V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 29 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra Landsat Berdasarkan hasil interpretasi visual citra Landsat didapatkan beberapa kelas penggunaan lahan yaitu badan air (sungai, danau, dan laut), hutan, kebun campuran, kebun coklat, kebun jati, kebun karet, kebun tebu, kebun teh, ladang, mangrove, tambak, sawah, semak, dan permukiman. Kombinasi band yang digunakan untuk memudahkan identifikasi penutupan/penggunaan lahan pada citra Landsat adalah 421 (RGB) untuk tahun 1972, sedangkan kombinasi band 542 (RGB) untuk citra Landsat tahun 1990 dan Kombinasi band tersebut dipilih karena memiliki kekontrasan yang tinggi sehingga memudahkan untuk membedakan penutupan/penggunaan lahan. Kenampakan penggunaan lahan tersebut pada citra Landsat dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan di Citra Landsat dan di Lapang No. Nama Gambar Obyek Obyek Landsat Lapang 1 Badan air ba 2 Hutan htn

2 30 3 Kebun campuran kc 4 Kebun coklat cklt 5 Kebun jati jati 6 Kebun karet krt

3 31 7 Kebun tebu tbu 8 Kebun teh teh a. Kebun teh b. Kebun teh yang telah dikonversi menjadi kebun kelapa sawit 10 Ladang/te galan ldg

4 32 11 Mangrove diantara galengan tambak mgv mgv tmk 12 Tambak tmk 13 Sawah swh 14 Semak smk

5 33 15 Permukiman pmk Badan air. Badan air dalam hal ini meliputi sungai, danau/situ, dan laut. Kenampakan tubuh air (danau dan laut) pada citra Landsat berwarna biru tua dengan tekstur halus. Kedalaman air mempengaruhi kegelapan warna. Semakin tinggi kedalaman air maka warnanya semakin gelap (biru tua). Di dalam citra Landsat, badan air (sungai) mempunyai bentuk yang berkelok-kelok (meander). Hutan adalah lahan yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan lebat sehingga membentuk suatu komunitas kehidupan biologi alami atau ekologi tersendiri. Hutan pada citra berwarna hijau tua hingga hijau kehitaman, sesuai dengan kandungan klorofil pada pohon-pohon di hutan. Tekstur hutan tampak kasar karena vegetasi pada hutan mempunyai ukuran yang bervariasi dengan pola yang tidak teratur, ada bayangan igir-igir puncak gunung yang menunjukkan sebaran hingga daerah yang curam, identik dengan letak di sekitar puncak gunung. Kenampakan hutan di lapang didominasi oleh pohon besar dengan kanopi yang rapat. Pohon yang terdapat dalam hutan beraneka ragam, namun didominasi oleh pohon pinus karena dikelola oleh Perum Perhutani. Di Desa Cimanggu, Kecamatan Cisalak, Subang terdapat Hutan Kota Rangga Wulung yang didominasi oleh pohon mahoni, nangka, dan pinus. Kebun campuran adalah kebun yang terdiri atas campuran vegetasi antara tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman semusim. Dibandingkan dengan hutan, kenampakan kebun campuran pada citra Landsat lebih berwarna terang (hijau terang) dengan tekstur relatif kasar. Lokasi kebun campuran umumnya lebih dekat dengan permukiman jika dibandingkan dengan lokasi perkebunan (seperti jati, karet, tebu, dan teh). Di lapang,

6 34 penggunaan lahan kebun campuran terdiri atas pohon-pohon pisang, kelapa, mangga, bambu, singkong, dan jambu. Pepohonan ini ditanam secara tidak teratur, sehingga terlihat sangat rapat. Umumnya tersebar di sekitar permukiman atau lahan kosong dekat dengan sawah dan sungai. Kebun coklat. Kenampakan kebun coklat pada Landsat lebih terang dibandingkan dengan kebun karet serta memiliki tekstur yang halus. Kebun coklat di daerah penelitian dikelola oleh PTPN VIII Teh, Kina, dan Kakao yang terletak di Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang. Kebun jati. Kenampakan kebun jati berwarna merah cerah pada citra Landsat. Di lapang, pohon jati mempunyai penutupan kanopi yang tidak rapat. Tinggi pohon jati yang ada dalam wilayah penelitian berkisar antara meter. Kebun karet. Kenampakan kebun karet pada citra terlihat mempunyai tekstur yang kasar. Warna yang tampak pada citra lebih gelap daripada kebun coklat karena karet mempunyai daun yang rimbun. Kenampakan penutupan daun di perkebunan karet sangat lebat. Lokasi kebun karet di daerah penelitian terletak di Kecamatan Cibogo dan Cipunagara. Kebun karet yang ada di wilayah penelitian selain dikelola oleh masyarakat juga dikelola oleh PTPN VIII. Kebun tebu. Perkebunan tebu pada citra tampak berwarna hijau muda dan teksturnya lebih kasar dibandingkan dengan kenampakan kebun lainnya. Kebun tebu mempunyai luasan yang lebih besar dibandingkan dengan kebun karet. Di daerah penelitian, kebun tebu terdapat di Kecamatan Cibogo, Haurgeulis, Pagaden, Cipunagara, dan Compreng. Kebun teh. Kenampakan kebun teh pada citra Landsat berwarna hijau dan kuning terang dengan tekstur yang halus, mempunyai pola yang teratur (berpetak-petak) yang dikelola oleh PTPN VIII. Perkebunan teh ini terletak di jalan cagak, Desa Tambakan, Kecamatan Cisalak dan Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang. Namun demikian, di lapang ditemukan wilayah perkebunan teh yang telah dikonversi menjadi kelapa sawit karena teh yang dihasilkan kurang baik kualitasnya. Konversi ini dimulai pada tahun Ladang. Kenampakan ladang atau tegalan pada citra Landsat berwarna hijau hingga ungu gelap, teksturnya halus, berada dekat dengan permukiman, atau

7 35 berada di daerah sekitar sungai, terdapat di lereng bawah sampai dengan daerah yang berbukit-bukit dengan pola menyebar. Di lapang penggunaan lahan ladang tampak menempati areal kosong bekas sawah, lahan kosong dekat sungai, areal sekitar permukiman, dan di sela-sela kebun campuran. Ladang umumnya diisi oleh tanaman jagung dan singkong. Mangrove. Mangrove merupakan tanaman yang tumbuh di atas rawa berair payau yang terletak pada pinggir pantai. Kenampakan mangrove pada citra Landsat berwarna hijau dengan tekstur kasar dan berada di pinggir laut atau tambak. Kawasan mangrove memiliki pola yang memanjang pada pinggir pantai. Bentuk petak-petak yang tampak di Landsat dan di lapangan menunjukkan bahwa mangrove tersebut adalah hasil budidaya, dan bukan mangrove yang tumbuh secara alami. Tambak. Tambak merupakan kolam buatan untuk budidaya ikan/udang. Kenampakan tambak berwarna biru tua dengan tekstur halus. Tambak memiliki batas yang jelas dan ukuran petakan lebih besar dari sawah. Di lapang, bentuk tambak umumnya persegi panjang dan tiap petakan dapat meliputi areal seluas 0,5 sampai 2 ha. Tambak ikan air payau banyak dijumpai di Desa Legon Kulon, Kabupaten Subang. Selain itu juga ditemui tambak ikan air tawar. Sawah. Kenampakan sawah pada Landsat berwarna hijau muda dengan tekstur halus, dan berada dekat dengan ladang atau permukiman atau berada tidak jauh dari aliran sungai. Sawah yang digunakan secara intensif yaitu tiga kali panen dalam setahun merupakan sawah irigasi dengan lereng yang relatif datar (0-8%). Sawah di Subang bagian selatan umumnya merupakan sawah terasering karena berada di daerah pegunungan dengan elevasi yang cukup tinggi ( mdpl). Semak. Kenampakan semak berwarna hijau terang, bertekstur kasar, memiliki pola yang tidak teratur, dan umumnya dijumpai di perbatasan antara hutan dengan lahan budidaya (kebun campuran atau ladang). Semak yang ditemukan di lapang umumnya terdiri dari tanaman ilalang, melastoma, tanaman perdu, dan tanaman buah liar seperti kersen. Permukiman merupakan tempat tinggal yang terdiri atas bangunan-bangunan rumah dan sejenisnya. Kenampakan permukiman pada Landsat berwarna merah

8 36 sampai ungu dengan pola yang cenderung mengelompok. Kenampakan permukiman di lapang dipengaruhi oleh adanya aksesibilitas. Semakin dekat jaraknya dengan jalan-jalan utama maka luasan permukiman akan semakin besar. Selain itu dipengaruhi oleh adanya jalan, persebaran permukiman juga dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Hal ini berkaitan dengan mata pencaharian umum masyarakat di lokasi penelitian di bidang pertanian, sehingga permukiman berkembang dekat dengan lokasi persawahan. Permukiman dalam hal ini meliputi ruang terbangun seperti : perumahan, sekolah, pasar, masjid, dan gedung layanan masyarakat, dan bangunan lainnya. 5.2 Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1972, 1990, dan 2008 Seperti telah diuraikan di depan, penutupan/penggunaan lahan di DAS Cipunagara dan sekitarnya meliputi 15 tipe yaitu badan air, hutan, kebun campuran, kebun coklat, kebun jati, kebun karet, kebun tebu, kebun teh, ladang, mangrove, tambak, sawah, semak, dan permukiman. Luas dari masing-masing tipe penggunaan disajikan secara grafis dan mencakup tiga titik tahun yaitu 1972, 1990, dan 2008 pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 tipe penggunaan lahan yang mendominasi pada tiga titik tahun tesebut adalah sawah. Luas masing-masing sawah pada tahun 1972, 1990, dan 2008 adalah 36,1%, 46,5%, dan 44,6%. Adapun luasan tipe penggunaan lahan yang paling kecil di tiga titik tahun tersebut adalah tubuh air dengan luasan sekitar 0,2%. Tipe pengunaan lahan lainnya mempunyai luas yang relatif bervariasi. Pada tahun 1972, penggunaan lahan DAS Cipunagara didominasi oleh sawah yang mencakup luasan 61561,1 ha atau 36,1% dan kebun campuran sebesar 39206,6 ha (23,0%). Kemudian kebun jati sebesar 25727,2 ha (15,1%), sedangkan penggunaan lahan yang lainnya masing-masing luasannya hanya kurang dari 10% dari luas total penggunaan lahan, yaitu meliputi tambak (1,2%), mangrove (2,6%), ladang (3,4%), semak (4,3%), hutan (9,5%), kebun tebu (0,8%), kebun teh (0,7%), kebun coklat (0,5%), badan air (0,2%), dan kebun karet (0,2%).

9 Luas (Ha) Bdn Air htn Kc Cklt Jti Krt Tbu Teh Ldg Mgv Pmk Swh Smk Sgi Tmk Laut % % % Penggunaan Lahan Gambar 9. Grafik Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1972, 1990, dan % 1990 % 2008 %

10 38 Penggunaan lahan sawah pada tahun 1990 masih mendominasi luas penggunaan lahan di daerah penelitian yang mencakup 79818,0 ha atau 46,5% dari luas total pengunaan lahan. Kemudian hutan sebesar 23212,7 ha (13,5%), dan kebun jati sebesar ha (11,0%), sedangkan penggunaan lahan yang lainnya masing-masing hanya mencakup kurang dari 10% dari luas total penggunaan lahan, meliputi semak (7,05%), kebun campuran (5,6%), ladang (3,7%), kebun teh (5,2%), mangrove (2,3%), permukiman (2,1%), tambak (2,1%), kebun tebu (0,7%), kebun karet (0,5%), kebun coklat (0,5%), dan badan air (0,2%). Pada tahun 2008 penggunaan lahan di DAS Cipunagara masih didominasi oleh sawah dengan luasan 76521,6 ha atau 44,6%. Kemudian kebun jati sebesar 17971,5 ha (10,5%), dan hutan sebesar 17379,0 ha (10,1%), sedangkan penggunaan lahan yang lainnya masing-masing hanya mencakup kurang dari 10% dari luas total penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang luasannya kurang dari 10% adalah semak (8,2%), permukiman (7,5%), kebun campuran (4,6%), ladang (4,2%), kebun teh (2,9%), tambak (2,3%), mangrove (1,9%), kebun tebu sebesar (1,2%), kebun coklat (0,5%), kebun karet (0,5%), dan badan air (0,2%). Peta penggunaan lahan tahun 1972, 1990, dan 2008 dapat dilihat pada Gambar 10, Gambar 11, dan Gambar Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Periode dan Grafik persen perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun dan disajikan pada Gambar 13 dan 14. Berdasarkan Gambar tersebut nampak bahwa tipe penggunaan lahan yang cenderung mengalami penambahan luas adalah permukiman, masing-masing seluas 1,3% dan 5,3%, semak masingmasing 2,7% dan 1,2%, ladang masing-masing 0,3% dan 0,5%, dan tambak masing-masing 0,9% dan 0,2%. Penambahan permukiman secara dominan berasal dari sawah (Tabel 12) diperkirakan pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun mendorong masyarakat untuk merubah penggunaan lahan yang ada untuk dijadikan sebagai lahan permukiman. Penambahan pada kelas semak lebih disebabkan karena kebun campuran yang dibiarkan begitu saja dalam waktu yang lama oleh masyarakat, sehingga menjadi semak belukar. Pada umumnya semak merupakan penggunaan lahan transisi dari penggunaan lahan satu ke penggunaan lahan lain.

11 Gambar 10. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cipunagara Tahun

12 Gambar 11. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cipunagara Tahun

13 Gambar 12. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cipunagara Tahun

14 42 Penggunaan lahan yang cenderung mengalami penurunan pada dua periode adalah kebun campuran masing-masing 17,4% dan 0,1%, kebun jati masing-masing 4,1% dan 0,5%, dan mangrove masing-masing 0,3% dan 0,4%. Berdasarkan Tabel 13 dan 14 diketahui bahwa kebun campuran mengalami penurunan luasan yang cukup signifikan karena banyak beralih fungsi menjadi penggunaan lahan lain seperti sawah, permukiman, kebun tebu, kebun coklat, ladang, dan beberapa penggunaan lahan lain sedangkan kebun jati sebagian besar terkonversi menjadi sawah. Pengurangan ini terjadi karena sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian sebagai petani (Subang Dalam Angka Tahun, 2008). Sehingga mendorong masyarakat untuk merubah penggunaan lahan yang ada untuk dijadikan sawah. Sedangkan mangrove berubah menjadi tambak karena penjualan hasil tambak dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Penggunaan lahan hutan, kebun karet, dan kebun teh mengalami peningkatan luas pada periode dan menurun pada periode Hutan menurun menjadi 3,4%, kebun karet menjadi 0,04%, sedangkan kebun teh berkurang menjadi 0,3%. Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan hutan menurun karena terkonversi menjadi semak, kebun jati, ladang, sawah, kebun campuran, dan permukiman. Sedangkan kebun karet terkonversi menjadi sawah, permukiman, dan ladang. Kebun teh berkurang luasannya karena terkonversi menjadi kebun campuran, permukiman, dan sawah. Adapun dinamika perubahan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 12. Penggunaan lahan DAS Cipunagara di kawasan pesisir banyak dipengaruhi oleh karakteristik fisik lahannya (dinamika perubahan garis pantai). Untuk kawasan DAS bagian hulu lebih didominasi oleh faktor manusia. Sedangkan untuk kawasan DAS bagian tengah relatif statis atau tidak berubah, karena didominasi oleh dataran rendah dengan penggunaan lahan berupa sawah, yang sebagian besar beririgasi. Grafik Persen Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan dan disajikan pada Gambar 13 dan 14.

15 % Perubahan ba htn kc cklt jti krt tbu teh ldg mgv pmk swh smk sgi tmk lt Penggunaan Lahan Gambar 13. Grafik Persen Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan ba htn kc cklt jti krt tbu teh ldg mgv pmk swh smk sgi tmk lt 5.3 % Perubahan Penggunaan Lahan Gambar 14. Grafik Persen Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan

16 44 Tabel 12. Arah Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan Penggunaan Tahun Lahan Badan Air (-) swh,kc,ldg (-) swh (+) kc,ldg,smk,tbu,swh (+) ldg Hutan (-) smk,swh,kc,jti,teh,ldg,swh,smk (-) smk,jti,ldg,swh,kc,pmk (+) kc,jti,teh,ldg,swh,smk (+) teh,ldg Kebun Campuran (-) smk,htn,swh,jti,krt,tbu,teh,ldg,pmk (-) swh,pmk,tbu,cklt,ldg (+) smk,htn,jti,cklt,tbu,swh (+) smk,jti,htn,ldg,swh,teh Kebun Coklat (-) jti,swh,ldg,pmk.kc (-) pmk (+) jti,kc,swh (+) jti,swh,kc,ldgldg,kc Kebun Jati (-) htn,swh,kc,cklt,krt,teh,ldg,pmk,smk (-) swh,pmk,smk,ldg,kc,cklt,krt (+) kc,swh,smk,htn,krt,cklt (+) htn,smk,swh,ldg Kebun Karet (-) jti,swh (-) swh,pmk,ldg (+) kc,jti,ldg,swh (+) swh,jti Kebun Tebu (-) swh,kc,ldg,pmk,ba (-) pmk,ldg,swh (+) swh,ldg,kc (+) swh,kc Kebun Teh (-) swh,htn (-) pmk,kc,swh (+) htn,kc,jti,ldg,smk (+) kc,smk Ladang (-) swh,kc,smk,pmk,teh,tbu,krt,htn,ba,tmk (-) swh,pmk,kc,jti,cklt,htn,ba,tbu (+) kc,htn,jti,mgv,swh,smk,ba (+) htn,swh,jti,kc,mgv,tbu,smk,krt,tmk Mangrove (-) tmk,lt,ldg (-) tmk,swh,ldgldg,swh,pmk,lt (+) ldg,swh,tmk,lt (+) tmk,lt Permukiman (+) htn,kc,cklt,jti,tbu,ldg,swh,smk (+) swh,kc,jti,smk,ldg,teh,htn,cklt,krt,tbu Sawah (-) kc,jti,cklt,krt,tbu,ldg,mgv,pmk,smk,tmk,lt,ba,htn (-) pmk,kc,jti,ldg,smk,cklt,krt,tbu,lt (+) htn,kc,cklt,jti,krt,tbu,teh,ldg,swh,smk,ba (+) jti,kc,smk,htn,tmk,ba,krt,tbu,teh,ldg,mgv,lt Semak (-) jti,htn,swh,kc,teh,ldg,pmk (-) jti,pmk,swh,kc,ldg (+) htn,kc,jti,ldg,swh (+) htn,kc,jti,swh Tambak (-) mgv,lt (-) mgv,lt,swh,ldg (+) mgv,lt,ldg,swh (+) mgv,lt Laut (-) tmk,swh,mgv (-) tmk,mgv

17 45 Tabel 13. Matriks Perubahan penggunaan Lahan Tahun Badan Hutan Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Air Campuran Coklat Jati Karet Tebu Teh Ladang Mangrove Permukiman Sawah Semak Sungai Tambak Laut Jumlah Badan Air 244,1 0,0 21,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 17,1 0,0 0,0 84,3 0,0 0,0 0,0 0,0 367,2 Hutan 0,0 8264,8 748,7 0,0 964,7 0,0 0,0 235,8 565,8 0,0 89,3 1873,4 3513,2 0,0 0,0 0, ,7 Kebun Campuran 14,4 6775,1 5687,3 161,2 3739,8 424,7 16,8 3010,6 2643,3 0,0 865, ,0 4278,9 0,0 0,0 0, ,6 Kebun Coklat 0,0 0,0 4,9 322,3 315,4 0,0 0,0 0,0 23,1 0,0 18,8 141,2 0,0 0,0 0,0 0,0 825,7 Kebun Jati 0,0 6202,9 158,7 193, ,7 61,1 0,0 332,4 940,0 0,0 73,8 5186,2 2495,9 0,0 0,0 0, ,2 Kebun Karet 0,0 0,0 0,0 0,0 103,1 92,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 98,4 0,0 0,0 0,0 0,0 293,8 Kebun Tebu 10,0 0,0 284,4 0,0 0,0 0, ,0 38,9 0,0 41,9 1024,5 0,0 0,0 0,0 0,0 1399,6 Kebun Teh 0,0 284,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 758,5 0,0 0,0 0,0 202,6 0,0 0,0 0,0 0,0 1245,6 Ladang 0,0 44,9 771,6 0,0 0,0 52,3 72,7 517,1 1276,9 23,2 210,3 2126,8 375,7 0,0 330,5 0,0 5830,0 Mangrove 0,0 0,0 40,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 94,3 2730,2 0,0 0,0 0,0 0,0 1380,1 143,4 4387,9 Permukiman 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1372,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1372,3 Sawah 3,3 67,2 1217,7 114,0 1086,8 187,6 606,2 0,0 436,8 29,9 1079, ,9 812,4 0,0 190,5 37, ,1 Semak 0,0 1491,9 472,2 0,0 2555,7 0,0 0,0 598,4 103,4 0,0 50,7 1491,2 552,0 0,0 0,0 0,0 7316,8 Sungai 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1454,1 0,0 0,0 1454,1 Tambak 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 976,6 0,0 0,0 0,0 0,0 760,7 239,5 1976,8 Laut 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 110,9 0,0 117,4 0,0 0,0 897,8 0,0 1126,1 Jumlah 271, ,4 9427,1 791, ,2 818,0 695,7 5452,6 6139,4 3870,7 3802, , ,0 1454,1 3559,6 420, ,6

18 46 Tabel 14. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Badan Hutan Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Ladang Mangrove Permukiman Sawah Semak Sungai Tambak Laut Jumlah Air Campuran Coklat Jati Karet Tebu Teh Badan Air 233,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 38,2 0,0 0,0 0,0 0,0 271,8 Hutan 0, ,8 141,1 0,0 1349,8 0,0 0,0 0,0 738,6 0,0 95,1 344,9 3164,4 0,0 0,0 0, ,7 Kebun Campuran 0,0 0,0 5401,2 31,8 0,0 0,0 428,2 0,5 275,3 0,0 1088,8 1484,9 960,7 0,0 0,0 0,0 9671,3 Kebun Coklat 0,0 0,0 0,0 762,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 39,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 802,3 Kebun Jati 0,0 0,0 162,7 85, ,2 3,4 0,0 0,0 381,4 0,0 723,1 2513,3 695,7 0,0 0,0 0, ,8 Kebun Karet 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 708,5 0,0 0,0 4,7 0,0 28,1 110,2 0,0 0,0 0,0 0,0 851,6 Kebun Tebu 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1122,1 0,0 37,0 0,0 90,5 33,1 0,0 0,0 0,0 0,0 1282,7 Kebun Teh 0,0 0,2 127,0 0,0 0,0 0,0 0,0 5013,7 2,0 0,0 302,4 7,5 0,0 0,0 0,0 0,0 5452,7 Ladang 38,2 0,1 149,7 27,7 46,3 0,0 3,3 0,0 5028,3 0,0 419,4 664,6 0,0 0,0 0,0 0,0 6377,6 Mangrove 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 108,9 2941,0 99,2 107,6 0,0 0,0 602,2 16,8 3875,7 Permukiman 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3642,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3642,8 Sawah 0,0 0,0 1815,8 36,7 293,9 75,4 477,9 0,0 653,4 0,0 5530, ,5 303,7 0,0 0,9 0, ,0 Semak 0,0 0,0 90,7 0,0 1903,3 0,0 0,0 0,2 16,1 0,0 675,8 368,2 8951,9 0,0 0,0 0, ,2 Sungai 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1454,1 0,0 0,0 1454,1 Tambak 0,0 0,0 12,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 8,0 269,8 0,0 219,5 0,0 0,0 2975,1 58,4 3542,7 Laut 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 133,3 0,0 0,1 0,0 0,0 392,2 0,0 525,6 Jumlah 271, ,0 7900,3 943, ,5 787,4 2031,4 5014,4 7253,6 3344, , , ,3 1454,1 3970,4 75, ,6

19 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Dari hasil analisis statistik dengan program Statistica 7.0, diperoleh suatu gambaran peluang tentang nilai penaksiran (estimate) koefisien peubah yang berpengaruh terhadap pola perubahan penggunaan lahan. Nilai penaksiran positif menggambarkan pendugaan pengaruh peubah-peubah yang diukur bersifat meningkatkan peluang terjadinya perubahan dari jenis penggunaan tertentu ke penggunaan lainnya, sedangkan nilai penaksiran negatif artinya sifatnya kecil untuk meningkatkan peluang perubahan dari jenis penggunaan lahan tertentu ke penggunaan lain. Perubahan penggunaan lahan yang dianalisis pada penelitian ini adalah perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian dan dari lahan pertanian menjadi permukiman Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian Periode Dalam penelitian ini, faktor fisik yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian adalah kemiringan lereng, elevasi, curah hujan, geologi dan tanah (berpengaruh nyata pada p<0,005). Tabel 15 menunjukkan bahwa nilai yang berwarna merah mempunyai pengaruh nyata yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian. Faktor kemiringan lereng yang berpengaruh nyata adalah kelas lereng 0-8% dengan nilai penaksiran 0,39. Hal ini disebabkan di DAS Cipunagara dan sekitarnya sebagian besar berupa dataran rendah dengan kemiringan lereng 0-8% yang penggunaan lahannya didominasi oleh sawah. Kondisi lahan dengan tingkat kelerengan yang tinggi tidak efisien untuk lahan pertanian karena membutuhkan biaya dan tenaga yang sangat besar untuk mendapatkan hasil yang optimal.

20 48 Tabel 15. Penaksiran Peluang Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi Pertanian Keterangan Effect Estimate p Jenis Tanah Aluvial Andosol Latosol Podsolik Regosol Elevasi 0-25 mdpl mdpl , mdpl mdpl mdpl Lereng 0-8 % % % % Geologi Qa, Qad, Qac (penyusun : alluvium) Pk, Mss, Qav2, Pt (penyusun : pasir, formasi alluvium) Qol, Msc, Qaf (penyusun : claysto, formasi sedimen) Qyl (penyusun : lava, formasi vulkanik) Curah Hujan 76,47 mm/bulan ,73 mm/bulan ,62 mm/bulan ,30 mm/bulan ,98 mm/bulan ,88 mm/bulan ,74 mm/bulan Faktor elevasi juga berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian. Kelas elevasi tersebut adalah elevasi 0-25 mdpl dengan nilai penaksiran 2,95. Penggunaan lahan untuk pertanian banyak dilakukan pada ketinggian 0-25 mdpl. Faktor curah hujan 76,47 mm/bulan dengan nilai penaksiran 1,85 juga mempengaruhi peningkatan peluang perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian. Curah hujan tersebut sesuai untuk penanaman padi sawah. Faktor curah hujan 287,88 mm/bulan dengan

21 49 nilai penaksiran -0,98 menandakan pengaruhnya bersifat kecil meningkatkan peluang perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian. Faktor geologi dengan formasi alluvium menunjukkan nilai penaksiran -0,49, sedimen dengan nilai penaksiran 0,59, dan vulkanik dengan nilai penaksiran -1,12 berpengaruh nyata terhadap peluang perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian. Formasi alluvium dengan bahan induk pasir ini kurang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian karena ketersediaan unsur hara yang rendah dan meliliki porositas tinggi sehingga tidak dapat mengikat air. Selain itu juga dipengaruhi oleh ketersediaan air yang berada pada daerah tersebut. Sedangkan formasi sedimen dengan penyusun claystone tergolong subur untuk lahan pertanian. Faktor tanah yang juga berpengaruh nyata adalah tanah aluvial, andosol, podsolik, dan regosol. Tanah berkaitan dengan bahan induk. Tanah aluvial dan regosol tergolong subur untuk lahan pertanian, karena didominasi oleh endapan liat, pasir, dan tuf vulkan. Sedangkan andosol juga termasuk subur karena berkembang dari bahan induk vulkanik dengan kandungan bahan amorf yang tinggi. Hasil perhitungan goodness of fit yang disajikan pada Tabel 16 menunjukkan nilai scaled deviance sebesar 1,03 dan pearson chi 1,05 diartikan bahwa hasil estimasi ini sama dengan kondisi yang ada di lapangan. Tabel 16. Perhitungan goodness of fit Peluang Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi Pertanian Stat. Df Stat. Stat/Df Deviance Scaled Deviance Pearson Chi Scaled P. Chi Loglikelihood Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi Permukiman Periode Salah satu perubahan penggunaan lahan pada DAS Cipunagara adalah perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi permukiman. Hal ini menunjukkan kebutuhan akan permukiman merupakan faktor terbesar yang mendorong terjadinya konversi lahan tersebut. Tabel 17 menunjukkan faktor yang

22 50 mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi permukiman adalah kemiringan lereng, elevasi, geologi, dan tanah. Tabel 17. Penaksiran Peluang Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi Permukiman Keterangan Effect Estimate p Jenis Tanah Aluvial Andosol Latosol Podsolik Regosol Elevasi 0-25 mdpl mdpl mdpl mdpl mdpl Lereng 0-8 % % % % Geologi Qa, Qad, Qac (penyusun : alluvium) Pk, Mss, Qav2, Pt (penyusun : pasir, formasi alluvium) Qol, Msc, Qaf (penyusun : claysto, formasi sedimen) Qyl (penyusun : lava, penyusun vulkanik) Curah Hujan 76,47 mm/bulan ,73 mm/bulan ,62 mm/bulan ,30 mm/bulan ,98 mm/bulan ,88 mm/bulan ,74 mm/bulan Kemiringan lereng yang mepengaruhi perubahan penggunaan lahan lahan dari pertanian menjadi permukiman adalah 0-8% dengan nilai penaksiran 1,55, dan 8-15% dengan nilai penaksiran -0,50. Peluang terjadinya perubahan lahan dengan nilai penaksiran negatif, dapat diartikan pengaruhnya kecil meningkatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi permukiman. Seperti halnya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian, faktor elevasi juga berpengaruh nyata terhadap probabilitas perubahan lahan pertanian menjadi permukiman. Faktor elevasi tersebut adalah kelas elevasi

23 mdpl dengan nilai penaksiran -0,8, kelas elevasi mdpl dengan nilai penaksiran 0,89, dan kelas elevasi mdpl dengan nilai penaksiran 0,60. Dengan demikian, semakin luas area dengan tingkat elevasi dengan nilai penaksiran positif, maka probabilitas perubahan lahan pertanian menjadi permukiman semakin meningkat. Pembangunan permukiman pada kelas elevasi mdpl menunjukkan bahwa kelas elevasi yang tinggi bukan lagi merupakan faktor pembatas untuk membangun permukiman. Pembangunan permukiman pada kelas elevasi yang tinggi biasanya diikuti oleh pembangunan sarana aksesibilitas sehingga menjadi penarik untuk menuju ke lokasi permukiman tersebut. Geologi dan jenis tanah tanah sebenarnya tidak berhubungan dengan permukiman, tetapi lebih berhubungan dengan bentuklahan dimana permukiman lebih banyak ditemukan pada bentuklahan yang relatif datar. Berdasarkan hasil perhitungan goodness of fit yang disajikan pada Tabel 18 diperoleh nilai scaled deviance sebesar 0,92 dan pearson chi 1,01 yang menunjukkan bahwa hasil penaksiran terhadap peluang perubahan ini sama dengan kondisi di lapangan. Tabel 18. Perhitungan goodness of fit peluang perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi permukiman Stat. Df Stat. Stat/Df Deviance Scaled Deviance Pearson Chi Scaled P. Chi Loglikelihood Perubahan Garis Pantai Periode Gambar 15 menunjukkan bahwa perubahan garis pantai di pantai utara Subang cukup dinamis selama periode Namun demikian ada bagian dari garis pantai yang cenderung mengalami penambahan daratan seperti yang nampak pada Gambar (15a) di bagian barat (Kecamatan Blanakan) dan di Tanjung Cipunagara (15c). Penambahan ini kemungkinan berasal dari sedimen yang dibawa oleh aliran Sungai Cipunagara. Penambahan lebih cepat terjadi di muara sungai Cipunagara, dimana terdapat suplai sedimen yang berlimpah dan laut relatif dangkal, serta gelombang air laut yang cenderung kecil menyebabkan gerakan air lebih lambat, sehingga material yang terbawa dari sungai terendap di

24 52 daerah sekitar muara sungai. Fenomena ini menyebabkan proses pengendapan dari sungai lebih leluasa, tidak terganggu oleh gelombang. Tanjung Cipunagara (15c) merupakan tempat bermuaranya Sungai Cipunagara. Gambar 15. Garis Pantai Tahun 1972, 1990, dan 2008 (a) penambahan, (b) pengurangan, (c) penambahan Pada bagian Tanjung Pamanukan dan Tanjung Pancerwetan (15b), garis pantai cenderung mundur atau berkurang luasannya karena proses abrasi sehingga garis pantai bergerak mundur ke arah daratan. Abrasi pada umumnya terjadi di daerah terbuka dan berhadapan langsung dengan laut, dimana faktor gelombang sangat berpengaruh terhadap pengikisan pantai. Gelombang juga berpengaruh terhadap perubahan garis pantai. Arah hempasan gelombang yang menuju pantai berbeda pada teluk dan semenanjung. Gelombang pada teluk arahnya cenderung menyebar dan tekanan yang diperoleh daerah pantai semakin kecil, sehingga proses sedimentasi masih mendominasi. Untuk gelombang yang menuju ke semenanjung, arahnya cenderung memusat pada satu titik, dimana sekitar titik ini merupakan pertemuan gelombang yang datang dari arah laut sehingga tekanan yang terjadi pada daerah pantai semakin

25 53 besar. Gelombang tersebut cenderung mengganggu proses sedimentasi yang sedang terjadi, sehingga proses pengendapan menjadi tidak leluasa. Gambar 16. Hempasan Gelombang yang Tiba di Garis Pantai (Sumber : Kalay, 2008) Berdasarkan hasil interpretasi dari citra Landsat tahun 2008, pada bagian Tanjung delta cipunagara (15c), terdapat lahan timbul akibat proses sedimentasi dari Sungai Cipunagara. Jika proses sedimentasi ini terus-menerus terjadi di ujung Tanjung Cipunagara dan mengarah ke barat, maka selama beberapa tahun ke depan dapat terbentuk laguna. Gambar 17. Garis Pantai Tahun 1972, 1990, dan 2008

26 54 Laguna pantai yang biasa ditemukan di kawasan pesisir Subang berbentuk memanjang sejajar dengan pantai yang dipisahkan oleh penghalang atau lahan timbul baru yang terbentuk seperti dari liat dan pasir. Penghalang laguna ini dibentuk oleh gelombang dan arus laut yang terus-menerus membuat sedimen kasar lepas pantai. Jika penghalang laguna sudah mulai terbentuk, muatan sedimen yang lebih besar yang berasal dari sungai bisa menetap atau berhenti di air yang relatif tenang di belakang penghalang tersebut. Pada awalnya Sungai Cipunagara mengalir menuju Pantai Utara Subang dengan arah utara seperti yang nampak pada Gambar 17. Namun sekitar tahun 1962 Sungai Cipunagara mengalami proses pelurusan oleh manusia dengan memindahkan aliran sungai menuju ke arah timur (pantai). Hal ini dilakukan untuk mengimbangi ketimpangan pertumbuhan garis pantai di wilayah muara Sungai Cipunagara yang mengalami pergeseran relatif cepat ke arah lautan. Gambar 17 menunjukkan bahwa daratan baru cenderung bertambah luasannya pada tiga titik tahun. Hal ini disebabkan karena besarnya volume material yang dibawa oleh Sungai Cipunagara dan kecilnya gelombang air laut merupakan faktor penentu terbentuknya daratan baru yang sangat intensif. Pada Tanjung Cipunagara, proses sedimentasi yang berasal dari pengendapan materialmaterial aliran Sungai Cipunagara tidak terganggu oleh hempasan gelombang karena letaknya tertutup atau terlindungi oleh daratan disekitarnya. Sehingga proses sedimentasi yang terjadi lebih leluasa. Faktor lainnya adalah karena aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi suplai sedimen melalui kegiatannya pada kawasan DAS. Kerusakan lahan melalui penebangan hutan atau terbukanya permukaan permukaan lahan akibat longsor dapat menjadi penyebab terjadinya erosi tanah yang menambah muatan sedimen sungai. Tabel 19 mengilustrasikan ketidakstabilan daratan baru yang ditunjukkan dengan dinamika perubahan penggunaan lahan di kawasan pesisir utara Subang. Penggunaan lahan yang paling dominan di kawasan pesisir adalah mangrove.

27 55 Tabel 19. Penutupan/Penggunaan Lahan di Daerah Pesisir Tahun 1972,1990, dan Ha % Ha % Laut Laut Laut Laut Laut Mangrove Laut Laut Tambak Laut Mangrove Mangrove Laut Mangrove Laut Laut Mangrove Tambak Laut Tambak Laut Laut Tambak Tambak Laut Tambak Mangrove Laut Sawah Sawah Mangrove Mangrove Mangrove Mangrove Mangrove Tambak Mangrove Mangrove Laut Mangrove Mangrove Ladang Mangrove Mangrove Sawah Mangrove Tambak Tambak Mangrove Tambak Mangrove Mangrove Tambak Laut Mangrove Tambak Sawah Mangrove Laut Laut Tambak Tambak Tambak Tambak Tambak Laut Tambak Tambak Mangrove Tambak Mangrove Mangrove Tambak Mangrove Tambak Tambak Mangrove Laut Tambak Mangrove Sawah Tambak Laut Laut Sawah Tambak Tambak Sawah Tambak Sawah Sawah Laut Laut Total Kajian Umum Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Garis Pantai Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang menerima air hujan untuk kemudian mengalirkannya kembali melalui satu sungai utama menuju ke hilir. DAS bagian hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS karena selain fungsinya yang sangat penting yaitu sebagai daerah tangkapan air (Water Catchment Area) juga adanya keterkaitan biofisik dengan daerah tengah

28 56 dan hilir. Segala bentuk kerusakan yang terjadi di daerah hulu pada akhirnya tidak hanya akan membawa dampak bagi daerah hulu saja namun akhirnya juga berdampak pada daerah tengah, dan terutama daerah hilir. DAS Cipunagara bagian hulu merupakan daerah tangkapan air yang saat ini telah mengalami banyak perubahan penutupan/penggunaan lahan dari hutan dan lahan pertanian menjadi permukiman dan perkebunan. Pada tahun 2008, penggunaan lahan hutan di DAS Cipunagara sebesar 17379,0 ha atau 10,1% dan kebun jati sebesar 17971,5 ha atau 10,5%. Hal ini tidak sesuai dengan UU No.41 Tahun 1999 pasal 18 ayat 2 yang menyatakan bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Besarnya luas kawasan hutan dan kebun jati yang tidak mencapai 30% ini akan berdampak pada besarnya tingkat erosi di daerah hulu. Faktor lain yang juga cenderung meningkatkan erosi di daerah hulu adalah akibat praktek bercocok tanam yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air serta aktivitas pembalakan hutan (logging) atau deforestasi (pengurangan areal tegakan hutan). Pengendapan akhir atau sedimentasi terjadi pada kaki bukit yang relatif datar, sungai, dan waduk (Sarief, 1985). Demikian juga dengan erosi yang terjadi di hulu DAS Cipunagara, dimana material hasil erosi di daerah hulu diendapkan di Bendung Salamdarma yang membendung Sungai Cipunagara. Bendung Salamdarma berada di lereng bagian hilir Gunung Tangkuban Perahu yang berfungsi sebagai sarana irigasi untuk mengairi sawah di sekitarnya. Berdasarkan fenomena di atas, nampak bahwa Dengan demikian material hasil erosi di daerah hulu kurang berpengaruh terhadap sedimentasi yang terjadi di daerah pantai. Sedimentasi yang terjadi di pantai utara Subang lebih dipengaruhi oleh erosi yang terjadi di tebing-tebing sungai, terutama di Sungai Cipunagara bagian hilir (di bawah Bendungan Salamdarma) dan sungai-sungai kecil. Erosi ini terjadi karena adanya gerusan air sungai dan adanya longsoran tanah pada tebing sungai. Erosi tebing sungai tersebut memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap sedimentasi di tepi pantai, seperti nampak pada bagian barat (Kecamatan Blanakan), Tanjung Pamanukan, Tanjung Pancerwetan, dan Tanjung Cipunagara.

29 57 Jika proses sedimentasi ini terus berlangsung maka akan timbul daratan baru di bagian hilir dan akan merubah bentuk garis pantai di kawasan pesisir DAS. Penggunaan lahan yang terdapat pada bagian hilir dari DAS relatif tetap, yaitu sawah dengan kemiringan lereng yang datar. Sawah merupakan vegetasi penutup tanah yang relatif rapat, sehingga dapat memperkecil besarnya aliran permukaan yang berdampak pada erosi yang terjadi. Selain itu, lereng yang datar juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecepatan aliran permukaan yang membawa material-material erosi yang akan diendapkan di muara sungai. Hal ini tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap erosi yang berdampak pada sedimentasi yang terjadi di pantai.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya LEMBAR KERJA SISWA KELOMPOK :. Nama Anggota / No. Abs 1. ALFINA ROSYIDA (01\8.6) 2.. 3. 4. 1. Diskusikan tabel berikut dengan anggota kelompok masing-masing! Petunjuk : a. Isilah kolom dibawah ini dengan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 1972 (Kombinasi Band 421)

Lampiran 1. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 1972 (Kombinasi Band 421) LAMPIRAN 61 Lampiran 1. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 1972 (Kombinasi Band 421) 62 Lampiran 2. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 1990 (Kombinasi Band 542) 63 Lampiran 3. Citra Landsat DAS Cipunagara

Lebih terperinci

3.1 Metode Identifikasi

3.1 Metode Identifikasi B A B III IDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR DAS PENYEBAB KERUSAKAN KONDISI WILAYAH PESISIR BERKAITAN DENGAN PENGEMBANGAN ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT PESISIR 3.1 Metode Identifikasi Identifikasi adalah meneliti,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG

PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG M. YULIANTO F. SITI HARDIYANTI PURWADHI EKO KUSRATMOKO I. PENDAHULUAN Makin sempitnya perairan laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kajian Peta Daerah Berpotensi Banjir Rob Karena Pasang Surut Analisis daerah yang berpotensi terendam banjir rob karena pasang surut dilakukan dengan pemetaan daerah berpotensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107 o 44 BT sampai 107 o 51 BT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Deskripsi Wilayah Studi 1. Letak dan Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Jepara dan Daerah Tangkapan Hujan Waduk Way Jepara secara geografis terletak pada 105 o 35 50 BT

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU Kelas C Oleh : Ayu Sulistya Kusumaningtyas 115040201111013 Dwi Ratnasari 115040207111011 Fefri Nurlaili Agustin 115040201111105 Fitri Wahyuni 115040213111050

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

Resiko Banjir Kabupaten Gresik Berdasarkan Citra Satelit (Wiweka)

Resiko Banjir Kabupaten Gresik Berdasarkan Citra Satelit (Wiweka) RESIKO BANJIR KABUPATEN GRESIK BERDASARKAN CITRA SATELIT Wiweka Peneliti Bidang Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Inderaja, LAPAN RINGKASAN Kabupaten Gresik secara lingkungan fisik merupakan wilayah

Lebih terperinci

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU Oleh NUR ANITA SETYAWATI, 0706265705 Gambaran Umum DAS SIAK Sungai Siak adalah sungai yang paling dalam di Indonesia, yaitu dengan kedalaman sekitar 20-30 meter. Dengan Panjang

Lebih terperinci

HIDROSFER III. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER III. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami jenis sungai berdasarkan formasi batuan dan

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b Tema 7 Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir & Daerah Aliran Sungai ke-1 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 9 April 2015 Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai Muhammad Rijal

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dikenal sebagai sektor penting karena berperan antara lain sebagai sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. dikenal sebagai sektor penting karena berperan antara lain sebagai sumber 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perekonomian Indonesia, sektor pertanian secara tradisional dikenal sebagai sektor penting karena berperan antara lain sebagai sumber utama pangan dan

Lebih terperinci

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO 1. Gambaran Umum a) Secara geografi Desa Banaran, Kecamatan Pulung terletak di lereng Gunung Wilis sebelah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Geomorfologi Bentuk lahan di pesisir selatan Yogyakarta didominasi oleh dataran aluvial, gisik dan beting gisik. Dataran aluvial dimanfaatkan sebagai kebun atau perkebunan,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 15 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Kabupaten Lebak secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha atau 3.044,72 km².

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 45 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi Administrasi Secara geografis, Kabupaten Garut meliputi luasan 306.519 ha yang terletak diantara 6 57 34-7 44 57 Lintang Selatan dan 107 24 3-108 24 34 Bujur Timur.

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

BAB II KONDISI UMUM LOKASI 6 BAB II KONDISI UMUM LOKASI 2.1 GAMBARAN UMUM Lokasi wilayah studi terletak di wilayah Semarang Barat antara 06 57 18-07 00 54 Lintang Selatan dan 110 20 42-110 23 06 Bujur Timur. Wilayah kajian merupakan

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk V PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis 5.1.1 Penghitungan Komponen Penduduk Kependudukan merupakan salah satu komponen yang penting dalam perencanaan suatu kawasan. Faktor penduduk juga memberi pengaruh yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kecamatan Conggeang 4.1.1 Letak geografis dan administrasi pemerintahan Secara geografis, Kecamatan Conggeang terletak di sebelah utara Kabupaten Sumedang. Kecamatan

Lebih terperinci

BAB BENTUK MUKA BUMI. Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan bumi.

BAB BENTUK MUKA BUMI. Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan bumi. Bab 8 Peta Tentang Pola dan Bentuk Muka Bumi 149 BAB 8 PETA TENTANG POLA DAN BENTUK MUKA BUMI Sumber: Encarta Encyclopedia, 2006 Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI BAB II 2.1. Tinjauan Umum Sungai Beringin merupakan salah satu sungai yang mengalir di wilayah Semarang Barat, mulai dari Kecamatan Mijen dan Kecamatan Ngaliyan dan bermuara di Kecamatan Tugu (mengalir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Biru terletak di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Kecamatan Purwantoro dan Kecamatan Bulukerto. Lokasinya terletak di bagian lereng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan bakau / mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut (pesisir). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Luas dan Letak Wilayah Kota Sintang memiliki luas 4.587 Ha yang terdiri dari 3 Bagian Wilayah Kota (BWK) sesuai dengan pembagian aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Pertama,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1 Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37 10

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 50 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Fisik Kawasan Perkotaan Purwokerto Kawasan perkotaan Purwokerto terletak di kaki Gunung Slamet dan berada pada posisi geografis 109 11 22-109 15 55 BT dan 7 22

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Luas dan Potensi Wilayah Luas fungsional daerah penelitian adalah 171.240 ha, secara administratif meliputi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Subang, Sumedang,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dan air merupakan sumberdaya alam utama yang mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Sebagai sumberdaya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 1. Komponen tanah yang baik yang dibutuhkan tanaman adalah.... bahan mineral, air, dan udara bahan mineral dan bahan organik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) berfungsi sebagai penampung air hujan, daerah resapan, daerah penyimpanan air, penangkap air hujan dan pengaliran air. Wilayahnya meliputi

Lebih terperinci

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak dan Luas Daerah Penelitian Secara astronomis Kabupaten Bantul terletak antara 07 0 44 04-08 0 00 27 LS dan 110 0 12 34 110 0 31 08 BT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas

BAB I PENDAHULUAN. Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas ketersediaannya. Seperti sumber daya alam lainnya, lahan merupakan salah satu objek pemenuhan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi faktor pendukung dalam penyediaan kebutuhan air. Lahan-lahan yang ada pada suatu DAS merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bendungan atau dam adalah konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi waduk, danau, atau tempat rekreasi. Seringkali bendungan juga digunakan untuk mengalirkan

Lebih terperinci

benar sebesar 30,8%, sehingga harus dilakukan kembali pengelompokkan untuk mendapatkan hasil proporsi objek tutupan lahan yang lebih baik lagi. Pada pengelompokkan keempat, didapat 7 tutupan lahan. Perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan cara menggalakan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan cara menggalakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia sebagai Negara yang berkembang, terus berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan cara menggalakan pembangunan disegala bidang

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864 DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN 2016 KELOMPOK DATA JENIS DATA : DATA UMUM : Geografi DATA SATUAN TAHUN 2015 SEMESTER I TAHUN 2016 I. Luas Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas wilayah Kabupaten Kuningan secara keseluruhan mencapai 1.195,71

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemetaan Titik-Titik Longsor di Kabupaten Garut Pemetaan titik-titk longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Titik-titik longsor yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH Oleh : Sri Harjanti W, 0606071834 PENDAHULUAN Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan wilayah tata air dan ekosistem yang di dalamnya

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan No. Kelas 1 Hutan lahan kering primer dataran rendah 2 Hutan lahan kering primer pegunungan rendah 3 Hutan lahan kering sekunder dataran

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Curah Hujan Data curah hujan sangat diperlukan dalam setiap analisis hidrologi, terutama dalam menghitung debit aliran. Hal tersebut disebabkan karena data debit aliran untuk

Lebih terperinci

BAB 5: GEOGRAFI DINAMIKA HIDROSFER

BAB 5: GEOGRAFI DINAMIKA HIDROSFER www.bimbinganalumniui.com 1. Proses penguapan air yang ada di permukaan bumi secara langsung melalui proses pemanasan muka bumi disebut a. Transpirasi b. Transformasi c. Evaporasi d. Evapotranspirasi e.

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 39 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Deli Serdang merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara dan secara geografis Kabupaten ini terletak pada 2º 57-3º

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci