4 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran 3.2 Metode Pengumpulan Data

METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran 3.2 Metode Pengumpulan Data

Lampiran 1 Log book penangkapan ikan dengan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur.

BAB IV PEMBAHASAN. Nama Produk Nama Spesies. Asal Ikan. Alur Proses. Kemasan Produk. Daya Tahan Produk. Penggunaan Produk Negara Tujuan Ekspor

BAB 2 LANDASAN TEORI

METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. merupakan UKM yang bergerak dibidang produksi furniture.

PENGENDALIAN MUTU PADA PROSES PRODUKSI TUNA LOIN (Thunnus sp.) DENGAN METODE SIX SIGMA STUDI KASUS: PT X MARIAH

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, persaingan antara perusahaan-perusahaan tidak hanya terjadi di

Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Data Atribut Menganalisis CTQ ( Critical to Quality) Mengidentifikasi Sumber-sumber dan Akar Penyebab Kecacatan

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB II LANDASAN TEORI. setiap ahli memiliki teori sendiri-sendiri mengenai hal ini. Menurut (Davis, 1994)

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

BAB III LANGKAH PEMECAHAN MASALAH

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

METODE PENELITIAN. Penelitian mengenai Pengendalian Mutu Industri Gula Kelapa (Kasus UD.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III SIX SIGMA. Six Sigma pertama kali digunakan oleh perusahaan Motorola pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tidak ada yang menyangkal bahwa kualitas menjadi karakteristik utama

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

SNI Standar Nasional Indonesia. Udang beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPABILITAS PROSES DALAM PENENTUAN LEVEL SIGMA DAN DPMO

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II KAJIAN LITERATUR

Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

BAB IV METODE PENELITIAN. kuantitatif dan kualitatif. Desain Penelitian ini adalah deskriptif eksploratif yaitu

Pengendalian Kualitas Statistik. Lely Riawati

Ikan segar - Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

BAB 3 LANGKAH PEMECAHAN MASALAH

USULAN PERBAIKAN KUALITAS PRODUK DUDUKAN MAGNET DENGAN METODE ENAM SIGMA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah siklus DMAIC telah diterapkan dan diperoleh hasilnya, tujuan dari

Sejarah Six Sigma Jepang ambil alih Motorola produksi TV dng jumlah kerusakan satu dibanding duapuluh Program Manajemen Partisipatif Motorola (Partici

BAB 3 LANGKAH PEMECAHAN MASALAH

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam bab ini dijelaskan mengenai tahapan-tahapan yang dilakukaan oleh

BAB3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tugas akhir ini mencakup langkah-langkah sebagai berikut :

STATISTICAL PROCESS CONTROL

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskrpsi Ikan Tuna

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

V. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN B. TAHAP-TAHAP PENELITIAN. 1. Observasi Lapang. 2. Pengumpulan Data Kuantitatif

BAB VI ANALISIS PEMECAHAN MASALAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGAKUAN... ii. SURAT PENGAMBILAN DATA DARI PERUSAHAAN... iii. HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... iv. HALAMAN PERSEMBAHAN...

BAB 2 LANDASAN TEORI

memuaskan pelanggan dan memenangkan persaingan PT. ITS selalu berasaha mengurangi adanya aktivitas tambahan atau pemborosan yang disebabkan karena

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 LANGKAH PEMECAHAN MASALAH. PT. Citra Tunas Baru Gramindo adalah sebuah perusahaan garmen yang

BAB V HASIL DAN ANALISA

BAB III PENGUMPULAN DATA

BAB III METODE CONTROL CHART. sebagai metode grafik yang di gunakan untuk mengevaluasi apakah suatu proses

BAB III LANGKAH PEMECAHAN MASALAH. Gramedia Cikarang yaitu dengan menggunakan metode DMAIC (Define,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB V HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

III. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Deskripsi Produk Tuna Loin Beku di PT. Awindo Internasional

BAB III SIX SIGMA. Gambar 3.1 Jarak nilai rata-rata terhadap salah satu batas toleransi

BAB II LANDASAN TEORI. Persyaratan utama untuk mencapai kepuasan pelanggan (customer

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Oleh : Miftakhusani

PENGENDALIAN KUALITAS PRODUK DENGAN METODE SIX SIGMA DALAM UPAYA MENCAPAI ZERO DEFECT

Penerapan Metode DMAIC di PT. Coca-Cola Bottling Indonesia Jawa Timur. Oleh Zubdatu Zahrati Dosen Pembimbing : Dra.

Universitas Sumatera Utara

BAB ll LANDASAN TEORI

Seminar Nasional Waluyo Jatmiko II FTI UPN Veteran Jawa Timur

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan menerapkan berbagai macam cara agar produk-produk mereka dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan produk plastik pada saat ini cukup pesat dimana semakin

BAB V ANALISA PEMECAHAN MASALAH

Lampiran 1 Peta PPN Palabuhanratu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sanitasi Dan Higiene Pada Tahap Penerimaan Bahan Baku.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. suatu produk atau jasa yang ditentukan oleh pemakai atau customer dan diperoleh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. H.Yusdin Abdullah dan sebagai pimpinan perusahaan adalah Bapak Azmar

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB V ANALISIS HASIL

BAB I PENDAHAHULUAN I.1

FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

BAB 4 PEMBAHASAN. Pengumpulan data dilakukan sebagai bahan pengolahan data yang perlu

Transkripsi:

28 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Perusahaan Perusahaan X merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perikanan. Perusahaan ini berdiri sekitar 10 tahun yang lalu. Perusahaan X ini didukung oleh manajemen perusahaan yang baik dan sumber daya yang terpilih, perusahaan ini telah mampu bersaing dengan perusahaan perikanan yang lainnya dalam memproduksi dan mengeksport tuna loin ke mancanegara, diantaranya Amerika Serikat. Perusahaan A yang merupakan cikal bakal dari perusahaan X mulai beroperasi sekitar akhir tahun 1998 dengan menyewa tempat di Jakarta. Perusahaan A memproduksi kerang laut (tiger snail) dan ikan layur hingga akhir tahun 1999. Tahun 2000, perusahaan mulai memproduksi olahan tuna yaitu loin, saku, steak, strip, cubes dan chunk yang beroperasi sampai akhir tahun 2001. Awal tahun 2002, unit produksi dan manajemen mulai pindah lokasi di Jakarta dengan memproduksi tuna beku. PT X berada di tangan para investor dari Taiwan. Sejak tahun 2005, PT X mulai memfokuskan pada ekspor produk segar dengan jenis loin, steak, saku, cubes dan produk sampingan scrab dengan jumlah besar. Perusahaan X dalam melakukan proses produksi telah mendapatkan sertifikat kelayakan untuk pengolahan (SKP) dengan nilai A yang dikeluarkan Kementerian Perikanan dan Kelautan. Tujuan pendirian PT X sesuai dengan prinsip ekonomi yaitu untuk memperoleh keuntungan dan memperluas lapangan pekerjaan sehingga dapat menekan tingkat pengangguran. Data berat rataan bahan baku, rataan loin dan rataan rendemen loin dapat dilihat pada Lampiran 1. 4.2 Proses Produksi Tuna Loin Tahapan proses pengolahan tuna loin beku di PT X terdiri dari : penerimaan bahan baku, pencucian, penyimpanan sementara, penimbangan I, pemotongan, pembentukan loin, sortasi mutu, pembuangan daging gelap (trimming), pembuangan kulit (skinning), perapihan, penimbangan II, pembungkusan sementara, pemberian gas CO, pengemasan primer, pemvakuman,

29 pembekuan, penimbangan IV, pengemasan sekunder dan pelabelan. Diagram alir proses pengolahan tuna loin di PT X disajikan pada Lampiran 2. 4.2.1 Penerimaan bahan baku (receiving) Penerimaan ikan tuna setelah sampai di perusahaan langsung ditangani secara cepat dan hati-hati. Setelah di tempat penerimaan, langsung dilakukan pengecekan terhadap mutunya yaitu meliputi uji organoleptik dan pengujian suhu dengan menggunakan termokopel. Pengecekan suhu dilakukan untuk menjaga suhu pusat tubuh ikan tidak lebih dari 5 C agar tidak terjadi peningkatan kadar histamin. Pada umumnya bahan baku yang diterima adalah ikan yang memiliki suhu sekitar 1-2 C. Penerimaan bahan baku tuna dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Penerimaan bahan baku. 4.2.2 Pencucian Proses pencucian dilakukan dengan cara mengusap seluruh bagian ikan dengan menggunakan spon halus dan membilasnya dengan air dingin mengalir bersuhu ± 2 C. Air yang digunakan telah mengalami pengujian dengan standar air minum. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan dan membersihkan kotoran, darah, lendir, dan benda-benda asing yang menempel pada ikan tuna sehingga dapat mengurangi jumlah mikroba (Jenie 1988). Proses pencucian pada ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Pencucian.

30 4.2.3 Penyimpanan sementara Penyimpanan sementara dilakukan apabila bahan baku yang diterima atau yang dibeli belum mencukupi untuk diproses. Oleh karena itu ikan tuna dikumpulkan dan disimpan dalam bak penampungan yang berisi es flake (flake ice). Dalam bak penampungan tidak ada pemisahan size atau grade ikan. Bak penampungan ikan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan ikan sementara sebelum ikan dipotong agar suhu ikan tetap terkontrol untuk meminimalkan jumlah mikroba. Penyimpanan sementara ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Penyimpanan sementara. 4.2.4 Penimbangan I Penimbangan ikan ini yaitu dengan cara meletakkan ikan tuna dalam timbangan yang sudah dikalibrasi. Tujuan dari penimbangan ini yaitu untuk mengetahui berat tuna utuh per ekor dan untuk menentukan rendemen yang akan diperoleh. Dalam penimbangan ini data dicatat oleh tally perusahaan. Penimbangan ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 Penimbangan. 4.2.5 Pemotongan Langkah pertama yang dilakukan dalam pemotongan yaitu dengan memotong kepala terlebih dahulu. Selanjutnya pisau dimasukkan ke dasar sirip dada dan dipotong kearah punggung. Pemotongan ini dilakukan secara cepat dan

31 hati- hati dan mengikuti garis operkulum (tutup insang). Selanjutnya dilakukan pemenggalan tulang belakang dengan memegang bagian kepala sampai kepala ikan terputus. Kepala dan sirip yang telah dipotong ditampung dalam bak khusus. Sebelum tulang ikan dibuang dilakukan pengambilan sisa-sisa daging yang masih menempel pada tulang. Hasil samping seperti kepala, tulang, kulit, dan daging dimanfaatkan untuk dijual kembali. Pemotongan ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Pemotongan. 4.2.6 Pembentukan loin Pembentukan loin dilakukan secara manual dengan cara memotong daging ikan mulai dari ekor ke arah kepala hingga daging kedua sisi ikan terpisah dari tulang punggungnya. Satu ekor ikan dipotong menjadi empat bagian loin. Pembentukan loin dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10 Pembentukan loin. 4.2.7 Pembuangan kulit (skinning) Tahapan selanjutnya adalah pembuangan kulit (skinning). Pembuangan kulit dilakukan secara manual dengan menggunakan pisau yang tajam di ruang pengolahan. Ikan tersebut dibuang kulitnya sehingga tidak terdapat sisa-sisa kulit pada daging. Pembuangan kulit dilakukan dengan cara menyisir kulit dari pangkal

32 ekor loin sampai menuju badan. Kemudian kulit dimasukkan ke plastik untuk dibuang. Proses pembuangan kulit dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 Pembuangan kulit (skinning). 4.2.8 Pembuangan daging gelap Proses trimming merupakan proses pemisahan daging gelap. Daging gelap yang berada di sekitar garis linea lateralis dibersihkan bersamaan dengan sisa tulang di sekitarnya. Pembuangan daging gelap dilakukan oleh pekerja yang memiliki keterampilan dan ketelitian yang baik. Pembuangan daging gelap ini bertujuan untuk memperkecil tingkat kadar histamin. Pembuangan daging gelap dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12 Pembuangan daging gelap. 4.2.9 Perapihan Perapihan dilakukan pada loin yang masih terdapat sisa daging hitam dan sisa-sisa kulit dikarenakan pemotongan yang kurang benar. Perapihan dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Perapihan.

33 4.2.10 Penimbangan II Loin ikan tuna ditimbang satu per satu untuk mengetahui beratnya dari tuna loin yang dihasilkan. Selain itu penimbangan awal untuk mengetahui rendemen yang dihasilkan. Penimbangan II loin ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14 Penimbangan II. 4.2.11 Pemberian gas CO Loin atau produk yang telah dimasukkan ke dalam plastik kemudian dilakukan pemberian gas CO dengan cara menyuntikkan menggunakan alat yang berbentuk sikat ke dalam daging ikan agar dapat memberikan warna merah segar atau warna alami pada bagian dalam ikan. Pemberian gas CO pada produk hanya dilakukan untuk pasar Amerika dan Asia, biasanya pemberian CO sesuai dengan permintaan buyer (pembeli) itu sendiri. Pemberian gas CO dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15 Pemberian gas CO. 4.2.12 Pengemasan primer Produk loin yang telah didinginkan dilakukan penimbangan, kemudian dilakukan pengolesan dengan menggunakan spon atau busa yang disemprotkan alkohol agar tidak tumbuh mikroba. Loin yang telah bersih kemudian dibungkus dengan kemasan primer yaitu plastik High Density Polyethilene (HDPE) yang

34 telah diberi label sesuai dengan kategori produk. Plastik ini merupakan pengemasan primer karena plastik tersebut berhubungan langsung dengan produksi. Pengemasan primer dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 Pengemasan primer. 4.2.13 Pemvakuman Produk loin yang telah terbungkus rapi menggunakan plastik High Density Polyethilene (HDPE) tersebut divakum menggunakan vaccum sealer sehingga produk berada dalam kondisi hampa udara sehingga plastik melekat dengan kuat karena udara di dalamnya telah dihilangkan. Pemvakuman dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17 Pemvakuman. 4.2.14 Pembekuan Loin yang telah dikemas dalam plastik dan divakum, setelah itu disusun dalam long pan, kemudian diangkut ke dalam ruang pembeku dan diletakkan pada rak-rak. Alat pembeku yang digunakan adalah Air Blast Freezer (ABF). ABF merupakan sebuah ruangan atau kamar yang dimana udara dingin di dalamnya disirkulasikan dengan bantuan fan atau kipas. Proses pembekuan dilakukan selama 8 jam dengan suhu -40 C. Pembekuan dapat dilihat pada Gambar 18.

35 Gambar 18 Pembekuan. 4.2.15 Penimbangan III Penimbangan III merupakan penimbangan akhir setiap loin sebelum loin dikemas. Penimbangan dilakukan untuk mengetahui size loin dalam sebuah pengemasan. Penimbangan III dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19 Penimbangan III. 4.2.16 Pengemasan sekunder dan pelabelan Pengemasan loin dilakukan setelah plastik loin dibersihkan dari bunga es dengan diusap busa atau spon yang disemprotkan dengan alkohol. Untuk mempertahankan suhu loin selama distribusi digunakan bubble (plastik pelindung) untuk menyelimuti masing-masing loin. Selanjutnya loin dimasukkan ke dalam plastik dan disusun di dalam master carton. Pada bagian luar master carton diberi checklist pada kolom jenis produk dan size yang sesuai dan juga diberi kode produksi. Kode produksi merupakan rangkaian 5 atau 6 huruf terjemahan dari nomor batch dan hanya diketahui oleh staf produksi perusahaan. Selain itu setiap kemasan juga diberikan label yang mencantumkan informasi-informasi mengenai produk yang dapat membantu memudahkan konsumen dalam mengenali produk tersebut. Pengemasan sekunder dan pelabelan dapat dilihat pada Gambar 20.

36 Gambar 20 Pengemasan sekunder dan pelabelan. 4.3 Perancangan Metode DMAIC Perancangan metode yang digunakan adalah perancangan metode DMAIC, yaitu metode pemecahan masalah sederhana sebagai suatu sistem manajemen yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja perusahaan, serta menghilangkan faktor-faktor yang dapat menghambat peningkatan efektivitas suatu sistem produksi. Metode ini merupakan singkatan dari Define (merumuskan), Measure (mengukur), Analyze (menganalisis), Improve (meningkatkan/memperbaiki), dan Control (mengendalikan). Metode ini digunakan dalam konsep six sigma sebagai metode peningkatan bisnis yang bertujuan untuk menemukan dan mengurangi faktor-faktor penyebab kecacatan atau kesalahan, meningkatkan produktifitas, memenuhi kebutuhan pelanggan dengan lebih baik, mencapai tingkat pendayagunaan aset yang lebih tinggi (Evans dan Lindsay 2007). 1) Define (perumusan masalah) Defiine atau perumusan masalah dilakukan sebagai sasaran peningkatan proses yang konsisten dengan strategi perusahaan. Sasaran peningkatan proses pada penelitian ini adalah pengendalian mutu pada proses produksi tuna loin. Pendefinisian masalah ini dilakukan dengan menggunakan aplikasi konsep mutu berdasarkan pandangan tradisional yang meliputi (Suppliers, Inputs, Inspeksi, Prosess, Outputs, dan Customers). Hampir sama dengan SIPOC, hanya perbedaannya terletak inspeksi dimana bertujuan untuk mencegah lolosnya produk cacat. Inspeksi ini terletak sebelum dan sesudah proses produksi. Aplikasi konsep mutu berdasarkan pandangan tradisional dalam produksi tuna loin dapat dilihat pada Gambar 21.

37 Suppliers Nelayan Tempat Transit Ikan I N S P E Proses Pandangan Tradisional Penerimaan bahan Pencucian Pemotongan(Kepala dan loin) I N S P E Customers Komoditas ekspor Amerika Komoditas lokal Input K S Pembuangan daging K S Output Tuna Yellowfin, Big eye Es curai Pisau Karyawan Timbanga n I Bahan baku dalam keadaan segar Perapihan Penimbangan Pembekuan Pengemasan dan pelabelan I Produk yang dihasil kan sesuai Organolepti k tuna loin Rendemen Estetika bentuk tuna Gambar 21 Konsep Mutu Berdasarkan Pandangan Tradisional. Berdasarkan konsep mutu pandangan tradisional diketahui bahwa pemasok ikan tuna yang diterima berasal dari para nelayan yang kemudian dilakukan pembongkaran ikan tuna di tempat transit. Kendala yang dihadapi dari supplier meliputi pasokan ikan yang tidak tentu yang disebabkan oleh faktor cuaca yang tidak menentu. Mutu dan grade ikan yang diperoleh, serta penerapan GMP dan SSOP oleh pemasok dalam penanganan ikan. Input merupakan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh suatu proses untuk menghasilkan output. Input dalam produksi ini meliputi ikan tuna jenis yellow fin dan big eye, karyawan, es curai, pisau, timbangan dan plastik bubble. Berat dan mutu ikan tuna yang akan diproses berpengaruh terhadap mutu serta berat total loin yang dihasilkan. Karyawan akan mempengaruhi mutu dan berat dari tuna loin karena karyawan yang teliti, telaten dan terlatih akan mengurangi tingkat kecacatan. Es curai yang digunakan haruslah berasal dari air yang bersih dan yang telah lulus uji di laboratorium, es curai ini digunakan untuk penyimpanan ikan di bak penampungan ketika sedang menunggu pemotongan yang sedang berlangsung. Ketajaman pisau dan keahlian pekerja dalam melakukan

38 pemotongan dan pembuatan fillet loin akan mempengaruhi nilai rendemen yang akan dihasilkan. Ketelitian dan keakuratan dari timbangan yaitu selalu dilakukan pengkalibrasian sehingga dapat mencegah penipuan ekonomi bagi pelanggan. Plastik yang digunakan adalah plastik bubble yang memiliki ukuran yang sesuai dengan panjang tuna loin dan penggunaan plastik ini bertujuan untuk mencegah kerusakan fisik agar estetika dari bentuk tuna loin. Inspeksi kedua yaitu produk yang dihasilkan harus sesuai dengan yang diinginkan oleh pembeli. Produk tuna loin yang telah memenuhi kriteria yang diminta pembeli harus segera dikirimkan. Tuna loin ini diekspor ke Amerika, akan tetapi jika produk tuna loin itu tidak memenuhi komoditas ekspor, maka produk tuna loin tersebut dijadikan komoditas untuk lokal. 2) Measure (pengukuran) Measure (pengukuran) yang dikaji adalah pada kinerja proses yang dipilih untuk mengendalikan, mengevaluasi serta mengadakan perbaikan saat ini agar dapat mencapai suatu targetan yang ditetapkan serta mengumpulkan semua data yang dibutuhkan untuk analisis. Hasil pengukuran dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik Statistical Process Control (SPC), yang meliputi peta kendali (control chart) beserta analisis kapabilitas proses (Gasperz 2001). Hasil pengukuran untuk pengendalian mutu proses produksi tuna loin dilakukan pada rataan berat tuna segar, rataan berat tuna loin, serta rataan rendemen yang dihasilkan. 4.3.1 Pengendalian mutu terhadap rataan berat tuna Proses produksi tuna loin tentunya sangat dipengaruhi oleh berat dari tuna utuh, semakin besar ukuran atau berat dari ikan tuna utuh maka semakin besar pula berat tuna loin yang dihasilkan dalam produksi tuna loin. Di tempat transit ikan tentunya sudah ada cheeker yang senantiasa memeriksa keadaan ikan dan mencatat hasil dari timbangan berat tuna utuh. Produksi tuna loin dilakukan sesuai dengan permintaan dari pelanggan. Tuna loin yang digunakan adalah ikan tuna dari grade C, karena grade A dan B langsung di ekspor ke Jepang untuk sashimi. Hasil analisis pengendalian mutu tuna dapat ditunjukkan pada Gambar 22.

berat rataan tuna utuh 39 0,05 0,04 60 50 Peta kendali berat rataan tuna utuh UCL=55,27 0,03 0,02 40 30 20 _ X=29,08 0,01 0,00 10 0 16,00 29,08 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 X Observation LCL=2,89 Gambar 22 Diagram kendali rataan berat tuna utuh. Berdasarkan peta distribusi menunjukkan bahwa nilai lower spesific limit (LSL) dari perusahaan X sebesar 16,00 kg, sedangkan peta kendali menunjukkan berat rataan tuna utuh pada bulan Maret sampai bulan April 2011, didapatkan nilai rataan berat tuna yang digunakan untuk produksi loin 29,08 kg dan nilai batas kontrol atas (UCL) 55,27 kg ( <UCL) dan nilai batas kontrol bawah (LCL) 16,00 kg. Semua data berada diantara kedua batas kendali (UCL dan LCL), oleh karena itu proses ini berada dalam keadaan terkendali (Montgomery 1990). Grafik pengendalian diatas berarti menunjukkan bahwa penerimaan bahan baku berada di dalam kendali penetapan rataan bahan baku yang diterima. Untuk mengetahui kemampuan proses dilakukan pengukuran terhadap indeks kapabilitas proses. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil perhitungan rataan tuna utuh dari bulan Maret sampai bulan April 2011. No Statistika Nilai 1 jumlah data 30 2 rataan proses 29,08 3 standar deviasi 8,73 4 nilai minimum 19,17 5 nilai maksimum 48,70 6 Lower spesific limit (LSL) 16,00 7 standar deviasi maksimum proses (Smaks) 4,37 8 Upper control limit (UCL) 55,27 9 Lower control limit (LCL) 2,89 10 Kapabilitas proses (Cpm) 1,00 11 Defect per million opportunities (DPMO) 68100 12 Sigma 2,99 Berdasarkan hasil perhitungan statistik dari rataan berat tuna diatas menunjukkan bahwa berat rataan tuna utuh yang diterima 29,08 dan berat

40 maksimum tuna yang diterima 48,70 kg, sedangkan berat minimum yang diterima 19,17 kg. Standar deviasi proses 8,73 dan nilai standar deviasi maksimal 4,37. Hasil penelitian ini identik dengan Putri (2011) dimana nilai standar deviasi proses melebihi nilai batas toleransi standar deviasi maksimum proses (Smaks) sebesar 4,37. Artinya variasi berat tuna yang diterima telah melewati batas antara rataan dengan batas spesifikasi minimal nilai standar berat penerimaan tuna. Nilai kapabilitas proses penerimaan tuna di perusahaan X adalah 1,00 1 C pm 1,99 pada tingkat sigma ±3 yaitu tepatnya berada pada tingkat sigma 3,00 sehingga didapat nilai DPMO (defect per million opportunities) atau peluang kegagalan per satu juta kali kesempatan 68100 yang artinya bahwa setiap satu juta kali produksi diperkirakan terdapat 68100 kemungkinan bahwa rataan berat tuna yang diterima tidak mampu memenuhi berat rataan spesifikasi bawah yaitu 16,00 kg. Nilai kapabilitas proses tersebut menunjukkan bahwa keadaan proses penerimaan bahan baku tuna pada perusahaan tersebut berada dalam keadaan tidak mampu sampai dengan cukup mampu untuk menghasilkan berat tuna sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi perusahaan. 4.3.2 Pengendalian mutu terhadap berat rataan tuna loin Tuna loin beku merupakan produk olahan hasil perairan dengan bahan baku tuna segar atau beku mengalami perlakuan penyiangan, pembelahan membujur menjadi 4 bagian (loin), pembuangan daging gelap (dark meat), pembuangan lemak, pembuangan kulit, perapihan dan pembekuan cepat serta suhu pusatnya maksimum -18 C. Produksi tuna loin sesuai dengan permintaan bayer dan Tuna loin diproduksi sesuai dengan bahan baku ikan yang didapatkan dan sesuai dengan pesanan pelanggan. Produksi tuna loin yang di produksi di PT X ini sesuai dengan jumlah ikan yang didapatkan, apabila terdapat banyak ikan maka ikan tuna tersebut langsung di produksi dan apabila sedikit ikan tuna di simpan dalam bak penampungan ikan. Hasil analisis pengendalian mutu tuna loin dapat dilihat pada Gambar 23.

berat rataan tuna loin 41 0,05 25 Peta kendali rataan tuna loin UCL=23 0,04 20 0,03 0,02 15 10 _ X=10,97 0,01 0,00 5 0 2,30 10,97 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 X Observation Gambar 23 Diagram kendali rataan berat tuna loin. LCL=-1,06 Berdasarkan peta distribusi menunjukkan nilai lower spesific limit (LSL) dari perusahaan X sebesar 2,30 kg, pada peta kendali didapat berat rataan tuna utuh pada bulan Maret sampai bulan April 2011, yang digunakan untuk produksi loin 10,97 kg dan nilai batas kontrol atas (UCL) 23,00 kg ( <UCL) dan nilai batas kontrol bawah (LCL) 1,06 kg, serta nilai batas spesifikasi bawah 2,30 kg. Dapat dilihat bahwa semua data berada diantara kedua batas kendali atas dan bawah (UCL dan LCL), hal ini menunjukkan bahwa proses ini dalam keadaan terkendali (Montgomery 1990). Untuk mengetahui kemampuan proses dalam pembuatan loin, maka dilakukan pengukuran terhadap indeks kapabilitas proses. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil perhitungan rataan tuna loin dari bulan Maret sampai bulan April 2011. No Statistika Nilai 1 jumlah data 30 2 rataan proses 10,97 3 standar deviasi 4,01 4 nilai minimum 4,91 5 nilai maksimum 20,00 6 Lower spesific limit (LSL) 2,30 7 standar deviasi maksimum proses (Smaks) 2,37 8 Upper control limit (UCL) 23,00 9 Lower control limit (LCL) 1,06 10 Kapabilitas proses (Cpm) 1,44 11 Defect per million opportunities (DPMO) 15400 12 Sigma 3,66 Berdasarkan hasil perhitungan statistik dari rataan berat tuna diatas menunjukkan bahwa berat rataan tuna loin yang diterima 10,97 kg dan berat

berat rataan rendemen 42 maksimum tuna yang diterima 20,00 kg, sedangkan berat minimum yang diterima sebesar 4,91 kg. Standar deviasi proses sebesar 4,01 telah melebihi nilai batas toleransi standar deviasi maksimum proses (Smaks) sebesar 2,37. Hasil penelitian ini sesuai dengan Saulina (2009), dimana nilai variasi potongan tuna loin yang dihasilkan melebihi jangkauan berat rataan spesifikasi batas atas dan batas bawah yang di tetapkan. Nilai kapabilitas proses penerimaan tuna di perusahaan X adalah 1,44 (1 C pm 1,99) pada tingkat sigma ±3 yaitu tepatnya berada pada tingkat sigma 3,66 sehingga didapat nilai DPMO (defect per million opportunities) atau peluang kegagalan per satu juta kali kesempatan sebesar 15400 yang artinya bahwa setiap satu juta kali produksi diperkirakan terdapat 15400 kemungkinan bahwa rataan berat tuna loin yang diterima tidak mampu memenuhi berat rataan spesifikasi bawah tuna loin yaitu sebesar 2,30 kg. Kapabilitas proses tersebut menunjukkan bahwa keadaan proses tuna loin pada perusahaan X berada dalam keadaan tidak mampu sampai dengan cukup mampu untuk menghasilkan loin sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi perusahaan. 4.3.3 Pengendalian mutu terhadap rataan rendemen tuna loin Rendemen merupakan suatu bagian yang termanfaatkan. Rendemen tuna loin dihitung berdasarkan ratio antara total berat tuna loin yang dihasilkan dengan berat tuna utuh. Hasil pengukuran pengendalian mutu terhadap rataan rendemen tuna loin dapat dilihat pada Gambar 24 berikut. 0,04 Batas spesifikasi atas 70 Peta kendali rataan rendemen UCL=70,79 0,03 60 50 0,02 40 _ X=38,27 30 0,01 20 10 LCL=5,75 0 0,00 38,27 54 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 X Observation Gambar 24 Diagram kendali rataan berat rendemen tuna loin. Berdasarkan peta distribusi menunjukkan bahwa nilai upper spesific limit (USL) dari perusahaan X sebesar 54,00 kg. Sedangkan berdasarkan peta kendali didapat bahwa berat rataan rendemen tuna loin yang digunakan untuk produksi

43 loin 38,27 kg dan nilai batas kontrol atas (UCL) 70,79 kg ( <UCL) dan nilai batas kontrol bawah (LCL) 5,75 kg serta nilai batas spesifikasi atas (USL) 54,00 ( <USL) dapat dilihat bahwa semua data berada diantara kedua batas kendali atas dan bawah (UCL dan LCL), hal ini menunjukkan bahwa proses ini dalam keadaan terkendali (Montgomery 1990). Grafik pengendalian diatas berarti menunjukkan bahwa berat rendemen loin berada di dalam kendali penetapan rataan rendemen loin yang diterima. Untuk mengetahui kemampuan proses dilakukan pengukuran kapabilitas proses. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil perhitungan rataan rendemen tuna loin dari bulan Maret sampai bulan April 2011. No Statistika Nilai 1 jumlah data 30 2 rataan proses 38,27 3 standar deviasi 10,84 4 nilai minimum 8,83 5 nilai maksimum 63,68 6 Upper spesific limit (USL) 54,00 7 standar deviasi maksimum proses (Smaks) 5,33 8 Upper control limit (UCL) 70,79 9 Lower control limit (LCL) 5,75 10 Kapabilitas proses (Cpm) 1,00 11 Defect per million opportunities (DPMO) 73500 12 Sigma 2,95 Berdasarkan hasil perhitungan statistik di atas menunjukkan bahwa berat rataan rendemen yang diterima 38,27 kg dan nilai rendemen maksimum tuna yang diterima 63,68 kg, sedangkan rendemen minimum yang diterima 8,83 kg. Standar deviasi proses 10,84 telah melebihi nilai batas toleransi standar deviasi maksimum proses (Smaks) 5,33. Hasil penelitian ini sesuai dengan (Saulina 2009). Hal ini dikarenakan nilai variasi rendemen tuna melebihi jangkauan spesifikasi batas atas dan bawah bawah rataan rendemen yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan berat tuna yang diproses menjadi loin yang berbeda-beda serta kurang ketelitian dalam proses cutting serta penimbangan, sehingga nilai rendemen lebih beragam. Nilai kapabilitas proses rendemen tuna loin di perusahaan X sebesar 1,00 (1 C pm 1,99) pada tingkat sigma ±3 yaitu tepatnya berada pada tingkat sigma

44 2,95 sehingga didapat nilai DPMO (defect per million opportunities) atau peluang kegagalan per satu juta kali kesempatan sebesar 73500 yang artinya bahwa setiap satu juta kali produksi diperkirakan terdapat 73500 kemungkinan bahwa rendemen dari tuna loin yang diterima tidak mampu memenuhi rendemen spesifikasi atas rendemen tuna loin yaitu sebesar 54,00 kg. Nilai kapabilitas proses tersebut menunjukkan bahwa keadaan proses pada rendemen tuna loin pada perusahaan tersebut berada dalam keadaan tidak mampu sampai dengan cukup mampu untuk menghasilkan rendemen tuna loin sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi perusahaan. 3) Analyze (analisis data) Tahap analyze dalam penelitian ini berfokus menganalisis hubungan sebab akibat dari berbagai faktor yang perlu dipelajari untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang perlu dikendalikan pada tahap selanjutnya (Kwak 2006). Dalam menganalisis suatu masalah yang terperinci untuk menemukan faktor penyebab dari akar suatu masalah, maka digunakan diagram ishikawa (sebab akibat) untuk mengetahui penyebab penyimpangan yang terjadi dalam suatu proses. 4.3.4 Diagram sebab-akibat penerimaan tuna Analisis tahap penerimaan tuna berkaitan dengan nilai variasi berat tuna yang akan diproses dalam pembuatan loin. Penerimaan tuna loin dilapangan terkadang masih kurang baik sehingga dapat menimbulkan variasi. Pernerimaan ikan tuna harus langsung dilakukan pengujian meliputi uji organoleptik. Faktor yang menyebabkan terjadinya variasi pengendalian mutu pada tahap penerimaan tuna digolongkan ke dalam tiga faktor, yaitu material, manusia, dan lingkungan. Diagram sebab-akibat pada tahap penerimaan tuna dapat dilihat pada Gambar 25. 1. Material (bahan baku tuna) Bahan baku kan tuna yang digunakan PT X adalah berupa ikan tuna segar yang dibeli dari transit ikan yang berasal dari Jakarta maupun dari supplier dari Malang. Ikan tuna yang dibeli atau diterima terlebih dahulu dilakukan pengecekan secara organoleptik oleh checker yang berpengalaman dan dicatat oleh tally dari perusahaan X. Pengecekan yang dilakukan meliputi, kenampakan, tekstur daging, dan suhu pusat serta penimbangan berat dari tuna tersebut. Pengecekan dilakukan

45 dengan menggunakan alat couring tube yang ditusukkan pada bagian belakang sirip dada dan pangkal ekor sebelah kiri dan kanan dan ditimbang dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Mutu ikan tuna yang ada ditempat transit terdiri dari mutu grade A, B, dan C. Namun, bahan baku ikan yang diterima oleh perusahaan X memiliki mutu grade B dan C. Selain itu juga setelah dilakukan proses cuting, ditemukan bagian cacat pada tubuh tuna, misalkan saja tubuh tuna terkena yake, sehingga bagian daging tuna yang akan dibuat loin menjadi berkurang. 2. Manusia Manusia merupakan salah satu faktor penyebab dari variasi pengendalian mutu karena pekerja berhubungan langsung dengan proses produksi. Pekerja yang terdapat dalam perusahaan X itu yang sudah berpengalaman dibidangnya. Ikan tuna yang sudah dibeli oleh perusahaan langsung ditangani oleh pekerja yang berpengalaman dan dilakukan proses pemotongan. Pekerja yang kurang teliti dan terampil dalam penanganan tuna dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fisik berupa luka luar daging tuna, sehingga akan menyebabkan berkurangnya berat loin yang dihasilkan, sedangkan para pekerja yang memiliki ketelitian dan keterampilan yang baik dalam penanganan ikan tuna akan menghasilkan berat tuna yang maksimal dan baik untuk dijadikan kualitas ekspor. Pemilihan bahan baku tuna dilakukan ditempat transit ikan oleh Chekker berpengalaman untuk mencegah ketidaksesuaian mutu tuna 3. Lingkungan Lingkungan merupakan tempat dimana makhluk hidup itu berada. Lingkungan ini sangat berpengaruh terhadap bahan baku ikan yang didapat. Ikan tuna yang ditangkap di perairan yang kurang baik atau tercemar akan berpengaruh terhadap mutu daging ikan tuna yang didapat. Selain itu suhu juga sangat berpengaruh terhadap mutu suatu bahan baku. Suhu yang tinggi akan menyebabkan mutu ikan tuna menjadi kurang baik karena akan menyebabkan timbulkan warna pelangi pada daging tuna, sehingga loin yang dihasilkan tidak dapat memenuhi mutu ekspor. Oleh karena itu ikan yang sudah dibeli di tempat transit ikan harus dalam keadaan tertutup dan dalam keadaan dingin supaya mutu ikan tuna masih dalam keadaan segar. Dalam proses cutting, ikan yang belum

46 diproses dalam bak penampungan ikan harus dalam keadaan dingin. Suhu lingkungan yang baik adalah lingkungan yang memiliki suhu maksimum 4,4 o C. Diagram sebab akibat tahap penerimaan bahan baku ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 25. Diagram sebab-akibat penerimaan tuna Material Manusia Mutu daging Keterampilan Ketelitian Penerimaan tuna Suhu tinggi Daerah penangkapan Lingkungan Gambar 25 Diagram sebab-akibat variasi tahap penerimaan tuna. 4.3.5 Diagram sebab-akibat produksi tuna loin Faktor penyebab variasi pengendalian mutu pada tahap produksi tuna loin digolongkan ke dalam empat faktor utama, yaitu material, manusia, peralatan dan permintaan pelanggan. Diagram sebab-akibat pada tahap produksi tuna loin dapat dilihat pada Gambar 26. 1. Material Kualitas ikan yang digunakan di perusahaan X adalah dengan mutu grade B dan C. Dalam proses pembuatan tuna loin, satu ekor ikan tuna dibagi menjadi empat potongan loin, Kualitas bahan baku tuna mempengaruhi mutu loin yang dihasilkan. Tuna loin di perusahaan X ini diekspor ke negara Amerika Serikat. Namun, tuna loin yang tidak memenuhi standar ekspor, maka tuna loin tersebut dijadikan untuk komoditas lokal. 2. Manusia Pekerja dibidang cutting harus memiliki ketelitian dan keterampilan yang baik karena akan mempengaruhi dalam berat dari tuna loin tersebut. Pemotongan fillet tuna yang kurang rapi akan menghasilkan loin dengan berat yang kurang maksimal, sedangkan pemotongan yang baik dan rapi akan menghasilkan berat loin yang maksimal.

47 3. Peralatan Salah satu peralatan yang digunakan dalam proses cutting dan fillet tuna adalah pisau. Pisau yang digunakan adalah pisau khusus yang terbuat dari bahan stainless steel. Pisau yang digunakan untuk pemotongan haruslah memiliki ketajaman yang baik agar didapatkan hasil potongan fillet yang baik. Potongan fillet yang baik akan menghasilkan potongan loin dengan berat maksimal. Sebelum pisau digunakan dalam proses pemotongan, dipastikan pisau tersebut harus dalam keadaan bersih dan tajam. 4. Permintaan pelanggan Tuna loin yang terdapat di perusahaan memiliki dua jenis bentuk loin yaitu bentuk yang regular dan CC. Pembuatan loin juga harus memperhatikan bentuk estetika dari loin tersebut, agar para pelanggan puas terhadap produk tuna loin yang telah dipesan dan di beli. Jumlah potongan loin yang dihasilkan tiap pemotongan tuna yang terdiri dari 4 bagian. Diagram sebab-akibat produksi tuna loin Material Manusia Mutu daging Keterampilan Ketelitian Variasi loin Potongan loin Ketajaman pisau Jenis pisau Permintaan pelanggan Peralatan Gambar 26 Diagram sebab-akibat variasi tahap produksi loin. 4.3.6 Diagram sebab-akibat produksi terhadap rendemen loin Rendemen merupakan bagian yang dimanfaatkan. Faktor penyebab variasi pengendalian mutu pada produksi tuna loin dengan rendemen yang dihasilkan digolongkan ke dalam empat faktor utama, yaitu material, manusia, peralatan, dan metode kerja. Diagram sebab-akibat pengaruh proses produksi terhadap rendemen loin yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 27.

48 1. Material Berat bahan baku tuna utuh akan mempengaruhi hasil pembentukan loin dan tentunya akan mempengaruhi hasil rendemen loin. Semakin besar berat tuna yang akan diproduksi maka semakin banyak berat daging yang dihasilkan dalam bentuk potongan loin. Mutu daging tuna sangat mempengaruhi dalam pembuatan loin dan tentunya akan mempengaruhi rendemen daging tuna yang diproses. Daging loin yang cacat akan membuat rendemen loin menjadi rendah karena ada bagian loin yang terbuang. Loin yang bebas dari cacat akan menghasilkan rendemen daging tuna loin yang besar. 2. Manusia Pekerja yang memiliki keterampilan dan ketelitian yang baik dalam proses pemotongan (cutting) dan fillet tuna akan mempengaruhi berat akhir potongan loin dan mempengaruhi rendemen dari loin tersebut. Sehingga diperlukan keahlian dan orang yang berpengalaman dalam melakukan pemotongan fillet tuna, agar menghasilkan rendemen tuna loin yang besar. 3. Peralatan Salah satu peralatan yang digunakan untuk proses fillet tuna adalah pisau khusus fillet berbahan stainless steel. Pisau yang digunakan untuk pemotongan haruslah memiliki ketajaman yang baik agar didapatkan hasil potongan fillet yang baik. Potongan fillet yang baik akan menghasilkan potongan loin dengan berat maksimal dan dengan rendemen loin yang maksimal juga. Selain itu timbangan sangat mempengaruhi dalam proses ini karena timbangan yang tidak dikalibrasi akan menghasilkan berat tuna loin yang bervariasi serta terjadi kesalahan dalam penilaian dalam penimbangan. Dalam melakukan penimbangan dari tuna loin satu ke tuna loin yang lain, tentunya timbangan harus di tare terlebih dahulu. 4. Metode kerja Salah satu yang mempengaruhi variasi rendemen ini adalah faktor dalam metode kerja. Tahapan fillet, pembuangan daging gelap dan perapihan sangat berpengaruh terhadap rendemen tuna yang dihasilkan. Pada tahap fillet harus dilakukan dengan hati-hati dan rapi agar tidak banyak daging tuna yang masih melekat pada ruas-ruas tulang. Pembuangan daging gelap harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti agar daging loin tidak terambil banyak dan yang menyatu

49 dengan daging gelap. Salah satu tujuan dari pembuangan daging gelap adalah mengurangi kadar histamin pada daging. 4.3.7 Kapabilitas proses Diagram sebab-akibat rendemen loin Manusia Keterampilan Metode kerja Ketelitian Material Tahap perapihan loin Tahap fillet Peralatan Kapabilitas proses adalah kisaran dimana variasi alami suatu proses terjadi akibat penyebab umum suatu sistem, atau dengan kata lain pencapaian suatu proses dalam kondisi stabil. Kapabilitas proses (Cpm) merupakan suatu ukuran kerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan produk sesuai kebutuhan dan ekspektasi pelanggan (Evan dan Lindsay 2007). Manfaat dari analisis kapabilitas proses terhadap peningkatan mutu adalah dapat menduga seberapa baik proses akan memenuhi toleransi, dapat membantu pengembang atau perancang produk dalam memilih atau mengubah proses atau mengurangi keragaman dalam proses produksi (Tang et al. 2006). Berat bahan baku Mutu bahan baku ketajaman pisau Jenis pisau Variasi rendemen loin Gambar 27 Diagram sebab-akibat pengaruh produksi terhadap rendemen loin. Hasil kapabilitas proses, tingkatan sigma, serta nilai DPMO (defect per million opportunities) yang diukur secara berturut-turut pada tahap penerimaan bahan baku, produksi tuna loin, dan nilai rendemen yang dihasilkan adalah 1,00 pada tingkat sigma 3,00, dan DPMO 68100; 1,44 pada tingkat sigma 3,66, dan DPMO 15400; serta 1,00 pada tingkat sigma 2,95, dan DPMO 73500. Hasil kapabilitas dari penerimaan bahan baku tuna, produksi tuna loin dan nilai rendemen memiliki nilai kapabilitas sebesar 1,00-1,44 Karena nilai sigma berada di kisaran tingkatan 3 sigma dengan kapabilitas 1,00 mensyaratkan bahwa suatu proses berada tepat ditengah rataan kisaran toleransi untuk mencegah adanya unit yang diproduksi diluar batas (Evans dan Lindsay 2007).

50 4) Improve (peningkatan/perbaikan) Perbaikan merupakan sesuatu yang cepat, menarik, memuaskan semua orang yang terlibat dalam proses tersebut (Evan dan Lindsay 2007). Dalam suatu proses peningkatan mutu. Perbaikan mutu memerlukan komitmen untuk perbaikan yang seimbang antara aspek manusia (motivasi) dan aspek teknologi (teknik) yang dilakukan secara terus menerus (quality improvement) (Gaspersz 2003). Tahap improvement dalam masalah pengendalian mutu pada proses produksi tuna loin beku di PT X, dengan mencari solusi menggunakan diagram kaizen blitz. Dimana metode ini merupakan proses perbaikan yang intens dan cepat dimana tim atau departemen mengaplikasikan sumber dayanya ke dalam suatu proyek perbaikan yang menunjukkan hubungan antara siklus Deming (PDSA) dan proses perbaikan yang terus menerus, dimana siklus Deming merupakan metode yang sederhana untuk melaksanakan perbaikan. Siklus Deming terdiri dari empat tahap: merencanakan, mengerjakan, belajar dan bertindak. Siklus Deming mirip dengan DMAIC, tetapi sebagian berfokus dari siklus Deming adalah pada implementasi dan pembelajaran sehingga melengkapi fase perbaikan DMAIC yang cukup baik. Tahap merencanakan terdiri dari mempelajari situasi saat ini dan mendeskripsikan proses tersebut dari sisi input, output, pelanggan, dan pemasok; memahami ekspektasi pelanggan; mengumpulkan data; mengidentifikasi masalah; menguji teori penyebab ; serta menyusun solusi dan rencana kegiatan. Dalam tahapan bertindak, rencana di implementasikan dengan basis percobaan, misalnya produksi awal, untuk mengevaluasi suatu solusi yang diusulkan dan menampilkan data yang objektif. Tahapan belajar menentukan apakah rencana percobaan berjalan dengan baik dengan cara mengevaluasi hasil, serta mencatat hasil pembelajaran. Pada tahapan terakhir, bertindak, perbaikan serta dikomunikasikan ke keseluruhan organisasi. Proses ini kemudian menuju kembali ke tahapan merencanakan untuk mengidentifikasi kesempatan-kesempatan perbaikan yang lainnya. Hubungan antara siklus Deming (PDSA) dan proses perbaikan yang terus menerus dapat dilihat pada Tabel 7.

51 Tabel 7 antara siklus Deming (PDSA) dan proses perbaikan yang terus menerus Siklus Deming (PDSA) Merencanakan (Plan,P) Transformasi kualitas Definisi proses Menilai situasi sekarang Melaksanakan (Do, D) Mempelajari (Study, S) Analisis penyebab Mencoba teori perbaikan Memeriksa hasil Bertindak (Act, A) Standarisasi perbaikan Rencana perbaikan terus-menerus Menurut Gaspersz (2003), program perbaikan mutu dapat dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah berikut. 1. Memilih dan menetapkan program perbaikan mutu 2. Mengemukakan alasan mengapa memilih program tersebut 3. Melakukan analisis situasi melalui pengamatan situasional 4. Melakukan pengumpulan data selama beberapa waktu 5. Melakukan analisa data 6. Menetapkan rencana perbaikan melalui penetapan sasaran perbaikan kualitas 7. Melaksanakan program perbaikan selama waktu tertentu 8. Melakukan studi penilaian terhadap program perbaikan mutu 9. Mengambil tindakan korektif atas penyimpangan yang terjadi atau standardisasi terhadap aktivitas yang sesuai 5) Control (pengendalian) Control atau pengendalian merupakan aktivitas keteknikan dan manajemen sehingga ciri-ciri mutu produk dapat diukur, dibandingkan dengan spesifikasi atau persyaratannya, serta pengambilan tindakan yang sesuai jika terdapat perbedaan antara penampilan sebenarnya dengan standarnya

52 (Montgomery 1990). Fase pengendalian berfokus bagaimana menjaga perbaikan terus berlangsung. Perbaikan ini termasuk menentukan standar serta prosedur baru, serta merancangkan sistem pengendalian untuk meyakinkan agar perbaikan tidak lekang oleh waktu. Bentuk pengendalian dalam proses produksi tuna loin yang sederhana adalah pemeriksaan berkala untuk meyakinkan bahwa prosedur yang benar telah diikuti, dan penerapan diagram pengendalian proses statistik untuk memonitor kinerja cara pengukuran yang terpenting (Evans dan Lindsay 2007). Penerapan sistem pengendalian memiliki tiga komponen, yaitu 1. Standar dan tujuan Komponen yang pertama adalah dengan menetapkan suatu standar dan tujuan untuk pengendalian proses tuna loin yang harus dicapai. Tujuan dari standar ini dicerminkan oleh karakteristik mutu yang dapat diukur, seperti pencapaian target penerimaan bahan baku tuna, berat rataan tuna loin, serta rendemen yang dihasilkan. 2. Cara untuk mengukur keberhasilan Komponen yang kedua yaitu cara untuk mengukur keberhasilan. Pengukuran memberikan informasi mengenai apa yang sesungguhnya telah dicapai pekerja, supervisor, atau manajer dan memeriksa berat rataan penerimaan tuna, berat rataan tuna loin, serta banyaknya rendemen yang dihasilkan telah memenuhi tujuan atau standar yang ditetapkan. Jika tidak, maka perlu dilakukan perbaikan. 3. Perbandingan antara hasil sebenarnya dengan hasil standar, serta umpan balik untuk melakukan tindakan korektif. Komponen yang terakhir yaitu membandingkan hasil yang sebenarnya dengan hasil standar, serta umpan balik untuk melakukan tindakan korektif. Apabila hasil sebenarnya tidak sama dengan hasil standar yang ditetapkan oleh perusahaan, maka perlu adanya evaluasi dan melakukan tindakan korektif. Tindakan korektif terdiri dari tindakan korektif jangka pendek dan tindakan korektif jangka panjang. Tindakan korektif jangka pendek biasanya dilakukan oleh para pelaku proses yang bertanggung jawab langsung dalam melakukan proses produksi, misalnya karyawan; sedangkan tindakan korektif jangka panjang merupakan tanggung jawab manajemen (Evans dan Lindsay 2007).