EFISIENSI DAN DAYASAING USAHATANI TEBU DAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR DAN JAWA TENGAH

dokumen-dokumen yang mirip
IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

ANALISIS DAYASAING KOMODITI TEMBAKAU RAKYAT DI KLATEN JAWA TENGAH PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA

III. METODE PENELITIAN

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

METODOLOGI PENELITIAN

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

Performa Dayasaing Komoditas Padi. Commodities Rice Competitiveness Performance. Benny Rachman

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DI PROPINSI JAWA TIMUR

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

III KERANGKA PEMIKIRAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut:

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF KOMODITAS KENTANG DAN KUBIS DI WONOSOBO JAWA TENGAH

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUKOMUKO (STUDI KASUS DESA BUMI MULYA)

ANALISIS SENSITIVITAS

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

STUDI KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI TEBU ABSTRACT ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

ANALISIS DAYA SAING KEDELAI DI JAWA TIMUR

IV. METODE PENELITIAN

DAMPAK PENINGKATAN TARIF IMPOR GULA TERHADAP PENDAPATAN PETANI TEBU

14,3 13,1 11,1 8,9 27,4 26,4 4. 1,0 1,0 9,9 6. 7,0 15,6 16,1 6,5 6,2 8,5 8,3 10,0

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost )

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KOPI ROBUSTA (COFFEA CANEPHORA) DI KABUPATEN REJANG LEBONG

JIIA, VOLUME 1, No. 4, OKTOBER 2013

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

Transkripsi:

EFISIENSI DAN DAYASAING USAHATANI TEBU DAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR DAN JAWA TENGAH Saptana, Supena, dan Tri Bastuti Purwantini Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT Sugarcane and tobacco are high-valued commodities since pre-independence era. The paper aims to analyze efficiency and competitiveness of both commodities using Policy Analysis Matrix (PAM). The method is very useful in dealing with efficiency, competitiveness, and impacts of divergences caused by market or policy distortion. Results of the analysis showed that: (1) sugarcane farms in Kediri, Ngawi, and Klaten have no comparative advantage, but still have relatively low competitive advantage indicated by the values of DRC > 1 and PCR < 1; (2) the factors affecting competitive advantage sugarcane farming is policies tending to be protective; (3) asepan tobacco farming in technical and semi-technical irrigated lowland and rajangan tobacco growing in simple irrigated lowland areas in Klaten have competitive and comparative advantages shown by the values of DRC < 1 and PRC < 1. Regardless of duty up to 30 40 percent applied, tobacco farming is still relatively competitive. Implication policies of the study: (a) improving sugarcane technology practice and increasing quality standardization for processing are essential to develop sugarcane farming; (b) in term of foreign-exchange management, tobacco is potential to develop socially and economically and the commodity is also potential to create employment and to enhance value added. Key words: sugarcane, tobacco, efficiency, competitiveness Latar Belakang PENDAHULUAN Secara historis komoditas tebu dan tembakau sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditas komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan penanaman tebu dan tembakau tersebut terus dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia melalui perusahaan negara perkebunan (PNP) dan perkebunan-perkebunan besar swasta di Luar Jawa. Dalam perkembangannya tanaman tebu juga diusahakan oleh petani rakyat melalui kebijakan pemerintah tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dengan sistem glebagan (pergiliran areal) tanam. Namun, dewasa ini pengusahaan tebu rakyat relatif hanya berkembang di wilayah Jawa Timur dan sebagian kecil Jawa Tengah. Sementara itu, usahatani tembakau diusahakan cukup meluas oleh petani rakyat baik di Provinsi Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Gula pasir (white sugar) tergolong komoditas strategis yang dilindungi oleh pemerintah. Sebagai komoditas strategis, pemerintah banyak melakukan intervensi terhadap industri gula. Selama dua dekade terakhir (1983-1999), pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan perlindungan terhadap industri gula melalui kebijakan harga, dengan menetapkan provenue gula sebagai harga yang diterima produsen baik petani maupun pihak pabrik gula, yang bias untuk melindungi produsen. Sebagai ilustrasi dalam kurun waktu tersebut pemerintah telah mengeluarkan penyesuaian harga gula provenue sebanyak 12 kali yang ditujukan untuk meningkatkan atau paling tidak mempertahankan produksi gula nasional (Sudana, 2002). Pada periode sebelum Juni 2002, pemerintah melakukan perlindungan terhadap produsen tebu dan gula melalui kebijakan tarif, dengan tingkat tarif 25 persen. Kebijakan tersebut belum memuaskan produsen gula, untuk memenuhi tuntutan APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat) dan menghindari penurunan harga gula akibat penguatan nilai tukar rupiah, maka sejak 3 Juli 2002 akhirnya pemerintah telah mengubah tarif impor gula 25 persen menjadi tarif spesifik sebesar Rp.700/kg. Dengan jenis dan tingkat tarif seperti itu, pemerintah mengharapkan pendapatan petani tebu dapat meningkat dan petani tetap bergairah menanam tebu (Malian dan Saptana, 2002). Kondisi yang agak berbeda di alami petani tembakau, usahatani tembakau terutama dengan orientasi ekspor, biasanya merupakan tembakau asepan yang digunakan sebagai bahan baku cerutu dan tembakau rajangan yang digunakan sebagai bahan baku rokok, produk tersebut terkena pajak biaya cukai kurang lebih 83

40 persen. Kondisi ini sangat memberatkan dan tidak kondusif bagi pengembangan tembakau nasional. Padahal komoditas ini sangat prospektif baik sebagai industri yang mampu menyerap tenaga kerja secara ekstensif maupun sebagai penghasil devisa. Liberalisasi perdagangan yang makin menguat dewasa ini memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi. Dari segi permintaan pasar, liberalisasi perdagangan memberikan peluang baru seperti pasar yang semakin luas sejalan dihapuskannya berbagai hambatan perdagangan antar negara. Namun liberalisasi perdagangan juga menimbulkan masalah serius jika komoditas yang diproduksi secara lokal tidak mampu bersaing di pasar dunia. Tujuan Penulisan Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, tulisan ini ditujukan untuk: (1) Melakukan analisis profitabilitas usahatani tebu dan tembakau; (2) Melakukan analisis tentang keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif usahatani tebu dan tembakau; (3) Mengkaji kebijakan insentif dalam sistem komoditas tebu dan tembakau; dan (4) Merumuskan perspektif dalam pengembangan komoditas tebu dan tembakau. METODOLOGI Lokasi Penelitian, Informasi dan Data Basis informasi primer dalam studi ini difokuskan di tiga kabupaten, yang terdapat di dua provinsi, yaitu Jawa Timur (Kediri dan Ngawi) dan Jawa Tengah (Klaten). Kajian untuk komoditas tebu dilakukan di Kabupaten Kediri pada semua tipe irigasi dan Ngawi terbatas pada tipe irigasi sederhana dan tadah hujan, dan Klaten terbatas pada irigasi teknis. Sementara itu, untuk komoditas tembakau hanya difokuskan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang diusahakan pada desa contoh irigasi teknis dan setengah teknis untuk tembakau asepan, dan di desa contoh irigasi sederhana untuk tembakau rajangan sesuai dengan data dan informasi yang tersedia. Periode penelitian untuk komoditas tebu antara MH 2000/2001 MK II 2001, sedangkan untuk komoditas tembakau selama satu musim MK I atau MK II. Pemilihan lokasi mengikuti lokasi contoh padi, yang didasarkan pertimbangan adanya perbedaan tipe irigasi dan tingkat ketersediaan air, sehingga juga menggambarkan tingkat teknologi usahatani yang diterapkan. Dalam hal ini faktor pembeda teknologi adalah derajat pengendalian air, yang berbeda menurut ketersediaan dan keandalan sarana irigasi. Penelitian ini membedakan empat sistem pengairan sawah yakni : irigasi teknis dengan ketersediaan air baik, setengah teknis dengan tingkat ketersediaan air sedang, sederhana dengan tingkat ketersediaan air kurang dan tadah hujan. Pada setiap kabupaten dipilih empat desa yang merepresentasikan jenis irigasi tersebut. Data primer dan sekunder dianalisis secara proporsional. Pengumpulan data usahatani di tingkat petani, untuk tebu dilakukan pada satu musim tebu atau dari MH 2000/2001 hingga MK II 2001, sedangkan untuk tembakau yang diusahakan petani umumnya hanya diusahakan pada MKI atau MK II 2001. Sementara itu informasi kualitatif mengenai pasar input-output pertanian di pedesaan dilakukan secara periodik mulai dari MH 1999/2000 sampai MH 2001/2002. Penggalian informasi kualitatif lainnya dilakukan secara berlapis di tingkat desa, kabupaten dan provinsi di antaranya; formal dan informal leaders, pedagang pengumpul, whole-sale, dan industri pengolahan tembakau yang lebih dikenal dengan industri pengopenan tembakau dan industri perajangan tembakau. Untuk komoditas tebu informasi di luar sistem usahatani, lebih mengandalkan data sekunder dan studi pustaka. Pendekatan Analisis Analisis dititikberatkan pada trend areal, produksi dan produktivitas serta ekspor dan impor, keragaan sistem usahatani; analisis keuntungan baik secara finansial dan ekonomi; daya saing di tingkat petani serta menganalisis dampak kebijaksanaan insentif pemerintah terhadap sistem usahatani tebu dan tembakau. Analisis Matriks Kebijaksanaan (Policy Analysis Matrix, PAM) digunakan untuk menganalisis kelayakan usaha baik secara private maupun secara sosial, keunggulan kompetitif (efisiensi finansial) dan keunggulan komparatif (efisiensi ekonomi), serta dampak intervensi atau kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas. Pada penelitian ini akan di lihat pada tingkat usahatani (level farm gate), namun informasi 84

pada industri pengolahan maupun pemasaran diperlukan dalam melakukan penyesuaian dalam penentuan harga sosial. Untuk jelasnya Matriks PAM dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tabel Policy Analysis Matrix (PAM) Harga Privat Harga Sosial Penerimaan input tradable Biaya A B C D = A-B-C E F G H = E-F-G input nontradable Keuntungan Divergensi E F G I = A- J = B K =C- Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan : D = Keuntungan Privat H = Keuntungan Sosial I = Transfer Output J = Transfer Input K = Transfer Factor L = Transfer Bersih L=I-J-K = D- H Baris pertama dari Matriks PAM adalah perhitungan dengan harga privat atau harga pasar, yaitu harga yang betul-betul diterima atau dibayarkan oleh pelaku ekonomi. Baris kedua merupakan perhitungan yang didasarkan pada harga sosial (shadow price), yaitu harga yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur-unsur biaya maupun hasil. Baris ketiga merupakan perbedaan perhitungan dari harga privat dengan harga sosial sebagai akibat dari dampak kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada. Untuk input dan output yang dapat diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (Cost Insurance and Freight), sedangkan komoditas yang diekspor digunakan harga FOB (Free on Board). Sedangkan untuk input non tradable digunakan biaya imbangannya (opportiny cost). Beberapa indikator hasil analisis dari Matriks PAM diantaranya adalah : 1. Analisis Keuntungan a. Private Profitability (PP) : D = A (B+C). Keuntungan privat merupakan indikator daya saing (competitivness) dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijaksanaan yang ada. Apabila D>0, berarti sistem komoditas memperoleh profit atas biaya normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditas tersebut mampu ekpansi, kecuali apabila sumber daya terbatas atau adanya komoditas lain yang lebih menguntungkan. b. Social Profitability (PP) : H = E (F+G) Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi baik akibat kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar. Apabila H > 0, berarti sistem komoditas memperoleh profit atas biaya normal dalam harga sosial dan mempunyai keunggulan komparatif. 2. Efisiensi Finansial dan Efisiensi Ekonomi a. Private Cost Ratio (PCR) = C/(A-B) : yaitu indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya sumberdaya domestik dan tetap kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR < 1. Semakin kecil nilai PCR berarti semakin kompetitif. b. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G/(E-F): yaitu indikator keunggulan komparatif, yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif jika DRC < 1. Semakin kecil nilai DRC berarti sistem semakin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif makin tinggi. 3. Dampak Kebijakan Pemerintah a. Kebijakan Output (1) Output Transfer : OT = A-E : Transfer output merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial (bayangan). Jika nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen) terhadap produsen, demikian juga sebaliknya. (2) Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) = A/E; yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap output pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika nilai NPCO > 1. Semakin besar nilai NPCO berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap output. 85

b. Kebijakan Input (1) Input Tranfer :IT = B F : Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Jika nilai IT > 0, menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input tradable. (2) Nominal protection Coefficient on Input (NPCI) = B/F; yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI < 1, berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable. (3) Factor Tranfer: FT = C G; Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai FT>0, mengandung arti bahwa ada transfer dari petani produsen kepada produsen input non tradable, demikian juga sebaliknya. c. Kebijakan Input-Output (1) Effective Protection Coefficient (EPC) = (A-B)/(E-F); yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC > 1. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas pertanian domestik. (2) Net Transfer : NT = D H; Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT>0, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, demikian juga sebaliknya. (3) Profitability Coefficient : PC = D/H; Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersifat sosialnya. Jika PC > 0, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen, demikian juga sebaliknya. (4) Subsidy Ratio to Producer (SRP) = L/E = (D-H)/E; yaitu indikator yang menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi atau pajak digunakan sebagai pengganti kebijakan. Penentuan Input-Output Fisik Input bibit tebu dan tembakau, pupuk yang digunakan memakai satuan kg, sementara untuk pestisida adalah liter, dan untuk satuan luas tanah adalah hektar. Tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga dikonversi ke jam kerja pria (HKP) yang dalam penelitian langsung dinilai ke dalam upah tenaga kerja (Rp/JK). Selanjutnya, untuk satuan output dilakukan penyesuaian dari gula putih atau gula merah ke tebu, dan dari tembakau olahan ke tembakau daun basah. Struktur input dan output diperoleh dari hasil survei di lapang. Pengalokasian Komponen Biaya Domestik dan Asing Dalam studi ini, pembagian komponen biaya ke dalam komponen biaya asing dan domestik memakai pendekatan langsung. Hal ini didasarkan atas kenyataan untuk input tradable, baik barang impor maupun produksi dalam negeri, jika terjadi kekurangan permintaan dapat dipenuhi dari penawaran di pasar internasional. Pada penelitian ini barang-barang yang diasumsikan 100 persen tradable Irigasi tekniss adalah untuk gula putih atau tebu dan tembakau hasil olahan atau tembakau daun basah. Sedangkan untuk input adalah benih padi, pupuk urea, TSP, SP-36, KCL, ZA, NPK, Pupuk Alternatif, ZPT, PPC, pestisida, alat angkut, dan alat pena-nganan. Di lain pihak, input yang diasumsikan 100 persen sebagai domestic factors adalah nilai sewa lahan, tenaga kerja, pupuk kandang, pajak dan iuran air. Komposisi alokasi biaya domestik dan asing untuk kegiatan transportasi didasarkan atas hasil wawancara dengan berbagai pelaku tataniaga, di mana untuk biaya tenaga kerja dalam proses pengangkutan sebagai komponen domestik (domestic factor) dan biaya angkut yang merepresentasikan sewa alat angkut sebagai komponen asing (tradable). Demikian juga untuk kegiatan penanganan. Pembagian komponen tradable dan domestic factors pada biaya penanganan didasarkan dari data hasil wawancara langsung dengan para pelaku ekonomi komoditas tebu 86

atau gula putih dan tembakau daun basah atau tembakau hasil olahan. Biaya penanganan untuk komoditas tebu atau gula putih dan tembakau hasil olahan atau tembakau daun basah yang diteliti terdiri dari biaya bahan (tradable) dan domestic factors untuk tenaga kerja/buruh. Secara terperinci hasil alokasi biaya ke dalam komponen domestik dan asing dapat disimak pada Tabel Lampiran 1. Sedangkan justifikasi dalam penentuan hara sosial input dan output dikemukakan pada Tabel Lampiran 2. EKONOMI TEBU DAN TEMBAKAU Perkembangan Luas Areal Tebu dan Produksi Gula di Indonesia Penguasahaan tebu di Jawa dapat dibedakan atas tebu rakyat yang di tanam di lahan sawah dan lahan kering, serta tebu milik pabrik gula (Malian, 1998). Dalam upaya alih teknologi kepada petani tebu, petani tebu dikelompokkan menjadi kelompok kolektif dan petani kooperatif, disamping itu terdapat petani tebu individual sebagai petani Tebu Rakyat Bebas/TRB (Rachmat, 1992). Kelompok kolektif adalah kelompok petani tebu dalam satu hamparan yang pengelolaannya ditangani oleh ketua kelompok, sedangkan pada kelompok kooperatif walaupun petani dikoordinasikan pada satu kelompok, pengelolaan tebu dilakukan oleh petani secara individu. Perkembangan luas areal, produktivitas hablur, rendemen, dan produksi selama periode (1990-2002) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 memberikan gambaran bahwa luas areal tanam tebu, produktivitas hablur, tingkat rendemen, dan produksi gula mengalami penurunan sejalan dengan liberalisasi perdagangan dan dihapuskannya subsidi gula sejak 1 oktober 1998, yang mendorong turunnya harga. Penurunan tersebut juga terkait dengan penghapusan subsidi pupuk sejak Desember 1998 dan bersamaan dengan krisis moneter, sehingga harga pupuk meningkat dua kali lipat, yang berdampak pada penurunan dosis penggunaan pupuk serta tingkat produktivitas dan rendemen yang dihasilkan. Kebijakan tersebut terkait dengan kesepakatan yang tertuang dalam Letter of Intens (LOI) antara IMF dengan pemerintah Indonesia bahwa subsidi hanya bisa dilakukan dalam bentuk subsidi langsung dan atau dalam bentuk pembangunan infrastruktur ekonomi. Keragaan produksi gula nasional adalah sebagai berikut : (1) Pada tahun 2002 di Indonesia terdapat 71 pabrik gula (PG), di mana 58 buah berada di Jawa dan 12 lainnya berada di Luar Pulau Jawa, serta 1 buah pabrik gula rafinasi; (2) Berdasarkan kepemilikannya 62 buah PG milik negara dan 8 buah milik swasta; (3) Dari 71 PG tersebut yang masih beroperasi tinggal 63 PG, karena kelangkaan bahan baku dan secara ekonomi tidak menguntungkan lagi; (4) Kapasitas pabrik gula berkisar 1.000-12.000 TTH, dengan areal mencapai kurang lebih 400. 000 ha menyebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Tabel 2. Perkembangan Luas Areal Tebu, Produktivitas Hablur, Rendemen, dan Produksi, Tahun 1990-2002 Tahun Areal (ha) Tebu Hablur Rendemen Produksi Produksi Hablur (ton/ha)* (ton/ha) (%) Tebu** (ton) 1990 364.977 76,95 5,81 7,55 28.084.980 2.119.509 1991 386.384 72,97 5,83 7,99 28.194.440 2.252.666 1992 404.439 79,06 5,70 7,21 31.974.947 2.306.430 1993 420.680 78,67 5,90 7,50 33.094.896 2.482.720 1994 428.726 68,92 5,72 8,03 29.547.796 2.453.566 1995 420.630 71,45 4,98 6,97 30.054.014 2.096.602 1996 403.267 70,90 5,19 7,32 28.591.630 2.094.194 1997 385.669 72,54 5,68 7,83 27.976.429 2.189.975 1998 377.089 71,95 3,95 5,49 27.131.553 1.491.553 1999 340.802 85,49 5,95 6,96 29.135.163 1.488.601 2000 337.494 70,82 5,00 7,06 23.901.325 1.685.827 2001 344.750 73,14 5,01 6,85 25.215.015 1.727.570 2002 * 351.241 73,16 5,48 7,49 25.696.792 1.923.832 Rata-rata 382.011 74,31 5,40 7,25 28.353.768 2.077.805 Trend (%/th) -1,35-0,20-0,80-0,95-1,56-2,56 Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2002. *)Angka sementara **)Hasil rekonversi 87

Informasi kualitatif dari lapang menunjukkan bahwa kinerja usahatani tebu dan PG milik negara secara umum makin tidak efisien, yang antara lain disebabkan oleh: (1) makin rendahnya rendemen tebu yang dihasilkan petani sebagai akibat rendahnya adopsi teknologi dan kemandegan dalam menghasilkan bibit tebu berkualitas serta bergesernya areal tanam tebu dari lahan sawah ke lahan kering; (2) tingginya biaya sewa lahan yang menunjukkan tanaman tebu harus berkompetisi dengan komoditas dengan pola tanam dominan; (3) mesin pabrik yang sudah usang dan sebagai akibat makin jauhnya sentra tanaman tebu dengan lokasi PG; (4) tidak adanya reinvestasi dalam PG, padahal alat dan mesin penggilingan sudah usang; dan (5) banyaknya birokrasi yang terlibat dalam penanganan industri gula telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economics) dalam industri gula. Perkembangan Impor dan Harga Gula Konsumsi gula nasional meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, serta berkembangnya industri berbahan baku gula. Peningkatan konsumsi domestik tersebut belum dapat diimbangi dengan peningkatan produksi, sehingga untuk menutup kekurangannya harus mengimpor gula dari pasar internasional. Tabel 3 memberikan gambaran sebagai berikut: (1) rata-rata volume impor gula pada periode 1990-2002 mencapai 889.889 ton per tahun; (2) perkembangan impor selama periode tersebut meningkat lebih dari 17 persen per tahun; (3) harga gula dunia untuk white sugar dan raw sugar mengalami penurunan masingmasing sekitar 2 persen per tahun. Sementara itu harga gula domestik pada periode yang sama mengalami peningkatan yang sangat tinggi yaitu sekitar 12 persen per tahun. Kondisi tersebut menunjukkan komoditas tebu atau gula domestik semakin tidak memiliki dayasaing di pasar internasional. Dilihat dari dinamika kebijakan gula nasional, sejak tahun1981 tataniaga gula pasir diatur oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 122/ KP/III/1981 tentang Tataniaga Gula Pasir Produksi Dalam Negeri, yang menyebutkan bahwa Bulog melakukan pembelian seluruh produksi gula dalam negeri guna disalurkan kepada masyarakat. Dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1998 tanggal 21 Januari 1998 tentang perubahan Atas Keputusan Presiden No 50 Tahun 1995 tentang Badan Urusan Logistik sebagaimana telah di ubah dengan keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1997 maka Bulog hanya mempunyai tugas pengendalian harga dan pengelola persediaan beras. Meskipun demikian berdasarkan surat Menteri Keuangan No S-116/MK/1998 tanggal 21 Februari 1998 perihal pengadaan Gula Pasir Tabel 3. Perkembangan Volume Impor Gula, Harga Gula Dunia, dan Harga Gula Domestik, Tahun 1990-2002 Tahun Gula Impor (Ton) Harga Gula Dunia ** Harga Gula White Sugar Raw Sugar Domestik (Rp/Kg) (U$/Ton) (U$/Ton) 1990 278.501 346,40 251,00 1.050 1991 306.774 268,20 180,80 1.125 1992 316.675 247,80 181,80 1.215 1993 236.719 255,80 200,60 1.256 1994 128.399 344,99 269,33 1.260 1995 523.988 396,13 295,52 1.430 1996 975.830 366,70 263,61 1.481 1997 1.364.563 315,87 249,90 1.525 1998 1.730.473 255,19 195,59 2.737 1999 2.187.133 200,61 137,75 2.640 2000 1.556.687 221,73 179,57 2.989 2001 1.072.921 249,31 188,60 3.746 2002 * 1.302.181 246,24 153,78 3.758 Rata-rata 889.889 285 77 211,73 2.015 Trend (%/th) 17,57-2,36-2,37 11,88 Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2002. *) Taksasi Maret 2002 **) London Daily Price : White and Raw Sugar 88

Dalam Negeri, seluruh produksi gula pasir baik yang dihasilkan BUMN maupun yang dihasilkan swasta tetap akan dibeli seluruhnya oleh Bulog. Berdasarkan dinamika kebijakan gula nasional menunjukkan bahwa kebijakan pengadaan dan distribusi gula masih terjadi tarik menarik antara tetap adanya kebijakan (intervensi pemerintah) dan yang mengarah pada perdagangan bebas. Berbagai kebijakan terbaru dalam industri gula telah dikeluarkan akhir-akhir ini. Sebagai ilustrasi dalam kurun waktu tersebut pemerintah telah mengeluarkan penyesuaian harga gula provenue sebanyak 12 kali yang ditujukan untuk meningkatkan atau paling tidak mempertahankan produksi gula nasional (Sudana, 2002). Pada periode sebelum Juni 2002, pemerintah melakukan perlindungan terhadap produsen tebu dan gula melalui kebijakan tarif, dengan tingkat tarif 25 persen. Kebijakan tersebut belum memuaskan produsen gula. Untuk memenuhi tuntutan APTR (Asosiasi Petani Tebu rakyat) dan menghindari penurunan harga gula akibat penguatan nilai tukar rupiah, maka sejak tanggal 3 Juli 2003 pemerintah mengubah tarif impor gula 25 persen menjadi tarif spesifik sebesar Rp.700/kg. Bahkan belum lama ini Presiden menyetujui kenaikan bea masuk gula kristal mentah hingga Rp. 1.200/kg dan sekaligus memberikan subsidi kepada petani tebu sebesar Rp. 500/kg. Dengan jenis dan tingkat tarif seperti itu, pemerintah mengharapkan agar pendapatan petani tebu dapat meningkat dan petani tetap bergairah untuk menanam tebu. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tembakau di Indonesia Pengusahaan tembakau di Indonesia khususnya di Jawa dapat dibedakan atas perkebunan tembakau rakyat yang ditanam di lahan sawah dan lahan kering, serta tembakau perkebunan besar nasional terutama milik perkebunan negara. Perkembangan luas areal dan produksi periode 1990-2000 tertera pada Tabel 4. Data Tabel 4 menunjukkan gambaran berikut: (1) Luas areal tanam tembakau perkebunan rakyat mengalami penurunan dari sekitar 231 ribu hektar (tahun 1990) menjadi sekitar 194 ribu hektar (tahun 2000) atau mengalami penurunan sebesar 1,65 persen per tahun. Sedangkan luas areal tanaman tembakau perkebunan besar nasional mengalami penurunan dari sekitar 4.600 hektar (tahun 1990) mejadi 3900 hektar (tahun 2000) atau mengalami penurunan sebesar 1,05 persen per tahun. Dengan demikian secara total luas areal mengalami penurunan dari 236 ribu hektar (1990) menjadi 199 hektar (2000) atau mengalami penurunan sebesar 1,63 persen per tahun; (2) Pada periode yang sama produksi tembakau sedikit mengalami peningkatan, produksi tembakau perkebunan rakyat naik 0,35 persen per tahun, perkebunan besar nasional meningkat sebesar 1,00 persen per tahun, dan secara nasional mengalami peningkatan sebesar 0,36 persen per tahun; (3) Penurunan luas Tabel 4. Perkembangan Luas Areal Tembakau dan Produksi Tembakau Menurut Jenis Pengusahaan, Tahun 1990-2000 Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) P. Rakyat PBN Jumlah P. Rakyat PBN Jumlah 1990 231.284 4.582 235.866 152.768 3.664 156.432 1991 210.844 3.994 214.838 137.039 3.224 140.283 1992 162.685 4.162 166.847 109.566 2.089 111.655 1993 174.798 3.698 178.496 118.936 2.434 121.370 1994 189.227 3.868 193.095 127.730 2.404 130.134 1995 217.469 3.475 220.944 137.078 3.091 140.169 1996 222.025 3.450 225.475 148.435 2.590 151.025 1997 245.327 3.550 248.877 206.322 3.304 209.626 1998 161.550 3.937 165.487 102.174 3.406 105.580 1999 163.278 3.993 167.271 132.174 3.210 135.384 2000 164.712 3.976 168.688 132.408 3.170 135.578 Rataan 194.836 3.905 198.717 136.785 2.964 139.749 Trend (%/th) -1,65-1,04-1,63 0,35 1,00 0,36 Sumber : Statistik Perkebunan, Ditjen Perkebunan, Tahun 2000. 89

areal yang kecil dibarengi peningkatan produksi yang kecil mengindikasikan adanya peningkatan produktivitas, yang berarti makin dikuasainya adopsi teknologi budidaya oleh petani. Penurunan luas areal panen tembakau terkait dengan kebijakan penghapusan subsidi pupuk sejak Desember 1998 dan bersamaan dengan krisis moneter, sehingga harga pupuk meningkat dua kali lipat, serta adanya fluktuasi harga yang tinggi di pasar internasional. Perkembangan Ekspor dan Impor Tembakau Konsumsi rokok nasional meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, serta berkembangnya industri rokok. Peningkatan permintaan tembakau domestik sudah tidak dapat dipenuhi lagi dari peningkatan produksi domestik, sehingga sebagian kebutuhan tembakau domestik dipenuhi impor dengan tendensi semakin meningkat, meskipun posisi Indonesia saat ini masih net eksportir. dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 5,78 persen per tahun; (4) rata-rata volume impor tembakau periode (1990-2000) mencapai sekitar 38 ribu ton per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sekitar 35 ribu ton per tahun; (5) perkembangan impor tembakau selama periode tersebut meningkat sebesar 3,68 persen per tahun dan dalam bentuk daun kering sebesar 2,68 persen per tahun;(6) perkembangan impor dalam bentuk nilai untuk tembakau 8,61persen per tahun dan tembakau daun kering 4,67 persen per tahun; dan (7) perkembangan nilai ekspor yang lebih rendah dibandingkan nilai impor menunjukkan bahwa tembakau Indonesia mengalami penurunan kualitas dan daya saing di pasar dunia. Pola Tanam dan Siklus Tanam Pengusahaan tanaman tebu di Kabupaten Kediri, Ngawi, dan Klaten pada awalnya banyak diusahakan di lahan sawah berpengairan teknis, namun pengusahaan tebu saat Tabel 5. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Tembakau Indonesia, Tahun 1990-2000 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Ekspor Impor Volume (ton) Nilai (000 $) Volume (ton) Nilai (000 $) Tembakau Daun Daun Daun Daun Tembakau Tembakau Tembakau tembakau tembakau tembakau tembakau 39.028 17.401 124.798 58.613 27.704 26.545 47.222 41.964 45.146 22.403 145.932 57.860 29.933 28.543 67.654 58.430 60.903 28.365 206.418 80.950 26.679 25.108 78.646 64.546 70.770 37.888 176.652 66.238 32.877 30.226 99.544 76.997 53.787 30.927 126.423 53.262 42.985 40.332 125.299 100.216 53.002 21.989 186.769 61.456 52.204 47.954 156.129 115.474 62.148 33.205 219.500 84.372 49.810 45.060 181.418 134.153 75.883 42.281 245.797 104.743 52.140 47.108 206.549 157.767 72.243 46.960 254.332 147.552 19.761 17.152 84.474 75.971 62.468 37.097 212.073 91.834 43.626 40.913 141.060 128.019 60.361 35.658 220.977 71.287 42.768 34.248 163.694 114.834 Rata-rata Trend (%/th) 59.613 1,49 32.198 6,05 192.697 2,27 79.883 5,78 Sumber : Statistik Perkebunan, Ditjen Perkebunan, Tahun 2000 38.226 3,68 122.881 8,61 122.881 8,61 97.125 4,67 Tabel 5 memberikan gambaran sebagai berikut: (1) rata-rata volume ekspor pada periode (1990-2000) sekitar 60 ribu ton, sedangkan rata-rata volume ekspor daun tembakau kering sekitar 32 ribu ton; (2) perkembangan volume ekspor tembakau meningkat sebesar 1,49 persen per tahun dan dalam bentuk daun kering tumbuh rata-rata 6,95 persen per tahun; (3) perkembangan nilai ekspor dalam bentuk tembakau sebesar 2,27 persen per tahun dan ini banyak bergeser ke lahan sawah tadah hujan dan lahan tegalan. Meskipun pada pedesaan contoh Kediri dan Ngawi masih banyak ditemukan pengusahaan tebu di lahan sawah, karena di samping banyak pabrik gula yang masih beroperasi, juga berkembang industri kecil gula merah berbahan baku tebu. Di pedesaan Kabupaten Klaten, pengusahaan tebu relatif terbatas di lahan sawah bengkok atau lungguh milik pamong desa. Keragaan pola tanam dan siklusnya tertera pada Tabel 6. 90

Tabel 6. Keragaan Pola Tanam dan Siklus Tanam di Pedesaan Contoh Kediri, Ngawi dan Klaten, Tahun 2000-2001 Uraian Irigasi teknis Irigasi ½ teknis Irigasi sederhana Tadah hujan 1. Kediri a. Pola Tanam 1. Pd-pd-jg 1. Pd-pd-jg 1. Pd-jg-sayuran 1. Pd-jg-jg 2. Pd-jg-jg 2. Pd-pd-sayuran 2. Jg-sayuran-pd 2. Pd-jg-cabe 3. Pd-cb-Kcpj/tmt 3. Pd-jg-sayuran 3. Sayuran-pd-jg 3. Pd-jg-sayur lain 4. Tebu 4. Tebu 4. Tebu 4. Tebu b. Siklus Tanam 1-3 : satu tahun 1-3 : satu tahun 1-3 : satu tahun 1-3 : satu tahun 4 : 2-4 tahun 4 : 2-4 tahun 4 : 2-4 tahun 4 : 2-4 tahun 2. Ngawi a. Pola Tanam 1. Pd-pd-pd 1. Pd-pd-pd 1. Pd-pd-plw 1. Pd-pd-pd 2. Pd-pd-plw 2. Pd-pd-plw 2. Pd-plw-plw 2. Pd-plw-bera 3. Pd-plw-plw 3. Pd-plw-plw 3. Pd-plw-bera 3. Plw-pd-plw 4. Tebu 4. Tebu 4. Tebu 4. Pd-melon-mln b. Siklus Tanam 1-3 : satu tahun 1-3 : satu tahun 1-3 : satu tahun 1-3 : satu tahun 4 : 2-4 tahun 4 : 2-4 tahun 4 : 2-4 tahun 4 : 2-4 tahun 3. Klaten a. Pola Tanam 1. Pd-pd-tbk 1. Pd-tbk-jg 1. Kctnh-pd-tbk 1. Pd gora-pd-kdl 2. Pd-pd-kdl 2. Pd-pd-jg 2. Pd-tbk-jg 2. Kdl-pd-kdl 3. Pd-pd-Kctnh 3. Pd-jg-jg 3. Pd-tbk-cabe 3. Jg-pd kdl 4. Pd-pd-Jg 4. Kctnh-pd-kdl 5. Tebu b. Siklus Tanam 1 : 4 tahun 1-3 :2-3 tahun 1-3 : satu tahun 1-4 : satu tahun 5 : 2-3 tahun Berdasarkan kajian di lapang ternyata bahwa keputusan petani untuk menanam jenis tanaman apa pada musim yang bersangkutan sangat ditentukan ada tidaknya tanaman komersial yang dipandang menguntungkan. Sebagai ilustrasi di Kabupaten Klaten keputusan petani tentang jenis tanaman dan pola tanam yang dipilih sangat ditentukan kapan tanaman tembakau harus ditanam dan dipanen, sehingga dalam siklus tanam yang dipilih memberikan keuntungan yang maksimal bagi petani. Secara umum pola tanam yang ada di pedesaan contoh yang tidak ada pengusahaan tanaman perkebunan adalah satu tahun, sedangkan yang ada tanaman tembakau ada yang satu tahun, dua tahun, dan tiga tahun. Sementara itu untuk yang mengusahakan tanaman tebu, lamanya siklus tanam adalah 2-4 tahun, tergantung sampai keprasan berapa tebu akan dibongkar. Beberapa jenis tembakau yang diusahakan petani di Kabupaten Klaten adalah tembakau Jawa asepan, Virginia, dan tembakau Jawa rajangan. Varietas Jawa asepan yang paling dominan adalah grompol, sedangkan varietas Jawa rajangan adalah Bligon, Malawi dan Japlakan. Secara umum tanaman tembakau membutuhkan air dalam jumlah dan waktu yang harus dikendalikan dengan baik, melalui pengaturan sistem drainase yang baik. Meskipun membutuhkan air, tanaman tembakau sangat rentan terhadap curah hujan yang terlalu tinggi. Dengan demikian kedua jenis tanaman perkebunan tersebut mempunyai saat panen pada musim kering, karena rendemen dan kualitas hasil dapat dipertahankan. PROFITABILITAS FINANSIAL DAN SOSIAL Analisis data primer input-output usahatani tebu dan tembakau di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel Lampiran 3, 4, dan 5. Sedangkan hasil analisis profitabilitas finansial dan ekonomi (sosial) secara terperinci dapat dilihat pada Tabel Lampiran 6 dan 7. Sementara itu, hasil analisis PAM komoditas tebu dan tembakau di kabupaten contoh dapat disimak pada Tabel Lampiran 8, 9 dan 10. Berdasarkan analisis biaya dan keuntungan secara privat menunjukkan bahwa usahatani tebu di Kabupaten Kediri, Ngawi, dan Klaten, pada beberapa tipe irigasi secara privat menguntungkan. Besarnya keuntungan untuk Kabupaten Kediri berkisar antara Rp. 907 ribu 2,18 juta/ha/musim tebu; Ngawi antara Rp. 507 ribu Rp. 1,18 juta/ha/musim tebu dan Klaten 91

Tabel 7. Keuntungan Finansial dan Keuntungan Ekonomik, PCR dan DRC Usahatani Tebu (MH 200/2001-MK 2001) di Kabupaten Kediri dan Ngawi (Jawa Timur) dan Klaten (Jawa Tengah) Uraian A. Tebu ( MH 00/01-01) Kabupaten Kediri 1. Irigasi teknis K-1 2. Irigasi ½ teknis K-3 3. Irigasi sederhana K-1 4. Tadah hujan Pucuk 5. Tadah hujan K-1 6. Tadah hujan K-3 Kabupaten Ngawi 1. Irigasi sederhana K-3 2.Tadah hujan Pucuk 3.Tadah hujan K-3 Kabupaten Klaten Irigasi teknis Pucuk B. Tembakau 1.Irigasi teknis, Asepan MK-1 2.Irigasi ½ teknis, Asepan MK-1 3.Irigasi sederhana, Rajangan MK-II Keuntungan Finansial (000 Rp) 2.182,6 1.869,9 1.475,8 958,2 907,2 931,2 1.179,5 963,5 506,9 1.535,7 3.084,9 2.102,7 3.189,3 Keuntungan Ekonomik (000 Rp) -2.176,0-2.380,6-2.151,8-1.984,4-2.154,6-2.148,7-2.803,4-2.155,4-2.042,8-2.200,4 6.746,0 5.224,2 2.072,3 PCR 0,78 0,81 0,83 0,85 0,86 0,86 0,87 0,84 0,91 0,82 0,62 0,67 0,55 DRC 1,38 1,41 1,41 1,54 1,57 1,53 1,50 1,68 1,61 1,42 0,42 0,45 0,65 sebesar Rp 1,54 juta/ha/musim tebu. Jika dibandingkan dengan pola tanam dominan di Kediri (padi-padi-jagung) yang memberikan keuntungan sekitar Rp. 3 juta-3,2 juta per tahun, pola tanam dominan di Ngawi (padi-padi-kedelai) dengan keuntungan sebesar Rp. 1,77 juta 4,34 juta, serta pola tanam dominan di Klaten (padi-padi-tembakau) memberikan keuntungan sebesar Rp. 3,44 juta 4,53 juta/ha/tahun, maka keuntungan usahatani tebu lebih rendah dibandingkan pola tanam dominan yang ada. Rendahnya tingkat keuntungan privat usahatani tebu terkait dengan rendahnya tingkat produktivitas dan rendemen yang dihasilkan petani. Usahatani tembakau baik tembakau asepan (kasus desa contoh irigasi teknis dan setengah teknis) maupun tembakau rajangan (desa contoh irigasi sederhana) di Kabupaten Klaten secara privat memberikan keuntungan yang relatif besar. Usahatani tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis sebesar Rp. 3,08 juta/ha/musim dan irigasi setengah teknis Rp. 2,10 juta/ha/musim, sedangkan untuk usahatani tembakau rajangan sebesar Rp. 3,20 juta/ha/ musim. Usahatani alternatif seperti padi, pada musim MK I dan MK II hanya memberikan keuntungan antara Rp. 476 ribu-740 ribu/musim. Relatif memadainya tingkat keuntungan privat usahatani tembakau sangat terkait dengan tingkat produktivitas dan rendemen yang normal, sehingga meskipun harga tembakau daun basah sedang jatuh petani masih mendapatkan keuntungan yang memadai. Sementara itu, analisis biaya dan keuntungan secara sosial atau ekonomi menunjukkan bahwa pengusahaan usahatani tebu di Kabupaten Kediri, Ngawi, dan Klaten pada beberapa tipe irigasi secara ekonomi tidak menguntungkan. Besarnya kerugian usahatani tebu secara sosial di Kediri berkisar antara Rp.1,98 - Rp.2,38 juta/ha/musim, Ngawi berkisar Rp.2,04 - Rp.2,80 juta/ha/musim, dan Kabupaten Klaten mengalami kerugian sebesar Rp.2,20 juta/ha/ musim. Usahatani tembakau baik tembakau asepan (kasus desa contoh irigasi teknis dan setengah teknis) maupun tembakau rajangan (desa contoh irigasi sederhana) di Kabupaten Klaten secara sosial memberikan keuntungan yang relatif besar. Besarnya keuntungan sosial untuk usahatani tembakau asepan pada desa contoh irigasi teknis sebesar Rp. 6,75 juta/ ha/musim, tembakau asepan pada irigasi setengah teknis sebesar Rp. 5,22 juta/ha/musim, dan untuk usahatani tembakau rajangan pada irigasi sederhana sebesar Rp. 2,07 juta/ha/ musim. Besarnya biaya dan keuntungan usahatani secara privat dan sosial untuk komoditas tebu dan tembakau dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 terlihat bahwa besarnya keuntungan privat yang dinikmati oleh petani tebu, di desa contoh Kediri, Ngawi, dan Klaten 92

lebih tinggi dari keuntungan ekonominya. Fenomena tersebut merupakan indikasi bahwa harga input yang dibayar petani lebih rendah dan atau harga output yang diterima oleh petani lebih tinggi dari harga sosial. Hal ini nampaknya berkaitan dengan adanya tekanan dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR), agar petani mendapatkan proteksi dari pemerintah melalui kebijakan tarif. Sejak Januari tahun 2000 pemerintah mengeluarkan kebijakan pengenaan tarif impor gula sebesar 20 persen. Kebijakan tersebut belum memuaskan petani tebu dalam negeri, sehingga kebijakan tarif dirubah dalam bentuk kebijakan tarif spesifik sebesar Rp. 700/kg. Gambaran untuk usahatani tembakau menunjukkan bahwa, besarnya keuntungan privat yang dinikmati oleh petani tembakau jenis asepan di desa contoh irigasi teknis maupun irigasi setengah teknis, lebih rendah dari keuntungan ekonominya. Sementara itu untuk jenis tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana besarnya keuntungan lebih kecil dibandingkan keuntungan ekonominya. Fenomena untuk tembakau asepan merupakan indikasi bahwa harga input yang dibayar petani lebih tinggi dan atau harga output yang diterima oleh petani lebih rendah dari harga sosial. Sementara itu fenomena kedua menunjukkan bahwa harga input dan atau harga output yang diterima petani lebih tinggi dari yang seharusnya. Faktor penyebab yang membedakan tembakau asepan dan rajangan adalah harga jual output dan tujuan pasarnya. Untuk tembakau asepan yang ditujukan pasar ekspor harga sosial jauh lebih tinggi dibandingkan harga privatnya, sedangkan tembakau rajangan demand dan pasarnya terbatas pada pabrik rokok domestik, bahkan sebagian harus dipenuhi dari diimpor. KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF Keunggulan Komparatif Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang pertama kali dikenal dengan model Ricardian, yang lebih dikenal dengan hukum keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage) dari Ricardo. Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh G. Haberler yang menafsirkan bahwa labor of value hanya digunakan untuk barang antara, sehingga menurut G. Haberler teori biaya imbangan (theory opportunity cost) dipandang lebih relevan. Selanjutnya, teori Heckscher Ohlin tentang pola perdagangan menyatakan bahwa komoditas-komoditas yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) di ekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam proporsi yang sebaliknya. Jadi secara tidak langsung faktor produksi yang melimpah di ekspor dan faktor yang langka di impor (Ohlin, 1933, dalam Lindert dan Kindleberger, 1993). Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993) konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Keunggulan komparatif bersifat dinamis, menurut Scydlowsky (1984) dalam Zulaiha (1997) mengatakan bahwa faktor-faktor yang berubah adalah ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi. Berdasarkan pengertian di atas keunggulan komparatif adalah suatu ukuran relatif yang menunjukkan potensi keunggulan komoditas dalam perdagangan di pasar bebas (bersaing sempurna). Dalam konteks tersebut maka faktor-faktor utama yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah: (1) apakah komoditas tebu dan tembakau mempunyai keunggulan komparatif; (2) apakah keunggulan komparatif (potensial) dari komoditas tersebut di pasar juga unggul (memiliki keunggulan kompetitif); (3) apakah memiliki prospek keberlanjutan yang memadai; (4) bagaimana kekuatan dan kelemahan yang ada dalam sistem komoditas tersebut dalam kaitannya dengan peluang dan ancaman yang dihadapi; dan (5) kebijakan apa yang harus ditempuh agar keunggulan komparatif tersebut terwujud dalam keunggulan kompetitif dan berkelanjutan. Berdasarkan informasi dari Tabel 7, secara umum dapat disimpulkan bahwa usahatani tebu di desa contoh Kabupaten Kediri, Ngawi, dan Klaten tidak mempunyai keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh besaran nilai koefisien DRCR >1. Hasil analisis untuk komoditas tebu di pedesaan contoh Kediri diperoleh 93

nilai koefisian DRCR berkisar antara 1,38 1,57; untuk pedesaan contoh Ngawi diperoleh koefisien DRCR berkisar antara 1,50 1,68; di desa contoh Kabupaten Klaten diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 1,42. Sebagai pembanding hasil analisis daya saing untuk usahatani padi di Kediri memberikan nilai DRCR 0,75-1,07, di Ngawi 0,87-1,08, dan di Klaten 0,79-1,05. Sementara itu untuk palawija utama yaitu jagung di Kediri memberikan nilai koefisien DRCR 0,41-0,62 dan Klaten DRCR 0,32-0,54. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa bagi Kediri dan Ngawi, Jawa Timur dan Klaten, Jawa Tengah untuk menghasilkan satu-satuan output tebu pada harga sosial diperlukan korbanan biaya sumberdaya domestik pada harga sosial lebih besar dari satu. Dengan kata lain untuk menghemat satu-satuan devisa harus mengorbankan biaya imbangan sumberdaya domestik yang lebih besar. Dengan demikian untuk wilayah Jawa (kasus daerah penelitian) secara ekonomi akan lebih menguntungkan mengimpor dibandingkan meningkatkan produksi domestik, namun untuk Luar Jawa masih mempunyai peluang untuk mensubtitusi penurunan luas areal tanam dan produksi di Jawa. Hasil ini menjadi salah satu penjelas kenapa industri gula nasional tidak dapat berkembang bahkan mengalami penurunan secara tajam. Sementara itu untuk komoditas tembakau baik tembakau asepan (di desa contoh lahan sawah irigasi teknis maupun setengah teknis) dan tembakau rajangan (di desa contoh irigasi sederhana) menunjukkan bahwa komoditas tembakau mempunyai keunggulan komparatif, yang ditunjukkan oleh besaran nilai koefisien DRCR < 1. Hasil analisis untuk komoditas tembakau di Kabupaten Klaten, untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis diperoleh nilai koefisian DRCR 0,42; untuk tembakau yang sama pada desa contoh irigasi setengah teknis DRCR 0,45; dan untuk usahatani tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana nilai koefisien DRCR sebesar 0,65. Jika dibandingkan dengan komoditas kompetitor utama yaitu padi, hanya diperoleh nilai koefisien DRCR ratarata MH 1,04 dan MK 0,92, sedangkan untuk komoditas jagung diperoleh nilai koefisien DRCR antara 0,32-0,54. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa bagi Klaten, Jawa Tengah untuk menghasilkan satu-satuan output tembakau pada harga sosial diperlukan korbanan biaya sumberdaya domestik pada harga sosial lebih kecil dari satu. Atau dengan kata lain untuk menghasilkan satu-satuan devisa harus mengorbankan biaya imbangan sumberdaya domestik yang lebih kecil. Dengan hasil tersebut bagi Jawa Tengah atau Indonesia secara ekonomi akan lebih menguntungkan meningkatkan produksi tembakau dalam negeri dibandingkan mengimpor dari luar negeri. Hasil ini merupakan salah satu faktor penjelas makin berkembangnya industri pengolahan tembakau dan pabrik rokok dalam negeri meskipun terdapat kebijakan pemerintah yang sifatnya distortif terhadap peningkatan efisiensi dan daya saing pada sistem komoditas tersebut. Keunggulan Kompetitif Sudaryanto dan Simatupang (1993) mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif atau sering disebut revealed competitive advantage yang merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Hasil analisis pada Tabel 7, menunjukkan bahwa untuk komoditas tebu di Kabupaten Kediri diperoleh nilai koefisian PCR antara 0,78 0,86 di Kabupaten Ngawi nilai koefisien PCR antara 0,84 0,91, dan di Kabupaten Klaten diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 0,82. Sementara itu untuk komoditas tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis dan semi teknis masing-masing diperoleh nilai koefisien PCR 0,62 dan 0,67, sedangkan untuk tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 0,55. Sebagai pembanding hasil analisis untuk usahatani padi di Kediri diperoleh nilai koefisien PCR antara 0,69-0,81, Ngawi dengan nilai PCR antara 0,80-0,94, dan di Klaten diperoleh nilai PCR antara 0,76-0,94. Sementara itu untuk komoditas jagung di Kediri diperoleh nilai PCR antara 0,65-0,80 dan di Klaten antara 0,52-0,84. Nilai koefisien PCR untuk komoditas tebu <1, menunjukkan pengusahaan usahatani tebu secara privat di pedesaan contoh Kediri, Ngawi dan Klaten mempunyai keunggulan kompetitif, namun keunggulan yang dimiliki lebih kecil jika dibandingkan dengan komoditas padi dan jagung. Artinya untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output tebu pada harga privat hanya diperlukan kurang dari satu-satuan biaya 94

sumberdaya domestik. Dapat juga mengandung makna untuk menghemat satu-satuan devisa pada harga privat hanya diperlukan korbanan kurang dari satu-satuan biaya sumberdaya domestik. Berdasarkan kajian di lapang dan studi pustaka menunjukkan keunggulan kompetitif komoditas tebu lebih disebabkan adanya proteksi pemerintah terhadap industri gula nasional. Nilai koefisien PCR untuk komoditas tembakau <1, menunjukkan pengusahaan usahatani tembakau di Kabupaten Klaten baik untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis dan setengah teknis maupun untuk komoditas tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana menunjukkan usahatani tembakau mempunyai keunggulan kompetitif yang tinggi. Artinya untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga privat hanya diperlukan kurang dari satu-satuan biaya sumberdaya domestik. Dapat juga mengandung makna untuk menghemat satu-satuan devisa pada harga privat hanya diperlukan korbanan kurang dari satu-satuan biaya sumberdaya domestik. Berdasarkan kajian di lapang dan studi pustaka menunjukkan keunggulan kompetitif komoditas tembakau disebabkan kesesuaian agroklimat, teknologi budidaya dan pengolahan sudah dikuasai dengan baik. Hanya permasalahan pokok yang sering dihadapi petani tembakau adalah faktor eksternal di luar kontrol mereka, seperti fluktuasi harga di pasar dunia dan fluktuasi nilai tukar. SENSITIVITAS TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN HARGA Analisis sensitivitas dilakukan pada perubahan produktivitas dan harga yang di perlukan untuk mencapai kondisi nilai koefisien DRCR =1. Artinya untuk mencapai kondisi break even point dan keunggulan komperatif (DRCR=1) berapa pruduktivitas dan harga harus berubah. Jika nilai produktivitas dan harga aktual lebih tinggi dari nilai produktivitas dan harga pada kondisi keunggulan komparatif break even point (DRCR=1) mengandung arti bahwa usahatani tebu dan tembakau mempunyai keunggulan komparatif. Begitu juga dalam kondisi yang sebaliknya. Hasil analisis sensisitivitas dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil analisis sensitivitas usahatani tebu di pedesaan contoh Kabupaten Kediri, Ngawi dan Klaten menunjukkan bahwa, produktivitas aktual sedikit lebih rendah dari produktivitas pada kondisi keunggulan komparatif break even point (DRCR=1). Produktivitas aktual di pedesaan contoh Kabupaten Kediri mencapai 52.608 78.608 kg/ha, di Ngawi berkisar antara 43.990 67.838 kg/ha, dan di Klaten sebesar 66.993 kg/ ha; sedangkan produktivitas pada DRCR=1, untuk di pedesaan contoh Kediri lebih berkisar antara 74.444 102.555 kg/ha, di Ngawi berkisar antara 66.468-98.686 kg/ha, dan di Klaten sebesar 91.207 kg/ha. Hasil analisis untuk sensitivitas harga memberikan gambaran yang relatif sama, di mana harga aktual sedikit lebih rendah dibandingkan harga pada kondisi DRCR =1, yaitu harga sosial di Kediri, Ngawi dan Klaten sebesar Rp. 90,9/kg; sedangkan harga pada kondisi DRCR=1 untuk pedesaan contoh kediri berkisar antara Rp. 119 131/kg, di Ngawi berkisar antara Rp. 132-137/kg, dan di Klaten Rp. 124/kg. Sementara itu, untuk usahatani tembakau pada musim kemarau memberikan gambaran yang jauh lebih baik dibandingkan usahatani tebu. Produktivitas aktual usahatani tembakau asepan maupun rajangan jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi produktivitas DRCR=1. Produktivitas aktual tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis sebesar 12.988 kg/ha, untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi setengah teknis sebesar 11.200 kg/ha, sedangkan untuk tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana sebesar 5.388 kg/ha. Produktivitas break event point (DRCR=1) untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis sebesar 6.320 kg/ha, tembakau asepan di desa contoh irigasi setengah teknis sebesar 6.036 kg/ha, dan tembakau rajangan sebesar 3.904 kg/ha. Hasil analisis untuk sensitivitas harga untuk usahatani tembakau pada musim kemarau memberikan gambaran yang relatif sama, di mana harga aktual jauh lebih tinggi dibandingkan harga pada kondisi DRCR=1, yaitu harga sosial untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis dan setengah teknis masingmasing Rp.1.011,6/kg dan untuk tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana sebesar Rp.1.394/kg. Sementara itu, harga pada pada kondisi DRCR=1, untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis sebesar Rp. 492/kg, 95