IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Karbondioksida (CO 2 ) Keanekaragaman nilai fluks yang dihasilkan lahan pertanian sangat tergantung pada sistem pengelolaan lahan tersebut. Pola fluks CO 2 selama satu musim tanam disajikan pada Gambar 7. Fluks tertinggi dihasilkan oleh lahan dengan perlakuan Non PTT tergenang sebesar mg/m 2 /hari pada 72 HST (Gambar 7a dan Lampiran 7). Secara kumulatif (Gambar 7b), perlakuan Non PTT tergenang juga menunjukkan nilai fluks yang tertinggi ( mg/m 2 ) sedangkan terendah dihasilkan oleh lahan dengan perlakuan SRI intermittent ( mg/m 2 ). Pada kondisi tergenang (anaerob) jumlah CO 2 yang dilepaskan seharusnya sedikit karena oksigen direduksi untuk menghasilkan CH 4. Selain itu dalam pembentukan CH4, methanogen membutuhkan CO 2 sebagai sumber C untuk memproduksi CH 4 (Takai 1970 dalam Furukawa dan Inubushi, 2002; Vogels et al., 1988 dalam Wang dan Adachi, 2000). Namun berdasarkan Gambar 7 menunjukkan bahwa perlakuan PTT dan Non PTT tergenang memiliki fluks yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan intermittent. Pada kondisi ini meskipun lahan tergenang terus menerus, fluks CO 2 yang dilepaskan juga tinggi. Keadaan ini terjadi karena pada saat pembentukan CH 4 tidak semua CO 2 direduksi. Pembentukan gas CH 4 akan optimum pada ph 6-8 dan Eh < -200 mv (Neue dan Scharpenseel, 1990 dalam Wihardjaka et al., 1999; Suharsih et al., 1999). Selain dilepaskan, CO 2 juga digunakan tanaman dalam proses fotosintesis. Secara keseluruhan, rata-rata fluks CO 2 yang dilepas setiap HST tidak berbeda nyata antar perlakuan satu dengan perlakuan lain. Beda nyata terjadi pada saat tanaman berumur 51 dan 58 HST. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah anakan maksimum pada tanaman. Tingginya jumlah anakan pada perlakuan Semi SRI intermittent dan Non PTT tergenang (Tabel 1) berpengaruh terhadap kecilnya emisi 25

2 yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan CO 2 lebih banyak digunakan untuk fotosintesis tanaman. a) Fase Vegetatif Fase Reproduktif Fase Pemasakan Fluks CO 2 (mg/m 2 /hari) Non PTT Tergenang Non PTT PTT Tergenang PTT SRI Semi-S R I Panen SRI, Semi SRI Panen PTT, Non PTT Pengeringan I Pengeringan II Pengeringan pra panen b) Fluks Kumulatif CO 2 (mg/m 2 ) c) ph tanah Hari Setelah Tanam (HST) Gambar 7. Fluks CO 2 (a) dan fluks kumulatif CO 2 (b) berbagai sistem pengelolaan tanaman padi dipengaruhi oleh ph tanah (c), Jakenan, MK

3 Metana (CH 4 ) Dinamika metana pada lahan sawah dipengaruhi oleh pola pertumbuhan tanaman padi. Emisi metana pada fase vegetatif aktif sampai sampai pengisian biji mengalami peningkatan bahkan mencapai puncaknya, kemudian menurun sejalan dengan pemasakan biji bahkan cenderung terus menurun pada saat panen (Ermawanto, 2003; Setyanto dan Kartikawati, 2006). Keadaan ini seperti yang terlihat pada Gambar 8a. Terbentuknya fluks CH 4 pada saat pengeringan yang cenderung lebih rendah dibandingkan saat penggenangan mengindikasikan bahwa rejim air dalam budidaya pertanian sangat mempengaruhi terbentuknya fluks CH 4. Pola fluks antar sesama perlakuan memiliki kesamaan. Rata-rata fluks untuk perlakuan penggenangan adalah mg CH4/m 2 /hari (Non PTT tergenang) dan mg CH4/m 2 /hari (PTT tergenang). Sedangkan pada Non PTT intermittent dan PTT intermittent berturut-turut sebesar dan mg CH4/m 2 /hari. Nilai fluks CH 4 tertinggi dicapai Non PTT tergenang pada 36 HST sebesar 1247 mg/m 2 /hari (Lampiran 7). Hal ini dikarenakan pada proses pengenangan terus-menerus akan menciptakan kondisi anaerob pada tanah yang sangat disukai oleh bakteri metanogen untuk menghasilkan CH 4. Fluks CH 4 pada perlakuan SRI intermittent dan Semi SRI intermittent mempunyai pola yang relatif sama. Namun pada saat tertentu, fluks CH 4 Semi SRI intermittent cenderung lebih tinggi dibandingkan SRI intermittent. Dengan demikian rata-rata fluks CH 4 pada perlakuan Semi SRI intermittent cenderung lebih besar dibandingkan SRI intermittent, masingmasing dan mg CH 4 /m 2 /hari. Adanya pemberian pupuk anorganik merupakan faktor pembeda pada kedua perlakuan ini. Semi-SRI intermittent mendapatkan pupuk anorganik dengan dosis setengah dari dosis yang dianjurkan sedangkan perlakuan SRI intermittent tidak mendapatkan pupuk anorganik. 27

4 a) Fase Vegetatif Fase Reproduktif Fase Pemasakan Fluks CH 4 (mg/m 2 /hari) Non PTT Tergenang Non PTT Intermitten PTT Tergenang PTT S R I Semi-S R I Panen PTT, Non PTT Panen SRI, Semi SRI b) 7000 Pengeringan I Pengeringan II Pengeringan pra panen Fluks Kumulatif CH4 (mg/m2) c) ph tanah Hari Setelah Tanam (HST) Gambar 8. Fluks CH 4 (a) dan fluks kumulatif CH 4 (b) berbagai sistem pengelolaan tanaman padi dipengaruhi oleh ph tanah (c), Jakenan, MK

5 Fluks kumulatif CH 4 disajikan pada Gambar 8b. Secara kumulatif, perlakuan Non PTT tergenang memiliki nilai fluks CH 4 tertinggi ( mg/m 2 ). Selanjutnya diikuti Semi SRI intermittent ( mg/m 2 ), Non PTT intermittent ( mg/m 2 ), PTT tergenang ( mg/m 2 ), PTT intermittent ( mg/m 2 ) dan SRI intermittent ( mg/m 2 ). Rendahnya fluks kumulatif CH 4 pada pengairan intermittent disebabkan oleh meningkatnya nilai reduksi oksidasi tanah sehingga dekomposisi secara anaerobik tidak berlangsung. Pada awal pertumbuhan, fluks CH 4 tidak berbeda nyata antar perlakuan. Bertambahnya jumlah anakan pada fase reproduktif mulai berpengaruh terhadap nilai fluks. Pada fase anakan maksimum (50-60 HST), fluks secara umum meningkat hingga 722 mg/m 2 /hari (Lampiran 7) yang dihasilkan oleh perlakuan Non PTT intermittent. Setelah memasuki fase pemasakan hingga panen, fluks cenderung menurun. Selama penelitian, ph tanah tiap perlakuan berfluktuasi sesuai dengan kondisi tanah. Aktivitas bakteri yang mampu membentuk gas CH 4 mampu terbentuk pada kondisi tanah tergenang dengan kisaran ph 6-8 (Suharsih et al., 1999). Menurut Wang et al., (1983) pembentukan CH 4 maksimum berada terjadi pada ph dan terhambat pada ph < 5.75 dan > Nilai ph < 5.75 banyak ditemui pada 85 HST hingga akhir pengukuran. Penurunan nilai ph (Gambar 8c) pada akhir penanaman menyebabkan bakteri methanogen tidak mampu hidup pada kondisi ini sehingga berpengaruh terhadap penurunan fluks CH 4 (Gambar 8a) Nitrous oksida (N 2 O) Lahan sawah merupakan sumber penting penghasil N 2 O. Pada Gambar 9a dapat dilihat perubahan nilai fluks, fluktuasi N 2 O bervariasi mengikuti pola pertumbuhan tanaman dan budidaya padi. Pola fluks pada tiap perlakuan cenderung sama. Pada fase vegetatif menunjukkan nilai fluks N 2 O yang stabil dengan fluks tertinggi dicapai oleh perlakuan PTT intermittent sebesar 620 µg/m 2 /hari. Memasuki fase reproduktif, nilai fluks cenderung menurun, meningkat kembali pada fase pemasakan hingga 29

6 panen. Peningkatan pembebasan N 2 O ini terjadi karena tanaman sudah tua, mati atau bagian atas tanaman diambil melalui panen (Suyono et al., 2006). Untuk perlakuan intermittent pada PTT dan Non PTT, fluks mengalami kenaikan pada saat pengeringan (14-20 HST dan HST). Keadaan tanah yang sangat basah sebelum pengeringan merupakan faktor utama penyebab peningkatan tersebut. Pada keadaan ini nitrifikasi terhenti dan gas yang keluar dari dalam tanah akan terhambat dan denitrifikasi akan berlangsung. Denitrifikasi akan meningkat pada saat difusi O 2 menurun dan tanah dalam keadaan anaerob dimana N 2 O oleh denitrifikasi lebih dominan daripada NO (Partohardjono, 1999; Verchoft, 1999 dalam Hutabarat, 2001). Pemupukan selama penanaman padi memiliki pengaruh yang kuat terhadap emisi N 2 O yang dihasilkan lahan sawah (Mulyadi et al., 1999). Terlihat pada Gambar 9a, adanya pemberian pupuk kandang pada -12 HST sebanyak 15 t/ha menyebabkan perlakuan SRI memiliki nilai fluks N 2 O yang tertinggi pada awal tanam dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bremmer et al. (1981) dalam Mulyadi (1999) bahwa tingkat kehilangan N 2 O dalam bentuk anhidrus mencapai puncaknya pada minggu kedua dan keempat setelah pemberian pupuk. Selanjutnya pemberian pupuk urea untuk perlakuan PTT, Non PTT, dan semi SRI dilakukan sebanyak tiga kali dari awal hingga akhir penanaman. Fluks kumulatif N 2 O terlihat terus meningkat (Gambar 9b). Fluks kumulatif tertinggi terdapat pada perlakuan Non PTT tergenang ( µg/m 2 /hari). Dari gambar tersebut dapat ditemukan suatu hal yang menarik bahwa aplikasi pupuk urea menyebabkan fluks kumulatif meningkat. Peningkatan takaran pupuk urea proposional dengan peningkatan emisi gas nitrous oksida. Makin tinggi takaran pupuk urea pada padi sawah tadah hujan, makin besar kehilangan N dalam bentuk N 2 O, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi gas N 2 O di atmosfer (Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Dengan demikian fluks kumulatif terendah dimiliki oleh perlakuan tanpa aplikasi pupuk urea yaitu SRI intermittent ( µg/m 2 /hari). Hasil ini menunjukkan bahwa efesiensi penyerapan pupuk N umumnya di bawah 30

7 50 % walaupun dengan pengelolaan yang baik (De Datta, 1981 dalam Sasa, 1999). a) Fluks N 2 O (mg/m 2 /hari) Non PTT Tergenang Non PTT PTT Tergenang PTT SRI Semi-SRI Fase Vegetatif Fase Reproduktif Fase Pemasakan Panen PTT, Non PTT Panen SRI, Semi SRI Pengeringan I Pengeringan II Pengeringan pra panen b) Fluks Kumulatif N 2 O(mg/m 2 ) c) ph tanah Hari Setelah Tanam (HST) Gambar 9. Fluks N 2 O (a) dan fluks kumulatif N 2 O (b) berbagai sistem pengelolaan tanaman padi dipengaruhi oleh ph tanah (c), Jakenan, MK

8 Fluks N 2 O dari awal pengukuran (2 HST) hingga akhir pengukuran (86 HST) hampir tidak memiliki beda nyata antar semua perlakuan. Pada 79 HST, perlakuan Non PTT tergenang memiliki beda nyata terhadap lima perlakuan lain dengan fluks sebesar 311 µg/m 2 /hari. Fluks tertinggi untuk keenam perlakuan berturut-turut dihasilkan pada 22, 15, 36, 57, 43, dan 50 HST (Lampiran 7). Pola emisi gas N 2 O berfluktuasi menurut waktu setelah pemberian pupuk N, dimana puncak emisi terjadi 3 5 hari setelah pemberian pupuk N hingga hari ke-17 kemudian turun (Partohardjono, 1999 dalam Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Sesuai dengan jadwal pemupukan (Lampiran 3) maka pola yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 9a. Pembentukan N 2 O oleh proses nitrifikasi dan denitrifikasi juga dipengeruhi oleh Eh dan ph tanah. Proses nitrifikasi berada dalam kisaran 5 sampai 10, tetapi berlangsung paling cepat terjadi pada saat ph mendekati 7 dan berkurang pada ph < 5.5. Namun, penurunan ph < 5.5 (Gambar 9c) diakhir penanaman tidak berpengaruh terhadap penurunan fluks N 2 O bahkan terjadi peningkatan fluks N 2 O. Hal ini dikarenakan kondisi lahan pasca panen yang kering memiliki temperatur optimum (27-32 o C) sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri nitrifikasi Parameter Tanaman Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan Parameter tanaman yang diukur meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, warna hijau daun (klorofil), dan biomasa total. Tinggi tanaman dan jumlah anakan dianalisa dengan menggunakan Uji DMRT (Duncan multiple Range Test) untuk melihat ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Berdasarkan Tabel 1, beda nyata terlihat pada fase vegetatif awal hingga reproduktif (15-72 HST). Pada akhir pengukuran tinggi tanaman sudah mulai stabil sehingga tidak terlihat beda nyata antar perlakuan dengan tanaman tertinggi sebesar cm (Non PTT tergenang). Secara keseluruhan dari awal hingga akhir tanam, perlakuan Non PTT tergenang tidak berbeda nyata dengan perlakuan PTT intermittent dengan tinggi cm. 32

9 Jumlah anakan diukur bersamaan dengan tinggi tanaman. Jumlah anakan maksimum terdapat pada pengukuran 39 HST dimana jumlah anakan tertinggi dihasilkan oleh Semi SRI intermittent sebanyak 16 batang. Jarak tanam yang yang lebar (30 cm x 30 cm) membuat Semi SRI intermittent memiliki ruang tumbuh yang lebih lebar dibandingkan dengan perlakuan lain. Terendah terdapat pada perlakuan PTT intermittent dengan jumlah anakan sebanyak 10 batang. Jumlah anakan menurun seiring dengan masuknya fase reproduktif tanaman. Pada saat tanaman berumur 57 HST, jumlah anakan pada semua perlakuan tidak berbeda nyata antar satu dengan lainnya. Perbedaan anakan aktif ini dipengaruhi oleh diterapkannya jarak tanam yang berbeda pada masing-masing perlakuan. Tabel 1. Tinggi tanaman dan jumlah anakan berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Tinggi Tanaman (cm) 15 HST 29 HST 39 HST 57 HST 72 HST 86 HST Non PTT Tergenang ab a a a a a Non PTT ab a a a a a PTT Tergenang a bc a a ab a PTT ab b b a ab 94.6 a SRI b c ab b c 94.7 a Semi-SRI ab bc ab ab b 94.8 a Jumlah Anakan (Batang) Non PTT Tergenang 3 a 13 a 12 b 12 b 10 b 10 bc Non PTT 3 a 15 a 14 ab 10 b 10 b 10 b PTT Tergenang 1 b 7 b 11 b 8 b 7 c 8 c PTT 1 b 7 b 10 b 8 b 8 bc 8 c SRI 1 b 5 b 12 b 11 b 10 b 10 b Semi-SRI 1 b 7 b 16 a 15 a 13 a 13 a Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05 DMRT Biomas Tanaman Biomas tanaman padi diambil sebanyak lima kali pada fase-fase pertumbuhan yaitu 22, 36, 51, 64, dan 78 HST. Biomas yang diukur adalah biomas kering total yaitu bagian akar hingga pucuk tanaman. Pada fase vegetatif awal, tidak terdapat beda nyata antar perlakuan Non PTT tergenang dan intermittent. Keduanya memiliki bobot tertinggi jika dibanding dengan perlakuan lain. Umur bibit PTT yang lebih tua dan jumlah bibit yang lebih banyak merupakan penyebab tingginya nilai ini. Biomas pada fase anakan aktif (51 dan 64 HST) tidak berbeda nyata antar 33

10 perlakuannya. Pada akhir pengukuran, beda nyata terdapat pada perlakuan SRI dengan empat perlakuan lainnya. Jarak tanam yang lebar ternyata menghasilkan jumlah biomas yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya dengan rata-rata sebesar g. Adanya persaingan yang kecil dalam memperebutkan unsur hara esensial ditambah dengan pemberian pupuk kandang 15 t/ha ternyata merangsang tanaman untuk membentuk biomas lebih banyak. Tabel 2. Biomas kering berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Biomas Kering (g) 22 HST 36 HST 51 HST 64 HST 78 HST Non PTT Tergenang 2.83 a a a a b Non PTT 3.00 a ab a a b PTT Tergenang 1.50 bc b a a b PTT 2.17 ab ab a a b SRI 0.83 c ab a a ab Semi-SRI 1.00 c ab a a a Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05 DMRT Besarnya jumlah biomas total tanaman sangat identik dengan tingginya emisi CH 4 yang dilepas dari satuan luas pertanaman padi. Setyanto dan Kartikawati (2006) menyebutkan bahwa fluks CH 4 sangat dipengaruhi oleh jumlah biomas tanaman, peningkatan biomas berbanding lurus dengan peningkatan emisi CH 4 dari lahan sawah. Jumlah biomas sangat identik dengan jumlah eksudat akar yang dilepas tanaman padi, semakin besar biomas semakin tinggi eksudat akar tanaman padi Klorofil Pengukuran klorofil dilakukan sebanyak delapan kali selama penanaman dengan menggunakan klorofil meter. Besarnya klorofil tanaman padi berkisar Berdasarkan Gambar 10, rata-rata klorofil tertinggi terdapat pada perlakuan PTT tergenang dengan nilai terbesar adalah Nilai tersebut dicapai pada saat tanaman berumur 32 HST. Rata-rata klorofil terkecil terdapat pada perlakuan SRI intermittent dengan nilai sebesar 34

11 Hal ini tampak dari warna daun yang agak menguning. Tidak adanya pemberian pupuk anorganik pada tanaman adalah faktor yang menyebabkan kecilnya nilai klorofil tersebut. Klorofil Non PTT Tergenang 15 HST 24 HST 32 HST 41 HST 50 HST 59 HST 68 HST 77 HST Non PTT PTT PTT Tergenang SRI Semi SRI Gambar 10. Tingkat hijau daun (klorofil) pada berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Pada perlakuan PTT, penggunaan klorofil meter dikombinasikan dengan bagan warna daun (BWD). Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk urea dengan mengikuti prosedur BWD terbukti lebih efektif menjaga tingkat hijau daun tanaman dan mengoptimalkan penggunaan N. Teknologi BWD mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk N sekitar 15-30%. Dengan kata lain kondisi tanaman dalam keadaan cukup hara N namun tidak berlebihan (Sembiring et al., 2000; Wahid, 2003) Komponen Hasil Hasil analisis statistik untuk bobot jerami kering ubinan menunjukkan bahwa tidak terdapat beda nyata antar perlakuan Non PTT dan PTT. Bobot jerami yang dihasilkan pada saat panen berkisar kg/ubinan. Bobot jerami tertinggi terdapat pada perlakuan Non PTT 35

12 intermittent sebesar 4.6 kg sedangkan terendah dihasilkan oleh perlakuan SRI intermittent sebesar 2.6 kg. Jumlah anakan produktif menunjukkan banyaknya malai yang terisi oleh bulir padi. Dari Tabel 3 menunjukkan tidak adanya beda nyata antar semua perlakuan. Semi SRI intermittent memiliki rata-rata jumlah anakan produktif tertinggi sebanyak 13 batang. Keseluruhan jumlah anakan berkisar 8-13 batang. Pada batang padi terdapat jaringan aerenkim yang memungkinkan terjadinya pertukaran gas antara rhizosfer dan atmosfer. Dengan demikian, semakin banyak jumlah anakan maka semakin banyak cerobong yang menghubungkan antara rhizosfer dan atmosfer sehingga semakin banyak pula emisi gas CH 4 yang dilepas. Peningkatan jumlah anakan dapat meningkatkan kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkim sehingga kapasitas angkut CH 4 lebih besar (Aulakh, 2000). Tabel 3. Komponen panen berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Bobot jerami kering/ubinan (kg) Bobot akar kering/ubinan (kg) Rata-rata Anakan Produktif Berat 1000 butir (g) gabah hampa/rumpun gabah isi/rumpun % gabah isi Non PTT tergenang 4.2 ab 0.83 a 10 a a 224 b 671 ab Non PTT intermittent 4.6 a 0.75 a 10 a a 321 b 729 ab PTT tergenang 4.3 ab 0.62 a 8 a ab 294 b 541 b PTT intermittent 4.1 ab 0.61 a 8 a a 286 b 509 b SRI intermittent 2.6 c 0.19 b 10 a c 478 b 655 ab Semi-SRI intermittent 3.6 b 0.24 b 13 a bc 725 a 910 ab Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05 Bobot akar berkaitan erat dengan eksudat akar yang dihasilkan oleh tanaman padi. Semakin banyak akar, maka eksudat akar yang dihasilkan juga semakin tinggi dan diikuti dengan tingginya emisi CH 4 (Setyanto dan Kartikawati, 2006). Seperti pada bobot jerami, bobot akar pada perlakuan Non PTT dan PTT juga tidak memiliki beda nyata antar keduanya. Bobot akar tertinggi dan terendah berturut-turut sebesar 0.83 kg/ubinan dan 0.19 kg/ubinan. Tingginya bobot akar menyebabkan peningkatan emisi CH 4 pada perlakuan Non PTT tergenang seperti yang terlihat pada Gambar 8. Berat 1000 butir yang diukur diambil dari gabah isi dari empat rumpun di setiap perlakuan. Berat terbesar terdapat pada gabah yang 36

13 dihasilkan dari perlakuan Non PTT tergenang (32.77 g) sedangkan terkecil pada perlakuan SRI intermittent (29.21). Dengan diketahuinya jumlah gabah hampa dan gabah isi maka persentase gabah isi per rumpun dapat diketahui. Persentase gabah isi menunjukkan banyaknya jumlah gabah isi dibandingkan dengan total gabah (isi dan hampa). Secara berturut-turut persentase tertinggi dan terendah terdapat pada perlakuan Non PTT tergenang (74.99 %) dan Semi SRI intermittent (55.66 %). Persentase gabah isi sangat berpengaruh terhadap hasil gabah (t/ha) yang dihasilkan. Melihat dari keenam perlakuan, SRI intermittent memiliki hasil terendah sebesar 2.31 t/ha (Tabel 4) dibanding perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan pada perlakuan SRI intermittent tidak diberikan pupuk anorganik sehingga tanaman padi hanya menyerap unsur hara yang terkandung di dalam tanah dan bahan organik. Walaupun kandungan unsur hara di dalam bahan organik tinggi, namun kondisi lembab dan ph masam pada tanah inseptisol menyebabkan lambatnya proses dekomposisi bahan organik tersebut. Oleh karena itu unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman seperti N, P, C, dan S tidak langsung tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman Neraca Karbon Global Warming Potential (GWP) Berdasarkan Tabel 4 terlihat GWP tertinggi terdapat pada perlakuan Non PTT tergenang (13.55 t CO 2 -eq/ha) dan terendah pada perlakuan SRI intermittent (6.19 t CO 2 -eq/ha). GWP adalah angka yang digunakan untuk menyatakan nilai potensi pemanasan global dari CH 4 -C dan N 2 O-N yang disetarakan dengan nilai CO 2 -C. GWP yang dihasilkan oleh perlakuan PTT tergenang juga cukup tinggi sebesar 8.13 t CO 2 -eq/ha. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa perlakuan tergenang baik pada PTT maupun Non PTT berpotensi besar untuk menyumbang emisi GRK. Pola pengairan dapat dikaitkan dengan besarnya emisi CH 4 yang dihasilkan karena berhubungan langsung dengan kondisi tanah dan aktifitas mikroorganisme penghasil gas CH 4. Besarnya nilai korelasi antara kedua 37

14 parameter ini terlihat pada hasil analisis statistik pada Lampiran 12. Tingginya emisi pada perlakuan PTT dan Non PTT tergenang disebabkan karena kondisi yang senantiasa tergenang mengakibatkan tanah menjadi anaerobik yang merupakan kondisi ideal untuk bakteri metanogen meningkatkan aktifitasnya dalam menghasilkan CH 4. Antara kedua perlakuan tersebut, Non PTT tergenang memiliki emisi yang lebih tinggi dibandingkan PTT tergenang. Fenomena ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan aplikasi pupuk pada masing-masing perlakuan. Pupuk urea yang diberikan ke dalam tanah dihidrolisis oleh enzim urease menjadi CO 2 dan NH 3, mengakibatkan peningkatan ph ke arah alkalis dan penurunan redoks potensial yang diduga dapat meningkatkan emisi gas metana (Schultz et al., 1989 dalam Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Dibandingkan perlakuan PTT tergenang, pemberian 100 % pupuk anorganik pada Non PTT tergenang tentunya akan meningkatkan ketersediaan pupuk urea sehingga emisi metana juga meningkat. Menurut Partohardjono (1999) dalam Wahid (2003), emisi gas N 2 O dipengaruhi oleh takaran pupuk N yang diberikan; makin tinggi takaran N, makin besar emisi gas N 2 O yang ditimbulkan. Tingginya emisi CH 4 dan N 2 O menyebabkan total emisi GRK setara CO 2 -eq (GWP) yang dihasilkan juga tinggi. Tabel 4. GWP berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Emisi (kg/ha) CO2 CH4 N2O GWP (t CO2- eq/ha/musim) Hasil gabah (t/ha) Non PTT Tergenang ± a ± a 0.17 ± 0.08 a ± 1.98 a 4.66 ± 0.17 a Non PTT ± ab ± bc 0.15 ± 0.06 a 7.39 ± 0.48 bc 4.51 ± 0.09 ab PTT Tergenang ± ab ± bc 0.09 ± 0.04 a 8.13 ± 0.19 bc 4.13 ± 0.32 b PTT ± ab ± bc 0.12 ± 0.06 a 7.98 ± 1.47 bc 4.18 ± 0.28 b SRI ± b ± c 0.13 ± 0.03 a 6.19 ± 0.95 c 2.31 ± 0.17 d Semi SRI intermittent ± b ± b 0.10 ± 0.03 a 9.11 ± 1.49 bc 3.07 ± 0.19 c Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05 Adanya perlakuan baru (Semi SRI intermittent) pada penelitian ini memunculkan suatu hal yang menarik, yaitu perlakuan tersebut memiliki nilai GWP yang lebih besar dibandingkan PTT (tergenang atau intermittent) maupun Non PTT intermittent. Hal ini menunjukkan tidak 38

15 hanya perlakuan pengairan (irigasi) yang berpengaruh terhadap emisi CH 4 tetapi juga perlakuan pemupukan. Ketidakefisienan dalam pemupukan dan irigasi yang terus menerus menyebabkan emisi yang tinggi pada lahan pertanian. Kondisi pengeringan mampu membuat tanah dalam keadaan aerobik sehingga bakteri metanotropik lebih aktif. Dengan adanya irigasi intermittent dimungkinkan terputusnya keadaan tergenang pada fase-fase tertentu sehingga dapat menekan emisi CH Serapan C-Organik Komponen-komponen yang diukur kandungan C-organiknya dapat dilihat pada Tabel 5. Analisis serapan C-organik yang telah dilakukan menunjukkan persentase kandungan C-organik untuk masing-masing komponen adalah % (akar), % (jerami), % (malai), % (gabah), dan % (gulma). Berdasarkan tabel tersebut, kandungan C-organik pada akar tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan dengan tertinggi pada perlakuan Non PTT tergenang ( kg/ha). Tabel 5. Kandungan C-organik berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Kandungan C-organik (kg C/ha) 1 Akar Jerami Malai Gabah Gulma Akar Gulma 2 Non PTT Tergenang a a b a c c Non PTT ab a b a bc bc PTT Tergenang ab a ab b bc bc PTT ab a a b abc abc SRI b b c d ab ab Semi SRI ab ab c c a a Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata Perhitungan kandungan C-organik pada KA 14 % (gabah) dan KA 30 % (akar, jerami, malai, gulma dan akar gulma) 2 Asumsi nilai C-organik akar gulma sama dengan nilai C-organik gulma dan berat akar gulma sama dengan 1/3 berat kering Jerami dan gabah merupakan bagian yang cukup banyak menyimpan karbon dibandingkan bagian lainnya. Untuk jerami, kandungan C tertinggi dan terendah berturut-turut terdapat pada perlakuan 39

16 Non PTT intermittent dan SRI intermittent. Sedangkan kandungan C- organik pada gabah terdapat beda nyata yang jelas antar perlakuannya, perlakuan SRI intermittent memiliki kandungan terkecil sebesar kg/ha. Hal ini dikarenakan hasil gabah SRI intermittent lebih sedikit bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nlai C-organik untuk malai berkisar kg/ha dengan tertinggi dihasilkan oleh perlakuan PTT intermittent. Dibandingkan komponen lain, gulma memiliki kisaran nilai C-organik yang cukup lebar ( kg/ha) sehingga tampak beda nyata antar perlakuan satu dengan yang lain Net Karbon Nilai net karbon dari semua perlakuan menunjukkan besarnya karbon yang dilepaskan dari masing-masing sistem pengelolaan padi setelah adanya absorbsi karbon oleh tanaman padi. Dari Tabel 6 jelas bahwa perlakuan SRI intermittent mempunyai net karbon yang bernilai negatif terbesar ( kg C/ha), itu artinya perlakuan tersebut lebih banyak menyerap karbon dari pada mengemisikan karbon. Begitu juga untuk perlakuan PTT intermittent ( kg C/ha) dan Non PTT intermittent ( kg C/ha). Non PTT dan PTT tergenang memiliki net karbon positif dengan nilai sebesar kg/ha (Non PTT tergenang). Dari sini dapat dilihat bahwa perlakuan intermittent sangat cocok untuk diterapkan karena merupakan salah satu teknologi untuk meningkatkan absorbsi karbon melalui sistem pengelolaan tanaman padi yang ramah lingkungan. Tabel 6. Neraca Karbon berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Total kandungan GWP Net karbon Hasil gabah Rasio C-organik (kg C/ha) 1 (kg CO2-C/ha) (kg C/ha) 2 (t/ha) GWP/Hasil Gabah 3 Non PTT Tergenang Non PTT PTT Tergenang PTT SRI , Semi SRI Perhitungan kandungan C-organik pada KA 14 % (gabah) dan KA 30 % (akar, jerami, malai, gulma dan akar gulma) 2 Net karbon (kg C/ha) = GWP Total kandungan C-organik 3 GWP dalam tco 2 -eq/ha; gabah dalam t/ha 40

17 SRI dan Semi SRI intermittent menghasilkan emisi GRK setara CO 2 -C yang cukup tinggi, hal ini terlihat dari rasio GWP dan hasil padi dimana setiap 1 ton gabah berturut-turut menyumbangkan 3.22 dan 2.44 t CO2-C. Rasio terkecil terdapat pada perlakuan PTT tergenang dan PTT intermittent dengan rasio 1.58 dan Berdasarkan Tabel 6, hasil gabah tertinggi dan emisi terendah dihasilkan oleh perlakuan Non PTT tergenang dan PTT tergenang. Namun dengan mempertimbangkan GWP yang ditimbulkan, perlakuan PTT intermittent lebih cocok untuk diterapkan mengingat efisiensi pupuk yang digunakan dan kecilnya emisi yang dihasilkan. Tabel 7. Kontribusi gas CO 2, N 2 O, dan CH 4 terhadap GWP berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 GWP CO 2 -C N 2 O-N CH4-C % % (kg CO2-C/ha) (kg/ha) (kg/ha) (kg/ha) % Non PTT Tergenang Non PTT PTT Tergenang PTT SRI Semi SRI intermittent Besar kecilnya emisi yang disumbangkan oleh lahan pertanian tidak lepas dari sumbangsih CO 2, N 2 O dan CH 4 sebagai gas rumah kaca. Dengan menyetarakan gas ke CO 2 -C dan membandingkannya terhadap GWP maka diperoleh persentase sumbangan emisi untuk masing-masing gas. Gas CO 2 memiliki kontribusi sebesar %, N 2 O sebesar % dan CH 4 sebesar % (Tabel 7). Dilihat dari persentase tersebut, gas CH 4 memerlukan perhatian khusus dibandingkan kedua gas lainnya karena kontribusinya sangat besar besar terhadap emisi yang dihasilkan oleh lahan pertanian. Kecilnya persentase CO 2 dan N 2 O menunjukkan semua gas yang dilepaskan lahan diserap lagi oleh tanaman bahkan untuk memenuhi energinya tanaman harus menyerap dari sumber-sumber yang lain. 41

18 4.5. Dinamika Emisi GRK Antar Musim Penelitian kuantifikasi emisi GRK pada berbagai sistem pengelolaan tanaman padi (Non PTT, PTT, dan SRI) dengan perlakuan tergenang dan intermittent telah dilakukan pada dua tahun terakhir. MK (padi walik jerami) dilakukan pada bulan Februari-Juli 2008 dan 2009 sedangkan MH (padi gogo rancah) pada bulan September-Februari Gambar 11a menunjukkan bahwa MH 2008 memiliki emisi CO 2 tertinggi jika dibandingkan dengan dua musim lainnya. Sedangkan yang emisi terendah dihasilkan oleh pertanaman padi pada MK Melalui analisis statistik per musim, tidak terdapat beda nyata antar perlakuan. Namun beda nyata mulai terlihat pada analisis keseluruhan dengan nilai fluks tertinggi sebesar kg/ha oleh perlakuan PTT tergenang pada MH 2008 (Tabel 8). Tingginya emisi CO 2 pada MH 2008 ternyata berpengaruh terhadap kecilnya emisi CH 4 (Gambar 11b) dengan kisaran nilai sebesar kg/ha (Tabel 8). Beda nyata jelas terlihat pada fluktuasi emisi CH 4 antar perlakuan per musim (Tabel 8). Dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerobik yang secara berturut-turut menghasilkan CO 2 dan CH 4 merupakan penyebab keduanya memiliki nilai yang berlawanan. Dengan demikian, jika lahan pertanaman lebih banyak dalam keadaan tergenang (anaerobik) maka emisi CH 4 yang dihasilkan lebih tinggi begitu juga sebaliknya. Kecilnya nilai CH 4 sangat dipengaruhi oleh musim tanam, pada pola padi gogo rancah ini curah hujan terus meningkat bahkan saat pengeringan tanah cenderung lembab. Penelitian lain juga memperlihatkan pola walik jerami menghasilkan emisi yang lebih tinggi dibandingkan pola gogo rancah telah (Ermawanto et al., 2003; Lumbanraja et al., 1997; Subadiyasa et al., 1997). Dari ketiga musim tanam, emisi terkecil terdapat pada perlakuan PTT intermittent (MH 20008) sebesar kg/ha (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengairan berselang (intermittent) lebih berpotensi untuk menekan emisi CH 4 pada lahan pertanian. 42

19 a) 7000 MK 2008 MH 2008 MK Emisi CO2 (kg/ha) Non PTT Tergenang Non PTT PTT Tergenang PTT SRI Semi SRI b) 500 MK 2008 MH 2008 MK Emisi CH4 (kg/ha) Non PTT Tergenang Non PTT PTT Tergenang PTT SRI Semi SRI c) 0,90 MK 2008 MH 2008 MK ,80 0,70 Emisi N2O (kg/ha) 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 Non PTT Tergenang Non PTT PTT Tergenang PTT SRI Semi SRI Gambar 11. Dinamika emisi (a) CO 2, (b) CH 4, dan (c) N 2 O berbagai sistem pengelolaan tanaman padi pada MK 2008, MH 2009, dan MK

20 Tabel 8. Emisi CO 2, CH 4, dan N 2 O berbagai sistem pengelolaan tanaman padi pada MK 2008, MH 2009, dan MK 2009 Musim Tanam MK 2008 MH 2008 MK 2009 Emisi CO2 Emisi CH4 Emisi N2O Analisis Statistik Analisis Statistik Analisis Statistik (kg/ha) per musim overall (kg/ha) per musim overall (kg/ha) per musim overall Non PTT Tergenang a bcde a b 0.06 b e Non PTT a bcde bc cd 0.18 a de PTT Tergenang a cde bc cd 0.17 a de PTT a bcde c def 0.18 a de SRI a bcde ab bc 0.12 ab de SRI Macak-macak a e bc cde 0.13 ab de Non PTT Tergenang ab abc a efg 0.79 a a Non PTT ab abcd bc g 0.70 ab ab PTT Tergenang ab a b fg 0.85 a a PTT ab abcd c g 0.51 ab bc SRI b bcde bc g 0.48 ab bc SRI Macak-macak ab ab c g 0.36 b cd Non PTT Tergenang a bcd a a 0.17 a de Non PTT ab bcd bc cd 0.15 a de PTT Tergenang ab bcde bc bc 0.09 a de PTT ab bcde bc cd 0.12 a de SRI b de c de 0.13 a de Semi SRI b bcde b b 0.13 a de Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata

21 Emisi N 2 O pada lahan sawah lebih banyak dihasilkan akibat penggunaan pupuk yang mengandung nitrogen pada sistem pertanaman kering (Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Seperti pada emisi CO 2, emisi N 2 O pada MH 2008 juga memiliki kisaran nilai tertinggi ( kg/ha) dan terendah pada MK 2008 ( kg/ha). Analisis statistik untuk tiga musim (overall) menunjukkan Non PTT tergenang pada MH 2008 berpotensi besar dalam menghasilkan emisi N 2 O. Namun pada MK 2008, Non PTT tergenang justru menghasilkan emisi terkecil selama tiga musim tanam ini (0.06 kg/ha). Hal ini dipengaruhi oleh kandungan C/N dalam tanah. Total emisi setiap musim dari ketiga gas tersebut kemudian dikonversi ke CO 2 (CO 2 ekuivalen) sehingga diperoleh nilai GWP. Analisis statistik menunjukkan bahwa nilai GWP berbeda nyata antar perlakuan baik per musim maupun tiga musim. Secara keseluruhan, nilai GWP terbesar dan terkecil dihasilkan oleh perlakuan Non PTT tergenang MK 2009 dan SRI intermittent MH 2008 (Tabel 9). Untuk tiap musim, perlakuan Non PTT tergenang selalu memiliki GWP tertinggi dibandingkan perlakuan lain. intermittent berturut-turut memiliki GWP yang lebih kecil dibandingkan perlakuan penggenangan. Produktivitas yang tinggi merupakan tujuan utama dalam pertanian selain upaya mitigasi dari GRK yang ditimbulkan. Tingginya nilai GWP pada MK 2009 ternyata tidak dibarengi dengan tingginya gabah yang dihasilkan. Hal ini terlihat pada Tabel 9 bahwa rata-rata hasil tertinggi dicapai pada MH 2008 dengan kisaran t/ha. Hasil gabah untuk MK 2008 dan 2009 berkisar t/ha. Hasil panen untuk perlakuan Non PTT tergenang dan PTT intermittent tidak memiliki perbedaan yang nyata. Hasil tertinggi pada tiap musimdiperoleh dari perlakuan Non PTT tergenang. Namun, mengingat GWP yang dihasilkan juga besar maka sistem PTT intermittent lebih dianjurkan untuk diterapkan dalam pertanian padi sawah. 45

22 Tabel 9. GWP dan hasil gabah berbagai sistem pengelolaan tanaman padi pada MK 2008, MH 2009, dan MK 2009 Musim Tanam MK 2008 MH 2008 MK 2009 GWP Hasil gabah Rasio Analisis Statistik Analisis Statistik GWP/Hasil (t CO2-eq/ha) per musim overall (t/ha) per musim overall gabah Non PTT Tergenang 9.82 a b 4.82 a bc 2.04 Non PTT 7.77 bc cdef 4.36 a cd 1.78 PTT Tergenang 7.41 bc cdefg 4.69 a bcd 1.58 PTT 7.17 bc cdefg 4.50 a bcd 1.59 SRI 8.91 ab bc 2.77 b ef 3.22 SRI Macak-macak 6.51 c defgh 2.66 b ef 2.44 Non PTT Tergenang 7.08 ab defgh 7.44 a a 0.95 Non PTT 5.97 ab efgh 7.38 a a 0.81 PTT Tergenang 7.68 a cdef 7.41 a a 1.04 PTT 5.52 b gh 7.46 a a 0.74 SRI 5.06 b h 4.99 b b 1.01 SRI Macak-macak 5.38 ab fgh 4.95 b bc 1.09 Non PTT Tergenang a a 4.66 a bcd 2.91 Non PTT 7.39 bc cdefg 4.51 ab bcd 1.64 PTT Tergenang 8.13 bc bcd 4.13 b d 1.97 PTT 7.98 bc bcde 4.18 b d 1.91 SRI 6.19 c defgh 2.31 d f 2.68 Semi SRI 9.11 bc bc 3.07 c ef 2.97 Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05 Rasio GWP/hasil padi menyatakan jumlah emisi (t CO 2 -eq) yang dihasilkan setiap 1 ton gabah. Dengan demikian semakin tinggi rasio maka GWP yang dihasilkan semakin besar. Secara keseluruhan pada tiga musim, rasio berada pada kisaran dengan nilai tengah Berdasarkan Tabel 9, seluruh perlakuan pada MH 2008 memiliki nilai rasio dibawah nilai tengah ( ). Untuk MK 2008 dan MK 2009, rasio yang berada dibawah nilai tengah terdapat pada perlakuan PTT intermittent (1.59 dan 1.91), PTT tergenang (1.58 dan 1.97) serta Non PTT intermittent (1.78 dan 1.64). Rata-rata untuk masing-masing perlakuan pada ketiga musim menunjukkan bahwa perlakuan intermittent (PTT dan Non PTT) memiliki rasio terkecil sebesar Rasio tersebut berarti bahwa setiap produksi 1 ton gabah akan menghasilkan emisi sebesar 1.41 t CO 2- eq. Hal ini berbeda dengan perlakuan lainnya. Sebagai contoh, pada perlakuan Semi SRI intermittent untuk memproduksi gabah yang sama akan menghasilkan emisi yang lebih besar yaitu 2.97 t CO 2 eq. Dengan melihat pola tersebut dapat diketahui bahwa sistem pengairan intermittent menghasilkan GWP yang lebih kecil dibandingkan penggenangan. Adanya perbedaan musim dalam 46

23 penanaman padi juga sangat mempengaruhi besar kecilnya GWP yang dihasilkan. Musim hujan (MH) akan menghasilkan emisi yang lebih kecil dibandingkan musim kemarau (MK). 47

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Dinamika Unsur Hara pada Berbagai Sistem Pengelolaan Padi Sawah 4.1.1. Dinamika unsur N Gambar 12 menunjukkan dinamika unsur nitrogen di dalam tanah pada berbagai sistem pengelolaan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Deskripsi padi varietas Ciherang (Supriatno et al., 2007)

Lampiran 1. Deskripsi padi varietas Ciherang (Supriatno et al., 2007) Lampiran 1. Deskripsi padi varietas Ciherang (Supriatno et al., 2007) Asal persilangan : IR 18349-53-1-3-1-3/IR 19661-131-3-1//IR 19661-131-3-1///IR 64////IR 64 Umur tanaman : 116-125 hari Bentuk tanaman

Lebih terperinci

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut 4 perbedaan antar perlakuan digunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Analisis regresi digunakan untuk melihat hubungan antara parameter yang diamati dengan emisi CH 4. HASIL a. Fluks CH 4 selama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Hara Tanah Analisis kandungan hara tanah pada awal percobaan maupun setelah percobaan dilakukan untuk mengetahui ph tanah, kandungan C-Organik, N total, kandungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teoritis 2.1.1. Sawah Tadah Hujan Lahan sawah tadah hujan merupakan lahan sawah yang dalam setahunnya minimal ditanami satu kali tanaman padi dengan pengairannya sangat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, Darmaga Bogor pada bulan Januari 2009 hingga Mei 2009. Curah hujan rata-rata dari bulan Januari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Pertumbuhan Tanaman 4. 1. 1. Tinggi Tanaman Pengaruh tiap perlakuan terhadap tinggi tanaman menghasilkan perbedaan yang nyata sejak 2 MST. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. Hasil analisis statistika menunjukkan adaptasi galur harapan padi gogo

BAB V HASIL PENELITIAN. Hasil analisis statistika menunjukkan adaptasi galur harapan padi gogo 26 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Hasil analisis statistika menunjukkan adaptasi galur harapan padi gogo berpengaruh nyata terhadap elevasi daun umur 60 hst, tinggi tanaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Upaya peningkatan produksi ubi kayu seringkali terhambat karena bibit bermutu kurang tersedia atau tingginya biaya pembelian bibit karena untuk suatu luasan lahan, bibit yang dibutuhkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lahan penelitian yang digunakan merupakan lahan yang selalu digunakan untuk pertanaman tanaman padi. Lahan penelitian dibagi menjadi tiga ulangan berdasarkan ketersediaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dimulai dari April 2009 sampai Agustus 2009. Penelitian lapang dilakukan di lahan sawah Desa Tanjung Rasa, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisis Contoh Tanah Hasil analisa sudah diketahui pada Tabel 4.1 dapat dikatakan bahwa tanah sawah yang digunakan untuk penelitian ini memiliki tingkat kesuburan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Percobaan ini dilakukan mulai bulan Oktober 2007 hingga Februari 2008. Selama berlangsungnya percobaan, curah hujan berkisar antara 236 mm sampai dengan 377 mm.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Lahan 4. 1. 1. Sifat Kimia Tanah yang digunakan Tanah pada lahan penelitian termasuk jenis tanah Latosol pada sistem PPT sedangkan pada sistem Taksonomi, Tanah tersebut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO

SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO Sutardi, Kristamtini dan Setyorini Widyayanti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta ABSTRAK Luas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi sejak tahun 80-an telah memperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini berdampak kepada

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur terhadap Sifat Kimia Tanah Pengaplikasian Electric furnace slag (EF) slag pada tanah gambut yang berasal dari Jambi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Karbondioksida (CO2)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Karbondioksida (CO2) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Gas rumah kaca adalah gas-gas yang dapat membentuk suatu lapisan perangkap panas di atmosfer bumi yang dapat memantulkan kembali panas yang dipancarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah 54 II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktivitas manusia (sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Tanah Analisis tanah merupakan salah satu pengamatan selintas untuk mengetahui karakteristik tanah sebelum maupun setelah dilakukan penelitian. Analisis tanah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Fluks dan Total Fluks Gas Metana (CH 4 ) pada Lahan Jagung, Kacang Tanah, dan Singkong Pada Gambar 4, 5 dan 6 menunjukkan fluks CH 4 pada lahan jagung, kacang tanah dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman yang banyak mengonsumsi pupuk, terutama pupuk nitrogen (N) adalah tanaman padi sawah, yaitu sebanyak 72 % dan 13 % untuk palawija (Agency for Agricultural Research

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Awal Tanah Gambut Hasil analisis tanah gambut sebelum percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 1. Hasil analisis didapatkan bahwa tanah gambut dalam dari Kumpeh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Metana CH 4 dan dinitrogen oksida (N 2 O) adalah gas penting di atmosfer yang mempengaruhi kekuatan radiasi dan sifat kimia atmosfer (WMO 1995). Konsentrasi CH 4 dan N 2 O

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Bakteri metanotrof adalah bakteri Gram negatif, bersifat aerob dan menggunakan metan sebagai sumber karbon dan energi (Auman 2001). Karakteristik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2009, yang merupakan bulan basah. Berdasarkan data iklim dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Dramaga,

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR Oleh : Ir. Indra Gunawan Sabaruddin Tanaman Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman penting karena merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

Jumlah Hari Hujan Gerimis Gerimis-deras Total September. Rata-rata Suhu ( o C) Oktober '13 23,79 13,25 18, November

Jumlah Hari Hujan Gerimis Gerimis-deras Total September. Rata-rata Suhu ( o C) Oktober '13 23,79 13,25 18, November BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang disajikan dalam bab ini adalah pengamatan selintas dan utama. 4.1. Pengamatan Selintas Pengamatan selintas merupakan pengamatan yang hasilnya tidak diuji

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. kompos limbah tembakau memberikan pengaruh nyata terhadap berat buah per

HASIL DAN PEMBAHASAN. kompos limbah tembakau memberikan pengaruh nyata terhadap berat buah per IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kombinasi pupuk Urea dengan kompos limbah tembakau memberikan pengaruh nyata terhadap berat buah per tanaman, jumlah buah per tanaman dan diameter

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN PADI VARIETAS MEKONGGA TERHADAP KOMBINASI DOSIS PUPUK ANORGANIK NITROGEN DAN PUPUK ORGANIK CAIR

RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN PADI VARIETAS MEKONGGA TERHADAP KOMBINASI DOSIS PUPUK ANORGANIK NITROGEN DAN PUPUK ORGANIK CAIR RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN PADI VARIETAS MEKONGGA TERHADAP KOMBINASI DOSIS PUPUK ANORGANIK NITROGEN DAN PUPUK ORGANIK CAIR Oleh : Yudhi Mahmud Fakultas Pertanian Universitas Wiralodra, Jawa Barat

Lebih terperinci

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan IV. Hasil dan pembahasan A. Pertumbuhan tanaman 1. Tinggi Tanaman (cm) Ukuran tanaman yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan pemberian pupuk akar NPK dan pupuk daun memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGELOLAAN HARA NITROGEN TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL

PENGARUH PENGELOLAAN HARA NITROGEN TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL 117 PENGARUH PENGELOLAAN HARA NITROGEN TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL Effects of Nitrogen Management on Yield of Various Types of Rice Cultivars Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian III. TATA CARA PENELITIN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Karakteristik Latosol Cikabayan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan tanah yang digunakan dalam percobaan pupuk organik granul yang dilaksanakan di rumah kaca University Farm IPB di Cikabayan, diambil

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran. 28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan 4.1.1 Tinggi Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis dan dosis amelioran tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman padi ciherang

Lebih terperinci

STUDI KECENDERUNGAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DAN NERACA KARBON PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI. Oleh : ISMININGSIH F

STUDI KECENDERUNGAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DAN NERACA KARBON PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI. Oleh : ISMININGSIH F STUDI KECENDERUNGAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DAN NERACA KARBON PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI Oleh : ISMININGSIH F14050902 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Semawung, Kec. Andong, Boyolali (lahan milik Bapak Sunardi). Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, dimulai bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat peningkatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 KAJIAN TEORITIS 2.1.1 Karakteristik Lahan Sawah Bukaan Baru Pada dasarnya lahan sawah membutuhkan pengolahan yang khusus dan sangat berbeda dengan lahan usaha tani pada lahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Electric Furnace Slag, Blast Furnace Slag dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah 4.1.1. ph Tanah dan Basa-Basa dapat Dipertukarkan Berdasarkan Tabel 3 dan

Lebih terperinci

BAHAN METODE PENELITIAN

BAHAN METODE PENELITIAN BAHAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan penelitian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, dengan ketinggian tempat ± 25 m dpl, dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Kimia Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum diberi perlakuan dapat dilihat pada lampiran 2. Penilaian terhadap sifat kimia tanah yang mengacu pada kriteria Penilaian

Lebih terperinci

Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK) Dari Lahan Sawah

Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK) Dari Lahan Sawah Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK) Dari Lahan Sawah 3 Gas Rumah Kaca (GRK) seperti karbondioksida, uap air, kloroflurokarbon (CFCs), metan dan nitrogen oksida merupakan gas-gas yang dapat memicu meningkatnya

Lebih terperinci

Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman

Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistematika hasil dan pembahasan disajikan dalam beberapa sub bagian yaitu Fluks metana dan karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman; Pengaruh pengelolaan air terhadap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah Dramaga, keadaan iklim secara umum selama penelitian (Maret Mei 2011) ditunjukkan dengan curah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Sawah Perubahan kimia tanah sawah berkaitan erat dengan proses oksidasi reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan

Lebih terperinci

Sumber : Nurman S.P. (http://marisejahterakanpetani.wordpress.com/

Sumber : Nurman S.P. (http://marisejahterakanpetani.wordpress.com/ Lampiran 1. Deskripsi benih sertani - Potensi hasil sampai dengan 16 ton/ha - Rata-rata bulir per-malainya 300-400 buah, bahkan ada yang mencapai 700 buah - Umur panen padi adalah 105 hari sejak semai

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN ADI BUDI YULIANTO F14104065 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Karakteristik Lokasi Penelitian Luas areal tanam padi adalah seluas 6 m 2 yang terletak di Desa Langgeng. Secara administrasi pemerintahan Desa Langgeng Sari termasuk dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Tanaman Caisin Tinggi dan Jumlah Daun Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan pupuk hayati tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun caisin (Lampiran

Lebih terperinci

Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (Grk) Dari Lahan Sawah

Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (Grk) Dari Lahan Sawah AgroinovasI Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (Grk) Dari Lahan Sawah Gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida, uap air, kloroflurokarbon (CFCs), metan dan nitrogen oksida merupakan gas-gas yang dapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Kotoran Kambing Terhadap Sifat Tanah. Tabel 4.1. Karakteristik Tanah Awal Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Kotoran Kambing Terhadap Sifat Tanah. Tabel 4.1. Karakteristik Tanah Awal Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian Kotoran Kambing Terhadap Sifat Tanah. Pemberian dosis kotoran kambing pada budidaya secara tumpang sari antara tanaman bawang daun dan wortel dapat memperbaiki

Lebih terperinci

Lampiran 1. Deskripsi Padi Varietas Ciherang

Lampiran 1. Deskripsi Padi Varietas Ciherang Lampiran 1. Deskripsi Padi Varietas Ciherang Nama Varietas : Ciherang Kelompok : Padi Sawah Nomor Seleksi : S3383-1d-Pn-41 3-1 Asal Persilangan : IR18349-53-1-3-1-3/IR19661-131-3-1//IR19661-131- 3-1///IR64

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, umur masak, ketahanan terhadap hama dan penyakit, serta rasa nasi. Umumnya konsumen beras di Indonesia menyukai

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI

PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI Oleh : YANUESTIKA DWIJAYANTI F14103011 2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Tanaman padi saat berumur 1-3 MST diserang oleh hama keong mas (Pomacea caanaliculata). Hama ini menyerang dengan memakan bagian batang dan daun tanaman yang

Lebih terperinci

PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL

PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL 99 PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL Effect of Plant Spacing on Yield of Various Types of Rice Cultivars Abstrak Penelitian yang bertujuan mempelajari pengaruh jarak tanam terhadap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data penelitian yang diperoleh pada penelitian ini berasal dari beberapa parameter pertumbuhan anakan meranti merah yang diukur selama 3 bulan. Parameter yang diukur

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Bahan Humat terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi 4.1.1 Tinggi Tanaman Tinggi tanaman pada saat tanaman berumur 4 MST dan 8 MST masingmasing perlakuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Gambut berperanan penting dalam biosfer karena gambut terlibat dalam siklus biogeokimia, merupakan habitat tanaman dan hewan, sebagai lingkungan hasil dari evolusi, dan referen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar Hasil Uji t antara Kontrol dengan Tingkat Kematangan Buah Uji t digunakan untuk membandingkan

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

APLIKASI PUPUK UREA PADA TANAMAN JAGUNG. M. Akil Balai Penelitian Tanaman Serealia

APLIKASI PUPUK UREA PADA TANAMAN JAGUNG. M. Akil Balai Penelitian Tanaman Serealia APLIKASI PUPUK UREA PADA TANAMAN JAGUNG M. Akil Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Dalam budi daya jagung perlu memperhatikan cara aplikasi pupuk urea yang efisien sehingga pupuk yang diberikan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di lahan sawah Desa Situgede, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dengan jenis tanah latosol. Lokasi sawah berada pada ketinggian tempat 230 meter

Lebih terperinci

TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI RAMAH IKLIM Climate Smart Agriculture. Mendukung Transformasi Menuju Ekonomi Hijau

TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI RAMAH IKLIM Climate Smart Agriculture. Mendukung Transformasi Menuju Ekonomi Hijau TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI RAMAH IKLIM Climate Smart Agriculture Mendukung Transformasi Menuju Ekonomi Hijau Green Economy and Locally Appropriate Mitigation Actions in Indonesia Latar Belakang Perubahan

Lebih terperinci

Ciparay Kabupaten Bandung. Ketinggian tempat ±600 m diatas permukaan laut. dengan jenis tanah Inceptisol (Lampiran 1) dan tipe curah hujan D 3 menurut

Ciparay Kabupaten Bandung. Ketinggian tempat ±600 m diatas permukaan laut. dengan jenis tanah Inceptisol (Lampiran 1) dan tipe curah hujan D 3 menurut III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di lahan sawah Sanggar Penelitian Latihan dan Pengembangan Pertanian (SPLPP) Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran Unit

Lebih terperinci

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul)

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul) Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul) PENDAHULUAN Pengairan berselang atau disebut juga intermitten adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian untuk:

Lebih terperinci

THE INFLUENCE OF N, P, K FERTILIZER, AZOLLA (Azolla pinnata) AND PISTIA (Pistia stratiotes) ON THE GROWTH AND YIELD OF RICE (Oryza sativa)

THE INFLUENCE OF N, P, K FERTILIZER, AZOLLA (Azolla pinnata) AND PISTIA (Pistia stratiotes) ON THE GROWTH AND YIELD OF RICE (Oryza sativa) JURNAL PRODUKSI TANAMAN Vol. 1 No. 3 JULI-2013 ISSN : 2338-3976 PENGARUH PUPUK N, P, K, AZOLLA (Azolla pinnata) DAN KAYU APU (Pistia stratiotes) PADA PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI SAWAH (Oryza sativa) THE

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di lahan kering dengan kondisi lahan sebelum pertanaman adalah tidak ditanami tanaman selama beberapa bulan dengan gulma yang dominan sebelum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teoritis 2.1.1. Lahan Sawah Tadah Hujan Sawah tadah hujan adalah lahan sawah yang sangat tergantung pada curah hujan sebagai sumber air untuk berproduksi. Jenis sawah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Desa Situ Gede Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 Februari 2010. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2 Rasional Penambahan pupuk N pada lahan gambut dapat mempengaruhi emisi GRK. Urea merupakan pupuk N inorganik

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di lahan sawah Desa Parakan, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor dan di Laboratorium Ekofisiologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 35 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Indeks Panen dan Produksi Tanaman Indeks panen menunjukkan distribusi bahan kering dalam tanaman yang menunjukkan perimbangan bobot bahan kering yang bernilai ekonomis dengan

Lebih terperinci

Komponen PTT Komponen teknologi yang telah diintroduksikan dalam pengembangan usahatani padi melalui pendekatan PTT padi rawa terdiri dari:

Komponen PTT Komponen teknologi yang telah diintroduksikan dalam pengembangan usahatani padi melalui pendekatan PTT padi rawa terdiri dari: AgroinovasI Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Rawa Meningkatkan Produktivitas Dan Pendapatan Petani Di Lampung, selain lahan sawah beririgasi teknis dan irigasi sederhana, lahan rawa juga cukup potensial

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Karakteristik Tanah di Lahan Percobaan Berdasarkan kriteria Staf Pusat Penelitian Tanah (1983), karakteristik Latosol Dramaga yang digunakan dalam percobaan disajikan

Lebih terperinci

TATA CARA PENELTIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas

TATA CARA PENELTIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas III. TATA CARA PENELTIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian telah dilaksanakan pada Bulan Juli 2016 November

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan di desa Kleseleon, kecamatan Weliman, kabupaten Malaka, proinsi Nusa Tenggara Timur pada lahan sawah bukaan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim global merupakan salah satu issu lingkungan penting dunia dewasa ini, artinya tidak hanya dibicarakan di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Padi sawah dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu : padi sawah (lahan yang cukup memperoleh air, digenangi waktu-waktu tertentu terutama musim tanam sampai

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul 147 PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul Karakter morfologi tanaman pada varietas unggul dicirikan tipe tanaman yang baik. Hasil penelitian menunjukkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penanaman dilakukan pada bulan Februari 2011. Tanaman melon selama penelitian secara umum tumbuh dengan baik dan tidak ada mengalami kematian sampai dengan akhir penelitian

Lebih terperinci

TEKNIK PEMUPUKAN N DENGAN MENGGUNAKAN BWD PADA BEBERAPA VARIETAS PADI DAN JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL

TEKNIK PEMUPUKAN N DENGAN MENGGUNAKAN BWD PADA BEBERAPA VARIETAS PADI DAN JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TEKNIK PEMUPUKAN N DENGAN MENGGUNAKAN BWD PADA BEBERAPA VARIETAS PADI DAN JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL F.Tabri Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Pertanaman padi yang membutuhkan banyak

Lebih terperinci

BAB IV BASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV BASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV BASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Tanaman Padi Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman padi hingga masulcnya awal fase generatif meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham

Lebih terperinci

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH 11:33 PM MASPARY Selain ditanam pada lahan sawah tanaman padi juga bisa dibudidayakan pada lahan kering atau sering kita sebut dengan budidaya padi gogo rancah. Pada sistem

Lebih terperinci

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan I. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan Februari-Juli 2016. Percobaan dilakukan di Rumah Kaca dan laboratorium Kimia

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 Maret 2012. Persemaian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian,

Lebih terperinci

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida, PEMBAHASAN PT National Sago Prima saat ini merupakan perusahaan satu-satunya yang bergerak dalam bidang pengusahaan perkebunan sagu di Indonesia. Pengusahaan sagu masih berada dibawah dinas kehutanan karena

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Juli 2017 memiliki suhu harian rata-rata pada pagi hari sekitar 27,3 0 C dan rata rata

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Juli 2017 memiliki suhu harian rata-rata pada pagi hari sekitar 27,3 0 C dan rata rata BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengamatan Penunjang 4.1.1 Kondisi Lingkungan Tempat Penelitian Lokasi percobaan bertempat di desa Jayamukti, Kec. Banyusari, Kab. Karawang mendukung untuk budidaya tanaman

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi

PEMBAHASAN UMUM. Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi 102 PEMBAHASAN UMUM Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi dengan pembuatan saluran irigasi dan drainase agar air dapat diatur. Bila lahan tersebut dimanfaatkan untuk bertanam

Lebih terperinci