Hal ini berarti jika ada kenaikan harga pestisida akan menurunkan keunggulan kompetitif usahatani kentang di kedua desa karena biaya produksi yang dikeluarkan petani menjadi lebih besar daripada penerimaan yang diterima petani. Hal ini terlihat dari nilai PCR yang dimiliki kedua desa menjadi lebih besar, yakni 0,972 untuk Desa Sigedang dan 1,009 untuk Desa Dieng. Artinya dibutuhkan tambahan biaya faktor sumberdaya domestik yang lebih besar untuk meningkatkan nilai tambah output.

Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada keuntungan sosial, dimana nilai KS yang dimiliki kedua desa juga mengalami penurunan, yakni Rp 11.989.681,78 per hektar (Desa Sigedang) dan Rp 3.702.666,95 per hektar (Desa Dieng). Hal ini berarti terjadi penambahan pengeluaran biaya produksi pada tingkat harga sosial dan penurunan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua desa. Hal ini tercermin dari nilai DRC sebesar 0,766 untuk Desa Sigedang dan 0,844 untuk Desa Dieng. Sebaliknya, jika harga kentang mengalami penurunan maka keuntungan privat dan keuntungan sosial yang diperoleh akan bertambah. Nilai KP di Desa Sigedang sebesar Rp 1.537.976,63 per hektar dan Desa Dieng sebesar Rp 72.876,06 per hektar. Hal ini berarti penerimaan yang diperoleh petani meningkat karena biaya produksi yang dikeluarkan petani menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, keunggulan kompetitif yang dimiliki kedua usahatani kentang mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari nilai PCR yang dimiliki kedua desa, yakni 0,958 untuk Desa Sigedang dan 0,996 untuk Desa Dieng. Nilai keuntungan sosial berdasarkan hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai KS jika terjadi penurunan harga pestisida, yakni Rp 12.580.539,35 per hektar dan Rp 3.976.427,38 per hektar. Hal ini dikarenakan biaya input yang dikeluarkan petani menjadi lebih rendah dari penerimaan yang diperoleh, sehingga meningkatkan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua desa. Hal ini didukung nilai DRC yang menurun menjadi 0,762 (Desa Sigedang) dan 0,834 (Desa Dieng). (Nilai keuntungan privat dan sosial, serta indikator dayasaing dapat dilihat pada Tabel 24). 4) Perubahan Harga Pupuk Kenaikan harga pupuk didasarkan pada peraturan menteri pertanian No 32/2010 bahwa kenaikan harga eceran tertinggi untuk pupuk Urea sebesar 10 persen, dan pupuk non-urea rata-rata sebesar 30 persen, cateris paribus. Kenaikan harga pupuk hanya akan menyebabkan perubahan nilai pada Keuntungan Privat. Peningkatan harga pupuk menyebabkan nilai keuntungan privat menurun di kedua desa. Nilai KP di Desa Sigedang sebesar Rp 746.650,09 per hektar, sedangkan nilai KP di Desa Dieng bernilai negatif, yakni Rp 109.472,95 per hektar. Hal ini berarti biaya input yang dikeluarkan petani akan

bertambah tanpa diimbangi dengan kenaikan harga output yang menyebabkan penerimaan petani berkurang bahkan mengalami kerugian. Hal ini didukung dengan nilai PCR di kedua desa yang menigkat menjadi 0,980 untuk Desa Sigedang dan 1,006 untuk Desa Dieng. Dengan kata lain kenaikan harga pupuk hanya akan membuat keunggulan kompetitif kedua usahatani akan berkurang.