BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Mathis dan Jackson (2006:3), Manajemen Sumber Daya Manusia adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan-tujuan organisasional. Menurut Hasibuan (2007), Manajemen Sumber Daya Manusia adalah ilmu dan seni yang mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien serta membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. Menurut Simamora (2004), Manajemen Sumber Daya Manusia adalah pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balasan jasa dan pengelolaan terhadap individu anggota organisasi atau kelompok karyawan. Menurut Dessler (2011), Manajemen Sumber Daya Manusia adalah kebijakan dan praktik menentukan aspek manusia atau sumber daya manusia dalam posisi manajemen termasuk merekrut, menyaring, melatih, memberi penghargaan, dan penilaian. Berdasarkan beberapa definisi diatas, Manajemen Sumber Daya Manusia dapat disimpulkan sebagai ilmu dan seni yang mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien dalam mencapai tujuan-tujuan organisasional. Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam MSDM adalah komitmen organisasi. Jika karyawan mempunyai komitmen yang tinggi maka karyawan memiliki kecenderungan untuk mempunyai rasa puas dalam pekerjaan yang tinggi sehingga berdampak positif pada kinerja karyawan.
2.2 Komitmen Organisasi (Organizational Commitment) Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Sedangkan organisasi adalah sebuah unit sosial yang dikoordinasi secara sadar, terdiri dari dua orang atau lebih dan berfungsi dalam suatu dasar yang relatif terus menerus guna mencapai satu atau serangka tujuan bersama. Menurut Taurisa & Ratnawati (2012) komitmen organisasi memiliki arti yang lebih dari sekedar loyalitas yang pasif, tetapi juga melibatkan hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya. Richard M. Steers (1980) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. Steers berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Apabila seorang karyawan memiliki tingkat komitmen yang tinggi terhadap organisasi maka dalam keadaan menyenangkan ataupun tidak, karyawan tersebut akan tetap bersama organisasinya dalam keadaan suka maupun duka. Tetapi sebaliknya apabila komitmen karyawan tersebut rendah maka karyawan tersebut hanya ingin bekerja ketika keadaan organisasi tersebut dalam keadaan baik. Komitmen terhadap organisasi mencakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. Meyer & Allen (1997) dalam Lumley, et al (2011) komitmen organisasi dipandang sebagai hubungan psikologis individu dengan organisasi dan ditandai dengan identifikasi yang kuat dengan organisasi dan keinginan untuk berkontribusi pada pemenuhan tujuan organisasi.
Gibson, et al. (2009:183) mengungkapkan bahwa komitmen karyawan merupakan suatu bentuk identifikasi, loyalitas, dan keterlibatan yang diekspresikan oleh karyawan terhadap organisasi. Komitmen pada dasarnya mencakup tanggung jawab. Rendahnya komitmen mencerminkan kurangnya tanggung jawab seorang karyawan dalam menjalankan tugasnya. Menurut Luthans (2002) dalam Brahmasari (2008) komitmen organisasi didefinisikan sebagai suatu: 1. Keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota dari suatu organisasi tertentu 2. Kesediaan untuk mengarahkan sebanyak mungkin upaya demi organisasinya 3. Keyakinan yang tetap dalam menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi Ketiganya merupakan bentuk sikap loyalitas pegawai terhadap organisasinya dan bagaimana cara karyawan mengekspresikan bentuk perhatian dan peduli atas kelanjutan, kesuksesan dan kesejahteraan organisasi. Sikap komitmen ini ditentukan oleh beberapa variabel personal seperti usia, masa kerja di organisasi, sikap terhadap hubungan emosional yang bersifat negatif atau positif serta sifat pengawasan internal atau eksternal dan organisasional. Januarti (2006) dalam Yudhaningsih (2011) mengemukakan, komitmen organisasi terbangun bila tiap individu mengembangkan tiga sikap yang saling berhubungan terhadap organisasi dan profesi yang meliputi identification yaitu pemahaman atau penghayatan dari tujuan organisasi, involvement yaitu perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan atau perasaan bahwa pekerjaannya adalah menyenangkan dan loyalty yaitu perasaan bahwa organisasi adalah tempat bekerja dan tempat tinggal. Randall (1987, p.461) dalam Wu (2011) menyatakan bahwa "komitmen organisasi mencerminkan kekuatan relatif dari identifikasi individu dengan keterlibatan dalam organisasi itu". Selain itu, komitmen organisasi dapat menjadi prediktor yang baik dari efektivitas organisasi (Steers, 1975) dalam Wu (2011). Berdasarkan beberapa pandangan ahli di atas, maka dapat disimpulkan komitmen organisasi adalah suatu bentuk keterikatan, keterlibatan dan loyalitas karyawan terhadap nilai-nilai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan.
Hal-hal yang harus diperhatikan oleh organisasi ketika membahas komitmen, diantaranya adalah bagaimana organisasi menciptakan komitmen karyawan yang tinggi terhadap organisasi tersebut. 2.2.1 Menciptakan Komitmen Organisasional Menurut Martin dan Nicholss dalam Handayani (2013), ada tiga pilar besar dalam menciptakan komitmen organisasi, yaitu: 1. Perasaan Memiliki Terhadap Perusahaan (A Sense Of Belonging To The Organization) Untuk mencapai rasa memiliki tersebut, maka salah satu pihak dalam manajemen harus mampu membuat karyawan untuk : a. mampu mengidentifikasikan dirinya terhadap organisasi b. merasa yakin bahwa pekerjaaan yang dilakukannya berharga bagi organisasi c. merasa nyaman dengan organisasi tersebut d. merasa mendapat dukungan yang penuh dari organisasi dalam bentuk misi yang jelas, nilai-nilai yang diyakini sebagai hal yang penting oleh manajemen, dan norma-norma atau cara-cara berperilaku yang bisa diterima oleh organisasi 2. Perasaan Bergairah Terhadap Pekerjaan (A Sense Of Excitement In The Job) Perasaan seperti ini dapat dimunculkan dengan cara: a. mengenali faktor-faktor motivasi intrinsik dalam mengatur desain pekerjaan (job design) b. kualitas kepemimpinan c. kemauan manajer dan supervisor untuk mengenali bahwa motivasi dan komitmen karyawan bisa meningkat jika ada perhatian terus menerus, memberi delegasi wewenang, dan memberi kesempatan serta ruang yang cukup bagi karyawan dalam menggunakan keterampilan dan keahliannya secara maksimal.
3. Pentingnya Rasa Memiliki (Ownership) Rasa memiliki bisa muncul jika karyawan merasa bahwa mereka diterima secara benar dan baik serta telah menjadi bagian penting dalam organisasi. Selain itu, jika karyawan merasa dilibatkan dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan serta karyawan merasa bahwa ide-idenya didengar maka karyawan akan merasa telah memberikan kontribusi dan merasa telah dihargai pendapatnya oleh organisasi maka karyawan cenderung akan lebih berkomitmen terhadap organisasi karena rasa memiliki tersebut. Akan tetapi, walaupun organisasi sudah mengetahui hal-hal yang dapat digunakan untuk menciptakan komitmen organisasi, organisasi tidak dapat begitu saja menciptakan komitmen yang tinggi pada karyawannya. Terdapat proses-proses atau langkah-langkah dalam menciptakan komitmen organisasi. 2.2.2 Proses Komitmen Organisasi Oreilly dan Chatman (1986) mengemukakan tiga langkah untuk membangun komitmen organisasi, yaitu: 1. Penyesuaian (Compliance) Pada tahap ini, fokus pada kepatuhan karyawan dalam menerima pengaruh orang lain terutama yang bermanfaat bagi karyawan melalui remunirasi atau promosi. Dalam tahap ini, sikap dan perilaku diadopsi bukan karena keyakinan bersama melainkan untuk mendapatkan reward yang spesifik. Selain itu, karyawan dalam tahap ini juga melakukan penyesuaian dengan organisasi. 2. Identifikasi (Identification) Dalam tahapan ini, karyawan bertahan di organisasi karena apa yang mereka terima. Karyawan merasa bangga menjadi bagian dari organisasi, mereka memandang peran yang dimilikinya sebagai bagian dari identitas diri. 3. Internalisasi (Internalization) Pada tahapan terakhir ini, ketika karyawan menemukan nilai organisasi untuk menjadi reward intrinsik dan sesuai dengan nilai pribadi mereka.
Ketika organisasi melakukan proses komitmen organisasi, terdapat indikator-indikator atau dimensi-dimensi yang harus diperhatikan oleh organisasi agar proses penciptaan komitmen tidak mengalami kebiasan. 2.2.3 Dimensi Komitmen Organisasi Allen dan Meyer dalam Luthans (2006) mengklasifikasikan komitmen organisasi dalam tiga komponen indikator, yaitu: 1. Komitmen Afektif (Affective Commitment) Adalah keterikatan emosional dan keterlibatan karyawan terhadap organisasi. Keterikatan emosional ini terbentuk karena karyawan setuju dengan nilai-nilai dan tujuan dasar organisasi. 2. Komitmen Berkesinambungan (Continuance Commitment) Adalah komitmen yang didasarkan pada persepsi tentang kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan (resign) dari organisasi. Semakin lama seorang karyawan berada dalam organisasi tersebut maka karyawan tersebut akan semakin tidak rela kehilangan apa yang telah mereka capai seperti kesempatan promosi, jabatan, dan hubungan keluarga dengan rekan kerja. 3. Komitmen Normatif (Normative Commitment) Adalah komitmen yang berdasarkan pada keterlibatan perasaan karyawan tentang kewajiban untuk tetap berada dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis. Keharusan untuk tetap tinggal dalam organisasi dapat disebabkan oleh tekanan dari orang lain. Karyawan dengan tingkat komitmen normatif yang tinggi sangat peduli pada apa yang akan dipikirkan orang lain dan khawatir akan dicap buruk apabila ia keluar dari organisasi. Komitmen organisasi dapat menentukan kepuasan kerja yang dimiliki oleh karyawan. Apabila komitmen organisasi tinggi, maka karyawan akan memiliki kecenderungan rasa puas atas pekerjaan mereka dan begitu juga sebaliknya.
2.3 Kepuasan Kerja (Job Satisfaction) Kepuasan kerja menurut Duane & Sydney Schultz (2007, p232) adalah merupakan bentuk perasaan positif dan negatif yang dimiliki seseorang terhadap lingkungan kerja dan pekerjaannya. Orang-orang yang puas adalah orang-orang yang bahagia dengan pekerjaan mereka. Semakin tinggi tingkat kepuasan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat komitmen mereka terhadap organisasi. Jika seseorang tidak puas dengan pekerjaannya maka orang tersebut tidak bisa memberikan kinerja yang lebih baik untuk organisasi. Menurut Robbins and Judge (2008), kepuasan kerja adalah perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya. Semakin tinggi tingkat kepuasan kerja seseorang maka pikiran dan perasaan orang tersebut akan semakin positif dalam memandang pekerjaan tersebut. Menurut Gibson (2009), kepuasan kerja erat kaitannya dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya. Hal ini merupakan hasil dari persepsi karyawan atas pekerjaannya. Menurut Mathis dan Jackson (2006), kepuasan kerja adalah keadaan emosional positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan muncul ketika harapan seseorang tidak terpenuhi. Spector (1997) dalam Daneshfard dan Ekvaniyan (2012) menghadirkan tiga alasan untuk memperjelas pentingnya kepuasan kerja, yaitu: 1. Organisasi dapat diarahkan oleh nilai-nilai kemanusiaan, berdasarkan nilai-nilai perusahaan mereka akan berusaha memperlakukan karyawan mereka dengan hormat. Penilaian kepuasan kerja juga dapat berfungsi sebagai indikator sejauh mana karyawan ditangani dengan efektif. 2. Organisasi dapat mengambil posisi utilitarian dimana perilaku karyawan diharapkan akan mempengaruhi operasional organisasi sesuai dengan tingkat kepuasan kerja karyawan. 3. Kepuasan kerja dapat menjadi indikator operasi organisasi. Dari beberapa pandangan ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah sikap, harapan dan perasaan seseorang secara emosional terhadap lingkungan kerja dan pekerjaannya.
2.3.1 Dampak Ketidakpuasan Kerja Karyawan Robbins dan Judge (2008) mengemukakan bahwa terdapat konsekuensi yang diakibatkan dari ketidakpuasan kerja. Dalam hal ini ada empat cara karyawan dalam mengungkapkan ketidakpuasan kerja, yaitu: 1. Keluar (Exit) Karyawan mengundurkan diri dan mencari pekerjaan lain. 2. Aspirasi (Voice) Karyawan memberikan saran perbaikan secara aktif dan konstruktif dalam mendiskusikan masalah yang ada kepada atasan. 3. Kesetiaan (Loyalty) Karyawan menunggu secara pasif sampai kondisi organisasi menjadi lebih baik termasuk membela organisasi disaat organisasi sedang menghadapi kritik dan kecaman dari luar serta mempercayai organisasi untuk membuat keputusan dan melakukan hal yang benar. 4. Pengabaian (Neglect) Karyawan membiarkan kondisi menjadi semakin lebih buruk dan terus menerus membuat kesalahan. Aktif Keluar (exit) Aspirasi (voice) Destruktif Konstruktif Pengabaian (neglect) Pasif Kesetiaan (Loyalty) Gambar 2.1 Respon Respon Ketidakpuasan Kerja Sumber: Robbins dan Judge (2008) 2.3.2 Dimensi Kepuasan Kerja
Menurut Robbins dan Judge (2008), ada lima faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: 1. Pekerjaan itu sendiri Tingkat dimana sebuah pekerjaan menyediakan kesenangan tersendiri. Seperti tugas yang menarik, kesempatan belajar, dan kesempatan untuk mendapatkan tanggung jawab. Setiap pekerjaan memerlukan keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing yang akan berpengaruh pada kesenangan atau kepuasan kerja. 2. Gaji atau upah Keadilan penerimaan gaji yang sesuai dengan beban pekerjaan dan harapan karyawan. Faktor gaji atau upah secara umum diakui sebagai faktor yang paling signifikan terhadap kepuasan kerja. 3. Atasan atau supervisor Berhubungan dengan bagaimana cara pimpinan memberikan perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan pekerjaan dan berdampak pada menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi karyawan yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan. 4. Rekan kerja Berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial yang melakukan hubungan sosial atau bersosialisasi dengan sesama anggota organisasi. Rekan kerja memberikan suasana kerja yang nyaman, dukungan moral, dan bantuan dalam pekerjaan yang dapat membuat pekerjaan jadi lebih menyenangkan sehingga akan berdampak pada tingkat kepuasan kerja karyawan. 5. Promosi Berhubungan dengan kesempatan pengembangan diri karyawan, memperluas pengalaman kerja dan adanya kesempatan untuk naik jabatan atau promosi lainnya. Dengan adanya promosi karyawan akan mendapatkan peningkatan karir yang lebih baik juga kesempatan untuk lebih maju dan berkembang sehingga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja pada karyawan. Menurut Karatepe (2012) dalam Kirsten Rae (2013) Pentingnya kepuasan kerja dapat dilihat sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi berbagai hasil kerja, sebagai contoh, tingkat kepuasan kerja telah dikaitkan dengan hasil seperti peningkatan kinerja pekerjaan dan perilaku warga organisasi (Paille, 2012 dalam Rae, 2013).
Kepuasan kerja seorang karyawan akan mempengaruhi kinerja kerja karyawan tersebut. Apabila seorang karyawan merasa puas dengan pekerjaannya, maka karyawan tersebut akan melakukan pekerjaan mereka dengan baik atau bahkan melebihi dari apa yang diharapkan. 2.4 Kinerja Karyawan (Employee Performance) Kinerja adalah suatu hasil kerja secara kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas yang diberikan sesuai dengan standar atau kriteria yang telah ditetapkan. Kinerja menunjukkan tingkat keberhasilan karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, semakin tinggi kinerja karyawan maka produktivitas organisasi secara keseluruhan akan meningkat (Taurisa & Ratnawati, 2012). Menurut Tika (2008), kinerja adalah hasil fungsi pekerjaan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu. Menurut Panggabean (2004), kinerja adalah kondisi dari sebuah kelompok dimana ada tujuan yang jelas dan tetap yang dirasakan menjadi penting dan terpadu dengan tujuan individu. Mathis dan Jackson (2006) mengungkapkan kinerja adalah apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh karyawan. Qureshi, et al. (2011) mengungkapkan kinerja karyawan adalah pemenuhan tugas yang diberikan dan diukur berdasarkan standar yang telah ditetapkan seperti akurasi kelengkapan, biaya dan kecepatan. Ada beberapa indikator kinerja karyawan, yaitu: a. Karyawan dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi b. Karyawan yang menggunakan teknologi komunikasi untuk komunikasi internal di tempat kerja c. Karyawan yang lebih muda d. Karyawan full time dan karyawan tetap e. Karyawan-karyawan di perusahaan besar f. Karyawan di perusahaan asing Bauer (2000) dalam Qureshi, et al. (2011) mengungkapkan bahwa apresiasi, penghargaan dan kesempatan umpan balik dalam memfasilitasi karyawan sehingga karyawan merasa dihargai, lebih puas, lebih setia dan kreatif.
Kinerja karyawan juga terkait dengan komitmen karyawan tanpa kinerja maka komitmen tidak berarti, tidak cukup hanya fokus pada titik mengembangkan kepuasan kerja karyawan karena jika komitmen karyawan rendah maka kepuasan tidak menafsirkan menjadi kinerja (Zhang & Zheng, 2009). Dari beberapa pandangan ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan adalah hasil atau prestasi yang dicapai oleh seorang karyawan dalam periode waktu tertentu sesuai dengan standar dan kriteria yang telah ditentukan oleh perusahaan serta memperhatikan faktor-faktor penunjang yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan. 2.4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan menurut Amstrong dan Baron (1998) dalam Wibowo (2007), yaitu: 1. Personal Factors Ditentukan oleh tingkat keterampilan, kompetensi yang dimiliki, motivasi, dan komitmen seseorang. 2. Leadership Factors Ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan dukungan yang dilakukan oleh manajer dan team leader. 3. Team Factors Ditentukan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan kerja. 4. System Factors Ditentukan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas yang diberikan oleh organisasi. 5. Situational Factors Ditentukan oleh tingginya tingkat tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal. 2.4.2 Dimensi Kinerja Karyawan Menurut Mathis & Jackson (2006), ada 3 faktor utama yang mempengaruhi kinerja karyawan yaitu: 1. Kemampuan Individual
Mencakup bakat, minat, dan faktor kepribadian. Jika seorang karyawan mempunyai kinerja dan keterampilan yang baik maka karyawan tersebut akan menghasilkan hasil (output) yang baik pula berupa pengetahuan, pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal dan kecakapan teknis. 2. Usaha Yang Dicurahkan Meliputi etika kerja, tingkat kehadiran dan motivasinya. Tingkat usaha merupakan gambaran motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan hal ini berkaitan dengan perbedaan antar tingkat keterampilan dan tingkat upaya. Tingkat keterampilan adalah cermin dari apa yang dilakukan sedangkan tingkat upaya adalah cermin apa yang dilakukan. 3. Dukungan Organisasional Perusahaan menyediakan fasilitas untuk karyawan berupa pelatihan dan pengembangan skill, peralatan dan teknologi yang mendukung, dukungan manajemen dan rekan kerja. 2.5 Kerangka Pemikiran Berdasarkan penjelasan diatas, penulis ingin menarik kesimpulan mengenai hubungan masing-masing variabel tersebut dalam sebuah kerangka pemikiran seperti dibawah ini: Organizational Comitment (X) 1.Komitmen Afektif 2. Komitmen Berkesinambungan 3. Komitmen Normatif Job Satisfaction (Y) 1. Pekerjaan itu sendiri 2. Gaji atau Upah 3. Atasan atau Supervisor 4. Rekan Kerja 5. Promosi Employee Perfomance(Z) 1. Kemampuan Individual 2. Tingkat usaha yang dicurahkan 3. Dukungan Organisasional Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Sumber: Penulis, 2014 2.6 Hipotesis
Berdasarkan permasalahan yang ada pada Bab 1 dan kerangka pemikiran tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: T-1 Hipotesis Ho: Tidak terdapat kontribusi yang signifikan antara Organizational Commitment (X) terhadap Job Satisfaction (Y) pada PT Celebes Artha Ventura. Ha: Terdapat kontribusi yang signifikan antara Organizational Commitment (X) terhadap Job Satisfaction (Y) pada PT Celebes Artha Ventura. T-2 Hipotesis Ho: Tidak terdapat kontribusi yang signifikan antara Organizational Commitment (X) terhadap Employee Performance (Z) pada PT Celebes Artha Ventura. Ha: Terdapat kontribusi yang signifikan antara Organizational Commitment (X) terhadap Employee Performance (Z) pada PT Celebes Artha Ventura. T-3 Hipotesis Ho: Tidak Terdapat kontribusi yang signifikan antara Job Satisfaction (Y) terhadap Employee Performance (Z) pada PT Celebes Artha Ventura. Ha: Terdapat kontribusi yang signifikan antara Job Satisfaction (Y) terhadap Employee Performance (Z) pada PT Celebes Artha Ventura. T-4 Hipotesis Ho: Tidak terdapat kontribusi yang signifikan antara Organizational Commitment (X) terhadap Job Satisfaction (Y) dan dampaknya terhadap Employee Performance (Z) pada PT Celebes Artha Ventura. Ha: Terdapat kontribusi yang signifikan antara Organizational Commitment (X) terhadap Job Satisfaction (Y) dan dampaknya terhadap Employee Performance (Z) pada PT Celebes Artha Ventura.