BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan kota dari tahun ke tahun turut memengaruhi suhu perkotaan. Laporan United Nation tahun 2005 menyebutkan bahwa lebih dari setengah populasi dunia tinggal di kota, meningkat 30% dibandingkan 50 tahun yang lalu. Pertumbuhan tingkat kepadatan kota ini membawa konsekuensi perubahan lahanlahan alami kota menjadi lahan terbangun dan infrastruktur serta kenaikan konsumsi energi. Hal tersebut berdampak pada peningkatan simpanan panas kota dan perubahan signifikan suhu kota atau fenomena Urban Heat Island (Luber dan McGeehin, 2008). Urban heat island (UHI) adalah fenomena suhu perkotaan lebih tinggi dibandingkan wilayah non-perkotaan di sekitarnya. Fenomena ini terjadi akibat kontribusi beberapa faktor, antara lain berkurangnya kelembaban udara akibat minimnya vegetasi dan tanah terbuka, serta bertambahnya sumber panas akibat pembakaran energi, seperti kemacetan. Akibat berkurangnya jumlah lahan-lahan alami di kota, menurut Neiburger, dkk. (1982), maka transpirasi air dari tanah dan tumbuhan tidak terjadi. Tidak adanya kedua proses ini meningkatkan suhu kota karena jumlah energi surya yang ada lebih besar. Kapasitas panas dari lahan terbangun tersimpan ketika siang hari dan secara gradual terlepas ketika malam, dan menyebabkan peningkatan suhu malam hari di perkotaan dibandingkan wilayah non-perkotaan. Fenomena UHI ini merupakan tantangan yang dihadapi banyak kota besar saat ini mengingat kota semakin padat dari tahun ke tahun. Salah satu gejala UHI, yakni kenaikan suhu udara, dapat menimbulkan persoalan kesehatan, bahkan kematian. Luber dalam Reid (2009) menjelaskan bahwa paparan panas ekstrim dapat mempengaruhi kemampuan thermoregulate manusia, yaitu mekanisme makhluk hidup untuk mempertahankan suhu internal 1
agar berada dalam kisaran yang dapat ditolerir, yang berdampak pada tekanan psikologis (physiologic heat stress) hingga terkadang berujung kematian. Studi yang telah dilakukan di Amerika Serikat 1999 menyebutkan keterkaitan antara berlangsungnya suhu tinggi di suatu periode dengan terjadinya peningkatan kematian yang disebabkan oleh panas (heat-related mortality). Fenomena UHI juga terjadi di Kota Yogyakarta. Wicahyani (2013) meneliti adanya UHI di Kota Yogyakarta. Terjadi peningkatan suhu sebesar 5-10 o C dengan pusat panas di kota dan meluas hingga Kecamatan Depok, Sleman. Peningkatan suhu ini terjadi di Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir. Suhu kota meningkat dari rata-rata temperatur bulanan dalam waktu lima tahun terakhir (Bappeda Kota Yogyakarta dalam Brontowiyono, 2011). Sampai saat ini belum banyak penelitian yang mengkaji dampak kenaikan suhu kota tersebut terhadap kondisi kesehatan maupun psikologis warga kota. Kecenderungan kenaikan suhu kota yang terjadi di Yogyakarta ini patut diantisipasi sebab berpotensi meningkat menjadi panas yang ekstrim dalam beberapa tahun ke depan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mengukur tingkat kerentanan terhadap panas (heat vulnerability). Pengukuran tingkat kerentanan terhadap panas perlu dilakukan pada wilayah permukiman kota dengan kepadatan yang tinggi. Kepadatan di kota terjadi akibat penambahan jumlah penduduk dan urbanisasi. Terdapat konsentrasi kepadatan tinggi pada kawasan tertentu di kota. Salah satu karakteristik kepadatan yang tinggi adalah tingginya lahan terbangun dan jumlah penduduk di kawasan tersebut. Gartland (2008) menyatakan bahwa wilayah dengan vegetasi yang minim dan luasan lahan terbangun yang tinggi memiliki kecenderungan suhu yang lebih panas. Perencana kota mempunyai peran sentral dalam menangani fenomena peningkatan suhu kota ini. Disebutkan oleh Hidalgo, dkk. dalam Viegas, dkk. (2013) bahwa terdapat interaksi antara elemen kota dengan atmosfir dalam skala besar hingga skala kecil. Dalam skala kota dan kawasan, rencana penataan ruang 2
pada umumnya tidak memasukkan aspek-aspek iklim sebagai pertimbangan. Pembangunan kota yang berjalan seharusnya dapat mengakomodasi strategi mitigasi urban heat island. Oleh karena itu, perencana kota memerlukan informasi kuantitatif sebagai upaya mitigasi kondisi panas tersebut di masa mendatang. Senada dengan hal tersebut, Rinner, dkk. (2010) mengatakan bahwa penilaian kerentanan terhadap panas sangat bermanfaat untuk menyusun rencana adaptasi dan mitigasi bagi masyarakat yang memiliki kerentanan paling tinggi. Kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan berkepadatan tinggi pada umumnya mempunyai kerentanan yang tinggi pula terhadap paparan panas kota. Kecamatan Ngampilan merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi di Kota Yogyakarta. Permukiman padat umumnya memiliki karakteristik keterbatasan ruang terbuka sehingga sangat berpotensi memiliki suhu udara yang tinggi serta kerentanan terhadap panas yang tinggi pula. Penelitian ini akan mengidentifikasi identifikasi bagaimana tingkat kerentanan terhadap panas di Kecamatan Ngampilan serta variabel yang paling memengaruhi kerentanan terhadap panas tersebut. Selain itu, akan dijelaskan pula bagaimana perilaku masyarakat dalam memgatasi peningkatan suhu kota. Hasil temuan penelitian akan dijadikan dasar rekomendasi intervensi spasial serta peraturan yang bertujuan untuk menurunkan panas kota. 1.2. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat kerentanan terhadap panas pada kawasam berkepadatan tinggi di Kecamatan Ngampilan? 2. Apakah variabel apakah yang paling berpengaruh signifikan pada kerentanan terhadap panas? 3. Bagaimana perilaku warga dalam mengatasi peningkatan suhu kota? 3
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengidentifikasi tingkat kerentanan terhadap panas pada kawasan berkepadatan tinggi di Kecamatan Ngampilan. 2. Untuk mengidentifikasi variabel yang paling berpengaruh signifikan pada kerentanan terhadap panas. 3. Untuk mengidentifikasi perilaku warga dalam mengatasi peningkatan suhu kota. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini tidak hanya ditujukan bagi peneliti, tetapi juga bagi pihak-pihak yang terkait langsung dengan kebencanaan dan penanganan perubahan iklim kota. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan wawasan mengenai aspek spasial dan non-spasial yang melingkupi topik kerentanan terhadap panas, bagi perencana kota, maupun pihak-pihak yang terlibat dalam kebencanaan dan perubahan iklim. 2. Memberikan rekomendasi intervensi spasial yang tepat untuk menurunkan panas kota berdasarkan temuan penelitian, bagi perencana kota maupun pemerintah yang akan menyusun rencana kota. 1.5. Batasan Penelitian Batasan dan lingkup penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Fokus Fokus penelitian ini adalah tingkat kerentanan terhadap panas (heat vulnerability) 2. Lokasi Lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta. 4
1.6. Keaslian Penelitian Secara garis besar, riset terkait kerentanan terhadap panas pada suatu kawasan berkepadatan tinggi di Indonesia belum banyak dilakukan. Riset terkait topik ini banyak dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, negara benua Eropa, dan Australia. Negara-negara tersebut mengalami kejadian panas ekstrim (extreme heat event) sehingga memiliki kesadaran preventif untuk melakukan riset kerentanan terhadap panas secara mendalam. Dari catatan sejarah, Indonesia belum pernah mengalami kejadian panas ekstrim yang menimbulkan ketidaknyamanan secara masif. Penelitian yang sudah pernah dilakukan berkenaan dengan kerentanan terhap panas adalah sebagai berikut. Penelitian oleh Harlan, dkk. (2006) berfokus pada perbedaan dampak kesehatan yang berkaitan dengan panas dalam satu kota. Harlan mengkaji hubungan antara iklim mikro di suatu lingkungan (neighborhood) kota, karakteristik masyarakat, suhu lingkungan, dan sumberdaya yang dapat digunakan masyarakat untuk mengatasi persoalan iklim. Hasil akhir penelitian ini adalah kelompok masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi rendah cenderung tinggal di lingkungan yang lebih panas dengan potensi terkena heat stress. Penelitian terkait hubungan antara manusia dan ruang dalam konteks urban heat stress juga pernah dilakukan oleh Wilhelmi dan Hayden (2010). Fokus penelitian adalah menyusun suatu kerangka yang menggambarkan kerentanan soaial berdasarkan gabungan data kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini menghasilkan suatu kerangka yang mencakup beragam aspek, top-down, dan bottom up untuk menganalisis kerentanan terhadap panas ekstrim dalam level lokal. Wolf dan McGregor (2013) mengembangkan indeks kerentanan panas (heat vulnerability index) untuk kota London, Inggris, guna mengatasi permasalahan kesehatan yang berkaitan dengan panas serta memberikan informasi yang diperlukan untuk wilayah kota yang beragam dan rentan dalam menghadapi paparan gelombang panas. Pendekatan yang digunakan adalah induktif, yakni 5
merumuskan indikator berdasarkan hasil sensus lapangan lalu dirangkum menjadi angka indeks kerentanan panas. Identifikasi spasial populasi yang rentan terhadap panas dilakukan oleh Rinner, dkk. (2010) dengan lokasi penelitian adalah kota Toronto, Kanada. Fokus penelitian adalah menggambarkan kerentanan panas secara spasial melalui peta yang merepresentasikan paparan (exposure), indikator sensitivitas (sensitivity), indeks komposit kerentanan, dan titik panas secara geografis. Penelitian yang bertujuan memberi gambaran sebaran spasial kerentanan panas juga dilakukan oleh Reid, dkk. (2009). Bagian pusat kota terbukti memiliki kerentanan tinggi. Sedikit berbeda dari penelitian Rinner hasil akhir penelitian ini menunjukkan pula empat dari sepuluh variabel yang cukup dominan mempengaruhi kerentanan panan. Empat variabel tersebut adalah kerentanan sosial dan lingkungan (kombinasi dari pendidikan, kemiskinan, ras, ruang hijau); isolasi sosial; ketersediaan AC; serta proporsi lansia dan pengidap diabetes. Penelitian kenyamanan termal oleh Kusumawanto (2005) berlokasi di Koridor Malioboro, Yogyakarta. Penelitian ini menguji kemampuan pengendalian akristektural terhadap pengkondisian termal kawasan urban di daerah tropis lembab, dengan menggunakan software CFD (Computational Fluid Dynamics). Penelitian serupa dilakukan oleh Rahtama (2013) bertujuan untuk mengidentifikasi kenyamanan termal di koridor Tugu-Maliboro serta faktor yang paling memengaruhinya. Dengan menggunakan metode deduktif kualitatifkualitatif, teridentifikasi bahwa faktor paling memengaruhi kenyamanan termal adalah radiasi matahari. Berdasarkan tinjauan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai Kerentanan Terhadap Panas pada Kawasan Berkepadatan Tinggi di Perkotaan (Kasus Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta) belum pernah diteliti sebelumnya. Di bawah ini adalah tabel rangkuman penelitian-penelitian sebelumnya 6
Tabel 1.1. Tabel Keaslian Penelitian No Penulis (Tahun) Judul Metode Lokus Fokus 1 2 3 4 Harlan, dkk. (2006) Wilhelmi dan Hayden (2010) Wolf dan McGregor (2013) Rinner, dkk. (2010) 5 Reid, dkk. (2009) 6 Kusumawanto (2005) 7 Rahtama (2014) Neighborhood microclimates and vulnerability to heat stress Connecting people and place: a new framework for reducing urban vulnerability to extreme heat The development of a heat wave vulnerability index for London, United Kingdom The Role of Maps in Neighborhood-Level Heat Vulnerability Assessment for the City of Toronto Mapping Community Determinants of Heat Vulnerability Pengendalian Arsitektural Kondisi Kenyamanan Termal Ruang Luar di Kawasan Urban (Studi Kasus Koridor Kawasan Malioboro, Yogyakarta Kenyamanan Termal Koridor Tugu- Kraton, Kota Yogyakarta kuantitatif kuantitatifkualitatif Induktif kualitatif kuantitatifkualitatif kuantitatif Kuantitatif kuantitatifkualitatif Sumber: Penulis, 2014 Phoenix, Amerika Serikat Amerika Serikat Inggris Toronto, Kanada Amerika Serikat Yogyakarta Yogyakarta Meneliti ketidaksamaan jumlah kematian akibat panas dalam satu kota guna mencari hubungan antara kondisi iklim mikro dan karakter populasi Menyusun suatu kerangka yang mencakup beragam aspek, top-down, dan bottom up untuk menganalisis kerentanan terhadap panas ekstrim dalam level lokal Memberikan usulan pengembangan indeks kerentanan panas berdasarkan hasil sensus lapangan Menggambarkan kerentanan panas secara spasial melalui peta yang merepresentasikan paparan (exposure), indikator sensitivitas (sensitivity), indeks komposit kerentanan, dan titik panas secara geografis. Mengidentidikasi kerentanan terhadap panas secara spasial dan menunjukkan area yang berpotensi untuk diteliti lebih lanjut. Menguji kemampuan pengendalian akristektural terhadap pengkondisian termal kawasan urban di daerah tropis lembab. Mengidentifikasi kenyamanan termal di koridor Tugu-Maliboro serta faktor yang paling memengaruhinya 7
1.7. Sistematika Penelitian Penelitian ini ditulis dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut: 1. BAB I yaitu Pendahuluan, terdiri dari latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, keaslian penelitian, dan sistematika penulisan. 2. BAB II yaitu Tinjauan Pusataka, terdiri dari tinjauan pustaka tentang urban form, kepadatan, fenomena Urban Heat Island, dampak peningkatan suhu kota, kerentanan, serta kerangka teori. 3. BAB III yaitu Metode Penelitian, terdiri dari pendekatan penelitian, unit amatan dan unit analisis penelitian, instrumen penelitian, cara dan langkah pengumpulan data, langkah-langkah pengumpulan data, instrumen penelitian, metode analisis data, dan tahapan penelitian. 4. BAB IV yaitu Deskripsi Lokasi Penelitian, terdiri dari gambaran umum dan kondisi iklim Kota Yogyakarta, gambaran umum Kawasan Penelitian Kecamatan Ngampilan, deskripsi fisik dan kependudukan. 5. BAB V yaitu Hasil dan Pembahasan, terdiri dari hasil analisis tingkat kerentanan terhadap panas, variabel yang paling memengaruhi, dan perlilaku dalam menghadapi udara panas, diskusi temuan, perspektif perencanaan wilayah dan kota, serta rekomendasi untuk penelitian selanjutnya. 6. BAB VI yaitu Kesimpulan dan Saran, terdiri dari kesimpulan penelitian dan saran yang relevan dengan hasil penelitian. 8