BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang sangat strategis dan menguntungkan untuk pembangunan, terus mengalami perkembangan dan telah tumbuh menjadi pusat kegiatan ekonomi utama dan handal di Indonesia. Pertumbuhan kota Jakarta yang sangat pesat berdampak kepada pertumbuhan pemukiman serta lingkungan. DKI Jakarta memiliki luas lahan keseluruhan mencapai km! (Jakarta Dalam Angka, 2014). Laju pertumbuhan penduduk Jakarta pada mencapai 1.42%, tentu saja tekanan penduduk semakin bertambah kuat dan tuntutan kebutuhan akan mobilitas dan permukiman semakin tinggi. Urbanisasi yang tidak terkendali mengakibatkan tidak sedikit ruang di perkotaan, yang seharusnya merupakan RTH dijadikan kawasan perumahan elit ataupun pemukiman ilegal yang kumuh dan berjajar disepanjang bantaran sungai dan rel kereta api. Tingginya jumlah pendatang dari tahun ke tahun menyebabkan pembangunan menjadi terpusat hanya pada daerah perkotaan. Banyak fenomena masalah lingkungan muncul di ibukota yang bermuara pada masalah kurangnya ruang terbuka hijau. Menurut UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana luas RTH seharusnya minimal 30% dari luas suatu kota. Fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi (Permendagri, 2007). Luas RTH yang minim berperan dalam fenomena masalah lingkungan yang terjadi di DKI Jakarta seperti banjir besar yang melanda di awal tahun Banjir tidak hanya melumpuhkan aktivitas perkantoran tetapi juga menyebabkan kerugian secara materil yang sangat besar. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Becana per oktober 2014 biaya kerugian akibat banjir di ibukota mencapai 5 triliun rupiah. DKI Jakarta juga terkenal sebagai kota dengan kualitas udara yang buruk, dimana sumbangan pencemar tertinggi berasal dari transportasi. 1

2 Berdasarkan laporan Dinas Pelayanan Pajak 2012 dalam BPLHD (2012), jumlah kendaraan bermotor di Provinsi DKI Jakarta saat ini mencapai unit. Laju pertambahan kendaraan setiap tahunnya mencapai 10 persen sedangkan pertambahan jalan hanya sebesar 1,4 persen, hal ini akan berdampak pada kemacetan jalan yang selanjutnya akan menimbulkan emisi gas buang yang besar. Hal ini membawa pada pemahaman bahwa pertumbuhan ekonomi dan konservasi lingkungan merupakan dua hal yang saling bertentangan. Sejalan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa pembangunan ekonomi dilakukan sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Prinsip pembangunan berwawasan lingkungan tersebut seharusnya diterapkan di Jakarta sebagai kota dengan sumberdaya alam yang minim. Saat ini pemerintah sedang gencar menambah RTH khususnya hutan kota dan taman kota. Secara ekologis RTH berfungsi sebagai sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, dan sempadan sungai. Namun saat ini luas RTH di DKI Jakarta masih jauh dari standar luas RTH yang berlaku. Salah satu komponen ruang terbuka hijau yang harus dipertahankan bahkan ditingkatkan luasnya adalah hutan kota. Hutan kota memiliki beragam fungsi sebagai penyerap karbon, lahan peresapan air, tempat interaksi masyarakat, serta menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota. Hutan kota atau taman kota Tebet adalah salah satu RTH yang disahkan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pada tahun Kawasan ini merupakan suatu areal konservasi yang sengaja direncanakan dan didalamnya terdapat sungai sebagai pengendalian banjir. Kawasan hutan ini selain berfungsi untuk tujuan konservasi lingkungan juga dikembangkan sebagai tempat rekreasi masyarakat. Hutan kota Tebet dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti jalur untuk jogging dan/atau bersepeda, permainan anak-anak, active zone untuk anak maupun dewasa, taman refleksi, toilet, dan fasilitas lainnya. Fasilitas yang ada menambah nilai keindahan hutan kota selain fungsi hutan kota sendiri untuk mengontrol lingkungan, menciptakan iklim mikro yang nyaman bagi manusia dengan 2

3 mempengaruhi radiasi matahari, temperatur udara, pergerakan angin dan lainlain. Jasa-jasa lingkungan dari ekosistem hutan sering sekali diabaikan, terutama manfaat ekosistem yang tidak memiliki harga pasar. Mengingat berbagai keunikan dan manfaatnya bagi kehidupan manusia serta kerentanannya, maka pemanfaatan ekosistem hutan memerlukan adanya perencanaan yang sangat hatihati. Dalam pembangunan berkelanjutan diperlukan pemahaman akan manfaat sumberdaya alam secara menyeluruh, baik manfaat yang nyata (tangible) maupun manfaat yang tidak dapat dinyatakan secara jelas (intangible). Hutan kota memiliki manfaat tangible seperti kayu, tumbuhan obat, biomassa, rekreasi, dan sebagainya, dan manfaat intangible seperti fungsi hidrologis, asimiliator karbon, pendidikan, dan sebagainya. Hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa pemberian nilai pada jasa-jasa lingkungan ini merupakan bagian penting dalam pembangunan berkelanjutan. Ketersediaan hutan kota yang kurang di ibukota disebabkan oleh beberapa faktor misalnya masih lemahnya kelembagaan dan sumber daya manusia, serta kurangnya keterlibatan stakeholders. Keterlibatan pihak swasta dan masyarakatpun sangat rendah menyebabkan pemerintah selalu terbentur dengan masalah keterbatasan ruang. Akhirnya, keberadaan hutan kota sering dianggap bernilai ekonomi rendah dan cenderung diabaikan manfaatnya. Akibatnya kondisi hutan kota yang ada tidak berkembang sesuai harapan. Dalam rangka melihat manfaat dan biaya dari sumberdaya dalam bentuk moneter yang mempertimbangkan lingkungan. Penilaian ekonomi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar keuntungan (dalam rupiah) dengan keberadaan hutan kota. Namun, tidak semua barang dan jasa lingkungan dapat dinilai ke dalam bentuk moneter secara langsung oleh karena itu diperlukan valuasi ekonomi sebagai alat untuk menghitung manfaat hutan kota. Nilai ekonomi hutan kota dilakukan melalui pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh manfaat dari barang dan jasa yang lain. Konsep ini yang disebut dengan keinginan 3

4 membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan. Khususnya, pembangunan di Jakarta Selatan sebagai pusat hiburan ibukota. Oleh karena itu, penelitian berjudul Valuasi Ekonomi Hutan Kota Tebet Jakarta Selatan di DKI Jakarta diharap dapat menggambarkan pentingnya hutan kota dalam mengurangi kerugian yang diterima lingkungan akibat pembangunan di sekitar hutan kota Tebet, Jakarta Selatan. 1.2 Rumusan Masalah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan ditujukan sebagai areal penghijauan kota. Dalam skala besar, secara alamiah ruang terbuka dapat berwujud sebagai hutan kota yang memiliki fungsi ekologis dan estetis ruang. RTH pada kota-kota di Indonesia masih sangat terbatas, namun masih banyak cara untuk memperbaiki ekosistem perkotaan dari masalah lingkungan khususnya pada daerah padat penduduk seperti ibukota DKI Jakarta. Luas RTH semakin menurun diiringi dengan alih fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman, perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta prasarana dan sarana perkotaan lainnya. Lingkungan perkotaan akhirnya hanya berkembang secara ekonomi, tetapi secara ekologi menurun. Peran hutan kota dalam mengurangi masalah lingkungan di DKI Jakarta perlu mendapat perhatian. Pada umumnya, alokasi RTH di kota Jakarta dapat berbentuk kawasan lindung, kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olah raga, kawasan hijau tempat pemakaman, kawasan hijau pertanian, kawasan hijau jalur hijau dan kawasan hijau pekarangan. Kawasan-kawasan yang dimaksud harus terus dikembangkan oleh Pemerintah Daerah (PEMDA) demi terwujudnya kota hijau (green city) karena PEMDA merupakan institusi yang bertanggung jawab dalam penyediaan dan penetapa fungsi suatu ruang sebagai RTH. Hutan kota yang sudah ada di lokasi-lokasi tertentu perlu disempurnakan atau dikembangkan agar dapat ditingkatkan fungsinya. 4

5 DKI Jakarta memiliki hutan kota seluas ± 640 ha dan 14 (empat belas) hutan kota seluas 149,18 ha telah dikukuhkan dengan SK Gubernur, sedangkan sisanya sedang dalam proses (BPLHD, 2015). Kawasan hutan kota tersebut jika dibandingkan dengan luas daratan Provinsi DKI Jakarta yang seluas ha hanya sebesar 0,97%. Jika ditambah dengan kawasan hutan (daratan) maka luasnya baru mencapai 1,62%. Lokasi ini merupakan kawasan pelestarian alam yang tersisa yang juga berfungsi sebagai paru-paru kota Jakarta. Hutan kota tidak hanya difungsikan sebagai kawasan konservasi saja tetapi dapat juga dijadikan sebagai ruang aktivitas publik yang berbasis pelestarian kawasan hijau, seperti fungsi dari hutan kota Tebet. Potensi hutan kota Tebet saat ini dikelola dengan baik dibandingkan hutan kota lainnya seperti hutan kota Kemayoran atau hutan kota Kampung Dukuh. Pemerintah dan masyarakat semestinya mempertimbangkan pengembangan fungsi hutan kota ini. Dalam hal ini pemerintah tidak akan dapat bekerja sendiri tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Dalam penerapannya di lapangan, pengembangan hutan kota atau taman kota masih banyak menghadapi kendala. Salah satu kendala yang dihadapi adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan, kendala lahan, masalah kontrol dan pengawasan untuk wilayah yang tersebar luas. Hal tersebut diakibatkan masyarakat maupun pemerintah mengabaikan manfaat dari hutan kota itu sendiri. Hutan kota perlu dipertahankan dan dikembangkan mengingat fungsinya bagi lingkungan. Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah berapa harga/ nilai kuantitatif ekosistem hutan kota Tebet atau biasa disebut masyarakat taman kota Tebet agar diketahui harga/ nilai kuantitatif yang akan hilang dan akibat yang akan dialami oleh manusia jika ekosistem hutan kota tidak dipelihara dengan baik. Oleh karena itu rumusan masalah penelitian adalah: 1. Berapakah nilai ekonomi total (total economic value) dari ekosistem hutan kota Tebet? 2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kondisi fisik dan non-fisik hutan kota Tebet? 5

6 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menghitung nilai ekonomi total hutan kota (nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, dan nilai bukan guna) 2. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi fisik dan non-fisik hutan kota Tebet 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh bagi beberapa pihak dari penelitian mengenai valuasi ekonomi hutan kota Tebet antara lain : Manfaat Teoritis Manfaat utama dari penelitian ini adalah mengetahui nilai ekonomi total dari dampak lingkungan dari keberadaan hutan kota. Secara akademis, penelitian ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang valuasi ekonomi untuk menentukan apakah ekosistem hutan di suatu lokasi dapat dimanfaatkan atau sebaiknya dipertahankan dalam kondisi alaminya. Khususnya valuasi ekonomi hutan kota, memberikan arahan sejauh mana pemanfaatan tersebut dapat dilaksanakan, sehingga tidak melebihi daya dukung dan bahkan mengurangi fungsi ekologisnya. Dengan demikian, konsep pemanfaatan berkelanjutan yang mempertahankan fungsi ekonomi dan ekologis dari ekosistem hutan masih dapat terus dipertahankan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam bidang geografi dan geografi lingkungan terutama dalam mengetahui besarnya kerugian lingkungan tanpa adanya hutan kota Manfaat Praktis Kajian mengenai valuasi ekonomi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam perencanaan dan pengelolaan hutan kota Terutama dalam kebijakan mengenai pembangunan keberlanjutan, karena mengingat fungsi dan manfaat hutan kota dalam menangani masalah lingkungan seperti, banjir dan polusi udara. Penilaian ekonomi kuantitatif 6

7 dari manfaat rekreasi dapat bermanfaat bagi kepentingan perumusan alokasi sumberdaya alam dan alokasi investasi atau biaya pembangunan yang optimum. Secara umum diharap penelitian ini bermanfaat bagi seluruh masyarakat, pemerintah, dan perusahaan untuk menjaga kelestarian lingkungan. 7