BAB V PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 2011 dan Perubahan Penggunaannya Tahun

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 2011 dan Perubahan Penggunaannya Tahun"

Transkripsi

1 32 BAB V PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 2011 dan Perubahan Penggunaannya Tahun Interpretasi dan analisis visual merupakan kegiatan mengamati citra secara visual dengan tujuan mengidentifikasi objek.pengelompokan objek yang homogen dalam suatu kelas penggunaan lahan dilakukan secara manual berdasarkan elemen penafsiran dan hasil pengecekan. Dalammelakukan kegiatan interpretasi citra, ada beberapa unsur yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan deteksi, identifikasi untuk mengenali sebuah obyek. Adapun unsur interpretasi citra menurut Lillesandet al. (2004) terdiri dari: rona, warna, bentuk, tekstur, pola, ukuran, dan resolusi. Berdasarkan hasil interpretasi yang dilakukan di layar monitor dan didukung oleh pengamatan lapang pada Landsat Kabupaten Bungo tahun 1993, 2001, dan 2006 dengan menggunakan kombinasi kanal RGB 5-4-3, diperoleh beberapa karakteristik penggunaan lahan yaitu: hutan, tubuh air, sawah, tegalan, pemukiman, sawit, dan karet. Verifikasi lapang selanjutnya dilakukan untuk memperbaiki atribut tutupan lahan yang ada pada citra Landsat, karena adanya kendala. Diantaranya adalah, tutupan awan pada citra serta perbedaan waktu antara tanggal penyiaman citra Landsat TM dengan waktu penelitian. Verifikasi lapang juga dimaksudkan untuk menguji tingkat akurasi hasil interpretasi citra Landsat. Gambar 5.1 menyajikan potongan citra Landsat TM tahun 2006 Kabupaten Bungo serta beberapa foto hasil pengecekan lapang. Tidak seluruh foto dapat disajikan karena keterbatasan tempat. Foto-foto yang disajikan tersebut terutama menyebar di sebelah Barat Laut yaitu Kecamatan Jujuhan, sampai Tenggara wilayah Kabupaten Bungo yaitu Kecamatan Pelepat dan mewakili tujuh jenis penggunaan lahan yang diamati. Pada waktu pengecekan lapang dilakukan pengambilan sampel sebanyak 60 titik pengambilan. Penentuan sampel berdasarkan penggunaan lahan yang mengalami perubahan ke penggunaan lahan lainnya dan penggunaan lahan yang tidak mengalami perubahan (tetap).

2 33 Karet Karet x 8 7'22" y9 51'18" x 8 24'6" x 8 5'23" y9 50'14" y9 50'16" Tegalan x 8 28'15" y9 50'72" x 8 36'18" y9 49'54" x 8 27'12" y9 48'34" Sawit Pemukiman Hutan Gambar 5.1. Kenampakan Objek Pada Citra Landsat Kabupaten Bungo Tahun

3 34 Berikutnya secara lebih rinci pada Tabel 5.1 disajikan potongan citralandsat TM RGB 5-4-2, foto, karakteristik visual dan penyebaran dari jenis penggunaan lahan di Kabupaten Bungo. Secara ringkas kenampakan citra dan karakteristik visual dari tujuh jenis penggunaan lahan tersebut adalah sebagai berikut: o Tubuh air dapat diamati dari warna dan teksturnya di citra yaitu berwarna biru dan bertekstur halus. Tubuh air di Kabupaten Bungo menyebar di hampir seluruh kecamatan. o Pemukiman atau lahan terbangun dalam citra Landsat TM dikelaskan dari pemukaan berwarna ungu muda sampai tua dengan ukuran bervariasi, rona agak terang tekstur agak kasar, pola mengikuti jaringan jalan atau tubuh air, atau pola tidak teratur jika berbaur dengan vegetasi. Pemukiman menyebar di sepanjang jalan, sungai dan pusat aktivitas. o Sawah umumnya memiliki pola petak-petak dan ditandai dengan pematang. Memiliki tekstur seragam yang ditandai dengan warna hijau muda sampai kuning. Pada wilayah penelitian, sawah umumnya berusia 2-4 minggu dengan penyebaran sebagian besar di daerah penerima transmigrasi. o Tegalan biasanya selalu berasosiasi dengan pemukiman dan menyebar di sepanjang aliran sungai, memiliki pola yang tidak teratur, bertekstur kasar dengan warna yang bervariasi diantaranya ungu, kuning keoranyean dan hijau muda. o Hutan tersebar di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Bungo, terbesar berada di Kecamatan Tanah Tumbuh, memiliki pola yang tidak teratur dan bergerombol, berwarna hijau muda sampai gelap. Semakin gelap warna yang terlihat pada citra Landsat menandakan bahwa hutan semakin lebat. o Sawit menyebar di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Bungo. Luas terbesar ditemukan di Kecamatan Tanah Tumbuh dan Pelepat. Kenampakan di citra ditunjukkan dari tekstur relatif kasar, berwarna hijau muda kekuningkuningan dengan pola petak-petak dan ditandai dengan adanya jaringan jalan. o Karet umumnya memiliki petakan dengan ukuran yang relatif lebar. Kenampakan di citra berupa rona terang dan ditandai dengan jaringan jalan yang jelas. Penyebaran terbesar berada di Kecamatan Jujuhan.

4 35 Tabel 5.1. Kenampakan dan Karakteristik Visual serta Penyebaran Penggunaan Lahan di Kabupaten Bungo Jenis Penggunaan Tubuh Air Citra Foto Karakteristik Visual Penyebaran - Tubuh air berwarna biru dengan - Tekstur halus Menyebar diseluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Bungo. Pemukiman atau lahan terbangun x 8 31'19" y 9 50'25" x 8 1'20" y 9 49'33" - Bewarna ungu muda sampai tua - Ukuran bervariasi - Rona agak terang - Tekstur agak kasar. - Pola yang relatif teratur mengikuti jalan atau tubuh air, dan pola yang tidak teratur jika berbaur dengan vegetasi. Menyebar di sepanjang jalan, sungai dan pusat aktifitas. Secara umum penyebaran terbesar berada pada pusat perdagangan, industri dan jasa masyarakat Sawah x 8 44'16" y 9 49'18" - Tekstur seragam - Pola petak-petak dibatasi oleh pematang serta adanya aliran tubuh air - Warna kuning dan hijau muda Penyebarannya sebagian besar banyak di daerah penerima transmigran seperti Pelepat, Muara Bungo, dan Jujuhan. Tegalan Hutan x 8 28'15" y 9 50'72" x 8 27'12" y 9 48'34" - Pola yang tidak teratur - Bertekstur kasar - Warna yang bervariasi diantaranya ungu, kuning ke orangean, dan hijau muda. - Pola tidak teratur dan bergelombol - Bewarna dari hijau muda yang lembut, tua sampai gelap - Ukuran yang relatif luas - Tekstur relatif kasar. Umumnya menyebar di sepanjang aliran sungai dan pemukiman masyarakat di seluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Bungo. Menyebar pada setiap Kecamatan yang ada di Kabupaten Bungo. Dengan luasan terbesar berada pada Kecamatan Tanah Tumbuh. Sawit Karet x 8 5'23" y 9 50'14" x 8 7'22" y 9 51'18" - Tekstur relatif kasar - Warna hijau muda kekuningan - Pola petak-petak, ditandai dengan jaringan jalan yang jelas. - Petakan mempunyai ukuran yang relatif lebar - tekstur relatif kasar - warna hijau muda sampai hijau tua dan cokelat kemerahan, serta petakan ditandai dengan jaringan jalan yang jelas. Menyebar pada seluruh Kecamatan. Luasan terbesar pada Kecamatan Tanah Tumbuh dan Pelepat, dimana Izin Usaha Perkebunan (IUP) telah dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Tersebar pada seluruh kecamatan. luasan terbesar berada pada Kecamatan Jujuhan.

5 36 Selanjutnya untuk mengetahui komposisi penggunaan lahan yang menyebar di wilayah Kabupaten Bungo, pada Gambar 5.2. disajikan luas dan presentase luas penggunaan lahan tahun Dari seluruh jenis tutupan lahan, penggunaan lahan Kabupaten Bungo pada tahun 2011 secara keseluruhan didominasi oleh hutan seluas ,83 Ha (50,24%), karet sebesar ,38 Ha (23,59%), sawit sebesar ,48 Ha (14,40%), dan luas terkecil adalah sawah sebesar 3.854,02 Ha (0,83%). Luas (Ha) Persentase (%) 0 HUTAN KARET PEMUKIMAN SAWAH SAWIT TEGALAN TUBUH AIR 0 (Ha) (%) Gambar 5.2. Luas dan Persentase Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 2011 Secara agregat hutan dan sawit terluasberada di Kecamatan Tanah Tumbuh seluas ,25 Ha dan ,13 Ha. Penggunaan lahan kedua terluas adalah perkebunan khususnya karet dan kelapa sawit. Kebun karet terluas tersebar di Kecamatan Jujuhan dengan total luasan sebesar ,99 Ha sedangkan kebun kelapa sawit terluas adalah di Kecamatan Tanah Tumbuh dan Pelepat. Besarnya luasan untuk karet dan kelapa sawit pada Kecamatan Tanah Tumbuh dan Jujuhan salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya pemberian izin yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Bungo diantaranya berupa izin prinsip (IP), izin lokasi (IL), dan izin usaha perkebunan (IUP). Secara lebih rinci sebaran penggunaan lahan di enam kecamatan di Kabupaten Bungo disajikan pada Tabel 5.2. Luasan penggunaan lahan terbesar berada pada Kecamatan Tanah Tumbuh sebesar ,56 Ha, disusul oleh Kecamatan Pelepat sebesar ,94 Ha dan luasan terkecil berada pada Kecamatan Rantau Pandan sebesar ,03 Ha.

6 37 Tabel 5.2. Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 2011 Dirinci setiap Kecamatan Kecamatan Hutan Karet Pemukiman Sawah Sawit Tegalan Tubuh Air Total (Ha) Jujuhan 7.183, , ,98 352, , ,72 690, ,30 Muara Bungo 8.196, , , , , ,48 895, ,16 Pelepat , , , , , , , ,94 Rantau Pandan , , ,85 0, , ,38 861, ,03 Tanah Sepenggal 349, ,84 957,14 0, , ,48 498, ,05 Tanah Tumbuh , ,96 555,91 0, , , , ,56 Total , , , , , , , , Perubahan dan Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun Penggunaan lahan Kabupaten Bungo pada tahun 1993 didominasi oleh hutan. Hutan memiliki luas penggunaan terbesar yaitu sebesar ,58 Ha (69,08%) dari total luas wilayah Kabupaten Bungo yaitu ,04 Ha, karet sebesar ,45 Ha (17,61%), sawit sebesar ,72 Ha (5,57%), tegalan sebesar ,39 Ha (4,73%), pemukiman sebesar 6.532,09 Ha (1,40%), tubuh air sebesar 5.905,90 Ha (1,27%), dan sawah sebesar 1.562,91 Ha (0,34%). Namun seiiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, penggunaan ini beralih fungsi ke penggunaan lain seperti yang terlihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Luas dan Proporsi Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 1993, 2001 dan Perubahannya Penggunaan Lahan Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) (Ha) (%) Hutan ,58 69, ,78 55, ,80-13,10 Karet ,45 17, ,95 23, ,50 6,13 Pemukiman 6.532,09 1, ,28 2, ,19 0,65 Sawah 1.562,91 0, ,26 0, ,35 0,42 Sawit ,72 5, ,51 11, ,79 6,00 Tegalan ,39 4, ,36 4,63-466,03-0,10 Tubuh Air 5.905,90 1, ,90 1,27 0,00 0,00 Total ,04 100, ,04 100,00 0,00 0,00 Dalam selang waktu delapan tahun, penggunaan lahan Kabupaten Bungo mengalami perubahan signifikan. Perubahan yang paling signifikan adalah penggunaan kawasan hutan yang beralih fungsi ke penggunaan lain. Perubahan tutupan hutan hampir merata beralih fungsi ke semua penggunaan, yaitu menjadi

7 38 karet, sawit, pemukiman, sawah, dan tegalan (seperti pada Lampiran 1). Dari semua perubahan penggunaan lahan yang terjadi, jenis penggunaan lahan yang meningkat secara nyata adalah kelapa sawit sebesar ,76 Ha (8,84 %), karet sebesar ,93 Ha (5,98%). Di sisi lain terjadi penurunan lahan signifikan khususnya pada hutan dengan besaran penyusutan sebesar ,74 Ha (18,84%). Dari berbagai perubahan yang terjadi pada tahun , salah satu perubahan paling menonjol adalah dari hutan menjadi kebun sawit. Penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun sawit terjadi hampir merata di seluruh kecamatandi Kabupaten Bungo. Pemberian izin prinsip untuk beberapa PT antara lain kepada PT. Leban Insan Mulia, izin lokasi pada PT. Jamika Raya, dan izin usaha perkebunan untuk PT. Mega Sawindo Perkasa serta banyak PT yang lainnya menjadi salah satu sebab meningkatnya kebun sawit. Rata-rata izin yang diberikan berlaku untuk jangka waktu kurang dari 25 tahun. Izin terluas dikeluarkan untuk Kecamatan Tanah Tumbuh dengan total area seluas ,37 Ha, dan terkecil di Kecamatan Tanah Sepenggal dengan luasan izin seluas 1.200,84 Ha. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi karet terjadi di setiap kecamatan di Kabupaten Bungo. Perubahan hutan menjadi karet terbesar terjadi pada Kecamatan Pelepat sebesar 7.337,16 Ha, dan luasan perubahan terkecil terjadi pada Kecamatan Jujuhan sebesar 2.887,33. Perubahan hutan menjadi karet terjadi karena adanya aturan dari pemerintah yang mengeluarkan izin untuk lokasi dan usaha perkebunan di Kecamatan Pelepat, dan kecamatan lainnya di Kabupaten Bungo. Pemberian izin ini terjadi pada tahun 90-an, dimana Kabupaten Bungo masih bersatu dengan Kabupaten Tebo. Selain itu adanya pembentukan desa secara seragam di seluruh Indonesia tahun 80-an dan dampaknya juga terjadi sampai ke Kabupaten Bungo. Kecamatan Pelepat merupakan salah satu Kecamatan yang dijadikan area transmigrasi oleh pemerintah. Para trasmigran berasal dari dari proyek Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah pada awal 1980-an dan baru terlaksana tahun 1997 (BPS Kabupaten Bungo, 2010).

8 39 Pada tahun 1997 para transmigran membuka lahan untuk dijadikan area perkebunan karet dari hutan. Adanya arus perpindahan ini menimbulkan reaksi penduduk asli. Pembukaan hutan ke pengguaan lain juga menjadi bentuk sikap protes atas kebijakan pemerintah (transmigrasi). Lembaga adat yang selama ini mengatur kehidupan warga perannya mulai luntur seiring dengan meleburnya norma sosial yang ditetapkan oleh pemerintah. Program transmigrasi merupakan salah satu faktor yang akan menyebabkan menurunnya luas hutan di Kabupaten Bungo. Penurunan luas hutan terbesar terjadi rentang waktu sebesar 13,10%. Kemudian pada tahun 1997 juga terjadi peningkatan jumlah penduduk pendatang, dimana pada area transmigrasi pada Kecamatan Pelepat diadakan pembukaan area transmigrasi yang menurunkan secara nyata luas kebun karet masyarakat, sehingga terjadi konversi karet menjadi pemukiman. Karena pola alokasi lahan untuk transmigran menempatkan permukiman transmigran dengan tegalan, maka tegalan berasosiasi dengan permukiman. Artinya lokasi tegalan di sebagian besar lokasi berdekatan dengan lokasi permukiman. Contohnya adalah sebaran tegalan di Kecamatan Pelepat khususnya desa-desa target penempatan transmigran yaitu Desa Danau sebesar 452,30 Ha dan Muara Kuamang sebesar 28,78 Ha pada daerah tersebut. Letak tegalan berasosiasi dengan tempat tinggal penduduk. Dalam proses interpretasi citra seringkali permukiman di sekitar tegalan tersebut diinterpretasikan sebagai tegalan saja karena kecilnya poligon permukiman dan tidak dapat diinterpretasikan dari citra Landsat. Penggunaan untuk pemukiman juga terjadi hampir merata di setiap kecamatan, tetapi hal tersebut tidak terjadi pada Kecamatan Jujuhan. Daerah ini secara demografis jauh dari pusat aktifitas, sehingga kurang didukung oleh kondisi sarana dan prasarana jalan yang relatif belum memadai. Selain itu, hal ini diperkuat oleh jumlah penduduk Kecamatan Jujuhan pada tahun 2001 sebesar jiwa, yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan lima kecamatan yang lainnya. Sementara untuk konversi hutan menjadi tegalan terbesar di Kecamatan Pelepat diketahui sebesar 1.412,37 Ha dan hampir tersebar merata pada desa-desa

9 40 yang dijadikan penempatan transmigran seperti penjelasan sebelumnya diantaranya Desa Danau dan Desa Muara Kuamang. Sedangkan konversi hutan menjadi sawah tidak merata disetiap kecamatan, hanya pada Kecamatan Pelepat dan Tanah Tumbuh yang terjadi. Sementara itu untuk Kecamatan lainnya seperti: Kecamatan Jujuhan, Muara Bungo, Rantau Pandan, dan Tanah Sepenggal, tidak terjadi perubahan. Sejalan dengan konversi hutan menjadi karet dan pemukiman, pembukaan sawah barupun terjadi untuk para transmigran.pemerintah beranggapan jika masyarakat menunggu hasil dari perkebunan karet mereka dalam waktu minimal 5 tahun baru berproduksi maka tidak akan mencukupi kebutuhan hidup sampai menunggu waktu panen. Upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat menjadi salah satu alasan dibukanya area persawahan baru. Dari pola perubahan penggunaan lahan dari tahun diketahui beberapa fenomena antara lain terjadi perubahan hutan dan tegalan ke penggunaan lain. Di samping itu juga terjadi perubahan karet ke hutan khususnya di wilayah Kecamatan Jujuhan Desa Rantau Ikil sebesar 17,27 Ha. Masyarakat dan tokoh adat berupaya menurunkan peningkatan konversi lahan di Kabupaten Bungo. Hutan yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang dijadikan kawasan lindung dan berfungsi sebagai hutan sekunder walaupun fungsinya tidak persis sama dengan hutan alami (primer) Perubahan dan Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun Berdasarkan uraian dalam kondisi umum diketahui bahwa perekonomian Kabupaten Bungo salah satunya sangat tergantung pada sektor perkebunan (kelapa sawit dan karet). Tingginya ketergantungan ini dapat menyebabkan tingginya ancaman kelestarian sumberdaya alam. Pada periode waktu penggunaan lahan Kabupaten Bungo telah banyak mengalami perubahan, seperti terlihat pada Tabel 5.4. Alih fungsi lahan terbesar terjadi pada hutan, diantaranya hutan terkonversi menjadi sawit, karet, pemukiman, tegalan, dan sawah. Hutan setiap tahunnya selalu menurun, sementara sawit meningkat secara drastis pada tahun dengan laju

10 41 2,84% atau sebesar ,51 Ha pada tahun 2001 menjadi ,48 Ha pada tahun Peningkatan penggunaan hutan ke sawit salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya Rencana Tata Ruang yang memberikan ruang/lokasi, disamping itu adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Kabupaten Bungo, tahun (RPJP) yang menetapkan pusat pertumbuhan terdapat di Kota Muara Bungo, dan Kelurahan Tanah Tumbuh. Muara Bungo yang sekarang telah menjadi pusat aktifitas bagi Kabupaten Bungo telah berkembang dan berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat tahun Kecamatan Tanah Tumbuh mengalami konversi hutan ke sawit cukup luas yaitu sebesar 7302,62 Ha yang hampir menyebar secara merata di setiap desa. Semakin tingginya pengurangan kawasan hutan menjadi masalah yang berarti bagi Kabupaten Bungo. Perubahan dari penggunaan karet ke hutan merupakan salah satu alternatif untuk mempertahankan tutupan hutan. Walaupun demikian, perubahan ini tidak bisa menggantikan fungsi ekologis hutan seperti semula dalam waktu cepat. Dari periode tahun sebelumnya ( ), perubahan dari karet ke hutan meningkat cukup besar pada periode dari 17,26 Ha menjadi 1638,76 Ha. Fenomena ini terjadi seiring dengan pengeluaran Peraturan Desa (Perda No.1/2004) tentang tata cara pengelolaan hutan adat desa. Perubahan karet menjadi hutan sebelumnya tidak dituangkan dalam aturan tertulis, tetapi perubahan ini menurut survei lapang merupakan suatu kebiasaan dan tuntutan ekonomi masyarakat. Karet adalah salah satu komoditas perkebunan andalan bagi masyarakat Bungo, serta berperan besar sebagai sumber pendapatan dan juga sumber mata pencaharian bagi sebagian besar penduduk dan telah diterapkan sejak zaman dahulu. Karet yang terkonversi umumnya merupakan karet warisan yang usianya relatif tua dengan jarak tanam yang tidak teratur, dan kualitas karet relatif rendah. Masyarakat meninggalkan kebun karet karena rendahnya produktifitas dan mulai lagi membuka hutan yang diharapkan lebih menguntungkan. Tumbuhan yang tumbuh di hutan dibiarkan berkembang secara alami. Sementara itu ladang/kebun dimanfaatkan selama beberapa tahun, kemudian ditinggalkan selama 1-3 tahun atau lebih secara sengaja. Selama masa pembiaran akan tumbuh kayu, tumbuhan obat-obatan, yang menjadi generasi penting di masa mendatang. Pola ladang berpindah ini terjadi pada Desa Pulau

11 42 Batu, Rantau Ikil, dan Rantau Panjang Kecamatan Jujuhan yang notaben hukum adatnya masih kental atau masih patuh dilaksanakan. Pada tahun peningkatan pemukiman juga terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah sawah seperti terlihat pada Tabel 5.4. Salah satu yang menyebabkan peningkatan ini karena adanya program transmigrasi baru yang mulai menyebar ke Kecamatan Rantau Pandan, Jujuhan, dan Pelepat. Dari ketiga kecamatan ini, Kecamatan Jujuhan memiliki jumlah transmigran lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan yang lain (BPS Kabupaten Bungo, 2010). Bertambahnya jumlah penduduk yang diiringi dengan meningkatnya kebutuhan lahan menjadi salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam membangun daerahnya. Lahan budidaya pertanian yang semakin tidak mencukupi mendorong masyarakat untuk membuka kawasan hutan. Hal ini tercermin dari peningkatan penurunan kawasan hutan dan tegalan untuk dijadikan pemukiman disamping untuk penggunaan sawit, sawah, dan karet seperti disajikan pada Lampiran 2. Tabel 5.4. Luas dan Proposi Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 2001, 2006 dan Perubahannya Penggunaan Lahan Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) (Ha) (%) Hutan ,78 55, ,76 50, ,02-5,69 Karet ,95 23, ,47 23,53-951,48-0,20 Pemukiman 9.549,28 2, ,16 2, ,88 0,66 Sawah 3.539,26 0, ,02 0,83 314,76 0,07 Sawit ,51 11, ,48 14, ,97 2,84 Tegalan ,36 4, ,24 6, ,88 2,34 Tubuh Air 5.905,90 1, ,90 1,27 0,00 0,00 Total ,04 100, ,04 100,00 0,00 0,00 Perubahan tegalan menjadi pemukiman hampir terjadi di setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Bungo. Sementara untuk perubahan hutan menjadi pemukiman terbesar berada di Kecamatan Rantau Pandan seluas 341,39 Ha. Rantau Pandan merupakan salah satu kecamatan yang direncanakan dalam RPJP tahun sebagai wilayah hinterland Kecamatan Muara Bungo. Perubahan hutan ke pemukiman tertinggi kedua terjadi di Kecamatan Muara Bungo sebesar

12 43 226,12 Ha. Hal ini dilatarbelakangi karena Kecamatan Muara Bungo merupakan pusat industri jasa, perdagangan, transportasi, komunikasi dan berbagai aktifitas lain. Selain itu wilayah ini juga merupakan pusat pertumbuhan sebagaimana ditetapkan dalam RTRW sehingga tidak menutup kemungkinan wilayah ini setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan jumlah penduduk dan tentunya diiringi dengan perluasan area pemukiman baru. Hal ini terbukti dari data BPS mengenai jumlah penduduk Kabupaten Bungo tahun 2001 sebanyak jiwa dan meningkat pada tahun 2006 menjadi jiwa. Perubahan penggunaan lahan dari karet menjadi sawit telah terjadi di setiap kecamatan di Kabupaten Bungo. Luasan terbesar terjadi di Kecamatan Tanah Sepenggal yaitu 2.375,51Ha. Berdasarkan hasil survei lapang, perubahan ini dilatarbelakangi oleh kondisi umur karet yang relatif tua yang tidak berproduksi lagi secara optimal, sehingga penggunaannya dialihkan ke penggunaan lain yang dalam hal ini kepenggunaan sawit. Selain itu karet juga terkonversi menjadi tegalan. Umumnya karet tersebut merupakan karet warisan yang hampir tidak berproduksi lagi, juga dari sisi aksesibilitasnya masih berada tidak jauh dari pemukiman penduduk. Perubahan dari sawit ke karet dapat terjadi dalam skala rumah tangga. Sawit yang berumur relatif sudah tua dibiarkan dan selanjutnya karena produktifitas rendah lahan dikonversikan untuk kebun karet atau dibangun menjadi area pemukiman. Berdasarkan hasil survei lapang, masyarakat berpendapat jika meneruskan pemeliharaan sawit membutuhkan input yang lebih tinggi dibandingkan jika diusahakan ke penggunaan lain, dalam hal ini karet Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tahun sebelumnya, terlihat bahwa pada tahun tidak banyak terjadi perubahan seperti terlihat pada Tabel 5.5.Dari matriks transisi yang disajikan terlihat pada Lampiran 3, diketahui pola perubahan utama pada periode tersebut adalah perubahan dari hutan menjadi karet dan perubahan tegalan menjadi karet. Total luas perubahan terbesar terjadi dari hutan ke karet sebesar 224,93 Ha, terdapat pada Kecamatan Muara Bungo, dan

13 44 Rantau Pandan. Sementara untuk perubahan tegalan menjadi karet hanya terjadi pada Kecamatan Jujuhan sebesar 30,98 Ha. Peningkatan karet umumnya masih terjadi pada daerah penerima transmigrasi. Misalnya Rantau Pandan mayoritas pendapatan petani bersumber dari karet. Tabel 5.5. Luas dan Proporsi Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 2006, 2011 dan Perubahannya Penggunaan Lahan Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) (Ha) (%) Hutan ,76 50, ,83 50,24-224,93-0,05 Karet ,47 23, ,38 23,59 255,91 0,05 Pemukiman ,16 2, ,16 2,71 0,00 0,00 Sawah 3.854,02 0, ,02 0,83 0,00 0,00 Sawit ,48 14, ,48 14,40 0,00 0,00 Tegalan ,24 6, ,27 6,96-30,98-0,01 Tubuh Air 5.905,90 1, ,90 1,27 0,00 0,00 Total ,04 100, ,04 100,00 0,00 0,00 Pada tahun-tahun sebelumnya ( ) perubahan dari karet ke hutan telah terjadi, tetapi perubahan ini tidak terjadi pada tahun Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya standar biaya hidup masyarakat. Kebun karet tua, yang lama ditinggalkan dan mulai berubah menjadi hutan menjadi target masyarakat untuk diusahakan kembali. Tegalan yang sudah lama dibiarkan kembali dibuka. Dari semua perubahan penggunaan lahan yang terjadi antara tahun , , dan terlihat bahwa luas tubuh air relatif tetap sepanjang tahun seperti ditunjukkan pada Gambar 5.4. Ketentuan mempertahankan sempadan sungai (tubuh air) telah diwariskan oleh nenek moyang, dan sampai sekarang terkonservasi dengan baik. Berbeda dengan larangan untuk membuka hutan misalkan pada lereng yang sangat curam >40%, aturan ini mulai tidak diindahkan oleh masyarakat. Kondisi ini telah melanggar aturan adat maupun hukum tertulis, sebagaimana yang tersirat pada Undang- Undang Penataan Ruang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 dinyatakan bahwa jika kemiringan lereng >40% maka daerah tersebut termasuk kawasan lindung yang harus dijaga kelestariannya.

14 Resume Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Penggunaan lahan di Kabupaten Bungo pada periode telah mengalami banyak perubahan. Pola perubahan tersebut terangkum pada Gambar 5.6. Sejalan dengan penjelasan sebelumnya bahwa pengurangann luasan terbesar adalah penggunaan hutan yang berubah menjadi penggunaan lain, seperti ke kebun karet, kebun sawit, tegalan, pemukiman, dan sawah. Pada Gambar 5.3. disajikan ringkasan total perubahan setiap jenis penggunaan lahan sedangkan Tabel 5.6 dan Gambar 5.8 menyajikan perubahan penggunaan lahan tahun , , , , , Luas (Ha) , Gambar 5.3. Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun Tabel 5.6. Luas dan Proporsi Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 1993, 2011 dan Perubahannya Penggunaan Lahan Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) (Ha) (%) Hutan ,58 69, ,83 50, ,74-18,84 Karet ,45 17, ,38 23, ,93 5,98 Pemukiman 6.532,09 1, ,16 2, ,07 1,31 Sawah 1.562,91 0, ,02 0, ,11 0,49 Sawit ,72 5, ,48 14, ,76 8,84 Tegalan ,39 4, ,27 6, ,87 2,23 Tubuh Air 5.905,90 1, ,90 1,27 Total ,04 100, ,04 100, ,00 0,00 0,00 0,00 Pada selang waktu lebih kurang delapan belas tahun, hutan mengalami penurunan terbesar yaitu sebesar 87, Ha (18,84%), dan sebaliknya kebun sawit bertambah seluas ,76 Ha (8,84%), kebun karet meningkat seluas

15 ,93 Ha (5,89%), tegalan tumbuh seluas ,87 Ha (2,23%), pemukiman bertambah sebesar 6.087,07 Ha (1,31%) dan sawah meningkat sebesar 2.291,11 Ha (0,49%). Beberapa jenis penggunaan lahan memiliki luasan tetap antara lain tubuh air, seperti terlihat pada Gambar 5.5.Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa jenis tutupan lahan yang paling dominan di Kabupaten Bungo adalah perkebunan monokultur (karet dan kelapa sawit). Berikutnya pada Gambar 5.4 disajikan pola perubahan setiap jenis penggunaan lahan pada periode Secara umum dapat dinyatakan bahwa satu-satunya jenis penggunaan yang terus berkurang di Kabupaten Bungo adalah hutan. Penggunaan hutan dari tahun ke tahun selalu mengalami alih fungsi ke penggunaan lahan lainnya yaitu ke penggunaan sawit, karet, pemukiman, tegalan, dan sawah. Penggunaan lain cenderung terus meningkat luasannya dalam periode 18 tahun. Sementara untuk penggunaan pemukiman, sawah, dan tubuh air tidak mengalami perubahan ke bentuk penggunaan lahan lainnya. 350,00 Luas (Ha) 300,00 250,00 200,00 150,00 100,00 50, HUTAN KARET PEMUKIMAN SAWAH SAWIT TEGALAN TUBUH AIR Tahun Gambar 5.4. Dinamika Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun Adapun sebaran spasial penggunaan lahan Kabupaten Bungo tahun 1993, 2001, 2006 dan 2011 disajikan pada Gambar 5.5. Perubahan penggunaan lahan pada periode , dan disajikan pada Gambar 5.7, sedangkan matriks transisi perubahan dari tahun dapat dilihat pada Lampiran 4.

16 47 a) b) c) d) Gambar 5.5. Hasil Klasifikasi (a) Citra Landsat Tahun 1993, (b) Citra Landsat Tahun 2001, (c) Citra Landsat Tahun 2006, (d) Citra Landsat Tahun 2011

17 Sekuen Pola Perubahan Penggunaan Lahan Sekuen perubahan penggunaan lahan menggambarkan pola perubahan penggunaan lahan dari waktu ke waktu. Sekuen perubahan tersebut dibutuhkan untuk menggambarkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan dari satu jenis penggunaan lahan ke penggunaan lain. Dalam analisis perubahan penggunaan lahan berbasis agen pelaku perubahan, informasi peluang terjadinya perubahan dari satu jenis penggunaan ke penggunaan lain penting diketahui. Dalam penelitian ini, sekuen perubahan dimaksudkan sebagai gambaran arah perubahan dari beberapa tahun pengamatan. Untuk mempermudah menggambarkan sekuen perubahan penggunaan lahan, pada Tabel 5.7 disajikan pola perubahan pada satu periode tertentu dan bentuk perubahan pada tahun berikutnya. Tabel 5.7. Proses Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun Perubahan Penggunaan 2006 (Ha) Hutan Karet Pemukiman Sawah Sawit Tegalan Tubuh Air hutan-->hutan , ,93 733,68 698, , ,72 - hutan-->karet ,57 23, ,55 702,67 0 hutan-->sawah , , ,53 0 hutan-->sawit ,74 310, , ,39 0 hutan-->tegalan 0 85, , ,81 0 karet-->karet 1.638, ,99 197, , ,54 0 sawit-->sawit ,94 338, , ,27 0 tegalan-->tegalan 0 738, , , ,88 0 Perubahan Penggunaan 2011 (Ha) Hutan Karet Pemukiman Sawah Sawit Tegalan Tubuh Air hutan-->hutan ,08 224, tegalan->tegalan 0 30, ,15 0 Pada Tabel 5.7 tersebut ditunjukkan penggunaan hutan pada tahun 1993 di tahun 2001 berubah menjadi beberapa jenis penggunaan lain antara lain kebun karet, permukiman, sawah, kebun sawit dan tegalan. Perubahan hutan ke karet pada periode beralih fungsi menjadi pemukiman, sawit, dan tegalan pada tahun Hampir sama dengan penggunaan lahan hutan dan karet, penggunaan lahan lainnya seperti: hutan ke sawah, hutan ke sawit, hutan ke tegalan, karet ke karet, sawit ke sawit dan tegalan ke tegalan juga mengalami perubahan ke penggunaan lahan lainnya. Sementara pada tahun penggunaan lahan yang mengalami perubahan adalah hutan dan tegalan pada tahun 2011.

18 49 Perubahan umumnya terjadi salah satunya karena tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat. Penggunaan lahan yang beralih fungsi menjadi pemukiman pada periode pada pengamatan berikutnya (2006) tidak lagi beralih fungsi ke penggunaan lain. Namun demikian, perubahan penggunaan lahan hutan ke kebun baik sawit maupun karet bisa berubah lagi menjadi penggunaan pemukiman atau tegalan. Sementara penggunaan lahan hutan yang berubah menjadi sawah dapat berubah lagi menjadi pemukiman atau tegalan. Penggunaan lahan kebun sawit dapat berubah mejadi penggunaan karet, tegalan dan pemukiman. Sementara penggunaan lahan tegalan dapat berubah menjadi kebun karet atau kebun sawit. Perubahan penggunaan lahan dari tahun terhadap penggunaan lahan tahun 2011, tidak menunjukan perubahan yang cukup signifikan bagi pembangunan Kabupaten Bungo. Hampir secara keseluruhan perubahan lahan yang terjadi pada tahun 2011 merupakan kelanjutan dari perubahan yang telah dilakukan pada tahun sebelumnya yaitu tahun Diilhami dari beberapa literatur, diantaranya Helmer (2004), selanjutnya dibangun sekuen dalam bentuk bagan alir. Ringkasan sekuen pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah Kabupaten Bungo berdasarkan interpretasi Tabel 5.7. disajikan pada Gambar 5.6. Gambar 5.6. Sekuen Pola Perubahan Penggunaan Lahan

19 ' ' ' ' ' ' ' ' 1 15' 1 30' 1 45' 1 45' ' 1 30' 1 30' ' 1 15' 1 15' a) ' 1 45' ' 1 15' ' 1 30' ' 1 45' ' b) ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' Legenda Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo 1 15' 1 15' Batas Kecamatan N Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Lainnya 1 30' 1 30' Jalan Utama Perusahaan Sumber : Hasil Interpretasi Citra Landsat hutan-->karet Tahun 1993, 2001, dan 2006 hutan-->pemukiman hutan-->sawit 1 45' 1 45' hutan-->tegalan Kab. Bungo tegalan->pemukiman tubuh air-->tubuh air c) ' ' ' ' ' Gambar 5.7. Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo (a) Tahun , (b) Tahun , dan (c) Tahun Km

20 51 Gambar 5.8. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun

21 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan ke Penggunaan Lahan Lain Berdasarkan hasil analisis multinomial logit diperoleh jenis perubahan penggunaan hutan ke pemukiman, sawit, karet dan tegalan merupakan pola perubahan penggunaan lahan utama di Kabupaten Bungo. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan hutan ke penggunaan lahan lainnya faktor yang berperan nyata pada tingkat kepercayan 95% antara lain: jarak ke pusat aktifitas, dan ijin lokasi.beberapa peubah lain seperti jarak ke jalan kabupaten dan alokasi ruang untuk hutan belukar nyata berperan pada tingkat kepercayaan 70%. Hasil pemodelan menghasilkan nilai Pseudo R 2 sebesar 0,671.Ringkasan koefisien peubah hasil analisis multinomial logit disajikan pada Tabel 5.8. Berdasarkan kesimpulan yang dapat ditarik dari Tabel 5.8. diketahui bahwa kedekatan lokasi dengan jalan kabupaten (x 9 ) dan pusat aktifitas (x 8 ) berpengaruh positif terhadap peluang perubahan penggunaan lahan hutan ke pemukiman. Semakin dekat pemukiman terhadap pusat aktivitas maka semakin intensif interaksi yang terjadi antar masyarakat dalam berbagai kegiatan. Dengan dukungan aksesibilitas dan jaringan jalan, interaksi akan berlangsung lebih baik. Kecamatan Bungo merupakan pusat aktifitas masyarakat dan didukung oleh kedekatan terhadap jalan kabupaten dan berpotensi mengalami konversi lahan hutan ke pemukiman yang terus meningkat. Hal ini bisa dilihat dari perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bungo pada tahun Sementara itu ijin lokasi untuk aktifitas perkebunan kelapa sawit dan alokasi ruang untuk hutan belukar (x 3 ) membatasi peluang perubahan penggunaan hutan ke pemukiman. Ketetapan pemerintah untuk mengalokasikan bentang lahan untuk hutan membatasi potensi pemanfaatan lahan tersebut menjadi lahan terbangun. Ijin lokasi merupakan bentuk kesepakatan antara pemerintah dan pihak swasta yang umumnya berupa pemberian hak pengusahaan untuk perkebunan kelapa sawit. Kesepakatan tersebut membatasi jenis pengusahaan lahan oleh swasta untuk perkebunan dan tidak untuk pemukiman, sehingga peluang pada lahan tersebut

22 53 berubah penggunaan ke pemukiman menjadi rendah secara lebih jelas disajikan pada Lampiran 5. Tabel 5.8. Ringkasan Koefisien odds ratiopenentu Perubahan Penggunaan Lahan Hutan ke Penggunaan Lain Tahun di Kabupaten Bungo Peubah Penggunaan Lahan Permukiman Sawit Karet Tegalan Kesimpulan Laju pertumbuhan penduduk 01_08 (x 6) laju perubahan keragaman fasilitas 01_08 (x 7) 3,76E ,19E-04 - Jarak poligon perubahan ke pusat aktifitas (x 8) ** * ** Jarak poligon perubahan ke jalan kabupaten (x 9) * * [Lereng=0-2%](x 1) * * [Lereng=2-15%](x 1) [Lereng=15-40](x 1) * * [Lereng=> 40%](x 1) 4,42E-03 1,50E-04 1,23E-04 1,23E-04 - [tanah=andosol](x 1) 1,36E-02 1,18E-05 4,96E-05 3,20E-05 - [tanah=komplek latosol dan litosol](x 2) 4,58E [tanah=latosol](x 2) * * ** [tanah=podsolik](x 2) [IZIN_USAHA=PT. Aman Pratama](x 4) 5,12E ,86E+09 6,20E+16 - [IZIN_USAHA=PT. Mega Sawindo Perkasa](x 4) 1,16E ,90E+10 8,33E+09 - [IZIN_USAHA=PT. Sawit Harum Makmur](x 4) 3,38E-11 8,00E [IZIN_USAHA=PT. Trijaya Agromandiri](x 4) [IZIN_LOKAS=PT. Bina Mitra Makmur](x 4) 9,47E-07 3,45E ,65E+07 - [IZIN_LOKAS=PT. Bungo Sawit Lestari](x 4).003 ** 3,17E-04 1,63E+09 5,25E+08 * [IZIN_LOKAS=PT. Citra Sawit Harum](x 4) 5,54E-06 2,06E-04 8,46E [IZIN_LOKAS=PT. Mitra Tani Lestari](x 4) 1,21E+10 1,25E+09 5,48E+15 1,14E+10 - [IZIN_LOKAS=PT. Persada Nusa Kreasi](x 4).010 ** 1,35E-03 5,74E+09 6,76E+08 * [IZIN_LOKAS=PT. Satya Kisma Usaha](x 4).053 2,01E+10 8,05E+09 2,62E+08 - [IZIN_LOKAS=PT. Sawit Harum Lestari](x 4) 7,75E ,58E+16 1,85E+08 - [IZIN_LOKAS=PT. Sawit Harum Makmur](x 4) 8,09E ,18E+17 1,03E+09 - [IZIN_LOKAS=PT. Sukses Maju Abadi](x 4) [RTRW=hutan beluk](x 3).069 * ,72E * [RTRW=hutan lebat](x 3) 3,89E ,26E+08 3,21E+09 - [RTRW=karet](x 3) ,30E+09 3,19E+09 - [RTRW=kebun campuran](x 3) 3,75E+09 1,70E+09 2,56E+09 1,66E+16 - [RTRW=ladang](x 3) 4,80E ,62E+09 5,91E+16 - [RTRW=sawah](x 3) 4,32E ,89E+08 3,87E+15 - [RTRW=sawit](x 3) ,70E+09 1,79E+16 8,15E+15 - [RTRW=semak](x 3) ,30E+09 3,31E+09 - [RTRW=sungai](x 3) ,35E+09 2,85E+09 - [RTRW=tegalan](x 3) Konstanta Pseudo-R Likelihood Keterangan: ** tingkat kepercayaan 95%, * tingkat kepercayaan 70%. Selanjutnya untuk perubahan penggunaan lahan dari hutan ke perkebunan kelapa sawit diperoleh hasil peubah yang berperan positif terhadap perubahan hutan ke sawit adalah kemiringan lereng 0-2% dan 15-40% (x 1 ).Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan lahan relatif terhadap bidang datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat. Semakin datar suatu area, perubahan hutan ke sawit berpeluang lebih besar karena resiko erosi lebih kecil pada produktifitas lahan. Pengusaha sawit biasanya mengincar lahan hutan yang berada pada kemiringan datar.

23 54 Kemiringan lahan berkaitan dengan kemudahan dalam pengelolaan dan hasil produksi. Semakin datar suatu bidang lahan, maka biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan kelapa sawit semakin kecil. Sementara itu jenis tanah latosol (x 2 ) berpotensi menurunkan peluang perubahan penggunaan hutan ke sawit. Tanah latosol seharusnya cocok untuk pemanfaatan lahan sawit. Namun demikian, sebaran lokasi tanah latosol di Kabupaten Bungo berada di wilayah Kecamatan Jujuhan, Pelepat, Rantau Pandan, dan Tanah Tumbuh dengan sebaran jaringan jalan kabupaten dan akses ke pusat aktifitas barang dan jasa. Sementara itu, perkebunan sawit terbesar berada pada Kecamatan Tanah Tumbuh yang didominasi oleh tanah latosol. Kecamatan Tanah Tumbuh berada di bagian Barat Kabupaten Bungo. Perubahan penggunaan lahan hutan ke tegalan dipengaruhi oleh jarak ke pusat aktivitas (x 8 ), dan jenis tanah (x 2 ). Peubah yang berperan positif terhadap peningkatan peluang perubahan hutan ke tegalan adalah jarak ke pusat aktivitas (x 8 ) dan jenis tanah latosol (x 2 ). Tegalan umumnya berasosiasi dengan pemukiman. Hal ini karena aktivitas yang dilakukan di tegalan adalah aktivitas pertanian intensif yang membutuhkan curahan waktu dan tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan aktivitas perkebunan dan kehutanan. Oleh karena itu, semakin dekat dengan pusat aktivitas, konversi lahan hutan menjadi tegalan semakin meningkat. Penggunaan lahan tegalan, yang merupakan jenis penggunaan transisi antara penggunaan lahan hutan ke pemukiman atau sebaliknya, dipercepat pertumbuhannya jika dekat dengan lokasi pemukiman. Sedangkan tanah latosol sebagian besar menyebar pada kemiringan yang datar sampai landai, dimana tegalan diusahakan yang secara tidak langsung dapat meningkatkan perubahan hutan ke tegalan seperti terlihat pada Tabel 5.8. Secara keseluruhan, perubahan penggunaan lahan hutan ke penggunaan lahan pemukiman, sawit, karet, dan tegalan tidak menunjukan hasil optimum dalam menjelaskan peranan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya perubahan penggunaan lahan hutan ke penggunaan pemukiman, karet, sawit dan tegalan. Jumlah kejadian, perubahan penggunaan hutan ke berbagai jenis penggunaan lahan lain baik itu kebun sawit, karet, sawah, tegalan dan

24 55 pemukiman ditemukan relatif sedikit. Total contoh yang dapat dianalisis untuk perubahan penggunaan ini sejumlah 252. Kurangnya unit analisis dapat mempengaruhi konsistensi peubah yang berpengaruh penting terhadap kejadian perubahan penggunaan lahan Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan lain ke Penggunaan Lahan Pemukiman Berdasarkan hasil analisis multinomial logit faktor yang berperan nyata terhadap peluang perubahan hutan ke pemukiman pada tingkat kepercayan 95% antara lain: jarak ke pusat aktivitas (x 8 ), dan jarak terhadap jalan kabupaten (x 9 ). Sementara beberapa peubah lain seperti tanah latosol (x 2 ) dan alokasi ruang untuk karet (x 3 ) nyata berperan pada tingkat kepercayaan 70%. Secara keseluruhan, hasil pemodelan perubahan penggunaan lahan lain ke penggunaan lahan pemukiman menghasilkan nilai Pseudo R 2 sebesar 0,717. Ringkasan koefisien peubah hasil analisis multinomial logit disajikan pada Tabel 5.9. Alokasi ruang untuk karet yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Bungo tidak menjadi penghalang bagi masyarakat untuk mengubah penggunaan lahan tersebut menjadi pemukiman. Hal ini terjadi karena alokasi ruang ditetapkan di lokasi yang semula sudah merupakan kebun karet. Kebun karet tersebut statusnya merupakan hak milik masyarakat. Kepemilikan lahan oleh masyarakat tersebut menjadi alasan alokasi ruang untuk karet tidak efektif, karena hak kepemilikan tersebut menjadi dasar masyarakat menggunakan lahan sesuai kebutuhannya, diantaranya dijadikan lahan terbangun. Kondisi tersebut akan terus terjadi jika perencanaan alokasi ruang tidak diiringi dengan pengawasan dalam implementasi dari lembaga berwenang dan partisipasi masyarakat. Partisipasi dapat ditingkatkan jika masyarakat dilibatkan sejak awal dalam perencanaan. Disamping itu, sosialisasi rencana dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah daerah sebagai penyusun rencana. Berikutnya peubah jenis tanah khususnya tanah latosol yang tersebar di Kecamatan Bungo dan Pelepat berpengaruh positif terhadap perubahan hutan ke pemukiman. Pengaruh positif jenis tanah latosol tersebut terkait erat dengan kebijakan pemerintah sebelumnya yang menempatkan Kecamatan Pelepat sebagai

25 56 wilayah tujuan transmigrasi. Kebijakan tersebut menjadi salah satu alasan terjadinya konversi hutan menjadi pemukiman pada tanah-tanah berjenis latosol tersebut. Tabel 5.9. Ringkasan Koefisien odds ratio Penentu Perubahan Penggunaan Lain ke Permukiman Tahun di Kabupaten Bungo Peubah Penggunaan Lahan Hutan Sawit Karet Tegalan Kesimpulan Laju pertumbuhan penduduk 01_08 (x 6) laju perubahan keragaman fasilitas 01_08 (x 7) 3,85E Jarak poligon perubahan ke pusat aktifitas (x 8) ** * ** *** Jarak poligon perubahan ke jalan kabupaten (x 9) ** * **.991 *** [Lereng=0-2%] (x 1) ,13E * * [Lereng=2-15%] (x 1) [Lereng=15-40] (x 1) * * [Lereng=> 40%] (x 1) 3,01E+18 2,21E+11 9,35E+15 1,88E+10 - [tanah=komplek latosol dan litosol] (x 2) 3,07E-04 3,43E-05 1,08E-09 1,00E-04 - [tanah=latosol] (x 2) * ,82E * [tanah=podsolik] (x 2) [IZIN_LOKAS=PT. Bungo Sawit Lestari](x 4).241 5,57E+09 1,40E [IZIN_LOKAS=PT. Citra Sawit Harum](x 4) 1,32E-29 4,27E-09 7,41E-20 5,30E-13 - [IZIN_LOKAS=PT. Mitra Tani L](x 4) 4,62E-05 4,22E-05 3,99E-04 1,12E-04 - [IZIN_LOKAS=PT. Persada Nusa Kreasi](x 4) 5,94E-06 2,05E-03 1,80E-04 ** 7,39E-04 * [IZIN_LOKAS=PT. Sawit Harum Lestari](x 4) 5,19E-06 4,21E-03 3,48E-05 4,67E-04 - [IZIN_LOKAS=PT. Sawit Harum Makmur](x 4) [IZIN_LOKAS=PT. Sukses Maju A](x 4) [IZIN_USAHA=PT. Mega Sawindo Perkasa](x 4) 3,14E+11 4,11E+11 8,94E [IZIN_USAHA=PT. Trijaya Agromandiri Cemerlang](x 4) [RTRW=hutan dan semak](x 3) ,06E [RTRW=karet] (x 3) * * ** [RTRW=pemukiman](x 3) 6,44E-04 6,50E-04 1,87E [RTRW=sawah] (x 3) [RTRW=sawit] (x 3) 2,41E ** 7,49E * [RTRW=sungai] (x 3) *.676 * [RTRW=tegalan] (x 3) Konstanta Pseudo-R Likelihood Keterangan: ** tingkat kepercayaan 95%, * tingkat kepercayaan 70%. Tabel 5.9 tersebut menunjukkan bahwa semakin dekat lokasi hutan terhadap pusat aktivitas dan didukung oleh semakin dekat terhadap jalan kabupaten, peluang hutan tersebut berubah ke pemukiman semakin besar. Dengan semakin dekatnya lokasi terhadap pusat aktifitas dan jalan kabupaten berimplikasi pada semakin tingginya pertukaran arus informasi, barang dan jasa. Proses ini secara tidak langsung menyebabkan semakin meningkatnya interaksi baik orang maupun barang, sehingga meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat. Selanjutnya alokasi karet juga berpengaruh positif terhadap peluang perubahan hutan ke pemukiman disajiakan pada Lampiran 6.

26 57 Semakin dekat lokasi terhadap pusat aktifitas (x 8 ) dan jalan kabupaten (x 9 ) peluang perubahan sawit ke pemukiman semakin besar. Kedekatan lokasi sawit dengan pusat aktivitas meningkatkan peluang perubahan sawit ke pemukiman. Dengan asumsi semakin dekat lokasi terhadap pusat industri, jasa, dan perdagangan, maka lalu lintas transportasi baik barang, uang, orang, dan jasa semakin meningkat. Alokasi ruang untuk sawit juga berperan meningkatkan peluang perubahan sawit ke pemukiman. Adanya alokasi ruang untuk sawit yang terkait dengan pemberian izin lokasi oleh pemerintah setempat, tidak sepenuhnya bisa diterima masyarakat. Masyarakat yang kontra terhadap peraturan pemerintah mengambil resiko untuk melakukan konversi sawit ke pemukiman, yang berpotensi menimbulkan konflik dengan berbagai pihak yang terkait dengan lahan yang terkonversi. Selanjutnya hasil analisis multinomial logit menunjukan bahwa faktor yang berperan meningkatkan peluang perubahan karet ke pemukiman antara lain: jarak terhadap pusat aktivitas (x 8 ), jarak terhadap jalan kabupaten (x 9 ), alokasi ruang untuk karet, dan alokasi ruang untuk sungai (x 3 ). Semakin dekat lokasi terhadap pusat aktivitas dan jalan kabupaten akan meningkatkan peluang perubahan karet ke pemukiman. Sebagian besar mata pencaharian penduduk Kabupaten Bungo bersumber dari perkebunan karet dan kelapa sawit yang tersebar di seluruh kecamatan. Penduduk yang menyebar di seluruh kecamatan tersebut diduga memperoleh manfaat dari usaha perkebunan tersebut. Peningkatan kesejahteraan masyarakat meningkatkan konsumsi dan kebutuhan fasilitas sehingga mendorong terjadinya konversi sebagian lahan kebun untuk lahan terbangun. Konversi lahan dilakukan pada lahan kebun karet yang sudah berusia relatif lebih tua atau hampir tidak produktif lagi. Alokasi ruang untuk karet dan sungai juga berperan meningkatkan peluang terjadinya konversi lahan dari perkebunan karet ke pemukiman. Delineasi sungai dalam dokumen perencanaan melebar dari batas sungai sebenarnya. Hal ini terkait dengan perbedaan resolusi sumber data untuk delineasi penggunaan lahan sebagai bahan penyusunan alokasi ruang.

27 58 Alokasi ruang untuk perkebunan karet tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Di sisi lain, implementasi dan pengawasan alokasi ruang belum memadai. Ketidakpatuhan terhadap rencana tata ruang dilakukan masyarakat terkait dengan semakin meningkatnya kebutuhan ekonomi dan peningkatan standar hidup. Sementara itu, sungai yang semula dijadikan area transportasi dan tempat dimana masyarakat melakukan kegiatan sehari-hari, berperan meningkatkan peluang perubahan kebun karet ke pemukiman. Sungai di Kabupaten Bungo juga identik dengan kebudayaan masyarakat lokal. Beberapa aktifitas diantaranya perdagangan dilakukan di sungai. Berkembangnya lahan terbangun di sekitar sungai dengan harapan semakin dekat lokasi pemukiman terhadap sungai maka aktifitas sosial, dan budaya semakin intensif. Berikutnya, faktor-faktor yang yang mempengaruhi perubahan tegalan ke pemukiman berdasarkan hasil analisis multinomiallogit adalah kelas kemiringan lereng 0-2% dan 15-40% (x 1 ). Tegalan di Kabupaten Bungo menyebar di dekat pemukiman penduduk pada lahan dengan kemiringan 0-2% dan 15-40%. Kondisi kemiringan lereng berkaitan dengan kemudahan aksesibilitas yang berpengaruh terhadap berbagai aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat. Secara umum pemukiman banyak diminati pada kemiringan yang relatif datar yaitu 0-2% tetapi tidak menutup kemungkinan pembangunan pemukiman pada kemiringan lereng pada kelas 15-40%. Beberapa lokasi lahan penerima program transmigran menyebar di Kecamatan Pelepat, Rantau Pandan, dan Jujuhan dimana di lokasi tersebut intensitas perubahan tegalan ke permukiman cukup tinggi. Secara keseluruhan dari sajian Tabel 5.9 tersebut diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan hutan, karet, sawit dan karet ke penggunaan lahan pemukiman adalah jarak terhadap pusat aktivitas (x 8 ) dan jarak ke jalan kabupaten (x 9 ). Semakin dekat penggunaan lahan terhadap pusat aktivitas dan semakin dekat terhadap jarak ke jalan kabupaten, potensi konversi lahan ke penggunaan pemukiman semakin tinggi. Jarak terkait erat dengan biaya transportasi. Semakin dekat lokasi terhadap pusat aktifitas dan semakin dekat dengan jarak ke jalan kabupaten maka semakin murah ongkos atau biaya yang dikeluarkan untuk melakukan berbagai aktifitas. Rendahnya ongkos

28 59 dan kemudahan melakukan interaksi yang membutuhkan dukungan jaringan jalan menjadi daya tarik berkembangnya permukiman di sekitar jaringan jalan Potensi Konflik Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Bungo Peningkatan perekonomian wilayah dan tuntutan peningkatan standar hidup masyarakat dapat meningkatkan intensitas konflik pemanfaatan ruang untuk mendukung berkembangnya berbagai aktifitas. Disamping itu, peningkatan jumlah penduduk sepanjang tahun baik secara alamiah merupakan salah satu pertimbangan penting pemerintah untuk mengalokasikan lahan. Pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memfasilitasi dan mengupayakan peningkatan kesejahteraan bagi warganya. Untuk mencegah terjadinya konflik antar pelaku pemanfaatan ruang, pemerintah harus bersikap proaktif dalam mengelola dan mewujudkan rencana alokasi ruang untuk kepentingan bersama. Perizinan merupakan salah satu bentuk untuk mengimplementasikan rencana alokasi ruang. Izin adalah salah satu bentuk persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-Undang atau peraturan pemerintah untuk mengatur keadaan tertentu, atau instrumen pemerintah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan dalam mengatur kepentingan umum. Berdasarkan peta perijinan yang diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten Bungo, berkembangnya perkebunan sawit terkait dengan tiga jenis dokumen perizinan, yaitu: izin prinsip, izin lokasi, dan izin usaha perkebunan. Izin tersebut mengarahkan pemegang izin untuk menggunakan lokasi tertentu yang disepakati untuk dimanfaatkan sesuai dengan kesepakatan. Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.2 Tahun 1999 Pasal 1 dinyatakan bahwa Izin Lokasi (IL) adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal. Dalam izin lokasi berlaku izin pemindahan hak, dan penggunaan tanah guna keperluan usaha penanaman modalnya. Sementara Izin Prinsip (IP) adalah izin yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada badan usaha atau perorangan yang akan melakukan suatu usaha atau melakukan investasi di suatu dearah. Dengan surat izin prinsip ini, seorang pengusaha atau

29 60 badan usaha baru bisa melakukan usaha atau investasi di suatu daerah. Sedangkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) merupakan izin tertulis yang wajib dimiliki perusahaan untuk dapat pelakukan usaha budidaya perkebunan dan atau usaha industri perkebunan. Luasan lahan khususnya hutan semakin lama semakin berkurang. Perizinan usaha untuk perkebunan kelapa sawit di satu sisi dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya konflik pemanfaatan ruang, namun di sisi lain jika penetapannya tidak melihat kondisi riil justru menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pengusaha, atau antara masyarakat dengan pemerintah setempat. Walaupun telah ada aturan tertulis dari pemerintah kepada berbagai Persero Terbatas (PT), hal ini tidak menyusutkan niat masyarakat untuk mengusahakan lahannya ke penggunaan selain sawit. Rincian perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Bungo disajikan pada Lampiran ' ' ' ' ' Peta Izin Prinsip Kabupaten Bungo N 1 15' 1 30' 1 45' 1 15' 1 30' 1 45' Km Legenda Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Lainnya Jalan Utama Perusahaan hutan-->karet hutan-->pemukiman hutan-->sawit hutan-->tegalan tegalan-->pemukiman tubuh air-->tubuh air PT. Bungo Trilogies Mine PT. Leban Insan Mulia Sumber : 1. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bungo 2. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Provinsi Jambi ' ' ' ' ' Gambar 5.9. Peta Sebaran Izin Prinsip di Kabupaten Bungo Berdasarkan Gambar 5.9. sebaran izin prinsip sebagian besar dikeluarkan di wilayah Kecamatan Rantau Pandan, Tanah Sepenggal, dan Tanah Tumbuh. Namun dalam kenyataannya, daerah atau kecamatan-kecamatan yang telah diberikan izin prinsip khususnya untuk perkebunan kelapa sawit telah dibangun pemukiman atau tempat tinggal penduduk. Misalnya izin yang dikeluarkan di

30 61 Kecamatan Rantau Pandan. Hal ini tentunya secara tidak langsung akan menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat dengan pengusaha maupun masyarakat dengan pemerintah setempat. Dokumen izin prinsip lahan yang dialokasikan mencakup di dalamnya lahan permukiman seluas 14, 48 Ha yang terletak di Desa Mangunjayo sebesar 27,15 Ha di Desa Empelu, dan 11,03 di Desa Tanah Bekali. Beberapa lahan yang diberikan izin prinsip untuk alokasi sawit tersebut, saat ini sebagian merupakan kebun karet dan tegalan. Penggunaan untuk tegalan dan karet tertinggi terdapat pada Desa Rambah Kecamatan Tanah Tumbuh sebesar 529,54 Ha dan sebesar 2.087,34 di Desa Empelu Kecamatan Tanah Sepenggal. Izin prinsip di lahanlahan tersebut diberikan pada PT Bungo Trilogies Mine. Hutan masih relatif mendominasi tutupan lahan di lokasi tersebut. Hal ini menandakan bahwa izin prinsip tersebut belum diubah penggunaan lahannya sesuai hak yang diberikan. Penggunaan untuk karet menyebar hampir di setiap kecamatan di Kabupaten Bungo. Izin lokasi untuk kelapa sawit, yang saat ini penggunaannya justru digunakan untuk pemukiman dan karet, sebagian besar menyebar di Kecamatan Rantau Pandan dan diberikan hak perizinan kepada PT. Persada Nusa Kreasi sebesar 8.130,34 Ha dan 510,94 Ha. Ketidaksesuaian tutupan saat ini dengan perizinan yang diberikan kepada perusahaan tersebut dapat memicu terjadinya konflik, terlebih lagi jika penggunaan lahannya dijadikan pemukiman penduduk yang dominan tersebar di utara, timur laut dan timur Kabupaten Bungo. Pembangunan berbagai perusahaan kelapa sawit telah menimbulkan berbagai konflik. Hal ini terjadi baik konflik vertikal antara pemilik tanah dengan perusahaan dan pemerintah daerah maupun konflik horizontal antar pemilik tanah. Salah satu bentuk konflik yang berdampak meluas terjadi pada April 2002 berupa pembakaran PTPN VI di Kabupaten Bungo. Masyarakat mengambil alih tanah yang kemudian tidak dibangun oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Konflik serupa terjadi di beberapa lokasi, diantaranya di Kecamatan Tanah Tumbuh dan Kecamatan Pelepat. Sebaran spasial izin lokasi yang diberikan kepada berbagai perusahaan di Kabupaten Bungo disajikan pada Gambar 5.10.

31 ' ' ' ' Peta Izin Lokasi ' Kabupaten Bungo N ' 1 15' Km Legenda Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Lainnya Jalan Utama Perusahaan hutan-->karet hutan-->pemukiman hutan-->sawit hutan-->tegalan tegalan-->pemukiman 1 30' 1 30' tubuh air-->tubuh air PT. Bina Mitra Makmur PT. Bungo Sawit Lestari PT. Citra Sawit Harum PT. Jamika Raya PT. Mitra Tani Lestari PT. Persada Nusa Kreasi PT. Satya Kisma Usaha PT. Sawit Harum Lestari PT. Sawit Harum Makmur PT. Sukses Maju Abadi 1 45' 1 45' Sumber : 1. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bungo 2. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Provinsi Jambi ' ' ' ' ' Gambar Peta Sebaran Izin Lokasi di Kabupaten Bungo Pada Gambar 5.11 disajikan luasan lahan yang dikeluarkan izin usahanya di berbagai jenis. Penggunaan lahan untuk karet sebagian besar menyebar di lokasi dikeluarkannya izin usaha perkebunan untuk hutan, kelapa sawit, karet dan tegalan. Sebagian kecil perizinan bahkan dikeluarkan di penggunaan lahan sawah luas(ha) dan pemukiman. 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 Hutan Karet PT. Trijaya Agromandiri Cemerlang 2, , PT. Mega Sawindo Perkasa PT. Aman Pratama Pemuki man Sawah Sawit Tegalan Tubuh Air , PT. Mega Sawindo Perkasa 2, , PT. Sawit Harum Makmur 9, PT. Trijaya Agromandiri Cemerlang PT. Trijaya Agromandiri Cemerlang Total 15, , , , , , , Gambar Sebaran Izin Usaha Perkebunan di Kabupaten Bungo Untuk meredam konflik vertikal dan horizontal, beberapa cara pernah diupayakan, antara lain perundingan antara masyarakat pemilik tanah dengan pihak perusahaan. Namun, seringkali perundingan tersebut berlangsung alot dan

32 63 tidak mencapai kesepakatan. Beberapa kelompok masyarakat merasa jenuh dan mengambil kembali tanahnya. Bentuk peredaman konflik dilakukan melalui penelantaran perkebunan sawit oleh pihak perusahaan. Pada bentuk ini penelantaran terjadi akibat pergantian manajemen atau pergantian pemilik saham atau karena hak perizinan telah habis. Alasan lainnya adalah sudah dicairkannya kredit perbankan dan aplikasi perizinan dimaksudkan hanya untuk mengejar penebangan komoditas kayu dari hutan yang dibuka dalam tahap persiapan lahan. Cara-cara ini yang masih sering digunakan pemilik tanah dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perluasan (ekstensifikasi) ladang semakin mudah dengan adanya alat dan akses jalan yang telah dirintis oleh perusahaan-perusahaan besar, seperti HPH dan perkebunan besar swasta. Perkebunan karet merupakan jenis perkebunan utama yang berkembang di Kabupaten Bungo dan sudah menjadi bagian kebudayaan masyarakat Kabupaten Bungo dan telah diwariskan sejak lama secara turun temurun. Alasan utama pewarisan kebun karet adalah pengelolaannya tidak membutuhkan keterampilan dan input mahal. Untuk menarik minat masyarakat melepaskan lahan dan beralih usaha ke perkebunan sawit, PT. Aman Pratama melakukan berbagai penyuluhan tentang kelapa sawit dan perundingan tentang bagi hasil. Dalam kenyataannya masyarakat terpecah menjadi dua kelompok yaitu kelompok pro dan kontra dengan kesepakatan ini. Kelompok yang kontra menentang upaya konversi penggunaan lahan karet ke kebun sawit dan sebaliknya kelompok masyarakat yang setuju mulai mengusahakan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, seperti pada Gambar Tidak semua pengusaha yang diberikan izin diindikasikan membawa dampak negatif bagi perekonomian masyarakat. Salah satu campur tangan pengusaha adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya perizinan. Melalui perizinan pemerintah mengarahkan dan mengendalikan berbagai aktivitas pemanfaatan lahan oleh masyarakat. Namun tidak semua PT selalu mengikuti peraturan yang ditetapkan pemerintah. Berbagai bentuk penyimpangan dilakukan oleh PT ketika telah diberikan izin. Misalkan pada tahun 2001, PT. Aman Pratama sudah memperoleh izin membuka lahan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Pelepat. Perusahaan ini telah melakukan

33 64 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang disetujui oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Propinsi Jambi. Setelah memperoleh izin, perusahaan ini melakukan pembukaan lahan dengan menebang semua pohon. Kenyatannya kelapa sawit tidak pernah ditanam dan perkebunan pun tidak pernah ada. Alasannya, karena modal usaha tidak mencukupi lagi. Padahal alasan sebenarnya perusahaan ini sudah banyak memperoleh keuntungan dari pengambilan kayu di lahan yang mereka miliki, sehingga tidak perlu lagi mendirikan perkebunan kelapa sawit ' ' ' ' ' Peta Usaha Perkebunan Kabupaten Bungo N 1 15' 1 15' Km Legenda Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Lainnya Jalan Utama Perusahaan hutan-->karet hutan-->pemukiman 1 30' 1 30' hutan-->sawit hutan-->tegalan tegalan-->pemukiman tubuh air-->tubuh air PT. Aman Pratama PT. Mega Sawindo Perkasa PT. Sawit Harum Makmur PT. Trijaya Agromandiri Cemerlang 1 45' 1 45' Sumber : 1. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bungo 2. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Provinsi Jambi ' ' ' ' ' Gambar Peta Sebaran Usaha Perkebunan di Kabupaten Bungo Secara keseluruhan tutupan hutan yang berada pada kawasan Perseroan Terbatas (PT) merupakan hutan yang telah mendapatkan izin untuk diusahakan menjadi perkebunan kelapa sawit. Izin yang dikeluarkan oleh PEMDA Kabupaten Bungo yaitu izin prinsip untuk berinvestasi, izin lokasi untuk penguasaan lahan atau tanah untuk menjalankan usaha perkebunan, dan terakhir adalah izin usaha perkebunan seperti pada Tabel Sementara untuk penggunaan karet, tegalan, pemukiman, dan sawah sebagian besar berada pada perusahaan yang telah memperoleh izin lokasi perkebunan. Dari uraian tersebut terdapat beberapa kondisi yang berpotensi konflik. Permukiman, dan beberapa penggunaan lahan lainnya yang menunjang kehidupan

34 65 masyarakat sebagian besar telah dikuasai oleh perusahaan. Seiiring dengan berjalannya waktu maka perizinan yang telah dikeluarkan yang tidak memperhatikan kondisi tutupan lahan riil akan menimbulkan konflik baik antar masyarakat, pengusaha dengan masyarakat, maupupun masyarakat dengan pemerintah setempat. Adanya bukti tertulis tentang status kepemilikan, dan kontribusi dari tokoh adat sangat diharapkan dalam menyelesaikan konflik ini. Tabel Izin Izin Lokasi Sebaran Izin Prinsip, Lokasi, dan Usaha Perkebunan pada Setiap Penggunaan Lahan di Kabupaten Bungo Penggunaan Lahan Hutan Karet Pemukiman Sawah Tegalan PT. Bina PT. Bina Mitra Mitra Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Makmur Makmur Izin Prinsip Izin Usaha Perkebunan PT. Bungo Sawit Lestari PT. Citra Sawit Harum PT. Jamika Raya PT. Mitra Tani Lestari PT. Persada Nusa Kreasi PT. Satya Kisma Usaha PT. Sawit Harum Lestari PT. Sawit Harum Makmur PT. Sukses Maju Abadi PT. Bungo Trilogies Mine PT. Leban Insan Mulia PT. Aman Pratama PT. Mega Sawindo Perkasa PT. Sawit Harum Makmur PT. Trijaya Agromandiri Cemerlang PT. Bungo Sawit Lestari PT. Citra Sawit Harum PT. Jamika Raya PT. Mitra Tani Lestari PT. Persada Nusa Kreasi PT. Satya Kisma Usaha PT. Sawit Harum Lestari Tidak Ada PT. Sukses Maju Abadi PT. Bungo Trilogies Mine PT. Leban Insan Mulia PT. Bungo Sawit Lestari PT. Citra Sawit Harum Tidak Ada PT. Mitra Tani Lestari PT. Persada Nusa Kreasi PT. Satya Kisma Usaha PT. Sawit Harum Lestari PT. Sawit Harum Makmur PT. Sukses Maju Abadi PT. Bungo Trilogies Mine Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada PT. Mega Sawindo Perkasa Tidak Ada PT. Trijaya Agromandiri Cemerlang PT. Mega Sawindo Perkasa PT. Sawit Harum Makmur PT. Trijaya Agromandiri Cemerlang PT. Mega Sawindo Perkasa Tidak Ada PT. Trijaya Agromandiri Cemerlang PT. Bungo Sawit Lestari PT. Citra Sawit Harum PT. Jamika Raya PT. Mitra Tani Lestari PT. Persada Nusa Kreasi Tidak Ada PT. Sawit Harum Lestari Tidak Ada PT. Sukses Maju Abadi PT. Bungo Trilogies Mine PT. Leban Insan Mulia PT. Aman Pratama PT. Mega Sawindo Perkasa Tidak Ada PT. Trijaya Agromandiri Cemerlang

35 Keterkaitan antara Karakteristik Fisik, Infrastruktur, Lokasi Pusat dengan Perubahan Penggunaan Lahan Karakteristik Kemiringan Lereng Kajian terkait faktor penentu perubahan penggunaan lahan berkembang cukup pesat dan telah dipublikasikan di berbagai publikasi ilmiah bertaraf nasional maupun internasional. Dari berbagai publikasi tersebut terdapat beberapa faktor yang berperan penting, antara lain jumlah penduduk, urbanisasi, kebijakan pemerintah, aksesibilitas, dan kualitas lahan. Dari analisis multinomial logit yang dilakukan pada identifikasi perubahan lahan hutan ke penggunaan lain dan penggunaan lain ke pemukiman beberapa faktor diatas teruji berperan penting. Pada bagian ini, secara spesifik dideskripsikan keterkaitan antara berbagai faktor tersebut satu per satu dengan luas perubahan penggunaan lahan. Kualitas lahan erat kaitannya dengan kesuburan tanah. Dalam penelitian ini, karakteristik yang dijadikan pertimbangan dalam konversi lahan adalah faktor kemiringan lereng dan jenis tanah. Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan lahan relatif terhadap bidang datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat. Dari hasil analisis spasial kemiringan lereng daerah penelitian cukup bervariasi dari datar dengan kemiringan 0-2%, berombak/bergelombang (2-15%), agak curam/curam (15-40%) sampai sangat curam >40%, seperti disajikanpada Gambar ,00 20,00 Luas (Ha) 15,00 10,00 5,00 hutan-->karet hutan-- >pemukiman hutan-->sawit hutan-->tegalan tegalan-- >pemukiman 0-2% 3, , , % 18, , , , , % 13, , , > 40% Gambar Distribusi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Berdasarkan Kemiringan Lereng

36 67 Perubahan dari hutan ke karet, hutan ke pemukiman, hutan ke tegalan dan tegalan ke pemukiman selama periode waktu lebih kurang delapan belas tahun umumnya terjadi pada kemiringan lereng 2-15%, masing-masing dengan luasan sebesar ,93 Ha, 2.252,25 Ha, 5.519,64 Ha dan 1.130,01 Ha yang tersebar di enam kecamatan. Sementara untuk perubahan hutan menjadi sawit terbesar terjadi pada lahan berlereng 15-40% dengan luasan sebesar ,53 Ha. Gambar menunjukkan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bungo pada tahun Penggunaan untuk karet, sawit, tegalan, pemukiman dan sawah sebagian besar berada pada kemiringan lereng 2-15%. Masyarakat umumnya ingin membangun tempat tinggal pada lereng yang datar sampai bergelombang dengan berbagai pertimbangan, salah satunya untuk mempermudah aksesibilitas transportasi. Gambar Peta Sebaran Kelas Lereng di Kabupaten Bungo Tegalan dan sawah hampir selalu berasosiasi dengan pemukiman warga. Tegalan biasanya berlokasi dekat dengan pekarangan rumah karena pola usahatani di tegalan umumnya merupakan pola usahatani yang bersifat intensif tenaga kerja. Jenis tanaman yang ditanam umumnya tanaman musiman seperti singkong, kacang panjang, jagung, obat-obatan, dan buah-buahan. Sementara untuk sawah, umumnya lokasi juga berdekatan dengan permukiman seperti tegalan. Disamping

37 68 dekat pemukiman, sawah umumnya dekat dengan sumber air, baik sungai maupun jaringan irigasi. Sebagian besar sawah dijumpai tidak jauh dengan tubuh air untuk efisiensi penyediaan air yang menunjang usahatani di lahan sawah tersebut. Area dengan kemiringan >40% sebagian kecil juga digunakan untuk pengembangan komoditas kelapa sawit dan karet. Area ini tentunya berpotensi rendah-sedang karena memiliki faktor pembatas dengan topografi berbukit (sangat curam), dan secara ekomoni mungkin tidak mendapat keuntungan yang maksimal seperti pengembangan pada kemiringan <40%, selain membutuhkan input yang tinggi juga aksesibilitas yang sulit dijangkau dalam hal pengelolaan dan produksi. Kecamatan Rantau Pandan merupakan salah satu kecamatan yang termasuk kawasan lindung TNKS (Taman Nasional Kerinci Sebelat) yang menurut peraturan tidak boleh digunakan untuk penggunaan perkebunan atau penggunaan lain kecuali pemanfaatan yang diperbolehkan seperti penanaman tanaman obat-obatan dan tanaman lain yang harus dilindungi dan dijaga keberadaannya. Fakta di lapang menunjukkan kawasan dengan kemiringan >40% diusahakan untuk area perkebunan kelapa sawit. Selain itu, fakta empirik pelanggaran pemanfaatan lahan terjadi di Kecamatan Pelepat khususnya Desa Batu Kerbau seluas 776 Ha yang juga merupakan hutan lindung desa yang dijaga kelestariannya berdasarkan SK Bupati Bungo No Tahun 2002 Tanggal 16 Juli 2002). Kasus lain di Kecamatan Tanah Tumbuh yang melakukan konversi lahan dari hutan menjadi sawit pada kemiringan lereng >40%, berdasarkan SK Bupati Bungo No. 528/Hutbun Tahun 2010 Tanggal 05 November 2010 merupakan salah satu hutan yang dijadikan Hutan adat Rimbo Bulin seluas 40,68 Ha (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bungo, tahun 2002) Berbeda halnya dengan penggunaan hutan, tingginya eksploitasi terhadap potensi sumberdaya alam yang belum diiringi dengan rencana skenario pembangunan berkelanjutan telah menyusutkan sumberdaya hutan di Kabupaten Bungo. Perubahan penggunaan lahan pada lahan relatif datar berlangsung intensif. Pada tahun 2011, lahan hutan dengan kemiringan lereng 0-2% diketahui seluas 4.640,08 Ha dan pada tingkat kemiringan lereng >40% luas hutan sebesar

38 ,9 Ha. Hal ini menandakan luas konversi lahan erat kaitannya dengan kondisi kemiringan lereng Karakteristik Jenis Tanah Berdasarkan peta tanah Provinsi Jambi skala 1:250 yang tersaji pada Gambar jenis tanah di Kabupaten Bungo dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu: tanah Latosol, Podsolik, komplek Latosol dan Litosol, dan Andosol. Tanah Andosol merupakan tanah dengan tingkat kemasaman netral sampai asam ph (4,1-5,7), bersolum tebal, dengan kandungan C organik tinggi sampai sangat tinggi (4,20-13,41%). Sebagian tanah Andosoltersebar di lahan bertutupan hutan di Kecamatan Pelepat, Rantau Pandan, dan Tanah Tumbuh. Tanah Andosol terluas berada di Kecamatan Tanah Tumbuh sekitar ,82 Ha yang pemanfaatan utamanya untuk hutan dan sebagian untuk kebun sawit sebesar 37, 26 Ha. Gambar Peta Sebaran Jenis Tanah di Kabupaten Bungo Pada Gambar terlihat luas lima pola perubahan penggunaan lahan terbesar di Kabupaten Bungo dirinci berdasarkan jenis tanahnya. Perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bungo pada periode terbesar adalah dari hutan ke karet sebesar ,08 Ha yang sebagian besar terjadi di jenis tanah Podsolik. Hampir di semua pola perubahan penggunaan lahan, luasan terbesar

39 70 terjadi pada tanah Podsolik, kecuali untuk perubahan hutan ke sawit dimana perubahan terbesar terjadi pada tanah Latosol sebesar ,36 Ha. Sementara untuk komplek Litosol dan Latosol juga terjadi perubahan yaitu dari hutan ke pemukiman sebesar 10,23 yang merupakan luasan terkecil dibadingkan dengan ketiga tanah lainnya. 25,00 Luas (Ha) 20,00 15,00 10,00 5,00 Andosol Komplek Latosol dan Litosol Latosol Podsolik hutan-->karet hutan-- >pemukiman hutan-->sawit hutan-- >tegalan , , , , , , , tegalan-- >pemukiman , Gambar Distribusi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Berdasarkan Jenis Tanah Secara keseluruhan jenis tanah dominan di Kabupaten Bungo adalah tanah Latosol dan Podsolik. Tanah Latosol merupakan tanah yang sudah mengalami pelapukan secara intensif dan perkembangan tanah lanjut. Secara umum sifat-sifat dominan tanah ini memiliki kapasitas tukar kation (KTK) rendah, kadar mineral rendah, kadar bahan larut rendah dan stabilitas agregat tinggi. Untuk penggunaan kelapa sawit dan hutan banyak terdapat pada tanah Latosol, sementara untuk karet, pemukiman, sawah, dan tegalan terdapat pada tanah Podsolik. Tanah Podsolik merupakan tanah yang mengalami perkembangan lanjut, miskin hara dan kesuburan tanah yang tergolong rendah, kedalaman tanah bervariasi sedang sampai sangat dalam, KTK dan kejenuhan basa rendah. Kedalaman tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman. Selain itu kedalaman efektif juga menentukan jumlah unsur hara dan air yang dapat diserap tanaman. Tanah Podsolik dan Lotosol memiliki sifat fisik yang cukup sesuai untuk pengembangan kelapa sawit dan karet. Kedalaman efektif

40 71 kurang lebih 2 m merupakan salah satu syarat untuk perkembangan zona perakaran tanaman tahunan, sehingga menjadi pertimbangan untuk mengusahakannya Hubungan Aksesibilitas ke Jalan dan Pusat Aktifitas Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Pada sub bagian ini akan disajikan pola distribusi contoh perubahan penggunaan lahan pada berbagai jarak ke jalan kabupaten dan pusat aktifitas. Pada Gambar disajikan sebaran poligon beberapa pola perubahan penggunaan lahan. Jarak erat kaitannnya dengan aksesibilitas terhadap pencapain suatu tempat atau lokasi. Gambar Jarak ke Pusat Aktifitas (km) pada Berbagai Jenis Perubahan Penggunaan Lahan Dari Gambar tersebut diketahui bahwa poligon perubahan hutan ke karet mulai terjadi pada jarak 0.01 sampai km terhadap pusat aktifitas, 50% perubahan terjadi pada jarak km dan 75% perubahan terjadi pada jarak kurang dari km. Poligon perubahan hutan ke pemukiman, hutan ke tegalan, tegalan ke pemukiman, tegalan ke karet, karet ke tegalan, dan karet ke pemukiman rata-rata mulai terjadi pada jarak 1.45 sampai 4.86 km. Sementara poligon

41 72 perubahan tegalan ke sawit dan sawit ke pemukiman mulai terjadi pada jarak lebih dari dan km. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah yang memiliki aksesibilitas jalan kabupaten yang tinggi yang ditunjukkan dari jarak yang dekat ke pusat aktifitas mengalami tingkat perubahan yang lebih besar khususnya untuk perubahan hutan ke pemukiman seperti yang terjadi di Kecamatan Muara Bungo dan Pelepat.Sementara kecamatan yang memiliki tingkat aksesibilitas rendah karena lokasinya jauh dari pusat aktifitas misalkan Kecamatan Jujuhan mengalami perubahan ke penggunaan lahan pemukiman yang lebih rendah. Berbagai jenis deskripsi jarak ke pusat aktifitas dan jarak ke jalan Kabupaten pada berbagai jenis perubahan disajikan pada Lampiran 8 dan Lampiran 9. Hasil analisis keterkaitan antara jarak dengan perubahan penggunaan sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Astuti dan Musiyam (2009) di Kota Boyolali. Secara umum dapat disimpulkan bahwa semakin jauh jarak poligon ke pusat kota maka tingkat aksesibilitas wilayahnya semakin rendah. Aksesibilitas berperan mempengaruhi intensitas perubahan penggunaan lahan. Kecamatan Muara Bungo yang merupakan pusat aktifitas di Kabupaten Bungo memiliki tingkat perkembangan ke perumahan dan fasilitas yang lebih tinggi dibandingkan lima kecamatan lainnya. Ada kecenderungan maka perubahan untuk pemukiman terjadi di lokasi dekat dengan pusat aktifitas. Sama halnya dengan model Burges 1925 dalam Rustiadi (2009), yang menyatakan bahwa zona-zona penggunaan lahan berfungsi untuk menjaga keteraturan pemanfaatan ruang. Namun demikian, karena kota tumbuh dan berkembang maka setiap zona cenderung akan menyebar dan bergerak keluar, menggeser zona berikutnya dan menciptakan zona transisi penggunaan rendah. Percepatan fisik perkotaan dengan mengisi ruang-ruang kosong di pinggir jalan, yaitu mulai dengan adanya pembangunan fasilitas dan jalan, kemudian secara perlahan-lahan muncul pemukiman-pemukiman baru di sekitar jalan tersebut. Terbentuknya pemukiman-pemukiman baru merupakan peralihan perkembangan kota secara horizontal yang cenderung mengarah keluar kota. Jika fenomena ini terus berlangsung, dalam waktu mendatang dengan semakin

42 73 berkembangnya pusat kota dikawatirkan akan tercipta pemukiman-pemukiman baru yang lebih banyak dengan melakukan perubahan terhadap penggunaan lahan yang lain. Jika didukung dengan penyediaan jaringan sarana dan prasarana dalam jumlah dan variasi yang lebih banyak, maka luasan hutan di sekitar pusat kota akan menjadi target konversi lahan di waktu mendatang. Oleh karena itu perlu aturan yang jelas dan mengikat tentang penggunaan lahan khususnya konservasi hutan untuk menciptakan ruang terbuka hijau bagi wilayah perkotaan dan sekitarnya. Aksesibilitas yang cukup baik menjadi faktor pemicu terjadinya perubahan penggunaan lahan. Sejalan dengan penelitian Helmer (2004) di Puerto Rico kondisi aksesibilitas yang baik dan berada dekat dekat dengan pusat kota selalu mengalami perubahan yang lebih intensif dibandingkan dengan daerah lainnya. Hampir sama dengan penjelasan sebelumnya perubahan penggunaan lahan ke pemukiman selalu mengikuti perkembangan pusat kota. Hal ini berlaku juga untuk jalan kabupaten, dimana semakin dekat jarak ke jalan kabupaten maka penggunaan untuk pemukiman semakin intensif. Sedangkan untuk perubahan tegalan ke karet, tegalan ke sawit, hutan ke karet, dan hutan ke sawit memiliki jarak yang relatif jauh terhadap jalan kabupaten. Berdasarkan Gambar 5.18 dapat dijelaskan bahwa pemukiman penduduk mengikuti pola jalan yang ada. Kedekatan dengan jalan kabupaten menjamin aksesibilitas lebih mudah untuk menjangkau pusat industri, pendidikan, dan lainlain. Hal ini mungkin menjadi salah satu alasan terjadinya konversi ke pemukiman yang berada dekat dengan jalan kabupaten. Hampir semua poligon perubahan hutan ke penggunaan lain seperti hutan ke karet, hutan ke pemukiman, hutan ke sawit, dan hutan ke tegalan mulai terjadi pada jarak 0.05 sampai 0.51 km terhadap jalan kabupaten. Sama halnya dengan poligon perubahan penggunaan lahan lainnya, rata-rata hampir semua perubahan mulai terjadi pada jarak kurang 2.00 km terhadap jalan kabupaten. Rata-rata poligon perubahan penggunaan lahan 50% mulai terjadi pada jarak 7.38 sampai km. Secara keseluruhan dapat dijelaskan bahwa distribusi poligon perubahan pengggunaan lahan hampir terjadi pada semua jarak yang ada terhadap jalan kabupaten. Kemudahan aksesibilitas

43 74 dan kedekatan terhadap jalan kabupaten menjadi faktor semakin intensifnya interaksi dan aktivitas yang terjadi dengan mengikuti pola jalan kabupaten yang ada. Gambar Jarak ke Jalan Kabupaten (km) pada Berbagai Jenis Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Bungo 5.7. Prediksi Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo 2020 Teknik Markov Chain merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk memperkirakan konfigurasi lahan di waktu yang akan datang berdasarkan perubahan-perubahan dari peubah-peubah dinamis di waktu yang lalu. Teknik ini juga dapat digunakan untuk menganalis kejadian-kejadian di waktu mendatang secara sistematis. Di tengah semakin meningkatnya kebutuhan lahan di masa mendatang, berbagai perubahan yang terjadi akan berdampak pada pengurangan penggunaan lahan lainnya. Upaya pemodelan prediksi konfigurasi ruang masa depan dimaksudkan untuk mengetahui bentuk penggunaan lahan di masa mendatang, yang diharapkan digunakan sebagai teknik untuk menyusun kebijakan pemerintah dalam mengalokasikan ruang. Berdasarkan data penggunaan lahan tahun 1993 dan 2006 yang dianalisis dengan perangkat lunak IDRISI32, diperoleh martix transisi dan peta prediksi penggunaan lahan tahun 2020 yang disajikan pada Tabel 5.11 dan Gambar 5.19.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2006-2009 disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

benar sebesar 30,8%, sehingga harus dilakukan kembali pengelompokkan untuk mendapatkan hasil proporsi objek tutupan lahan yang lebih baik lagi. Pada pengelompokkan keempat, didapat 7 tutupan lahan. Perkebunan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU Kelas C Oleh : Ayu Sulistya Kusumaningtyas 115040201111013 Dwi Ratnasari 115040207111011 Fefri Nurlaili Agustin 115040201111105 Fitri Wahyuni 115040213111050

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung Barat yang merupakan kabupaten baru di Provinsi Jawa Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung. Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Desa Sendayan, Desa Naga Beralih, dan Desa Muara Jalai.

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Desa Sendayan, Desa Naga Beralih, dan Desa Muara Jalai. 36 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 1.1. Keadaan Geografis 4.1.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Desa Sungai Jalau merupakan salah satu desa yang termasuk dalam Kecamatan Kampar Utara, Kecamatan Kampar

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan salah satu faktor penunjang kehidupan di muka bumi baik bagi hewan, tumbuhan hingga manusia. Lahan berperan penting sebagai ruang kehidupan,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA 31 KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA Administrasi Secara administratif pemerintahan Kabupaten Katingan dibagi ke dalam 11 kecamatan dengan ibukota kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Depok 5.1.1. Interpretasi Penggunaan Lahan dari Citra Quickbird Hasil interpretasi penggunaan lahan dari Citra Quickbird Kecamatan Depok adalah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada BT dan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada BT dan 77 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak Geografis Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada 104 552-105 102 BT dan 4 102-4 422 LS. Batas-batas wilayah Kabupaten Tulang Bawang Barat secara geografis

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis LS dan BT. Beriklim tropis dengan

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis LS dan BT. Beriklim tropis dengan III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Geografis Secara geografis Kabupaten Tebo terletak diantara titik koordinat 0 52 32-01 54 50 LS dan 101 48 57-101 49 17 BT. Beriklim tropis dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan papan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu manusia pasti

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil evaluasi komoditas pertanian pangan di kawasan budiddaya di Kecamatan Pasirjambu, analisis evaluasi RTRW Kabupaten Bandung terhadap sebaran jenis pertanian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan sawah memiliki manfaat sebagai media budidaya yang menghasilkan bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki manfaat bersifat fungsional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009, Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5. Kecamatan Leuwiliang Penelitian dilakukan di Desa Pasir Honje Kecamatan Leuwiliang dan Desa Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan pertanian

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

Gambar 4. Lokasi Penelitian

Gambar 4. Lokasi Penelitian 19 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama sembilan minggu, mulai akhir bulan Februari 2011 sampai dengan April 2011. Kegiatan penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1. Kondisi Geografis Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 Ha atau 0,27 persen dari luas Propinsi Jawa Barat. Secara administrasi, Kota Bogor terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun bertambah dengan pesat sedangkan lahan sebagai sumber daya keberadaannya relatif tetap. Pemaanfaatan

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan tanah terbuka pada suatu daerah yang dapat menjadi salah satu faktor penentu kualitas lingkungan. Kondisi lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi

Lebih terperinci

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Oleh: Anny Mulyani, Fahmuddin Agus, dan Subagyo Penggunaan Lahan Pertanian Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua (tidak

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG

EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG Abstrak Rizka Maria 1, Hilda Lestiana 1, dan Sukristiyanti 1 1 Puslit Geoteknologi LIPI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk V PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis 5.1.1 Penghitungan Komponen Penduduk Kependudukan merupakan salah satu komponen yang penting dalam perencanaan suatu kawasan. Faktor penduduk juga memberi pengaruh yang

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan 68 V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan tingkat produksi gula antar daerah. Selain itu Jawa Timur memiliki jumlah

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG. memiliki luas lahan pertanian sebesar 3.958,10 hektar dan luas lahan non

IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG. memiliki luas lahan pertanian sebesar 3.958,10 hektar dan luas lahan non IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG A. Letak Geografis Wilayah Kecamatan Srumbung terletak di di seputaran kaki gunung Merapi tepatnya di bagian timur wilayah Kabupaten Magelang. Kecamatan Srumbung memiliki

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH

KEADAAN UMUM WILAYAH 40 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1 Biofisik Kawasan 4.1.1 Letak dan Luas Kabupaten Murung Raya memiliki luas 23.700 Km 2, secara geografis terletak di koordinat 113 o 20 115 o 55 BT dan antara 0 o 53 48 0

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. ± 30 km atau sekitar 2 jam jarak tempuh, sementara menuju Kabupaten Aceh

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. ± 30 km atau sekitar 2 jam jarak tempuh, sementara menuju Kabupaten Aceh BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Kondisi Geografis Desa Suka Damai merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Gereudong Pase, Kabupaten Aceh Utara. Ibu kota kecamatan ini berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama

Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT THEMATIC MAPPER Ipin Saripin 1 Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama foto udara dianggap paling baik sampai saat ini karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, terutama kondisi lahan pertanian yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA. Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha. Iklim

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA. Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha. Iklim KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha Luas DAS Konaweha adalah 697.841 hektar, yang mencakup 4 (empat) wilayah administrasi yaitu Kabupaten Konawe, Kolaka, Konawe Selatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Wilayah BAB V GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Wilayah Penelitian dilakukan di Kecamatan Panumbangan, Sindangkasih dan Cihaurbeuti. Tiga kecamatan ini berada di daerah Kabupaten Ciamis sebelah utara yang berbatasan

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdesaan (rural) didefenisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Biru terletak di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Kecamatan Purwantoro dan Kecamatan Bulukerto. Lokasinya terletak di bagian lereng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya aktivitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU 70 5.1 Kebergantungan Masyarakat terhadap Danau Rawa Pening Danau Rawa Pening memiliki peran penting dalam menciptakan keseimbangan

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) C78

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) C78 Identifikasi Daerah Rawan Tanah Longsor Menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografis) Dr. Ir. M. Taufik, Akbar Kurniawan, Alfi Rohmah Putri Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci