IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

dokumen-dokumen yang mirip
METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

IV. METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

III. METODE PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

BAB IV METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

III. METODE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

III KERANGKA PEMIKIRAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

ANALISIS SENSITIVITAS

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut:

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost )

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya)

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. menembus dengan volume 67 ton biji gelondong kering (Direktorat Jenderal

III. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

DAYA SAING DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING KOMODITI KAKAO DI SULAWESI TENGAH

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

KEUNGGULAN KOMPARATIF KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN KEDIRI

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUKOMUKO (STUDI KASUS DESA BUMI MULYA)

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF KOMODITAS JAGUNG (Zea mays L.) DI KABUPATEN KEDIRI

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KOPI ROBUSTA (COFFEA CANEPHORA) DI KABUPATEN REJANG LEBONG

JIIA, VOLUME 1, No. 4, OKTOBER 2013

ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA

SENSITIVITAS DAYA SAING JERUK LOKAL KABUPATEN JEMBER [SENSITIVITY OF JEMBER LOCAL CITRUS COMPETITIVENESS]

IV. METODE PENELITIAN

STUDI KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI TEBU ABSTRACT ABSTRAK

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

ANALISIS KEBIJAKAN KOPI ROBUSTA DALAM UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING DAN PENGUATAN REVITALISASI PERKEBUNAN

Performa Dayasaing Komoditas Padi. Commodities Rice Competitiveness Performance. Benny Rachman

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,

ANALISIS DAYA SAING KEDELAI DI JAWA TIMUR

Analysis of Competitiveness and Marketing Channels Ikan Kembung ( Rastrelliger sp.) in Rembang Regency, Central Java Effect

IV. METODE PENELITIAN

KERANGKA PEMIKIRAN. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang

Transkripsi:

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sukaresmi dan Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purpossive karena di lokasi tersebut merupakan penghasil jambu biji terbanyak di Kota Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2010 hingga Januari 2011 yang meliputi survey ke lokasi penelitian, penyusunan rencana kegiatan, pengumpulan data, dan penyusunan skripsi. 4.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam usaha pengembangan usahatani jambu biji. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian Kota Bogor, Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Hortikultura, dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Responden pada penelitian ini adalah petani jambu biji yang berada di Desa Sukaresmi dan Kencana. Petani jambu dipilih secara random sampling sebanyak 32 orang petani di Kecamatan Tanah Sareal. Data yang dimasukkan ke dalam PAM merupakan modus (central tendency), bukan parameter yang diestimasi melalui model ekonometrik dengan jumlah sampel yang valid secara statistik. Hal ini merupakan keuntungan dilihat dari alokasi waktu peneliti dalam melalukan pengumpulan data lapang. Peneliti dirangsang untuk mengumpulkan informasi yang lebih banyak baik dari segi aspek maupun kedalaman, dibandingkan dengan besarnya jumlah petani yang diwawancara (Pearson et. al, 2005). 38

4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis data meliputi metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif disajikan dengan menginterpretasikan dan mendeskripsikan data yang diperoleh, sedangkan metode kuantitatif dilakukan dengan mengumpulkan data, diolah dan disederhanakan dalam bentuk tabulasi untuk dianalisis secara deskriptif. Data kemudian diolah dengan bantuan komputer menggunakan program Microsoft excel dan Tabel input output untuk mengalokasikan biaya dan komponen tradable dan nontradable. Langkah-langkah yang dilakukan untuk membangun model PAM adalah sebagai berikut: 4.3.1. Menentukan Input dan Output Pada usahatani jambu biji ini komponen input merupakan semua input yang digunakan dalam proses produksi sampai menghasilkan output yang siap dijual. Input-input tersebut antara lain: bibit, pupuk kandang, pupuk urea, pestisida, lahan, tenaga kerja, peralatan, bangunan, bunga modal atau capital, bahan bakar, dan bahan-bahan lainnya. Output yang dihasilkan berupa jambu biji. 4.3.2. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Monke dan Pearson (1989) mengalokasikan biaya menjadi komponen domestik dan asing melalui dua pendekatan, yaitu: Pendekatan Langsung (Direct Approach) dan Pendekatan Total (Total Approach). Pendekatan langsung mengasumsikan seluruh biaya input yang diperdagangkan (input tradable) baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Sementara pada pendekatan total, setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing serta 39

dipergunakan apabila produsen lokal dilindungi sehingga tambahan penawaran input tradable didatangkan dari produsen lokal. Dalam hal ini, input-input yang tergolong nontradable adalah lahan, tenaga kerja, pupuk organik (kandang dan kompos), dan biaya lain-lain di dalam dan di luar usahatani. Input tradable antara lain pupuk dan obat-obatan (pestisida), dan bahan-bahan lainnya. Pada penelitian ini digunakan pendekatan total untuk mengalokasikan biaya komponen domestik (nontradable) dan asing (tradable). Pendekatan total lebih sesuai digunakan dalam analisis dampak kebijakan untuk memperkirakan biaya ekonomi dan sosial dari struktur proteksi yang dilakukan pemerintah. 4.3.2.1. Alokasi Biaya Produksi Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan utnuk menghasilkan suatu komoditi atau produk baik secara tunai maupun diperhitungkan. Biaya tersebut digunakan untuk membeli sejumlah input. Pengalokasian biaya produksi ke dalam komponen asing (tradable) atau komponen domestik (nontradable) ditentukan berdasarkan jenis input, penilaian biaya input tradable dan nontradable dalam biaya total input. Pada usahatani jambu biji ini, input-input nontradable seperti tenaga kerja, bunga modal, pupuk kandang, digolongkan ke dalam komponen biaya domestik. Input tradable seperti pupuk urea, TSP, pestisida dogolongkan ke dalam komponen biaya asing. Pengalokasian biaya produksi dapat dilihat pada Tabel 6. 40

Tabel 6. Alokasi Komponen Biaya Input-Output dalam Komponen Domestik dan Asing No. Uraian Finansial (%) Ekonomi (%) Domestik Asing Pajak Domestik Asing A Penerimaan 1 Output jambu 100 0 0 100 0 B Input produksi Pupuk kandang 100 0 0 100 0 Urea 77,02 22,82 0,16 77,18 22,82 TSP 77,02 22,82 0,16 77,18 22,82 Decis 79,67 19,06 1,27 80,94 19,06 Round up 79,67 19,06 1,27 80,94 19,06 Kertas koran 98,74 0 1,26 100 0 Plastik 48,82 49,58 1,6 50,42 49,58 Tenaga kerja 100 0 0 100 0 Penyusutan peralatan 96,85 0 3,15 100 0 Sewa lahan 100 0 0 100 0 PBB 100 0 0 100 0 Bunga modal 100 0 0 100 0 Biaya Transportasi 99,18 0 0,82 100 0 Biaya Penanganan 98,88 0 1,12 100 0 Sumber : Tabel input-output 2005, diolah 4.3.2.2. Alokasi Biaya Tataniaga Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan suatu barang akibat perubahan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu. Biaya tataniaga dihitung dari seluruh biaya tataniaga dari daerah produsen hingga ke konsumen, atau dari daerah produsen sampai ke pelabuhan ekspor atau dari pelabuhan impor sampai ke konsumen. Biaya tataniaga terdiri dari biaya transportasi dan penanganan. 4.3.3. Penentuan Harga Bayangan Harga bayangan adalah nilai ekonomi dari suatu barang atau jasa yang menggambarkan biaya oportunitas (biaya oportunitas: nilai barang atau jasa yang dikorbankan untuk alternatif penggunaan yang terbaik) terhadap masyarakat (Gittinger, 1986). Gittinger menjelaskan bahwa harga bayangan akan terjadi pada keadaan pasar bersaing sempurna dan dalam kondisi keseimbangan. Namun pada kenyataannya tak mudah menemukan pasar dalam kondisi persaingan sempurna, 41

karena terdapat kebijakan pemerintah seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, dan sebagainya. Harga bayangan dalam analisis ekonomi berdasarkan beberapa alasan. Pertama, harga yang berlaku di pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. Kedua, harga pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumberdaya yang dipilih digunakan dalam aktivitas lain yang masih memungkinkan dalam masyarakat. Harga bayangan dapat dianggap sebagai faktor penyesuaian terhadap harga pasar dari output, sarana atau faktor produksi karena harga pasar yang terjadi belum tentu dapat digunakan langsung dalam analisis ekonomi. Harga pasar seringkali tidak mencerminkan nilai sosial yang sebenarnya (social opportunity cost) dilihat dari benefit yang diperoleh masyarakat, maupun dari sumber-sumber yang dikorbankan karena digunakan untuk suatu proyek tertentu dan bukan digunakan untuk hal lain yang masih tersedia di masyarakat (Gray et al, 1993). Menurut Pearson et.al (2005), harga sosial (harga efisien) untuk barangbarang tradable adalah harga internasional untuk barang sejenis (comparable) yang merupakan ukuran social opportunity cost terbaik bagi barang-barang tersebut. Untuk barang-barang impor, harga impor barang tersebut menunjukkan opportunity cost dalam menghasilkan tambahan satu unit produk untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Sedangkan untuk barang-barang ekspor, harga ekspor barang tersebut menunjukan opportunity cost satu unit tambahan produksi domestik untuk diekspor, bukan dikonsumsi dalam negeri. Harga dunia bisa dicari dari pusat statistik negara tetangga, kelompok industri, atau lembaga-lembaga 42

internasional (the International Monetary Fund, the World Bank, the Asian Development Bank, atau lembaga-lembaga di bawah PBB). 4.3.3.1. Harga Bayangan Output Harga bayangan output tradable yang digunakan adalah border price, yaitu harga yang berlaku pada perbatasan negara, baik ketika barang tersebut tiba dari luar negeri (impor), maupun saat produk akan dikirim ke luar negeri (ekspor). Harga bayangan jambu biji menggunakan harga ekspor, karena tidak ada bursa berjangka di Indonesia yang menangani komoditi jambu biji. Setelah itu harga ekspor dikonversikan dengan nilai tukar bayangan (SER = Shadow Exchange Rate) dan ditambahkan biaya tataniaga. Melalui perhitungan tersebut, diperoleh harga bayangan jambu biji di tingkat petani, yaitu RP 6.355 per kilogram. 4.3.3.2. Harga Bayangan Input Sama halnya dengan output, harga bayangan input juga ditentukan berdasarkan input tradable dan nontradable. Input tradable misalnya pupuk sintetis dan pestisida, sedangkan input non tradable seperti pupuk kandang, lahan, tenaga kerja, peralatan, dan modal. Harga FOB digunakan untuk menentukan harga bayangan input yang diekspor, sedangkan harga CIF untuk input yang diimpor. Input nontradable diestimasi dengan cara mendekomposisikannya, yaitu membagi biaya produksi barang atau jasa nontradable kedalam biaya input tradable dan biaya faktor domestik (tenaga kerja, modal, dan lahan). a) Pupuk Terdapat dua jenis pupuk yang digunakan, yaitu pupuk organik (pupuk kandang) dan pupuk sintetis (urea dan TSP). Pupuk kandang yang digunakan berasal dari dalam negeri dan termasuk input non tradable, sehingga harga 43

bayangan pupuk kandang sama dengan harga finansialnya, yaitu Rp 135 per kilogram. Pupuk urea dan TSP yang digunakan bahan dasarnya masih impor, sehingga untuk mendekati harga bayangan berdasarkan harga CIF (cost, insurance and freight) yang kemudian ditambah dengan biaya tataniaga. Harga CIF diperoleh dari harga FOB ditambah dengan biaya asuransi dan pengapalan kemudian dikalikan dengan nilai SER tahun 2009 Rp 10.440,32 ditambah biaya transportasi dan penanganan, sehingga didapat harga bayangan urea per kilogram yaitu Rp 3.116, sedangkan harga bayangan TSP per kilogram yaitu Rp 3.209. b) Pestisida Pestisida yang secara mayoritas digunakan dalam usahatani jambu biji di daerah penelitian adalah decis dan dusbran, sedangkan herbisida yang digunakan adalah round up. Berdasarkan pada penelitian terdahulu, harga bayangan pestisida didekati dengan harga rata-rata finansial dikurangi dengan ppn 10 persen. Harga bayangan decis sebesar Rp 170.100/liter, dusbran Rp 69.300/liter, dan round up Rp 57.600/liter. c) Peralatan Peralatan yang digunakan dalam usahatani jambu biji antara lain, cangkul, garpu tani, golok, handsprayer, gunting pangkas, dan arit. Harga bayangan peralatan dihitung berdasarkan nilai penyusutan per tahun yang nilainya sama dengan harga aktualnya, karena tidak ada subsidi atau pajak yang dikenakan pada peralatan pertanian. 44

4.3.3.3. Harga Bayangan Faktor Domestik a) Lahan Harga sosial lahan ditentukan menurut social opportunity cost lahan, yaitu pendapatan yang diperoleh apabila lahan ditanam oleh komoditi alternatif terbaiknya. Namun cara ini sulit dilakukan dan akan memakan waktu karena peneliti juga harus menganalisis pendapatan usahatani komoditi alternatifnya. Harga bayangan lahan didekati dengan harga sewa lahan karena sistem sewamenywa lahan telah berkembang, artinya banyak petani yang mau menyewa atau menyewakan lahannya pada pihak lain untuk usahatani lainnya, sehingga pasar lahan diasumsikan berkerja dalam kondisi bersaing sempurna (Pearson et. al, 2005). b) Tenaga Kerja Harga tenaga kerja diklasifikasikan menjadi tenaga kerja terampil dan tidak terampil. Dalam penelitian ini upah tenaga kerja finansial sama dengan upah tenaga kerja bayangan, karena seluruh tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja tidak terampil dan para peneliti berpendapat tidak ada divergensi di pasar tenaga kerja pertanian tidak terampil di pedesaan. Tingkat upah ditentukan sama dengan upah tenaga kerja luar keluarga (Pearson et. al, 2005). Upah tenaga kerja pertanian dihitung berdasarkan satuan hari kerja pria (HKP), dimana dalam satu HKP adalah delapan jam dan seharga Rp 35.000/HKP. c) Bunga Modal Tingkat bunga modal diperlukan dalam menghitung biaya tunai yang dikeluarkan dalam proses produksi. Modal yang digunakan oleh petani pada penelitian ini seluruhnya menggunakan modal sendiri. Menurut Pearson et.al 45

(2005), untuk menghitung harga bayangan bunga modal digunakan pendekatan suku bunga di negara berkembang lainnya (Malaysia) dan ditambahkan tingkat inflasi dalam negeri yaitu 2,09 persen. 4.3.3.4. Harga Bayangan Nilai Tukar Uang Penentuan harga sosial nilai tukar uang digunakan rumus menurut Squire dan van der Tak (1975) dalam Gittinger (1986), yaitu: SER t = OER t SCF t Dimana: SERt = Shadow Exchange Rate tahun ke-t (Nilai Tukar Bayangan, Rp/US$) OERt = Official Exchange Rate tahun ke-t (Nilai Tukar Resmi, Rp/US$) SCFt = Standard Convertion Factor tahun ke-t (Faktor Konversi Standar) Nilai SCF ditentukan berdasarkan formulasi sebagai berikut (Rosegrant, 1987 dalam Gittinger, 1986): SCF t = X t+ M t X t Tx t + M t Tm t Dimana: SCFt Mt Tmt Xt Txt = Faktor Konversi Standar tahun ke-t = Nilai Impor tahun ke-t (Rp) = Pajak Impor tahun ke-t (Rp) = Nilai Ekspor tahun ke-t (Rp) = Pajak Ekspor tahun ke-t (Rp) 4.4. Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix) Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis matriks kebijakan (Policy Analysis Matrix). PAM terdiri dari matriks yang disusun berdasarkan hasil analisis finansial (privat) dan analisis ekonomi (sosial). Penerimaan dan biaya produksi pada harga finansial dan harga sosial dibagi menjadi komponen tradable (asing) dan nontradable (domestik). Input yang digunakan seperti pupuk, pestisida, peralatan pertanian, dan lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat 46

diperdagangkan (tradable) dan faktor domestik (nontradable). Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom (Tabel 7). Baris pertama mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing (komparatif), yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial (shadow price) atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa adanya kebijakan pemerintah. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan divergensi. Melalui perhitungan baris satu dan dua tersebut masing-masing dihitung keuntungan. Keuntungan merupakan perbedaan antara penerimaan dan biaya. Perbedaan perhitungan antara harga privat dengan harga sosial disebabkan terjadinya kegagalan pasar atau masuknya kebijakan pemerintah yang terletak pada baris ketiga. Jika kegagalan pasar dianggap faktor yang tidak begitu berpengaruh, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya insentif kebijakan yang dapat dianalisis dalam penelitian ini. Penggunaan harga privat dan sosial dalam matriks PAM menggambarkan bahwa matriks ini mengandung analisis privat dan sosial. Dalam analisis sosial, kita meninjau aktivitas dilihat dari sudut masyarakat secara keseluruhan, sedangkan pada analisis privat kita meninjau aktivitas pelaku ekonomi (individu atau perusahaan) yang berkepentingan langsung dalam kegiatan ekonomi. Matriks PAM yang menunjukkan tingkat efisiensi pemakaian sumberdaya dijelaskan pada Tabel 7. 47

Tabel 7. Matriks Analisis Kebijakan Keterangan Nilai Finansial (Harga Privat) Nilai Ekonomi (Harga Bayangan) Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar (Divergensi) Penerimaan Input Tradable Keterangan: Keuntungan Privat = D = A B C Keuntungan Sosial = H = E F G Transfer Output = I = A E Transfer Input = J = B F Transfer Faktor = K = C G Transfer Bersih = L = D H Rasio Keuntungan Privat = C/ (A B) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik = G/ (E F) Koefisien Proteksi Nominal = output tradable = A/ E = Input tradable = B/ F Koefisien Proteksi Efektif = (A B) / (E F) Koefisien Keuntungan = (A B C) / (E F G) atau D/H Subsidy Rasio untuk Produsen = (D H) atau L/E Sumber: Monke dan Pearson (1989) Biaya Input Nontradable Keuntungan A B C D E F G H I J K L Dari matriks PAM dapat dilakukan beberapa analisis, yaitu: 1) Analisis Keungulan Komparatif dan Kompetitif a) Keunggulan Komparatif i) Keuntungan Sosial atau Social Profitability Keuntungan sosial (SP) merupakan indikator daya saing atau efisiensi dari sistem usahatani pada kondisi tidak ada efek divergensi baik aibat kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar. Keuntungan sosial dirumuskan sebagai berikut: 48

SP (H) = E F G Keterangan: E = Penerimaan sosial F = Biaya input tradable sosial G = Biaya input nontradable sosial Jika keuntungan sosial lebih dari nol (SP(H)>0) dan nilainya makin besar, maka sistem komoditi jambu biji makin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Sebaliknya, jika keuntungan sosial kurang dari nol (SP(H)<0), maka sistem komoditi tidak mampu berjalan dengan baik tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. ii) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik atau Domestic Cost Ratio Rasio biaya sumberdaya domestik merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan kemampuan suatu usahatani dalam membiayai biaya faktor domestik pada harga sosial. DRC menggambarkan efisiensi ekonomi suatu usahatani. DRC dirumuskan sebagai berikut: DRC = G = Biaya input non tradable sosial E F Penerimaan sosial Biaya input tradable sosial Jika rasio biaya sumberdaya domestik kurang dari satu (DRC<1) artinya memproduksi di dalam negeri lebih menguntungkan dibanding mengimpor. Jika nilainya semakin kecil berarti sistem komoditi makin efisien secara ekonomi, maka usahatani tersebut mempunyai daya saing yang makin tinggi dan mampu berjalan tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Sebaliknya jika DRC>1 berarti untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri lebih menguntungkan dengan mengimpor dibandingkan memproduksi sendiri. Atau dengan kata lain usahatani 49

tidak mampu berjalan tanpa bantuan pemerintah. Kegiatan ini akan memboroskan sumberdaya domestik yang langka karena memproduksi komoditi dengan biaya sosial yang lebih besar daripada biaya impornya. Jika tidak ada pertimbangan lain, maka melakukan impor akan lebih efisien dibandingkan dengan memproduksi sendiri. b) Keunggulan Kompetitif i) Keuntungan Privat atau Private Profitability Keuntungan privat (PP) merupakan indikator daya saing dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Jika nilai keuntungan lebih dari nol (PP(D)>0), maka sistem komoditi memperoleh profit di atas normal yang mempunnyai implikasi bahwa komoditi itu mampu berekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau ada komoditi alternatif yang lebih menguntungkan. Suatu sistem komoditi tidak akan menguntungkan jika nilai PP(D)<0. Keuntungan privat didapat dengan rumus berikut: PP (D) = A B C Keterangan: A = Penerimaan privat B = Biaya input tradable privat C = Biaya input nontradable privat ii) Rasio Biaya Privat atau Private Cost Ratio (PCR) Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah terhadap harga privat. Nilai PCR mencerminkan berapa banyak sistem komoditi tersebut dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif yakni break event setelah membayar keuntungan normal (D=0). Jelas bahwa perusahaan lebih menyukai D>0 dan ini dapat diraih jika C< 50

(A-B). Maka usaha penanganan biaya faktor domestik dan biaya input tradable bertujuan memaksimumkan profit. Maka PCR menunjukkan kemampuan sistem komoditi membiayai faktor domestik pada harga privat. Apabila nilai rasio biaya privat kurang dari satu (PCR<1), maka sistem komoditi tersebut mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. Semakin kecil nilai PCR, maka komoditi tersebut semakin memiliki daya saing (keunggulan kompetitif). Monke dan Pearson (2004) merumuskan nilai Rasio Biaya Privat sebagai berikut: PCR = C A B = Biaya faktor domestik privat Penerimaan privat Biaya input tradable privat 2) Dampak Kebijakan Pemerintah a) Kebijakan Input i) Transfer Input Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat dari: Transfer Input adalah selisih antara biaya input tradable pada harga privat dengan biaya input tradable pada harga sosial. Nilai TI menunjukkan adanya kebijakan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika nilai TI positif (TI>0) menunjukkan harga sosial input asing yang lebih rendah. Akibatnya produsen harus membayar input lebih mahal. Sebaliknya, jika TI bernilai negatif (TI<0) hal ini menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga petani tidak membayar penuh korbanan sosial (social opportunity) yang seharusnya dibayarkan. Transfer input dirumuskan sebagai berikut: TI (J) = B F Keterangan: B = Biaya input tradable privat F = Biaya input tradable sosial 51

ii) Nominal Protection Coefficient in Tradable Input (NPCI) Koefisien proteksi input nominal merupakan indikator ang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. NPCI adalah rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi adanya transfer input. Apabila nilai NPCI kurang dari satu (NPCI<1) maka kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap input dan produsen menerima subsidi atas input asing yang tradable sehingga produsen dapat membeli dengan harga yang lebih rendah. Apabila nilai NPCI lebih dari satu (NPCI>1) maka terdapat proteksi terhadap produsen input asing tradable, yang menyebabkan sektor yang menggunakan input tersebut akan merasa dirugikan dengan tingginya biaya produksi. NPCI dirumuskan sebagai berikut: NPCI = B F = Biaya input tradable privat Biaya input tradable sosial iii) Transfer Faktor Transfer faktor menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable. Jika nilai transfer faktor positif (TF>0) menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif pada input non tradable. Sedangkan jika nilai transfer faktor negatif (TF<0), berarti terdapat subsidi positif pada input nontradable. Pada matriks PAM transfer faktor dirumuskan sebagai berikut: TF (K) = C G Keterangan: C = Biaya input nont tradable privat G = Biaya input non tradable sosial 52

b) Kebijakan Output i) Transfer Output (TO) Transfer output (TO) merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung atas harga sosial (bayangan). Nilai TO menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah pada output sehingga ada perbedaan antara harga output privat dan sosial. Nilai TO yang positif (TO>0) menunjukkan bahwa ada insentif masyarakat terhadap produsen, artinya harga yang dibayarkan oleh konsumen pada produsen lebih tinggi dari seharusnya, atau ada kebijakan pemerintah berupa subsidi output yang menyebabkan harga privat output yang diterima oleh produsen lebih tinggi dari harga sosialnya. Sebaliknya jika nilai TO negatif, maka harga privat lebih rendah dari harga sosialnya. Formula Transfer Output: TO (I) = A E Keterangan: A = Penerimaan privat E = Penerimaan sosial ii) Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) Koefisien Proteksi Output atau Nominal Protection on Tradable Output adalah rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikator dari tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Jika nilai NPCO lebih dari satu (NPCO>1) berarti telah terjadi penambahan penerimaan akibat adanya kebijakan yang memengaruhi harga output (efek divergensi), begitu pula sebaliknya. NPCO dirumuskan sebagai berikut: NPCO = A E = Penerimaan privat Penerimaan Sosial 53

c) Kebijakan Input-Output i) Koefisien Proteksi Efektif atau Effective Protection Coefficient (EPC) Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi komoditi dalam negeri. Nilai EPC menggambarkan seberapa besar kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Apabila nilai EPC>1 berarti pemerintah melindungi produsen secara efektif dengan menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan di atas harga efisiensinya. Sebaliknya jika nilai EPC<1 artinya kebijakan pemerintah tersebut tidak berjalan secara efektif. EPC dirumuskan sebagai berikut: EPC = A B Penerimaan privat Biaya input tradable privat = E F Penerimaan sosial Biaya input tradable sosial ii) Transfer Bersih atau Net Transfer (NT) Transfer Bersih (NT) merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. NT menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani, apakah merugikan atau menguntungkan petani. Nilai NT yang positif (NT>0) menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah terhadap input dan output. Rumus transfer bersih: NT (L) = D H Keterangan: D = Keuntungan privat H = Keuntungan sosial iii) Koefisien Keuntungan atau Profitability Coefficient (PC) Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosial. PC 54

menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang menyebabkan perbedaan antara keuntungan privat dan sosial. Jika nilai PC>0, maka yang terjadi adalah kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima oleh produsen lebih kecil bila dibandingkan tidak ada kebijakan, dan sebaliknya apabila PC bernilai negatif. Koefisien keuntungan dapat dirumuskan: PC = D H = Keuntungan privat Keuntungan sosial iv) Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen atau Subsidy Ratio to Producer (SRP) Rasio subsidi produsen menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan total karena adanya kebijakan pemerintah. SRP memungkinkan untuk membuat perbandingan antara besarnya subsidi perekonomian bagi sistem komoditi pertanian. SRP yang bernilai negatif (SRP<0) artinya kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial (opportunity cost) untuk berproduksi. Rumus SRP adalah sebagai berikut: SRP = Transfer bersih Penerimaan sosial 4.5. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan menguji hasil analisis suatu aktivitas ekonomi bila terjadi perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya, baik input maupun output. Dasar-dasar perhitungan tersebut berdasarkan kebijakankebijakan pemerintah atau perubahan harga yang diperkirakan akan memengaruhi proses produksi. Analisis sensitivitas yang dilakukan adalah: 55

1. Perubahan terhadap Harga Output Analisis kepekaan yang pertama adalah perubahan penurunan harga output domestik sebesar 15 persen. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan harga jambu biji terendah di tingkat petani pada saat panen raya. Produktivitas tanaman jambu biji meningkat dan produksi melimpah, sehingga harga jambu biji domestik menurun. Begitu pula dengan harga jambu biji internasional juga mengalami penurunan sebesar 17 persen akibat fluktuasi harga di pasar pelelangan internasional. Perubahan harga output lainnya adalah kenaikan harga jambu biji domestik sebesar 20 persen karena peningkatan kualitas jambu biji melalui penerapan SNI jambu biji. 2. Perubahan terhadap Harga Input Diasumsikan bila terjadi kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk sebesar 10 hingga 15 persen di tahun 2011 (ceteris paribus). Kenaikan HET pupuk bersubsidi ini disebabkan oleh pemerintah mengurangi anggaran subsidi pupuk. Namun harga yang diterima petani biasanya akan lebih tinggi 20 persen dari kenaikan HET tersebut (Kompas, 20 Agustus 2010). Maka sensitivitas yang digunakan sebesar 35 persen. 3. Analisis Sensitivitas Gabungan Sensitivitas gabungan yang dilakukan adalah apabila terjadi kenaikan harga jambu biji domestik kemudian digabung dengan kebijakan pemerintah berupa penghapusan PPN 10 persen, penambahan anggaran subsidi pupuk, dan peningkatan kualitas jambu biji domestik melalui penerapan SNI jambu biji. Analisis sensitivitas gabungan lainnya adalah apabila terjadi penurunan harga 56

jambu biji internasional dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. 57