IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. BAHAN DAN METODE

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

PUTRI YUNIASTUTI A

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Bahan dan Alat

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

III. BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2)

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL

PENGARUH PEMBERIAN BAHAN AMELIORAN TERHADAP PENURUNAN EMISI GAS CO2 PADA PERKEBUNAN SAWIT DENGAN TANAMAN SELA DI LAHAN GAMBUT

BAB IV BASIL DAN PEMBAHASAN

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan

I. PENDAHULUAN. Peningkatan aktivitas manusia di muka bumi telah mendorong terjadinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Rumus Emisi CO 2. E = (Ea + Ebb + Ebo Sa) / Δt. Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan dipermukaan tanah, misalnya pada waktu pembukaan lahan.

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. dengan ketinggian tempat ± 25 di atas permukaan laut, mulai bulan Desember

Perlu Inovasi Teknologi Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Pertanian

Pengelolaan lahan gambut

EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN. Rasional

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR TANAH DAN MULSA ORGANIK TERHADAP EMISI CO 2 PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

PENELITIAN EMISI GAS RUMAH KACA PADA LAHAN BAKAL WADUK DAN WADUK BALAI HITA. 2010: Bagian dari kegiatan Experimental Basin 2011: kegiatan tersendiri

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Presentasi ini memberikan penjelasan serta pemahaman mengenai pentingnya informasi fluk gas rumah kaca (GRK) dari ekosistem lahan gambut, serta

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aktivitas-aktivitas manusia telah mengubah

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

III. BAHAN DAN METODE

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

FLUKS CO 2 DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH ETIKA AGRIANITA A

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT

TINJAUAN PUSTAKA. Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

PEMBAHASAN UMUM. Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah

I. PENDAHULUAN. Pengolahan tanah merupakan suatu tahapan penting dalam budidaya tanaman

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Bulan Februari 230 Sumber : Balai Dinas Pertanian, Kota Salatiga, Prov. Jawa Tengah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. tidak berkelanjutan. Pertanian dengan olah tanah intensif di lahan kering merusak

BAB I PENDAHULUAN. di antara dua sungai besar. Ekosistem tersebut mempunyai peran yang besar dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Warna Silase Rumput Gajah purpureum) pengaruh penambahan S. cerevisiae pada berbagai tingkat

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

HASIL DAN PEMBAHASAN Metode Pewarnaan Blok

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. diameter 12 cm dan panjang 28 cm, dan bahan-bahan lain yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Kelapa sawit

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

TEKNIK TANAM MIRING KELAPA SAWIT di LAHAN GAMBUT Pengalaman Replanting di PT. Perkebunan Nusantara IV

I. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. tinggi tanaman dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Rerata Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun

Topik C6 Penurunan permukaan lahan gambut

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

VARIASI TEMPORAL EMISI CO 2 DI BAWAH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT DI RIAU

Transkripsi:

15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham (Ajamu 2) dan Kebun Panai Jaya (Ajamu 3). Kebun Meranti Paham terletak di Kelurahan Meranti Paham, Kecamatan Panai Hulu Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara dan terletak pada koordinat 02 o 11 18 02 o 21 24 LU dan 100 o 09 13-100 o 12 02 BT. Pembukaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit ini dimulai sejak tahun 1970-an. Lokasi ini terdiri atas tahun tanam antara tahun 1980 sampai tahun 1999 dan dilakukan replanting pada tanaman yang mulai tidak produktif. Varietas yang mendominasi adalah Varietas Marihat. Sedangkan Kebun Panai Jaya terletak di kecamatan Panai Tengah, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara dan terletak pada koordinat 02 o 22 40 02 o 26 23 LU dan 100 o 15 26-100 o 17 30 BT. Pembukaan lahan ini dimulai sejak tahun 2005. Lokasi ini terdiri atas tahun tanam antara tahun 2006 sampai tahun 2008 dan direncanakan masih ada penanaman baru. Varietas yang digunakan adalah Varietas Socfin. Pada tanaman kelapa sawit umur 3 tahun (TBM) dilakukan di Kebun Panai Jaya, sedangkan pada tanaman kelapa sawit usia TM 6, TM 12, dan TM 18 dilakukan di Kebun Meranti Paham. Kematangan gambut dari kedua kebun tersebut beragam dari saprik sampai fibrik. Keberagaman kematangan gambut pada Kebun Meranti Paham cenderung secara vertikal, dimana bagian permukaan memiliki kematangan saprik karena lahan ini telah lebih dari 25 tahun dibuka dan telah mengalami berbagai pengolahan lahan, drainase dan pemupukan yang intensif sehingga mempercepat proses dekomposisi. Sementara itu kematangan pada Kebun Panai Jaya sangat beragam baik secara vertikal maupun horisontal disebabkan lahan ini baru mengalami pembukaan sekitar 4 tahun sehingga belum mengalami dekomposisi lanjut (Yulianti, 2009).

16 4.2. Pengukuran Fluks GRK 4.2.1. Pengukuran Fluks CO 2 Pengukuran fluks GRK merupakan pengukuran berdasarkan pengambilan sampel gas dari sungkup tertutup dengan frekuensi 10, 20, 30, dan 40 menit sekali kemudian dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas tipe CP- 4900. Hasil analisis, akan didapat konsentrasi ambient CO 2 untuk mengetahui fluks CO 2 (Tabel Lampiran 1). Pengukuran fluks ini dilakukan di lahan gambut pada berbagai umur tanaman kelapa sawit berdasarkan perbedaan waktu pengambilan sampel dan jarak dari saluran drainase. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai fluks CO 2 pada lahan gambut adalah kedalaman air tanah. Penelitian yang dilakukan Batubara (2009) dan Handayani (2009) menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase berpengaruh terhadap fluks CO 2. Pada Tabel 2 ditunjukkan hubungan hasil pengukuran nilai fluks CO 2 dan kedalaman air tanah di lahan gambut dengan penggunaan lahan kelapa sawit di berbagai jarak dari saluran drainase. Umur Tanaman Tabel 2. Fluks CO 2 dari Lahan Gambut berdasarkan Kedalaman Air Tanah dan Jarak dari Saluran Drainase pada Berbagai Umur Tanaman di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 Jarak dari drainase (m) Rata-rata kedalaman air (cm) Fluks CO 2 (mg/m 2 /jam) Rata-rata Fluks CO 2 (mg/m 2 /jam) TBM 50 m 46 443 483 100 m 39 530 150 m 48 477 TM 6 50 m 48 390 431 100 m 51 415 150 m 51 486 TM 12 50 m 61 601 502 100 m 62 466 150 m 62 440 TM 18 50 m 65 700 570 100 m 70 515 150 m 76 496 Sumber : PPKS (2010) Keterangan: Rata-rata fluks CO 2 dari pengukuran 5 kali dari setiap jarak dari saluran drainase

17 Tabel 2 menunjukkan rata-rata kedalaman permukaan air tanah pada berbagai umur tanaman kelapa sawit dan kaitannya dengan besar fluks CO 2 di lahan gambut pada berbagai umur tanaman kelapa sawit. Data tersebut menjelaskan bahwa di lahan gambut yang ditanami kelapa sawit usia TBM berada pada rata-rata kedalaman air tanah paling dangkal yaitu 44-45 cm dari permukaan tanah gambut. Sedangkan kedalaman air tanah paling dalam terdapat di lahan gambut dengan tanaman kelapa sawit usia TM 18 yaitu berkisar 65-70 cm dari permukaan tanah. Nilai fluks CO 2 di lahan gambut dengan kelapa sawit TM 18 yaitu sebesar 570 mg/m 2 /jam, paling tinggi dibanding umur tanaman lain. Besarnya fluks CO 2 tersebut berhubungan dengan kedalaman air tanah. Menurut penelitian Handayani (2009), kedalaman muka air tanah akibat drainase ini menentukan suasana oksidasi dan reduksi yang sangat berkaitan dengan laju dekomposisi dan menentukan nilai fluks CO 2. Semakin dalam muka air tanah berarti dekomposisi bahan organik besar dan menyebabkan fluks CO 2 semakin tinggi karena gas CO 2 merupakan produk akhir dari proses dekomposisi. Pernyataan tersebut tidak konsisten di lahan gambut dengan kelapa sawit TBM yang menunjukkan kedalaman air paling dangkal tetapi fluks CO 2 yang dihasilkan justru lebih besar dari lahan gambut dengan kelapa sawit TM 6. 4.2.2. Pengukuran Fluks CH 4 Pengambilan contoh gas untuk pengukuran fluks CH 4 ini dilakukan bersamaan dengan pengambilan contoh gas CO 2 di lapang. Pengukuran CH 4 di kebun Panai Jaya dan Meranti Paham hanya dimulai pada pengamatan kedua sampai dengan pengamatan kelima (November 2008, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009) dan hanya satu kali waktu pengukuran, yaitu siang hari. Hasil pengukuran juga dianalisis dengan mikro GC CP-4900 untuk mendapatkan konsentrasi ambient CH 4 yang terinci dalam Tabel Lampiran 2. Seperti pada pengukuran fluks CO 2, pengukuran fluks CH 4 ini juga dilakukan di lahan gambut pada 4 umur tanaman kelapa sawit, yaitu kelapa sawit usia TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18. Mekanisme rosot gas metan (CH 4 ) yang diketahui saat ini hanya terjadi melalui serapan bakteri metanotrop dan reaksi dengan senyawa radikal bebas yang ada di lapisan ionosfir bumi. Oleh karena itu, meskipun bentuk CH 4 secara angka

18 nilainya lebih kecil daripada CO 2, namun kemampuan CH 4 dalam menyebabkan pemanasan global lebih besar (Handayani, 2009). Kelembaban udara dan muka air tanah merupakan faktor penting yang mempengaruhi fluks CH 4. Pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap terbentuknya gas CH 4 sangat jelas terlihat pada penelitian ini. Data pada Tabel 3 menunjukkan nilai fluks CH 4 yang terkecil di lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 18 sebesar 8.59 mg/m 2 /jam dengan kedalaman muka air tanah terdalam berkisar 63-68 cm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin dalam muka air tanah dari permukaan gambut menyebabkan terciptanya kondisi aerob, sehingga produksi CH 4 semakin menurun karena gas CH 4 lebih mudah terbentuk pada kondisi anaerob. Tabel 3. Fluks CH 4 dari Lahan Gambut Berdasarkan Kedalaman Air Tanah dan Jarak dari Saluran Drainase pada Berbagai Umur Tanaman di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 Umur Tanaman Jarak dari drainase (m) Rata-rata kedalaman air (cm) Rata-rata Fluks CH 4 (mg/m 2 /jam) TBM 50 m 48 1.385 100 m 42 TM 6 50 m 50 0.997 100 m 52 TM 12 50 m 61 1.847 100 m 62 TM 18 50 m 63 0.859 100 m 68 Sumber : PPKS (2010) 4.3. Emisi GRK Emisi CO 2 merupakan perhitungan berdasarkan rata-rata fluks CO 2 di beberapa titik pengambilan contoh gas dikalikan dengan jumlah hari dalam satu tahun dan diekstrapolasi ke dalam luas satu hektar. Sedangkan fluks CO 2 dihitung berdasarkan pengukuran insitu CO 2 dengan menggunakan portable gas chromatography. Hasil pengukuran fluks CO 2, untuk mengetahui besarnya emisi CO 2 di lahan gambut pada berbagai umur tanaman kelapa sawit dijelaskan secara rinci dalam Tabel Lampiran 3. Besarnya emisi ini dilakukan di lahan gambut yang

19 ditanami kelapa sawit dengan berbagai umur, yaitu umur TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18 berdasarkan waktu pengambilan sampel dan jarak pengambilan contoh gas dari saluran drainase. Hasil perhitungan emisi CO 2 pada penelitian ini merupakan gabungan penglepasan CO 2 ke atmosfer dari dekomposisi dan respirasi tanah gambut. Berdasarkan penelitian Handayani (2009) dalam pengukuran emisi CO 2 dengan menggunakan metode sungkup paralon pada daerah rhizosfer kelapa sawit umur 10 tahun dan non rhizosfer di lahan gambut dengan 15 titik pengamatan, diketahui rata-rata respirasi akar adalah sebesar 12,6 ton/ha/tahun. Hasil respirasi akar tersebut jika dibandingan dengan total emisi CO 2 pada umur tanaman yang mendekati dalam penelitian ini (TM 6) maka hasil respirasi akar ± 30% dari total emisi CO 2. Sedangkan menurut penelitian Melling et al. (2005) di lahan gambut kelapa sawit Sarawak, Malaysia, perhitungan nilai respirasi akar ± 29% dari total emisi CO 2. 4.3.1. Emisi CO 2 dari Lahan Gambut Berdasarkan Umur Tanaman Kelapa Sawit Emisi CO 2 dari lahan gambut di kebun kelapa sawit dengan berbagai umur kelapa sawit (TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18) disajikan pada Tabel 4. Selama 5 kali pengambilan contoh gas, terdapat beberapa kesamaan pola emisi CO 2, di mana lahan gambut dengan kelapa sawit yang semakin tua usia tanamannya, emisi CO 2 yang dihasilkan juga semakin tinggi, walaupun pola tersebut tidak konsisten. Lahan gambut dengan kelapa sawit usia TM-18 memiliki rata-rata emisi CO 2 yang paling tinggi, yaitu sebesar 45.45 ton/ha/tahun. Hal ini disebabkan karena adanya kaitan antara usia tanaman kelapa sawit di lahan gambut dan kedalaman muka air tanah. Lahan gambut yang ditanami kelapa sawit dengan usia yang semakin tua memiliki kedalaman muka air tanah semakin dalam sehingga proses dekomposisi semakin meningkat yang akan menghasilkan CO 2 lebih banyak. Berdasarkan Tabel 4, nilai rata-rata emisi CO 2 dari lahan gambut dengan kelapa sawit usia TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18 berturut-turut yaitu sebesar 41.79, 38.52, 43, dan 45.45 ton/ha/tahun. Rata-rata emisi CO 2 meningkat pada di lahan gambut dengan umur tanaman kelapa sawit yang semakin tua seperti pada TM 6, TM 12, dan TM 18. Namun terjadi perbedaan pola emisi CO 2 dari lahan gambut dengan kelapa sawit umur TBM, dimana emisi CO 2 di lahan gambut dengan

20 kelapa sawit pada usia ini lebih tinggi dibanding dari lahan gambut dengan kelapa sawit TM 6. Hal ini dikarenakan emisi di lahan gambut dengan kelapa sawit TBM memiliki variasi keragaman yang cukup besar saat pengambilan contoh gas kedua yang diulang pada November 2009 yang menghasilkan emisi CO 2 paling tinggi dari keempat pengambilan contoh gas lainnya yaitu sebesar 75.43 ton/ha/tahun (Tabel 4). Nilai emisi yang mencolok ini diduga karena selang waktu dari pengukuran II (November 2008) dan verifikasi (November 2009) yang sangat lama menyebabkan proses dekomposisi gambut meningkat sehingga emisi CO 2 menjadi sangat tinggi. Selain itu, diduga lokasi pengambilan contoh gas dengan sungkup pada verifikasi tidak sama persis dengan yang dilakukan pada pengukuran II. Tabel 4. Emisi CO 2 dari Lahan Gambut pada Berbagai Umur Tanaman Kelapa Sawit di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 Umur Tanaman Emisi CO 2 I II III IV V Rata-rata ton/ha/tahun TBM 29.35 75.43 32.49 37.32 34.37 41.79 TM 6 37.52 41.66 36.30 35.60 41.54 38.52 TM12 31.92 44.18 42.19 41.04 55.64 43.00 TM18 37.38 56.01 41.94 48.34 43.59 45.45 Sumber: PPKS (2010) Keterangan: I, II, III, IV, dan V adalah pengukuran bulan Agustus 2008, November 2008, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009 Emisi CO 2 terendah terdapat di lahan gambut dengan kelapa sawit usia TM 6, yaitu sebesar 38.52 ton/ha/tahun. Hal ini berhubungan dengan kedalaman muka air tanah di lahan gambut kelapa sawit TM 6 yang lebih dangkal dibandingkan pada TM 12 dan TM 18. Emisi CO 2 semakin meningkat dengan semakin dalam muka air tanah gambut. Tingkat dekomposisi gambut sangat dipengaruhi oleh kedalaman muka air tanah, semakin dalam muka air tanah maka semakin cepat terjadinya dekomposisi gambut. Dalam penelitian Rumbang et al. (2007) dikemukakan bahwa semakin jauh turunnya permukaan air tanah maka emisi CO 2 yang dilepas oleh lahan gambut semakin besar. Hal ini disebabkan karena perubahan kondisi anaerob

21 menjadi aerob akibat menurunnya permukaan air tanah memicu meningkatnya emisi CO 2 yang dilepas oleh lahan gambut. 4.3.2. Hubungan Emisi CO 2 dengan Jarak dari Saluran Drainase dan Waktu Drainase di lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit berakibat perubahan kedalaman muka air tanah, sehingga kondisi fisik gambut berubah dan terjadi percepatan dekomposisi bahan organik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa drainase di ekosistem gambut untuk tujuan agribisnis akan berdampak pada kesinambungan global. Pada penelitian ini dijelaskan hubungan emisi CO 2 dari lahan gambut dengan pengaruh jarak dari drainase dan waktu pengukuran pada berbagai umur kelapa sawit yaitu pada usia TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18. Pengambilan contoh gas berdasarkan jarak dari pokok tanaman kelapa sawit merupakan ulangan dalam analisis statistik. Hasil rata-rata emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TBM berdasarkan pengaruh waktu pengukuran dan jarak dari saluran drainase disajikan dalam Tabel 5 dan diilustrasikan pada Gambar 3. Berdasarkan Tabel 5, rata-rata emisi CO 2 di lahan gambut pada pagi hari sebesar 43 ton/ha/tahun dan pada siang hari sebesar 41 ton/ha/tahun. Dapat dikatakan bahwa hasil pengukuran emisi CO 2 di lahan gambut pada pagi hari lebih tinggi daripada pengukuran pada siang hari. Hal ini diduga karena pengambilan sampel yang dilakukan pada jam 6 pagi, masih ada akumulasi CO 2 hasil respirasi tanaman pada malam hari. Tanaman banyak mengeluarkan CO 2 pada malam hari sehingga pengukuran emisi CO 2 dari lahan gambut di kebun kelapa sawit usia TBM pada pagi hari menjadi lebih tinggi daripada siang hari. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh secara nyata berdasarkan jarak dari saluran drainase dan waktu pengukuran terhadap emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TBM (Tabel 5 dan Tabel Lampiran 5).

22 Waktu Tabel 5. Emisi CO 2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TBM berdasarkan Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase Jarak dari pokok tanaman Emisi CO 2 berdasarkan jarak dari saluran drainase (ton/ha/tahun) 50 m 100 m 150 m rata-rata emisi CO 2 bawah naungan 60 31 43 43 a Pagi ujung kanopi 28 18 27 antar tanaman 49 28 52 bawah naungan 34 43 66 41 a Siang ujung kanopi 28 24 21 antar tanaman 34 81 42 Rata-rata 39 a 46 a 42 a Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (taraf α=5%) Akibat dari drainase yang berlebihan, maka terjadi penurunan permukaan air tanah, dan ketebalan gambut mulai enipis. Adanya proses tersebut menyebabkan berubahnya suasana drainase dari anaerobik menjadi aerobik, sehingga terjadi dekomposisi bahan organik dengan adanya proses oksidasi. Dekomposisi bahan organik tersebut akan menghasilkan emisi CO 2 ke atmosfer (BPPT, 2010) Seperti yang telah terinci pada Tabel 5, bahwa rata-rata emisi CO 2 pada jarak 50 m dari drainase yaitu sebesar 39 ton/ha/tahun cenderung mengalami peningkatan emisi pada jarak 100 m menjadi sebesar 46 ton/ha/tahun, namun emisi justru menurun kembali pada jarak 150 m menjadi 42 ton/ha/tahun. Faktor yang mempengaruhi peningkatan emisi CO 2 pada jarak 100 m dari saluran drainase adalah perbedaan jarak titik pengambilan sampel gas dari saluran drainase yang menyebabkan semakin dangkal muka air tanah dengan semakin jauhnya dari saluran drainase utama. Seperti yang telah ditunjukkan pada Tabel 2, pada jarak 50 m dari saluran drainase dengan kedalaman muka air tanah sebesar 46 cm menghasilkan fluks CO 2 sebesar 443 mg/m 2 /jam. Sedangkan kedalaman muka air tanah pada jarak 100 m dari saluran drainase cenderung semakin dangkal (39 cm) dan fluks CO 2 meningkat menjadi 530 mg/m 2 /jam. Penurunan muka air tanah tersebut menyebabkan proses dekomposisi yang lebih lanjut dari tanah gambut sehingga emisi CO 2 yang dihasilkan di titik yang lebih dekat dengan

23 saluran drainase menjadi lebih tinggi. Namun pada jarak 150 m justru mengalami penurunan fluks CO 2 menjadi sebesar 477 mg/m 2 /jam sehingga emisinya juga menurun dan kedalaman muka air tanahnya cenderung lebih dalam menjadi 48 cm (Tabel 2). Mempertimbangkan nilai penurunan emisi pada jarak 150 m, ternyata angka peningkatan lebih besar daripada angka penurunan emisi, maka dapat dikatakan bahwa emisi CO 2 semakin menurun dengan semakin jauh dari saluran drainase. Pola yang menunjukkan peningkatan emisi CO 2 dengan semakin jauh jarak dari saluran drainase pada kelapa sawit TBM ternyata tidak konsisten karena terjadi penurunan emisi pada jarak 150 m dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah. Untuk mengetahui kecenderungan emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TBM disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Emisi CO 2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TBM berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Saluran Drainase Hasil rata-rata emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 6 berdasarkan jarak dari saluran drainase menunjukkan bahwa emisi CO 2 tertinggi pada jarak 150 m dari drainase yaitu sebesar 43 ton/ha/tahun kemudian diikuti dengan jarak 100 m sebesar 36 ton/ha/tahun dan terkecil pada jarak 50 m sebesar 34 ton/ha/tahun. Dengan kata lain, semakin jauh dari saluran drainase, emisi CO 2 yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh kondisi di lapangan pada saat pengambilan sampel gas dimana pada jarak 50 m dari saluran drainase, kondisi gambut masih dalam keadaan lebih tergenang. Namun pada jarak 100 m dan 150 m dari saluran drainase, muka air tanah berangsur-angsur semakin dalam. Muka air tanah yang dalam pada titik pengamatan yang semakin jauh dengan saluran drainase menyebabkan terciptanya suasana aerob yang memacu laju

24 proses dekomposisi yang melepaskan CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer sehingga emisi CO 2 pun meningkat (Tabel 6). Seperti yang telah disajikan pada Tabel 2, kedalaman muka air tanah semakin meningkat pada jarak 50 m ke 100 m dari saluran drainase dan emisi CO 2 yang dihasilkan semakin tinggi. Begitu pula dengan emisi CO 2 dari lahan gambut pada jarak 150 m dari saluran drainase semakin meningkat walaupun kedalaman airnya sama dengan jarak 100 m yaitu sebesar 62 cm. Hal ini berbeda dengan emisi dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TBM, pola emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 6 justru konsisten semakin meningkat dengan semakin jauh jarak dari saluran drainase. Waktu Tabel 6. Emisi CO 2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TM 6 berdasarkan Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase Emisi CO 2 berdasarkan jarak dari saluran drainase (ton/ha/tahun) Jarak dari pokok rata-rata 50 m 100 m 150 m tanaman emisi CO 2 bawah naungan 43 37 37 37 a Pagi ujung kanopi 34 37 35 antar tanaman 31 33 43 bawah naungan 27 46 58 39 a Siang ujung kanopi 34 36 30 antar tanaman 37 30 53 Rata-rata 34 a 36 a 43 a Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (taraf α=5%) Oksidasi bahan gambut (yang umumnya mengandung 10% organ tanaman dan 90% air) menghasilkan emisi gas CO 2 (Hooijer et al., 2006). Gas CO 2 yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik pada lahan gambut dikendalikan oleh perubahan suhu, kondisi hidrologi, ketersediaan dan kualitas bahan gambut, dan tergantung pada faktor lingkungan. Berdasarkan data pada Tabel 6, rata-rata emisi CO 2 saat pengukuran pada pagi hari yaitu sebesar 37 ton/ha/tahun, sedangkan hasil pengukuran pada siang hari mengalami peningkatan emisi CO 2 menjadi sebesar 39 ton/ha/tahun.

25 Peningkatan emisi CO 2 ini disamping peranan dari mikroorganisme aerobik juga, disebabkan karena suhu pada siang hari lebih tinggi dibandingkan suhu pada pagi hari sehingga proses dekomposisi gambut pun menjadi lebih tinggi. Namun hasil analisis sidik ragam pada lahan gambut dengan kelapa sawit TM 6 menunjukkan bahwa emisi CO 2 yang dihasilkan tidak dipengaruhi secara nyata berdasarkan jarak dari saluran drainase maupun berdasarkan waktu pengambilan sampel gas (Tabel Lampiran 6) dan kecenderungan emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 6 yang diilustrasikan pada Gambar 4. Gambar 4. Emisi CO 2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 6 berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Saluran Drainase Berbeda dengan emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 6, hasil pengukuran emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 12 berdasarkan pengaruh jarak dari saluran drainase ternyata menunjukkan penurunan emisi pada jarak 100 m dan 150 m dari saluran drainase. Pada Tabel 7 dirinci secara jelas rata-rata emisi CO 2 pada jarak 50 m, 100 m, dan 150 m dari saluran drainase masing-masing yaitu sebesar 53, 41, dan 39 ton/ha/tahun. Data tersebut menunjukkan penurunan emisi CO 2 pada jarak yang semakin jauh dari saluran drainase. Hal ini dikarenakan titik pengambilan contoh gas yang dekat dengan saluran drainase utama memiliki muka air tanah yang lebih dangkal dibandingkan yang jauh dari saluran drainase. Semakin jauh dari saluran drainase utama, kedalaman muka air tanah semakin dalam. Pada Tabel 2 juga menunjukkan bahwa pada jarak 50 m dengan kedalaman air 61 cm meningkat pada jarak 100 m dan 150 m menjadi sedalam 62 cm. Kemudian emisi CO 2

26 menurun seiring dengan semakin jauh jarak dari saluran drainase. Jarak yang lebih dekat dengan saluran drainase mengalami penurunan muka air tanah yang menyebabkan proses dekomposisi yang lebih lanjut sehingga menghasilkan CO 2. Oleh karena itu, emisi CO 2 pada titik yang lebih dekat dengan saluran drainase menjadi lebih tinggi. Tabel 7. Emisi CO 2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TM 12 berdasarkan Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase Emisi CO 2 berdasarkan jarak dari saluran drainase (ton/ha/tahun) 50 m 100 m 150 m rata-rata emisi CO 2 Waktu Jarak dari pokok tanaman bawah naungan 60 37 50 45 a Pagi ujung kanopi 42 27 47 antar tanaman 60 60 23 bawah naungan 42 42 47 43 a Siang ujung kanopi 56 37 36 antar tanaman 56 42 38 Rata-rata 53 a 41 a 39 a Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (taraf α=5%) Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pengukuran emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 12 juga dilakukan pada dua waktu pengukuran yaitu pada pagi dan siang hari. Rata-rata emisi CO 2 pada pengukuran pada pagi hari sebesar 45 ton/ha/tahun dan pengukuran pada siang hari sebesar 43 ton/ha/tahun. Hasil pengukuran emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 12 memiliki kesamaan dengan hasil pengukuran dari lahan gambut pada kelapa sawit TBM (Tabel 5), dimana emisi CO 2 hasil pengukuran pada pagi hari lebih tinggi daripada pengukuran siang hari. Hal ini diduga karena hasil emisi pada pagi hari (jam 6.00) masih terjadi transisi dari malam hari dimana tanaman banyak mengeluarkan CO 2. Hasil rata-rata emisi CO 2 tersebut dirinci pada Tabel 7 dan diilustrasikan pada Gambar 5. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak berpengaruh secara nyata terhadap emisi CO 2 berdasarkan pengaruh jarak dari saluran drainase dan waktu pengambilan sampel (Tabel Lampiran 7). Kecenderungan besarnya emisi yang dihasilkan dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 12 dapat dilihat pada Gambar 5.

27 Gambar 5. Emisi CO 2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 12 berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Saluran Drainase Hasil emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 18 berdasarkan pengaruh jarak dari saluran drainase dan waktu pengukuran disajikan dalam Tabel 8 dan diilustrasikan pada Gambar 6. Dengan data tersebut, hasil pengukuran emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 18 pada pagi hari dan siang hari secara berturut-turut sebesar 46 dan 54 ton/ha/tahun. Dapat dikatakan bahwa pengukuran emisi CO 2 dari lahan gambut dengan kelapa sawit usia TM 18 pada siang hari lebih tinggi daripada emisi CO 2 pada pagi hari. Pola tersebut senada dengan dengan hasil emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 6 yang menghasilkan emisi CO 2 lebih tinggi pada pengukuran di siang hari. Hal ini diduga, disamping peranan dari mikoorganisme aerobik tanah, suhu lingkungan di siang hari yang lebih tinggi juga mempengaruhi terjadinya proses dekomposisi gambut yang lebih banyak. Hasil emisi CO 2 berdasarkan jarak pengambilan sampel dari saluran drainase, menujukkan bahwa emisi CO 2 tertinggi dihasilkan pada jarak 50 m yaitu 61 ton/ha/tahun. Penurunan emisi terjadi pada jarak 100 m emisi sebesar 45 ton/ha/tahun kemudian emisi menurun lagi pada jarak 100 m yaitu menjadi 43 ton/ha/tahun. Pola emisi CO 2 ini sejalan dengan emisi dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 12 yang menjelaskan bahwa semakin jauh dari saluran drainase maka semakin menurun CO 2 yang dilepaskan. Namun pola ini tidak konsisten karena terjadi peningkatan kedalaman air pada jarak 100 m, kemudian menurun kembali pada jarak 150 m (Tabel 2), dengan angka peningkatan lebih besar daripada penurunan.

28 Tabel 8. Emisi CO 2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 18 berdasarkan Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase Waktu Jarak dari pokok Emisi CO 2 berdasarkan jarak dari saluran drainase (ton/ha/tahun) rata-rata tanaman 50 m 100 m 150 m emisi CO 2 bawah naungan 112 40 47 46 a Pagi ujung kanopi 39 31 36 antar tanaman 47 34 30 bawah naungan 63 69 42 54 a Siang ujung kanopi 46 42 50 antar tanaman 62 55 56 Rata-rata 61 a 45 a 43 a Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (taraf α=5%). Pada penelitian Handayani (2009) juga mengalami dinamika emisi CO 2 seperti yang terjadi dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 18. Pola emisi CO 2 tersebut biasa terjadi di lahan gambut yang telah lama diusahakan untuk kebun kelapa sawit dan disertai dengan pendalaman drainase seperti pada lahan gambut dengan kelapa sawit umur TM 18 ini. Menurunnya CO 2 dengan semakin dalamnya muka air tanah karena gas CO 2 hasil dekomposisi dari bahan gambut yang lebih matang jauh lebih sedikit dibandingkan gambut mentah. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh secara nyata pada nilai emisi CO 2 terhadap jarak dari saluran drainase dan waktu pengambilan sampel yang terinci pada Tabel Lampiran 8, sedangkan kecenderungan emisi CO 2 tersebut diilustrasikan pada Gambar 6. Gambar 6. Emisi CO 2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 18 berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Saluran Drainase

29 Tabel 9 menunjukkan pengaruh jarak dari pokok tanaman dan waktu pengambilan sampel terhadap emisi CO 2. Jarak dari saluran drainase dianggap sebagai ulangan dalam analisis secara statistik dengan pengaruh waktu pengambilan sampel dan jarak dari pokok tanaman. Dengan mengubah bentuk ulangan dan perlakuan, hasil analisis sidik ragam tetap menunjukkan tidak ada pengaruh secara nyata pada jarak dari pokok sawit dan waktu pengambilan sampel terhadap emisi CO 2 (Tabel Lampiran 9). Tabel 9. Emisi CO 2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 18 berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Pokok Tanaman Jarak dari saluran drainase (m) Emisi CO 2 berdasarkan jarak dari pokok tanaman (ton/ha/tahun) Bawah Ujung Antar naungan kanopi tanaman Waktu rata-rata emisi CO 2 50 m 112 39 47 46 a Pagi 100 m 40 31 34 150 m 47 36 30 50 m 63 46 62 54 a Siang 100 m 69 42 55 150 m 42 50 56 Rata-rata 62 a 41 a 47 a Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (taraf α=5%) Tabel 10 menjelaskan secara rinci emisi CO 2 berdasarkan posisi dari pokok tanaman yaitu di bawah naungan, di ujung kanopi, dan di antar tanaman. Pada posisi di bawah naungan, rata-rata emisi CO 2 yang dihasilkan adalah emisi tertinggi yaitu sebesar 49 ton/ha/tahun. Emisi CO 2 di bawah naungan sangat di pengaruhi oleh adanya respirasi akar pada kelapa sawit dan aktivitas metabolisme dari mikroorganisme di dekat daerah perakaran. Fenomena tersebut menyebabkan emisi CO 2 lebih banyak pada daerah di bawah naungan. Pada data juga menunjukkan bahwa Jumlah CO 2 yang dihasilkan oleh akar akan lebih besar bila ada akar hidup pada tanah yang semakin dalam. Selain itu, akan ada peningkatan jumlah mikroorganisme tanah yang memanfatkan eksudat akar sehingga meningkatkan proses respirasi akar. (Melling et al., 2005).

30 Pada posisi di antar tanaman dan posisi dibawah kanopi, rata-rata emisi CO 2 yang dihasilkan adalah sebesar 47 ton/ha/tahun dan 35 ton/ha/tahun. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan jumlah emisi CO 2 di bawah naungan. Hal ini diduga karena posisi yang lebih jauh dari akar tanaman kelapa sawit menyebabkan CO 2 yang dilepaskan melalui tanah menjadi lebih sedikit. Tabel 10. Emisi CO 2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Berdasarkan Posisi dari Pokok Tanaman di Berbagai Umur Tanaman Posisi dari pokok tanaman Umur Tanaman (ton/ha/tahun) Kelapa Sawit bawah naungan ujung kanopi antar tanaman TBM 46 24 57 TM 6 41 34 38 TM 12 46 41 45 TM 18 62 41 47 Rata-rata emisi 49 35 47 4.3.3. Emisi CH 4 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit pada Berbagai Umur Tanaman Seperti perhitungan emisi CO 2, emisi CH 4 pada lahan gambut juga dihitung berdasarkan nilai rata-rata fluks CH 4 di beberapa titik pengambilan contoh gas kemudian dikonversikan dalam satu ton/ha/tahun. Hasil pengukuran fluks CH 4 yang digunakan dalam perhitungan emisi CH 4 ditampilkan dalam Tabel Lampiran 4. Sedangkan hasil pengukuran emisi CH 4 dari lahan gambut pada kebun kelapa sawit usia TBM, TM 6,TM 12, TM 18 (Meranti Paham) dirinci dalam Tabel 11. Berdasarkan data Tabel 11, rata-rata emisi CH 4 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 18 memiliki emisi yang paling kecil dibandingkan umur tanaman yang lain, yaitu sebesar 5.50 ton/ha/tahun. Hal ini disebabkan karena pada TM 18 memiliki kedalaman muka air tanah paling dalam. Kedalaman muka air tanah tersebut akan mempengaruhi kelembaban tanah dan produksi CH 4. Dalam penelitian Handayani (2009) menyebutkan bahwa faktor lingkungan yang dominan mengendalikan emisi CH 4 di lahan gambut adalah kedalaman air. Semakin dalam muka air tanah, jumlah emisi CH 4 semakin menurun. Namun pola

31 emisi CH 4 tersebut tidak konsisten. Seperti yang sudah ditunjukkan pada data kedalaman air di Tabel 2, bahwa kedalaman air paling dangkal terdapat pada TBM tetapi emisi CH 4 yang dihasilkan tidak menunjukkan emisi CH 4 terbesar. Data Tabel 11 menjelaskan bahwa emisi CH 4 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 12 merupakan penghasil emisi CH 4 terbesar. Emisi CH 4 cukup nyata di lahan hutan gambut yang tergenang atau yang muka air tanahnya dangkal. Dengan bertambahnya kedalaman muka air tanah, emisi CH 4 menjadi tidak nyata. Emisi CH 4 pada lahan pertanian relatif kecil karena rendahnya pasokan bahan organik segar yang siap terdekomposisi secara anaerob (Agus dan Subiksa, 2008). Tabel 11. Emisi CH 4 dari Lahan Gambut pada Berbagai Umur Tanaman Kelapa Sawit di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 Umur tanaman Emisi CH 4 berdasarkan pengamatan (kg/ha/tahun) II III IV V rata-rata emisi CH 4 TBM 8.132 8.310 3.643 2.784 5.72 TM 6 5.467 2.288 3.175 11.434 5.59 TM 12 8.067 9.238 3.666 9.889 7.71 TM 18 7.594 2.362 5.331 6.714 5.50 Sumber: PPKS dan DITSL, 2010 Keterangan: II, III, IV, dan V adalah pengukuran bulan November 2008, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009