IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau Bahan gambut dari Riau dianalisis berdasarkan karakteristik ekosistem atau fisiografi gambut yaitu gambut marine (coastal peat swamp), gambut payau (brackis peat swamp) dan gambut air tawar (fresh water peat swamp). Karakteristik ekosistem dan lokasi pengambilan bahan gambut dan penggunaan lahannya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Lokasi Pengamatan dan Pengambilan Contoh Bahan Gambut. No. Karakteristik Lokasi Deskripsi Lokasi Gambut Ekosistem Gambut 1 Gambut Marine Kabupaten Perkebunan Kelapa Sawit < 6 tahun (37 bulan) Dumai Perkebunan Kelapa Sawit > 6 tahun (12 tahun) Kabupaten Hutan Campuran, Jenis mangrove dan nipa Bengkalis Profil: BM <6/1, BM >6/2. 2 Gambut Payau Kabupaten Siak Hutan Sekunder, Pandanus dan Oncosperma (Dipterocarpacea) Kabupaten Indragiri Hilir Perkebunan Kelapa Sawit <6 tahun (12 bulan) Perkebunan Kelapa Sawit > 6 tahun (9 tahun) Desa Profil: TKWL 02 <6/1, TKWL 01 SF, Kempas Jaya KR. Siak 3 >6/3 3 Gambut Air Tawar Kabupaten Kampar Perkebunan Kelapa Sawit >6 tahun (15 Tahun) Profil: Galuh 4 >6/4 Didominasi oleh Pholidocarpus Bahan gambut marine diambil di kebun kelapa sawit yang telah berumur lebih dari 6 tahun (12 tahun) (BM 2) dan kelapa sawit yang berumur kurang dari 6 tahun (37 bulan) (BM 1). Berdasarkan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah (2006), tanah gambut marine di kebun kelapa sawit berumur kurang dari 6 tahun tergolong dalam Typic Tropohemist (Lampiran 1). Tanah tersebut mempunyai ketebalan bahan gambut 700 cm, kedalaman air tanah 72 cm di bawah permukaan tanah dan kondisi drainase agak cepat. Tanah gambut ini terletak di Kecamatan Bukit, Kabupaten Bengkalis dengan letak lintang 01 o LU dan 101 o BT. Gambut marine di kebun kelapa sawit berumur lebih dari 6 tahun (12 tahun) tergolong dalam Teric Tropohemist (Lampiran 2). Tanah tersebut mempunyai ketebalan bahan gambut 55 cm, kedalaman air tanahnya mencapai 23 cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong agak cepat. Tanah gambut ini terletak pada lintang 01 o LU dan 101 o BT. Tanah gambut payau diambil pada kebun kelapa sawit yang dikelola lebih dari 6 tahun (KR. Siak 3), dan kebun kelapa sawit yang dikelola kurang dari 6

2 tahun (TKWL 02) serta tanah gambut di hutan sekunder (Forest) yang berdekatan dengan wilayah tersebut. Gambut payau di kebun kelapa sawit berumur kurang dari 6 tahun (12 bulan) tergolong dalam Typic Tropohemist (Lampiran 3). Tanah tersebut mempunyai ketebalan bahan gambut 260 cm, kedalaman air tanahnya mencapai 74 cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong agak lambat. Tanah gambut ini terletak pada lintang 00 o LU dan 101 o BT. Gambut payau di kebun kelapa sawit berumur lebih dari 6 tahun (9 tahun) tergolong dalam Teric Tropohemist (Lampiran 4). Tanah tersebut mempunyai ketebalan bahan gambut 44 cm, kedalaman air tanahnya mencapai 40 cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong cepat. Tanah gambut ini terletak pada lintang 01 o LU dan 102 o BT. Gambut payau di hutan tergolong dalam Typic Tropohemist (Lampiran 5). Vegetasi yang hidup di hutan gambut payau adalah Pandanus dan Oncosperma (Dipterocarpacea). Tanah ini mempunyai ketebalan bahan gambut lebih dari 480 cm, kedalaman air tanahnya mencapai 60 cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong agak cepat. Tanah gambut ini terletak pada Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak dengan letak lintang 00 o LU dan 101 o BT. Tanah gambut air tawar diambil di kebun kelapa sawit berumur lebih dari 6 tahun (Galuh 4) yaitu di Kebun PTPN V Sei Galuh, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Gambut air tawar di kebun kelapa sawit berumur lebih dari 6 tahun (15 tahun) tergolong dalam Typic Tropohemist (Lampiran 6). Tanah tersebut mempunyai ketebalan bahan gambut 240 cm, kedalaman air tanahnya mencapai 33 cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong agak lambat. Tanah gambut ini terletak pada lintang 00 o LU, 101 o BT. Tanah gambut marine yang digunakan selama kurang dari 6 tahun memiliki ketebalan lebih besar dibandingkan tanah gambut marine yang dikelola lebih dari 6 tahun. Tanah gambut payau yang digunakan selama kurang dari 6 tahun juga memiliki ketebalan lebih besar dibandingkan tanah gambut payau yang dikelola lebih dari 6 tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketebalan tanah gambut berkurang dengan lama penggunaan terutama akibat drainase, dekomposisi maupun pemadatan.

3 4.2. Tingkat Dekomposisi, Karbon Organik dan Kadar Abu Bahan Gambut Kadar serat gambut adalah volume bahan organik tidak terdekomposisi yang menyusun tanah organik yang berasal dari vegetasi di wilayah tersebut. Jaringan-jaringan tanaman tersebut masih mempertahankan struktur sel yang dapat dikenali tanaman asalnya. Pada bahan-bahan yang sangat terdekomposisi, serat hampir tidak ada. Kadar serat gambut berperan sebagai salah satu faktor penentu klasifikasi gambut berdasarkan dekomposisi dan tingkat kematangannya. Kadar serat gambut penting peranannya sebagai penyusun dasar atau kerangka tanah gambut. Nilai rataan kadar serat gambut di Riau bervariasi dengan kedalaman. Nilai kadar serat rata-rata meningkat dengan makin dalamnya lapisan gambut. Kenaikan nilai kadar serat menunjukkan kandungan karbon organik yang semakin tinggi, yang berarti laju dekomposisi bahan gambut lebih lambat dibandingkan lapisan atasnya. Nilai kadar serat gambut Riau disajikan pada Tabel 3. Pada gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun memiliki kadar serat berkisar dari 30-50% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 0 sampai pada kedalaman 60 cm. Berdasarkan klasifikasi bahan gambut menurut Soil Survey Staff (1999), kadar serat dan indeks pirofosfat tersebut tergolong mempunyai tingkat dekomposisi hemik. Gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun memiliki kadar serat berkisar dari 60-70% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 1,5-4 sampai pada kedalaman 110 cm dan mempunyai tingkat dekomposisi hemik, sedangkan pada kedalaman cm mempunyai tingkat dekomposisi fibrik. Pada gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun memiliki kadar serat 40% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 0-1 pada kedalaman 0-50 cm tergolong mempunyai tingkat dekomposisi Hemik. Gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun kadar serat berkisar dari 60-70% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 2-4 sampai pada kedalaman 250 cm tergolong mempunyai tingkat dekomposisi hemik. Pada gambut payau di hutan memiliki kadar serat berkisar dari 40-70% sampai pada kedalaman 250 cm dan 80% pada kedalaman cm. Dengan kadar serat dan indeks pirofosfat tersebut sampai kedalaman 250 cm mempunyai tingkat dekomposisi hemik, sedangkan pada kedalaman cm mempunyai tingkat dekomposisi fibrik.

4 Tabel 3. Hubungan Kadar Serat, Indeks Pirofosfat dengan Tingkat Dekomposisi Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi Marine, Payau, dan Air Tawar. Umur Kelapa Sawit >6 Tahun Fisiografi Marine Fisiografi Payau Fisiografi Air Tawar Tingkat Tingkat Tingkat KS IP KS IP KS IP Dekomposisi Dekomposisi Dekomposisi % 0 Hemik % 1 Hemik % 2 Hemik % 0 Hemik % 0 Hemik % 3 Hemik % 4 Hemik % 4 Hemik Umur Kelapa Sawit <6 Tahun dan Hutan Sekunder Fisiografi Marine Fisiografi Payau Fisiografi Hutan Sekunder % 1,5 Hemik % 2 Hemik % 4 Hemik % 1,5 Hemik % 2 Hemik % 3 Hemik % 4,0 Hemik % 2 Hemik % 4 Hemik % 4,0 Fibrik % 4 Hemik % 4 Hemik % 4 Hemik % 4 Fibrik Keterangan: KS = Kadar Serat, IP = Indeks Pirofosfat

5 Pada gambut air tawar yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun kadar serat berkisar dari 30-60% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 2-4 sampai pada kedalaman 240 cm dan mempunyai tingkat dekomposisi hemik. Tanah gambut air tawar lebih dari 6 tahun rata-rata memiliki nilai kadar serat yang lebih tinggi pada lapisan teratas gambut (0-20 cm) daripada gambut marine dan payau lebih dari 6 tahun. Hal tersebut menunjukkan gambut air tawar memiliki kandungan karbon organik yang lebih tinggi dari gambut marine dan payau. Pada pengelolaan yang sama nilai kadar serat tersebut menunjukkan bahwa gambut marine telah terdekomposisi lebih lanjut daripada gambut air tawar walaupun laju dekomposisi gambut beragam dengan kedalaman tanah. Tanah gambut payau lebih dari 6 tahun dan kurang dari 6 tahun rata-rata memiliki nilai kadar serat yang lebih tinggi pada lapisan teratas gambut (0-20 cm) daripada gambut marine dengan pengelolaan yang sama. Hal tersebut menunjukkan gambut payau memiliki kandungan karbon organik yang lebih tinggi dari gambut marine. Pada pengelolaan yang sama nilai kadar serat tersebut menunjukkan laju dekomposisi gambut marine lebih cepat dari gambut payau dan air tawar. Gambut marine dan transisi berumur kurang dari 6 tahun rata-rata memiliki nilai kadar serat yang lebih tinggi daripada gambut berumur lebih dari 6 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur dan waktu pengelolaan tanaman kelapa sawit berpengaruh terhadap laju dekomposisi semakin lama waktu pengelolaan lahan gambut, maka laju dekomposisi semakin meningkat. Tingginya kadar serat gambut air tawar disebabkan gambut ini terbentuk pada lokasi yang mendapatkan air yang berasal dari air hujan saja. gambut air tawar yang tinggi membuat air sungai tidak dapat melimpas sampai ke wilayah pembentukan gambut. Berdasarkan proses pembentukannya, gambut air tawar tergolong sebagai gambut ombrogen yang terbentuk terutama dalam lingkungan yang dipengaruhi genangan air hujan dan vegetasi yang tumbuh di atasnya miskin hara dan bersifat oligotropik dengan ciri kemasaman yang tinggi dan kadar hara rendah. Gambut payau mendapatkan deposit air tidak hanya dari air hujan tetapi juga dari limpasan air sungai yang membawa garam-garam mineral berupa kationkation basa K, Ca dan Mg sedangkan gambut marine mendapatkan deposit air juga dari pengaruh pasang surut air laut, sehingga garam-garam mineral yang terkandung lebih tinggi dan kadar serat pada lokasi ini menjadi lebih rendah. Kadar serat meningkat dengan bertambahnya ketebalan gambut. Semakin tebal gambut semakin rendah laju dekomposisinya. Gambut terbentuk akibat

6 proses dekomposisi bahan-bahan organik tumbuhan yang terjadi secara anaerob dengan laju akumulasi bahan organik lebih tinggi dibandingkan laju dekomposisinya. Akumulasi gambut umumnya akan membentuk lahan gambut pada lingkungan jenuh atau tergenang air, atau pada kondisi yang menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat. Adanya keragaman tingkat kematangan pada tiap gambut di setiap fisiografi (marine, payau, dan air tawar) disebabkan oleh adanya faktor yang mempengaruhi pembentukan gambut seperti vegetasi yang tumbuh diatas permukaan, bahan mineral yang berada di bawahnya, aktivitas mikroorganisme, lingkungan pembentukan gambut dan pengelolaan yang sama untuk kebun kelapa sawit. Umur dan waktu pengelolaan tanaman kelapa sawit berpengaruh terhadap proses laju dekomposisi. Semakin lama pengelolaan kebun kelapa sawit maka semakin tinggi laju dekomposisi gambut sehingga mengakibatkan berkurangnya ketebalan gambut. Kadar C-organik adalah parameter laju dekomposisi bahan organik dimana C-organik dioksidasi menghasilkan CO2, sehingga dengan meningkatnya laju dekomposisi bahan organik maka kadar C-organik akan menurun. Karbon merupakan penyusun utama bahan organik. Karbon ditangkap tanaman berasal dari CO2 udara, menjadi jaringan tanaman melalui fotosintesis, kemudian bahan organik didekomposisikan kembali dan membebaskan sejumlah karbon. Kadar C-organik tanah gambut berbeda dengan bertambahnya kedalaman tanah gambut. Nilai rata-rata C-organik menunjukkan peningkatan nilai pada lapisan bagian bawah gambut, karena gambut pada lapisan laju dekomposisinya lebih tinggi daripada lapisan yang ada di bawahnya. Kadar C-organik tanah gambut asal Riau disajikan pada Tabel 4. Pada gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun kadar C-organik berkisar dari 12,91-34,70% sampai pada kedalaman 120 cm. Gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun memiliki kadar C-organik berkisar dari 24,25-46,45% sampai pada kedalaman 200 cm. Pada gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun memiliki kadar C-organik berkisar dari 9,70-47,70% sampai pada kedalaman 120 cm. Gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun kadar C-organik berkisar dari 7,19-53,66% sampai pada kedalaman 350 cm. Pada gambut payau di hutan memiliki kadar C-organik berkisar dari 56,77-57,25% sampai pada kedalaman 350 cm. Pada gambut air tawar yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun kadar C-organik berkisar dari 56,53-57,69% sampai pada kedalaman

7 240 cm. Kadar C-organik gambut air tawar lebih tinggi daripada gambut payau dan marine. Hal ini karena laju dekomposisi gambut marine dan payau lebih tinggi daripada gambut air tawar, sehingga C-organik tersisa dalam gambut air tawar lebih tinggi. Kadar C-organik gambut menurun pada tingkat dekomposisi yang lebih tinggi. Kadar C-organik gambut payau di hutan lebih tinggi dibandingkan gambut yang dikelola sebagai perkebunan kelapa sawit. Gambut payau yang dikelola pada kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun dan kurang dari 6 tahun rata-rata memiliki kadar C-organik yang lebih tinggi daripada gambut marine pada pengelolaan yang sama. Gambut marine dan payau yang berumur lebih dari 6 tahun memiliki kandungan C-organik yang lebih rendah dibandingkan gambut berumur kurang dari 6 tahun. Adanya tindakan pengelolaan lahan gambut dalam jangka waktu yang lebih lama dapat mempercepat laju dekomposisi dan proses pematangan gambut, sehingga kandungan C-organik gambut menjadi rendah. Pengelolaan gambut untuk perkebunan kelapa sawit mengakibatkan kadar C-organik tanah menurun. Pengaruh fisiografi berpengaruh pada kadar C-organik didalam tanah gambut. Laju dekomposisi gambut air tawar yang lebih lambat akibat lebih miskin membuat kandungan C-organik tanah gambut ini menjadi lebih tinggi di bandingkan gambut payau dan pantai. Berdasarkan tingkat kesuburannya gambut marine digolongkan sebagai gambut eutrofik yang banyak mengandung bahan mineral, terutama kalsium karbonat. Gambut eutrofik termasuk gambut yang subur karena memperoleh perkayaan hara mineral secara alami dari lingkungannya. Sebagai akibat laju dekomposisi gambut marine lebih tinggi dibandingkan gambut pada fisiografi lainnya sehingga kadar C-organiknya tergolong rendah.

8 Tabel 4. Nilai C-organik Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi Marine, Payau, dan Air Tawar. Fisiografi Marine (> 6 Thn) Payau (> 6 Thn) Air Tawar (> 6Thn) Hutan Sekunder Marine (< 6 Thn) Payau (< 6 Thn) C- organik C- organik C- organik C- organik C- organik C- organik % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % Tabel 5. Nilai Kadar Abu Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi Marin, Payau, dan Air Tawar. Fisiografi Marine (> 6 Thn) Payau (> 6 Thn) Air Tawar (> 6Thn) Hutan Sekunder Marine (< 6 Thn) Payau (< 6 Thn) KA KA KA KA KA KA % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % ,54% % % Keterangan: KA = Kadar Abu

9 Kadar abu tanah gambut menunjukkan volume bahan mineral yang dikandung oleh bahan gambut. Kandungan mineral yang besar didalam tanah, mengakibatkan kadar abu yang tinggi. Kadar abu adalah sisa proses oksidasi/pembakaran dari bahan mineral yang terkandung di dalam gambut. Kadar abu gambut Riau bervariasi menurut kedalaman, nilai kadar abu rata-rata menunjukkan penurunan dengan semakin dalamnya gambut. Nilai kadar abu pada lapisan atas tanah gambut lebih tinggi dari lapisan gambut dibawahnya. Rendahnya kadar abu pada lapisan bawah gambut menunjukkan bahwa pada lapisan ini didominasi oleh bahan-bahan organik yang belum terlapuk. Rataan kadar abu gambut Riau berdasarkan fisiografi gambut (marine, payau, dan air tawar) disajikan pada Tabel 5. Hanya pada gambut marine yang digunakan lebih dari 6 tahun yang memiliki kadar abu yang tinggi sekitar 50-80%. Pada gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun memiliki kadar abu berkisar dari 57,18-80,31% sampai pada kedalaman 80 cm. Gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun memiliki kadar abu berkisar dari 3,77-51,59% sampai pada kedalaman 200 cm. Pada gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun memiliki kadar abu berkisar dari 5,48-5,67% sampai pada kedalaman 50 cm. Gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun kadar abu berkisar dari 4,50-91,54% sampai pada kedalaman 350 cm. Pada gambut payau di hutan memiliki kadar abu berkisar dari 1,04-1,90% sampai pada kedalaman 350 cm. Pada gambut air tawar yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun kadar abu berkisar dari 0,61-3,23% sampai pada kedalaman 80 cm. Kadar abu gambut air tawar lebih rendah daripada gambut payau dan marine. Umumnya kadar abu gambut meningkat pada tingkat dekomposisi yang lebih tinggi. Kadar abu lapisan terbawah gambut marine dan payau beberapa lebih tinggi dibandingkan lapisan atasnya. Hal ini disebabkan pada lapisan terbawah gambut terdapat lapisan mineral liat yang mengandung banyak kation-kation. Gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun memiliki kadar abu yang tergolong tinggi. Hal ini disebabkan tingginya laju dekomposisi tanah gambut yang membuat gambut semakin matang sehingga proporsi komponen mineral terhadap bahan gambut lebih tinggi. Kadar abu gambut payau yang masih berupa hutan sekunder rata-rata lebih rendah dibandingkan gambut dari ketiga fisiografi lainnya. Gambut payau lebih dari 6 tahun dan kurang dari 6 tahun rata-rata memiliki nilai kadar abu yang lebih

10 rendah daripada gambut marine lebih dari 6 tahun dan kurang dari 6 tahun. Hal ini menunjukkan tingkat laju dekomposisi gambut payau lebih rendah daripada gambut marine. Berdasarkan umur tanaman kelapa sawit, gambut marine dan payau pada umur tanaman lebih dari 6 tahun memiliki kadar abu yang lebih rendah dibandingkan dengan gambut umur tanaman kurang dari 6 tahun. Tanah gambut yang telah diusahakan sebagai perkebunan kelapa sawit telah mengalami peningkatan kadar abu sebagai akibat pengelolaan kebun kelapa sawit. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pengelolaan lahan gambut dalam jangka waktu yang lebih lama dapat mempercepat pematangan bahan gambut, sehingga kadar abu gambut menjadi tinggi. Pengelolaan gambut untuk perkebunan kelapa sawit mengakibatkan kadar abu meningkat. Pengaruh fisiografi menentukan kadar abu di dalam gambut. Tanah gambut marine yang mendapat deposit air dari limpasan sungai dan pasang surut air laut membuat kadar abu menjadi lebih tinggi dibandingkan gambut payau dan air tawar karena tanah banyak mengandung garam-garam mineral (Ca, Mg, K) Kadar Air Kritis dan Porositas Bahan Gambut Kadar air kritis menggambarkan ikatan antara air dan bahan organik yang terdapat dalam tanah gambut di mana jika terjadi pengeringan lebih lanjut maka gambut dapat mengalami kejadian kering tidak dapat balik. Ikatan antara air dengan bahan organik memiliki peranan yang penting dalam ketersediaan air di dalam tanah gambut. Air yang terikat oleh asam organik berpengaruh terhadap stabilitas ikatan unsur hara dalam tanah. Kering tidak balik gambut adalah keadaan di mana tanah gambut tidak dapat menyerap air kembali setelah terjadi proses pengeringan. Gugus karboksil dan fenolik dari asam, humus, dan lignin berpengaruh terhadap sifat kering tidak balik tanah gambut. Dengan berkurangnya gugus-gugus karboksil dan fenolik yang bersifat hidrofilik pada tanah gambut akan menurunkan ketahanan gambut terhadap kejadian kering tidak balik setelah terjadi pengeringan lebih lanjut. Berkurangnya kadar air tanah gambut dapat meningkatkan proporsi kering tidak balik. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik) karena kekeringan. Akibatnya kemampuan menyerap air gambut menurun karena laju dekomposisi meningkat sehingga gugus-gugus karboksilat COOH dan fenolat ( OH) yang

11 bersifat hidrofilik berkurang dan berubah bentuk menjadi senyawa yang bersifat hidrofobik, sehingga gambut sulit diusahakan bagi pertanian. Tabel 6 menyajikan kadar air kritis pada peluang 60-80% untuk kejadian kering tidak balik berdasarkan klasifikasi Azri (1999). Jika mengacu pada hasil pengamatan (Tabel 7) terdapat perbedaan nilai kadar air kritis di setiap fisiografinya, hal ini dikarenakan adanya perbedaan sifat fisik dan kimia gambut dari berbagai lokasi pengambilan tanah gambut dan perbedaan pengelolaan lahan gambut. Tabel 6. Kisaran Kadar Air Kritis pada Peluang 60-80% Kejadian Kering Tidak Balik (Azri, 1999). Fisiografi Gambut Kadar Air Kritis (%) Pantai 229,07-306,64 Transisi 252,92-338,57 Pedalaman 271,79-365,02 Tabel 7. Nilai Kadar Air Kritis Tanah Gambut asal Riau dengan Peluang % Kering Tidak Balik. Fisiografi Tingkat Kematangan Nilai Kadar Air (%) Gambut Marine < 6 Tahun Hemik 164,13-182,65 Gambut Marine > 6 Tahun Hemik 126,38-130,01 Gambut Hutan (Payau) Hemik 318,69-326,65 Gambut Payau < 6 Tahun Hemik 236,83-248,94 Gambut Payau > 6 Tahun Hemik 160,77-165,36 Gambut Air Tawar> 6 Tahun Hemik 266,67-303,17 Hasil penelitian Azri (1999) menunjukkan bahwa gambut Riau memiliki rata-rata nilai kadar air kritis sebesar 229,07-306,64% untuk gambut Pantai, 252,92-338,57% untuk gambut Transisi dan 271,79-365,02% untuk gambut pedalaman, yang artinya bahan gambut Riau memiliki variasi nilai kadar air kritis pada tiap fisiografinya. Gambut marine Riau memiliki nilai kadar air kritis yang lebih rendah dari gambut payau dan air tawar. Gambut pantai, transisi dan pedalaman sepadan dengan gambut marine, payau dan air tawar. Hasil pengamatan pada penelitian ini menghasilkan pola yang sama yaitu, batas kadar air kritis gambut marine lebih rendah dari gambut payau dan air tawar. Kadar air kritis gambut hutan (payau), air tawar (>6 tahun), payau (<6 tahun), payau (>6 tahun), marine (<6 tahun), dan marine (> 6 tahun) berturut-turut mempunyai kisaran sebesar 318,69-326,65%, 266,67-303,17%, 236,83-248,94%, 160,77-165,36%, 164,13-182,65%, dan 126,38-130,01%.

12 Dari kedua hasil pengamatan, didapati nilai kadar air kritis gambut marine yang paling rendah dibandingkan dengan fisiografi yang lain. Hal ini disebabkan gambut marine memiliki tingkat kematangan yang lebih tinggi dibandingkan gambut payau dan air tawar yang artinya kemampuan menahan air lebih tinggi pada gambut yang lebih matang karena proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme akan menghasilkan asam-asam organik seperti asam fulvat dan asam humat yang merupakan sumber muatan negatif. Dengan demikian akan terjadi ikatan organo-kation sehingga air akan terikat kuat sehingga gambut pantai memiliki nilai kadar air kritis yang lebih rendah dan memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap kejadian kering tidak balik. Adanya perbedaan lokasi juga mempengaruhi kadar air kritis gambut. Selain itu, gambut pantai yang terbentuk pada lokasi yang dipengaruhi pasang surut air laut menyebabkan kation-kation basa yang terkandung di dalam gambut mengikat kuat partikel-partikel air membentuk jembatan air (water bridge) sehingga lebih tahan terhadap terjadinya kering tidak balik. Porositas atau volume pori total tanah adalah bagian/rongga tanah yang tidak terisi bahan padat sehingga dapat diisi oleh udara dan air. Pori-pori tanah dapat berupa pori kapiler dalam partikel tanah atau non kapiler di antara zarahzarah tanah pada kerangka/matriks tanah. Volume pori total gambut beragam sesuai dengan tingkat dekomposisi dan kepadatannya. Menurut Bouman dan Driessen (1985) bahwa porositas tanah gambut alami dapat mencapai 95% volumenya pada gambut fibrik dan berkurang sesuai dengan tingkat dekomposisi tetapi tidak lebih kecil dari 80% pada gambut lapisan teratas. Tabel 8 menyajikan nilai volume pori total dan pori aerasi gambut berdasarkan hasil penelitian Nicholas (2002). Tabel 8. Volume Pori Total (VPT) dan Pori Aerasi Pada Gambut Pantai (Marine) dan Transisi (Payau) asal Pantai Samuda dan Sampit (Nicholas, 2002). Fisiografi VPT Pori aerasi Gambut Pantai (Marine) 88,08 15,32 Gambut Transisi (Payau) 88,63 17,64 Hasil penelitian Nicholas (2002) menunjukkan bahwa, gambut dari Pantai Samuda dan Sampit rata-rata memiliki nilai VPT sebesar 88,08-88,71 untuk gambut marine dan 88,63-89,29 untuk gambut payau. Untuk pori aerasi, gambut rata-rata memiliki nilai sebesar 15,32-19,84 untuk gambut marine dan 17,64-23,12 untuk gambut payau. Pori aerasi didefinisikan sebagai bagian atau ruang di

13 dalam tanah (gambut) yang memungkinkan udara dapat bergerak pada kondisi air tanah tertentu. Porositas tanah gambut marine lebih rendah dari gambut payau disebabkan gambut pantai memiliki laju dekomposisi yang lebih tinggi sehingga tanah gambut menjadi lebih padat dan mempunyai ukuran partikel yang lebih kecil. Porositas gambut bergantung pada bobot isi (bulk density) dan kerapatan lindak (particle density). Bobot isi bergantung pada tingkat dekomposisi dan kadar abu. Porositas menentukan kapasitas menahan air pada kondisi jenuh dan daya menahan beban (bearing capasity) gambut Porositas Bahan Gambut dalam Hubungannya dengan Kadar Serat, Kadar C-organik, Kadar Abu dan Kadar Air Kritis Gambut payau memiliki porositas yang lebih tinggi daripada gambut marine. Perbedaan porositas gambut antara gambut payau dan marine diduga terkait dengan adanya perubahan fraksi bahan gambut yang tercermin dengan penurunan kadar serat dan berkurangnya kadar C-organik tanah gambut. Kadar C- organik bergantung pada tingkat dekomposisi bahan gambut, sehingga semakin tinggi kadar C-organik maka semakin tinggi pula nilai porositas. Porositas yang tinggi membuat tanah memiliki banyak ruang pori untuk ditempati air dan udara. Faktor lain yang memungkinkan berpengaruh terhadap penurunan porositas adalah kehadiran liat sebagai akibat adanya pasang surut sungai dan air laut dan lapisan bahan mineral di bawah bahan gambut. Hal ini selaras dengan kandungan kadar abu gambut marine yang lebih tinggi dibandingkan gambut payau. Kadar abu adalah sisa proses oksidasi/pembakaran dari bahan mineral yang terkandung di dalam gambut. Penurunan pori aerasi juga banyak diakibatkan adanya pengaruh dari penurunan kadar serat gambut yang menjadi lebih rendah sebagai akibat dari meningkatnya kematangan akibat penggunaan sebagai lahan untuk kebun kelapa sawit karena semakin tinggi tingkat kematangan bahan gambut, kadar serat akan mengalami penurunan dan ukuran partikel gambut menjadi lebih halus dan lebih kecil Kadar C-organik Gambut dalam Hubungannya dengan Kadar Serat dan Kadar Air Kritis Kadar C-organik gambut payau yang masih berupa hutan rata-rata lebih tinggi dibandingkan gambut dari ketiga fisiografi lainnya yang telah dibuka sebagai perkebunan kelapa sawit.

14 Berdasarkan umur tanaman kelapa sawit, gambut pada umur tanaman >6 tahun di fisiografi marine dan payau memiliki kadar air kitis yang lebih rendah dibandingkan dengan gambut umur tanaman <6 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pengelolaan lahan gambut dalam jangka waktu yang lebih lama dapat mempercepat pematangan bahan gambut karena drainase dan pemupukan sehingga kadar serat semakin menurun dan menurunnya kadar C-organik di dalam tanah gambut diikuti penurunan kadar air kritisnya. Tingginya kadar C-organik menunjukkan laju dekomposisi yang rendah pada gambut. Laju dekomposisi yang rendah membuat bahan organik menumpuk Kadar Abu Gambut dalam Hubungannya dengan Kadar Serat dan Kadar Air Kritis Gambut Riau memiliki rataan nilai kadar abu yang rendah berkisar di bawah 6%, dan terdapat kecenderungan nilai kadar abu menurun dengan kedalaman sampai kedalaman tertentu. Kadar abu gambut payau yang masih berupa hutan rata-rata lebih rendah dibandingkan gambut dari ketiga fisiografi lainnya (marine, payau, dan air tawar) yang telah dibuka sebagai perkebunan kelapa sawit. Kadar abu gambut air tawar lebih rendah daripada gambut payau dan marine. Umumnya kadar abu gambut meningkat pada tingkat dekomposisi yang lebih tinggi yang memiliki kadar serat relatif rendah. Hal ini disebabkan gambut memiliki tingkat kematangan yang lebih tinggi serta pengaruh penambahan ion seperti Ca, Mg, K dari air laut dan limpasan air sungai yang banyak membawa bahan mineral Kadar Air Kritis dalam Hubungannya dengan Kering Tidak Balik Kering tidak balik terjadi setelah terjadinya periode pengeringan intensif. Sifat gambut yang berhubungan erat dengan peluang kejadian kering tidak balik adalah kadar abu, kadar air, serta komposisi bahan gambut seperti lignin, selulosa, hemiselulosa, kemasaman tanah, kandungan gugus fungsi COOH dan fenolat (- OH) (Azri, 1999). Gugus karboksil (COOH) dan fenol (-OH) banyak berperan dalam penyerapan air sehingga bila jumlah gugus fungsional tersebut berkurang dapat menyebabkan kering tidak balik. Berkurangnya kadar air tanah gambut karena pengeringan dapat dikaitkan dengan menurunnya konsentrasi gugus COOH dan fenolat (-OH). Dengan demikian berkurangnya gugus COOH dan

15 fenolat (-OH) karena pengeringan gambut meningkatkan proporsi kering tidak balik. Menurut Tan (1986) bahwa tingkat humifikasi mempengaruhi kemampuan tanah gambut dalam mengerap kation, gambut yang telah matang mempunyai proporsi asam humat yang lebih tinggi dibanding asam fulvat. Kedua asam tersebut mempunyai gugus COOH dan fenolat (-OH) yang dapat menentukan besarnya kapasitas tukar kation atau kemampuan menjerap kation-kation. Rataan kering tidak balik disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9. Rata-rata Kering Tidak Balik Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi Marin, Payau, dan Air Tawar. Fisiografi Waktu Pengeringan (Menit) > 6 Tahun < 6 Tahun Hutan Average Gambut Marine Gambut Payau Gambut Air Tawar Berdasarkan hasil pengamatan, gambut marine (< 6 tahun) mulai mengalami gejala kering tidak balik pada selang waktu 55 menit, sedangkan gambut marine (> 6 tahun) mengalami gejala kering tidak balik pada selang waktu 65 menit dan keduanya mengalami kering tidak balik mutlak pada selang waktu 120 menit dimana gambut benar-benar tidak dapat menyerap air kembali. Dari hasil ini gambut marine (> 6 tahun) memiliki ketahanan yang lebih besar dibandingkan dengan gambut marine (<6 tahun) terhadap proses kering tidak balik. Gambut marine yang dikelola untuk kebun kelapa sawit memiliki perbedaan gejala kering tidak balik antara gambut kurang dari 6 tahun dan lebih dari 6 tahun.

16 % KTB Gambut Marine (<6 tahun) Gambut Marine (>6 tahun) Interval Waktu (Menit) KTB*: Kering Tidak Balik Gambar 4. Kering Tidak Balik Pada Gambut Marine. Hubungan antara kadar air dengan gugus fungsional karboksilat (COOH) dan fenolat (-OH) menunjukkan semakin berkurangnya kadar air tanah gambut karena pengeringan pada awalnya dapat menurunkan konsentrasi gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH), kemudian relatif stabil walaupun kadar air telah jauh berkurang. Bahan gambut yang terdekomposisi akan menghasilkan sejumlah asam-asam organik yang mengandung gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH) terutama pada gambut yang telah terdekomposisi lebih lanjut (Azri, 1999). Gambut payau (< 6 tahun) mulai mengalami gejala kering tidak balik pada selang waktu 55 menit, gambut payau (> 6 tahun) mengalami gejala kering tidak balik pada selang waktu 65 menit, sedangkan hutan sekunder mengalami gejala kering tidak balik pada selang waktu 45 menit. Gambut payau (<6 tahun) mengalami kering tidak balik mutlak pada selang waktu 120, gambut payau (>6 tahun) mengalami kering tidak balik mutlak pada selang waktu 120 menit, dan hutan sekunder mengalami kering tidak balik mutlak pada selang waktu 105 menit dimana gambut benar-benar tidak dapat menyerap air kembali. Gambut payau yang dikelola untuk kebun kelapa sawit memiliki perbedaan gejala kering tidak balik antara gambut kurang dari 6 tahun dan lebih dari 6 tahun, adanya perbedaan tingkat konsentrasi gugus hidroksil fenolik dan karboksilat menyebabkan gejala peluang kering tidak balik berbeda hingga 60 %. Sedangkan pada peluang 80 %, gambut tersebut sudah memiliki gejala kering tidak balik yang sama.

17 % KTB Gambut Payau Virgin Gambut Payau (<6 tahun) Gambut Payau (>6 tahun) Interval Waktu (Menit) KTB*: Kering Tidak Balik Gambar 5. Kering Tidak Balik Gambut Payau. Hubungan antara gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH) akibat pengeringan dengan proporsi kering tidak balik tanah gambut berbentuk hubungan eksponensial yang berarti dengan berkurangnya gugus COOH akibat pengeringan mengakibatkan terjadinya peningkatan proporsi kering tidak balik. Gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH) mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu penyerapan air sehingga dengan berkurangnya kadar air akibat pengeringan, gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH) menjadi berkurang yang menyebabkan proporsi kering tidak balik menjadi meningkat. Menurut Tschapek et al., (1986) bahwa gugus fungsional seperti COOH dan fenolat (-OH) yang bersifat polar dan bersifat hidrofilik yang dapat berperan dalam membantu proses penyerapan air. Gambut payau yang masih berupa hutan memiliki gejala kering tidak balik yang lebih cepat dibandingkan dengan gambut yang telah dikelola untuk kebun kelapa sawit. Tingginya peluang kering tidak balik pada gambut ini disebabkan oleh adanya gugus fenolik hidroksil dan karboksil yang mengalami penurunan yang berasal dari asam, humus, dan lignin yang tinggi sehingga mencegah pembasahan kembali (Azri, 1999). Gambut air tawar relatif lebih cepat terjadinya kering tidak balik dibanding dengan gambut payau dan marine diduga karena pada gambut air tawar bahan organiknya belum terdekomposisi sempurna. Adanya pemanasan dan pengeringan gambut dapat menurunkan konsentrasi gugus fenolik hidroksil dan karbosil sehingga dengan adanya penurunan konsentrasi gugus tersebut menyebabkan

18 gambut rentan terjadi kering tidak balik karena gugus tersebut banyak berperan dalam penyerapan air. Pada umumnya bahan organik segar dan separuh terdekomposisi akan bersifat menolak air dibanding dengan bahan organik yang terdekomposisi sempurna (Bisdom et al.,1993). Pada gambut yang telah terdekomposisi sempurna akan dihasilkan asam humat dan asam fulvat yang mengandung koloid hidrofilik yang lebih tinggi. Asam humik dan asam fulvik memiliki keterkaitan dengan karakteristik senyawa kimia yang menyebabkan penolakan air. Asam fulvik mempunyai grup karboksil dua atau tiga kali lebih tinggi dari asam humik, tetapi konsentrasi grup phenolik hidroksil grup tidak kelihatan berbeda antara keduanya (Tan, 1992). Biodegradasi biomassa makro molekul organik menyebabkan terjadinya peristiwa kering tidak balik. Gambut marine merupakan gambut yang paling tahan terhadap proses kering tidak balik dibanding gambut payau dan air tawar, hal ini dikarenakan gambut marine memiliki kadar abu yang lebih tinggi dan kadar serat yang lebih rendah dibanding gambut pada fisiografi yang lain. Gambut marine memiliki laju dekomposisi yang lebih tinggi sehingga memiliki tingkat kematangan yang lebih tinggi. Kandungan gugus fungsional pada gambut marine lebih rendah dibandingkan gambut air tawar. Hal ini disebabkan gambut marine banyak mengandung garam-garam mineral seperti kation-kation basa K, Ca, dan Mg. Proses kering tidak balik gambut dapat terjadi sebab adanya penolakan air oleh gambut. Penolakan air ini terjadi akibat adanya penyalutan (coating). Coating adalah faktor penyebab terjadinya penolakan air di dalam tanah karena mengandung bahan organik (Krammes & DeBano 1965; Robert & Carbon 1972; King 1981 dalam Bisdom et al. 1993). Adaanya penyalutan (coating) disebabkan adanya bahan organik yang tidak mengikat secara kuat sejumlah gugus COOH dan fenolat (-OH) sehingga apabila kadar air telah jauh berkurang tanah gambut rentan terhadap kejadian kering tidak balik. Adanya garam-garam dan basa-basa terlarut yang berasal dari air laut mengikat sejumlah gugus COOH dan fenolat (- OH) dengan kuat membentuk ikatan komplek atau khelat. Hal ini disebabkan dengan adanya gugus COOH dan fenolat (-OH) mampu mengikat molekul air sehingga kation dan unsur hara tidak mudah hilang atau tercuci oleh adanya air. Bahan organik dengan kandungan asam organik yang rendah dapat memacu terjadinya penolakan air di dalam tanah dengan cara pengeringan, pemanasan bahan organik, pencucian senyawa organik dari serasah tanaman, produk mikroba yang bersifat menolak air, pencampuran bahan organik dengan

19 tanah mineral. Kering tidak balik lebih tinggi terjadi di tanah gambut yang mempunyai kerapatan lindak rendah. Bahan gambut yang mengandung lignin dalam jumlah relatif tinggi biasanya tahan terhadap dekomposisi, sedangkan bahan gambut yang banyak mengandung selulosa dan hemiselulosa dalam jumlah tinggi tidak tahan terhadap dekomposisi (Barchia, 2006).

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut Tanah gambut adalah tanah yang berbahan induk organik atau berasal dari sisa-sisa tanaman masa lampau dan berdasarkan kriteria USDA (2006) digolongkan

Lebih terperinci

KARAKTERISASI FISIK GAMBUT DI RIAU PADA TIGA EKOSISTEM (MARINE, PAYAU, DAN AIR TAWAR)

KARAKTERISASI FISIK GAMBUT DI RIAU PADA TIGA EKOSISTEM (MARINE, PAYAU, DAN AIR TAWAR) KARAKTERISASI FISIK GAMBUT DI RIAU PADA TIGA EKOSISTEM (MARINE, PAYAU, DAN AIR TAWAR) Oleh: TUBAGUS MUHAMAD DIKAS A14060967 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut 2.1.1 Pengertian Tanah Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Lahan Rawa Pengertian Tanah Gambut

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Lahan Rawa Pengertian Tanah Gambut 3 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Lahan Rawa Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun selalu jenuh air atau tergenang air dangkal. Swamp adalah istilah umum untuk rawa yang menyatakan wilayah lahan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisik Tanah 5.1.1. Bobot Isi dan Porositas Total Penambahan bahan organik rumput signal pada lahan Kathryn belum menunjukkan pengaruh baik terhadap bobot isi (Tabel

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada.

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada. I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesuburan Tanah Kesuburan tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada. Produk tanaman tersebut dapat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Waktu, Lokasi Pengambilan Tanah Gambut dan Tempat Penelitian Bahan gambut berasal dari Kabupaten Dumai, Bengkalis, Indragiri Hilir, Siak, dan Kampar, Provinsi Riau dari

Lebih terperinci

Pertemuan 10 : PERMASALAHAN LAHAN LEBAK UNTUK PERTANIAN. Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si

Pertemuan 10 : PERMASALAHAN LAHAN LEBAK UNTUK PERTANIAN. Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si Pertemuan 10 : PERMASALAHAN LAHAN LEBAK UNTUK PERTANIAN Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si Musim hujan Tanah mineral Tanah Organik PERMASALAHAN AIR Banjir tahunan dapat terjadi, sebagai akibat dari volume

Lebih terperinci

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah Kimia Tanah 23 BAB 3 KIMIA TANAH Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah A. Sifat Fisik Tanah Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponenkomponen

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 12 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Bahan Organik Padat Karakteristik dari ketiga jenis bahan organik padat yaitu kadar air, C- organik, N-total, C/N ratio, ph dan KTK disajikan pada Tabel 4. Tabel

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan hakekatnya merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi. Sudah sejak lama, komitmen pertambangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Organik Asal Hasil analisis ph, KTK, kadar air, padatan terlarut (TSS), C-organik, N- total dan C/N pada bahan serasah pinus (SP), gambut kering (GK),

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Tanah Awal Data hasil analisis tanah awal disajikan pada Tabel Lampiran 2. Berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia dan Fisika Tanah PPT (1983) yang disajikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan

Lebih terperinci

IV. SIFAT - SIFAT KIMIA TANAH

IV. SIFAT - SIFAT KIMIA TANAH IV. SIFAT - SIFAT KIMIA TANAH Komponen kimia tanah berperan terbesar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Bahan aktif dari tanah yang berperan dalam menjerap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Tujuan survey dan pemetaan tanah adalah mengklasifikasikan dan memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu satuan peta tanah yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

Pengelolaan lahan gambut

Pengelolaan lahan gambut Pengelolaan lahan gambut Kurniatun Hairiah Sifat dan potensi lahan gambut untuk pertanian Sumber: I.G.M. Subiksa, Fahmuddin Agus dan Wahyunto BBSLDP, Bogor Bacaan Sanchez P A, 1976. Properties and Management

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (Noor, 2001).

TINJAUAN PUSTAKA. dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (Noor, 2001). TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami

Lebih terperinci

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA PENYEBAB Kebakaran hutan penebangan kayu (illegal logging, over logging), perambahan hutan, dan konversi lahan Salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia jagung merupakan bahan pangan kedua setelah padi. Selain itu, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri lainnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. - Karet (Hevea Brasiliemis) merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan

I. PENDAHULUAN. - Karet (Hevea Brasiliemis) merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang - Karet (Hevea Brasiliemis) merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia sehari-hari. Hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen

Lebih terperinci

The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest to Industrial Forest Acacia Crassicarpa on Physical and Chemical Properties of Peat Soil

The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest to Industrial Forest Acacia Crassicarpa on Physical and Chemical Properties of Peat Soil Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Rawa Gambut Menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) Acacia Crassicarpa Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya serta sebagian kecil di pulau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tanah merupakan salah satu komponen sistem lahan yang didefinisikan sebagai benda alam yang tersusun dari 3 frasa, yaitu padatan, cair, dan gas, yang berada dipermukaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia setelah Malaysia dengan luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 14.164.439 ha (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Kayu Pohon sebagai tumbuhan membutuhkan air untuk proses metabolisme. Air diserap oleh akar bersama unsur hara yang dibutuhkan. Air yang dikandung dalam kayu

Lebih terperinci

SELLY KHARISMA A

SELLY KHARISMA A KARAKTERISTIK GAMBUT PEDALAMAN, TRANSISI DAN PANTAI DI PROVINSI RIAU: KETERKAITAN TINGKAT DEKOMPOSISI DAN SIFAT KIMIA GAMBUT DENGAN PRODUKTIVITAS BIOMASSA KELAPA SAWIT SELLY KHARISMA A14061693 PROGRAM

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sekilas Tentang Tanah Andisol. lapisan organik dengan sifat-sifat tanah andik, mana saja yang lebih

TINJAUAN PUSTAKA. Sekilas Tentang Tanah Andisol. lapisan organik dengan sifat-sifat tanah andik, mana saja yang lebih TINJAUAN PUSTAKA Sekilas Tentang Tanah Andisol Andisol merupakan tanah yang mempunyai sifat tanah andik pada 60% atau lebih dari ketebalannya, sebagaimana menurut Soil Survey Staff (2010) : 1. Didalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Limbah Pabrik Kelapa Sawit. Kandungan hara pada 1m3 limbah cair setara dengan 1,5 kg urea, 0,3 kg SP-36,

TINJAUAN PUSTAKA. Limbah Pabrik Kelapa Sawit. Kandungan hara pada 1m3 limbah cair setara dengan 1,5 kg urea, 0,3 kg SP-36, TINJAUAN PUSTAKA Limbah Pabrik Kelapa Sawit Dalam proses pengolahan tandan buah segar kelapa sawit (TBS) menjadi minyak sawit mentah (MSM) dihasilkan sisa produksi berupa limbah. Limbah padat dengan bahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang diukur dan dianalisa dari kawasan penambangan pasir (galian C) selain tekstur dan struktur tanahnya antara lain adalah kerapatan limbak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Kimia dan Fisik Tanah Sebelum Perlakuan Berdasarkan kriteria penilaian ciri kimia tanah pada Tabel Lampiran 5. (PPT, 1983), Podsolik Jasinga merupakan tanah sangat masam dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adalah tanah-tanah bereaksi masam (ph rendah) dan miskin unsur hara, seperti

TINJAUAN PUSTAKA. adalah tanah-tanah bereaksi masam (ph rendah) dan miskin unsur hara, seperti TINJAUAN PUSTAKA Tanah Ultisol Tanah-tanah yang tersedia untuk pertanian sekarang dan akan datang adalah tanah-tanah bereaksi masam (ph rendah) dan miskin unsur hara, seperti ordo Ultisol. Ditinjau dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan tanaman perdu dan berakar tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya. Tomat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan salah satu tanaman hortikultura, yang sangat cocok

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan salah satu tanaman hortikultura, yang sangat cocok 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Nanas merupakan salah satu tanaman hortikultura, yang sangat cocok dibudidayakan didaerah tropis. Tanaman ini berasal dari amerika selatan ( Brazilia). Tanaman

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Beberapa Sifat KimiaTanah Gambut dalam Pot yang Diberi Raw Mix Semen dan Mikroorganisme Efektif M-Bio

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Beberapa Sifat KimiaTanah Gambut dalam Pot yang Diberi Raw Mix Semen dan Mikroorganisme Efektif M-Bio IV HSIL DN PEMHSN 4.1 eberapa Sifat KimiaTanah Gambut dalam Pot yang Diberi Raw Mix Semen dan Mikroorganisme Efektif M-io 4.1.1 Sifat Kimia Tanah Gambut Sebelum Perlakuan Sifat tanah gambut berbeda dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik meliputi semua bahan yang berasal dari jasad hidup, baik tumbuhan maupun hewan. Bahan organik tanah (BOT) merupakan kumpulan senyawa-senyawa

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan

Lebih terperinci

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 09: Sifat Kimia (2)- Mineral Liat & Bahan Organik Tanah

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 09: Sifat Kimia (2)- Mineral Liat & Bahan Organik Tanah Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 09: Sifat Kimia (2)- Mineral Liat & Bahan Organik Tanah Mineral Liat Liat dan bahan organik di dalam tanah memiliki kisi yang bermuatan negatif

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Kimia Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum diberi perlakuan dapat dilihat pada lampiran 2. Penilaian terhadap sifat kimia tanah yang mengacu pada kriteria Penilaian

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT. Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor

PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT. Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor Indonesia memiliki lahan rawa yang cukup luas dan sebagian besar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Kimia Abu Terbang PLTU Suralaya Abu terbang segar yang baru diambil dari ESP (Electrostatic Precipitator) memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 11 profil tanah yang diamati dari lahan reklamasi berumur 0, 5, 9, 13 tahun dan lahan hutan. Pada lahan reklamasi berumur 0 tahun dan lahan hutan, masingmasing hanya dibuat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN LITERATUR

II. TINJAUAN LITERATUR II. TINJAUAN LITERATUR 2.1. Prospek dan Permasalahan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Perkembangan usaha dan infestasi kelapa sawit terus mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Luas areal perkebunan kelapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari bahan-bahan yang

Lebih terperinci

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme :

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme : TANAH Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah Hubungan tanah dan organisme : Bagian atas lapisan kerak bumi yang mengalami penghawaan dan dipengaruhi oleh tumbuhan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol atau dikenal dengan nama Podsolik Merah Kuning (PMK)

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol atau dikenal dengan nama Podsolik Merah Kuning (PMK) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanah Ultisol atau dikenal dengan nama Podsolik Merah Kuning (PMK) merupakan bagian yang paling luas dari total keseluruhan lahan kering di Indonesia. Penyebaranya

Lebih terperinci

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Rajiman A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan memiliki tujuan utama untuk produksi biomassa. Pemanfaatan lahan yang tidak bijaksana sering menimbulkan kerusakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus dan Neraca Nitrogen (N) Menurut Hanafiah (2005 :275) menjelaskan bahwa siklus N dimulai dari fiksasi N 2 -atmosfir secara fisik/kimiawi yang meyuplai tanah bersama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan karet rakyat di Desa Penumanganbaru, Kabupaten Tulangbawang

I. PENDAHULUAN. Perkebunan karet rakyat di Desa Penumanganbaru, Kabupaten Tulangbawang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkebunan karet rakyat di Desa Penumanganbaru, Kabupaten Tulangbawang telah lama diserang oleh penyakit jamur akar putih ( white rot fungi) yang disebabkan

Lebih terperinci

ANALISIS KARAKTERISTIK LAHAN GAMBUT DI BAWAH TEGAKAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU

ANALISIS KARAKTERISTIK LAHAN GAMBUT DI BAWAH TEGAKAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU ANALISIS KARAKTERISTIK LAHAN GAMBUT DI BAWAH TEGAKAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU Oksariwan Fahrozi, Besri Nasrul, Idwar (Fakultas Pertanian Universitas Riau) HP : 0852-7179-6699, E-mail :

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara di wilayah tropika basah yang sebagian besar

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara di wilayah tropika basah yang sebagian besar 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara di wilayah tropika basah yang sebagian besar wilayahnya didominasi oleh tanah yang miskin akan unsur hara, salah satunya adalah

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang penting sebagai penghasil gula. Lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa media tanam yang digunakan berpengaruh terhadap berat spesifik daun (Lampiran 2) dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 15 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Paremeter pertumbuhan tanaman yang diukur dalam penelitian ini adalah pertambahan tinggi dinyatakan dalam satuan cm dan pertambahan diameter tanaman dinyatakan dalam satuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman nanas dapat tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tinggi lebih

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman nanas dapat tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tinggi lebih 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nanas (Ananas Comosus) Tanaman nanas dapat tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tinggi lebih kurang 1.200 meter diatas permukaan laut (dpl). Di daerah tropis Indonesia,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tanah Ultisol tersebar di berbagai daerah di Indonesia, dan diperkirakan menduduki hampir 30 % dari seluruh dataran di

PENDAHULUAN. Tanah Ultisol tersebar di berbagai daerah di Indonesia, dan diperkirakan menduduki hampir 30 % dari seluruh dataran di PENDAHULUAN Latar Belakang Tanah Ultisol tersebar di berbagai daerah di Indonesia, dan diperkirakan menduduki hampir 30 % dari seluruh dataran di Indonesia(Darmawi jaya, 1992). Tanah Ultisol memiliki sifat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 29,7% dari 190 juta hektar luas daratan Indonesia. Kelemahan-kelemahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 29,7% dari 190 juta hektar luas daratan Indonesia. Kelemahan-kelemahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Di Indonesia tanah jenis Ultisol cukup luas yaitu sekitar 38,4 juta hektar atau sekitar 29,7% dari 190 juta hektar luas daratan Indonesia. Kelemahan-kelemahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sifat Umum Tanah Masam

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sifat Umum Tanah Masam II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Umum Tanah Masam Tanah tanah masam di Indonesia sebagian besar termasuk ke dalam ordo ksisol dan Ultisol. Tanah tanah masam biasa dijumpai di daerah iklim basah. Dalam keadaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hujan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh dipermukaan tanah datar selama periode tertentu di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan dan Produksi Padi pada Berbagai Dosis Pemberian Terak Baja Dengan dan Tanpa Penambahan Bahan Humat Parameter yang digunakan dalam mengamati pertumbuhan tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Definisi Tanah Pengertian Gambut

TINJAUAN PUSTAKA Definisi Tanah Pengertian Gambut TINJAUAN PUSTAKA Definisi Tanah Dalam pertanian, tanah diartikan lebih khusus yaitu sebagai media tumbuhnya tanaman darat. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan yang bercampur dengan sisa-sisa bahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN Terbentuknya gambut pada umumnya terjadi dibawah kondisi dimana tanaman yang telah mati tergenang air secara terus menerus, misalnya pada cekungan atau depresi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Survei tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk dapat membedakan tanah satu dengan yang lain yang kemudian disajikan dalam suatu peta (Tamtomo,

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tanggal : 16 Februari 2009 PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Peningkatan

Lebih terperinci

POTENSI BUFFER ORGANOMINERAL SEBAGAI PENYEDIA NUTRISI PADA TANAH BERGARAM UNTUK PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays) SKRIPSI

POTENSI BUFFER ORGANOMINERAL SEBAGAI PENYEDIA NUTRISI PADA TANAH BERGARAM UNTUK PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays) SKRIPSI POTENSI BUFFER ORGANOMINERAL SEBAGAI PENYEDIA NUTRISI PADA TANAH BERGARAM UNTUK PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays) SKRIPSI Diajukan Oleh : ADHISTIA ZAHRO 0925010007 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifatsifat Fisik Perubahan warna, suhu, dan pengurangan volume selama proses pengomposan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Perubahan Warna, Bau, Suhu, dan Pengurangan Volume

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Gambut Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan tersebut terus bertambah karena proses dekomposisi

Lebih terperinci

Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain :

Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain : SIFAT KIMIA TANAH Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain : 1. Derajat Kemasaman Tanah (ph) Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai ph. Nilai ph menunjukkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertambangan Pasir Besi Pasir besi merupakan bahan hasil pelapukan yang umum dijumpai pada sedimen disekitar pantai dan tergantung proses sedimentasi dan lingkungan pengendapan

Lebih terperinci

SIFAT KIMIA TANAH LANJUTAN SIFAT KIMIA TANAH

SIFAT KIMIA TANAH LANJUTAN SIFAT KIMIA TANAH SIFAT KIMIA TANAH LANJUTAN SIFAT KIMIA TANAH 4. Phosphor (P) Unsur Fosfor (P) dlm tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan & mineral 2 di dlm tanah. Fosfor paling mudah diserap oleh tanaman pd ph

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 25 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April tahun 2011 di lahan gambut yang terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN BUDIDAYA PERTANIAN DI KOTA SEMARANG

ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN BUDIDAYA PERTANIAN DI KOTA SEMARANG ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN BUDIDAYA PERTANIAN DI KOTA SEMARANG Rossi Prabowo 1*,Renan Subantoro 1 1 Jurusan Agrobisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Wahid Hasyim Semarang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tersebut berasal dari pelapukan vegetasi yang tumbuh di sekitarnya. Proses

II. TINJAUAN PUSTAKA. tersebut berasal dari pelapukan vegetasi yang tumbuh di sekitarnya. Proses II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Lahan gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu yang lama. Bahan organik tersebut berasal dari

Lebih terperinci

KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN

KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN Hubungan air tanah dan Tanaman Fungsi air bagi tanaman Menjaga tekanan sel Menjaga keseimbangan suhu Pelarut unsur hara Bahan fotosintesis

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengamatan penelitian terdiri atas pengamatan selintas dan pengamatan utama. 4.1. Pengamatan Selintas Pengamatan selintas merupakan pengamatan yang dilakukan di luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (inframerah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi sehingga tidak dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesuburan Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesuburan Tanah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesuburan Tanah Kesuburan tanah adalah kualitas tanah dalam hal kemampuannya untuk menyediakan unsur hara yang cocok dalam jumlah yang cukup serta dalam keseimbangan yang tepat

Lebih terperinci