LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA Oleh: A. Husni Malian Erna Maria Lokollo Mewa Ariani Kurnia Suci Indraningsih Andi Askin Amar K. Zakaria Juni Hestina PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PETANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2004

2 RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN 1. Kebijakan peningkatan gula merupakan kebijakan yang strategis dalam penyediaan kebutuhan gula nasional. Dengan angka ketergantungan impor yang mencapai 47% per tahun selama , maka kebijakan ini akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap sektor-sektor perekonomian lainnya. Dari aspek usahatani tebu, peningkatan produktivitas dan rendemen tebu sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas gula hablur dan pendapatan usahatani, sehingga mampu merangsang petani untuk terus memproduksi tebu yang berkualitas. Di sisi lain, efisiensi pabrik gula juga merupakan aspek yang penting karena akan mempengaruhi daya saing dan harga jual gula di pasar domestik. Dalam konteks ini, pemerintah harus berani mengambil kebijakan untuk menutup pabrik gula yang tidak efisien di Pulau Jawa serta mengembangkan industri gula di luar Jawa, khususnya pada daerah-daerah yang secara teknis dan ekonomis layak untuk dikembangkan. 2. Penelitian ini mencakup dua kegiatan utama yaitu : 1) efisiensi dan daya saing usahatani tebu petani, dan 2) Daya saing finansial pabrik gula (PG). Tujuan dari kegiatan pertama adalah menganalisis: a) Struktur biaya usahatani tebu petani, b) Efisiensi sistem produksi tebu petani dan c) Daya saing finansial dan ekonomi dari usahatani tebu petani. Analisis dari ketiga tujuan tersebut dibedakan menurut tipe lahan (lahan sawah dan lahan kering/tegalan), tipe bibit (tanam awal dan kepras 1-3 vs kepras >3) dan lokasi (Jawa dan Luar Jawa). Tujuan dari kegiatan kedua adalah menganalisis : a) Biaya per satuan produk gula hablur yang dihasilkan oleh PG dan b) Daya saing finansial PG. Analisis dari kedua tujuan ini dibedakan menurut jenis perusahaan (BUMN dan swasta) dan lokasi (Jawa dan Luar Jawa). 1

3 METODE PENELITIAN 3. Efisiensi usahatani tebu petani dapat dibedakan dalam tiga bentuk yaitu efisiensi teknis, efisiensi harga dan efisiensi ekonomi. Dalam penelitian ini difokuskan pada pengujian efisiensi ekonomi relatif antar kelompok, yang didekati dengan model fungsi keuntungan Cobb-Douglas. Sementara itu, untuk mengukur daya saing usahatani tebu petani digunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Selain secara kuantitatif, analisis juga dilakukan secara deskriptif kualitatif dalam bentuk tabel-tabel. 4. Penelitian dilaksanakan di tiga propinsi yaitu Propinsi Jawa Timur mewakili industri gula di Pulau Jawa, Propinsi Lampung dan Sulawesi Selatan mewakili industri gula di Luar Jawa. Pemilihan pabrik gula (PG) di Propinsi Jawa Timur dengan mempertimbangkan tingkat produktivitas usahatani antar wilayah. Produktivitas usahatani tebu di wilayah Utara dan Tengah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Selatan. Berdasarkan hal tersebut, PG yang dijadikan obyek penelitian (dan belum diteliti oleh Tim LP IPB) adalah : 1) PG Pagotan (Kab. Madiun), 2) PG Krebet Baru (Kab. Malang), 3) PG Semboro (Kab. Jember) dan 4) PG Pesantren Baru (Kab. Kediri). Keempat PG tersebut merupakan PG milik BUMN. Di Propinsi Lampung, penelitian dipusatkan di PG Gunung Madu Plantation (Kab. Lampung Tengah) yang merupakan industri gula swasta dan PG Bunga Mayang (Kab. Lampung Utara) yang merupakan PG milik BUMN. Sementara untuk propinsi Sulawesi Selatan, dipilih PG Takalar (Kab. Takalar) milik BUMN. Selain dengan PG, wawancara juga dilakukan dengan petani (kecuali PG Gunung Madu Plantation) sebanyak 20 orang untuk setiap PG. EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI TEBU PETANI 5. Produktivitas tebu di wilayah Jawa (4,91 ton/ha), Luar Jawa (4,77 ton/ha) dan rata-rata wilayah Indonesia (4,86 ton/ha) masih di bawah target program Akselerasi Peningkatan Produksi Gula Nasional (7 8 ton gula/ha). 6. Sistem bagi hal yang ditetapkan PG, baik di wilayah Jawa maupun Luar Jawa relatif sama, yaitu bagian gula petani sebesar 66 persen (untuk 2

4 rendemen 6 persen), sedangkan rendemen > 6 persen petani menerima tambahan bagian sebesar 70 persen dari selisih rendemen; tetes sebesar 2,5 persen per kwintal tebu yang digiling. PG Takalar menetapkan bagi hasil gula milik petani sebesar 62 persen dari rendemen yang ditetapkan terhadap total produksi tebu dan tetes sebesar 2 persen per kwintal tebu yang digiling. 7. Proporsi biaya tenaga kerja dan sewa lahan di lahan sawah maupun tegalan di Jawa Timur mencapai sekitar 70 persen terhadap total biaya usahatani tebu, sedangkan di Luar Jawa (Kabupaten Lampung Utara dan Takalar) hanya sekitar 53 persen. Sewa lahan di Jawa Timur berkisar antara Rp 4 juta Rp 5 juta/ha sedangkan di Luar Jawa hanya sekitar Rp 1,5 juta/ha. Penggunaan tenaga kerja di Jawa Timur juga relatif lebih intensif daripada di Luar Jawa. 8. Nilai B/C usahatani tebu di lahan sawah (Jawa) berkisar 0,003 0,65, sedangkan di lahan tegalan untuk wilayah Jawa dan Luar Jawa masingmasing berkisar antara 0,21 1,32 dan 0,29 1,48. Rata-rata nilai B/C di lahan kering Luar Jawa relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Jawa (baik lahan sawah maupun tegalan). 9. Tipe bibit (tanam awal dan kepras 1-3 vs kepras > 3) mempunyai pengaruh nyata terhadap keuntungan, tipe bibit kepras > 3 akan menurunkan keuntungan finansial usahatani tebu. 10. Usahatani tebu di wilayah penelitian belum berhasil mencapai keuntungan maksimum jangka pendek atau alokasi penggunaan masukan tidak tetap secara keseluruhan belum optimal. Alokasi penggunaan pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk ZA dan upah tenaga kerja sudah optimal, sedangkan penggunaan pupuk KCl belum optimal, dalam arti biaya korbanan marjinal tidak sama dengan produktivitas marjinal. Sementara itu harga pupuk KCl, harga pupuk ZA, luas lahan, sewa lahan, biaya panen, biaya angkut dan biaya lain mempunyai pengaruh yang nyata (pada tingkat kepercayaan persen) terhadap keuntungan aktual (model II) usahatani tebu. 3

5 11. Tingkat skala usaha masih berada pada kenaikan hasil bertambah (increasing returns to scale), sehingga masih dimungkinkan peningkatan produksi tebu di wilayah penelitian melalui perluasan usaha dan perbaikan teknologi budidaya tebu. 12. Perubahan harga gula sebesar 10 persen akan mengubah penawaran gula (perubahan searah) sebesar 3 persen. Pada kondisi optimal (tercapai keuntungan maksimum), perubahan 10 persen harga gula akan menyebabkan perubahan penawaran gula sebesar 6 persen. Pada kondisi aktual, kenaikan upah tenaga kerja sebesar 10 persen akan menurunkan penawaran gula sebesar 0,8 persen, sedangkan pada kondisi optimal menurunkan penawaran gula hampir mencapai 1,0 persen. Kenaikan 10 persen harga pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCl dan pupuk ZA, baik pada kondisi aktual maupun optimal akan menurunkan penawaran gula antara 0,05 persen - 0,4 persen. 13. Peningkatan 10 persen harga gula akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCl, pupuk ZA dan tenaga kerja masing-masing sebesar 12,8 persen pada kondisi aktual dan 15,7 persen pada kondisi optimal. Kenaikan upah tenaga kerja, harga pupuk Urea dan harga pupuk KCl akan menyebabkan penurunan yang sangat besar terhadap permintaan pupuk TSP dan pupuk ZA. 14. Usahatani tebu di Propinsi Jawa Timur, Lampung dan Sulawesi Selatan secara finansial telah menguntungkan. Rata-rata keuntungan sebesar Rp 2,5 juta 8 juta per hektar. Keuntungan petani di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Kediri lebih kecil (Rp 2,5 juta Rp 5,5 juta/ha) dibandingkan dengan Kabupaten Malang dan Kabupaten Jember (Rp 5,0 juta Rp 8,5 juta/ha). Terdapat kecenderungan, keuntungan usahatani tebu yang ditanam pada lahan tegalan lebih tinggi daripada di lahan sawah dan pada tanam awal lebih tinggi daripada kepras. Walaupun secara finansial usahatani tebu menguntungkan, namun secara ekonomi menunjukkan kebalikannya. Secara ekonomi, kerugian yang dialami petani di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Kediri sebesar Rp 2 juta Rp 4 juta per hektar. 4

6 Perbedaan ini disebabkan adanya distorsi pasar yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah. 15. Usahatani tebu di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Kediri tidak mempunyai keunggulan komparatif, sedangkan usahatani tebu di Kabupaten Malang, Jember, Takalar dan Lampung Utara menunjukkan kebalikannya (DRCR<I). Terdapat kecenderungan, usahatani tebu di lahan kering atau di luar jawa memiliki keunggulan komparatif lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani di lahan sawah atau di Jawa. Usahatani tebu di Kabupaten Madiun, Kediri dan Malang (lahan sawah) akan mempunyai keunggulan komparatif, apabila produktivitas (rendemen) tebu meningkat sekitar 20% atau harga gula dunia menjadi 220 US$/ton. Selain itu sistem usahatani tebu disemua lokasi mampu membayar korbanan biaya domestik yang efisien (PCR<1), namun kemampuan membayar biaya tersebut pada usahatani tebu di Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan di Jawa. 16. Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya. Selain itu, harga jual gula yang dinikmati oleh petani lebih tinggi sekitar persen dari harga jual gula seharusnya. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah sangat protektif terhadap petani tebu dan industri gula nasional. DAYA SAING FINANSIAL PABRIK GULA 17. Harga pokok gula di Jawa rata-rata sebesar Rp 2.657/kg yang ditentukan oleh biaya penanaman, biaya pengolahan dan biaya industri. PG BUMN Bunga Mayang (Kabupaten Lampung Utara) mampu menghasilkan gula dengan harga pokok yang lebih efisien (Rp 2.422,17/kg) dibandingkan dengan PG BUMN lainnya di Jawa. PG swasta Gunung Madu Plantation relatif lebih efisien dibandingkan dengan PG BUMN, mampu menghasilkan gula dengan harga pokok berkisar antara Rp Rp 2.300/kg. Penerapan manajemen profesional telah dilakukan yang didukung oleh peralatan pabrik yang relatif masih baru dengan kapasitas giling yang tinggi 5

7 (8.000 ton) dan telah menggunakan varietas tebu yang sesuai dengan kondisi bio-fisik setempat. 18. Dari semua PG yang ada di Indonesia saat ini, hanya 3 PG yang efisien secara teknis dan ekonomis, yaitu PG swasta murni yang terletak di Propinsi Lampung. 3 PG BUMN di Jawa masuk dalam kategori efisien secara teknis, tetapi tidak efisien secara ekonomis, sementara 43 PG BUMN dan 8 PG swasta murni lainnya tidak efisien secara teknis dan ekonomis. 19. PG-PG yang masuk dalam kategori efisien secara teknis tetapi tidak efisien secara ekonomis, serta PG-PG yang tidak efisien secara teknis dan ekonomis memerlukan perhatian khusus, sehingga dalam 3 tahun (sampai 2007) mampu meningkatkan kinerjanya dan masuk dalam PG dengan kategori efisien secara teknis dan ekonomis. 20. Penilaian (assessment) dan rehabilitasi terhadap PG BUMN di Jawa sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis PG BUMN, sehingga mampu menghasilkan gula hablur dengan harga pokok maksimum Rp /kg. Kebijakan rehabilitasi ini hendaknya tidak diarahkan untuk mendapatkan unified products dalam bentuk gula putih, tetapi dapat juga ditujukan untuk memproduksi raw sugar atau refined white sugar. IMPLIKASI KEBIJAKAN Beberapa implikasi kebijakan yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah: 21. Kebijakan peningkatan produktivitas dan rendemen tebu petani melalui program bongkar ratoon hendaknya dapat dilakukan dengan melibatkan beberapa petani terpilih dalam penyediaan bibit tebu. Keterlibatan kelompok tani sebagai penangkar bibit tebu diharapkan dapat mendorong pelaksanaan bongkar ratoon secara swadaya. 6

8 22. Pengembangan areal pertanaman dan bongkar ratoon tebu hendaknya dilaksanakan sejalan dengan upaya pengintegrasian antara aktivitas budidaya (petani tebu) dan aktivitas pengolahan (PG). Dalam program ini diperlukan penyediaan kredit usahatani tebu, khususnya bagi petani kecil/miskin yang selalu menjual tebu secara tebasan. Program ini hendaknya diikuti dengan penguatan kelompok tani, untuk menghindari ketergantungan petani dan PG dengan pedagang (penebas) tebu. 23. Pengembangan areal pertanaman tebu di Jawa hendaknya diarahkan pada lahan kering, sehingga tidak terjadi benturan kepentingan dengan program peningkatan produksi tanaman pangan. Areal potensial untuk pengembangan tanaman tebu di Luar Jawa diperkirakan mencapai 284,5 ribu ha yang tersebar di Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Papua. Dari areal potensial tersebut sedikitnya dapat dibangun 15 PG baru, dengan kapasitas antara TCD (tons cane per day). Pengembangan pabrik gula ke Luar Jawa dapat mulai dirintis, untuk mengurangi ketergantungan terhadap produksi gula dari wilayah Jawa. 24. Untuk meningkatkan kinerja PG BUMN, ada 3 tahap yang dapat ditempuh yaitu: (1) Teknologi yang diterapkan oleh semua PG BUMN harus diaudit; (2) Perbaikan teknologi melalui rehabilitasi PG BUMN yang secara finansial dan ekonomis masih layak dipertahankan. Sementara untuk PG-PG yang tidak layak dipertahankan, pemerintah harus berani menutupnya; dan (3) Restrukturisasi PG, di mana dalam jangka panjang (sekitar 20 tahun) diarahkan untuk melakukan pengalihan pemilikan saham kepada petani tebu. 25. Untuk menghilangkan pengaruh inefisiensi PG BUMN dalam penetapan rendemen tebu petani, diperlukan rendemen individual atau jaminan rendemen minimum dalam bentuk peraturan khusus. Penentuan besarnya jaminan rendemen minimum itu hendaknya dilakukan secara bersama antara PG dan kelompok tani, sehingga dapat meningkatkan relasi dan sinergi antara petani dan PG. 26. Masalah utama dalam industri gula nasional terletak pada PG milik BUMN yang masih belum efisien. Untuk itu pemerintah perlu melakukan 7

9 rehabilitasi, restrukturisasi dan menjadikan PG sebagai strategic business unit, khususnya pada PG-PG yang mampu menurunkan harga pokok secara signifikan selama tiga tahun terakhir. Program ini hendaknya dapat menjadi bagian dari reward yang diberikan kepada PG yang mampu menurunkan harga pokok gula hablur. 27. Untuk meningkatkan daya saing industri gula nasional, setiap PG perlu melakukan diversifikasi produk gula dan produk turunannya. Rintisan program ke arah itu sudah harus dimulai, dengan mengembangkan berbagai produk bernilai ekonomi. 28. Pengembangan PG-PG di Luar Jawa hendaknya tidak diarahkan untuk pengembangan industri gula semata, tetapi juga pengembangan industri berbasis tebu seperti ethanol, alkohol untuk industri, bahan campuran bensin dan sebagainya. Untuk pengembangan industri berbasis tebu ini, diperlukan rencana terintegrasi dengan pengembangan industri-industri lainnya, serta sejalan dengan peningkatan permintaan terhadap produk tersebut di pasar domestik dan pasar internasional. 29. Kebijakan lain yang perlu mendapat perhatian adalah revitalisasi kegiatan Research and Development (R & D) melalui penyediaan dana penelitian dan pengembangan yang dapat dipungut dari gain yang diperoleh dari setiap kenaikan produktivitas gula hablur/ha, serta pungutan yang dilakukan pemerintah dalam setiap kegiatan perdagangan gula. Dengan tersedianya dana untuk kegiatan R & D ini, pengembangan teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas dan rendemen tebu dapat terus berlangsung. 30. Kebijakan proteksi dalam bentuk tarif dan tataniaga impor gula dapat dilanjutkan sampai tahun 2007, dengan memberikan kesempatan kepada PG untuk meningkatkan efisiensi teknis dan efisiensi ekonomisnya. Kebijakan ini hendaknya diikuti dengan penetapan rendemen individual atau rendemen minimum yang akan diberikan oleh setiap PG, sehingga dalam masa transisi ini petani dapat memperoleh keuntungan yang layak dari usahatani tebu. 8