V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
V. HASIL DAN PEMBAHASAN


V. HASIL DAN PEMBAHASAN

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI. Jawa Barat Kab. Kuningan Desa Ancaran. Gambar 2. Lokasi Penelitian

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Eka Wirda Jannah Astyatika. Pengelolaan DAS CITANDUY

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4

III. METEDOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMETAAN PARTISIPATIF BATAS KEPEMILIKAN

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

III. BAHAN DAN METODE

IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

Perkembangan Ekonomi Makro

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 2011 dan Perubahan Penggunaannya Tahun

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Lampiran 1. RMSE hasil rektifikasi citra Landsat ETM+ tahun 2003 dengan menggunakan peta digital daerah Bogor sebagai masternya.

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

BAB 4 SEGMENTASI WILAYAH POTENSI BANJIR MENGGUNAKAN DATA DEM DAN DATA SATELIT

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar

PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG

ANALISIS FLUKTUASI DEBIT AIR AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI TAMAN HUTAN RAYA GUNUNG TUMPA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Lokasi Geografis

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang

5. SIMPULAN DAN SARAN

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Secara geografis, Kabupaten OKU Selatan terletak antara sampai

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI STUDI

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Transkripsi:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian menghasilkan 15 (lima belas) kelas, yaitu badan air, hutan, kebun campuran, kebun coklat, kebun karet, kebun jati, kebun tebu, kebun teh, ladang, mangrove, pemukiman, sawah, semak, sungai, dan tambak. Deskripsi masing-masing penggunaan lahan berdasarkan hasil analisis citra dan pengecekan lapang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kenampakan Penggunaan Lahan Di Citra dan Lapangan Unsur Interpretasi Lokasi di daerah cekungan, bentuk tidak teratur, pola menyebar, ukuran kecil, warna biru terang - gelap, dan tekstur halus. Berada di daerah pegunungan, bentuk tak teratur, pola menyebar, warna hijau tua gelap, tekstur relatif kasar, dan ukuran luas. Lokasi ditemukan menyebar, bentuk tak beraturan, pola menyebar, warna hijau kekuningan, Kenampakan Citra Kenampakan Lapang Penggunaan/penutupan Lahan Badan air Di lapangan badan air berupa waduk atau danau. Volume air berubah-ubah tergantung pada musim, sebab sumber utama air danau adalah air hujan. Hutan Di lapangan, hutan yang dijumpai adalah hutan hujan tropis dengan didominasi oleh jenis tanaman pinus. Dikelola oleh Dinas Perhutani. Potensi hasil hutan dapat berupa kayu dan non kayu. Kebun campuran Di lapangan, kebun campuran di temui menyebar. Tanaman yang dijumpai antara lain pisang, kelapa, bambu,

tekstur kasar dan ukurannya beranekaragam. Bentuk tidak beraturan, pola bergerombol, warna hijau muda sampai tua, tekstur sedang, serta ukurannya relatif luas. Bentuk tidak beraturan, pola menyebar, warna hijau terang kemerahan, tekstur kasar dan ukuran yang luas. Bentuk tidak beraturan, pola bergerombol dan sedikit memanjang, warna hijau gelap, tekstur sedang, dan ukurannya relatif luas. Bentuk tidak beraturan, pola menyebar, warna hijau terang sampai hijau tua, tekstur kasar, dan ukurannya relatif besar. singkong, salak, durian, pisang, mangga, dan lain-lain. Kebun coklat Di lapang, kebun ini dijumpai dalam ukuran cukup luas. Tanaman ini memiliki tajuk yang rapat dan berdaun lebar. Daun antar tanaman saling tumpang tindih. Tinggi tanaman ± 4 m, dan jarak tanam 3 x 3 m 2. Kebun jati Di lapangan, varietas tanaman yang dijumpai berbeda-beda, ada varietas jati lokal dan jati super. Jarak tanam 2,5 x 2,5 m 2. Tinggi tanaman mencapai ± 10 m. Keberadaan kebun ini tersebar dan ukurannya luas. Kebun karet Di lapang, kebun karet di temukan dengan kondisi yang beragam, ada yang relatif lebih muda sampai tua. Hal ini tampak dari penutupan tajuknya. Jarak tanamnya adalah 3 x 7 m 2. Tinggi tanaman ± 15 m. Kebun tebu Di lapangan, kebun tebu ditemui dalam kondisi yang beragam, ada yang baru ditanam dan ada yang baru saja dipanen. Pola tanam ini rapat dan berlarik. Tinggi tanaman bisa mencapai ± 3 m.

Berada di daerah pegunungan, bentuk tak teratur, pola bergerombol, warna hijau muda, tekstur halus sampai sedang, dan ukurannya luas. Lokasi menyebar merata, bentuk tidak beraturan, pola menyebar warna hijau terang dan kemerahan, tekstur kasar, dan ukuran beragam. Bentuk beraturan, pola teratur dan bergerombol, dan berada di daerah sepanjang garis pantai, berwarna hijau terang bergaris biru gelap, tekstur halus, dan ukuran beragam. Bentuk tidak beraturan tetapi spesifik, pola bergerombol, warna merah terang sampai pink, tekstur kasar, ukuran a. Mangrove b. Tambak a. pegunungan Kebun teh Di lapang dijumpai kebun teh dengan ukuran yang sangat luas, terawat, dan di antara tanaman teh ditanam sejenis pohon petai-petaian yang berfungsi sebagai peneduh. Pola tanam berlarik, jarak tanam ± 1 m di dalam larikan, dan 1,2 m jarak antar larik. Ladang Penggunaan lahan ini dikelompokkan ke dalam peenggunaan lahan pertanian lahan kering, dan ditanami dengan jenis tanaman musiman, seperti jagung dan tanaman hortikultura lainnya. Mangrove dan Tambak Di lapangan, tipe penggunaan ini berada di sekitar daerah bibir pantai. Mangrove dijumpai dengan jenis tanaman beragam. Mangrove berbatasan dengan tambak. Pola dan bentuk yang teratur tersebut adalah tambak, sedangkan tanaman mangrove menjadi pembatas antar petakan tambak. Pemukiman Di lapangan, dijumpai tipe pemukiman yang berbeda antara daerah pegunungan, dataran (bukan pantai) dan daerah pantai. Dari segi bangunan dan keteraturan, lebih baik pemukiman yang

beragam dari kecil sampai luas dan menyebar merata di seluruh bagian DAS. Bentuk teratur, pola menyebar, warna hijau cerah, biru terang sampai gelap, tekstur halus, dan ukuran beragam dari kecil di daerah dataran tinggi sampai sangat luas dan dataran rendah. b. dataran (bukan pantai) c. daerah pantai a. utara (dataran pantai) b. dataran (bukan pantai) c. selatan (pegunungan) ada di daerah dataran (bukan pantai) dibandingkan yang lainnya. Di pegunungan, secara umum pemukiman dijumpai dengan pola tidak teratur, dominan berada di sekitar jalan utama dan pusat aktivitas pasar, jarak antar rumah berjauhan, dan pekarangan yang sempit. Di daerah dataran dan pantai, pola pemukiman lebih teratur, menyebar merata, jarak antar pemukiman relatif dekat, dan pekarangannya luas. Sawah Kenampakan di lapang, sawah dijumpai dalam ukuran yang sangat luas dan menyebar di bagian utara sampai ke selatan. Di bagian utara dengan topografi relatif datar, sawah terlihat apik dan indah, tampak datar bak permadani. Di daerah ini penggunaan sawah sangat intensif. Ukuran petakan sawah sangat luas. Sawah di bagian utara banyak dikelola oleh Balai Besar Padi Nasional. Di bagian selatan, umumnya merupakan sawah terasering. Hal ini terkait dengan topografi daerah yang bergelombang-berbukit. Sistem irigasi yang digunakan adalah irigasi teknis. Intensitas penggunaan intensif, setiap dua kali panen padi diselingi

Bentuk tak teratur, pola menyebar, warna hijau terang, tekstur kasar, ukuran yang relatif luas, ditemukan lebih banyak di daerah pegunungan. Bentuk tak teratur, pola memanjang dan meliuk-liuk, warna biru tua, tekstur halus, dan ukurannya kecil. oleh palawija. Ukuran petakan relatif kecil. Semak Pada kondisi lapang, semak yang dijumpai lebih kepada lahan yang dibiarkan setelah penggunaan tertentu atau lebih cenderung peralihan penggunaan lahan satu ke bentuk penggunaan lainnya. Sehingga ditumbuhi oleh alang-alang atau jenis tumbuhan semak lainnya. Sungai Di lapangan, sungai ditemukan dengan pola memanjang dan berkelokkelok di daerah dataran, dan relatif lurus di pegunungan. Lebar sungai ± 10 m. 5.2 Penggunaan Lahan pada Tahun 1990, 2000 dan 2008 Penggunaan lahan pada daerah penelitian didominasi oleh sawah, baik pada tahun 1990, 2000, dan 2008 yaitu sekitar 45% dari luas daerah penelitian itu sendiri. Sedangkan bagian yang lain merupakan kombinasi dari beberapa tipe penggunaan lahan lainnya yang terdapat di wilayah tersebut. Gambar 19, 20, dan 21 menyajikan peta penggunaan lahan DAS Cipunagara dan sekitarnya tahun 1990, 2000, dan 2008. Pada peta penggunaan lahan baik pada tahun 1990, 2000, maupun 2008 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan sawah menyebar di seluruh bagian DAS, pada daerah dataran lebih dominan dibandingkan di daerah pegunungan. Di daerah dataran sawah ditemukan sangat luas dan menyebar merata hampir di seluruh bagian, sedangkan di daerah pegunungan ukuran sawah relatif lebih kecil dan menyebar. Berbeda dengan mangrove dan tambak yang hanya berada di daerah pinggir pantai, yaitu Kecamatan Blanakan dan Pamanukan.

Gambar 5 Peta Penggunaan Lahan DAS Cipunagara dan Sekitarnya Tahun 1990 Gambar 6 Peta Penggunaan Lahan DAS Cipunagara dan Sekitarnya Tahun 2000

Gambar 7 Peta Penggunaan Lahan DAS Cipunagara dan Sekitarnya Tahun 2008 Hutan menyebar di bagian selatan sampai daerah tengah DAS (dataran bukan pantai). Meskipun pada daerah dataran bukan pantai luas hutan cenderung lebih kecil dibandingkan bagian selatannya. Hutan lebih dominan berada di Kecamatan Jalancagak, Cisalak, dan Tanjungsiang. Kebun jati menyebar di bagian tengah DAS, dan paling besar berada di Kecamatan Buahdua, Indramayu. Sedangkan semak, dalam penyebarannya berada di sekitar hutan dan kebun jati, juga sawah. Pemukiman menyebar merata dari bagian utara sampai bagian selatan DAS, dan cenderung lebih padat di bagian tengah. Sedangkan kebun karet, kebun teh dan kebun tebu letaknya cenderung terpusat pada satu daerah tertentu. Proporsi luasan masing-masing tipe penggunaan lahan pada tahun 1990, 2000, dan 2008 disajikan pada Gambar 22. Dari Gambar 22 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan pada tiga titik tahun pengamatan, sawah masih menjadi penggunaan lahan yang dominan. Pada tahun 1990 luasnya mencapai 46,6% dari luas total penggunaan lahan, pada tahun 2000 mencapai 45,1%, dan pada tahun 2008 mencapai 44,6%. Luas total DAS sendiri cenderung meningkat dari satu tahun ke tahun berikutnya. Pada tahun 1990 luasnya adalah 171.230 ha, pada

tahun 2000 mencapai 171.430 ha dan pada tahun 2008 menjadi 171.630 ha. Hal ini terkait dengan penimbunan bahan-bahan sedimen yang terbawa oleh air sungai sampai ke daerah muara (hilir) membentuk sebuah daratan yang disebut delta. Gambar 8 Luas Penggunaan Lahan Tahun 1990, 2000, dan 2008 Ket : angka di atas diagram menunjukkan persentase luas terhadap total BDA : badan air KCK : kebun coklat KTB : kebun tebu MRV : mangrove SMK : semak HTN : hutan KJT : kebun jati KTH : kebun teh PMK : pemukiman SNG : sungai KCP : kebun campuran KKR : kebun karet LDG : ladang SWH : sawah TMB : tambak Penggunaan lahan dominan kedua pada masing-masing tahun pengamatan berbeda, pada tahun 1990 ditempati oleh tipe penggunaan lahan hutan yaitu sebesar 13,6%, dan pada tahun 2000 bergeser menjadi kebun jati dengan luasan 12,6%, dan 2008 kembali ditempati oleh kebun jati yang mencapai 10,5% dari luas total. Sedangkan penggunaan lahan badan air, kebun coklat, kebun tebu, kebun teh, ladang, mangrove, sungai dan tambak termasuk penggunaan lahan dengan luas yang kecil, dengan masing-masing proporsi < 5% dari luas total daerah penelitian. Badan air dan sungai merupakan penggunaan lahan dengan luasan yang dianggap tetap meski memiliki luasan yang berbeda pada masing-masing tahun pengamatan. Hal ini dikarenakan volume badan air dan sungai sangat dipengaruhi oleh intensitas hujan sebagai sumber utama ketersediaan airnya. Sehingga ketika perekaman data pada musim hujan akan menghasilkan badan air yang lebih luas dibandingkan pada saat musim kemarau.

5.3 Perubahan Penggunaan Lahan pada Periode Tahun 1990-2000 dan 2000-2008 Pada peta penggunaan lahan tahun 1990, 2000, dan 2008, dapat dilihat bahwa telah terjadi beberapa perubahan bentuk maupun luasan penggunaan lahan. Hasil proses overlay (tumpang-tindih) masing-masing peta penggunaan lahan menunjukkan luas perubahan penggunaan lahan. Proporsi perubahan luas penggunaan lahan yang terjadi dalam periode tahun 1990-2000 dan tahun 2000 2008 disajikan pada Gambar 23. Pada tahun 1990-2000 besar perubahan penggunaan lahan sekitar 14.840 ha sedangkan pada tahun 2000-2008 perubahan yang terjadi sebesar 20.020 ha. Dari Gambar 23 diketahui bahwa pada periode tahun 1990-2000 tipe penggunaan lahan yang mengalami perubahan luasan terbesar adalah hutan yaitu penurunan luasan sebesar 26,8% dari total perubahan luasan yang terjadi. Artinya telah terjadi pengalihan fungsi hutan menjadi tipe penggunaan lahan lainnya. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat pentingnya fungsi hutan dalam sistem tata air sampai ke hilir. Kemudian perubahan ini diikuti oleh penambahan luasan kebun jati sebesar 17,9%, dan penurunan luasan sawah sebesar 16,7%. Gambar 9 Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Peroide Tahun 1990-2000 dan 2000-2008 Ket : angka di atas diagram menunjukkan persentase luas terhadap total BDA : badan air KCK : kebun coklat KTB : kebun tebu MRV : mangrove SMK : semak HTN : hutan KJT : kebun jati KTH : kebun teh PMK : pemukiman SNG : sungai KCP : kebun campuran KKR : kebun karet LDG : ladang SWH : sawah TMB : tambak

Pada periode pengamatan selanjutnya yaitu tahun 2000-2008 telah terjadi perubahan tipe penggunaan lahan dengan pola yang berbeda dari periode sebelumnya. Dapat diketahui bahwa pada periode ini perubahan luasan terbesar terjadi pada pemukiman, yaitu penambahan luasan sebesar 36,6%, penambahan ini sekitar tiga kali lipat dari penambahan luas pada periode sebelumnya yang hanya berkisar 12,5% dari total perubahan luas penggunaan lahan. Perubahan luas terbesar kedua adalah kebun jati yang mengalami penurunan luasan sebesar 18,1% dari luas total perubahan, dan diikuti penurunan luasan kebun campuran sebesar 16,3%. Mengingat penambahan pemukiman sampai tiga kali lipat dari perubahan luas pada periode sebelumnya, tidak menutup kemungkinan bahwa peningkatan ini berhubungan dengan penurunan luas penggunaan lahan lainnya seperti kebun campuran dan penggunaan lahan lain. Peningkatan luas pemukiman ini berkaitan dengan jumlah penduduk yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990-2000, pertumbuhan penduduk di daerah penelitian rata-rata 0,42 sedangkan pada tahun 2000-2008 mencapai 0,84. Gambar 23 juga memperlihatkan beberapa pola perubahan yang sama dari periode pertama yaitu pada tahun 1990-2000 dan periode selanjutnya yaitu tahun 2000-2008. Misalnya hutan dan sawah memiliki pola yang sama yaitu mengalami penurunan, dan penurunan luasan ini sekitar sepertiga dari penurunan luasan pada periode sebelumnya. Kebun campuran dan kebun jati juga memiliki pola yang sama, yaitu meningkat di periode 1990-2000, kemudian menurun di periode 2000-2008. Kebun tebu, pemukiman dan semak juga memiliki pola yang sama, yaitu selalu meningkat dari tahun ke tahun berikutnya. Sedangkan beberapa penggunaan lahan lainnya terlihat sangat sedikit sekali perubahan yang terjadi yaitu < 5% dan bahkan ada yang tidak berubah. Table 5 dan Tabel 6 menunjukkan matriks perubahan penggunaan lahan pada masing-masing periode. Tabel 5 menunjukkan perubahan luasan penggunaan lahan terbesar pada tahun 1990-2000 terjadi pada hutan yaitu penurunan luasan sebesar 26,8%. Perubahan ini meliputi penggunaan lahan hutan berubah menjadi semak (1,1%), kebun jati (0,8%) dan sisanya menjadi ladang dan sawah. Semak merupakan suatu bentuk peralihan dari satu penggunaan lahan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Misalnya, hutan yang akan dialih fungsikan menjadi

ladang. Sebelum digunakan sebagai ladang, ada fase-fase dimana lahan tersebut tidak dimanfaatkan, seperti pada saat penebangan hutan, pengeringan lahan untuk mengatur kelembaban tanah, dan persiapan lahan lainnya. Oleh sebab itu luas hutan yang terkonversi menjadi semak sangat tinggi. Gambar 23 juga menunjukkan bahwa penambahan luas pemukiman pada periode tahun 2000-2008 mencapai 36,6%, yang merupakan perubahan luasan penggunaan lahan terbesar. Tabel 6 menunjukkan bahwa penambahan luas pemukiman tersebut berasal dari sawah (2,3%), dan kebun campuran (0,7%) serta beberapa penggunaan lahan lainnya dengan proporsi masing-masing < 0,5%. Pada periode ini, hampir semua tipe penggunaan lahan berubah menjadi pemukiman, kecuali badan air, sungai dan tambak.

5.4 Faktor Sosial dan Ekonomi yang Mempengaruhi Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1990-2000 dan 2000-2008 Dari 15 (lima belas) tipe penggunaan lahan, tujuh diantaranya tidak dapat dianalisis dengan metode Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression Analysis) karena beberapa alasan, yaitu pertama luasan penggunaan lahan relatif tetap karena sangat dipengaruhi oleh keberadaan volume air yang terekam pada saat perekaman data oleh satelit seperti pada badan air dan sungai. Ketika musim hujan, dengan intensitas hujan yang lebih tinggi akan menyebabkan volume air meningkat, tetapi ketika musim kemarau, dengan intensitas hujan yang sedikit akan menyebabkan volume air menurun. Kedua karena populasi data sebagai syarat dilakukannya analisis tidak mencukupi, yaitu jumlah data kurang dari jumlah peubah yang digunakan. Hal ini terjadi pada lima penggunaan lahan lainnya yaitu kebun coklat, kebun karet, kebun teh, mangrove dan tambak. Kelima penggunaan lahan ini memiliki pola yang mengumpul dan juga tidak terjadi perubahan luasan yang nyata dari tahun ke tahun. Analisis statistika tahun 1990-2000 (per kecamatan) menghasilkan beberapa persamaan yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Persamaan Regresi, Koefisien Determinasi, Nilai F hitung, Nilai F tabel dan Nilai Probabilitas Kritis Analisis Tahun 1990-2000 (per Kecamatan) Persamaan Regresi R 2 F F hitung tabel P Y 1 = - 0,730 + 2,370X 3-36,30X 5 + 352X 6 + 1,390X 8 0,63 2,55 3,48 0,15 Y 2 = 0,026 + 0,053X 2 + 0,400X 5 + 8,20X 6 + 0,009X 7 + 0,401X 8 0,43 1,65 2,85 0,23 Y 3 = 0,248 + 0,004X 2 + 36,70X 5 + 989X 6 0,95 20,19 4,76 0,02 Y 4 = - 0,003 + 0,010X 1-0,001X 7 + 0,114X 8 0,86 2,01 6,59 0,47 Y 5 = 0,0449 + 0,151X 2-4,27X 5-0,001X 7 + 0,227X 8 0,24 0,63 3,26 0,65 Y 6 = - 0,003 + 0,0126X 2 + 0,0302X 3 + 13,3X 6-0,009X 7 + 0,186X 8 0,41 2,05 2,71 0,13 Y 7 = 0,293 + 0,104X 2 + 0,751X 3 + 0,32X 5 + 58X 6-0,043X 7 0,22 0,86 2,71 0,53 Y 8 = - 0,025 + 0,360X 3 + 3,2X 5-0,036X 7 + 0,91X 8 0,36 0,69 3,63 0,63 Sumber : hasil analisis dengan Minitab Dari delapan model yang diperoleh, model dengan persamaan yang memiliki hubungan erat atau yang paling baik adalah model persamaan perubahan luas kebun jati, dengan nilai R 2 0,95. Artinya model mampu menerangkan 95% variasi yang terjadi. Nilai P persamaan dalam Analysis of Variance < 95% (selang kepercayaan model). Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan semua

peubah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Sedangkan model dengan persamaan paling buruk adalah perubahan luas sawah dengan nilai R 2 hanya 0,22. Dalam hal ini, perubahan yang terjadi pada sawah masih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, seperti faktor fisik dan teknologi yang berkembang. Pada analisis tahun 2000-2008 (per kecamatan), juga menghasilkan delapan persamaan yang disajikan oleh Tabel 9. Berbeda dengan hasil analisis pada periode sebelumnya, pada periode ini persamaan yang memiliki hubungan erat atau yang paling baik adalah model persamaan perubahan luas kebun tebu, dengan nilai R 2 yaitu 0,95 dimana model mampu menerangkan 95% variasi yang terjadi. Nilai P persamaan ini dalam Analysis of Variance sama dengan selang kepercayaan yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan semua peubah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Model dengan persamaan paling buruk adalah perubahan luas pemukiman dengan nilai R 2 hanya 0,06. Hal ini karena masih banyak faktor lain yang mempengaruhinya, seperti faktor kelembagaan ataupun regulasi. Tabel 9 Persamaan Regresi, Koefisien Determinasi, Nilai F hitung, Nilai F tabel dan Nilai Probabilitas Kritis Analisis Tahun 2000-2008 (per Kecamatan) Persamaan Regresi R 2 F F P hitung tabel Y 1 = 1,17 + 0,047X 3-21,9X 5-0,0267X 7 + 6,35X 8 0,50 1,49 3,48 0,31 Y 2 = 0,035 + 0,031X 3-0,094X 5 + 4,98X 6-0,004X 7 + 0,490X 8 0,30 0,87 2,90 0,53 Y 3 = 0,074 + 0,646X 2 + 0,138X 3-90X 5 0,63 1,69 4,76 0,34 Y 4 = 0,010 + 0,039X 2 + 0,052X 8 0,95 18,73 6,94 0,05 Y 5 = 0,001 + 0,004X 2 + 7,33X 5-0,010X 7 + 0,312X 8 0,40 1,84 3,06 0,19 Y 6 = 0,11 + 0,001X 2 + 0,009X 3 + 0,407X 5-0,006X 7 + 0,047X 8 0,06 0,21 2,71 0,96 Y 7 = 0,819 + 0,005X 2 + 0,040X 3-0,0337X 7 + 1,21X 8 0,08 0,33 2,90 0,85 Y 8 = 0,235 + 8,9X 5 + 20X 6-0,045X 7 0,14 0,33 3,86 0,80 Sumber : hasil analisis dengan Minitab Analisis tahun 2000-2008 per desa juga menghasilkan delapan model persamaan yang disajikan pada Tabel 10. Model yang paling baik adalah model persamaan perubahan luas kebun tebu, dengan nilai R 2 yaitu 0,58. Artinya model mampu menerangkan 58% variasi yang terjadi. Nilai P persamaan ini dalam Analysis of Variance < 95% (selang kepercayaan yang digunakan). Hal ini

menunjukkan bahwa secara keseluruhan semua peubah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Model dengan persamaan yang paling buruk adalah perubahan luas sawah dengan nilai R 2 hanya 0,04. Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak faktor lain yang lebih berperan dalam mempengaruhi perubahan luas sawah, seperti faktor fisik dan teknologi. Tabel 10 Persamaan Regresi, Koefisien Determinasi, Nilai F hitung, Nilai F tabel dan Nilai Probabilitas Kritis Analisis Tahun 2000-2008 (per Desa) Persamaan Regresi R 2 F F P hitung tabel Y 1 = 0,353 + 0,067X 3 + 0,47X 4 + 0,0X 6 0,06 1,00 2,76 0,34 Y 2 = 0,093 + 0,0119X 3 + 0,214X 4 + 0,044X 5 + 0,095X 8 0,05 1,39 2,45 0,24 Y 3 = 0,451 + 0,098X 1 + 0,013X 3 + 6,96X 5 + 0,269X 8 0,06 0,66 2,61 0,62 Y 4 = 0,122 + 0,283X 2 + 0,256X 8 0,58 7,55 3,81 0,01 Y 5 = 0,113 + 0,003X 1 + 0,332X 5 + 4,73X 6 + 0,111X 8 0,05 0,93 2,53 0,45 Y 6 = 0,072 + 0,027X 2 + 0,009X 3 + 0,162X 5 + 1,08X 6 + 0,259X 8 0,18 7,81 2,21 0,00 Y 7 = 0,616 + 0,015X 2 + 0,719X 4 + 0,126X 5 + 5,23X 6 0,04 1,69 2,37 0,16 Y 8 = 0,293 + 0,172X 2 + 106X 6 + 0,077X 8 0,12 2,37 2,76 0,08 Sumber : hasil analisis dengan Minitab Secara umum, dilihat dari jumlah peubah muncul di semua persamaan perubahan luas penggunaan lahan di DAS Cipunagara dan sekitarnya analisis per kecamatan pada rentang periode tahun 1990-2000 dan tahun 2000-2008, dipengaruhi aksesibilitas (jarak ke pasar dan kerapatan jalan). Sedangkan menurut hasil analisis desa pada tahun 2000-2008 faktor yang secara umum menyebabkan perubahan penggunaan lahan adalah aksesibilitas (kerapatan jalan). Adapun model persamaan perubahan luas penggunaan lahan untuk masing-masing penggunaan lahan adalah sebagai berikut : a. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan hutan Model persamaan perubahan penggunaan lahan hutan pada analisis kecamatan tahun 1990-2000 yaitu Y 1 = - 0,730 + 2,37X 3-36,3X 5 + 352X 6 + 1,39X 8 (Tabel 8) dengan R 2 cukup besar yaitu 0,63, artinya model tersebut mampu menerangkan 63% variasi yang terjadi. Pada tahun 2000-2008 model persamaannya menjadi Y 1 = 1,17 + 0,047X 3-21,9X 5-0,0267X 7 + 6,35X 8 (Tabel 9), dengan R 2 0,50. Namun berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikasi secara menyeluruh, kedua model memiliki nilai F hitung < F tabel

dan nilai P > 95%, hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak semua peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000-2008 persamaannya menjadi Y 1 = 0,353 + 0,067X 3 + 0,47X 4 + 0,0X 6 (Tabel 10), dengan R 2 0,06 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P > 95%. Artinya secara umum model ini kurang baik, dan peubah bebas yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990-2000 peubah perubahan kerapatan penduduk (X 3 ) merupakan peubah yang berpotensial mempengaruhi perubahan luas hutan dengan nilai P 0,06. Pada analisis tahun 2000-2008 per kecamatan faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan adalah keratapatan jalan (X 8 ) dengan nilai P 0,06. Dan pada analisis tingkat desa faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan adalah perubahan kerapatan penduduk (X 3 ) dan kerapatan jalan (X 8 ) dengan nilai P mendekati tingkat kepercayaan yang digunakan yaitu 95% (Lampiran 2). b. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan kebun campuran Model dengan perubahan penggunaan lahan kebun campuran pada analisis kecamatan pada tahun 1990-2000 yaitu Y 2 = 0,026 + 0,053X 2 + 0,400X 5 + 8,20X 6 + 0,009X 7 + 0,401X 8 (Tabel 8), dengan R 2 0,43 dimana model tersebut hanya mampu menerangkan 43% variasi yang terjadi. Pada tahun 2000-2008 model persamaannya menjadi Y 2 = 0,035 + 0,031X 3-0,094X 5 + 4,98X 6-0,004X 7 + 0,490X 8 (Tabel 9), dengan R 2 0,30. Namun berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikasi secara menyeluruh, kedua model memiliki nilai F hitung < F tabel dan nilai P > 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak semua peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000-2008 yang sama persamaannya menjadi Y 2 = 0,093 + 0,0119X 3 + 0,214X 4 + 0,044X 5 + 0,095X 8 (Tabel 10), dengan R 2 hanya 0,05 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P > 95%.

Artinya secara umum model ini kurang baik, dan peubah bebas yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990 2000 dan 2000-2008 tidak ada peubah yang memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan luas kebun campuran. Begitu pula pada analisis per desa tahun 2000-2008. c. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan kebun jati Model dengan perubahan penggunaan lahan kebun jati pada analisis kecamatan pada tahun 1990-2000 yaitu Y 3 = 0,248 + 0,004X 2 + 36,70X 5 + 989X 6 (Tabel 8). Model ini memiliki R 2 0,95, artinya model tersebut mampu menerangkan 95% variasi yang terjadi dengan nilai F hitung > F tabel dan nilai P < 95%. Pada tahun 2000-2008 model persamaannya menjadi Y 3 = 0,074 + 0,646X 2 + 0,138X 3-90X 5 (Tabel 9), dengan R 2 0,63 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P >. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan model pada tahun 1990-2000 cukup bagus dan semua peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan luasan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan model tahun 2000-2008 secara keseluruhan baik, tetapi tidak semua peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000-2008 persamaannya menjadi Y 3 = 0,451 + 0,098X 1 + 0,013X 3 + 6,96X 5 + 0,269X 8 (Tabel 10), dengan R 2 hanya 0,06 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P > 95%. Artinya secara umum model ini kurang baik, dan peubah bebas yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990-2000 peubah yang berpotensial mempengaruhi perubahan luas kebun jati secara nyata adalah jumlah pasar (X 5 ). Hal ini ditunjukkan oleh nilai P 0,05 yang sama dengan tingkat kepercayaan yang digunakan (Lampiran 2). Pada analisis tahun 2000-2008 per kecamatan maupun per desa, tidak ada faktor yang secara nyata mempengaruhi perubahan.

d. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan kebun tebu Model dengan perubahan penggunaan lahan kebun tebu pada analisis kecamatan pada tahun 1990-2000 yaitu Y 4 = - 0,003 + 0,010X 1-0,001X 7 + 0,114X 8 (Tabel 8). Model ini memiliki R 2 cukup besar yaitu 0,86, artinya model tersebut mampu menerangkan 86% variasi yang terjadi. Namun berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikasi secara menyeluruh, model memiliki nilai F hitung < F tabel dan nilai P > 95%. Pada tahun 2000-2008 model persamaannya menjadi Y 4 = 0,010 + 0,039X 2 + 0,052X 8 (Tabel 9), dengan R 2 0,95 dan nilai F hitung > F tabel serta nilai P = 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan pada analisis tahun 1990-2000 tidak semua peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan luasan yang terjadi, sedangkan pada tahun 2000-2008 peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000-2008 persamaannya menjadi Y 4 = 0,122 + 0,283X 2 + 0,256X 8 (Tabel 10), dengan R 2 0,58 dan nilai F hitung > F tabel serta nilai P < 95%. Artinya secara umum model ini cukup baik, dan semua peubah bebas yang digunakan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990-2000 tidak ada peubah yang berpotensial mempengaruhi perubahan luas kebun tebu. Pada analisis per kecamatan tahun 2000-2008 faktor ketersediaan lahan lain yang mungkin berubah menjadi kebun tebu (X 2 ) merupakan faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan dengan nilai P 0,03. Begitu pula pada analisis tingkat desa pada tahun 2000-2008 faktor yang sama juga berpotensi mempengaruhi perubahan yang terjadi (Lampiran 2). e. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan ladang Model dengan perubahan penggunaan lahan ladang pada analisis kecamatan pada tahun 1990-2000 yaitu Y 5 = 0,0449 + 0,151X 2-4,27X 5-0,001X 7 + 0,227X 8 (Tabel 8). Model ini memiliki R 2 hanya 0,24, artinya model tersebut hanya mampu menerangkan 24% variasi yang terjadi. Pada tahun 2000-2008 model persamaannya menjadi Y 5 = 0,001 + 0,004X 2 + 7,33X 5-0,010X 6 +

0,312X 8 (Tabel 9), dengan R 2 0,40. Namun berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikasi secara menyeluruh, kedua model memiliki nilai F hitung < F tabel dan nilai P > 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan model kurang baik dan semua peubah bebas tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000-2008 persamaannya menjadi Y 5 = 0,113 + 0,003X 1 + 0,332X 5 + 4,73X 6 + 0,111X 8 (Tabel 10), dengan R 2 hanya 0,05 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P > 95%. Artinya secara umum model ini kurang baik, dan peubah bebas yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990-2000 tidak ada peubah yang berpotensial mempengaruhi perubahan luas ladang. Pada analisis tahun 2000-2008 per kecamatan faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan luas ladang adalah kerapatan jalan (X 7 ) sedangkan pada analisis tingkat desa tidak terdapat faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan luas ladang itu sendiri (Lampiran 2). f. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan pemukiman Model dengan perubahan penggunaan lahan pemukiman pada analisis kecamatan pada tahun 1990-2000 yaitu Y 6 = - 0,003 + 0,0126X 2 + 0,0302X 3 + 13,3X 6-0,009X 7 + 0,186X 8 (Tabel 8). Model ini memiliki R 2 0,41 dimana model tersebut hanya mampu menerangkan 41% variasi yang terjadi. Pada tahun 2000-2008 model persamaannya menjadi Y 6 = 0,11 + 0,001X 2 + 0,009X 3 + 0,407X 5-0,006X 7 + 0,047X 8 (Tabel 9), dengan R 2 hanya 0,06. Namun berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikasi secara menyeluruh, kedua model memiliki nilai F hitung < F tabel dan nilai P > 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak semua peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000-2008 persamaannya menjadi Y 6 = 0,072 + 0,027X 2 + 0,009X 3 + 0,162X 5 + 1,08X 6 + 0,259X 8 (Tabel 10), dengan R 2 0,18 dan nilai F hitung > F tabel serta nilai P < 95%. Artinya

secara umum model ini kurang baik, namun peubah bebas yang digunakan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990-2000 peubah bebas jarak ke pasar (X 6 ) merupakan peubah yang berpotensi mempengaruhi perubahan luas pemukiman. Hal ini ditunjukkan oleh nilai P (0,07) yang mendekati tingkat kepercayaan yang digunakan (0,05). Pada analisis tahun 2000-2008 per kecamatan tidak ada faktor yang secara nyata mempengaruhi perubahan. Dan pada analisis tingkat desa faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan adalah kerapatan jalan (X 7 ) dengan nilai P (0,00) lebih kecil dari tingkat kepercayaan yang digunakan. g. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan sawah Model dengan perubahan penggunaan lahan sawah pada analisis kecamatan pada tahun 1990-2000 yaitu Y 7 = 0,293 + 0,104X 2 + 0,751X 3 + 0,32X 5 + 58X 6-0,043X 7 (Tabel 8). Model ini memiliki R 2 hanya 0,22 dimana model tersebut hanya mampu menerangkan 22% variasi yang terjadi. Pada tahun 2000-2008 model persamaannya menjadi Y 7 = 0,819 + 0,005X 2 + 0,040X 3-0,0337X 7 + 1,21X 8 (Tabel 9), dengan R 2 hanya 0,08. Namun berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikasi secara menyeluruh, kedua model memiliki nilai F hitung < F tabel dan nilai P > 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan model yang dihasilkan kurang baik, dan semua peubah bebas tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun yang sama persamaannya menjadi Y 7 = 0,616 + 0,015X 2 + 0,719X 4 + 0,126X 5 + 5,23X 6 (Tabel 10), dengan R 2 hanya 0,04 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P > 95%. Artinya secara umum model ini kurang baik, dan peubah bebas yang digunakan kurang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990-2000 dan 2000-2008 tidak ada peubah yang secara nyata mempengaruhi perubahan luas sawah. Sebangkan pada analisis tingkat desa faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan adalah jumlah pasar (X 6 ) dengan nilai P 0,08 (Lampiran 2).

h. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan semak Model dengan perubahan penggunaan lahan semak pada analisis kecamatan pada tahun 1990-2000 yaitu Y 8 = - 0,025 + 0,360X 3 + 3,2X 5-0,036X 7 + 0,91X 8 (Tabel 8). Model ini memiliki R 2 0,36 artinya model tersebut hanya mampu menerangkan 36% variasi yang terjadi. Pada tahun 2000-2008 model persamaannya menjadi Y 8 = 0,235 + 8,9X 5 + 20X 6-0,045X 7 (Tabel 9), dengan R 2 hanya 0,14. Berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikansi secara menyeluruh, kedua model memiliki nilai F hitung < F tabel dan nilai P > 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan model yang dihasilkan kurang baik dan semua peubah bebas tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000-2008 persamaannya menjadi Y 8 = 0,293 + 0,172X 2 + 106X 6 + 0,077X 8 (Tabel 10), dengan R 2 0,12 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P > 95%. Artinya secara umum model ini kurang baik, dan peubah bebas yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990-2000 dan 2000-2008 tidak terdapat peubah yang berpotensial mempengaruhi perubahan luas semak. Sedangkan pada analisis tingkat desa faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan adalah jumlah pasar (X 6 ) dengan nilai P 0,03 (Lampiran 2). 5.5 Kajian Umum Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Secara garis besar, dari semua model persamaan yang diperoleh dari hasil Analisis Regresi Berganda hanya beberapa persamaan yang mempunyai nilai R 2 0,50 dan terjadi pengulangan pada tipe penggunaan lahan yang sama, yaitu hutan, kebun jati dan kebun tebu. Tipe penggunaan tersebut dapat dirangkum dalam Tabel 11. Selain itu nilai koefisien peubah juga mencerminkan hubungannya terhadap perubahan yang terjadi. Nilai yang positif berarti hubungan bersifat linier antara peubah bebas dengan respon, sedangkan nilai yang negatif mencerminkan hubungan bersifat kebalikan.

Tabel 11 Model Perubahan Penggunaan Lahan dengan Nilai R 2 0,50 Faktor yang Mempengaruhi Tipe Penggunaan Analisis Kecamatan Analisis Kecamatan Analisis Desa Lahan 1990-2000 2000-2008 2000-2008 Hutan +X 3, -X 5, +X 6, +X 8 +X 3, -X 5, -X 7, +X 8 Kebun Jati +X 2, +X 5, +X 6 +X 2, +X 3, -X 5 Kebun Tebu +X 1, -X 7, +X 8 +X 2, +X 8 +X 2, +X 8 Keterangan : Peubah yang bercetak tebal memiliki nilai koefisien yang paling tinggi dalam persamaan Peubah penduga perubahan berpengaruh besar terhadap perubahan penggunaan lahan ditandai dengan nilai koefisien yang besar pula (Iriawan, 2007). Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa pada tahun yang berbeda faktor yang mempengaruhi perubahan pada hutan dan kebun jati adalah sama, yaitu X 5 (jumlah fasilitas pendidikan) dan X 6 (jumlah pasar), sedangkan pada kebun tebu faktor yang mempengaruhi adalah X 2 (luas lahan lain yang mungkin berubah menjadi penggunaan lahan tertentu) dan X 8 (kerapatan jalan). Dalam hal ini pengelolaan kebun jati berada dibawah Dinas Perhutani daerah setempat. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan pada penggunaan lahan non komersial yaitu hutan dan kebun jati lebih dipengaruhi oleh jumlah fasilitas pendidikan dan jumlah pasar. Sedangkan perubahan pada penggunaan lahan komersial yaitu kebun tebu, perubahannya lebih dipengaruhi oleh ketersediaan lahan lain yang mungkin berubah menjadi kebun tebu dan kerapatan jalan.