Bab V Model Dengan Faktor Denda Bagi Para Perokok

dokumen-dokumen yang mirip
Bab III Model Awal Kecanduan Terhadap Rokok

MODEL DINAMIK STRATEGI PENCEGAHAN PERTAMBAHAN JUMLAH PEROKOK TESIS. KASBAWATI NIM : Program Studi Matematika

Bab II Teori Pendukung

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kestabilan Model Matematika AIDS dengan Transmisi. atau Ibu menyusui yang positif terinfeksi HIV ke anaknya.

IV PEMBAHASAN. jika λ 1 < 0 dan λ 2 > 0, maka titik bersifat sadel. Nilai ( ) mengakibatkan. 4.1 Model SIR

III PEMBAHASAN. μ v. r 3. μ h μ h r 4 r 5

ADLN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB IV PEMBAHASAN. optimal dari model untuk mengurangi penyebaran polio pada dengan

BAB III PEMBAHASAN. tenggorokan, batuk, dan kesulitan bernafas. Pada kasus Avian Influenza, gejala

BAB IV ANALISIS MODEL 2

BAB IV PENGEMBANGAN MODEL KAPLAN

Model Deterministik Masalah Kecanduan Narkoba dengan Faktor Kontrol Terhadap Pemakai dan Pengedar Narkoba

Model Matematika Jumlah Perokok dengan Nonlinear Incidence Rate dan Penerapan Denda

Abstrak: Makalah ini bertujuan untuk mengkaji model SIR dari penyebaran

Bab III Model Matematika Transmisi Filariasis Tanpa Pengobatan

BAB III MODEL KAPLAN. 3.1 Model Kaplan

Dinamik Model Epidemi SIRS dengan Laju Kematian Beragam

Model Matematika Pencegahan Pertambahan Jumlah Perokok dengan Penerapan Denda

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bagian ini, akan dibahas system predator-prey dengan respon fungsi tak

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. ekuilibrium bebas penyakit beserta analisis kestabilannya. Selanjutnya dilakukan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta

ANALISIS STABILITAS SISTEM DINAMIK UNTUK MODEL MATEMATIKA EPIDEMIOLOGI TIPE-SIR (SUSCEPTIBLES, INFECTION, RECOVER)

Model Matematika Penyebaran Internal Demam Berdarah Dengue dalam Tubuh Manusia

ANALISIS KESTABILAN MODEL DINAMIKA PENYEBARAN PENYAKIT FLU BURUNG

Studi Penyebaran Penyakit Flu Burung Melalui Kajian Dinamis Revisi Model Endemik SIRS Dengan Pemberian Vaksinasi Unggas. Jalan Sukarno-Hatta Palu,

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Matematika SIV Untuk Penyebaran Virus Tungro Pada Tanaman Padi

MEMBANGUN MODEL PENYEBARAN PERILAKU MEROKOK BERDASARKAN FAKTOR BIOLOGIS DAN FAKTOR LINGKUNGAN SOSIAL

BAB V ANALISA HASIL Perbandingan Akurasi Hasil Peramalan MC Tire IRC Tube Type. menganalisa produk MC Tire IRC Tube Type, sebagai berikut :

Analisis Kestabilan Linear dan Simulasi

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi

BAB III PEMBAHASAN. Ebola. Setelah model terbentuk, akan dilanjutkan dengan analisa bifurkasi pada

BAB III PEMBAHASAN. genetik (genom) yang mengandung salah satu asam nukleat yaitu asam

PEMODELAN MATEMATIKA DAN ANALISIS KESTABILAN LOKAL PADA PERUBAHAN POPULASI PENDERITA DIABETES MELITUS

PENYELESAIAN NUMERIK DAN ANALISA KESTABILAN PADA MODEL EPIDEMIK SEIR DENGAN PENULARAN PADA PERIODE LATEN

Kesimpulan serta Masalah yang masih Terbuka

MODEL PELATIHAN ULANG (RETRAINING) PEKERJA PADA SUATU PERUSAHAAN BERDASARKAN PENILAIAN REKAN KERJA

Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.501 MODEL MATEMATIKA TERHADAP PENYEBARAN VIRUS AVIAN INFLUENZA TIPE-H5N1 PADA POPULASI MANUSIA

BIFURKASI PADA MODEL SUSCEPTIBLE INFECTED RECOVERED (SIR) DENGAN WAKTU TUNDA DAN LAJU PENULARAN BILINEAR SKRIPSI

MODEL EPIDEMIK SIR UNTUK PENYAKIT YANG MENULAR SECARA HORIZONTAL DAN VERTIKAL

KESTABILAN MODEL SUSCEPTIBLE VACCINATED INFECTED RECOVERED (SVIR) PADA PENYEBARAN PENYAKIT CAMPAK (MEASLES) (Studi Kasus di Kota Semarang)

ANALISIS KESTABILAN DAN PROSES MARKOV MODEL PENYEBARAN PENYAKIT EBOLA

Oleh Nara Riatul Kasanah Dosen Pembimbing Drs. Sri Suprapti H., M.Si

KESTABILAN TITIK EQUILIBRIUM MODEL SIR (SUSPECTIBLE, INFECTED, RECOVERED) PENYAKIT FATAL DENGAN MIGRASI

Analisis Model SIR dengan Imigrasi dan Sanitasi pada Penyakit Hepatitis A di Kabupaten Jember

Jurnal String Vol. 2 No. 1 Agustus 2017 p-issn: e-issn:

APLIKASI METODE MATRIKS GENERASI DALAM MENENTUKAN NILAI MATEMATIKA PENYEBARAN VIRUS HIV/AIDS. 10 Makassar, kode Pos 90245

II. LANDASAN TEORI. Definisi 1 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear) Definisi 2 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Taklinear)

BAB 4 MODEL DINAMIKA NEURON FITZHUGH-NAGUMO

MODEL MATEMATIKA PENYAKIT DIABETES DENGAN PENGARUH TRANSMISI VERTIKAL

Analisis Kestabilan Pada Model Transmisi Virus Hepatitis B yang Dipengaruhi Oleh Migrasi

ANALISIS KESTABILAN PADA MODEL PENYEBARAN HIV/AIDS DI KOTA PALU

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Proses Pencabangan model DTMC SIR

III MODEL MATEMATIKA S I R. δ δ δ

MODEL NON LINEAR PENYAKIT DIABETES. Aminah Ekawati 1 dan Lina Aryati 2 ABSTRAK ABSTRACT

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan hasil analisis bifurkasi pada model predator-prey dengan dua

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI

SIFAT-SIFAT DINAMIK DARI MODEL INTERAKSI CINTA DENGAN MEMPERHATIKAN DAYA TARIK PASANGAN

BAB II LANDASAN TEORI. pada bab pembahasan. Materi-materi yang akan dibahas yaitu pemodelan

T - 1 PEMODELAN MATEMATIKA UNTUK MENSIMULASIKAN EFEK POPULASI KARANTINA TERHADAP PENYEBARAN PENYAKIT HIV/AIDS DI PAPUA

BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II

ANALISIS KESTABILAN BEBAS PENYAKIT MODEL EPIDEMI CVPD (CITRUS VEIN PHLOEM DEGENERATION) PADA TANAMAN JERUK DENGAN FUNGSI RESPON HOLLING TIPE II

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Analisa Kualitatif pada Model Penyakit Parasitosis

BAB II KAJIAN TEORI. Persamaan diferensial sangat penting dalam pemodelan matematika khususnya

BAB II LANDASAN TEORI

Bab 4. Analisis Hasil Simulasi

PEMODELAN MATEMATIKA DAN ANALISIS STABILITAS DARI PENYEBARAN PENYAKIT FLU BURUNG

BAB IV HASIL YANG DIPEROLEH

KESTABILAN TITIK EQUILIBRIUM MODEL SIR (SUSCEPTIBLE, INFECTED, RECOVERED) PENYAKIT FATAL DENGAN MIGRASI TUGAS AKHIR

BABAK PENYISIHAN SELEKSI TINGKAT PROVINSI BIDANG KOMPETISI

T 3 Model Dinamika Sel Tumor Dengan Terapi Pengobatan Menggunakan Virus Oncolytic

FOURIER April 2013, Vol. 2, No. 1, MODEL PENYEBARAN PENYAKIT POLIO DENGAN PENGARUH VAKSINASI. RR Laila Ma rifatun 1, Sugiyanto 2

Analisa Kestabilan dan Penyelesaian Numerik Model Dinamik SIRC pada Penyebaran. Virus Influenza

Penerapan Teknik Serangga Steril Dengan Model Logistik. Dalam Pemberantasan Nyamuk Aedes Aegypti. Nida Sri Utami

LANDASAN TEORI. Model ini memiliki nilai kesetimbangan positif pada saat koordinat berada di titik

BAB II LANDASAN TEORI

Oleh : HASNAN NASRUN SUBCHAN, MAHMUD YUNUS

BAB I PENDAHULUAN. disebut dengan sistem dinamik kontinu dan sistem dinamik yang. menggunakan waktu diskrit disebut dengan sistem dinamik diskrit.

PEMODELAN MATEMATIKA DAN ANALISIS KESTABILAN MODEL PADA PENYEBARAN HIV-AIDS

ANALISIS KESTABILAN MODEL MATEMATIKA IMMUNOTERAPI BCG PADA KANKER KANDUNG KEMIH

BAB II KAJIAN TEORI. digunakan pada bab pembahasan. Teori-teori ini digunakan sebagai bahan acuan

ANALISIS KESTABILAN PADA MODEL TRANSMISI VIRUS HEPATITIS B YANG DIPENGARUHI OLEH MIGRASI

PEMODELAN MATEMATIKA DAN ANALISIS STABILITAS DARI PENULARAN PENYAKIT GONORE

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis model epidemik beserta simulasinya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Esai Kesehatan. Disusun Oleh: Prihantini /2015

KENDALI OPTIMAL PADA PENCEGAHAN WABAH FLU BURUNG DENGAN ELIMINASI, KARANTINA DAN PENGOBATAN

BAB 3 DINAMIKA GERAK LURUS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA

DINAMIKA PROBLEMA PENYAKIT MALARIA

HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR...

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

DATA DAN METODE Sumber Data

KAJIAN PEMODELAN MATEMATIKA TERHADAP PENYEBARAN VIRUS AVIAN INFLUENZA TIPE-H5N1 PADA POPULASI UNGGAS. Dian Permana Putri, 2 Herri Sulaiman 1,2

BAB III METODOLOGI. Lama waktu penelitian yang dilakukan yaitu selama kwartal term ajaran baru

Transkripsi:

Bab V Model Dengan Faktor Denda Bagi Para Perokok V.1 Pembentukan Model Model ketiga ini merupakan pengembangan dari model kedua yaitu dengan memasukkan faktor yang dapat menekan laju pertambahan jumlah perokok. Salah satu asumsi yang diharapkan dapat menekan laju pertambahan jumlah perokok adalah setiap perokok yang merokok di tempat umum akan diberikan sangsi atau denda sehingga dengan adanya sangsi atau denda tersebut diharapkan keinginan mereka untuk merokok dapat sedikit tertahan atau hilang sama sekali setelah diberikan denda. Diagram skematik untuk model ketiga ini dapat kita lihat dalam Gambar V.1 berikut. Gambar V.1: Diagram skematik model kecanduan rokok dengan faktor denda bagi para perokok. Asumsi lain yang diberikan adalah denda tersebut memberikan efek yang baik (penalty effect). Efek baik tersebut berupa keengganan seseorang yang potensial untuk merokok khususnya jika mereka berada di tempat umum, sehingga

36 jumlah orang yang berpotensi menjadi perokok (perokok berat) dapat dikurangi. Dari diagram dalam Gambar V.1 diperoleh persamaan untuk model ketiga yaitu d P m dτ d S m dτ d R m dτ d P f dτ d S f dτ d R f dτ = µn m β m Pm Sm N m µ P m gp P m, (5.1) = β m Pm Sm N m (1 p) α m Sm + γ m Rm µ S m, (5.2) = α m Sm γ m Rm µ R m, (5.3) = µn f β f Pf Sm N m µ P f gp P f, (5.4) = β f Pf Sm N m (1 p) α f Sf + γ f R µ Sf, (5.5) = α f Sf γ f Rf µ R f, (5.6) dengan p = kr dimana k adalah proporsi orang yang didenda dan r adalah efektifitas dari denda, sehingga 0 < p < 1. Parameter g menyatakan efek baik (penalty effect) yang muncul akibat adanya denda bagi para perokok per satuan waktu, g > 0. Diasumsikan pula bahwa rata-rata banyaknya perokok pria dan wanita yang dikenai denda karena merokok adalah sama (p m = p f = p). Misalkan P m = P m Nm, S m = S m Nm, R m = R m N m, P f = P f N f, S f = S f N f, R f = R f N f t = µτ, maka akan diperoleh sistem persamaan yang tidak bergantung pada dimensi (dimensionless) sebagai berikut dan dp m ds m dr m dp f ds f dr f = 1 β m P m S m P m gpp m, (5.7) = β m P m S m (1 p) α m S m + γ m R m S m, (5.8) = α m S m γ m R m R m, (5.9) = 1 β f P f S m P f gpp f, (5.10) = β f P f S m (1 p) α f S f + γ f R f S f, (5.11) = α f S f γ f R f R f. (5.12)

37 V.2 Analisis Kualitatif Seperti pada model sebelumnya, dengan membuat persamaan (5.7)-(5.9) sama dengan nol diperoleh titik tetap sistem untuk model ketiga ini, yaitu ( ) 1 (Pm, Sm, Rm) =, 0, 0, 0, (5.13) 1 + gp yang merupakan titik tetap tak endemik dan (P m, S m, R m ) dengan R P m = α m + γ m + 1 β m γ m (1 p) + β m (1 p), Sm = (γ m + 1)(1 p) α m + γ m + 1 1 + gp, (5.14) β m m = α mβ m (1 p)(γ m + 1) α m (α m + γ m + 1)(1 + pg), β m γ m (α m + γ m + 2) + β m (α m + 1) yang merupakan titik tetap endemik sistem. Kestabilan kedua titik tetap tersebut dapat ditentukan melalui besar kecilnya nilai R 0 sistem seperti yang telah kita lakukan pada model-model sebelumnya. Pada model ketiga ini, nilai R 0 tidak ditentukan melalui nilai karakteristik matriks Jacobi sistem yang diperoleh melalui linearisasi sistem di sekitar titik tetap tersebut, tetapi kita akan mencoba menggunakan pendekatan lain yaitu dengan menggunakan pendekatan operator the next generation. Berikut penentuan nilai R 0 dengan menggunakan operator the next generation. Tinjau persamaan (5.7)-(5.9) dan (5.13). Misalkan dp m dr m ds m Jika g(p m, S m, R m ) = 0 maka diperoleh persamaan Dengan mensubtitusi P m = 1 1+gp = f(p m, S m, R m ), (5.15) = g(p m, S m, R m ), (5.16) = h(p m, S m, R m ). (5.17) R m = α ms m γ m + 1. (5.18) dan persamaan (5.18) ke persamaan (5.17) kemudian menurunkannya terhadap S m maka diperoleh nilai A dimana A := β m(1 p) (1 + gp) α m + γ mα m 1. (5.19) (γ m + 1)

38 Selanjutnya A dapat dibentuk sebagai A = M D dengan memilih M = β m (1+gp) dan D = M A = β mp(γ m +1)+(α m +γ m +1)(1+gp) (γ m +1)(1+gp) dengan M merupakan rata-rata kontak yang terjadi pada subpopulasi potensial dan D merupakan periode terjadinya kontak, sehingga diperoleh nilai R 0 = MD 1 = β m (γ m + 1) pβ m (γ m + 1) + (α m + γ m + 1)(1 + gp). (5.20) Nilai R 0 tersebut akan menentukan stabil atau tidaknya kedua titik tetap sistem. Jika R 0 < 1 maka titik tetap tak endemik (P m, S m, R m) akan stabil asimtotik secara lokal dan jika R 0 > 1 maka titik tetap endemik (P m, S m, R m ) akan stabil asimtotik secara lokal. Pada model ketiga ini, besar kecilnya nilai R 0 bergantung pada beberapa parameter. Tinjau kembali nilai R 0 yang telah diperoleh pada persamaan (5.20). Untuk nilai R 0 = 1, yang merupakan titik bifurkasi sistem (turning point), diperoleh β m = 1 + gp 1 p ( 1 + α ) m. (5.21) γ m + 1 Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa jika kita menganggap parameter lain tetap maka hubungan antara parameter β m dengan α m akan berbentuk linier. Semakin besar nilai α m maka nilai β m juga akan semakin besar. Ini dapat dilihat dalam Gambar V.2 berikut. Gambar V.2: Grafik β m terhadap α m, dengan nilai R 0 = 1. Nilai R 0 akan kecil dari 1 jika dan hanya jika 0 < β m < 1+gp, untuk setiap 1 p α m, γ m, g, p > 0. Sama halnya dengan parameter g, hubungan antara g dengan β m berbentuk linier. Ini dapat dilihat dalam Gambar V.3 berikut.

39 Gambar V.3: Grafik β m terhadap α m, dengan nilai R 0 = 1. Semakin besar nilai g maka nilai β m juga akan semakin besar. Tetapi jika nilai 0 < β m < α m+γ m +1 (1 p)(γ m+1), untuk setiap α m, γ m, g, p > 0 maka nilai R 0 akan selalu kecil dari 1. Hal yang berbeda terjadi antara parameter γ m dengan β m. Gambar V.4: Grafik β m terhadap γ m, dengan nilai R 0 = 1. Dari Gambar V.4 dapat dilihat bahwa jika nilai γ m besar maka β m akan konvergen ke 1+gp 1 p. Tetapi jika nilai γ m kecil maka β m akan konvergen ke 1+gp 1 p (1+α m). Jika 0 < β m < 1+gp 1 p maka R 0 < 1 untuk setiap α m, γ m, g, p > 0. Ini sesuai dengan analisis untuk Gambar V.2. Jika 1+gp 1 p < β m < 1+gp 1 p (1 + α m), maka terdapat suatu nilai γ m tertentu, misalkan γ mc, sedemikian sehingga mengakibatkan nilai R 0 < 1. Tetapi jika nilai β m > 1+gp 1 p (1 + α m) maka R 0 akan selalu besar dari 1, untuk setiap nilai α m, γ m, g, p > 0. Selanjutnya kita akan tinjau hubungan antara parameter β m dengan p. Jika p = 0 maka analisis besar kecil nilai R 0 akan sama dengan analisis pada model kedua. Tetapi jika p 0, 0 < p < 1, maka dengan menganggap semua parameter lainnya tetap diperoleh grafik β m terhadap p seperti dalam Gambar V.5 berikut

40 Gambar V.5: Grafik β m terhadap p, dengan nilai R 0 = 1. Dari Gambar V.5 dapat dilihat bahwa jika 0 < β m < 1 + α m γ m +1 maka R 0 akan selalu kecil dari 1, untuk setiap nilai α m, γ m, g > 0, 0 < p < 1. Tetapi jika nilai β m > 1+ α m γ m+1 nilai R 0 kecil dari 1. maka diperlukan nilai p yang cukup besar untuk membuat Jadi semakin besar nilai β m maka nilai p juga harus semakin besar. Dari keseluruhan analisis di atas diperoleh beberapa syarat yang membatasi parameter β m agar nilai R 0 < 1, α m, γ m, g, p > 0, yaitu 0 < β m < 1+gp 1 p (lihat Gambar V.2 dan V.4). 0 < β m < α m+γ m 1 (1 p)(γ m +1) (lihat Gambar V.3). 0 < β m < 1 + α m γ m +1 (lihat Gambar V.5). Jika salah satu syarat di atas dipenuhi maka nilai R 0 akan selalu kecil dari 1 sehingga untuk waktu yang stationer kondisi endemik tidak akan terjadi. V.3 Analisis Kuantitatif Misalkan rata-rata banyaknya pria dan wanita perokok yang di denda adalah sebesar 50% (p = 0.5) dengan penalty effect ( g) sebesar 0.05 per tahun maka diperoleh nilai g = 0.9 (µ = 0.055). Dengan menggunakan parameter pada model sebelumnya diperoleh nilai R 0 = 0.787 yang berarti endemik tidak akan terjadi untuk waktu yang stationer. Grafik solusi model ketiga dengan faktor denda dan penalty effect tersebut dapat dilihat dalam Gambar V.6 berikut.

41 R 0 0.787 1 0.5 0.3 Pm t Sm t Rm t Pf t Sf t Rf t 0.1 1 2 3 4 5 t Gambar V.6: Grafik dengan nilai awal P m = 6, S m = 0.51, R m = 3, P f = 8, S f = 1, R f = 0.11 dan nilai parameter α m = 1.145, α f = 1.072, β m = 3.018, β f = 2.072, γ m = 0.90, γ f = 0.90, p = 0.5, g = 0.90, R 0 = 0.787. Dari Gambar V.6 dapat dilihat bahwa dengan diberlakukannya denda atau sangsi kepada para perokok maka laju perubahan jumlah perokok menurun dengan cepat tanpa harus menurunkan besarnya kontak. Penalty effect juga memberikan pengaruh dalam mengurangi jumlah orang yang berpotensi menjadi perokok. Pada subpopulasi pria potensial, laju perubahan solusinya naik menuju ke titik tetap tak endemik Pm = 1. Hal yang berbeda terjadi pada 1+gp subpopulasi wanita potensial. Pada saat awal, laju perubahannya menurun dan kemudian naik pada saat t tertentu menuju ke titik tetap tak endemik yang sama. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada subpopulasi wanita juga diberlakukan denda yang memberikan efek baik untuk mengurangi wanita yang berpotensi untuk menjadi perokok aktif. V.4 Perbandingan Model Pada bagian ini kita akan membandingkan ketiga model dan melihat perubahan apa saja yang terjadi dari model pertama ke model kedua dan ketiga. Pada model pertama diperoleh hasil bahwa jumlah perokok dapat kita kurangi dengan cara menurunkan besarnya β m yaitu rata-rata banyaknya kontak antara pria dan wanita potensial dengan pria perokok. Jika nilai β m cukup besar maka endemik dapat dihindari dengan cara menaikkan nilai α m yaitu rata-rata banyaknya perokok yang berhenti merokok. Selanjutnya model awal

42 tersebut kita kembangkan pada model kedua dengan menambahkan asumsi bahwa orang yang berhenti merokok suatu saat dapat kembali menjadi perokok tanpa melalui interaksi dengan pria perokok. Hasil yang diperoleh adalah jumlah perokok bertambah sehingga jumlah perokok pada model kedua ini jauh lebih besar jika dibandingkan pada model pertama. Hal ini tentu saja diakibatkan karena adanya penambahan jumlah perokok dari kelas recover. Salah satu kontrol yang dapat dilakukan adalah dengan cara menurunkan besarnya kontak (β m ) seperti pada model pertama. Parameter lain yang dapat dikontrol adalah γ m yaitu rata-rata banyaknya perokok recover yang kembali menjadi perokok. Tetapi hal ini tidak cukup membantu karena jumlah perokok pada kedua populasi tetap bertambah (lihat Gambar V.7).Pada subpopulasi pria, besar pertambahan jumlah perokok sekitar 7.5% dari model sebelumnya dan subpopulasi wanita bertambah sekitar 10% dari model sebelumnya (lihat Gambar V.8). 1 1 0.8 0.8 1 2 3 4 5 t 1 2 3 4 5 t (a) (b) Gambar V.7: Grafik perbandingan antara model pertama (biru-merah) dan model kedua (hitam) untuk populasi pria (a) dan populasi wanita (b). 0.1 0.075 0.05 0.025 Pm t Sm t Rm t Pf t Sf t Rf t 0-0.025-0.05-0.075 0 1 2 3 4 5 t Gambar V.8: Grafik perubahan jumlah populasi model pertama ke model kedua.

43 Walaupun jumlah pertambahan tersebut cukup kecil tetapi hal ini tidak diharapkan untuk terjadi karena kita menginginkan jumlah perokok berkurang. Untuk memecahkan masalah tersebut, pada model ketiga dilakukan pengembangan model dengan menambahkan asumsi yang diharapkan dapat menekan pertambahan jumlah perokok yaitu dengan memasukkan faktor denda bagi perokok dan mengasumsikan bahwa denda tersebut mempunyai efek baik untuk mengurangi jumlah orang yang berpotensi untuk menjadi perokok. Hasil yang diperoleh adalah jumlah perokok berkurang walaupun ada penambahan jumlah perokok dari kelas recover. 1 1 0.8 0.8 1 2 3 4 5 t 1 2 3 4 5 t (a) (b) Gambar V.9: Grafik perbandingan antara model kedua (biru-merah) dan model ketiga (hitam) untuk populasi pria (a) dan populasi wanita (b). 0-0.1 - Pm t Sm t Rm t Pf t Sf t Rf t -0.3-0 1 2 3 4 5 t Gambar V.10: Grafik perubahan jumlah populasi akibat denda dan penalty effect. Dari Gambar V.9 dan V.10 di atas dapat dilihat bahwa jumlah pria perokok berkurang walaupun besar penurunan subpopulasi pria perokok cukup kecil jika dibandingkan dengan subpopulasi wanita perokok. Begitupula dengan jumlah populasi potensial, keduanya juga berkurang yang tentu saja ini diakibatkan karena adanya penalty effect dari denda. Secara umum, perbandingan

44 ketiga model dapat dilihat dalam grafik solusi berikut dengan nilai t yang diperbesar. Grafik solusi yang diberikan hanya subpopulasi potensial dan perokok karena dalam hal ini kita ingin melihat perubahan yang terjadi pada kedua subpopulasi tersebut. 0.9 0.5 0.8 0.7 0.3 0.5 0.3 0.1 2 4 6 8 10 12 14 t 2 4 6 8 10 12 14 t (a) (b) Gambar V.11: Grafik perbandingan model pertama (biru), model kedua (merah) dan model ketiga (hitam) untuk subpopulasi pria potensial (a) dan subpopulasi pria perokok (b) dengan nilai parameter α m = 1.145, α f = 1.072, β m = 3.018, β f = 2.072, γ m = 0.9, γ f = 0.9, p = 0.5, g = 0.9. 0.9 0.8 0.7 0.3 0.5 0.1 2 4 6 8 10 12 14 t 2 4 6 8 10 12 14 t (a) Gambar V.12: Grafik perbandingan model pertama (biru), model kedua (merah) dan model ketiga (hitam) untuk subpopulasi wanita potensial (a) dan subpopulasi wanita perokok (b) dengan nilai parameter α m = 1.145, α f = 1.072, β m = 3.018, β f = 2.072, γ m = 0.9, γ f = 0.9, p = 0.5, g = 0.9. (b) Dari Gambar V.11 dan V.12 dapat dilihat bahwa kedua populasi (pria dan wanita) mengalami kondisi yang sama untuk waktu yang stationer dimana

45 subpopulasi potensial akan naik dan subpopulasi perokok terus menurun. Hal yang menarik terjadi pada model ketiga yaitu terdapat suatu t tertentu sedemikian sehingga subpopulasi perokok akan hilang dari sistem. Sedangkan untuk model pertama dan kedua dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa subpopulasi perokok akan selalu ada untuk waktu yang stationer. Perlu diketahui bahwa parameter yang dipilih dalam Gambar V.11 dan V.12 memberikan kondisi yang endemik untuk model pertama dan kedua, dan kondisi yang tak endemik untuk model ketiga. Selanjutnya, kita akan melihat hasil simulasi ketiga model untuk kondisi yang endemik yaitu berupa persentase perubahan jumlah perokok dari kondisi awal, dengan nilai β m yang berbeda. Simulasi yang diberikan hanya meninjau subpopulasi pria perokok karena keberadaan subpopulasi inilah yang dapat mengakibatkan pertambahan jumlah perokok dan terjadinya endemik dalam suatu populasi. Nilai parameter yang dipergunakan dalam simulasi ini adalah α m = 1.145, α f = 1.072, β f = 2.072, γ m = 0.90, γ f = 0.90, p = 0.05, g = 0.90 dengan S m (0) = 0.35 yaitu banyaknya pria perokok pada awal tahun adalah sekitar 35% dari total populasi. Gambar V.13: Grafik persentase perubahan jumlah perokok dengan nilai β m yang berbeda, untuk model I, II dan III. Dari Gambar V.13 di atas dapat dilihat bahwa pada model I dan II, untuk nilai β m < βm persentase perubahan S m bernilai negatif artinya untuk kondisi yang endemik dan untuk waktu yang cukup besar, jumlah subpopulasi pria perokok akan berkurang dari jumlah populasi awal. Sebaliknya untuk nilai β m > βm

46 persentase perubahan S m bernilai positif yang berarti bahwa pada kondisi yang endemik jumlah subpopulasi pria perokok akan bertambah dari populasi awal. Misalkan untuk nilai β m = 5, pada model I banyaknya subpopulasi pria perokok pada kondisi setimbang akan mengalami penurunan sebesar 4% dari jumlah populasi awal sedangkan pada model II banyaknya subpopulasi pria perokok pada kondisi setimbang akan mengalami kenaikan sebesar 1% dari jumlah populasi awal. Hal yang menarik terjadi pada model III yaitu tidak terdapat βm dan nilai persentase perubahan S m selalu negatif untuk semua nilai β m yang diberikan. Ini berarti untuk kondisi yang endemik dan untuk waktu yang cukup besar, jumlah subpopulasi pria perokok akan selalu berkurang dari jumlah populasi awal. Ini disebabkan karena adanya parameter p (denda bagi perokok) dan g (penalty effect) yang diasumsikan dapat menekan laju pertambahan jumlah pria perokok. Jumlah tersebut kemungkinan dapat bertambah jika nilai β m kita perbesar lagi. Dari hasil simulasi di atas dapat kita lihat bahwa pada model ketiga, dengan menggunakan parameter yang telah kita pilih, laju pertambahan jumlah perokok berhasil kita tekan. Jika nilai parameternya berubah kemungkinan lain dapat saja terjadi. Akan tetapi pemilihan nilai parameter secara umum dapat dilakukan dengan mengacu pada grafik daerah endemik yang telah diberikan sebelumnya pada masing-masing model.